Professional Documents
Culture Documents
54 Tahun 2010,
Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2011, dan Peraturan Presiden No. 70
Tahun 2012
dengan
Peraturan Presiden No. 172 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden No. 4
Tahun 2015
tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
NO
TOPIK
PERPRES 54/2010,
PERPRES 35/2011,
DAN PERPRES
70/2012
KETERANGAN
Perubahan yang
terjadi adalah
dasar hukum
pembentukan
LKPP.
I. DEFENISI
1.
LKKP
Lembaga Kebijakan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah yang
selanjutnya disebut
LKPP adalah lembaga
Pemerintah yang
bertugas
mengembangkan dan
merumuskan
kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa
sebagaimana
dimkasud dalam
Peraturan Presiden
Nomor 106 tahun
2007 Lembaga
Kebijakan Pengadaan
Barang/jasa
Pemerintah.
2.
Pejabat
Pengadaan
Pejabat Pengadaan
adalah personil yang
ditunjuk untuk
melaksanakan
Pengadaan Langsung.
Peranan Pejabat Pengadaan saat ini lebih diperluas yaitu dapat melakukan penunjukan
langsung hingga maksimal 200 juta dan E-Purchasing .
Tugas Pokok
dan
Kewenangan
Pejabat
Pengadaan
Pengadaan Langsung
untuk paket
Pengadaan
Barang/Pekerjaan
Konstruksi/Jasa lainnya
yang bernilai paling
tinggi Rp
200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah)
dan/atau Pengadaan
Langsung untuk Paket
Pengadaan Jasa
Konsultasi yang
bernilai paling tinggi
Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta
rupiah).
4.
Persyaratan
Sertifikat
untuk Kepala
ULP
Pengecualian
persyaratan
kepemilikan sertifikat
hanya berlaku dalam
hal Kepala ULP tidak
merangkap anggota
Kelompok Kerja ULP .
Pengecualian persyaratan
kepemilikan sertifikat hanya
berlaku dalam hal Kepala ULP
tidak merangkap anggota
Kelompok Kerja ULP/Pejabat
Pengadaan.
5.
Persyaratan
Pajak Untuk
Penyedia
6.
Belum diatur
Persyaratan pemenuhan
kewajiban perpajakan tahun
terakhir, dikecualikan untuk
Pengadaan Langsung dengan
menggunakan bukti pembelian
atas kwitansi.
Pengumuman
RUP
PA pada Pemerintah
Daerah
mengumumkan
Rencana Umum
Pengadaan
Barang/jasa secara
terbuka kepada
masyarakat luas,
setelah APBD yang
merupakan rencan
keuangan tahunan
Pemerintah Daerah
dibahas dan disetujui
bersama oleh
Pemerintah Daerah
dan DPRD.
Pengumuman RUP tidak lagi menunggu persetujuan APBD, melainkan cukup persetujuan
Ranperda APBD.
IV . METODE PEMILIHAN
8.
Penunjukan
Langsung
Ditambhakan :
Pekerjaan Pengadaan dan
Penyaluran benih unggul yang
meliputi benih padi, jagung, dan
kedelai, serta pupuk yang
9.
Penambahan ini dilakukan pada Perpres 172 Tahun 2014 yang bertujuan untuk mendukung
program Pemerintah mencapai kedaulatan pangan .
Pengadaan
Langsung Jasa
Konsultasi
Pengadaan Langsung
dapat dilakukan
terhadap Pengadaan
Jasa Konsultasi yang
memiliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Merupakan
kebutuhan
operasional
K/L/D/I; dan/atau
b. Bernilai paling
tinggi Rp
50.000.00,00
(lima puluh juta
rupiah).
Ketentuan kebutuhan opersional dihapus karena dapat berarti pengadaan langsung jasa
konsultasi dapat dilakukan berapapun nilainya selama memenuhi ketentuan opersional .
