Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit pada sistem pernafasan merupakan masalah yang sudah umum
terjadi di masyarakat. TB paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan
kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian
penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama. Penyakit ini biasanya
banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi menengah ke bawah.
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian utama dan angka
kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan ketiga
setelah India dan China dalam jumlah penderita TB paru di dunia.
Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk
dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3
juta orang per tahun (WHO, 1993). Di negara berkembang kematian ini merupakan
25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan.
Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang. Dengan
munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Hasil
survey kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa
tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler
dan penyakit saluran pernapasan pada semua golongan usia dan nomor I dari
golongan infeksi. Antara tahun 1979-1982 telah dilakukan survey prevalensi di 15
propinsi dengan hasil 200-400 penderita tiap 100.000 penduduk. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus baru TB dimana sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar
puskesmas, 1/3 ditemukan di pelayanan rumah sakit/klinik pemerintah dan swasta,
praktek swasta dan sisanya belum terjangku unit pelayanan kesehatan. Sedangkan
kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB menyerang
sebagian besar kelompok usia kerja produktif, penderita TB kebanyakan dari
kelompok sosio ekonomi rendah. Dari 1995-1998, cakupan penderita TB Paru
dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy)
atau pengawasan langsung menelan obat jangka pendek/setiap hari baru mencapai
36% dengan angka kesembuhan 87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994)
cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 4060%. Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak cukup di
masa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti
tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).
1.2. Rumusan masalah
1. Bagaimana TB Paru pada klien dewasa bisa terjadi ?
2. Apa tanda dan gejala yang muncul (manifestasi klinis) dari TB Paru pada klien
dewasa ?
3. Apa pemeriksaan diagnostik pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
4. Bagaimana cara menangani gangguan pernapasan akibat penyakit TB Paru klien
dewasa?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Paru pada klien dewasa?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dewasa dengan gangguan TB
Paru.
Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar TB paru
2.Menjelaskan asuhan keperawatan klien dewasa dengan TB paru, meliputi :
a)
pengkajian TB paru
b)
c)
1.4 Manfaat
Manfaat yang ingin diperoleh dalam penyusunan makalah ini adalah:
1. Mendapatkan pengetahuan tentang TB Paru
2. Mendapatkan pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada klien dewasa
dengan TB Paru
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian TB Paru
TB Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003). Kuman TB berbentuk batang
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pewarnaan yang disebut pula
Basil Tahan Asam (BTA).
2.2 Etiologi
kurang
Aliran darah
Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa
atau mengangkut material yang mengandung bakteri tuberkulosis
dan bakteri ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah,
yaitu tulang, ginjal, kelenjar adrenal, otak, dan meningen.
Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang
belum mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi
primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan
sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai
saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan
diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru,
saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe disekitar
hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 46 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi
tuberkulin dari
negatif
menjadi
positif.
b.
c.
Terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sedangkan pada dewasa tanpa pembesaran
kelenjar limfe regional
Penyembuhan dengan perkapuran sedangkan pada dewasa dengan fibrosis
Lebih banyak terjadi penyebaran hematogen, pada dewasa jarang
3.
Batuk
Darah
b.
c.
dibatukkan
dengan
Darah
rasa
segar
di
bercampur
berwarna
Darah
e.
panas
berbuih
Darah
d.
darah
Anemia
tenggorokan
udara
merah
muda
bersifat
alkalis
kadang-kadang
terjadi
Muntah
Darah
b.
c.
dimuntahkan
Darah
Darah
darah
dengan
rasa
bercampur
berwarna
hitam
karena
sisa
bercampur
mual
makanan
asam
lambung
d.
Darah
bersifat
asam
e.
Anemia
seriang
terjadi
Epistaksis
a.
Darah
menetes
b.
Batuk
pelan
c.
Darah
d.
dari
hidung
kadang
keluar
berwarna
Darah
merah
bersifat
segar
alkalis
"Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin
adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif
100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%.
Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji
tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai
sekarang
sering
digunakan.
