You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Depkes, 2000, Kejadian Luar Biasa adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis dalam kurun waktu dan daerah tertentu Suatu penyakit atau
keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Timbulnya suatu penyakit/penyakit menular yang sebelumnya tidak
ada/tidak dikenal.
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun
waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, bulan,
tahun).
3. Peningkatan

kejadian

penyakit/kematian,

dua

kali

atau

lebih

dibandingkan dengan periode sebelumnya (hari, minggu, bulan, tahun).


4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali
lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam
tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua
kali lipat atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari
tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR
dari periode sebelumnya.

7. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu


menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama
dan kurun waktu atau tahun sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : kolera, DHF/DSS
Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah
endemis).Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4
minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang
bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :
a. Keracunan makanan
b. Keracunan pestisida
Dari 3 data penyakit insidens penyakit terbanyak di Puskesmas Mawar
tahun 2014 yaitu ISPA, Diare, Buta senja.Dimana yang termasuk dalam
kriteria KLB adalahbuta senja. Penyakit ini dipilih karena dari data diatas buta
senja

mengalami

peningkatan

kejadian

penyakit/kematian,

dua

kali

dibandingkan dengan periode sebelumnya (hari, minggu, bulan, tahun).


Buta senja, yang sering disebut juga sebagai rabun ayam atau
Nyctalopia, merupakan kelainan pada mata yang terjadi akibat kekurangan
vitamin A. Buta senja disebabkan oleh rusaknya sel retina yang semestinya
bekerja pada lingkungan minim cahaya. Pada penderita buta senja, sel pada
retina dapat menjadi rusak karena kekurangan vitamin A, namun dapat pula
diakibatkan oleh mata minus, katarak, retinis pigmentosa, obat-obatan, atau
bawaan sejak lahir. Maka, dapat dikatakan bahwa rabun senja merupakan
suatu gejala klinis tahap awal akibat kekurangan vitamin A.
2

Pada sel batang di retina mata terdapat rhodopsin atau visual purple
(pigmen ungu) yang mengandung vitamin A yang terikat pada protein. Pada
mata normal, apabila menerima cahaya, rodopsin akan terkonversi menjadi
visual yellow dan kemudian menjadi visual white. Konversi ini membutuhkan
vitamin A. Regenerasi visual purple hanya akan terjadi apabila tersedia
vitamin A yang cukup. Tanpa regenerasi, maka pengelihatan mata pada cahaya
remang akan terganggu. Oleh karena itu, apabila kekurangan vitamin A, maka
mata akan sulit melihat ketika berada di lingkungan kurang cahaya.
Pada sistim pengelihatan, ada tiga macam pengelihatan, yakni
pengelihatan photopic, pengelihatan mesopic, dan pengelihatan scotopic.
Pengelihatan photopic adalah pengelihatan pada kondisi lingkungan yang
banyak cahaya sehingga sel kerucut bekerja maksimal. Tiga jenis sel kerucut,
yakni hijau, biru, dan merah, bekerja menghasilkan persepsi warna di tempat
terang. Pengelihatan mesopic adalah ketika sel batang dan sel kerucut bekerja
secara bersamaan untuk menghasilkan persepsi warna. Pada keadaan ini,
lingkungan tetap memiliki kadar cahaya namun kurang, seperti pada saat
matahari akan terbenam. Sedangkan pengelihatan scotopic adalah pada saat
lingkungan benar-benar kurang cahaya, seperti pada saat malam hari ketika
hanya disinari oleh bulan.Pada keadaan ini, hanya sel batang yang bekerja dan
tidak ada lagi warna yang dapat dilihat.

Penderita buta senja memiliki kesulitan untuk melihat pada saat hari
sudah senja (keadaan penglihatan mesopic) dan di lingkungan yang kurang
cahaya (keadaan penglihatan scotopic).
Buta senja adalah penyakit gizi yang sudah sejak lama diketahui akan
tetapi tetap menjadi masalah yang besar bagi bidang kesehatan masyarakat,
terutama gizi. Penyakit ini biasa terjadi pada masyarakat miskin yang
mengalami kekurangan gizi.
Kelainan pada mata ini dapat dikatakan sebagai fenomena Gunung
Es, di mana kasus yang nampak di permukaan hanya sedikit, sedangkan
kasus kurang vitamin A (KVA) di masyarakat sangat banyak.
Buta senja merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dengan
mudah, yaitu dengan memberikan vitamin A bagi penderita. Akan tetapi
penyakit ini dapat menjadi berbahaya bahkan menyebabkan kebutaan jika
dibiarkan berlarut-larut. Jika defisiensi vitamin A dibiarkan berkepanjangan
dapat menyebabkan keratomalasia dan xeroftalmia.
Ada 63.000 kasus baru penyakit mata akibat kurang vitamin A yang
menjangkit anak-anak usia pra-sekolah di Indonesia tiap tahunnya. Bahkan
jika di total dengan Bangladesh, India dan Filipina terjadi hampir 400.000
sampai 500.000 kasus xeroftalmia pada kornea. Dan hampir sekitar 5 juta
anak mengalami xeroftalmia di luar kornea mata.

B. Rumusan masalah
4

Bagaimana cara dalam mencegah dan menanggulangi KLB Buta Senja?


C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk dapat menurunkan angka kejadian dan menanggulangi KLB ( Buta
Senja ) dalam jangka waktu tiga bulan sejak awal terjadinya KLB, serta
mencegah berulangnya insiden tersebut, dengan cara mengadakan
penyuluhan bagi para tenaga kesehatan sekitar Puskesmas Mawar.

2.

Tujuan Khusus
Menurunkan tingkat morbiditas rabun senja akibat kekurangan vitamin

A sebesar <50% dari seluruh populasi di daerah Puskesmas Mawar


Mengadakan penyuluhanbagi para tenaga kesehatan di daerah

Puskesmas Mawar
Meningkatkan pengetahuan masyarakatmengenai pentingnya angka
kecukupan gizi, dengan target 75% dari populasi Puskesmas Mawar.

