Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
yang tidak diperlukan selama pengobatan dan biaya yang membengkak (Nadesul,
2006).
WHO berupaya melakukan peningkatan pada praktek penggunaan obat
rasional yang telah dirintis sejak 1985 melalui konferensi di Nairobi dan
dikembangkan indikator-indikator penilaian terhadap penggunaan obat di pusat
pelayanan kesehatan di suatu kawasan oleh International Network for the Rational
Use of Drug (INRUD) WHO, yang terdiri dari jumlah item obat per lembar resep,
persentase peresepan obat dengan nama generik, persentase peresepan obat
antibiotik, persentase peresepan sediaan injeksi dan persentase peresepan obat
yang sesuai dengan formularium (INRUD, 1993) yang kemudian ditetapkan pada
tahun 1993 sebagai metode dasar untuk menilai penggunaan obat pada instalasi
rawat jalan di suatu fasilitas kesehatan yang akan menggambarkan pola
penggunaan obat di suatu kawasan.
Undang - Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan
Sosial
(BPJS)
menyatakan
bahwa
BPJS
Kesehatan
mulai
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penggunaan obat pada pasien JKN rawat jalan di RSUD Kota
Yogyakarta di bulan Januari hingga Juni 2014 berdasarkan indikator peresepan
WHO 1993 dan Formularium Nasional dengan melihat:
a. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan?
b. Berapakah persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien
rawat jalan?
c. Berapakah persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat
jalan?
d. Berapakah persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien
rawat jalan?
e. Berapakah persentase peresepan pasien JKN yang sesuai dengan formularium
nasional?
C. Tujuan Penelitian
Menganalisis kesesuaian peresepan berdasar indikator peresepan WHO
1993 dan Formularium Nasional pada resep-resep pasien JKN rawat jalan di
RSUD Kota Yogyakarta Periode Januari Juni 2014 dengan melihat:
a. Berapakah rata-rata jumlah obat tiap lembar resep untuk pasien rawat jalan?
b. Berapakah persentase obat dengan nama generik yang diresepkan untuk pasien
rawat jalan?
c. Berapakah persentase lembar resep yang berisi antibiotik untuk pasien rawat
jalan?
d. Berapakah persentase lembar resep yang berisi sediaan injeksi untuk pasien
rawat jalan?
e. Berapakah persentase peresepan pasien JKN yang sesuai dengan formularium
nasional?
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:
1. Bagi rumah sakit:
a. Sebagai salah satu informasi tentang peresepan obat pada pasien di rumah sakit.
b. Sebagai masukan untuk upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di
rumah sakit.
2. Bagi pemerintah:
a.Memberikan informasi tentang penggunaan obat dalam penerapan JKN.
E. Tinjauan Pustaka
1. Resep
Menurut SK Menkes.No.922/Menkes/Per/X/1993 disebutkan bahwa
resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan, kepada
Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Yang berhak menulis resep
adalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan sedangkan yang berhak menerima
resep adalah apoteker pengelola apotek yang bila berhalangan tugasnya dapat
digantikan Apoteker Pendamping/Apoteker pengganti atau Asisten Apoteker di
bawah pengawasan dan tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek (APA).
Penulisan resep khususnya di rumah sakit berdasarkan Formularium
Rumah Sakit dan formularium yang lain, selain itu juga mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 085/Menkes/Per/I/1989 tentang kewajiban menuliskan
resep dan atau menggunakan obat generik di rumah sakit umum atau fasilitas
pelayanan pemerintah.
a. Peresepan boros, yaitu pemberian obat baru dan mahal, padahal tersedia obat
yang lebih murah dan sama efektif dan amannya, atau penggunaan obat dengan
nama dagang walaupun tersedia obat generik,
b. Peresepan berlebihan, yaitu yang mengandung obat yang tidak diperlukan,
dosis terlalu tinggi, pengobatan terlalu lama, atau jumlah yang diberikan lebih
dari yang diperlukan. Terdapat beberapa jenis obat yang diberikan kepada
pasien tanpa indikasi yang jelas dan tepat,
c. Peresepan salah, yaitu obat diberikan dengan dosis yang keliru, obat yang
dipilih untuk suatu indikasi tertentu tidak tepat,
d. Polifarmasi, yaitu penggunaan dua atau lebih obat, padahal satu obat sudah
mencukupi atau pengobatan setiap gejala secara terpisah, padahal pengobatan
terhadap penyakit primernya sudah dapat mengatasi semua gejala, dan
e. Peresepan kurang, yaitu tidak memberikan obat yang diperlukan, dosis tidak
mencukupi, atau pengobatan terlalu singkat.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola peresepan menurut Quick
dkk, (1997) adalah :
a. Faktor komunikasi, yaitu informasi yang tidak bias dan pengaruh industri,
b. Faktor pelaku peresepan, yaitu pengetahuan yang kurang tentang kebiasaan dan
pengalaman sebelumnya,
c. Faktor hubungan pelaku peresepan dengan pasien, yaitu kepercayaan,
kebudayaan dan tekanan pasien,
d. Faktor kelompok kerja, kebijakan prosedur dan tekanan senioritas, dan faktor
tempat kerja, yaitu tugas terlalu banyak dan infrastruktur yang harus
mendukung.
10
(Jamkesda).
Namun
demikian,
skema-skema
tersebut
masih
terfragmentasi, terbagi - bagi. Biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit
terkendali. (Anonim, 2014b).