Lokasi
penyuntikan
uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan,
disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
2.6.3
Pada hasil pemeriksaan rontgen thoraks, sering didapatkan adanya suatu lesi sebelum
ditemukan adanya gejala subjektif awal dan sebelum pemeriksaan fisik menemukan
kelainan pada paru. Bila pemeriksaan rontgen menemukan suatu kelainan, tidak ada
gambaran khusus mengenai TB paru awal kecuali di lobus bawah dan biasanya berada di
sekitar hilus. Karakteristik kelainan ini terlihat sebagai daerah bergaris-garis opaque yang
ukurannya bervariasi dengan batas lesi yang tidak jelas. Kriteria yang kabur dan gambar
yang kurang jelas ini sering diduga sebagai pneumonia atau suatu proses edukatif, yang
akan tampak lebih jelas dengan pemberian kontras.
Pemeriksaan rontgen thoraks sangat berguna untuk mengevaluasi hasil pengobatan dan
ini bergantung pada tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap obat
antituberkulosis, apakah sama baiknya dengan respons dari klien. Penyembuhan yang
lengkap serinng kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi yang dapat terjadi
pada penyembuhan yang lengkap. Hal ini tampak paling menyolok pada klien dengan
penyakit akut yang relatif di mana prosesnya dianggap berasal dari tingkat eksudatif yang
besar.
2.6.4 Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB inaktif/stabil
yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal,
kalsifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan beras bronkhovaskuler,
bronkhiektasis, dan emifesema perisikatriksial. Sebagaimana pemeriksaan Rontgen
thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya berdasarkan pada temuan
CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu dihubungkan dengan kultur sputum
yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap saat. Pemeriksaan CT scan sangat
bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavasitas dan lebih dapat diandalkan
daripada pemeriksaan Rontgen thoraks biasa.
2.6.5 Radiologis TB Paru Milier
TB paru milier terbagi menjadi dua tipe, yaitu TB paru milier akut dan TB paru milier
subakut (kronis). Penyebaran milier terjadi setelah infeksi primer. TB milier akut diikuti
oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh serta mengakibatkan penyakit akut
yang berat dan sering disertai akibat yang fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil
pemeriksaan rontgen thoraks bergantung pada ukuran dan jumlah tuberkel milier. Nodulnodul dapat terlihat pada rontgen akibat tumpang tindih dengan lesi parenkim sehingga
cukup terlihat sebagai nodul-nodul kecil. Pada beberapa klien, didapat bentuk berupa
granul-granul halus atau nodul-nodul yang sangat kecil yang menyebar secara difus di
kedua lapangan paru. Pada saat lesi mulai bersih, terlihat gambaran nodul-nodul halus
yang tak terhitung banyaknya dan masing-masing berupa garis-garis tajam.
2.6.6 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi melalui
isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycobacterium antara yang satu dengan yang
lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai
media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan kemoterapeutik, perbedaan kepekaan
tehadap binatang percobaan, dan percobaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis
antigen Mycobacterium. Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru
walaupun kurang sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya
peningkatan LED biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgG dan
IgA.
2.7
Penatalaksanaan
Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat dengan
penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes tuberkulin, klinis, dan
radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka pemeriksaan radiologis foto thorax diulang
pada 6 dan 12 bulan mendatang. Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila
positif, berarti terjadi konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.
Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok populasi
tertentu misalnya: karyawan rumah sakit/Puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah
tahanan, dan siswa-siswi pesantren.
Vaksinasi BCG
Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit. Indikasi
kemoprofilaksis primer atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu dengan BTA
positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi kelompok berikut: bayi di
bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena resiko timbulnya TB milier
dan meningitis TB, anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular, individu yang menunjukkan
konversi hasil tes tuberkulin dari negatif menjadi positif, penderita yang menerima
pengobatan steroid atau obat imunosupresif jangka panjang, penderita diabetes mellitus.
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis kepada
masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh petugas pemerintah
maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Paru
Indonsia PPTI).
