You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN
Intensive Care Unit (ICU) adalah tempat atau unit tersendiri di
dalam rumah sakit yang menangani pasien kritis karena penyakit, trauma
atau komplikasi lain yang memfokuskan diri dalam bidang life support
atau organ support yang kerap membutuhkan pemantauan intensif.
Movement disorders atau gangguan gerakan merupakan
sekelompok penyakit sistem saraf pusat dan kondisi neurologis yang
mempengaruhi kecepatan, kelancaran, kualitas, dan kemudahan dalam
pergerakan. (Swierzewski, 2000).

Ada tiga tipe dari gangguan gerak yang paling sering

ditemukan di ICU: (a) gerakan involunter (misal: kejang), (b)


kelemahan atau gerakan tidak efektif (misal: kelemahan
neuromuskular), dan (c) ketiadaan gerakan (misal: paralisis
karena obat) (Marino, 2014). Ketiga tipe gangguan gerak
tersebut mempunyai komplikasi yang dapat menyebabkan
kegawatdaruratan

yang

mengancam

nyawa

antara

lain

kegagalan pernafasan. Oleh karena itu penting bagi kita untuk


mengetahui ciri-ciri dan penatalaksanaan dari ketiganya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kejang
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan

muatan listrik otak yang berlebihan (betz dan Snowden, 2002).


Kejang merupakan komplikasi neurologis kedua terbanyak setelah
ensefalopati metabolik pada pasien dengan penyakit kritis. Insidensi
onset baru kejang pada pasien ICU adalah 0,8-3,5% (Marino, 2014).
1.1. Klasifikasi Kejang
Kejang diklasifikasikan berdasarkan luasnya otak yang terlibat
(kejang umum dan kejang fokal), ada atau tidaknya gerakan
abnormal (kejang konvulsif dan non-kompulsif), dan tipe
gerakan abnormal (tonik klonik, mioklonik) (Marino, 2014).
1.1.1. Kejang umum
Kejang umum timbul dari pelepasan muatan listrik yang
sinkron dan ritmik yang hampir melibatkan seluruh
bagian dari korteks serebri, dan selalu diasosiasikan
dengan hilangnya kesadaran (Marino, 2014). Berikut
adalah contoh kejang umum:
Kejang atonik: menyebabkan kehilangan tonus
otot secara singkat sehingga dapat menyebabkan

jatuh.
Absence seizure (petit-mal seizure): Kejang ini
biasanya berlangsung singkat (>10 detik) dan
diasosiasikan

dengan

perubahan

yang

tidak

menonjol pada tonus otot


Kejang umum tonik-klonik (grand-mal seizure):
didahului oleh fase tonik, yang diasosiasikan
dengan apnea dan sianosis, dan diikuti oleh fase
klonik.(Lowenstein, 2008).

1.1.2. Kejang Fokal


Kejang fokal dapat timbul dari pelepasan muatan listrik
yang bersifat menyebar atau lokal di suatu bagian otak,
dan manifestasi klinisnya bervariasi, namun dapat
memiliki kesamaan yaitu didahului oleh aura, dan dapat

disertai dengan automatisme. Contoh kejang fokal


berikut:
Kejang

fokal

simplex:

kejang

ini

dapat

menyebabkan gejala motorik, sensorik, autonomik


atau

psikis

tanpa

mengganggu

kesadaran

(Lowenstein, 2008).
Kejang fokal kompleks; kejang nonconvulsive
yang bermanifestasi perubahan perilaku (Marino,
2014). Manifestasi yang khas adalah pasien yang
sadar tetapi tidak menyadari lingkungan. Pasien
tidak dapat merespon perintah verbal atau visual
selama kejang. (Lowenstein, 2008).

