Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
TORCH adalah sebuah akronim yang menggambarkan gabungan dari beberapa jenis
agen infeksi. Semua agen infeksi ini sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita
oleh ibu hamil.
T = toxoplasma
O = other
R = rubella
C = cytomegalovirus
H = herpes
2.2 Etiologi
a. Toxoplasma gondii
b. Other : Hepatitis B, Sifilis, Streptococcus B, campak, morbilli, varicella- zoster, dll
c. Rubella virus/ German measles
d. Cytomegalo virus (CMV)
e. Herpes simpleks virus (HSV-1, HSV-2)
2.3 Toxoplasma Kongenital
a. Aspek klinik dan perilaku biologik toksoplasma kongenital
Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut
terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah
memiliki antibodi antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir
memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/ 1.000 ibu hamil. Risiko meningkat
menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik.
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan
parasit dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasit
berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi
janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta
dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil isolasi positif di jaringan plasenta
menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif
menegaskan infeksi neonatus tidak ada.
Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan
toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh
janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat
toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum
terinfeksinya janin. Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasilhasil penelitian sebagai berikut :
2
transplasental. Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2-4 gr/ hari per
oral dibagi menjadi 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu
kerja
enzim
dihidrofolat
reduktase
dengan
akibat
sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayurmayur sebagai lalapan harus dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya
diberi makanan matang dan dicegah berburu burung dan tikus.
Pada prinsipnya penggunaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada
manusia. Akan tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap individu-individu
imunodefisiensi,
ibu
hamil,
dan
meningkatnya
kerugian
ekonomis
akibat
(gametogoni
sporogoni)
ookista
(dalam
tinja
kucing)
2.4 Rubella
a. Definisi
8
kehamilan
pertengahan
pertama,
makin
awal
(trimester
menemukan
katarak
bawaan
di
78
bayi
yang
ibunya
formalin,
sinar
ultraviolet,
pH
rendah,
panas,
dan
non-spesifik
b-lipoprotein
inhibitor
terhadap
dapat
ditemukan
(deteksi)
melalui
Congenital
Rubella
Syndrome
(CRS)
Pada
Kehamilan
a)
Infeksi pada trimester pertama
Kisaran kelainan berhubungan dengan umur kehamilan.
Risiko
terjadinya
kerusakan
apabila
infeksi
terjadi
pada
menjadi
transient,
permulaan
yang
medium
dan
besar
dalam
sistem
peredaran
CRS
tidak
dan
auditory
brain
stem
responses
saat
ini
kelainan
pendengaran
lebih
awal,
juga
saat
aspirasi
katarak
manifestasi
dan
klinis
neovaskularisasi
lambat
CRS.
retina
Manifestasi
kehidupan mereka.6
Infeksi setelah trimester pertama
Virus rubella dapat diisolasi dari ibu yang mendapatkan
infeksi
setelah
trimester
pertama
kehamilan.
Penelitian
d)
Reinfeksi
Reinfeksi oleh rubella lebih sering terjadi setelah diberikan
vaksinasi daripada yang didapat infeksi secara alami. Reinfeksi
secara umum asimtomatik dan diketahui melalui pemeriksaan
serologis terhadap ibu yang pernah kontak dengan rubella.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko terjadinya
reinfeksi selama trimester pertama hanya 510%.
Antibodi terhadap virus rubella muncul setelah ruam mulai
menghilang, dengan ditemukannya kadar IgG dam IgM.
Antibodi IgG terdapat dalam tubuh selama hidup, sedangkan
IgM antibodi biasanya menurun setelah 4 hingga lima 5
minggu. Infeksi fetal biasanya disertai pengalihan (transfer)
plasental dari IgG ibu. Sebagai tambahan, kadar IgM fetal
dihasilkan
oleh
meningkat
saat
midgesation.
kelahiran
Kadar
bayi
IgM
yang
secara
umum
terinfeksi.
Upaya
tetapi
biasanya
asimtomatik
dan
dapat
ditemukan
peningkatan IgG.
Viremia ditemukan di sukarelawan dengan kadar titer
rubella rendah setelah mendapatkan vaksinasi rubella. Hal ini
menandakan bahwa viremia juga dapat terjadi pada saat
reinfeksi. Meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa
vaksin virus rubella dapat melalui perintang (barier) plasenta
dan dapat menginfeksi janin selama kehamilan muda, tetapi
risiko terjadinya kelainan bawaan akibat vaksinasi rendah
sampai tidak ada sama sekali.
d. Patogenesis
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami
replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia
terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus
rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke
setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita.