2.7.2
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah sebanyakbanyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Selama fase
intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai
perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi
resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the
British Thoracic Society fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk
tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan
resistensi terhadap INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan
ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal
sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama
yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan panduan obat
sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada urutan kebutuhan pengobatan
dalam program. Untuk itu, penderita dibagi dalam empat kategori sebagai berikut:
1.
Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang
berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau bilateral,
spondiolitis dengan gangguan neurologis, dan penderita dengan sputum negatif tetapi
kelainan parunya luas, TB usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan
minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan
4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu ( tahap
lanjutan ).
2.
Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )
Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
Penderita kambuh
Penderita gagal terapi
Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
3.
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB
di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan
keberhasilan rendah sekali.
Obat-obatan anti tuberkulostatik
1.
Isoniazid (INH) : merupakan obat yang cukup efektif dan berharga murah. Seperti
rifampisin, INH harus diikutsertakan dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada
kontra-indikasi. Efek samping yang sering terjadi adalah neropati perifer yang biasanya
terjadi bila ada faktor-faktor yang mempermudah seperti diabetes, alkoholisme, gagal
ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Dalam keadaan ini perlu diberikan peridoksin 10
mg/hari sebagai profilaksis sejak awal pengobatan. Efek samping lain seperti hepatitis
dan psikosis sangat jarang terjadi.
2.
Sebagaimana halnya INH, rifampisin juga harus selalu diikutkan kecuali bila ada kontra
indikasi. Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan
sementara pada fungsi hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak
memerlukan penghentian pengobatan. Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang
serius yang mengharuskan penggantian obat terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit hati. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat
metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea, dan antikoagulan. Penting : efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih
cara KB yang lain.
3.
Pyrazinamid : bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang
aktif memlah dan mycrobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga
bulan pertama saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk meningitis TB karena penetrasinya
ke dalam cairan otak. Tidak aktif terhadapMycrobacterium bovis. Toksifitas hati yang
serius kadang-kadang terjadi.
4.
Etambutol : digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika
resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak
diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kg/hari pada fase awal dan 15
mg/kg/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg/hari selama pengobatan). Pada pengobatan
intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg 3 kali
seminggu atau 45 mg/kg 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang sering terjadi
adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan penyempitan
lapangan pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada
gangguan fungsi ginjal. Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif; bila hal ini terjadi
maka etambutol harus segera dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi
penglihatan akan pulih. Pasien yang tidak bisa mengerti perubahan ini sebaiknya tidak
diberi etambutol tetapi obat alternative lainnya. Pemberian pada anak-anak harus
dihindari sampai usia 6 tahun atau lebih, yaitu disaat mereka bisa melaporkan gangguan
penglihatan. Pemeriksaan fungsi mata harus dilakukan sebelum pengobatan.
5.
Streptomisin : saat
resistensi.
ini
semakin
jarang
digunakan,
kecuali
untuk
kasus
berat badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-700 mg/hari.
Untuk pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu
dan diturunkan menjadi 750 ng tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg.
Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg/hari atau 15-20 mg/kg tiga kali seminggu untuk
pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma harus diukur terutama untuk pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif
100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus. Obat-obat
sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan oleh kuman yang resisten atau bila obat
primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder
adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), 4kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.
Tabel Panduan Pemberian Obat Anti-Tuberkulosis
Rekomendasi
Obat
anti-TB
esensial
Aksi
Potensi
Dosis
(mg/kgBB)
Isoniazid (INH)
Bakterisidal
Tinggi
Per minggu
3x
2x
10
15
Rifampisin (R)
Bakterisidal
Tinggi
10
10
10
Pirazinamid (Z)
Bakterisidal
Rendah
25
35
50
Streptomisin (S)
Bakterisidal
Rendah
15
15
15
Etambutol (E)
Bakteriostatik
Rendah
15
30
45
Per hari
PENGKAJIAN
Keluhan utama
Keluhan yang sering menyebabkan klien dengan TB paru meminta pertolongan dari tim
kesehatan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1)
Batuk darah, seberapa banyak darah yang keluar atau hanya berupa bloodstreak,
Sesak napas
Nyeri dada
Tabrani Rab (1998) mengklasifikasikan batuk darah berdasarkan jumlah darah yang
dikeluarkan:
-
Batuk darah masif, darah yang dikeluarkan lebih dari 600 cc/24 jam.