1.1.3. Mioklonus
Mioklonus ditandai dengan jerking movement yang dapat
terjadi secara spontan, atau ketika terdapat rangsang
seperti nyeri atau suara keras. Gerakan-gerakan ini dapat
terlihat di setiap jenis ensefalopati (metabolik, iskemik).
Pada pasien yang tidak terbangun dalam waktu satu jam
setelah

cardiac

arrest,

adanya

mioklonus

yang

berlangsung lebih dari 24 jam memiliki prognosis buruk


untuk pemulihan neurologis. Mioklonus tidak universal
dianggap sebagai kejang karena tidak terkait dengan
pelepasan muatan listrik berirama pada EEG (Marino,
2014).
1.1.4. Status Epileptikus
Status epileptikus secara tradisional didefinisikan sebagai
kejang lebih dari 30 menit, atau kejang berulang tanpa
periode pemulihan. Karena umumnya kejang konvulsif
tidak mungkin untuk berhenti setelah 5 menit, maka
terdapat usulan definisi baru untuk status epileptikus yaitu

kejang terus menerus selama 5 menit, atau dua episode


kejang tanpa periode sadar. Status epileptikus dapat
melibatkan berbagai jenis kejang, dan dapat "konvulsif"
(terkait dengan gerakan tubuh yang abnormal) atau "nonkonvulsif" (tidak terkait dengan gerakan tubuh yang
abnormal (Marino, 2014).
1.1.4.1. Konvulsif Status Epileptikun
Adalah bentuk terbanyak darui status epileptikus.
Walaupun dengan terapi, angka mortalitas tipe ini
mencapai 20-27%. Setelah sekitar 30 menit,
konvulsif status epileptikus dapat menjadi non
konvulsif status epileptikus (Marino 2007).
1.1.4.2. Nonkonvulsif Status Epileptikus
Sebagian
besar
kasus
status

epileptikus

nonkonvulsif melibatkan kejang fokal kompleks


(jarang pada pasien ICU), tetapi sebanyak 25% dari
kejang umum dapat nonkonvulsif. Generalized
nonconvulsive

status

epilepticus

juga

dikenal

sebagai subtle status epilepticus, dan biasanya


terjadi

ketika

kejang

umum

konvulsif

tidak

ditangani dengan baik. Kejang ini diasosiasikan


dengan hilangnya kesadaran, dan kejang ini adalah
sumber dari unexplainned coma di ICU. Dalam satu
studi, kejang umum nonkonvulsif menyebabkan 8%
dari kasus koma di ICU pasien. Diagnosis
memerlukan bukti pelepasan epileptiform pada EEG
(Marino, 2014).
1.2. Predisposisi
Berbagai kondisi dapat menimbulkan kejang pada pasien dengan
sakit kritis, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam satu
survei mengenai kejang dengan onset baru di ICU, kondisi

predisposisi yang paling umum adalah keracunan obat,


pemutusan obat, dan kelainan metabolik (Marino, 2014)

Gambar 1: Predisposisi kejang pada pasien ICU


1.3. Manajemen Akut
Manajemen akut yang akan dijelaskan berkaitan dengan status
epileptikus generalisata, baik kejang konvulsif dan nonkonvulsif.
1.3.1. Obat lini pertama
Obat-obatan yang paling efektif untuk penghentian cepat
kejang umum adalah benzodiazepin, yang mengakhiri 6580% kejang konvulsif dalam waktu 2-3 menit.
Lorazepam: lorazepam intravena (4 mg IV selama 2
menit) adalah rejimen obat pilihan untuk mengakhiri
GSE. Onset kerja kurang dari dua menit, dan efeknya
berlangsung selama 12-24 jam.
Midazolam: Keuntungan midazolam adalah serapannya
cepat ketika diberikan secara injeksi intramuskular (IM).
Ketika akses intravena tidak tersedia, midazolam dapat
diberikan IM dalam dosis 10 mg, dan keberhasilan dalam
mengakhiri GSE setara dengan IV lorazepam. Jika waktu
untuk membuat akses intravena cukup lama, IM
midazolam menghasilkan penekanan lebih cepat untuk
kejang

(3-4

menit)

dibandingkan

IV

lorazepam.

