You are on page 1of 25

MENGKAJI TRANSNATIONAL BORDER CRIME

DENGAN TRADE BORDER AGREEMENT


Agus Budianto, SH., M.Hum

Dosen tetap Fakultas Hukum UPH


UPH Tower Lippo Karawaci
Jl. MH Thamrin Boulevard, Lippo Karawaci, Tangerang 15811
Telp 021 5460901 ext 1540
021-46287676
Email : agusbudianto@email.com

Abstract
Transnational organized crime involves the planning and execution of illicit business
ventures by groups, networking or based of Trade Border Agreement in more than one
country. Crimes commonly include money laundering; human smuggling; cyber crime;
and trafficking of humans, drugs, weapons, endangered species, body parts, or nuclear
material. The United Nations Convention against Transnational Organized Crime,
adopted by General Assembly resolution 55/25 of 15 November 2000, is the main
international instrument in the fight against transnational organized crime, The
Convention represents a major step forward in the fight against transnational organized
crime and signifies the recognition by Member States of the seriousness of the problems
posed by it, as well as the need to foster and enhance close international cooperation in
order to tackle those problems.
Key word :Trade Border Agreement, Organized Crime and United Nations Convention
Against
A. Latar Belakang Masalah
Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan pembandingan antara transnational
border crime dengan trade border agreement, yang tentunya dua tema tersebut sangat
berlainan. Perbedaan yang menonjol adalah subyek dari dua topik di atas, dalam trade
border agreement, tentunya subyeknya adalah state to state, yang juga diatur didalamnya
state to company. Sedangkan dalam transnational border crime, subyeknya bukan lagi
negara atau company, namun antara individu atau company negara yang satu dengan
negara lainnya, namun demikian transnational border crime juga dapat melibatkan
individu yang menggunakan customs atau fasilitas negara. Sebuah perbuatan
diklasifikasikan sebagai kejahatan lintas negara atau kejahatan terorganisasi antarnegara,
apabila memenuhi dua aspek utama, yaitu: Pertama, terjadinya perbuatan lintas batas

yang dilakukan baik oleh individu atau kelompok secara ilegal; ditinjau dari sisi hukum
dan keamanan dua atau lebih negara terkait. Dari sudut pandang dua negara
bersangkutan, perbuatan serupa dikelompokkan sebagai "perbuatan melawan hukum
(onrechtmatig). Kedua, dari perspektif internasional, perbuatan kriminal serupa itu jelas
melanggar berbagai perjanjian bilateral, trilateral, multilateral, konvensi atau deklarasi
tentang isu dan kasus yang sudah disepakati. Artinya, telah ada kekuatan hukum sebagai
dasar dan rujukan untuk menilai sebuah perbuatan melawan hukum negara, dan patut
dihukum.
Kejahatan lintas negara itu adalah sebuah kejahatan yang kompleks dan
melibatkan para pihak (stakeholders); yang sungguh mengancam keamanan global. Lima
faktor penyebab meliputi isu militer, ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial. Lima
elemen ini pada tataran konsepsional dapat dibedakan, tetapi pada level praksis, ketika
timbul ancaman keamanan, substansi keterhubungan antar faktor-faktor itu menjadi rumit
dan sulit dipilah. Artinya, sangat sukar secara sepihak mendeterminasi bahwa, sebuah
ancaman keamanan nasional, regional, dan internasional hanya disebabkan oleh satu
faktor saja (a single factor), misalnya ketidakadilan ekonomi atau diskriminasi politik.
Kejahatan yang terjadi secara terorganisasi di perbatasan negara semakin menjadi
fenomena, karena tidak saja dilakukan di wilayah darat, tetapi juga di wilayah laut yang
berbatasan langsung dan memiliki jarak yang relatif dekat atau dengan kecanggihan
teknologi transportasi tertentu dapat diakses dengan cepat dan mudah, hal ini
menyebabkan penduduk di wilayah perbatasan seperti di wilayah Pulau Kalimantan
(Malaysia Timur) dan propinsi-propinsi di Kalimantan sering melakukan aktifitas lalulintas melintasi perbatasan antar kedua negara. Sebagai contoh proses lintas batas dari
Kabupaten Nunukan via pelabuhan laut Tunon Taka, menuju wilayah Malaysia
(Tawau/Sabah) lalu lintas di wilayah perbatasan berwujud baik pergerakan manusia dan
barang, baik secara legal (melalui pintu keluar resmi/tempat-tempat pemeriksaan Pabean,
Imigrasi dan Karantina) maupun secara ilegal melalui jalur-jalur tidak resmi seperti jalurjalur penyelundupan.
Kawasan perbatasan Indonesia menjadi ladang subur bagi sindikat kejahatan
tingkat tinggi, hal ini disebabkan antara lain karena kurang efektifnya sistem pengamanan
di wilayah perbatasan darat dan perairan yang dapat menjadi peluang bagi munculnya

kejahatan. Saat ini terdapat 14 provinsi di Indonesia yang memiliki 40 kabupaten


berbatasan, baik darat maupun laut, dengan 10 negara tetangga. Negara itu adalah
Malaysia, Papua Niugini, Timor Leste, India, Thailand, Vietnam, Singapura, Filipina,
Palau, dan Australia. Berdasarkan data dari 14 polda terungkap bahwa perkara kriminal
lintas negara yang kerap ditemui di wilayah 14 polda itu senantiasa bermuara pada
minimnya pengaman di kawasan perbatasan. Jenis kejahatan itu di antaranya terorisme;
perdagangan manusia; narkoba; penyelundupan bahan bakar minyak, senjata api,
berbagai barang konsumsi, hingga manusia; pembalakan liar; perambahan hasil laut
ilegal; penambangan ilegal; pengerukan pasir ilegal; hingga perompakan di laut 1.
Di Kalimantan sendiri, wilayah perbatasan dengan Malaysia di sepenjang 857
kilometer, terdapat 52 titik jalan tikus yang sangat rawan menjadi jalur lintasan aktivitas
kejahatan. Jalur lintasan resmi hanya satu, yakni Entikong. Selain itu, dari 5.874 patok
tapal batas di Kalbar, hanya 3.087 patok yang sudah dipatroli. Sebanyak 408 patok
lainnya hilang, rusak, patah, dan tertimbun. Aktivitas kejahatan tersebut, bahkan tidak
lagi sembunyi-sembunyi melalui jalan tikus, dalam berbagai kasus perdagangan manusia,
korban kerap kali diselundupkan melalui jalur resmi di Entikong dengan melalui Pos
Pemeriksaan Lintas Batas Entikong-Tebedu (Malaysia) tanpa pemeriksaan petugas
imigrasi2. Ini menunjukan bahwa transnational border crime tidak saja melibatkan
individu dengan individu antar negara tetapi juga individu yang menggunakan customs
dan fasilitas negara.
Sebaliknya, bagaimana dengan Trade Border Agreement (TBA) 3?, trade border
agreement adalah persetujuan yang dibuat oleh pemerintah daerah karena memiliki
otonomi daerah4 yang berdekatan dengan negara-negara tetangga untuk kesejahteraan