BAB II
ANALISIS KASUS

A.

Definisi Kekurangan Vitamin A


Kurang vitamin A adalah suatu kondisi dimana simpanan Vitamin A
dalam tubuh berkurang. Keadaan ini ditunjukan dengan kadar serum retinol
dalam

darah

kurang

dari

20g/dl.

Masih

dalam

buku

tersebut

terdapat Xeroptalmia merupakan istilah yang menerangkan gangguan pada mata


akibat kekurangan vitamin A, termasuk terjadinya kelainan anatomi bola mata
dan gangguan fungsi sel retinayang dapat menyebabkan kebutaan.Defisiensi
vitamin

adalah

suatu

keadaan,

ditandai

rendahnya

kadar

VitaminA dalam jaringan penyimpanan (hati) dan melemahnya kemampuan


adaptasi terhadap gelap dan sangat rendahnya konsumsi atau masukan karotin
dari Vitamin A (Salam, 2009).
Peranan nyata vitamin A adalahpada fungsi penglihatan mata, yaitu ketika
jaringan retinol kehilangan vitamin A, fungsi sel rod (batang) dan sel cone
(kerucut) pada mata mengalami kegagalan.Hal inilah yang menyebabkan
gangguan kemampuan adaptasi gelap mata.VitaminA juga berperan dalam
pertumbuhan, reproduksi, sintesa glycoprotein, stabilisasi membrandan kekebalan
tubuh.Defisiensi

Vitamin

terjadi

jika

kebutuhan

vitamin

tidak
6

tercukupi.Kebutuhan vitamin A tergantung golongan umur, jenis kelamin dan


kondisi tertentu (Joko HT, 2002).
B. Analisis secara epidemiologi
Estimasi yang dibuat oleh WHO adalah lebih dari 250 juta anak
mengalami kekurangan penyimpanan vitamin A. Prevalensi defisiensi yang
tertinggi ditemukan pada anak pra sekolah, ibu hamil dan menyusui.Namun
tingkat defisiensi vitamin A subklinik juga terlihat banyak pada anak sekolah dan
dewasa di beberapa lokasi.Data yang selalu tersedia di setiap negara hanyalah
prevalensi dari anak prasekolah yang berarti prevalensi pada kelompok umur lainnya tidak
tersedia (Salam, 2009).
Kekurangan vitamin A dalam makanan sehari-hari menyebabkan setiap tahunnya
sekitar1 juta anak balita di seluruh dunia menderita penyakit mata tingkat berat (x
eropthalmia) diantaranya menjadi buta dan 60 % dari yang buta ini akan meninggal dalam
beberapa bulan. Kekurangan vitamin A menyebabkan anak berada dalam resiko besar
mengalami kesakitan, tumbuh kembang yang buruk dan kematian dini.Terdapat perbedaan
angka kematian sebesar 30 % antara anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A dengan
rekan-rekannya yang tidak kekurangan vitamin A (Rinaningsih, 2007).
Angka kebutaan di Indonesia tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan survai
kesehatan indera penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996 menunjukkan angka kebutaan
di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk atau setara dengan 3 juta orang. Jumlah ini jauh
lebih tinggi dibanding Bangladesh (1%), India (0,7 %), dan Thailand (0,3 %).

Kekurangan vitamin A (defisiensi vitamin A) yang mengakibatkan kebutaan pada anakanak telah dinyatakan sebagai salah satu masalah gizi utama di Indonesia.Kebutaan karena
kekurangan vitamin A terutama dikalangan anak pra sekolah masih banyak terdapat didaerahdaerah. Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010pada pasca persalinan, atau masa nifas,
ibu yang mendapat kapsul vitamin A hanya 52,2 persen (rentang: 33,2% di Sumatera Utara dan
65,8% di Jawa Tengah). Berdasarkan tingkat pendidikan, cakupan Ibu nifas yang tidak sekolah
mendapat kapsul vitamin A hanya 31 persen dibanding yang tamat PT (62,5%). Demikian pula
kesenjangan yang cukup lebar antara ibu nifas di perkotaan dan pedesaan, serta menurut tingkat
pengeluaran. Persentase distribusi kapsul vitamin A untuk anak umur 6-59 bulan sebesar
69,8%. Persentase tersebut bervariasi antar provinsi dengan persentase terendah di Papua Barat
(49,3%) dan tertinggi di DiYogyakarta (91,1%) (Rinaningsih, 2007).

C.

Etiologi
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap defiiensi vitamin A.
Penyebab paling penting dari defisiensi vitamin A pada anak adalah rendahnya
asupan makanan yang mengandung vitamin A (termasuk pemberian ASI yang
tidak memadai) dan infeksi yang berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi
pernafasan (Stellenbosch, 2010).
a) Asupan makanan kaya vitamin A yang kurang memadai,
b) Infeksi berulang, khususnya campak, diare, dan infeksi pernapasan akut
c) Pemberian ASI yang tidak memadai dalam jangka lama

d) Pemberian makanan pelengkap yang tidak sesuai waktunya (seperti


pengenalan makanan padat yang rendah nilai gizinya)
e) Tingkat pendidikan keluarga yang rendah
f) Kurangnya kewaspadaan dan pengetahuan tentang peran penting vitamin A
terhadap kesehatan anak.