Batuk darah ringan. Darah yang dikeluarkan kurang dari 250 cc/24 jam.
2)
-
dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa bebas serangan
semakin pendek
-
Keluhan sistemis lain: keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan, dan
malaise.
3.
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya klien pernah
menderita TB paru, keluhan batuk lama pada masa kecil, tuberkulosis dari organ lain,
pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang memperberat TB paru seperti diabetes
mellitus. Tanyakan mengenai obat-obat yang biasa diminum oleh klien pada masa lalu
yang relevan, obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitusif. Catat adanya efek samping
yang terjai di masa lalu. Kaji lebih dalam tentang seberapa jauh penurunan berat badan
(BB) dalam enam bulan terakhir. Penurunan BB pada klien dengan TB paru berhubungan
erat dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering
disebabkan karena meminum OAT.
tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis, apatis, somnolen, sopor,
soporokoma, atau koma.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya didapatkan
peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila disertai
sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan peningkatan suhu tubuh
dan frekuensi pernapasan, dan tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyulit
seperti hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan fokus yang terdiri
atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Inspeksi
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada anteroposterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru
seperti adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga
dada, pelebar intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai
atelektasis paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat
penderitanya mengalami penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada
klien dengan TB paru minimal dan tanpa komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak
mengalami perubahan. Meskipun demikian, jika terdapat komplikasi yang melibatkan
kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien akan terlihat mengalami sesak napas,
peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru,
biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret
dan sekresi sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB
paru disertai adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan
produksi sputum yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum
per hari sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada
saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara
bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya
ditemukan pada klien TB paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya
di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam
laring arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan
resonan, teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding
dada disebut taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan
atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi
seperti efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai
banyaknya akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka
didapatkan bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang
sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di
daerah mana didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika
klien berbica disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai
komplikasi seperti efusi pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan
vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
tidak didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis,
menangis, merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata,
biasanya didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi
hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu,
perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari
syok. Klien diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan
berbau yang menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum
OAT terutama fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi
tak teratur.
3.2. DIAGNOSA
Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :
Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret darah, upaya
batuk buruk, dapat ditandai dengan:
- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.
- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.
- Dispnoe.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efektif, atelektasis,
kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal, dan edema bronchial.
Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan pertahanan
primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan pertahanan /
penekanan proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan untuk menghindari
pemajanan patogen.
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang harus
diminum.
Rasionalisasi.
Perilaku yng diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi dapat membantu
menurunkan rasa terisolir pasien & membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit
menular.
Membantu pasien menyadari / menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang / komplikasi. pemahaman begaiman penyakit disebarkan
& kesadaran kemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat mengambil
langkah untuk mencegah infeksi ke orang lain.
Orang orang yang terpajan ini perlu program therapy obat untuk mencegah penyebaran
infeksi.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
Tujuan jangka pendek
Rencana tindakan :
Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian kombinasi obat.
Kaji dari efek penggunaan regimen terapi.
Berikan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tentang ketidakteraturan berobat akan
menyebabkan resistensi.
Rasionalisasi :
Pengobatan terhadap penyakit TBC memerlukan kombinasi berbagai obat (obat
antituberkulosis/ OAT) yang diberikan selama 6 bulan atau lebih untuk dinyatakan
sembuh.
Efek dari penggunaan regimen terapi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
Kombinasi obat yang telah diberikan telah disesuaikan dengan fase TB paru. Sehingga
ketidakteraturan akan menyebabkan resiko resistensi.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
diakses
pada
tanggal
16