You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


TORCH merupakan satu dari antara penyakit infeksi yang diderita oleh ibu hamil dan
dapat menyebabkan kelainan kongenital. TORCH merupakan akronim dari toxoplasma,
other ( hepatitis b), rubella, cytomegalo virus, herpes simplek virus. Kurangnya informasi
tentang TORCH ini menyebabkan masih banyak ibu hamil yang terinfeksi dan merupakan
momok yang sangat berbahaya di masyarakat. Infeksi TORCH banyak disebarkan oleh
hewan peliharaan di sekitar rumah sehingga setiap inu hamil mempunyai resiko terinfeksi.
Diharapkan adanya ANC yang baik bagi setiap ibu hamil untuk mengurangi resikonya.
Bila infeksi ini mengenai ibu hamil pada trimester pertama akan menyebabkan 20%
janin terinfeksi toxoplasma akan mengalami kematian, bila ibu terinfeksi pada trimester
ketiga, 65 % janin akan terinfeksi. Ibu hamil yang terinfeksi virus rubela pada tiga bulan
pertama berisiko mengalami gangguan pembentukan dan perkembangan janin sebesar 5058 % dapat pula menyebabkan abortus spontan 20%.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara setiap pasangan yang akan
menikah untuk memeriksakan diri sedini mungkin untuk dapat mengetahui apakah
terinfeksi TORCH atau tidak dan pencegahan dapat segera diberikan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
TORCH adalah sebuah akronim yang menggambarkan gabungan dari beberapa jenis
agen infeksi. Semua agen infeksi ini sama-sama berbahaya bagi janin bila infeksi diderita
oleh ibu hamil.
T = toxoplasma
O = other
R = rubella
C = cytomegalovirus
H = herpes
2.2 Etiologi
a. Toxoplasma gondii
b. Other : Hepatitis B, Sifilis, Streptococcus B, campak, morbilli, varicella- zoster, dll
c. Rubella virus/ German measles
d. Cytomegalo virus (CMV)
e. Herpes simpleks virus (HSV-1, HSV-2)
2.3 Toxoplasma Kongenital
a. Aspek klinik dan perilaku biologik toksoplasma kongenital
Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut
terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah
memiliki antibodi antitoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir
memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/ 1.000 ibu hamil. Risiko meningkat
menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik.
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan
parasit dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasit
berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi
janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta
dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil isolasi positif di jaringan plasenta
menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif
menegaskan infeksi neonatus tidak ada.
Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan
toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh
janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat
toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum
terinfeksinya janin. Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasilhasil penelitian sebagai berikut :
2

1) Frekuensi infeksi toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi


plasenta.
2) Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi maternal
serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan.
b. Diagnosis pranatal
Menyadari besarnya dampak toksoplasmosis kongenital pada janin, bayi, serta
anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin pranatal pada ibu hamil,
maka para klinisi/ obstetrikus memperkenalkan metode baru yang merupakan koreksi
atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang lampau. Konsep lama
hanya bersifat empiris dan berpedoman pada hasil uji serologik ibu hamil. Saat ini
pemanfaatan tindakan kordosentesis dan amniosintesis dengan panduan ultrasonografi
guna memperoleh darah janin ataupun cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostik
merupakan ciri para obstetrikus pada dekade 90-an. Selanjutnya segera dilakukan
pemeriksaan spesifik dan rumit yang sifatnya biomolekuler atas komponen janin
tersebut ( darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatif singkat dengan ketepatan
yang tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya ini
disebut dengan diagnosis pranatal.
Bahkan, diagnostik pranatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau
menekan risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu
hamil berupa nasihat menghindari makanan atau minuman yang kurang dimasak
kurang berhasil. Oleh karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut sebagai prevensi
sekunder.
Diagnostik pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu
( trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :
1) Kordosentesis ( pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun
amniosentesis ( aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi
2) Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblas, ataupun
diinokulasi ke dalam ruang peritonium tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan
untuk mendeteksi adanya parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit.
Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mendeteksi DNA T. gondii pada darah
janin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin
guna mendeteksi antibodi IgM janin spesifik (antitoksoplasma)

3) Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit


dan eusinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8. Daffos at al (1988)
mengembangkan tindakan diagnosis prenatal untuk toksplasmosis kongenital
dengan serial/ berulang. Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan
pada umur kehamilan 19 minggu. Dan sterusnya
Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
yang menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin.
Ditemukan parasit pada kultur atau inokulusi tikus dan DNA T. gondii dengan PCR
darah janin ataupun cairan ketuban.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya
diagnostik pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut.
1) Didahului oleh skrinning serologik maternal/ ibu hamil, hasilnya harus memenuhi
kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari
4 syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
Antibodi IgM +
Serokonversi dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu, perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG
Titer IgG yang tinggi 1/ 1024 (ELISA)
Aviditas IgG 200
2) Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntutan
ultrasonografi
3) Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit
dan khusus di laboraturium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA,
dan PCR

c. Terapi dan Pencegahan


Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut :
1) Kehamilan dengan infeksi akut
Spiramisin
Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spektrum antibakterial;
konsentrasi tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan
ataupun membunuh organisme belum diketahui. Di jaringan obat ini
ditentukan kadar/ konsentrasi yang tinggi terutama pada plasenta tanpa
melewatinya serta aktif membunuh takizoit sehingga menekan transmisi
4

transplasental. Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2-4 gr/ hari per
oral dibagi menjadi 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu

sampai kehamilan aterm.


Piremitamin
Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antimalaria, terbukti juga
sebagai pengobatan radikal pada hewan eksperimental yang dikenakan
infeksi toksoplasmosis. Obat ini bertahan lama dalam darah dengan waktu
paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek akumulatif pada
jaringan, pemberian obat dianjurkan setiap 3-4 hari. Piremitamin dan
sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar
terhadap toksoplasma. Kedua obat ini bekerja memblokir jalur
metabolisme asam folat dan asam para aminobenzoat parasit karena
menghambat

kerja

enzim

dihidrofolat

reduktase

dengan

akibat

terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua


obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.
Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas.
Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan
reversibel dengan akibat penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang
menyebabkan tendensi perdarahan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu
pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali seminggu serta penggunaan
asam folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang menghambat efek
depresi sumsum tulang dari piremetamin. Bersama asam folinik
ditambahkan pula ragi yang tidak akan merugikan pengobatan
toksoplasmosis.
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan
Kraubig menganjurkan pemakaian obat ini dimulai trimester II setelah
umur kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin.
Kombinasi piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik sebagai penggunaan
simultan diberikan selama 21 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral
dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuskular tiap
minggu selama pemakaian piremitamin. Klindamisin cukup efektif
terhadap takizoit, tetapi dapat menyebabkan kolitis ulseratif.
2) Toksoplsama kongenital
Sulfadiazin dengan dosis 50-100mg/kg/hari dan piremitamin 0.5-1 mg/kg
diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi intramuskular
asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin
5

terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak berusia 1 tahun


karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk melawan penyakit
pada masa tersebut.
3) Penderita imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati.
Pengobatan di sini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu
menggunakan piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik dalam jangka panjang.
Piremitamin dan sulfadiazin dapat memlalui barier otak.
Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi
yang berisiko seperti ibu hamil dengan seronegatif. Upaya tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak. Ookista
mati dengan pemanasan 90C selama 30 detik, 80C untuk 1 menit dan 70C
untuk 2 menit. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi.
2) Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama
kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti
kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang terutama dipelihara
sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hosper perantara yang
merupakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat
yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga
berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting
untuk T.gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat
mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari dalam 12 minggu. Ookista menjadi
matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas
dan lembab. Ookista mati pada suhu 45-55C, juga mati bila dikeringkan atau bila
bercampur formalin, amonia, atau laurtan iodium. Transmisi melalui bentuk ookista
menunjukkan infeksi T.gondii pada orang yang tidak senang makan daging atau
terjadi pada binatang herbivora.
Untuk mencegah infeksi T.gondii (terutama pada ibu hamil) harus dihindari
makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan menelan
ookista matang yang terdapat pada tinja kucing. Kista jaringan dalam daging tidak
infektif lagi bila sudah dipanaskan samapai 66C atau diasap. Setelah memegang
daging mentah (jagal, atau tukang masak), sebaiknya tangan dicuci bersih dengan
6

sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayurmayur sebagai lalapan harus dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya
diberi makanan matang dan dicegah berburu burung dan tikus.
Pada prinsipnya penggunaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada
manusia. Akan tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap individu-individu
imunodefisiensi,

ibu

hamil,

dan

meningkatnya

kerugian

ekonomis

akibat

toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan vaksin mulai dipikirkan.


Prinsipnya adalah menginduksi respon imun dalam usus karena infeksi dengan
T.gondii utama terjadi pada kelenjar getah bening mesenterik. Di sini tidak digunakan
adjuvan tetapi fungsinya diganti oleh immunostimulating complexes (ISCOMS), yaitu
suatu formulasi protein dalam matriks yang terdiri atas lipid dan Quikl A (saponin
yang dimurnikan). Kemudian di dalamnya ditumpangkan membran antigen (P 30 dan
P22).
d. Siklus hidup
Daur hidup Toxoplasma gondii
1) Pada manusia
Dalam sel epitel usus kucing berlangsung daur seksual (skigozoni) dan daur
seksual

(gametogoni

sporogoni)

ookista

(dalam

tinja

kucing)

trofozoit (apabila tertelan manusia)


tazoit
kista (berisi bradizoit).
Pada hospes perantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi dibentuk
pada stadium istirahat yaitu kista jaringan. Bila kucing sebagai hospes
definitive maka hospes perantara yang terinfeksi, maka terbentuk lagi
berbagai stadium seksual di dalam sel epitel usus halusnya.
2) Pada kucing
Jaringan tubuh kucing
trofozoit
takizoit (berkembang secara
endodiogenesis)
sel pecah
membentuk dinding (kista jaringan)
Kista jaringan ini dpat ditemukan di dalam hospes seumur hidup

Gambar 1 : siklus hidup T.gondii

2.4 Rubella
a. Definisi
8

Rubella, umumnya dikenal sebagai campak Jerman, adalah


penyakit yang disebabkan oleh virus rubella yang termasuk famili
Togaviridae dan genus Rubivirus. Nama "rubella" berasal dari bahasa
latin yang berarti sedikit merah. Rubella juga dikenal sebagai
campak Jerman karena penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh
dokter Jerman pada pertengahan abad kedelapan belas. Penyakit ini
sering ringan dan serangan sering berlalu tanpa diketahui. Penyakit
ini bisa berlangsung satu sampai tiga hari. Anak-anak sembuh lebih
cepat daripada orang dewasa. Infeksi dari ibu oleh virus Rubella saat
hamil bisa serius, jika ibu terinfeksi dalam 20 minggu pertama
kehamilan, anak bisa lahir dengan sindrom rubella bawaan (CRS),
yang memerlukan berbagai penyakit tak tersembuhkan yang serius.
Aborsi spontan terjadi pada hingga 20% kasus.
Walaupun infeksi virus rubella itu tidak menyebabkan gejala yang jelas
(asimtomatik) pada ibu hamil, akan tetapi akibatnya pada bayi yang dikandung sangat
berbahaya, antara lain bayi akan lahir dengan menderita cacat bawaan (congenital
malforma-tion), misalnya cacat penglihatan, pendengaran, kelainan jantung dan
kelainan ekstremitas tubuh. Rubela hanya mengancam janin bila didapat
saat