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/12/02035533/perbatasan.tak.terurus
Harian Kompas, 31 Januari 2009.
3
Trade Border Agreement atau disebut juga sebagai Crossing Border Agreement adalah suatu perjanjian
antara pemerintah RI dengan negara-negara tetangga yang memiliki wilayah yang berbatasan secara
langsung untuk keperluan perdagangan (Trade). Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk membantu
masyarakat di daerah perbatasan, khususnya dengan membuka pasar bagi hasil pertanian dan barangbarang kebutuhan pokok, alat-alat yang menunjang industri kecil masyarakat perbatasan.
4
Sebenarnya otonomi daerah bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan
Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah
diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Otonomi daerah menjadi sebuah otonomi yang mandiri
setelah diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sumitro Maskun:
2

masyarakatnya di bidang perdagangan atau niaga. Kebijakan ini untuk mendukung


kebijakan negara dalam rangka pembangunan nasional, dimana tujuan dari pembangunan
nasional adalah mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur, serta dalam
pelaksaanaan pembangunan nasional khususnya di bidang ekonomi diperlukan upayaupaya untuk antara lain terus meningkatkan, memperluas, memantapkan dan
mengamankan pasar bagi segala produk baik tentang barang dan jasa, termasuk aspek
investasi dan hak atas kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan serta
meningkatkan kemampuan daya saing terutama dalam perdagangan Internasional5.
Kebijakan otonomi daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan
dan pendemokrasian kehidupan masyarakat yang diharapkan dapat memenuhi aspirasi
berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan
Pusat dan Daerah6. Dilihat dari aspek ekonomi, kebijakan otonomi daerah yang bertujuan
untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk
mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan
perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan
perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah
melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para
pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global 7.
Namun kenyataannya, peluang ini justru digunakan untuk menjalankan praktek
tindak kriminal di perbatasan, seperti data yang diperoleh dari Polda Kalimantan Timur,
telah terjadi 327 tindak kejahatan di bidang lintas batas terdiri dari 203 kejahatan di
bidang imigrasi, dan 142 penyelundupan dan sisanya tindak kriminal lainnya. Dari fakta
tersebut, jelas terlihat bahwa pergerakan lalu-lintas antar negara menyebabkan rentannya
stabilitas keamanan di wilayah perbatasan antar negara. Dalam tulisan ini, kami akan
mempersempit pembahasan pengaruh perdagangan lintas batas antara Indonesia dengan
Perpektif Dunia Usaha Dalam Era Otonomi Daerah, makalah dalam Seminar sehari di selenggarakan
lkatan Magister Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 31 Maret 2001 di Medan
5
Abdul Syukur Ahmad, Implemetasi Otonomi Daerah: Baju Baru, Cara Lama, Center for Strategic and
International Studies, Percetakan Kanisius, Yogyakarta, 2006, hal 98.
6
Syamsuddin Agus, Mengenal Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah (Makalah), Seminar Kadin-PWI Kabupaten Bondowoso, 2000, hal 34-35.
7
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=112

Malaysia yang berdampak pada munculnya kegiatan-kegiatan kriminal di perbatasan,


seperti yang diungkapkan oleh Hadi Wayarabi, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia,
The upcoming joint commission meeting will focus on efforts to amend an existing
memorandum of understanding on Indonesian migrant workers and the increasing
incidence of illegal logging, illicit arms trafficking and human trafficking along the
border of the two countries. Sedang pihak Malaysia menyatakan, In late January that
four Indonesians were among 13 men arrested for their links with the al-Qaeda terrorist
network8. Muncul permasalahan, bagaimana kebijakan antara Malaysia dengan
Indonesia dalam mengakomodasi Trade Border Agreement? dan Bagaimana kebijakan
Indonesia untuk melindungi wilayah NKRI dengan adanya Transnasional Border
Crime?.

B. Metode Penulisan dan Bahan


Penulisan ini akan mengkaji kualitas dari suatu norma sehingga didapati suatu
rekomendasi hukum dalam rangka pembaharuan hukum, maka penulisan hukum yang
digunakan adalah dengan metode penelitian hukum normatif, dengan pertimbangan
bahwa titik tolak penelitian dengan melakukan analisis terhadap kebijakan UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan keleluasan kepada
pemerintah daerah untuk mengelola perekonomian daerahnya, khususnya bagi daerahdaerah yang berdekatan dengan negara tetangga. Kedekatan ini memungkinkan
pemerintah daerah tersebut membuat sebuah perjanjian dengan negara tetangga yang
disebut dengan trade border agreement, yang dalam hal ini dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Tk 1 Riau dengan Pememrintah Malaysia. Persetujuan ini harus dikaji dengan
Undang-undang No. 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 10
Tahun 1995 tentang Kepabeanan beserta peraturan pelaksanannya. Terlebih lagi dikaji
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations
Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)

http://www.thejakartapost.com/news/2002/02/16/ri-malaysia-tackle-transnational-crimes.html

Pada penulisan hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap
pantas9. Untuk menilai kualitas dari suatu norma hukum dengan sasaran agar tercipta
suatu rekomendasi hukum maka diperlukan pendekatan-pendekatan dalam penelitian
hukum normatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan.
Bahan dalam penelitian kepustakaan ini terdiri: Data sekunder, data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari buku-buku atau literatur. Data sekunder dalam penelitian
ini dibedakan menjadi: Pertama, bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat
dan memiliki kekuatan hukum terdiri dari: Undang-undang Dasar 1945; UU Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang No. 17 tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; UndangUndang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention against
Transnational Organized Crime; Kepmen No. 146/MPP/KEP/4/1999 tentang Perubahan
Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 558/MPP/KEP/12/1998
tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor; Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang Diatur Tata Niaga
Impornya Sebagaimana Telah Beberapa Kali diubah terakhir dengan Kep. Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 50/MPP/Kep/1/2000; dan peraturan-peraturan lainnya
yang sifatnya mendukung.
Kedua, Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang
bahan hukum primer berupa penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, Journal, bukubuku ilmu hukum, majalah, koran, dan sebagainya yang berkaitan dengan materi
penelitian. Ketiga, bahan hukum tertier. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang
mendukung penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Berupa kamus bahasa
Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus hukum.

C. Pembahasan
1. Trade Border Agreement antara Indonesia dengan Malaysia
9

Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2006, hal. 118.