Tanda Bukti
Perjanjian
Surat Pesanan diperuntukkan khusus untuk pengadaan yang dilaksanakan secara EPurchasing dan pembelian secara online
Penggunaan
Jaminan
Pelaksanaan
Jaminan Pelaksanaan
dapat diminta PPK
kepada Penyedia Jasa
Lainnya untuk
Kontrak bernilai di
atas Rp
200.000.000,00 (dua
tus juta rupiah),
kecuali untuk
Pengadaan Jasa
Lainnya dimana aset
Penyedia sudah di
kuasai oleh
pengguna.
Penggunaan Jaminan lebih dipertegas pada metode Pemilihan dan bukan sekedar
berdasarkan nilai paket lagi. Juga apabila proses pemilihan menggunakan E-Purchasing, maka
tidak diperlukan jaminan pelaksanaan.
Waktu
Pengumuman
Pemilihan
Pengumuman
Pemilihan Penyedia
dilakukan setelah
penetapan APBD
untuk Anggaran APBD
dan setelah
persetujuan RKA untuk
APBN.
Pengumuman Pemilihan Penyedia saat ini didasarkan kepada RUP dan bukan kepada
anggaran lagi.
Pengumuman Pemilihan yang mendahului RUP dapat dilakukan untuk:
o Pengadaan Barang/Jasa yang membutuhkan waktu perencanaan dan persiapan
pelaksanaan pengadaan Barang/Jasa yang lama;
o Pekerjaan kompleks; dan/atau
o Pekerjaan rutin yang harus dipenuhi di awal tahun anggaran dan tidak boleh berhenti.
Kontrak dan
Penetapan
Anggaran
Penandatanganan
Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa dilakukan
setelah DIPA/DPA
ditetapkan.
14.
Kontrak dan
Jaminan
Pelaksanaan
Para pihak
menandatangani
Kontrak setelah
PenyediaBarang/Jasa
menyerahkan Jaminan
Pelaksanaan paling
lambat 14 (empat
belas) hari terhitung
sejak ditebitkannya
SPPBJ.
Batas waktu
penyerahan
jaminan
pelaksanaan
dihapuskan.
Waktu
Pembayaran
Pembayran prestasi
kerja kerja diberikan
kepada Penyedia
Barang/Jasa setelah
dikurangi angsuran
pengembalian Uang
Muka dan denda
apabila ada, serta
pajak.
Lebih
dipertegas
bahwa
pembayaran
berdasarkan
prestasi yang
diterima.
16.
Pembayaran
Pekerjaan
Konstruksi
Pembayaran
bulanan/termin untuk
Pekerjaan Kontruksi,
dilakukan senilai
pekerjaan yang telah
dipasang, termasuk
peralatan dan/atau
bahan yang menjadi
bagian dari hasil
pekerjaan yang akan
diserahterimakan,
sesuai dengan
ketentuan yang
terdapat dalam
kontrak.
17.
Pembayaran
Sebelum
Prestasi
Belum diatur
Contoh kegiatan yang karena sifatnya harus dilakukan pembayaran terlebih dahulu, antara
lain namu tidak terbatas pada sewa menyewa, jasa asuransi dan/atau pengambil alih resiko,
X. KEADAAN KAHAR
18.
Kategori
Keadaan Kahar
Yang dapat
digolongkan sebagai
Keadaan Kahar dalam
Kontrak Pengadaan
Barang/Jasa meliputi:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Bencana Alam
Bencana Non Alam
Bencana Sosial
Pemogokan
Kebakaran;
dan/atau
Gangguan industri
lainnya
sebagaimana
dinyatakan melalui
keputusan
bersama Menteri
Keuangan dan
Menteri Teknis
terkait.
Pengertian
keadaan kahar
yang dulunya
ada pada pasal
91 Ayat (2)
dihapus.
Kategori keadaan kahar lebih diperluas dan disesuaikan dngan ketentuan yang tercantum
dalam kontrak.
Ketentuan 50
Hari dan Tahun
Anggaran
Ketentuan ini mengikuti Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Tindak Lanjut
Pemutusan
Kontrak
Ketentuan ini memberikan kepastian terhadap pelaksanaan pekerjaan, dimana apabila terjadi
pemutusan kontrak, maka tahapan pengadaan kembali diulang melalui metode pemilihan
penyedia dalam bentuk penunjukan langsung oleh Pokja ULP.