kehamilan

pertengahan

pertama,

makin

awal

(trimester

pertama) ibu hamil terinfeksi rubela makin serius akibatnya pada


bayi.
b. Epidemiologi
Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada
tahun 1941 oleh Norman Greg seorang ahli optalmologi Australia
yang

menemukan

katarak

bawaan

di

78

bayi

yang

ibunya

mengalami infeksi rubella di awal kehamilannya. Berdasarkan data


dari WHO paling tidak 236 ribu kasus CRS terjadi setiap tahun di
negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat saat terjadi epidemi.
kasus CRS tahun 1999 per jumlah penduduk dilaporkan di Indonesia
sebanyak 7 kasus dengan jumlah penduduk 238.452.952.
Sindroma rubella kongenital terjadi pada 25% atau lebih bayi
yang lahir dari ibu yang menderita rubella pada trimester pertama.
Jika ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan berusia lebih dari 20
9

minggu, jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. Kelainan bawaan


yang bisa ditemukan pada bayi baru lahir adalah tuli, katarak,
mikrosefalus, keterbelakangan mental, kelainan jantung bawaan dan
kelainan lainnya.
c. Etiologi
1. Virus Rubella
Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus
Rubivirus, famili Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang
tidak dapat bereaksi silang dengan sejumlah grup Togavirus
lainnya. Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase, pelarut
lemak,

formalin,

sinar

ultraviolet,

pH

rendah,

panas,

dan

amantadine tetapi nisbi (relatif) rentan terhadap pembekuan,


pencairan atau sonikasi. Virus rubella terdiri atas dua sub unit
struktur besar, satu berkaitan dengan envelope virus dan yang
lainnya berkaitan dengan nucleoprotein core.
Meskipun Virus rubella dapat dibiakkan dalam berbagai
biakan (kultur) sel, infeksi virus ini secara rutin didiagnosis melalui
metode serologis yang cepat dan praktis. Baik sel darah merah
maupun serum penderita yang terinfeksi virus rubella memiliki
sebuah

non-spesifik

b-lipoprotein

inhibitor

terhadap

hemaglutinasi. Aktivitas komplemen berhubungan secara primer


dengan envelope, meskipun beberapa aktivitas juga berhubungan
dengan nukleoprotein core. Baik hemaglutinasi maupun antigen
complement-fixing

dapat

ditemukan

(deteksi)

melalui

pemeriksaan serologis. Virus rubella mengalami replikasi di dalam


sel inang.
2. Risiko Terjadinya

Congenital

Rubella

Syndrome

(CRS)

Pada

Kehamilan
a)
Infeksi pada trimester pertama
Kisaran kelainan berhubungan dengan umur kehamilan.
Risiko

terjadinya

kerusakan

apabila

infeksi

terjadi

pada

trimester pertama kehamilan mencapai 8090%. Virus rubella


terus mengalami replikasi dan diekskresi oleh janin dengan
CRS dan hal ini mengakibatkan infeksi pada persentuhan
10

(kontak) yang rentan. Gambaran klinis CRS digolongkan


(klasifikasikan)

menjadi

transient,

permulaan

yang

tertangguhkan (delayed onset, dan permanent). Kelainan


pertumbuhan seperti ketulian mungkin tidak akan muncul
selama beberapa bulan atau beberapa tahun, tetapi akan
muncul pada waktu yang tidak tentu.
Kelainan kardiovaskuler seperti periapan (proliferasi) dan
kerusakan lapisan seluruh (integral) pembuluh darah dapat
menyebabkan kerusakan yang membuntu (obstruktif) arteri
berukuran

medium

dan

besar

dalam

sistem

(sirkulasi) pulmoner dan bersistem (sistemik).