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 1421 hari. Masa
penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan
(onset) ruam (rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat menular.
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena
proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak
(faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella
dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan
langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan
hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh
kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh
virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan
daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili
korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke
dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa
virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya
13
Perbedaan
ini
terjadi
karena
janin
terlindung
oleh
bulan
pertama
kehamilan
dapat
menyebabkan
fetal
malformation 50% 80%, 25% pada bulan kedua dan 17% pada
bulan ketiga.8 Infeksi maternal pada usia kehamilan1530 minggu
risiko infeksi janin menurun yaitu 30% atau 1020%.
Bayi di diagnosis mengalami CRS apabila mengalami 2 gejala
pada kriteria A, atau 1 kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
1) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling
sering adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary
artery stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina.
2) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,
meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak
gelap pada hasil foto rontgen).
Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan
pendengaran merupakan cacat paling umum yang ditemukan di bayi
dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran menurut WHO adalah
batas pendengaran 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan
bersifat permanen.
14
tubuh
lainnya,
tetapi
pengasingan
tersebut
mungkin
atau
tanda
yang
berhubungan
seperti
kehilangan
virus
rubella
dan
untuk
penapisan
keadaan
(status)
kemih
dan
lain-lain.
Berikut
tabel
yang
memuat
jenis
Jenis Pemeriksaan
1.
Pengasingan
(isolasi) Virus
2.
Serologik
Jenis Spesimen
Fetus / Bayi
Ibu
Sekret hidung, darah,
Sekret hidung,
hapusan tenggorok,
darah, hapusan
air kemih, cairan
tenggorok, air
serebrospinal
kemih, cairan
serebrospinal.
Darah fetus melalui
Darah
kordosintesis, serum,
16
ludah
3.
RNA
Darah
Passive
Hemaglutination
17
(PHA),
Indirect
fluorescent
immunoassay
(IFA),
Enzyme
immunoassay
(EIA-IgM,
IgG),
serta
Radioimmunoassay.
IgM
-
IgG
-
15 IU/ml
15 IU/ml
Penafsiran
Tak ada
perlindungan; perlu
dipantau lebih lanjut
Infeksi akut dini (<1
minggu)
Baru mengalami
infeksi
(112 minggu)
Imun, tidak perlu
pemantauan lebih
lanjut
untuk
ibu
hamil
jika
untuk
campak
terserang
virus
Jerman. 7
ini
maka
aborsi
dikarenakan
alasan
tertentu,
tetapi
yang
dikandung.
Selanjutnya
pengobatan
lain
rubella
harus
telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transufusi darah. Dengan cara ini
diperkirakan prevelensinya sebsar 3-5 %.
a. Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut
infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta
virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas.
Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini
disebut sebagai infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multipikasi
virus. Keadaan itu misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun
karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien
ataupun penderita dengan keganasan.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit
tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan
bahwa kedua keadaan tersebut menekan respon sel limfosit T sehingga timbul
stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari
periode laten disertai berbagai sindrom.
b. Epidemiologi
Di negara-negara maju CMV adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
utama dengan angka kejadian 0.3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa
10-15% bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan
manifestasi klinik akibat terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya
(multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya
cacat neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa
hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan psikomotor, ikterus,
petechie, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral.
Sebanyak 10-15% bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimptomatis)
serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat
neurologik seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan pengheliatan
diperkirakan 1-2 tahum kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah
penyebab utama kerusakan sistem saraf pusat pada anak-anak.
c. Infeksi CMV pada kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi
pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun
endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil
20
dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan
seropositif.
Infeksi endogenik adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam
keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh
lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).
d. Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik
maupun virologik. Dengan merode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat
ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif ( tampak
adanya IgM dan IgG anti-CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval
kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer dapat pula ditentukan
dengan Low IgG Avidity, yaitu antobodi kelas IgG menunjukkan fungsional
aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah
infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukkan IgG
aviditas rendah terhadap CMV.
