Professional Documents
Culture Documents
Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita
bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)
4.
tertentu keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit,
pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.
Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas
dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang
berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan.
Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam
hal ini udara keluar dari hidung dan mulut
III. KLASIFIKASI
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah sebagai
berikut;
Bronkitis kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran
dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi paling sedikit selama 2
tahun berturut-turut.
Etiologi
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
1.
Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus, haemophilus influenzae.
2.
Alergi
3.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa
alat tubuh, yaitu :
1. Penyakit Jantung Menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti
menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi
bakteri mudah terjadi.
2. Infeksi sinus paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat
menyerang dinding bronchus.
3.
Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lender bronchus
sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri
Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali
sebagai eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi saluran nafas bagian atas,
biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan bronchitis akut. Dokter akan
mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami batuk atau produksi sputum selama
beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun noninfeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi
yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan bronchospasme.
3
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding alveolar,
yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara
terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan
akibat dari adanya destruksi dinding (septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian
dan kehilangan elastisitas recoil.
Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan diantara ruang alveolar
(disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan menyebabkan
peningkatan ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran gas
atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru
untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi penurunan
perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat emfisema dianggap normal
sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal kehidupan (usia muda), biasanya
berhubungan dengan bronchitis kronis dan merokok.
Asma
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin disebabkan oleh
berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus, aspirasi benda asing,
muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor,
pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe
IV. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan
V. PATOFISIOLOGI
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen
yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat
erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga
disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan
juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan
akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan
atau obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi,
pada saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya.
Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas,
difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
VI. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
1. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
2. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).
Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan badan
2. Batuk
3.
Sesak napas
4.
5.
6.
7.
8.
9.
(kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih
jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas
kecil (small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli
untuk difusi berkurang.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi
umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.
Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering
terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut, tetapi
juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
8
2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.
Antibiotik,
karena
eksaserbasi
akut
biasanya
disertai
infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan
ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 40.56/hari Augmentin (amoksilin dan
asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza
dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti
kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi
akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak
flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
2.
Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3.
4.
2.
3.
Fisioterapi
1.
2.
3.
Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
9
IX. KOMPLIKASI
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan
nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara
lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami
masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
6. Riwayat merokok?
7. Obat yang dipakai setiap hari?
8. Obat yang dipakai pada serangan akut?
9. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?
Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai berikut:
1. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?
2. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?
3. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?
4. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?
5. Barrel chest?
6. Apakah tampak sianosis?
7. Apakah ada batuk?
8. Apakah ada edema perifer?
9. Apakah vena leher tampak membesar?
10. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?
11.Bagaimana status sensorium pasien?
12. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?
13. Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :
1.
Chest X-Ray :
Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan ruang
udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema), peningkatan bentuk
bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat periode remisi (asthma)
2.
3.
TLC : Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
1. Auskultasi:
1. Adakah suara wheezing yang nyaring?
2. Adakah suara ronkhi?
3. Vokal fremitus nomal atau menurun?
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
12
Atelektasis
4.
Pneumonia
5.
Pneumotoraks
6.
Hipertensi paru
7.
Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
1.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
3.
Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
4.
Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam
hari sesuai yang diharuskan.
5.
Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu yang
ekstrim, dan asap.
13
6.
Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter dengan
segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan sputum,
peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
7.
8.
Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi dan
iritan jalan napas.
1. Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien
2. Intervensi:
1.
1.
2.
3.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari aktivitas yang
mungkin.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien selama 3 menit
kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3.
4.
Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana latihan
berdasarkan pada status fungsi dasar.
5.
Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik untuk menentukan program latihan
spesifik terhadap kemampuan pasien.
6.
7.
Tingkatkan aktivitas secara bertahap; klien yang sedang atau tirah baring lama
mulai melakukan rentang gerak sedikitnya 2 kali sehari.
8.
9.
1. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
1.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2.
3.
4.
5.
Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6.
7.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk
melakukan tindakan tersebut.
3.
Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
4.
5.
1. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat peningkatan upaya
pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
1.
2.
Intervensi:
1.
2.
Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak dekat, istirahat
sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan dispnea berlebihan. Bahas
tindakan penghematan energi.
3.
1. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap kematian,
keperluan yang tidak terpenuhi.
1.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
3.
1. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas, depresi,
tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja.
1.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yang ditujukan
pada pasien.
2.
3.
Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.
16
4.
5.
6.
2.
Intervensi keperawatan:
1.
2.
Bantu pasien mengerti tentang tujuan jangka panjang dan jangka pendek; ajarkan
pasien tentang penyakit dan perawatannya.
Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok. Berikan informasi tentang sumbersumber kelompok.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Danu Santoso Halim,Dr.SpP : Ilmu Penyakit Paru, Jakarta 1998, hal :169-192.
2. Darmojo; Martono (1999) Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Jakarta: Balai
penerbit FKUI
3. Doenges, Marilynn E. (1999) Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Pasien, alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, edisi 3,
Jakarta: EGC
4. Carpenito, Lynda Juall (1997) Buku Saku Diagnosa Keperawatan, alih bahasa: Yasmin Asih,
edisi 6, Jakarta: EGC
5. G.Simon : Diagnostik Rontgen, cetakan ke-2, Erlangga, 1981, hal :310-312.
6. Gofton, Douglas : Respiratory Disease, 3rd edition, PG Publishing Pte Ltd, 1984, page :
346-379.
7. Grainger, Allison : Diagnostic Raddiology An Anglo American Textbook of Imaging,
second edition, Churchil Livingstone, page :122.
8. Harrison : Principle of Internal Medicine, 15th edition, McGraw-Hill, page : 1491-1493.
9. Harrison : Prinsip Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume ketiga, Jakarta8.20003,
hal :1347-1353.
10. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Media Aesculapius 1999, Jakarta, hal : 480-482.
11. Long Barbara C. (1996) Perawatan medical Bedah Suatu pendekatan Proses keperawatan,
alih bahasa: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran Bandung,
Bandung.
12. Lothar, Wicke, Atlas Radiologi, edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran 1985, page: 157.
13. Meschan : Analysis of Rontgen Signs in General Radiology, Volume II, page : 954,990-993.
14. Nugroho, Wahjudi (2000) Keperawatan Gerontik, edisi 2, Jakarta: EGC
18
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2001) Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II, edisi ketiga, Jakarta: balai Penerbit FKUI
16. Price Sylvia Anderson (1997) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih
bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC 15.
17. Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
19