Kegiatan perdagangan lintas batas antara Indonesia dan Malaysia sebenarnya


telah berjalan berabad-abad yang lalu, namun akibat dari perkembangan zaman dimana
tidak adanya batas-batas wilayah maka kegiatan ini semakin lama terhambat oleh
peraturan yang ditetapkan masing-masing negara. Batas wilayah Indonesia, Malaysia dan
Singapura dekat sekali, penduduk Malaysia dan penduduk Indonesia khususnya yang
dekat daerah Riau penduduk berasal dari satu rumpun bangsa yaitu Melayu, oleh sebab
itu dalam melakukan hubungan kedua belah pihak sangat dekat. Pemufakatan untuk
menentukan dasar-dasar perdagangan lintas batas antara pemerintah Indonesia dan
Malaysia telah dilakukan pada tahun 1967 kemudian ditindak lanjuti kembali tentang
perdagangan lintas batas pada tahun 1970 dan terakhir dilakukan pertemuan delegasi
Indonesia dengan delegasi Malaysia pada tahun 2000 dengan tujuan antara lain: 1)
Membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan khususnya
dengan membuka peluang pasar bagi hasil pertanian produk daerah setempat; 2)
Memberikan kemudahan bagi masyarakat daerah perbatasan khususnya dalam
mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok dan juga alat-alat yang diperlukan dalam
menunjang kegiatan industri kecil maupun pertanian.
Dalam melakukan perdagangan lintas batas antara kedua belah pihak telah
sepakat melaksanakan ketentuan dan persyaratan yang harus di perhatikan oleh pelaku
lintas batas, seperti memiliki pos lintas batas yang berfungsi sebagai paspor, dan bagi
pelaku pelintas batas wajib memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku
dikedua negara antara lain:
1. Khusus untuk Provinsi Riau yang berbatasan dengan wilayah Malaysia, dalam hal
perdagangan lintas batas, hanya dapat dilakukan oleh penduduk yang berdomisili di
Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kampar, Kabupaten
Kepulauan Riau dan Kodya Batam, sedangkan untuk daerah semenanjung Malaysia
meliputi Johor, Batu Pahat, Malaka, Part Swet dan Penang.
2. Setiap penduduk yang melakukan perdagangan lintas batas harus memiliki pas
lintas batas yang berfungsi sebagai paspor yang dikeluarkan oleh kanwil hukum dan
perdagangan Provinsi Riau c/q kantor imigrasi atau pejabat lain yang dikuasakan
untuk itu, yang di dalam pas tersebut berisikan identitas pelintas batas.

3. Setiap keluar masuk barang dan penduduk dalam kegiatan perdagangan lintas batas,
harus melalui pos pemeriksaan lintas batas yang merupakan unit pelayanan terpadu.
4. Barang yang di bawa keluar berupa hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan
kerajinan yang benar-benar dihasilkan/diproduksi di daerah tersebut, bukan berasal
dari luar daerah dan barang tersebut tidak dilarang masuk ke Malaysia sedangkan
barang yang dimasukan adalah berupa barang kebutuhan hidup sehari-hari termasuk
alat/peralatan pekakas dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk kebutuhan seharhari termasuk alat perlengkapan daerah setempat, dan nilai barang yang dibawa dan
masuknya tidak lebih dari RM 6000 untuk sekali pelayaran, perkapal dan kapal
maupun perahu yang akan digunakan dalam kegiatan perdagangan lintas batas,
harus didaftarkan kesahbandar setempat untuk diberi tanda khusus.
5. Pelaksanaan perdagangan lintas batas wajib memenuhi peraturan perundangundangan yang berlaku dikedua negara, bagi mereka yang tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dapat diangap sebagai penyeludup (illegal).
Di samping ketentuan di atas, pada tanggal 1 sampai dengan 5 Juni 1999, pihak
kerajaan Malaysia menyampaikan secara lisan ketentuan tambahan terkait dengan
perdagangan lintas batas, antara lain 10: Pertama, Jaminan dari Pemerintah daerah Riau
atas fasilitas perdagangan lintas batas melalui laut antara Riau dan Malaysia dapat saling
mengawasi sebagai sarana pencari kerja ilegal di Malaysia; Kedua, Masyarakat yang
melakukan perdagangan lintas batas jumlahnya dibatasi untuk memudahkan pengawasan;
Ketiga, Pemberian paspor khusus lintas batas sebagai tanda pengenal diri, hendaknya
diberikan kepada yang benar-benar sebagai penduduk sempadan dengan demikian pas
lintas batas ditiadakan dan diganti dengan paspor khusus lintas batas tidak/ belum
mencakup untuk keperluan kunjungan keluarga, kunjungan sosial/keluaran, keagamaan
dan sebagainya. Keempat, Barang dagangan yang dibawa masuk ke Malaysia tidak boleh
dijajakan dijual langsung oleh pedagang lintas batas, dipasarkan umum melainkan
melalui agen yang mereka tunjuk; dan Kelima, Jumlah alat pengangkut/sarana
pengangkut perdagangan lintas batas agar dibatasi sesedikit mungkin dan tidak
mengunakan perahu layar.
10

RI Desak Malaysia Sahkan Perjanjian Perbatasan, diakses tanggal 1 Juni 2009, dalam
http://www.kapanlagi.com/h/0000098137.html

Kemudian ketentuan-ketentuan lain dalam pelaksanaan perdagangan lintas batas


melalui beberapa Departemen mengeluarkan beberapa ketentuan seperti ketentuan
ekspor/impor yang dikeluarkan oleh dapartemen perindustrian dan perdagangan tentang
ketentuan umum dibidang ekspor antara lain; Barang-barang yang diatur ekspornya,
barang-barang yang diawasi ekspornya kemudian barang-barang yang dilarang
ekspornya11, dan mengenai tata niaga impor untuk barang-barang di atur dan barang
bebas impornya dalam perdagangan lintas batas dibebaskan tata niaganya, kemudian
membebaskan barang-barang komoditi yang diperdagangkan dari pajak 12.
Ekspor dan impor, serta jenis barang-barang yang diperdagangkan adalah hasil
pertanian dan kerajinan yang berasal dari wilayah perbatasan dan juga instansi yang
berwenang memberikan dukungan kemudahan dalam rangka perdagangan lintas batas
seperti Departemen Perhubungan, keimigrasian serta bea dan cukai. Adapun kemudahan
serta dukungan dari Depertemen Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau dalam hal
pelaksanaan perdagangan lintas batas antara Riau dan Malaysia, yaitu membebaskan tata
niaga untuk jenis barang/komoditi yang diperdagangkan, dan membebaskan barangbarang/ komoditi yang diperdagangakan dari pajak ekspor dan impor, serta jenis barangbarang yang diperdagangkan adalah hasil pertanian dan kerajinan yang berasal dari
daerah perbatasan (pos lintas batas) dan barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat
wilayah perbatasan.
Kemudian kantor wilayah Depertemen Perhubungan

dalam mendukung

perdagangan lintas batas menetapkan beberapa ketentuan antara lain: 1). Alat angkut
yang digunakan harus layak laut, dalam pendaftaran alat angkut ke pemerintah kabupaten
harus disertai surat keterangan rekomendasi dari kanwil perhubungan provinsi atau
pejabat lain yang di kuasakan olehnya untuk itu; 2). Jumlah kapal/alat angkut yang
dibenarkan di suatu tempat sebagai Entry/ exed point (pos lintas batas) tidak boleh lebih
dari lima (5) buah kapal dengan ukuran yang ditentukan (standar) 50 GRT; dan 3). Warna
dasar kapal / alat angkut yang digunakan untuk keperluan ini di seluruh Provinsi Riau di
cat dengan warna dasar putih dan selalu mengibarkan/ memasang bendera Nasional
11