D. Faktor Resiko
Semua orang yang memiliki akses terbatas terhadap makanan kaya
vitamin A, berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A. Beberapa kelompok
lebih rentan untuk menderita defisiensi vitamin A dibanding yang lainnya.
Kelompok ini terdiri dari (Stellenbosch, 2010);
1. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan bayi prematur
Bayi BBLR adalah bayi dengan berat badan ketika lahir kurang dari 2500
gram. Bayi prematur adalah bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 38 minggu.
Karena bayi ini lahir sebelum waktunya, berat badannya ketika lahir seringkali
9

sangat rendah. Bayi-bayi ini lahir dengan cadangan vitamin A tubuh yang rendah
sehingga berisiko untuk menderita defisiensi vitamin A.
2. Bayi dan anak dengan infeksi berulang
Bayi dan anak dengan infeksi berisiko untuk menderita defisiensi vitamin
A karena banyak infeksi, khususnya campak dan diare meningkatkan kebutuhan
tubuh terhadap vitamin A. Tetapi, anak yang sakit sering menolak untuk makan,
sehingga asupan vitamin A anak cenderung lebih rendah dari yang dibutuhkan.
Oleh karena itulah umumnya anak yang sakit cenderung menderita defisiensi
vitamin A, khusunya jika infeksi muncul berulang.
3. Bayi dan anak dengan malnutrisi
Sebagian besar anak yang malnutrisi berisiko dalam menderita defisiensi
vitamin A oleh karena diet makanan yang jelek, dimana asupan energi , protein,
dan berbagai zat gizi yang tidak memadai, termasuk vitamin A.
E. Patofisiologi
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang mempengaruhi
sel dan organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur epitel tersebut disebut
dengan metaplasiakeratinisasi.Metaplasia keranisasi pada saluran napas dan
saluran kemih serta perubahan epitel intestinal yang saling terkait mungkin timbul
pada awal penyakit, bahkan sebelum timbulnya perubahan mata yang dapat
dideteksi secara klinis.Walaupun demikian, karena perubahan nonokular ini
sebagian besar tidak terlihat, maka perubahan ini tidak memberikan suatu dasar
yang kuat untuk diagnosis klinik spesifik. Oleh karena itu, diantara populasi
10

dengan dengan defisiensi vitamin A, maka anak-anak dengan campak, penyakit


saluran napas, diare, atau malnutrisi energi protein yang nyata harus dicurigai
memiliki defisiensi vitamin A dan diberi pengobatan yang sesuai (Alfred
Sommer, 1995).
Defisiensi vitamin A menekan imunitas humoral dan imunitas cellmediated. Efek utama dari inadekuatnya vitamin A pada fungsi imun bisa jadi
karena konsekuensi dari terganggunya pertumbuhan dan diferensiasi jaringan
myeloid. Vitamin A secara khusus sangat penting untuk menjaga integritas epitel
dan pemeliharaan sekresi

di mukosa, yang mana, jika terganggu, bisa

meningkatkan paparan terhadap mikroorganisme dan risiko infeksi (George


Annstas, 2012).
Jaringan epitel di mata, paru-paru, dan usus menjadi rusak pada keadaan
defisiensi vitamin A. Pada jaringan-jaringan tersebut, turnover atau pergantian
sel epitel tinggi. Pada manusia, berbagai penelitian menunjukkan bahwa level
vitamin A yang rendah di sirkulasi berhubungan dengan meningkatnya risiko
kerusakan epitel di mata, Rusaknya integritas epitel dan barier mukosa akan
memfasilitasi

translokasi

mikrooeganisme

dan

berkontribusi

terhadap

meningkatnya derajat infeksi (George Annstas, 2012)..


Vitamin A memiliki dua peran di metabolisme okuler. Pertama di retina,
vitamin A tersedia sebagai prekursor terhadap pigmen visual fotesensitif yang
berpartisipasi dalam inisiasi impuls saraf dari fotoreseptor. Kedua, vitamin A
dibutuhkan untuk sintesis RNA dan glikoprotein sel epitel konjungtiva, yang
11

membantu memelihara stroma kornea, dan mukosa konjungtiva (George Annstas,


2012)..
Pada retina terdapat 2 sistem fotoreseptor yang berbeda, sel kerucut dan
sel batang.Sel batang bertanggungjawab terhadap penglihatan dalam situasi
cahaya yang redup atau rendah, sedangkan sel kerucut bertanggung jawab
penglihatan berwarna dan situasi cahaya yang terang.Vitamin A merupakan
kekuatan utama dari pigmen visual kedua macam sel ini.Perbedaannya terletak
pada jenis protein yang terikat pada retinol. Pada sel batang, bentuk aldehid dari
vitamin A (retinol) dan protein opson bergabung membentuk rhodopsin yang
merupakan pigmen fotosensitif (George Annstas, 2012).
F. Manifestasi klinis
Defisiensi vitamin A subklinis biasanya tidak memiliki gejala, namun
resiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, diare, dan pertumbuhan terhambat
(George Annstas, 2012).
Defisiensi vitamin A adalah suatu penyakit sistemik yang mempengaruhi
sel dan organ seluruh tubuh, hasil perubahan arsitektur epitel tersebut disebut
dengan metaplasiakeratinisasi.Metaplasia keranisasi pada saluran napas dan
saluran kemih serta perubahan epitel intestinal yang saling terkait mungkin timbul
pada awal penyakit, bahkan sebelum timbulnya perubahan mata yang dapat
dideteksi secara klinis.Walaupun demikian, karena perubahan nonokular ini
sebagian besar tidak terlihat, maka perubahan ini tidak memberikan suatu dasar
yang kuat untuk diagnosis klinik spesifik. Oleh karena itu, diantara populasi
12

dengan dengan defisiensi vitamin A, maka anak-anak dengan campak, penyakit


saluran napas, diare, atau malnutrisi energi protein yang nyata harus dicurigai
memiliki defisiensi vitamin A dan diberi pengobatan yang sesuai (Alfred
Sommer,1995).
Vitamin A juga berperan dalam menjaga fungsi epitel.Pada saluran cerna
dalam keadaan normal sel epitel mensekresi mukus yang berguna sebagai barrier
terhadap patogen yang dapat menyebabkan diare.Pada saluran pernafasan epitel
mensekresi mukus berguna untuk membuang zat-zat asing dan toksik yang masuk
kedalam saluran pernafasan.Perubahan epitel pada saluran pernafasan dapat
menyebabkan obstruksi bronkial.Pada keadaan defisiensi vitamin A perubahanperubahan pada epitel meliputi proliferasi sel basal, hiperkeratosis dan stratifikasi
dari epitel squamous.Metaplasia sel squamous di renal, ureter, epitel vaginal,
pankreas dan saluran saliva dapat meningkatkan resiko infeksi di lokasi
tersebut.Pada kandung kemih gangguan epitel dapat menyebabkan terjadinya
pyuria dan hematuria. Perubahan epitel pada kulit akibat defisiensi vitamin A
menyebabkan kulit menjadi kering, bersisik, terbentuknya hiperkeratosis yang
biasanya ditemukan di lengan, tungkai, bahu dan bokong (Behrman dan Kliegman,
1997).
1.