Ketulian yang terjadi pada bayi dengan

peredaran
CRS

tidak

diperkirakan sebelumnya. Metode untuk mengetahui adanya


kehilangan pendengaran janin seperti pemancaran (emisi)
otoakustik

dan

auditory

brain

stem

responses

saat

ini

dikerjakan untuk menyaring bayi yang berisiko dan akan


mencegah

kelainan

pendengaran

lebih

awal,

juga

saat

neonatus. Peralatan ini mahal dan tidak dapat digunakan di


luar laboratorium. Kekurangan inilah yang sering terjadi di
negara berkembang tempat CRS paling sering terjadi.
Kelainan mata dapat berupa apakia glaukoma setelah
dilakukan
merupakan

aspirasi

katarak

manifestasi

dan

klinis

neovaskularisasi

lambat

CRS.

retina

Manifestasi

permulaan yang tertangguhkan (delayed-onset) CRS yang


paling sering adalah terjadinya diabetes mellitus tipe 1.
Penelitian lanjutan di Australia terhadap anak yang lahir pada
tahun 1934 sampai 1941, menunjukkan bahwa sekitar 20%
diantaranya menjadi penderita diabetes pada dekade ketiga
b)

kehidupan mereka.6
Infeksi setelah trimester pertama
Virus rubella dapat diisolasi dari ibu yang mendapatkan
infeksi

setelah

trimester

pertama

kehamilan.

Penelitian

serologis menunjukkan sepertiga dari bayi yang lahir dari ibu


yang terinfeksi virus rubella pada umur 1620 minggu
memiliki IgM spesifik rubella saat lahir. Penelitian di negara
11

lain menunjukkan bahwa infeksi maternal diperoleh usia 1320


minggu kehamilan dan dari bayi yang menderita kelainan
akibat infeksi virus rubella terdapat 1618%, tetapi setelah
periode ini insidennya kurang dari 12%. Ketulian dan retinopati
sering merupakan gejala tunggal infeksi bawaan (congenital)
meski retinopati secara umum tidak menimbukan kebutaan.
c)

Infeksi yang terjadi sebelum penghamilan (konsepsi)


Dalam laporan kasus perorangan (individual), infeksi virus
rubella yang terjadi sebelum penghamilan (konsepsi), telah
merangsang terjadinya infeksi bawaan. Penelitian prospektif
lain yang dilakukan di Inggris dan Jerman, yang melibatkan 38
bayi yang lahir dari ibu yang menderita ruam sebelum masa
penghamilan (konsepsi), virus rubella tidak ditransmisikan
kepada janin. Semua bayi tersebut tidak terbukti secara
serologis terserang infeksi virus ini, berbeda dengan 10 bayi
yang ibunya menderita ruam antara 3 dan 6 minggu setelah
menstruasi terakhir.

d)

Reinfeksi
Reinfeksi oleh rubella lebih sering terjadi setelah diberikan
vaksinasi daripada yang didapat infeksi secara alami. Reinfeksi
secara umum asimtomatik dan diketahui melalui pemeriksaan
serologis terhadap ibu yang pernah kontak dengan rubella.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko terjadinya
reinfeksi selama trimester pertama hanya 510%.
Antibodi terhadap virus rubella muncul setelah ruam mulai
menghilang, dengan ditemukannya kadar IgG dam IgM.
Antibodi IgG terdapat dalam tubuh selama hidup, sedangkan
IgM antibodi biasanya menurun setelah 4 hingga lima 5
minggu. Infeksi fetal biasanya disertai pengalihan (transfer)
plasental dari IgG ibu. Sebagai tambahan, kadar IgM fetal
dihasilkan

oleh

meningkat

saat

midgesation.
kelahiran

Kadar

bayi

IgM

yang

secara

umum

terinfeksi.