Kepmen No. 146/MPP/KEP/4/1999 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 558/MPP/KEP/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor.
12
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang Barang Yang
Diatur Tata Niaga Impornya Sebagaimana Telah Beberapa Kali diubah terakhir dengan Kep. Menteri
Perindustrian dan Perdagangan No. 50/MPP/Kep/1/2000

Merah Putih, serta diawaki tidak lebih dari 6 (enam) orang ABK merangkap sebagai
pelaku pedagang lintas batas dan memiliki paspor khusus lintas batas sekaligus mewakili
penduduk daerah. Perbatasan pos lintas batas yang telah ditetapkan yang berhak
mendapatkan fasilitas sebagai pelintas batas, dan kantor imigrasi berdasarkan Undangundang No. 09 Tahun 1999 tentang Keimigrasian menyebutkan bahwa setiap pelintasan
antar negara harus melalui tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) dan dilengkapi dengan
dokumen perjalanan.
Bagi pedagang tradisional lintas batas warga negara Indonesia, imigrasi se Riau
memberikan kemudahan dengan memberikan paspor 24 halaman dikantor-kantor
imigrasi setempat sesuai dengan domisili masing-masing dengan syarat-syarat
melengkapi indentitas yang telah ditetapkan, kemudian dalam pelaksanaan perdagangan
lintas batas antara Riau dengan Malaysia tata laksana kepabean yang akan dilakukan oleh
jajaran kanwil Bea dan Cukai wilayah VI antara lain : Pertama, Ekspor dan Impor.
Ekspor13, untuk barang ekspor berupa pelintas batas 14 yang menggunakan pemberitahuan
pabean15 sesuai ketentuan perjanjian perdagangan lintas batas dan Keputusan Dirjen Bea
dan Cukai No. Kep-44/BC/1999 disebutkan PEB tidak diperlukan terhadap ekspor barang
pelintas batas yang menggunakan pemberitahuan pabean sesuai ketentuan perjanjian
perdagangan lintas batas, dan tentang impor.
Kedua, Komoditi dan aturan lainnya. Komoditi barang-barang yang dibenarkan
untuk diperdagangkan dalam rangka perdagangan lintas batas adalah dari daerah
Indonesia adalah hasil-hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil industri kecil
lainnya yang berasal dari suatu daerah lintas batas Indonesia tidak termasuk biji-biji
tambang dan mineral, Malaysia adalah barang-barang kebutuhan kehidupan sehari-hari
atau barang konsumsi, termasuk alat peralatan, pekakas dan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk keperluan perindustrian/ pertanian didalam suatu lintas batas, aturan

13

Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan RI No. 507/KMK/ 1998 Tanggal 14 Desember 1998
tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.188/KMK.05/1986 tentang Tata Laksana
Kepabean di Bidang Ekspor.
14
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 490/KMK.05/1996 tanggal 31
Juli 1996 tentang Tata Laksana Impor Barang Pelintas Batas diberikan pembebasan bea masuk dan pajak
dalam rangka impor.
15
Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang dimaksud Pabean adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta
pemungutan bea masuk dan bea keluar.

10

lainnya didisi barang yang telah disepakati antara Indonesia dan Malaysia tidak melebihi
RM 600 (Enam ribu ringgit malaysia) namun bila perundingan Malaysia tidak keberatan
sampai RM 10.000 (sepuluh ribu ringgit Malaysia ) perkapal setiap keluar atau masuk.
Undang-undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyebutkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman, tertib, sejahtera dan berkualitas.
Kemudian dalam upaya untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan, transparansi
dan akuntabilitas pelayanan public untuk mendukung upaya peningkatan dan
pengembangan perekonomian nasional yang berkaitan dengan perdagangan global, untuk
mendukung kelancaran arus barang dan meningkatkan efektifitas pengawasan atas lalu
lintas barang tertentu dalam daerah pabean16 Indonesia serta untuk mengoptimalkan
pencegahan dan penindakan penyelundupan, perlu pengaturan yang jelas dalam
pelaksanaan kepabeanan.
Dalam petunjuk pelaksanaan perdagangnan lintas batas melalui keputusan
Gubernur Riau KPTS 253/V/1995 dengan pertimbangan bahwa untuk meningkatkan
tarap hidup masyarakat diperbatasan dipandang perlu mencari peluang peningkatan
pendataan masyarakat dengan cara pengaturan perdagangnan lintas batas berupa hasilhasil pertanian, industri kecil/kerajinan yang dihasilkan oleh masyarakat diwilayah
perbatasan yang sebelumnya.
Permufakatan dasar lintas batas antara pemerintah Republik Indonesia dan
Malaysia tanggal 26 Mei 1967 serta perjanjian tentang perdagangan antara pemerintah
Republik Indonesia dan Malaysia tanggal 24 Agustus 1970, kemudian disepakati bersama
mengenai pelaksanaan perdagangan bagi masyarakat di daerah perbatasan yang dibuat
instansi terkait di Provinsi Riau pada tanggal 10 Mei 1999 yang menghasilkan petunjuk
pelaksanaan perdagangan lintas batas bagi penduduk di wilayah perbatasan Provinsi Riau
daerah tingkat I Riau, yang memuat pengertian-pengertian dan pasal-pasal sebagai
berikut: Yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalan pemerintah tingkat I Riau;
16

Pasal 1 UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang dimaksud dengan Daerah Pabean adalah
wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang, udara diatasnya, serta tempattempat tertentu dizona ekonomi dan landas kontinen yang didalamnya berlaku undang-undang kepabeanan

11

Wilayah perbatasan adalah daerah Kabupaten/kota dlam wilayah Provinsi Riau yang
berbatasan langsung dengan Malaysia yaitu Kab.Bengkalis, Kampar, Kepulauan Riau,
Inhil dan Kotamadya Batam.
Pos lintas batas adalah tempat pemberangkatan masyarakat untuk melakukan
perdagangan lintas batas dengan Malaysia dan Lintas Batas adalah tempat keluar masuk
penduduk dan barang diwilayah perbatasan yang melakukan perdagangan lintas batas
atau tempat dilakukan pemeriksaan sesuatu dengan ketentaun perdagangan yang berlaku.
Perdagangan lintas batas adalah pengungkutan dan transaksi, serta Pos Pemeriksanaan
Lintas Batas (PPLB) adalah unit pelayanan terpadu untuk pemberangkatan masyarakat di
wilayah perbatasan yang melakukan perdagangan ke Malaysia .
Di dalam keputusan gubernur Kepala Daerah Tingkat I Riau tahun 1999 tentang
petunjuk perdagangan lintas batas pada Bab II Pasal 2 bahwa instansi atau unit kerja
pelayanan pedagangan lintas batas antara lain terdiri dari :
1. Pemerintah Daerah Tingkat I Riau.
2. Pemerintah daerah tingkat II Bengkalis, Kampar, Indragiri Hilir, Kepuluan Riau,
dan Kotamadya Batam.
3. Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Provinsi Riau dengan jajarannya di
Kabupaten / kota madya
4. Kantor Wilayah Departemen Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau
dengan jajarannya di Kabupaten / kota madya.
5. Kantor Wilayah Derpartemen Perhubungan Provinsi Riau dengan jajarannya ddi
Kabupaten /kotamadya
6. Kantor Wilayah II Direktorat Jenderl Bea dan Cukai Provinsi Riau
7. Instansi keamanan adalah Komando Resort Meliter 031 / Kepolisian daerah Riau
gugus kanan laut armada bagian barat, serta Kejaksaan Tinggi Riau.
Untuk mendukung pelayanan tesebut sesuai dengan kedudukan dan fungsi dari masingmasing unti kerja, pemerintah daerah tingkat I Riau menyediakan bangunan pos
pemeriksaan, dan kelengkapan administrasi perkantoran yang diperlukan serta
mempersiapkan anggaran melalui APBD Provinsi Tingkat I Riau untuk biaya operasional
kegiatan perdagangan lintas batas.