Pendekatan ini cocok untuk kontrol pra-rumah sakit


pasien GSE.
1.3.2. Obat lini kedua
Obat yang digunakan untuk kejang menetap setelah
pemberian benzodiazepin, atau kambuh dalam waktu 24
jam. Drug of choice untuk tahap ini adalah fenitoin
Phenitoin: Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg / kgBB IV,
dengan dosis kedua 10 mg/kgBB IV, jika perlu. Fenitoin
tidak dapat diberikan pada kecepatan di atas 50 mg /
menit karena risiko depresi jantung dan hipotensi. Ini
berarti bahwa, untuk 70 kg dewasa, dosis awal fenitoin
(20 mg / kg) akan membutuhkan 30 menit untuk
menyelesaikan, dan ini adalah kelemahan ketika GSE
belum ditangai. Depresi jantung disebabkan oleh propilen
glikol, yang digunakan sebagai pelarut IV fenitoin
Fosphenitoin: Fosphenytoin adalah fenitoin analog yang
larut dalam air yang mempunyai efek samping depresi
jantung

lebih

rendah

dari

fenitoin

karena

tidak

mengandung propylene glycol. Sehingga, fosphenytoin


dapat diberikan tiga kali lebih cepat dari fenitoin (150
mg / menit vs 50 mg / menit). Fosphenytoin adalah
prodrug yang harus dikonversi ke fenitoin dan diberikan
dalam dosis yang sama seperti fenitoin
1.3.3. Obat lini ketiga
Sekitar 10% pasien dengan GSE tidak bisa ditangani
menggunakan obat tahap 1 dan 2. Pada tahap ini obat
yang dianjurkan adalah dosis anestesi salah satu obat pada
gambar 2. (Marino, 2014)

Gambar 2: Obat tahap 3

Gambar 3: Algoritma penatalaksanaan GSE


2. Sindrom Kelemahan Neuromuskular
2.1. Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang
diakibatkan oleh antibodi yang mendestruksi reseptor asetilkolin
pada bagian post sinaps di neuromuscular junction
2.1.1. Predisposisi
MG bisa dipicu oleh operasi besar atau bersamaan dengan
penyakit. Tumor timus berhubungan untuk 20% dari
kasus, dan hipertiroidisme adalah penyebab di 5% kasus.
Beberapa obat terutama antibiotik (aminoglikosida,
ciprofloxacin) dan obat-obatan jantung (misalnya, betaadrenergik, lidokain, procainmide, quinidine) dapat
memicu atau memperburuk MG (Marino, 2014).
2.1.2. Manifestasi Klinis

Kelemahan otot pada MG memiliki ciri khas seperti


berikut:
Kelemahan otot diperburuk dengan aktivitas dan
membaik dengan istirahat.
Kelemahan pertama kali terlihat pada kelopak mata
dan otot ekstraokular, dan kelemahan ekstremitas
mengikuti pada 85% kasus
Kelemahan otot yang progresif biasanya mengenai
dinding dada dan diafragma, hal ini mengakibatkan
progresi ke arah gagal nafas, biasanya disebut
dengan myasthenia crisis, yang terjadi pada 1520% pasien.
Bagian yang terganggu adalah murni motor dan
reflex tendon dalam tetap ada (Marino, 2014).
2.1.3. Diagnosis
Diagnosis MG bila terdapat kelemahan di kelopak mata
dan

otot

ekstraokular

yang

memburuk

dengan

penggunaan berulang. Diagnosa pasti MG jika (a) Terjadi


peninggkatan

kekuatan

otot

setelah

pemberian

edrophonium (tensilon), sebuah zat yang inhibitor dari


asetilkolinesterase dan (b) Terdapat assay positif dari
antibodi reseptor asetilkolin (85% pasien MG) (Marino,
2014).