Mata
Xeroftalmia merupakan manifestasi klinis defisiensi vitamin A yang
paling spesifik dan mudah dikenali, dan dipakai secara pasti untuk menilai
13

status vitamin A. Penurunan penyimpanan vitamin A secara bertahap dan


tanpa komplikasi dapat, mengakibatkan peningkatan kehebatan xeroftalmia,
bermanifestasi sebagai rabun senja, xerosis konjungtiva, dan bercak Bitot,
xerosis kornea, dan ulserisasi kornea/keratomalasia (George Annstas, 2012).

Tabel 1 . Klasifikasi Xeroftalmia (Alfred Sommer,1995).


XN

Rabun Senja

X1A

Xerosis Konjungtiva

X1B

Bercak Bitot

X2

Xerosis Kornea

X3A

Ulserasi Kornea/ keratomalasia < 1/3 permukaan

X3B

kornea

XS

Ulserasi Kornea/ keratomalasia > 1/3 permukaan


kornea
Jaringan parut kornea

14

Gambar1 :

1. Diagram yang menunjukkan daerah yang dirusak-oleh xeroftalmia (kiri).


2. Gambaran diagfragmatik lesi Xeroftalmia (kanan

1.1 Rabun Senja


Retinol penting untuk elaborasi rodopsin oleh sel batang, yang
merupakan reseptor sensiri retina yang bertanggung jawab terhadap
penglihatan dalam cahaya redup.Oleh karena itu defisiensi vitamin A
dapat mengganggu produksi rodopsin sehingga mengganggu penglihatan
saat senja.buta senja umumnya merupakan manifestasi defisiensi vitamin
A yang paling awal. Anak yang buta senja biasanya tidak akan suka
bermain- main setelah senja, tetapi lebih suka duduk di pojok yang aman,
sering tidak mampu untuk mencari makanan ataupun mainannya (Alfred
Sommer,1995)..
1.2 X1A, X1B Xerosis Konjungtiva dan Bercak Bitot
Epitel konjungtiva pada defisiensi vitamin A berubah bentuknya
dari tipe kollumnar normal menjadi tipe skuamosa bertingkat, dengan
akibat hilangnya sel goblet, pembentukan lapisan sel granular, dan
keratinisasi permukaan (Alfred Sommer,1995).
Secara klinis, perubahan ini ditandai dengan kekeringan yang
nyata dan hilangnya kemampuan membasahi mata, daerah yang terkena
15

dampak lebih kasar, disertai tetesan-tetesan halus atau gelembung pada


permukaan, bukan permukaan yang licin dan mengkilat.Perubahan ini
paling baik dideteksi dengan pencahayaan dari sisi oblik, perubahan ini
sering hampir tidak kentara dan dapat tidak jelas karena pengeluaran air
mata yang hebat. Bila pengeluaran air mata berhenti, maka daerah yang
terkena akan tampak seperti "beting daerah pasang surut" (sanbank at
receding tide) (Alfred Sommer,1995).
Abnormalitas

sering

diabaikan

atau

kenyataanya

overkompensasi, overdiagnosis. Maka abnormalitas tidak merupakan


suatu dasar yang tepat untuk menegakkan prevalensi xeroftalmia klinis,
dan xerosis konjungtiva tidak dapat dianggap sebagai kriteria yang dapat
diterima untuk menetapkan apakah defisiensi vitamin A adalah suatu
masalah kesehatan yang berarti (Alfred Sommer,1995).
Xerosis konjungtiva awalnya muncul pada kuadram temporal,
sebagai suatu potongan kecil oval atau segitiga yang berbatasan dengan
limbus pada fisura interpalpebral. Hampir selalu ada pada kedua
mata.Pada beberapa individu, keratin dan basil saprofit berkumpul pada
permukaan xerotik, memberikan suatu gambaran seperti busa atau
kiju.Lesi seperti ini dikenal dengan bercak Bitot.Bahan yang melapisinya
lebih mudah dibersihkan, dan jumlah yang terbentuk lebih bervariasi dari
hari ke hari. Bila defisiensi lebih berat, lesi
16

akan terbentuk juga di kuadran nasal, walau kurang mencolok. Bercak


Bitot dapat segera dikenali dan merupakan suatu kriteria klinis yang
berguna untuk penilaian status vitamin A suatu populasi (Alfred
Sommer,1995).

Gambar 2. X1A Xerosis Konjungtiva Gambar3. X1B Bercak Bitot


(busa)

Gambar4. X1B Bercak Bitot (kiju)


1.3 X2. Xerosis Kornea

17

Perubahan kornea terjadi pada awal defisiensi vitamin A, jauh


sebelum perubahan kornea dapat dilihat dengan mata telanjang.Banyak
anak- anak dengan rabun senja (tanpa menderita xerosis konjungtiva
secara klinis) mempunyai lesi pungtata superfisial yang khas pada
inferior-nsal kornea, yang berwarna cemerlang dengan fluorsensi. Pada
awal penyakit lesi hanya dapat dilihat dengan menggunakan slitlamp
biomikroskop (Alfred Sommer,1995).
Dengan makin beratnya penyakit, lesi pungtata menjadi lebih
banyak, menyebar ke atas melebihi bagian tengah kornea dan stroma
kornea menjadi bengkak.Secara klinis pada kornea terjadi xerosis klasik,
dengan penampilan yang kabur, tidak bercahaya, kering dan pertama kali
tampak dekat limbus inferior.Plak yang tebal dan mengalami keratinisasi
menyerupai bercak Bitot dapat terbentuk pada permukaan kornea dan
sering memadat pada daerah interpalpebral (Alfred Sommer,1995).