12

Untuk pemerintah daerah tingkat II menyediakan perumahan personil yang


bertugas pada pos lintas batas di daerah masing-masing serta memberikan pelayanan
yang terbaik yang terdiri dari masing-masing instansi, untuk kemudahan bagi pelintas
batas sampai pada bidang instansi keamanan dengan memperlakukan dan melindungi
masyarakat pedagang lintas batas sehingga tidak dikategorikan sebagai penyuludup17.
Kesiapan aparatur imigrasi provinsi riau dan jajarannya dalam melaksanakan
perdagangan antara masyarakat perbatasan riau dan Malaysia dengan melihat posisi
provinsi riau yang sangat strategis dan bersamaan dengan era globalisasi serta
menyongsong abad ke 21 dan adanya bentuk kerja sama regional seperti AFTA yang
merupakan bentuk kerjasama bagi negara-negara Asia Pasifik, maka hal tersebut akan
memacu lalu lintas orang asing maupun warga negara Indonesia. (lalu lintas batas negara)
semakin meningkat pada tahun-tahun yang akan datang. Mengingat bagaian-bagian
tertentu wilayah Indonesia berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga tidak
menutup kemungkinan berkembangnya hubungan antar negara-negara yang berbatasan
langsung tersebut yang akan ditindak lanjuti dengan dibuatnya perjanjian lintas batas atas
dasar kepentingnan yang saling menguntungkan kedua negara.
Salah satu kemudahan yang diberikan pemerintah Republik Indonesia adalah
membebaskan orang asing dari negara tetentu dari kaharusan memiliki visa untuk masuk
kewilayah Indonesia sepanjang telah dikukuhkan secara khuasus didalam perjanjian
lintas batas antara Indonesia dan negara tetanga yang bersangkutan. Dan dalam rangka
pembangunan perekonomian masyarakat di daerah-daerah perbatasan perlu didorong
perdagangan lintas batas tradisional agar tidak menemui hambatan-hambatan yang justru
memudahkan ekonomi masyarakat perbatasan, untuk menunjang terciptanya hal ini maka
penduduk yang berada didaerah perbatasan sangat berperan dalam melaksanakan
perdagangan lintas batas dengan penduduk di kenegerian Malaysia, yang perlu
diupayakan realisasi pelaksanaannya, dan salah satu kemudahan dari perdagangan lintas
batas tradisional adalah bahwa mereka keluar dan masuk tidak melalui tempat

17

Undang - Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan.

13

pemeriksaan imigrasi (TPI) yang didasarkan undang-undang keimigrasian merupakan


pelanggaran.18
Dalam proses perdagangan lintas batas walaupun tidak tercapainya kesepakatan
antara kedua belah pihak yang telah beberapa kali dilaksanakan semacam pertemuan
delegasi antara Indonesia dan delegasi Malaysia yang tujuannya mengkaji permasalahanpermasalahan yang timbul dilapangnan dan kemudian menyempurnakan kembali
kesepakatan yang telah disepakati demi terwujudnya kegiatan perdagangan lintas batas
yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Hubungan dan kerja sama yang saling
menguntungkan memalui proses dan terbitnya perjanjian antara kedua negara Indonesia
dan Malaysia dalam pelaksanaan perdagangan lintas batas masih ditemui permasalahanpermasalahan yang timbul baik dari palaku oknum aparat maupun pelaku pelintas batas
diantaranya:
1.

Masih adanya praktek pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh oknum
petugas penjaga wilayah perbatasan.

2.

Masih adanya barang-barang yang dibawa keluar masuk dari Malaysia dikenai
cukai.

3.

Perlakuan yang sama terhadap kapal-kapal yang non pelaku lintas batas
sehingga pelaku lintas batas tidak merasakan mendapat fasilitas dari kegiatan
sebagai pedagang lintas batas.

4.

Masih adanya pelaku lintas batas yang membawa barang keluar ke Malaysia
yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku sehingga pelintas batas yang
lain mendapat imbas dari perilaku pelintas batas tersebut.

5.

Penggantian pejabat yang sering terjadi sehingga aturan yang telah disepakati
terdahulu tidak teradopsi kepada pengganti atau pejabat baru.

6.

Ketentuan yang telah disepakati kurang seiring dengan undang-undang yang


telah terbit terdahulu sehingga aparat dilapangan tetap mengacu kepada
ketentuan aturan yang terdahulu.

7.

Tidak jelasnya pungutan komoditi yang telah dibawa dari Malaysia ke


Indonesia.

18

Koordinator keimighrasian batas wilayah hukum dan perundang undangan Riau Kesiapan aparatur
imigrasi Provinsi Riau dalam melaksanakan perdagangan antar masyarakat perbatasan Riau dengan Malaysia
tahun 2000

14

Dalam mewujudkan peraturan perundang-undangan yang berlandaskan Pancasila


dan UndangUndang Dasar 1945 yang didalamnya terkandung azas keadilan,
menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat, dan menempatkan kewajiban pabean
sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan peran serta anggota masyarakat
dalam menghimpun dana melalui pembayaran bea masuk. 19 Berdasarkan undang-undang
tentang kepabeanan yang tercantum dari pasal ke pasal bahwa dalam undang-undang ini
yang dimaksud dengan kepabeanan adalah segala sesuatu yang dihubungkan dengan
pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean dan pemungutan
bea masuk didalam pasal-pasal kepabeanan. diantaranya pada pasal 1 UU RI No. 16
Tahun 1915 kepabeanan diantaranya adalah: Pertama, Daerah pabean adalah Wilayah
Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya,
serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif di landas kontinue yang
didalamnya berlaku undang-undang ini.
Kedua, Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan
laut, Bandar udara atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang
sepenuhnya berada dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Ketiga,
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
dengan dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Keempat, Pos pengawasan pabean adalah tempat yang digunakan oleh pejabat Bea dan
Cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas impor dan ekspor. Kelima,
Kewajiban pabean adalah semua kegiatan dibidang kepabeanan yang wajib dilakukan
untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini dan pada pasal 2 menyebutkan
bahwa barang yang dimasukkan kedalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang
impor dan tentang Bea masuk serta barang yang telah dimuat atau yang akan dimuat,
sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah di ekspor dan
diperlakukan sebagai barang ekspor. Pasal ini membuat rumusan mengenai pengertian
istilah yang dipergunakan dalam undang- undang ini, dengan adanya pengertian tentang
istilah tersebut dapat dicegah adanya salah pengertian atau salah penafsiran dalam

19

Atra Umbara, Penjelasan atas Undang Undang RI No. 10 Tahun 1915 tentang kepabeanan, Bandung,
2007, hal 60.