2.1.4. Tatalaksana
Terapi

lini

pertama

adalah

inhibitor

acetylcholinesterase, pyridostigmine (Mestinon), yang


dimulai pada dosis oral 60 mg setiap 6 jam, dan dapat
ditingkatkan sampai 120 mg setiap 6 jam. Pyridostigmine
dapat diberikan secara intravena untuk mengobati krisis
miastenia: dosis IV adalah 1/30 dari dosis oral
Imunoterapi dapat ditambahkan jika diperlukan,
baik menggunakan prednison (1-1,5 mg/kgBB/hari),

azathioprine (1-3 mg / kg / hari), atau siklosporin (2,5


mg / kg dua kali sehari). Untuk mengurangi kebutuhan
untuk terapi imunosupresif jangka panjang, thymectomy
bedah sering disarankan pada pasien di bawah usia 60
tahun.
Dalam kasus khusus yang membutuhkan ventilasi
mekanis, seperti pada Myasthenia krisis. Penyebab utama
dari myasthenia crisis adalah infeksi. Hal ini harus diobati
segera, karena diasumsikan pasien dalam keadaan
imunokompromis. Pengobatan antibiotik yang cepat dan
efektif serta bantuan pernafasan adalah hal yang penting
(Lowenstein, 2008). Terdapat dua pilihan tatalaksana: (a)
plasmapheresis untuk membersihkan antibodi patologis
dari aliran darah, atau (b) pemberian imunoglobulin G ( 2
gm / kg / hari IV selama 2-5 hari) untuk menetralisir
antibodi patologis. Kedua pendekatan sama-sama efektif,
tetapi plasmapheresis memiliki respon yang lebih cepat
(Marino, 2014).

2.2. Sindrom Guillain-Barre


Sindrom Guillain-Barre

adalah

inflamasi

subakut

yang

menyebabkan demielinasisasi polineuropati dan biasanya terjadi


setelah akut infeksi. Agen infeksi terbanyak yang diasosiasikan
dengan sindrom guillain-barre adalah Campylobacter jejuni dan
cytoegalovirus (Marino, 2007). Diduga penyebabnya adalah
sistem imun (Marino, 2014).
2.2.1. Patogenesis
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau
faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi
akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
yang terjadi pada sindrom ini adalah melalui mekanisme

10

imun. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan


mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindrom ini adalah:
Didapatkannya antibodi atau adanya respon
kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf
tepi
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen
antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf

tepi

yang

menimbulkan

demyelinisasi saraf tepi


Proses demielinisasi saraf

tepi

proses

pada

GBS

dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas


humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya,
yang paling sering adalah infeksi virus.
Peran Imunitas Seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang
peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam
cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon
imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi, antigen harus
dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag.
Makrofag

yang

telah

menelan

(fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan


imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC).
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limfosit
T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif
karena

aktivasi

marker

dan

pelepasan

interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNF-

substansi

11

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM)


yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan
berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat
merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF
dan komplemen (Ropper, 2005).

Gambar 4:
Patogenesis GBS

2.2.2. Manifestasi Klinis


Manifestasi Klinis dari sindrom Guillain-Barr adalah
parestesia

dan

kelemahan

tungkai

simetris

yang

berkembang selama beberapa hari sampai beberapa


minggu. Perkembangan kearah gagal napas terjadi pada
25% kasus, dan ketidakstabilan otonom dapat terjadi pada
kasus lanjut. Kondisi ini sembuh secara spontan pada
sekitar 80% kasus, tetapi kebanyakan pasien memiliki
gejala sisa defisit neurologis (Marino, 2014).
2.2.3. Diagnosis
Diagnosis

sindrom

Guillain-Barr

didasarkan

pada

presentasi klinis (parestesia dan kelemahan ekstremitas


simetris), pemeriksaan konduksi saraf (melambat karena
demielinisasi), dan analisis cairan serebrospinal (protein
meningkat dalam 80% kasus) (Marino, 2014).
2.2.4. Tatalaksana

12

Pengobatan

sebagian

besar

hanya

sebagai

suportif, namun pada kasus lanjut dengan kegagalan


pernafasan, plasmapharesis atau imunoglobulin intravena
G (0,4 g / kg / hari selama 5 hari) sama-sama efektif
dalam

memproduksi

perbaikan

jangka

pendek.