22.
23.
Kewajiban PBJ
Secara
Elektronik
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah dapat
dilakukan secara
elektronik.
Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah dilakukan secara
elektronik.
Menghilangkan
kata dapat
pada Pasal 106
Ayat 1.
Belum diatur
Berdasarkan ketentuan yang tertuang pada Pasal 108 Ayat (3) dan (4), maka SPSE yang
digunakan adalah SPSE yang dikembangkan oleh LKPP. K/L/D/I tidak boleh menggunakan
aplikasi lain untuk pengadaan secara elektronik.
Ketentuan ETendering
Penawaran;
b. Tidak diperlukan
sanggahan kualifikasi;
c. Apabila penawaran yang
masuk kurang dari 3 (tiga)
peserta, pemilihan
penyedia dilanjutkan
dengan dilakukan negoisasi
teknis dan harga/biaya;
d. Tidak diperlukan
sanggahan banding;
e. Untuk pemilihan Penyedia
Jasa Konsultasi:
1) Daftar pendek
berjumlah 3 (tiga)
sampai 5 (lima)
Penyedia Jasa
Konsultasi;
2) Seleksi sederhana
dilakukan dengan
metode
pascakualifikasi.
24.
Percepatan
Pelaksanaan ETendering
Belum diatur
Percepatan pelaksanaan E-Tendering baru diperkenalkan pada Perpres Nomor 4 Tahun 2015
dan mempergunakan inormasi kinerja penyedia (Vendor Management System). Pemilihan
penyedia dilaksanakan terhadap data penyedia yang sudah terdapat pada sistem sehingga
tidak diperlukan evaluasi kualifikasi lagi. Demikian juga barang/jasa yang akan diadakan
sudah bersifat jelas dan tegas sehingga tidak diperlukan evaluasi administrasi dan teknis.
Persaingan hanya terjadi pada sisi harga. Sehubungan dengan hal ini, maka waktu
pelaksanaan pemilihan penyedia dapat jauh lebih singkat.
25.
Kontrak
Payung pada
E-Katalog
Dalam rangka
pengeloalaan sistem
katalog elektronik
sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1), LKPP
melaksanakan Kontrak
Payung dengan
Penyedia Barang/Jasa
untuk Barang/Jasa
tertentu.
Dihapus
26.
Kewajiban
Menggunakan
E-Purchasing
Belum diatur
27.
Pelaksana EPurchasing
Belum diatur
Kewajiban
Pelayanan
Hukum
Belum diatur
29.
Ruang Lingkup
Belum diatur
Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pengelola pengadaan
sehingga dapat melaksanakan tugasnya secara baik dan tenang. Juga untuk memastikan
bahwa K/L/D/I tetap bertanggungjawab dalam proses pengadaan barang/jasa.
31.
Pengadaan
Barang/Jasa di
Desa
Belum diatur
Menindaklanjuti UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka Desa memiliki pengaturan
pengadaan barang/jasa sendiri serta tidak tunduk kepada Perpres No.54 Tahun 2010 dan
Perubahannya. Hal ini karena sumber anggaran PBJ Desa adalah APBDes yang tidak termasuk
ruang lingkup Pasal 2 Perpres No.54 Tahun 2010 dan Perubahannya. Oleh sebab itu, setiap
Kepala Daerah wajib membuat aturan PBJ pada Desa di Wilayahnya namun tetap mengacu
kepada pedoman yang ditetapkan oleh LKPP.
Konsolidasi
Pengadaan
Belum diatur
Meski klise, tentu saja saya wajib menyampaikan permohonan maaf ini. Sudah tiga bulan lebih,
topik tentang pengadaan barang dan jasa BLUD terkatung-katung menunggu penuntasan
penulisan. Mudah-mudahan masih ingat. Saat itu saya sudah paparkan mengenai dasar regulasi
yang digunakan oleh mereka yang sampai sekarang masih berpendapat bahwa BLUD boleh dan
dapat mengatur sendiri kebijakan pengadaan barang dan jasanya tanpa harus mengacu pada
ketentuan yang berlaku umum tentang pengadaan (Pasal 100 ayat 1 Permendagri 61/2007)
dengan dua syarat: Pertama, sumber dana pengadaan berasal dari pendapatan layanan, hibah,
hasil kerja sama dengan pihak ketiga, dan lain -lain pendapatan BLUD yang sah. Kedua, harus
terdapat alasan efektifitas dan/atau efisiensi bila dibandingkan ketika harus dilaksanakan dengan
aturan umum pengadaan.