15

melaksanakan

pasal-pasal

bersangkutan

sehingga

masyarakat

lebih

mudah

memahaminya.
Serta ayat ini memberikan penegasan pengertian impor secara yuridis. Yaitu pada
saat barang memasuki daerah pabean dan menetapkan saat barang tersebut wajib bea
masuk serta merupakan dasar yuridis bagi pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan
pengawasan. Kemudian ayat 2, ayat ini memberikan penegasan tentang pengertian ekspor
secara nyata ekspor terjadi pada saat barang melintasi daerah Pabean namun mengingat
dari segi pelayanan dan pengamanan tidak mungkin menempatkan pejabat Bea dan Cukai
disepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan
ekspor barang. Maka secara yuridis ekspor dianggab telah terjadi pada saat barang
tersebut sudah dimuat disarana pengangkut yang akan berangkat keluar daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan sarana pengangkut adalah setiap kendaraan pesawat udara, kapal
laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang atau orang.
Dilihat dari keadaan geografis negara Republik Indonesia yang demikian luas dan
merupakan negara kepulauan, maka tidaklah mungkin menempatkan pejabat Bea dan
Cukai disepanjang pantai untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau
yang dikeluarkan dari Daerah Pabean memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh
sebab itu, ditetapkan bahwa pemenuhan kewajiban pabean maksudnya adalah apabila
tertangkap tangan barang dibongkar atau dimuat disuatu tempat yang tidak ditunjuk
sebagai kantor pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
Dengan demikian, pengawasan lebih mudah dilakukan, sebab untuk memenuhi
kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan Bea masuk
telah dibatasi dengan penunjukan Kantor Pabean yang disesuaikan dengan kebutuhan
perdagangan. Pemenuhan kewajiban pabean di tempat selain di Kantor Pabean dapat
diizinkan dengan pemenuhan persyaratan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri,
sesuai dengan kepentingan perdagangan dan perekonomian, atau apabila dengan cara
tersebut kewajiban Pabean dapat di penuhi dengan lebih mudah dan murah pemberian,
kemudian tersebut bersifat sementara.20
2.
20

Keimigrasian
Pasal 5 ayat 1 UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, Citra Umbara Bandung Th. 2007.

16

Kata imigrasi berasal dari kata immigrare yang dalam bahasa Latin berarti datang,
pindah dari dan kemudian istilah menjadi pengertian mengenai proses lalu lintas orang
yang masuk atau keluar wilayah suatu negara, baik itu berniat hanya sekedar melintasi,
berkunjung dengan sifat sosial budaya menumpang hidup atau mencari nafkah dan
sedikit atau banyak menjadikan negara itu tempat berdiam atau menetap. Lebih lanjut,
pengertian keimigrasian diartikan sebagai proses keluar masuknya orang-orang asing di
suatu negara melalui pintu-pintu masuk resmi atau tempat pemeriksaan imigrasi. 21
Pada hakekatnya kegiatan Imigrasi yang dilakukan oleh para pelintas batas adalah
suatu proses interaksi atau hubungan internasional melalui pergerakan yang melintasi
batas-batas wilayah antar negara, ini sesuai dengan pendapat yang memberikan
pengertian interaksi atau hubungan internasional bahwa : Hubungan Internasional adalah
adalah mencakup berbagai macam hubungan atau interaksi yang melintasi batas-batas
wilayah negara dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda warga negara, berkaitan
dengan segala bentuk kegiatan manusia. Hubungan ini dapat berlangsung baik secara
berkelompok maupun secara perorangan dari suatu bangsa atau negara, yang melakukan
interaksi, baik secara resmi dengan kelompok atau perorangan dari suatu bangsa atau
negara lain22.
Kemudian hal tersebut diperjelas lagi, bahwa hubungan internasional adalah
hubungan yang terjadi antar negara tersebut dapat berupa kegiatan komunikasi antar
negara, transaksi-transaksi ekonomi, kegiatan pariwisata, pertukaran-pertukaran budaya,
maupun imigrasi-imigrasi. Untuk menyesuaikan masalah-masalah yang terjadi di kedua
wilayah perbatasan maka diperlukan suatu konsep atau aturan yang harus disepakati oleh
kedua negara seperti yang tertuang pada beberapa konsep traktat deklarasi hukum
internasional yang mengatur hubungan antar negara tetangga yang berbatasan langsung.
Konsep mengenai hubungan bersahabat antara negara-negara terdiri dari23 :
1. Prinsip yang mungkin sejalan dengan larangan dalam hukum nasional terhadap
penyalahgunaan hak (abuse of the right).

21

Muhammad Darwis Arfah, Custom, Imigration and Wuarantine, 2001, hal. 14.
John Baylis, The Globalization of World Politics : An Introduction To International Relation, New York
: Oxford University, Press Inc, 1998, p. 34.
23
http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=18&Itemid=37
22

17

2. Dalam Trail Smelter Arbitration Case 1941 diakui prinsip bahwa, suatu negara
memikul kewajiban untuk pencegahan wilayahnya dijadikan sumber kerugian
ekonomi dari wilayah tetangganya, misalnya lewat pembuangan gas beracun
(toxius fumes).
3. Dalam Declaration on Human Environment yang dikeluarkan oleh Konferensi
Stockholm tentang lingkungan hidup manusia bulan Juni 1972 (Prinsip 21-22
Deklarasi).
4. Dalam Corfu Channel Case (Merits) 1949, International Court Of Justice
menyatakan bahwa telah menjadi suatu prinsip yang diakui oleh umum bahwa
setiap negara memikul kewajiban untuk tidak membiarkan wilayahnya digunakan
bagi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak-hak negara lain.
5. Dalam Pasal 74 Charter Perserikatan Bangsa-Bangsa, prinsip umum mengenai
bertetangga baik (Good Neighbourlines) di bidang sosial, ekonomi, dan
perdagangan ditetapkan sebagai hal yang harus ditaati negara-negara anggota
berkaitan

dengan

wilayah

induk

dan

wilayah-wilayah

bagiannya.

6. Dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 3


November 1947, prinsip tentang kewajiban menjalin persahabatan antara negaranegara yang mengutuk propaganda yang ditujukan atau kemungkinan untuk
provokasi atau mendukung terhadap ancaman-ancaman terhadap perdamaian,
pelanggaran perdamaian dan tindakan-tindakan Israel.
Erat kaitannya dengan prinsip-prinsip kewajiban bersahabat antara negar-negara
adalah konsep yang saat ini terus dikembangkan, yaitu konsep hidup berdampingan
secara damai (Good Neighbour Policy). Lima prinsip tentang hidup berdampingan secara
damai : Saling menghormati integritas dan kedaulatan teritorial masing-masing; Saling
tidak melakukan agresi (mutual non agresi); Saling tidak mencampuri urusan-urusan
dalam negeri masing-masing; Persamaan kedudukan dan saling menguntungkan; Hidup
berdampingan secara damai.
3.