Upaya

penapisan (skrining) terhadap infeksi bawaan dapat dilakukan


dengan menghitung kadar IgMMeski reinfeksi dapat terjadi,
12

tetapi

biasanya

asimtomatik

dan

dapat

ditemukan

peningkatan IgG.
Viremia ditemukan di sukarelawan dengan kadar titer
rubella rendah setelah mendapatkan vaksinasi rubella. Hal ini
menandakan bahwa viremia juga dapat terjadi pada saat
reinfeksi. Meskipun beberapa penelitian menyebutkan bahwa
vaksin virus rubella dapat melalui perintang (barier) plasenta
dan dapat menginfeksi janin selama kehamilan muda, tetapi
risiko terjadinya kelainan bawaan akibat vaksinasi rendah
sampai tidak ada sama sekali.
d. Patogenesis
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami
replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia
terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus
rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat menular ke
setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita.
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 1421 hari. Masa
penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan
(onset) ruam (rash). Pada episode ini, Virus rubella sangat menular.
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia
berlangsung. Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena
proses pembelahan terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak
(faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella
dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan
langsung. Virus dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan
hingga beberapa bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran.
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh
kerusakan sel akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh
virus. Infeksi plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan
daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili
korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke
dalam lumen pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa
virus rubella dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin
sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya
13

mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan


muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran
khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya nekrosis
seluler tanpa disertai tanda peradangan.
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek.
Organ janin dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih
rendah daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga dapat memacu
terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal
terjadi setelah trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi)
dan beratnya derajat kerusakan janin menurun secara tiba-tiba
(drastis).

Perbedaan

ini

terjadi

karena

janin

terlindung

oleh

perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin, baik


yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi
maternal yang dialihkan (transfer) secara pasif.
e. Manifestasi Klinis
Risiko infeksi janin beragam berdasarkan waktu terjadinya infeksi
maternal. Apabila infeksi terjadi pada 012 minggu usia kehamilan,
maka terjadi 8090% risiko infeksi janin. Infeksi maternal yang
terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi janin. Infeksi
pada

bulan

pertama

kehamilan

dapat

menyebabkan

fetal

malformation 50% 80%, 25% pada bulan kedua dan 17% pada
bulan ketiga.8 Infeksi maternal pada usia kehamilan1530 minggu
risiko infeksi janin menurun yaitu 30% atau 1020%.
Bayi di diagnosis mengalami CRS apabila mengalami 2 gejala
pada kriteria A, atau 1 kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:
1) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit jantung bawaan (paling
sering adalah patient ductus arteriosus atau peripheral pulmonary
artery stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina.
2) Purpura, splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental,
meningoensefalitis dan radiolucent bone disease (tulang tampak
gelap pada hasil foto rontgen).
Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan
pendengaran merupakan cacat paling umum yang ditemukan di bayi
dengan CRS. Definisi kehilangan pendengaran menurut WHO adalah
batas pendengaran 26 dB yang tidak dapat disembuhkan dan
bersifat permanen.
14

Periode prodromal dapat tanpa gejala (asimtomatis), dapat juga


badan terasa lemah, demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi
konjungtiva. Gejala mulai timbul dalam waktu 14-21 hari setelah
terinfeksi. Pada dewasa, gejala awal tersebut sifatnya ringan atau
sama sekali tidak timbul. Ruam (kemerahan kulit) muncul dan
berlangsung selama 3 hari. Pada mulanya ruam timbul di wajah dan
leher, lalu menyebar ke batang badan, lengan dan tungkai. Pada
langit-langit mulut timbul bintik-bintik kemerahan. Pembengkakan
kelenjar akan berlangsung selama satu minggu atau lebih dan sakit
persendian akan berlangsung selama lebih dari dua minggu.
f. Diagnosis
Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan
mengasingkan (isolasi) virus dari swab tenggorokan, air kemih dan
cairan