Tentu saja tesis tersebut mengharuskan kita untuk melihat lebih jauh regulasi mengenai aturan
yang berlaku umum tentang pengadaan barang/jasa sebagaimana di maksud dalam pasal 99 ayat
1 Permendagri 61/2007.
Regulasi mana yang dimaksud?
Dari logika hukum, Pasal 99 ayat 1 Permendagri 61/2007 dengan pasal 100 ayat 1 Permendagri
61/2007 sendiri justru melahirkan ambiguitas yang melahirkan kebingungan tersendiri.
Pasal 99 merekomendasikan BLUD untuk mengacu pada regulasi yang berlaku umum untuk
pengadaan barang dan jasa. Dan regulasi itu, mudah-mudahan kita sepakat adalah Perpres 54/70.
Pasal 2 Perpres 54/2010 angka 1 huruf a , menyatakan dengan tegas klausul sebagai berikut:
Ruang lingkup Perpres ini meliputi Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang
pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.
Tentu saja pencarian akan kita lanjutkan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan, apakah
yang dimaksud dengan APBD ? Dan alam telah menyediakan jawaban untuk kita. Pasal 20 ayat
1 Peraturan Pemerintah 58/2005 yang merupakan penjabaran lebih lanjut UU nomor 1/2004 ttg
perbendaharaan negara, menyatakan bahwa struktur APBD sebagai berikut:
(1) APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
a. pendapatan daerah;
b. belanja daerah; dan
c. pembiayaan daerah.
Pendapatan BLUD yang berasal dari layanan kesehatan, hibah, kerjasama denga pihak ketiga
maupun lain-lain pendapatan BLUD yang sah, pada hakikatnya adalah pendapatan daerah.
BLUD memang tidak perlu menyetor atas pendapatan ini, namun wajib melaporkannya. Pada
akhir tahun, pendapatan BLUD menjadi salah satu jenis pendapatan yang dicantumkan dalam
nota perhitungan pertanggungjawaban keuangan kepala daerah.
Maka ketika pasal 100 ayat 1 Permendagri 61/2007, membolehkan BLUD untuk mengatur
kebijakan pengadaan sendiri untuk pengadaan yang sumber dananya berasal dari pendapatan
layanan kesehatan, hibah, kerjasama III, dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah, sudah pasti
akan membingungkan pemirsa bukan? Dengan logika hukum apapun bentuknya, akan sulit
diterima pemisahan pendapatan fungsional BLUD dari cakupan pengertian APBD yang dengan
sangat gamblang telah dijelaskan oleh PP 58/2005.
Mungkin anda akan berkilah. Bukankah Permendagri 61/2007 adalah regulasi yang bersifat
khusus untuk BLUD? Boleh dong ia bertentangan dengan aturan lain. Tentu saja pendapat
macam ini boleh-boleh saja. Namun harus diterapkan secara konsisten.
Dalam dasar-dasar ilmu hukum dikenal kaidah Lex specialis derogat legi lex generalis . Aturan
hukum yang bersifat lebih khusus, mengalahkan aturan hukum yang bersifat lebih umum. Maka
suatu aturan yang meskipun derajatnya lebih rendah , namun ia dimaksudkan untuk mengatur
secara khusus suatu hal, diperbolehkan bertentangan dengan aturan lain yang lebih tinggi, yang
secara umum mengatur tentang suatu hal yang dipermasalahkan tersebut. Dari sisi ini,
Permendagri 61/2007 memang regulasi yang bersifat khusus. Mengatur secara detail tentang
BLUD. Namun harus diingat, Perpres 54/70 adalah regulasi yang bersifat khusus juga, yaitu
khusus mengatur tentang pengadaan barang dan jasa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua
regulasi ini, yang sama-sama bersifat khusus, satu mengatur BLUD, satu lagi mengatur
pengadaan barang/jasa, ternyata saling bertentangan. Apa yang harus kita lakukan?