Transnational Border Crime


Aksi-aksi kekerasan terorisme internasional di berbagai belahan dunia, termasuk

di Indonesia akan menjadi ancaman dan tantangan terbesar bagi pelaksanaan kebijakan

18

politik luar negeri Indonesia di masa mendatang. Di tingkat bilateral Indonesia terus
dituntut untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai negara seperti Australia, AS,
Jepang dan negara-negara tetangga Asia Tenggara lainnya untuk meningkatkan
kemampuan aparatur negara dalam memerangi terorisme internasional. Hal yang sama
juga berlaku di tingkat regional, misalnya ASEAN di mana Indonesia perlu mendorong
berlanjutnya kerjasama kongkrit antar negara dalam pemberantasan terorisme
internasional.
Indonesia menilai stabilitas kawasan merupakan kondisi yang sangat penting,
tidak hanya dalam konteks memberdayakan potensi kawasan yang menjadi kebutuhan
semua pihak tetapi juga dalam rangka memperkuat stabilitas keamanan dan perdamaian
dunia. Prakarsa dan kerja sama yang erat serta saling menguntungkan dapat menjadi
fondasi bagi terus berlanjutnya confidence building dan mutual understanding yang
mampu menghindarkan kawasan dari pertikaian dan konflik terbuka. Hal itu juga secara
tidak langsung akan mendorong negara-negara di kawasan lain untuk melakukan hal
yang sama dan pada akhirnya membuka kemungkinan bagi tumbuhnya kerja sama intrakawasan maupun antarkawasan yang solid.
Masalah kejahatan yang berbentuk trans-national crime seperti illicit-trade, illicit
drug, human trafficking atau people smuggling merupakan ancaman serius bagi negara
seperti Indonesia yang memiliki posisi geografis yang strategis bagi suburnya
pertumbuhan jenis-jenis kejahatan lintas batas tersebut. Karena itu, sebagai negara asal
maupun transit bagi operasi tindak trans-national crime itu, Indonesia dituntut untuk
terus meningkatkan upaya-upaya dalam menekan kejahatan lintas batas tersebut melalui
suatu format kerjasama dengan negara-negara tetangga secara komprehensif. Tantangan
utama yang dihadapi dalam memberikan respon cepat terhadap jenis kejahatan seperti ini
adalah bagaimana membuat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara kunci baik
secara bilateral maupun multilateral dan mengembangkan kerjasama teknis dalam
pemberantasan terorisme, bajak laut, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan dan
perdagangan manusia dan senjata serta lalu lintas obat-obat terlarang (illicit drug/drug
trafficking).
Pada 20 April 2009, Indonesia telah mencatat suatu raihan signifikan dalam upaya
memberantas kriminalitas dengan menyerahkan instrumen ratifikasi Indonesia atas

19

United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes (UNCTOC) di


Wina. Penyerahan instrumen ratifikasi tersebut berlangsung di sela-sela Sesi ke-18
Commission on Crime Prevention and Criminal Justicc (CCPCJ) dalam suatu Special
Treaty Event di Vienna International Center (Markas Besar PBB di Wina). UNCTOC
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 12 Januari 2009 melalui UndangUndang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Sesuai Pasal 38 ayat (1) UNCTOC,
ketentuan-ketentuan dalam UNCTOC mulai berlaku dan mengikat Indonesia 90 hari
setelah penyerahan instrumen ratifikasi.
Penyerahan instrumen ratifikasi UNCTOC merupakan perwujudan komitmen
Indonesia dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang
terorganisasi. Dengan penyerahan instrumen tersebut, Indonesia dapat memanfaatkan
secara lebih luas kerjasama internasional dalam hal melakukan upaya penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi, dan
tindak pidana terhadap proses peradilan, serta tindak pidana serius yang bersifat
transnasional dan melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi.
Kejahatan transnasional yang terorganisasi merupakan salah satu bentuk
kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan
perdamaian dunia. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di
samping memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu
negara ke negara lain, juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat,
beragam, dan maraknya tindak pidana. Tindak pidana tersebut pada saat ini telah
berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup,
karakter, modus operandi, dan pelakunya24. Kerja sama antarnegara yang efektif dan
pembentukan suatu kerangka hukum merupakan hal yang sangat penting dalam
menanggulangi tindak pidana transnasional yang terorganisasi. Dengan demikian,
Indonesia dapat lebih mudah memperoleh akses dan kerja sama internasional dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional yang terorganisasi.
24

Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang engesahan United Nations Conventions Against
Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa menentang Tindak Pidana
Transnasional yang Terorganisasi)

20

Tujuan Indonesia meratifikasi konvensi ini adalah untuk meningkatkan kerja


sama internasional yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
transnasional yang terorganisasi25. Dimana setiap anggota wajib mematuhi prinsip
kadaulatan, keutuhan wilayah dan tidak mencampuri urusan negeri negara lain. Konvensi
menyatakan bahwa Konvensi ini mengatur mengenai upaya pencegahan, penyidikan dan
penuntutan atas tindak pidana yang tercantum dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal
23 Konvensi, yakni tindak pidana pencucian hasil kejahatan, korupsi, dan tindak pidana
terhadap proses peradilan, serta tindak pidana yang serius sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2 huruf b Konvensi, yang bersifat transnasional dan melibatkan suatu kelompok
pelaku tindak pidana yang terorganisasi26.
Konvensi menyatakan bahwa suatu tindak pidana dikategorikan sebagai tindak
pidana transnasional yang terorganisasi jika tindak pidana tersebut dilakukan: 1) di lebih
dari satu wilayah negara; 2) di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan, pengarahan
atau pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah negara lain; 3) di suatu
wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok pelaku tindak pidana yang
terorganisasi yang melakukan tindak pidana di lebih dari satu wilayah negara; atau 4)di
suatu wilayah negara, tetapi akibat yang ditimbulkan atas tindak pidana tersebut
dirasakan di negara lain.

D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, ada korelasi antara apa yang duamanatkan
oleh UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya
untuk daerah perbatasan antara Indonesia (dalam hal ini pememrintah daerah Tk 1 Riau)
dengan Malaysia, bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di bidang
perdagangan atau niaga dan untuk mendukung kebijakan negara dalam rangka
pembangunan nasional, dimana tujuan dari pembangunan nasional adalah mewujudkan
suatu masyarakat adil dan makmur, serta dalam pelaksaanaan pembangunan nasional
khususnya di bidang ekonomi diperlukan upaya-upaya untuk antara lain terus
meningkatkan, memperluas, memantapkan dan mengamankan pasar bagi segala produk
25
26

Pokok-Pokok Isi Konvensi, Tujuan Konsvensi Pasal 1 Konvensi.


