You are on page 1of 8

MOUNTENEERING

Mendaki gunung seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat.
Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain,
mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya
bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan
dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat
alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang
membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan
orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya
tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa.
Apalagi untuk gunung-gunung populer dan mudah didaki, seperti Gede, Pangrango atau Salak.
Akibatnya, mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di antara
tubuh mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.
Meski tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya
dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa
tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.
Sementara bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat
mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai
(karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April
2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang
hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat
(Badan SAR Nasional, 2001)
Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan
korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest
sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar
100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat
sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Kedua bahaya itu dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang harus dimiliki
seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat pengukur ketinggian suatu
tempat dari permukaan laut], atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca
peta dan melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak ada yang
berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
Pastikan kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum
mendaki.

Bawalah peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk
berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal),
senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
Hitunglah lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa
beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu terisi
sepanjang perjalanan.
Bawalah peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit
tertentu.
Jangan malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di
sekolah menengah atau universitas-universitas.
Ukurlah kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali
pulang.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk
pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan
perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa
takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada
petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Risiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan
pendakian, karena Zuckerma menyatakan bahwa para pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation
seeking [pemburuan sensasi] tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai
atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalamanpengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem
[kebanggaan /kepercayaan diri].
Pengalaman-pengalaman ini selanjutnya menimbulkan perasaan individu tentang dirinya, baik
perasaan positif maupun perasaan negatif. Perjalanan pendakian yang dilakukan oleh para pendaki
menghasilkan pengalaman, yaitu pengalaman keberhasilan dan sukses mendaki gunung, atau gagal
mendaki gunung. Kesuksesan yang merupakan faktor penunjang tinggi rendahnya self-esteem,
merupakan bagian dari pengalaman para pendaki dalam mendaki gunung.
Fenomena yang terjadi adalah apakah mendaki gunung bagi para pendaki merupakan sensation
seeking untuk meningkatkan self-esteem mereka? Selanjutnya, sensation seeking bagi para pendaki
gunung kemungkinan memiliki hubungan dengan self-esteem pendaki tersebut. Karena pengalaman yang
dialami para pendaki dalam pendakian dapat berupa keberhasilan maupun kegagalan.

Persiapan mendaki gunung


Persiapan umum untuk mendaki gunung antara lain kesiapan mental, fisik, etika, pengetahuan dan
ketrampilan.

1. Kesiapan mental.
Mental amat berpengaruh, karena jika mentalnya sedang fit, maka fisik pun akan fit, tetapi bisa saja
terjadi sebaliknya.
2. Kesiapan fisik.
Beberapa latihan fisik yang perlu kita lakukan, misalnya : Stretching /perenggangan [sebelum dan
sesudah melakukan aktifitas olahraga, lakukanlah perenggangan, agar tubuh kita dapat terlatih
kelenturannya]. Jogging (lari pelan-pelan) Lama waktu dan jarak sesuai dengan kemampuan kita, tetapi
waktu, jarak dan kecepatan selalu kita tambah dari waktu sebelumnya. Latihan lainnya bisa saja sit-up,
push-up dan pull-up Lakukan sesuai kemampuan kita dan tambahlah porsinya melebihi porsi sebelumnya
3. Kesiapan administrasi.
Mempersiapkan seluruh prosedur yang dibutuhkan untuk perijinan memasuki kawasan yang akan
dituju.
4. Kesiapan pengetahuan dan ketrampilan.
Pengetahuan untuk dapat hidup di alam bebas. Kemampuan minimal yang perlu bagi pendaki adalah
pengetahuan tentang navigasi darat, survival serta EMC [emergency medical care] praktis.
5. Perencanan pendakian.
Hal pertama yang ahrus dilakukan adalah mencari informasi. Untuk mendapatkan data-data kita dapat
memperoleh dari literatur- literatur yang berupa buku-buku atau artikel-artikel yang kita butuhkan atau
dari orang-orang yang pernah melakukan pendakian pada objek yang akan kita tuju. Tidak salah juga bila
meminta informasi dari penduduk setempat atau siapa saja yang mengerti tentang gambaran medan lokasi
yang akan kita daki. Selanjutnya buatlah ROP (Rencana Operasi Perjalanan). Buatlah perencanaan secara
detail dan rinci, yang berisi tentang daerah mana yang dituju, berapa lama kegiatan berlangsung,
perlengkapan apa saja yang dibutuhkan, makanan yang perlu dibawa, perkiraan biaya perjalanan,
bagaimana mencapai daerah tersebut, serta prosedur pengurusan ijin mendaki di daerah tersebut. Lalu
buatlah ROP secara teliti dan sedetail mungkin, mulai dari rincian waktu sebelum kegiatan sampai dengan
setelah kegiatan. Aturlah pembagian job dengan anggota pendaki yang lain (satu kelompok), tentukan
kapan waktu makan, kapan harus istirahat, dan sebagainya.