Untuk mengatasi pelayanan kesehatan yang sulit dikendalikan, dalam
UU Nomor 40 Tahun 2004, pemerintah mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sehingga diharapkan
dapat membangun pelayanan kesehatan yang layak bagi bangsa Indonesia
(Anonim, 2014a).
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 /
MENKES / SK / VIII / 2013 tentang Formularium Nasional, tercantum daftar obat
terpilih yang dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan
11
sebagai acuan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam hal
obat yang dibutuhkan tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat
digunakan obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik dan
Kepala/Direktur Rumah Sakit setempat.
5. Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi yang telah ditetapkan oleh
Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik
menggunakan tata nama obat yang mengacu pada International Nonpropietary
Names (INN) dalam bahasa Inggris dan dicantumkan juga sesuai dengan Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) (Anonim, 1989).
Obat generik di Indonesia dibuat sesuai dengan standar Indonesia dan
dijamin mutunya oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Jika
dibandingkan dengan obat paten, obat generik memiliki harga yang jauh lebih
murah karena tidak terdapat biaya promosi yang setinggi obat paten. Hal ini
mengakibatkan obat generik kurang dikenal oleh masyarakat, padahal memiliki
efektivitas yang sama karena bahan baku dan teknologi produksi yang sama
dengan obat paten. Penetapan harga obat paten biasanya mengikuti harga pokok
obat paten dari pabrik penemu obat yang sama yang memperhitungkan
pengembalian investasi untuk penelitian obat baru, sedangkan obat generik tidak
(Pane, 1998).
12
6. Antibiotik
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak
antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh (Setiabudy dan
Gan, 1995).
Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak, salah satunya yaitu penggunaan
antibiotik dengan spektrum sempit pada indikasi yang ketat dengan dosis adekuat,
interval dan lama pemberian yang tepat. Indikasi ketat penggunaan antibiotik
dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi
klinis dan hasil laboratorium. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit yang
disebabkan oleh virus atau penyakit yang sembuh sendiri (Anonim,2011a).
Peresepan antibiotik yang rasional menurut WHO (1993) yaitu persentase
pemakaian antibiotik di unit pelayanan kesehatan < 22,7 %. Penggunaan
antibiotik yang tidak perlu harus dihindari mengingat beberapa hal seperti efek
samping, reaksi alergi, biaya, pengaruhnya terhadap flora normal endogen dan
induksi resistensi antibiotik (pengaruhnya terhadap penderita maupun seluruh
komunitas).
Seperti
obat-obat
yang
lain
penggunaan
antibiotik
harus
7. Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan,
13
yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit
atau selaput lendir (Anief, 2000).
Berdasarkan WHO (1993), jumlah pemakaian injeksi di unit-unit
pelayanan kesehatan berasal dari pasien rawat inap karena obat dengan sediaan
injeksi hanya dapat diberikan kepada penderita di rumah sakit atau di tempat
praktik dokter, oleh dokter atau perawat yang kompeten. Sehingga sudah
seharusnya jika tidak ada sediaan injeksi yang diresepkan untuk pasien rawat
jalan, kecuali untuk IGD dan keperluan pemakaian sendiri, misalnya insulin.
14
Keberadaan Rumah Sakit ini dikukuhkan dengan PERDA Nomor : 1 Tahun 1996
sebagai UPT dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta.
Dalam hal pengelolaan keuangan maka pada tahun 1999 dilakukan uji
coba sebagai RS SWADANA sesuai KEPPRES No : 38 Tahun 1991. Pada
tanggal 20 Desember 2000 ditetapkan sebagai RS Unit Swadana dengan PERDA
No : 42.
Dalam perkembangannya pengelolaan keuangan Rumah Sakit ditetapkan
sebagai Badan Layanan Umum Daerah dengan Penetapan menjadi Pola
Pengelolaan Keuangan (PPK) secara penuh BLUD oleh keputusan Walikota
Yogyakarta No. 423/Kep/2007 tanggal 12 September 2007 dan Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 59/2007 tanggal 13 September 2007 tentang
Pedoman Teknis PPK BLUD RSUD.
Oleh karena perkembangan dan penambahan jenis dan jumlah tenaga
dokter spesialis, penambahan jenis pelayanan, penambahan sarana, dan sarana
rumah sakit, maka RSUD Kota Yogyakarta meningkat kelasnya menjadi kelas B,
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1214/MENKES/SK/IX/2007
tanggal 28 November 2007 sebagai Rumah Sakit Klas B Non Pendidikan.
Penetapan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Yogyakarta menjadi Rumah
Sakit Klas B Non Pendidikan mengubah susunan dan tata kerja organisasi telah
disempurnakan dengan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 9 Tahun 2008
tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan, dan Tugas Pokok Lembaga Teknis
Daerah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007. Uraian Rincian
Tugas para pejabatnya ditetapkan berdasar Peraturan Walikota No.6 Tahun 2012.
15
F. Keterangan Empiris
Penelitian dilakukan untuk analisis penggunaan obat pada pasien JKN
rawat jalan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD Kota Yogyakarta pada periode
Januari 2014-Juni 2014 sesuai dengan standar acuan indikator peresepan WHO
(1993), meliputi :
1. Rata-rata jumlah obat per resep untuk pasien rawat jalan,
2. Persentase peresepan obat dengan nama generik,
3. Persentase peresepan obat dengan antibiotik,
4. Persentase peresepan obat dengan injeksi,
5. Persentase peresepan yang sesuai dengan formularium nasional.
16