Ruang Lingkup Konvensi, Pasal 3 Konvensi.

21

baik tentang barang dan jasa. Dilihat dari kewenangan yang diberikan oleh UU Otda,
pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk
mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya.
Tujuan adanya kerjasama antara pemerintah daerah Riau dengan Malaysia, adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan khususnya dengan
membuka peluang pasar bagi hasil pertanian produk daerah setempat; serta memberikan
kemudahan bagi masyarakat daerah perbatasan khususnya dalam mendapatkan barangbarang kebutuhan pokok dan juga alat-alat yang diperlukan dalam menunjang kegiatan
industri kecil maupun pertanian.
Oleh karena itu, antara pemerintah dengan negara tetangga melakukan
persejutuan yang disebut dengan Trade Border Agreement, dimana isi dari perjanjian itu
adalah beberapa kemudahan-kemudahan, seperti ketentuan ekspor/impor, yaitu barangbarang yang diatur ekspornya, barang-barang yang diawasi ekspornya kemudian barangbarang yang dilarang ekspornya, dan mengenai tata niaga impor untuk barang-barang di
atur dan barang bebas impornya dalam perdagangan lintas batas dibebaskan tata
niaganya, kemudian membebaskan barang-barang komoditi yang diperdagangkan dari
pajak. Barang-barang yang diperdagangkan adalah hasil pertanian dan kerajinan yang
berasal dari wilayah perbatasan dan juga instansi yang berwenang memberikan dukungan
kemudahan dalam rangka perdagangan lintas batas seperti Departemen Perhubungan,
keimigrasian serta bea dan cukai. Adapun kemudahan serta dukungan dari Depertemen
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Riau dalam hal pelaksanaan perdagangan lintas
batas antara Riau dan Malaysia, yaitu membebaskan tata niaga untuk jenis
barang/komoditi yang diperdagangkan, dan membebaskan barang-barang/ komoditi yang
diperdagangakan dari pajak ekspor dan impor, serta jenis barang-barang yang
diperdagangkan adalah hasil pertanian dan kerajinan yang berasal dari daerah perbatasan
(pos lintas batas) dan barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat wilayah
perbatasan.
Namun demikian, kemudahan-kemudahan itu justru menimbulkan apa yang
disebut dengan kejahatan lintas batas (transnational border crime), seperti terorisme;
perdagangan manusia; narkoba; penyelundupan bahan bakar minyak, bahan pokok,
senjata api, berbagai barang konsumsi, hingga manusia; pembalakan liar; perambahan

22

hasil laut ilegal; penambangan ilegal; pengerukan pasir ilegal; hingga perompakan di laut.
Kawasan perbatasan Indonesia menjadi ladang subur bagi sindikat kejahatan tingkat
tinggi, seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah. Hal ini disebabkan
antara lain karena kurang efektifnya sistem pengamanan di wilayah perbatasan darat dan
perairan yang dapat menjadi peluang bagi munculnya kejahatan. Oleh karena itu,
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Transnational Organized
Crimes (UNCTOC) dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan
United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi
Perserikatan

Bangsa-Bangsa

Menentang

Tindak

Pidana

Transnasional

yang

Terorganisasi).

INDEKS
Transnasional border crime : 1;3
Trade boder agreement: 1; 3; 5; 6; 22
Kejahatan : 1; 2; 3; 4; 19; 20; 21; 22; 23.
Lintas batas : 1; 2; 3; 4; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13; 14; 19; 22
Illegal : 1; 2; 3; 8; 22
Hukum : 1; 2; 5; 6; 7; 11; 17; 20
Kriminal : 2; 3; 4; 19
Bilateral : 2; 18; 19
Multirateral : 2; 19
Konvensi : 2; 5; 20; 21; 23
Darat : 2; 3; 15; 23
Laut : 2; 3; 8; 9; 12; 15; 16; 19; 22
Indonesia : 22; 23; 24
Malaysia : 2; 3; 4; 5; 6; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13; 14; 21; 22
Riau : 5; 7; 8; 9; 10; 11; 12; 13; 21; 22; 24
Kepabeanan : 5; 6; 11; 15
Imigrasi : 2; 3; 4; 7; 9; 10; 13; 16; 17; 22; 24

23

DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin & H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006.
Abdul Syukur Ahmad, Implemetasi Otonomi Daerah: Baju Baru, Cara Lama, Center for
Strategic and International Studies, Percetakan Kanisius, Yogyakarta, 2006.
Atra Umbara, Penjelasan atas Undang Undang RI No. 10 Tahun 1915 tentang
kepabeanan, Bandung, 2007.
Muhammad Darwis Arfah, Custom, Imigration and Wuarantine, 2001
John Baylis, The Globalization of World Politics : An Introduction To International
Relation, New York : Oxford University, Press Inc, 1998.
Sumitro Maskun: Perpektif Dunia Usaha Dalam Era Otonomi Daerah, makalah dalam
Seminar sehari di selenggarakan lkatan Magister Manajemen, Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, 31 Maret 2001 di Medan
Syamsuddin Agus, Mengenal Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Makalah), Seminar Kadin-PWI
Kabupaten Bondowoso, 2000.
Koordinator keimighrasian batas wilayah hukum dan perundang undangan Riau Kesiapan
aparatur imigrasi Provinsi Riau dalam melaksanakan perdagangan antar masyarakat
perbatasan Riau dengan Malaysia tahun 2000
Undang - Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2006 Tentang Kepabean
Penjelasan UU Nomor 5 Tahun 2009 tentang engesahan United Nations Conventions
Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan bangsa-Bangsa
menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi)
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 230/MPP/Kep/7/1997 tentang
Barang Yang Diatur Tata Niaga Impornya Sebagaimana Telah Beberapa Kali
diubah terakhir dengan Kep. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
50/MPP/Kep/1/2000

24

Kepmen No. 146/MPP/KEP/4/1999 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri


Perindustrian dan Perdagangan No. 558/MPP/KEP/12/1998 tentang Ketentuan
Umum di Bidang Ekspor.
Harian Kompas, 31 Januari 2009.
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/12/02035533/perbatasan.tak.terurus
http://www.apkasi.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=112
http://www.thejakartapost.com/news/2002/02/16/ri-malaysia-tackle-transnationalcrimes.html
RI Desak Malaysia Sahkan Perjanjian Perbatasan, diakses tanggal 1 Juni 2009, dalam
http://www.kapanlagi.com/h/0000098137.html
http://www.imigrasi.go.id/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=18&I
temid=37
Tentang Penulis
Agus Budianto, SH., M.Hum, menyelesaikan magister di Atma Jaya Yogyakarta pada
tahun 2000 dan saat ini adalah dosen tetap FH UPH dengan jenjang akademik Lektor
300. Selain mengajar, saat ini penulis sedang menyelesaikan Doktor Ilmu Hukum di UPH
dan menyelesaikan kajian putusan hakim yang bekerja sama dengan Komisi Yudisial RI
untuk tahun 2009.

25

You might also like