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluorosen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang
mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo
dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.
e. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadao ibu dengan kehamilan yang
menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini karena
diperkirakan 70% dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan demikian,
diagnosis pranatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak perlu terhadap
janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat
berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi
karena pengobtan dengan antivirus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif dan
memuaskan.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi
virus pada cairan ketuban yang diperoleh seletah amniosintesis. Amniosintesis dalam
hubungan ini paling baik dikerjakan pada kehamilan usia 21-23 minggu karean tiga
hal berikut :
1) Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum umur
kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengeksresi virus sitomegalo
melalui urin ke dalam cairan ketuban
2) Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus dapat
ditemukan dalam cairan ketuban
21
3) Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi
maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.
22
23
24
Infeksi primer : kejadian dimana HSV-1 atau HSV-2 tidak terungkap ( antibody
negatif pada HSV-1 dan HSV-1) pada tipe virus.
Non-primary first episoded : merupakan episode pertama ditemukannya, tapi
seseorang memiliki antobodi HSV-1 atau HSV-2 yang terlihat.
Recurrent : infeksi berulang yang sebelumnya memiliki antibodi terhafap virus
tersebut.
First clinically recognized episode of infection : ini sangat penting untuk
dikonsultasikan selama kehamilan.
4) Implikasi HSV genital selama kehamilan
Infeksi primer dalam kehamilan
Resiko infeksi neonatus terlihat paling besar saat infeksi primer
maternal pada trimester ketiga. Pada situasi ini, ibu mendapatkan infeksi
tapi tak mampu merubahnya menjadi IgG untuk persalinan dan proses
persalinan terjadi tanpa adanya perlingusngan dari IgG pasif dari ibunya.
Pada kasusu ini sekitar 30-50% resiki infeksi herpes neonatal.
25
Infeksi
primer
pada
trimester
pertama
ataupu
kedua
dapat
persalinan.
Mode persalinan herpes genital pada maternal rekuren
Caesarean section direkomendasikan jika lesi HSV tampak pada saat
proses persalinan. Pada kasus ini jika lesi ada pada vulva area, ini dapat
pula meimiliki resiko penularan virus vaginal atau sekvikal. Untuk
mencegah herpes neonatal, Caesarian section sebaiknya dilakukan 4 jam
setelah pecahnya selaput ketuban.
Jika PPROM dimana terjadi prolongasi kehamilan, maka penggunaan
dini
Wanita dengan HSV genital rekurens sebaiknya berkonsultasi tentang
caesarian section jika terdapat gejala prodromal atau adanya lesi HSV
Wanita yang diketahui dengan infeksi HSV genital rekurens sebaiknya
diberikan acyclovir atau valacuclovir supresi pada usia kehamilan 36
minggu untuk menurunkan resiko lesi dan penularan virus pada saat proses
meurunkan resiko.
Wanita hamil yang tak meiliki riwayat HSV tapi yang memiliki suami
dengan HSV genital sebaiknya melakukan tes spesifik serologi untuk
mencegah resiko dari tertularnya HSV genital selama kehamilan. Tes ini
harus dilakukan kembali saat gestasi berusia 32 sampai 34 minggu.
27
28
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi TORCH pada kehamilan merupakan hal serius yang harus ditangani karena dapat
menyebabkan abortus maupun kelahiran cacat pada janin. Wanita sebaiknya melakukan tes
serologi sebelum kehamilan untuk menghindari bahaya infeksi TORCH.jika sudah terinfeksi
tak ada obat yang dapat diberikan pada ibu hamil pada kasus rubella dan cytomegalovirus
sedangkan pada pasien toxoplasma gondii dan herpes simplex terdapat obat walaupun dengan
berbagai tindakan khusus harus tetap dilaksanakan. Untuk pencegahan infeksi, hanya infeksi
rubella yang dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Anzivino, Elena et al. Virology Journal : Herpes simplex virus infection in
pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and
prevention. BioMed Central. 2009; 6 (40) : 1-11
2. Cunningham, F. Gary , et al. 2012. Obstetri Williams- vol 2- ed 23. Jakarta :
EGC, hlm : 1278-1290
3. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1-ed 2. Jakarta : EGC
4. Money, Deborah et al. Guidelines for the Management of Herpes Simplex
Virus In
5. Pregnancy. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. 2008; 208 : 514- 519
6. Taechowisan, Thongchai et al. Imune status in congenital infection by TORCH
7. Agents in Pregnant Thais. Asian Pasific Journal Of Allergy and Immunology.
1997; 15: 93-97
8. Saifudin, Abdul Bari et al. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo ed4. Jakarta : P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hlm : 935-945
30