Immunoglobulin G sering disukai karena lebih mudah


untuk melaksanakan (Marino, 2014).
2.3. Critical Illness Neuromyopathy
Critical illness polyneuropathy (CIP) dan critical illness
myopathy (CIM) adalah gangguan sekunder, dan biasanya
bersamaan dengan sepsis berat dan kondisi lain yang terkait
dengan peradangan sistemik progresif. Gangguan ini sering
terjadi bersamaan pada pasien yang sama, dan menjadi jelas
ketika pasien gagal untuk berhenti memakai ventilasi mekanis
(Marino, 2014).

2.3.1. Patogenesis
CIP adalah neuropati sensorik dan motorik aksonal difus
yang ditemukan pada setidaknya 50% dari pasien dengan
sepsis berat dan syok septik. Memiliki Onset bervariasi,
terjadi dari 2 hari sampai beberapa minggu setelah onset
episode septik. CIP dianggap neuropati perifer yang
paling umum pada pasien sakit kritis. CIM adalah miopati
inflamasi difus yang melibatkan kedua tungkai dan otot
trunkal. Kondisi predisposisi termasuk sepsis berat dan
syok septik, dan waktu pemulihan yang lama dari
paralisis neuromuskular akibat induksi obat, terutama bila
dikombinasikan dengan terapi kortikosteroid. CIM juga
telah dilaporkan pada sepertiga pasien dengan status
asmatikus yang diobati dengan kortikosteroid dosis tinggi
(Marino, 2014).

2.3.2. Manifestasi Klinis

13

Seperti hanya disebutkan, CIP dan CIM sering tidak


terdeteksi sampai ada kegagalan yant tidak terjelaskan
ketika menghentikan ventilasi mekanik dari pasien. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan quadriparesis dengan hiporefleksia

atau

arefleksia.

Diagnosis

CIP

dapat

dikonfirmasi oleh pemeriksaan konduksi saraf (yang


menunjukkan konduksi melambat dalam serat sensorik
dan motorik) dan diagnosis CIM dapat dikonfirmasi oleh
elektromiografi (yang menunjukkan perubahan miopati)
dan oleh biopsi otot (yang menunjukkan atrofi , hilangnya
filamen myosin, dan infiltrasi inflamasi (Marino, 2014).
2.3.3. Tatalaksama
Tidak ada tatalaksana untuk CIP dan CIM.
Penyembuhan sempurna terjadi pada 50% pasien, tetapi
masa penyembuhan dapat mencapai berbulan-bulan
(Marino, 2014).

3. Paralisis Diinduksi obat


Paralisis diinduksi obat digunakan pada situasi: (a) untuk
memfasilitasi intubasi endotrakeal, (b) untuk mencegah pasien
menggigil selama diinduksi hipotermia (dalam koma henti jantung),
dan (c) untuk memfasilitasi ventilasi mekanis pada pasien agitasi.
Agen penghambat neuromuskular bekerja dengan mengikat reseptor
asetilkolin di sisi postsynaptic dari taut neuromuskuler. Setelah
terikat, terdapat dua cara kerjanya yaitu: (a) agen depolarizing
bertindak

seperti

asetilkolin

dan

menghasilkan

depolarisasi

berkelanjutan dari membran postsinaps, sehingga memblok kontraksi


otot selanjutnya (Marino, 2007), dan (b) agen non-depolarisasi
bertindak dengan menghambat depolarisasi membran postsinaps
(Marino, 2014).

3.1. Klasifikasi agen neuromuskular bloker

14

Agen neuromuskular bloker dibagi menjadi 2 yaitu depolarisasi


dan nondepolarisasi.
1)

Depolarisasi
Golongan obat yang menimbulkan depolarisasi

pelumpuh otot menyerupai asetilkolin (Ach) sehngga


akan terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan
potensial aksi dari otot skeletal karena terbukanya kanal
natrium.
langsung

Namun

tidak

dimetabolisme

seperti
oleh

ACh

obat

asetilkolin

ini

tidak

esterase,

sehingga konsentrasinya di celah sinap akan menetap


lebih

lama

yang

akan

menghasilkan

pemanjangan

depolarisasi dari lempeng pertemuan otot skeletal.


Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan
otot skeletal ini akan menyebabkan potensial aksi pada
membran otot, yang akan membuka kanal sodium dalam
waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak
dapat terbuka kembali sebelum terjadi repolarisasi dari
lempeng motorik, yang disini tidak juga akan terjadi
sebelum

obat

yang

menyebabkan

depolarisasi

meninggalkan reseptor yang didudukinya. Sementara itu


setelah kanal sodium di peri junctional tertutup, otot
akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut
sampai obat golongan ini dihidrolisis oleh enzim pseudo
cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati.
Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang
singkat sehingga tidak dibutuhkan obatspesifik untuk
melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi
ini (Katzung, 2009).
2)

Non-depolarisasi
Pelumpuh otot Non-depolarisasi bekerja sebagai

kompetitif

antagonis.

Sebagai

contoh

pada kondisi

15

dimana berhubungan dengan sedikit reseptor ACh (down


regulasi pada myasthenia gravis) menunjukan resistensi
pada relaksan yang depolarisasi sedang sensitivitas
meningkan pada pelumpuh otot yang nondepolarisasi.
Obat golongan non-depolarisasi terikat juga pada
reseptor ACh namun tidak menyebabkan terbukanya
kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot
skeletal,

karena

tidak

timbul

potensial

aksi

pada

lempeng akhir motorik. Obat golongan ini akan menetap


pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium)
sampai

terjadi

redistribusi,

metabolisme

ataupun

eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat juga dengan


pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat
ini.

Cara

melawannya

dengan

menekan

fungsi

asetilkolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi


ACh,

untuk

reseptor

dapat

ACh

ditimbulkan

dan
oleh

berkompetisi

dalam

menghilangkan
obat

golongan

efek

menduduki
blok

yang

non-depolarisasi

(Katzung, 2009).

3.2. Obat yang biasa digunakan


3.2.1. Succinylcholine
Suksinilkolin adalah agen depolarisasi dengan
onset cepat (60-90 detik) dan waktu pemulihan yang cepat
(10-12 menit). Karena alasan ini, succinylcholine
digunakan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal
(Marino, 2014). Dosis intubasi suksinilkolin dewasa

biasanya 1 2 mg/kg intravena,suksinilkolin sebaiknya


disimpan di lemari es ( 2 8C), dan sebaiknya digunakan
dala 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es (Katzung,
2009).
Suksinilkolin

menginduksi

depolarisasi

otot

rangka dengan cara mempromosikan efflux kalium dari


sel-sel otot. Hal ini dapat dikaitkan dengan peningkatan

16

kalium serum sebesar 0,5 mEq / L, tetapi efek ini bersifat


sementara dan tanpa konsekuensi. Namun, hiperkalemia
dapat terjadi ketika succinylcholine diberikan kepada
pasien dengan otot rangka mengalami "cidera denervasi"
(misalnya, cedera kepala atau cedera tulang belakang),
atau pasien dengan rhabdomiolisis, luka bakar, atau
imobilitas

kronis. Akibatnya,

succinylcholine

tidak

disarankan untuk pasien dengan kondisi ini (Marino,


2014).

3.2.2. Rocuronium
Rocuronium adalah pelumpuh otot non-depolarisasi
(inhibitor kompetitif) yang berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik,
depolarisasi,

tetapi

hanya

tidak

menyebabkan

menghalangi

asetilkolin

menempatinya, sehingga asetil kolin tidak dapat bekerja.


Rocuronium adalah penghambat dengan onset cepat (1,53 menit) dan waktu pemulihan menengah (30-40 menit).
Karena onset kerja yang cepat, rocuronium dapat
digunakan

untuk

intubasi

endotrakeal

ketika

succinylcholine tidak disarankan. Namun, dosis yang


lebih besar (1 mg / kg) diperlukan untuk intubasi, dan ini
akan memperpanjang waktu pemulihan. Rocuronium
dapat diinfus dengan kecepatan 5-10 ug / kg / menit untuk
memperpanjang

paralisis

neuromuskuler.