a. Intinya dalam perencanaan pendakian, hendaknya memperhatikan :


1. Mengenali kemampuan diri dalam tim dalam menghadapi medan.
2. Mempelajari medan yang akan ditempuh.
3. Teliti rencana pendakian dan rute yang akan ditempuh secermat mungkin.
4. Pikirkan waktu yang digunakan dalam pendakian.
5. Periksa segala perlengkapan yang akan dibawa.

b. Perlengkapan dasar perjalanan


1. Perlengkapan jalan : sepatu, kaos kaki, celana, ikat pinggang, baju, topi, jas hujan, dll.
2. Perlengkapan tidur : sleeping bag, tenda, matras dll.
3. Perlengkapan masak dan makan: kompor, sendok, makanan, korek dll.
4. Perlengkapan pribadi : jarum , benang, obat pribadi, sikat, toilet paper / tissu, dll.
5. Ransel / carrier.
c. Perlengkapan pembantu
1. Kompas, senter, pisau pinggang, golok tebas, Obat-obatan.
2. Peta, busur derajat, douglass protector, pengaris, pensil dll.
3. Alat komunikasi (Handy talky), survival kit, GPS [kalo ada]
4. Jam tangan.
e. Packing atau menyusun perlengkapan kedalam ransel.
f. Kelompokkan barang barang sesuai dengan jenis jenisnya.
g. Masukkan dalam kantong plastik.
h. Letakkan barang barang yang ringan dan jarang penggunananya (mis : Perlengkapan tidur)
yang paling dalam.

pada

i. Barang barang yang sering digunakan dan vital letakkan sedekat mungkin dengan tubuh dan mudah
diambil.
j. Tempatkan barang barang yang lebih berat setinggi dan sedekat mungkin dengan badan /
punggung.
k. .Buat Checklist barang barang tersebut.
h. Mengenal Jenis Gunung dan Grade Pendakian
l. Pada garis besar gunung terbagi menjadi 2, yaitu gunung berapi/aktif dan tidak aktif. Berdasar
bentuknya dibagi menjadi :
1. Gunung berapi perisai (Gunung berapi lava) == seperti perisai
2. Gunung berapi strato
3. Gunung berapi maar == Gunung berapi yang meletus sekali dan segala aktivitas vulkanisme
terhenti, yang tinggal hanya kawahnya saja.
m. Macam dan tingkat pendakian gunung macam pendakian, yaitu pendakian gunung bersalju (es) dan
gunung batu. Keduanya mambutuhkan persiapan dan perlengkapan yang matang. Menurut Club
Mountaineers, Seatle Washington, dasar pembagian tingkat pendakian ada dua cara.
1. Berdasar penggunaan alat teknis yang dipakai ( class)
class 1 ; lintas alam tanpa bantuan tangan
class 2 ; dibutuhkan bantuan tangan