Gambar5,6
X2

Xerosis
Konjungtiva

18

1.4 X3A, X3B. Ulkus Kornea/Keratomalasia


Ulserasi/Keratomalacia

mengindikasikan

adanya

kerusakan

permanen dari sebagian atau semua stroma kornea, mengakibatkan


perubahan struktur yang permanen.Keratomalasia yang terlokalisir
merupakan kondisi yang secara cepat dapat memepengaruhi ketebalan
kornea. Munculan pertamanya berupa penonjolan opaque yang berwarna
keabuan hingga kekuningan atau perlekukan keluar dari permukaan
kornea. Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, stroma yang nekrotik
tersebut akan meluruh dan meninggalkan ulkus yang besar dan dalam
atau descemetocele ( Herniasi dari membrane Descemet ). Sedangkan
ulkus yang kecil akan menyembuh dan membentuk leukoma (Alfred
Sommer,1995).
Ulserasi yang mengenai kurang dari sepertiga permukaan kornea
(X3A) biasanya tidak mengenai zona pupil central dan terapi yang cepat
dapat menyelamatkan pengelihatan normal. Ulserasi yang lebih luas
(X3B), terutama xnekrosis likuofaktif, akan menyebabkan perforasi,
extrusi dari bahan intraocular, dan rusaknya bola mata (Alfred
Sommer,1995).
Kasus ulserasi/nekrosis akibat defisiensi vitamin A dan yang
diakibatkan oleh infeksi bakteri atau jamur biasanya susah dibedakan. Ini
19

dikarenakan lesi defisiensi vitamin dapat terinfeksi secara sekunder.


Ketika status vitamin A turun secara drastis, misalnya pada kasus campak,
gastroenteritis, atau pada kwashiorkor pada anak yang status vitamin A
yang pas-pasan, kemunculan ulkus kornea dapat langsung tampak tanpa
gejala rabun senja dan xerosis konjungtiva. Pada kasus tersebut, kita
dapat secara aman mengasumsikan bahwa defisiensi vitamin A dan
infeksi ada dan ditatalaksana sesuai penyakitnya masing-masing (Alfred
Sommer,1995).

Gambar7,8. X3A Ulserasi kornea

Gambar9. X3B Ulserasi kornea

20

1.5 XS. Jaringan Parut Kornea


Gejala sisa yang terjadi setelah sembuh dari penyakit kornea
terdahulu yang berkaitan dengan defisiensi vitamin A termasuk opasitas
atau jaringan parut dengan bermacam-macam identitas/kepadatan (nebula,
makula, leukoma), kelemahan dan outpouching (penonjolan) lapisan
kornea yang tersisa (Alfred Sommer,1995).

Gambar 10, 11. Jaringan Parut kornea

1.6 XF. Fundus Xerophtalmik


Lesi retinal kecil putih yang muncul pada beberapa kasus
defisiensi vitamin A. Lesi tersebut dapat disertai dengan konstriksi
lapangan pandang dan akan menghilang dalam 2-4 bulan setelah
diberikan terapi vitamin A (Alfred Sommer,1995).
21

Anak-anak dengan suspek atau beresiko xerophtalmia harus


diperiksa dengan cahaya luar yang terang pada kedua mata sambil
membelakangi matahari atau dengan bantuan senter dan lup. Namun,
karena adanya nyeri dan reflex blepharospasmik pada keterlibatan kornea,
anak biasanya akan menutup matanya. Bila perlu, kepala anak dapat
distabilkan oleh orang tua atau asisten sementara dokter pemeriksa
perlahan-lahan memisahkan kelopak mata dengan speculum kelopak
(Alfred Sommer,1995).

Gambar 12. Fundus Xeroftalmik


2. Kulit
Kelainan pada kulit dapat ditemukan adanya kulit kering bersisik yang
dikenal kulit katak atauphrynoderma dan meningkatnya resiko terjadinya infeksi
(Alfred Sommer,1995).
Hiperkeratosis follikularis pada defisienssi vitamin A disebut sebagai
Phrynoderma merupakan suatu bentuk manifestasi pada kulit berupa "kulit
22

katak",ditandai dengan adanya plak keratotik pada folikel rambut yang biasanya
terdapat pada ekstremitas bagian dorsal dan ventral, dapat berwarna sama dengan
kulit atau sedikit hiperpigmentasi disekitarnya (Ostler Bruce, 2004).

Gambar 13. Phrynoderma


G. Diagnosis dan pemeriksaan penunjang
Defisiensi vitamin A dapat dicurigai dengan karakteristik manifestasi
klinis dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan kadar vitamin A serum yang kurang
dari 200ug/L dan karotennoid kurang dari 500ug/L. Dark adaptation test dapat
berguna dalam diagnosis. Xerosis konjungtiva dapat dideteksi dengan
pemeriksaan mikroskopik.Pemeriksaan apusan mata direkomendasikan untuk
diagnostik.Vitamin A dan serum retinol diperiksa menggunakan

High

Performance Liquid Cromatography (HPLC) (Elzouki Abdelaziz, 2012).


1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan retinol serum dapat dilakukan menggunakan kinerja


tinggi kromatografi cair. Sebuah nilai kurang dari 0,7 mg / L pada anak-anak
muda dari 12 tahun dianggap rendah [17].
23

Sebuah studi RBP serum lebih mudah untuk dilakukan dan lebih
murah daripada studi retinol serum, karena RBP adalah protein dan dapat
dideteksi oleh alat tes imunologi.RBP juga merupakan senyawa yang lebih
stabil daripada retinol sehubungan dengan cahaya dan suhu.Namun, tingkat
RBP kurang akurat, karena mereka dipengaruhi oleh konsentrasi protein
serum dan karena jenis RBP tidak dapat dibedakan.[18, 19, 20].Kadar serum
retinol mungkin rendah selama infeksi karena penurunan sementara dalam
RBP tersebut. Kadar zink dapat berguna dalam pemeriksaaan karena
kekurangan zink mengganggu produksi RBP.Sebuah panel besi berguna
karena kekurangan zat besi dapat mempengaruhi metabolisme vitamin
A.Evaluasi elektrolit dan pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan untuk
mengevaluasi status gizi dan volume.
2. PemeriksaanRadiologi
Pada anak-anak, film radiografi tulang panjang mungkin berguna saat
evaluasi sedang dibuat untuk pertumbuhan tulang dan untuk deposisi
berlebihan tulang periosteal.