Obat

ini

ditoleransi dengan baik, dan tidak memiliki efek samping


kardiovaskular (Marino, 2014).

3.2.3. Cisatracurium
Cisatracurium adalah agen non-depolarisasi dengan onset
kerja lama (5-7 menit) dan waktu pemulihan menengah.
Ini adalah isomer dari atrakurium, dan dikembangkan

17

untuk mencegah pelepasan histamin terkait dengan


atracurium. Cisatracurium dapat diinfus dengan laju 2-5
mg / kg / menit untuk memperpanjang masa paralisis
neuromuskuler dan obat ini cocok untuk pasien ICU
karena kadar pada darah tidak dipengaruhi oleh disfungsi
ginjal atau hati (Marino, 2014).

Gambar 5: perbandingan beberapa agen neuromuskular bloker

3.2.4. Pemantauan
Metode standar pemantauan paralisis diinduksi obat
adalah memberikan empat rangkaian arus listrik frekuensi
rendah (2 Hz) di nervus ulnaris bagianlengan bawah dan
mengamati adduksi jempol. Ketiadaan total aduksi jempol
merupakan

bukti

blok

berlebihan.

Tujuan

yang

diharapkan adalah adanya 1 atau 2 kedutan jelas, dan


infus obat disesuaikan untuk mencapai bahwa titik akhir
(Marino, 2014).

3.2.5. Menghindari Obat pelumpuh Otot


Terjaga ketika paralisis adalah pengalaman mengerikan
dan menyakitkan dan sangat penting untuk menjaga
pasien tedap dalam pengaruh obat sedatif pada waktu
mereka

paralisis.

Namun,

tidak

mungkin

untuk

mengevaluasi kecukupan sedasi atau mengendalikan rasa


nyeri saat seorang pasien lumpuh. Ketidakmampuan
untuk memastikan sedasi memadai dan nyeri terkontrol
adalah alasan utama untuk menghindari kelumpuhan
akibat obat bila memungkinkan. Menghindari paralisis
neuromuskuler periode lama juga akan mengurangi risiko

18

komplikasi berikut: (a) Critical illness myopathy (b)


"Hypostatic" pneumonia (dari kumpulan sekresi nafas
pada paru-paru dependen ) (c) tromboemboli vena (dari
imobilisasi

berkepanjangan)

(d)

Ulkus

(juga

dari

imobilisasi lama) (Marino, 2014).

BAB III
KESIMPULAN
1.

Terdapat tiga tipe gangguan gerak yang paling sering ditemukan di


ICU yaitu: gerakan involunter (kejang), kelemahan (Myasthenia

2.

gravis, GBS), dan paralisis karena induksi obat.


Ketiga tipe gangguan gerak tersebut dapat mengancam nyawa
pasien karenanya kesigapan medis diperlukan untuk mengenalinya

19

3.

Kejang terjadi karena adanya pelepasan muatan listrik di otak yang


tidak

terkontrol.

Penatalaksanaan

awalnya

adalah

dengan

4.

benzodiazepin.
Myasthenia gravis adalah penyakit kelemahan otot karena autoimun.

5.

Terapi lini pertamanya adalah asetilkolinesterase inhibitor.


GBS merupakan sindrom yang timbul karena demielinisai sel saraf.
Terapi biasanya hanya suportif namun, jika diperlukan dapat

6.

diberikan plasmapharesis atau Ig G.


CIP dan CIM merupakan penyakit neuromiopati yang diduga ada
hubungannya

7.

dengna

penyakit

kritis

seperti

sepsis

berat.

Penatalaksanaannya hanya suportif.


Agen neuromuskular bloker sedapat mungkin dihindari dan jika
diperlukan tidak diberikan dalam waktu yang lama dan dalam dosis
yang diperhitungkan karena dapat menimbulkan berbagai masalah.

You might also like