class 3 ; pendakian yang mudah memerlukan kaki dan tangan dalam mendaki, tali mungkin
dibutuhkan oleh pemula
class 4 ; pendakian memerlukan tali pengaman
class 5 ; dibutuhkan tali dan pengaman peralatan lain seperti : piton, runner, chocks dll
class 6 ; mandaki dengan tali dengan peralatan bantuan sepenuhnya berpijak diatas paku tebing,
memenjat rantai sling atau mengunakan stirupss
Pendakian claass 4 masuk dalam katagori scrembling [Mendaki dengan cara mempergunakan badan
sebagai keseimbangan serta tangan untuk berpegangan dengan medan yang miring sampai 45 derajat] dan
class 5 6 sudah dapat dikatagorikan sebagai climbing [panjat]. Dimana class 5 merupakan free-climbing
[Pemanjatan dengan tanpa menggunakan alat tehnis untuk menambah ketinggian, alat hanya sebagai
pengaman saja ] dan class 6 adalah artificial climbing [Pemanjatan dengan menggunakan alat tehnis
sebagai pembantu menambah ketinggian, misalnya dipijak atau disentak dan dipegang ]. Apa bila
dilakukan di gunung batu / cadas disebut rock climbing dan bila dilakukan di gunung es disebut dengan
snow and ice climbing .
Ulasan mengenai hal ini dibahas dalam materi tersendiri.
2. Berdasar lama waktu akibat sukarnya pendakian dalam medan pendakian (grade)
grade I, bagian yang sukar dapat ditempuh dalam beberapa jam
grade II, bagian yang sukar ditempuh dalam setengah hari
grade III, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh
grade IV, bagian yang sukar ditempuh dalam sehari penuh dan memerlukan bantuan lereng-lereng
sempit untuk bisa naik
grade V, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 1,5-2,5 hari
grade VI, bagian yang sukar ditempuh dalam waktu 2 hari atau lebih dan dengan banyak sekali
kesulitan
Ulasan mengenai hal ini dibahas dalam materi panjat tebing.
3. Berdasarkan tingkat kemanan pemanjat dari kemampuan alat yang digunakan
A1 ;aman sekali, peralatan yang dipasang dan digunakan dapat diandalkan untuk menjaga keselamatan
pendaki
A2 ;aman, jikapun terjadi maslah, alat masih dapat diandalkan untuk mencegah akibat yang lebih fatal
[misalnya jatuh tidak sampai kedasar]
A3 ;penggunan alat pengaman cukup aman tetapi tidak dapat diandalkan untuk menjaga resiko jatuh,
kecuali dengan pemasngan yang sangat teliti dan fall-faktor yang tidak terlal;u berbeban tinggi. Bila fall
faktor tinggi, maka alat-alat akan copot dan pendaki bisa menerima akibat fatal
A4 ;pengaman yang digunakan tidak dapat diharapkan untuk dapat menahan beban jatuh, cenderung
hanya sebagai pengaman psykologis untuk menguatkan mental pendaki
4. Berdasarkan tingkat kesulitan [difficult] medan pendakian