24

BAB III
RENCANA PROGRAM

A. Promotif
Pada kasus ini ditemukan penyakit yang berpotensi KLB, yaitu buta
senja, karena insiden penyakit ini meningkat dua kali lipat dalam 2 kurun waktu.
Penyakit ini disebabkan oleh karena kekurangan vitamin A. Oleh karena itu
sesuai dengan Depkes RI (2005), maka kelompok kami menyarankan
pencegahan KVA dapat dilakukan dengan cara:

25

Memberikan ASI Ekslusif kepada bayi sampai berumur 6 bulan dan


ASI hinggaberumur 2 tahun disertai dengan pemberian makanan

pendamping ASI yang cukup dan berkualitas


Konsumsi makanan dengan gizi seimbang dan kaya vitamin A dalam

menu makanan sehari-hari


Konsumsi kapsul vitamin A sesuai kebutuhan sasaran.
Melakukan promosi-promosi tentang vitamin A juga merupakan
upaya untukpencegahan KVA.

B. Preventif
Telah terbukti bahwa bayi baru lahir, terutama di negara sedang
berkembang yang kasus defisiensi vitamin A nya bersifat endemis, memiliki
cadangan vitamin A yang sangat rendah. Pasokan vitamin A di awal kehidupan
akan tercukup melalui air susu ibu (ASI), asalkan ibu memiliki status vitamin
A yang baik.
Ada dua pendekatan untuk memperbaiki status vitamin A bayi yang
berusia kurang dari 6 bulan, yaitu dengan memberikan vitamin A dosis tinggi
kepada wanita menyusui, atau memberi satu dari beberapa dosis kepada bayi.
Kebutuhan tubuh akan vitamin A masih dinyatakan dalam Satuan
Internasional (SI), untuk memudahkan penilaian aktivitas. Vitamin ini di
dalam bahan makanan, agar mencakup performed vitamin A dan

26

provitaminnya. Satu SI vitamin setara dengan kegiatan 0,300ug retinol atau


0,6 ug all trans beta carotene atau 1,0 mg karotin total (campuran) di dalam
bahan makanan nabati.
Kebutuhan akan vitamin A menurut daftar RDA untuk Indonesia adalah
sebagai berikut:
Kelompok Umur

Kebutuhan Vitamin A (SI/hari)

6-12 bulan

1200

1-3 tahun

1500

4-6 tahun

1800

7-9 tahun

2400

10-12 tahun

Pria: 3450
Wanita:3400

13-dst

Pria: 4000
Wanita: 3500

Wanita hamil

+500

Wanita Menyusui

+2500

Tabel 3. Sumber: Widya Karya Nasional Pangan & Gizi, Bogor 1978
dalam Sediaoetama, 2004

Bahan Makanan Sumber Vitamin A/Karotin

27

Bahan

Makanan SI/100g

Bahan Makanan SI/100g

Nabati

Hewani

Jagung muda, kuning, 117

Ayam

810

Hati sapi

43900

Ginjal sapi

1150

biji
Jagung kuning panen 440
baru, biji
Jagung kuning, panen 510
lama, biji
Ubi rambat, merah

7700

Telur itik

1230

Lamtoro, biji muda

423

Ikan segar

150

Kacang ijo, kering

157

Daging

sapi, 20

kurus
Wortel

12000

Buah:

Bayam

6000

Alpukat

180

Daun melinjo

10000

Belimbing

170

Daun singkong

11000

Mangga, matang 6350


di pohon

Genjer

3800

Apel

90

Kangkung

6300

Jambu biji

25

28

Tabel 4. Sumber: daftar analisa bahan makanan DEPKES RI, 1964 dalam
Sediaoetama,

2004

Sasaran Suplementasi Vitamin A


Sasaran

Dosis

Frekuensi

Bayi 6-11 bulan

Kapsul biru (100.000 SI)

1 kali

Anak balita 12-59 Kapsul merah (200.000 2 kali


bulan
Ibu
hari)

SI)
nifas

(0-42 Kapsul merah (200.000 2 kali


SI)

Tabel 5. Sumber: Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A, Depkes,


2009

29

Gambar 14. Kapsul vitamin A

C. Kegiatan Penanggulangan KLB Kekurangan Vitamin A

1. Penyelidikan Epidemiologi
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui Indeks kasus atau paling
tidak dari mana kemungkinan kasus berawal , mencari kasus-kasus tambahan,
cara penyebaran kasus, waktu penyebaran kasus, arah penyebaran penyakit,
kontak erat penderita, dan penanggulangannya.

2. Tatalaksana kasus
Tatalaksana pada tabel dibawah dapat digunakan kepada individu
dengan semua stadium xeroftalmia, seperti rabun senja, dan xerosis

30

konjungtiva dengan bintik bitot. Xerosis kornea, ulkus kornea, dan


keratomalasia. Dosis awal dapat dimulai segera setelah didiagnosis
ditegakkan. Setelah itu individu dengan lesi kornea akut segera dirujuk ke
rumah sakit untuk dilakukan tatalaksana emergensi.