Ternyata masih ada kaidah hukum lainnya. Lex Superior derogat legi lex Inferior. Bahasa
planet Pluto ini kalo diterjemahkan secara bebas , akan berbunyi:
Bila terdapat pertentangan antara dua regulasi yang sama-sama mengatur hal yang khusus, maka
regulasi yang digunakan adalah regulasi yang mempunyai kedudukan lebih tinggi.
Perpres tentu saja lebih tinggi dari Permendagri. Mana yang akan kita gunakan?
Maka anda yang masih keukeh untuk tetap membuat kebijakan pengadaan sendiri akan berkilah,
Kalo dengan aturan sendiri kan lebih efisien dan efektif bos!
Nah ini dia!
Pada saat Permendagri 61/2007 diterbitkan, regulasi pengadaan barang/jasa yang berlaku adalah
Keppres 80 tahun 2003. Para praktisi rumah sakit tentu sepakat, sulit bagi rumah sakit saat itu
untuk melakukan pengadaan obat secara efisien dan efektif bila harus menerapkan pasal demi
pasal Keppres 80/2003. Ada jeda kekosongan obat yang timbul akibat proses dan administrasi
pengadaan yang berliku. Tentu saja pelayanan kesehatan terutama penyediaan obat pasien
terganggu. Akhirnya ditempuh jalan pintas yang masuk akal. Kebanyakan rumah sakit
mengakalinya dengan mendirikan depo farmasi yang dikelola laiknya koperasi karyawan.
Dengan melakukan pengadaan obat ke PBF secara langsung. Sangat fleksibel dan cepat. Hanya
via telepon, obat datang dengan cepat, lalu bayar bulan berikutnya.
Praktik macam ini , meskipun bertentangan dengan klausul Keppres 80/2003 namun telah
menjadi tradisi rumah sakit. Meskipun efisien dan terbukti efektif, kebanyakan rumah sakit tidak
siap dengan infra struktur untuk mengendalikan pengelolaan obat oleh apotik karyawan ini.
Sehingga ditengarai menjadi ladang bisnis baru. Bahkan menjadi ATM baru untuk membiayai
pengeluaran rumah sakit yang tidak ada anggarannya. Sumber dana taktis yang tak pernah ada
habisnya.
Para penyelenggara negara bukannya tidak melihat praktik semacam ini. Namun mereka tak bisa
memberikan solusi. Syukurlah pemerintah menerbitkan Perpres 54/2010 sebagai pengganti
Keppres 80/2003. Tidak cukup dengan itu, pemerintah bahkan memperbaharuinya dengan
Perpres 70/2012. Lengkap sudah. Sehingga para pengelola BLUD harus berpikir keras untuk
menyiapkan alasan efektifitas dan efisiensi , bila mereka tetap meneruskan tradisi lama
pengadaan obat di lingkungan rumah sakit .
Tak ada celah untuk itu. Apalagi ketiga institusi pemerintah: LKPP, Kementerian kesehatan, dan
Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan peraturan khusus untuk pengadaan obat. Rumah
sakit makin tak berkutik. Mau tidak mau , ia harus menerapkan pasal-pasal Perpres 54/70 untuk
semua pengadaan barang dan jasa di lingkungan rumah sakit. Tak bisa lagi berlindung dengan
alasan efektifitas dan efisiensi. Apalagi LKPP sudah menantang secara terbuka,Tunjukkan pada
kami, mana pasal-pasal pengadaan barang dalam perpres 54/70 , yang menurut anda (rumah
sakit) tidak efektif dan efisien, kami akan buatkan kebijakan khusus untuk anda!.
Salam melayani dan tetap Semangat..!
Sumber gambar : http://www.mappijatim.or.id/wp-content/uploads/2012/08/lelang-properti.jpg