Tingkatan pedakian dengan dasar perhitungan ini bisa disebut juga dengan Yossemite Decimal
System [YDS]. Pang-katagorian berasal dari USA dan saat ini banyak di gunakan untuk menentukan
grade kesulitan panjat tebing. Oleh karena itu YDS dimulai dengan grade 5 dan seterusnya.
Pengkatagorian demikian biasanya digunakan untuk jenis pendakian free-climbing atau free-soloing
[Memanjat sendiri tanpa alat bantu dan pengaman apapun, biasanya pada jalur pendek]
Anehnya YDS sendiri menyalahi kaidah matematis penghitungan decimal, dimana misalnya suatu jalur
mempunyai ketinggian 5,9 [lima point sembilan] lalu grade selanjutnya menjadi 5.10 [lima point
sepuluh]. Peng-angka-an ini menjadi aneh akibat grade 5.9 lebih rendah dibanding dengan 5.10,
padahal dalam matematika sebaliknya.
YDS sendiri diawali dengan grade 5.8 atau 5.9, selanjutnya 5.10, 5.11, 5.12, 5.13 dan 5.14. Sampai saat
ini tidak ada grade melebihi 5.14.
Perkembangan keanehan peng-angka-an decimal ini menurut beberapa diskusi pegiatan pendakian dan
panjat tebing akibat keselahan memprediksikan kemampuan pendakian pada saat system YDS
dipublikasikan. Dimana pada saat itu diperkirakan kemampuan pendakian / panjat hanya sampai grade
5.9. Padahal dalam kemudian berkembangan kemampuan pendakian / pemanjatan yang lebih mutakhir
dan luar bisa.
Bahkan saking sulitnya menentukan dengan hanya angka-angka decimal yang terbatas, seiring dengan
banyaknya jalur pendakian/pemanjatan yang dibuat oleh kalangan pemanjat, maka grade decimalpun
ditambahkan dibelangkannya dengan alfhabet.
Contoh; 5.12a, 5.13 d atau 5.14 c
Memang sampai saat sekarang barangkali hanya ada beberapa jalur yang dibuat manusia dengan grade
5.14, itupun terbatas pada jalur-jalur pendek.
Secara umum grading dengan YDS dapat dijelaskan sebagai berikut :
5.8 ; jalur yang ditempuh mudah, grip [pegangan] sangat bisa digunakan oleh bagian tubuh yang ada
untuk menambah ketinggian
5.9 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari
5.10 ; jalur yang ditempuh dengan metode 3 bertahan 1 mencari, hanya saja perlu keseimbangan [balance]
yang baik
5.11 ; dapat bertahan pada 2 atau 3 grip dengan satu diantaranya sangat minim dan perlu keseimbangan.
Jalur hang hampir bisa dipastikan memiliki grade demikian.
5.12 ; terdapat 2 dari 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian. Dengan
kondisi grip yang kecil di satu bagiannya atau paling tidak sama
5.13 ; hanya 1 dari diantara 2 kaki dan 2 tangan yang dapat digunakan untuk menambah ketinggian,
itupun dengan grip yang sangat minim.
5.14 ; mulus seperti kaca, tidak mungkin terpikirkan untuk dapat dibuat jalur pendakian/pemanjatan
Makanan (logistik).

Makanan yang dibawa seharusnya dapat memenuhi kebutuhan energi pendaki, selama pendakian
seserorang membutuhkan sitar 5.000 kalori dan 100 gram protein, kalori dapat dipenuhi dengan
mengkonsumsi nasi. Namun ada baiknya hanya memakan nasi satu kali sehari di kala malam (saat
berkemah) alasayanya beras realtif berat dan memerluakan waktu yang lama untu memasak serta
menghabiskan banyak bahan bakar. Fungsi beras dapat diganti dengan roti, biskuit, coklat, dan hevermit.
Hal yang perlu diperjatikan hindari mengkonsumsi makanan yang harus dimasak lebih dahulu selama
mendaki, karena hal ini hanya akan merepotkan dan menghabiskan waktu perjalanan. Pilihlah makanan
praktis seperti coklat, roti, agar-agar, buah-buahan, dapat juga dibuat mixfood yang terdiri atas kacang,
coklat, biskuit dan kismis.
Umumnya makanan yang paling praktis dibawa adalah makanan instan yang memiliki kemasan,
buanglah kemasan karton sebelum dimasukan dalam ransel dengan demikian berat ransel dapat berkurang
dan makanan yang dibawapun tidak banyak memakan tempat didalam ransel.
Peralatan lain
Selain peralatan dan sejumlah perlengkapan, jangan lupa membawa perlengkapan kecil yang
terdanag dirasa sepele, namun amat penting. Perlengkapan itu berupa obat-obatan seperti pelester, obat
merah, tisu basah dan kering, senter, benang, jarum jahit, jam dan alat tulis. Peralatan itu terkandang
dibutuhkan dalam keadaan darurat atau menjaga tubuh tetap bersih.
Hal terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa membawa tas / kantong plastik, tas
plastik tersebut dibutuhkan untuk menaruh barang-barang yang kotor dan basah sebelum dicuci dan tas
plastik juga berfungsi untuk membawa kembali sampah-sampah pendakian, sampah-sampah sisa
makanan atau berkemah, janganlah dibuang begitu saja di alam terbuka. Selain megotori, membuang
sampah dapat menyulitkan usaha pencarian dan pertolongan bagi pendaki yang tersesat atau mengalami
kecelakaan, kerap kali usaha pencarian oarang tersesat terbantu dengan petunjuk dari barang-barang yang
tercecer.
Mendaki gunung seperti kegiatan petualangan lainnya merupakan sebuah aktivitas olahraga berat.
Kegiatan itu memerlukan kondisi kebugaran pendaki yang prima. Bedanya dengan olahraga yang lain,
mendaki gunung dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, sebuah lingkungan yang sesungguhnya
bukan habitat manusia, apalagi anak kota.
Pendaki yang baik sadar adanya bahaya yang bakal menghadang dalam aktivitasnya yang diistilahkan
dengan bahaya obyektif dan bahaya subyektif. Bahaya obyektif adalah bahaya yang datang dari sifat-sifat
alam itu sendiri. Misalnya saja gunung memiliki suhu udara yang lebih dingin ditambah angin yang
membekukan, adanya hujan tanpa tempat berteduh, kecuraman permukaan yang dapat menyebabkan
orang tergelincir sekaligus berisiko jatuhnya batu-batuan, dan malam yang gelap pekat. Sifat bahaya
tersebut tidak dapat diubah manusia.
Hanya saja, sering kali pendaki pemula menganggap mendaki gunung sebagai rekreasi biasa. Apalagi
untuk gunung-gunung populer dan mudah didaki, seperti Gede, Pangrango atau Salak. Akibatnya,
mereka lalai dengan persiapan fisik maupun perlengkapan pendakian. Tidak jarang di antara tubuh
mereka hanya berlapiskan kaus oblong dengan bekal biskuit atau air ala kadarnya.
Meski tidak dapat diubah, sebenarnya pendaki dapat mengurangi dampak negatifnya. Misalnya
dengan membawa baju hangat dan jaket tebal untuk melindungi diri dari dinginnya udara. Membawa
tenda untuk melindungi diri dari hujan bila berkemah, membawa lampu senter, dan sebagainya.