Tabel 6 : Jadwal Terapi Xeroftalmia


Waktu Pemberian

Dosis Vitamin A

Segera setelah diagnosis:


Usia < 6 bulan

50 000 IU

Usia 6-12 bulan

100 000 IU

Usia > 12 bulan

200 000 IU

Hari berikutnya

Sama sesuai dosis diatas

Minimal 2 minggu berikutnya

Sama sesuai dosis diatas

Anak dengan diare dapat mengalami penurunan absorbsi vitamin A,


namun masih dapat menyerap lebih dari cukup untuk mengatasi defisiensi jika
dosis rekomendasi diberikan.Namun, anak xeroftalmia dengan malnutrisi
energi protein berat butuh dimonitor secara hati-hati sebab status vitamin A

31

tidak stabil dan dapat secara cepat memburuk, walaupun ditatalaksana sesuai
rekomendasi.Dosis tambahan dapat digunakan terhadap grup yang rentan ini.
Xeroftalmia kornea adalah kegawatdaruratan medik.Vitamin A harus
segera di berikan sesuai rekomendasi pada tabel diatas.Antibiotik topikal
seperti tetrasiklin atau kloramfenikol dapat diberikan untuk mengatasi atau
mencegah infeksi bakteri sekunder. Salap mata yang mengandung steroid
jangan diberikan dalam keadaan ini.
Untuk mengcegah trauma terhadap kornea yang lemah akibat ulkus,
mata harus dilindungi. Pada kasus anak , sebaiknya tangan diikat agar tidak
bergerak. Xerosis kornea berespon terhadap terapi vitamin A dalam waktu 2-5
hari, dengan kornea yang kembali normal dengan waktu 1-2 minggu.
Anak dengan xeroftalmia, terutama rabun senja, seringkali sakit berat,
malnutrisi , dan dehidrasi. Tatalaksana umum, rehidrasi, dan diet tinggi
protein yang mudah diserap (jika diperlukan via pipa nasogastik) akan
membantu memperbaiki keadaannya. Penyakit penyerta, seperti infeksi
respiratori dan gastrointestinal, tuberkulosis, cacing, dan amobasis dapat
ditatalaksana dengan obat yang sesuai (antibiotik , anticacing, dan lain-lain).
Perawatan mata diberikan salap antiobiotik spektrum luas setiap 8 jam
untuk mengurangi resiko infeksi bakteri. Pada infeksi yang nyata dibutuhkan
terapi sistemik yang adekuat, pemberian antibiotik spektrum luas khususnya
terhadap Staphylococcus dan Pseudomonas dapat diberikan sebelum kuman

32

penyebab infeksi teridentifikasi ( Contoh: Basitrasin dan gentamisin topikal,


ditambah gentamisin dan metisilin subkonjungtiva dan sistemik).
Proteksi terhadap kornea juga harus diperhatikan, pemeriksaan fisik ,
pemberian obat dan mengganti perban sebaiknya dilakukan seperlunya, dan
mata harus dilindungi. Bila diperlukan tangan anak dapat diikat.
Penyakit infeksi berat, khususnya pada campak, juga malaria dan
chiken pox, dapat menyebabkan dekompensasi akut terhadap status vitamin A.
Jika kadar vitamin A tubuh berada dalam batas rendah, anak akan sangat
beresiko menjadi buta, komplikasi sistemik (seperti laringotrakeobrongkitis)
dan kematian.
Anak yang mengalami malnutrisi energi protein berat atau penyakit
seperti diare kronik, penyakit saluran pernapasan bawah, dan otitis akut, yang
berasal dari populasi yang diketahui tedapat defisiensi vitamin A, juga
meningkatkan resiko defisiensi.Anak harus mendapatkan terapi vitamin A
yang tepat sesuai kondisi dan usianya.Jika penyakit yang menderita tersebut
menetap, tambahan vitamin A dapat diberikan pada interval 1-3 bulan.
Tabel 7 : Terapi Anak Defisiensi Vitamin A dengan resiko tinggi
Kelompok
Anak dan

dewasa

Dosis
dengan Terapi sesuai tabel 3 dilanjutkan

malnutrisi energi protein berat

dengan program preventif

33

Anak dengan campak

Dosis tunggal atau ganda sesuai


jadwal terapi tabel 3

Anak dengan

diare,

penyakit Dosis 200 000 IU per oral satu

infeki akut lainnya

kali dilanjutkan dengan program


profilaksis

3. Data Record review


Kegiatan ini dilakukan di Rumah Sakit dengan cara aktif melakukan
review dari data rekam medik atau register rumah sakit.

4. Faktor Risiko
Dalam KLB Buta Senja diketahui beberapa faktor yang menyebabkan
kekurangan vitamin A yang salah satunya dapat terjadi buta senja, antara lain:
a. Kekurangan energi protein (KEP)
b. Kekurangan zinc (Zn)
c. Keabnormalan hereditas (mutasi genetic)
d. Konsumsi alcohol berlebihan, yang mengganggu fungsi hepar/hati
e. Efek obat pencahar

34

5. Profilaksis
Pencegahan Rekurensi
Ibu dan care giver diperlukan untuk memastikan anak mendapatkan
diet kaya vitamin A. Mereka ditunjukkan bagaimana cara menyiapkan
makanan kaya vitamin A dari suber yang tidak mahal seperti mangga, pepaya,
wortel, labu kuning, ubi jalar, sayuran berdaun hijau gelapdan lain-lain)

Tabel8 : Makanan Vitamin A


Sumber Makanan
Kelompok
Usia
Usia anak
0-5 bulan

Wortel

Ubi jalar

Sayuran Hijau

Mangga

ASI Eksklusif
1 sdm

1 sdm

cup

50 mg

1 sdm

1 sdm

cup

50 mg

2 sdm / 25 mg

1 sdm

cup

70 mg

6-11 bulan
1-2 tahun
2-6 tahun
a)

Meningkatkan asupan makanan yang mengandung vitamin A


Asupan makanan yang inadekuat terhadap vitamin A dapat
dimulai dengan cepatnya penghentian pemberian ASI, kemudian disusul
dengan kurangnya asupan makanan yang kaya karoten atau Vitamin A.

35

Dengan pemberian ASI kemudian setelah usia 6 bulan anak diberi


makanan kaya provitamin A seperti buah mangga, pepaya, sayuran
berdaun hijau gelap, dan dari sumber hewani seperti kuning telur, ayam
dan hati akan secara signifikan mengurangi terjadinya defisiensi vitamin
A.
Sayuran hijau merupakan sumber yang tidak mahal dan yang
paling banyak mengandung vitamin A. Sebagai acuan, orang tua harus
mengetahui bahwa segenggam sayur bayam segar( 68 gram) memiliki
kandungan vitamin A setara dengan seporsi kecil hati sapi ( 63 gr), dan
setara dengan 4 medium size telur ayam ( 227 gram)

b) Suplementasi Vitamin A
Suplementasi

secara

periodik

dapat

bermanfaat

untuk

memberikan kuantitas vitamin A yang besar yang dapat disimpan sebagai


cadangan di hepar.Suplementasi oral retinil palmitat 110 mg atau 66 mg
retinil asetat (200.000 IU vitamin A) dan setengah dosis untuk anak usia
6-11 tahun setiap 4-6 bulan dapat melindungi anak dari defisiensi vitamin
A.
Vitamin A dapat diberikan sebagai kapsul atau cairan. Kecuali
pada anak yang mengalami xerophtalmia, kurang energi protein
(kwashiorkor) dan beberapa penyakit berat, penting untuk dipastikan
vitamin A tidak diberikan melebihi batas dosis yang aman. Pada saat ini,
36

interval pemberian vitamin A yang telah ditetapkan adalah 4-6 bulan,


walaupun telah disarankan bahwa jarak pemberian ini bisa dikurangi jadi
3 bulan.

Tabel 9 : Jadwal Vitamin A dosis Profilaksis


Individu
Usia 0-6 bulan

Dosis Oral
13,75
mg

Waktu
retinil 1-3 kali hingga usia

palmitat (25 000 IU)


Usia 6-11 bulan

6 bulan

55 mg retinil palmitat Sekali tiap 4-6 bulan


(100 000 IU)

Usia > 12 bulan

110 mg retinil palmitat Sekali tiap 4-6 bulan


(200 000 IU)

6. Intervensi Faktor Risiko (FR)


Setelah dapat diketahui faktor risiko KLB rabun senja akibat
kekurangan vitamin A tersebut maka perlu dilakukan intervensi sesuai
masalahnya (faktor risikonya).

7. Surveilans intensif

37

Surveilans intensif buta senja bertujuan untuk kewaspadaan dini


dengan menemukan kasus secara awal, termasuk kegiatan pengobatan dan
pencegahan sehingga diharapkan adanya kewaspadaan petugas kesehatan.

38

BAB IV
REKOMENDASI/SARAN

Saran kami untuk masalah ini yaitu :


1. Perlunya peningkatan pemahaman mengenai gejala klinis, penegakan diagnosis,
dan terapinya agar penatalaksanaan bisa dilakukan secara tepat.
2. Perlu dilakukan Penyuluhan/promosi tentang sumber bahan pangan yang juga
kaya vitamin A meliputi sayur-sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani serta
cara mengolah makanan agar dapat mengurangi kehilangan vitamin A baik secara
langsung melalui penyuluhan di Posyandu, pengajian dan arisan maupun secara
tidak langsung melalui media eletronik (TV, radio), dan media cetak seperti
spanduk, poster atau leaflet.
3. Perlunya sosialisasi mengenai bahaya defisiensi vitamin A , dan pentingnya
pemberian kapsul vitamin A pada anak sampai berumur 5 tahun.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. Annstas,George.

Vitamin

Deficiency.

2012.

Diunduh

dari

http://emedicine.medscape.com/article/126004-overview
2. Schwartz, Robert A. Dermatologic Manifestations of Vitamin A Deficiency. 2012.
diunduh dari http://www.medicine.medscape.com/article/1104441-overview
3. Sommer, Alfred. Vitamin A deficiency and Its Consequences A Field Guide To
Detection and Control.1995. Penerbit: WHO
4. http://www.pediatriconcall.com/forpatients/commonchild/Vitamin_deficiency/vit
amin_deficiency.asp
5. Behrman, R. dan, R. Kliegman.Nelson Textbook of Pediatics 17th edition. pp 242

40

6. WHO, UNICEF, VACG Task Force. Vitamin A Supplements: A Guide to Their


Use in Treatment and Prevention of Vitamin A deficiency and Xeroftalmia. 1997.
Diunduh dari http://www.who.int
7. Nutrition Information Centre University of Stellenbosch. Vitamin A. Diunduh
dari http://www.sun.ac.za/nicus.
8. Ragunatha, S, V jaganath Kumar, SB Murugesh. A clinical study of 125 patients
with phrynoderma. Indian Journal of Dermatology. 2011.
9. Ostler, Bruce H, et al. Disease of The Eye & Skin: A color Atlas. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
10. Thappa, Devinder Mohan. Clinical Pediatric Dermatology. India: Elsevier.2009.
11. Elzouki, Abdelaziz Y, et al. Textbook Of Clinical Pediatrics Second Edition.
London: Springer. 2012.
12. Salam, dkk . Peranan Suplemen Vitamin A Pada Pengobatan TB .http://isjd.pdii.lipi.go.id/a
dmin/jurnal/4207613.pdf
13. Joko, HT . 2002. Cakupan Program Pemberian Kapsul Vitamin A Studi Kasus
DiPuskesmas

Kampung

Sawah

Kota

Bandar

Lampunghttp://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/d51293c87753abf90dd18b
c2195f990769fba599.pdf
14. Depkes

RI

2003.

Deteksi

Dan

Tatalaksana

Kasus

Xeroftalmiahttp://gizi.depkes.go.id/pedoman-gizi/download/xeroftalmia.pdf
15. Buku Panduan Pemberian Suplemen Vitamin A. Depertemen Kesehatan Republk
IndonesiaRiset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010
41

16. Siregar,RA.
(2011).KekuranganVitaminA.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/235
08/4/chapter%252011.pdf&ved, 19 Januari 2015

42

You might also like