Sementara bahaya subyektif datangnya dari diri orang itu sendiri, yaitu seberapa siap dia dapat
mendaki gunung. Apakah dia cukup sehat, cukup kuat, pengetahuannya tentang peta kompas memadai
(karena tidak ada rambu-rambu lalu lintas di gunung), dan sebagainya.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April
2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang
hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat
(Badan SAR Nasional, 2001)
Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan
korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest
sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar
100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat
sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Kedua bahaya itu dapat jauh dikurangi dengan persiapan. Persiapan umum yang harus dimiliki
seorang pendaki sebelum mulai naik gunung antara lain:
Membawa alat navigasi berupa peta lokasi pendakian, peta, altimeter [Alat pengukur ketinggian suatu
tempat dari permukaan laut], atau kompas. Untuk itu, seorang pendaki harus paham bagaimana membaca
peta dan melakukan orientasi. Jangan sekali-sekali mendaki bila dalam rombongan tidak ada yang
berpengalaman mendaki dan berpengetahuan mendalam tentang navigasi.
Pastikan kondisi tubuh sehat dan kuat. Berolahragalah seperti lari atau berenang secara rutin sebelum
mendaki.
Bawalah peralatan pendakian yang sesuai. Misalnya jaket anti air atau ponco, pisahkan pakaian untuk
berkemah yang selalu harus kering dengan baju perjalanan, sepatu karet atau boot (jangan bersendal),
senter dan baterai secukupnya, tenda, kantung tidur, matras.
Hitunglah lama perjalanan untuk menyesuaikan kebutuhan logistik. Berapa banyak harus membawa
beras, bahan bakar, lauk pauk, dan piring serta gelas. Bawalah wadah air yang harus selalu terisi
sepanjang perjalanan.
Bawalah peralatan medis, seperti obat merah, perban, dan obat-obat khusus bagi penderita penyakit
tertentu.
Jangan malu untuk belajar dan berdiskusi dengan kelompok pencinta alam yang kini telah tersebar di
sekolah menengah atau universitas-universitas.
Ukurlah kemampuan diri. Bila tidak sanggup meneruskan perjalanan, jangan ragu untuk kembali
pulang.

You might also like