tubuh

lainnya,

tetapi

pengasingan

tersebut

mungkin

memerlukan pemeriksaan berulang. Sehingga pemeriksaan serologis


merupakan pemeriksaan yang sangat dianjurkan. Pemeriksaan
antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk setiap neonatus dengan
berat badan lahir rendah yang juga memiliki gejala klinis rubella
bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut menandakan bahwa ia telah
perbatasan (barier) plasenta dan baru diketahui beberapa bulan
setelah kelahiran. Pemeriksaan serologis rubella berguna dalam
studi epideimologi untuk menentukan keterlibatan virus rubella
sebagai penyebab kehilangan pendengaran sensorineural pada
anak-anak.
Berdasarkan kriteria diagnosis klinis dan hasil pemeriksaan
laboratoris, kasus CRS dapat digolongkan menjadi 4 kelompok yaitu:
1) kasus kecurigaan (Suspected case)
kasus kecurigaan (Suspected case) adalah kasus dengan
beberapa gejala klinis tetapi tidak memenuhi kriteria klinis untuk
diagnosis CRS.
2) kasus berpeluang (Probable case).
Pada kasus ini, hasil pemeriksaan laboratorik tidak sesuai dengan
kriteria laboratoris untuk diagnosis CRS, tetapi mempunyai 2
penyulit (komplikasi) yang tersebut pada kriteria A atau satu
penyulit pada kriteria A dan satu penyulit pada kriteria B dan
15

tidak ada bukti etiologi. Pada kasus berpeluang (probable case),


baik satu atau kedua kelainan yang berhubungan dengan mata
(katarak dan glaukoma kongenital), dihitung sebagai penyulit
tunggal. Jika dikemudian hari ditemukan/terkenali (identifikasi)
keluhan

atau

tanda

yang

berhubungan

seperti

kehilangan

pendengaran, kasus ini akan digolongkan ulang.


3) kasus hanya infeksi (Infection only-case)
kasus hanya infeksi (Infection only-case) adalah kasus yang
diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorik terbukti ada infeksi
tetapi tidak disertai tanda dan gejala klinis CRS.
4) kasus terpastikan (Confirmed case)
Dalam kasus ini dijumpai gejala klinis dan didukung oleh hasil
pemeriksaan laboratorik yang positif.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Dan diagnosis pasti
pada ibu hamil bisa ditegakkan melalui pengukuran kadar antibodi
terhadap virus rubella.
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorik dikerjakan untuk menetapkan diagnosis
infeksi

virus

rubella

dan

untuk

penapisan

keadaan

(status)

imunologis. Karena tata langkah pengasingan (prosedur isolasi) virus


sangat lama dan mahal serta tanggap (respon) antibodi inang
sangat cepat dan spesifik maka pemeriksaan serologis lebih sering
dilakukan. Bahan pemeriksaan untuk menentukan adanya infeksi
virus rubella dapat diambil dari hapusan (swab) tenggorok, darah,
air

kemih

dan

lain-lain.

Berikut

tabel

yang

memuat

jenis

pemeriksaan dan spesimen yang digunakan untuk menentukan


infeksi virus rubella.
No

Jenis Pemeriksaan

1.

Pengasingan
(isolasi) Virus

2.

Serologik

Jenis Spesimen
Fetus / Bayi
Ibu
Sekret hidung, darah,
Sekret hidung,
hapusan tenggorok,
darah, hapusan
air kemih, cairan
tenggorok, air
serebrospinal
kemih, cairan
serebrospinal.
Darah fetus melalui
Darah
kordosintesis, serum,
16

ludah
3.

RNA

Cairan amnion fetus


melalui amniosintesis,
vili korealis, darah,
ludah

Darah

Jenis pemeriksaan dan spesimen untuk menentukan infeksi virus rubella

Primary rubella infection pada penderita dari rubella dijumpai


Antibodi IgM sesuai dengan gejala klinis yang ada. Pada acute Primary
Rubella Infection, IgM: dapat dideteksi hampir pada 100% kasus yaitu
pada hari 4-15 setelah munculnya rash. Menurun setelah 36-70 hari,
menghilang setelah 180 hari Asymptomatic reinfection pada wanita
hamil berbahaya untuk fetus, dengan karakteristik IgG meninggi dan
tidak dijumpai IgM, bisa ok IgM belum terdeteksi. Pemeriksaan IgM ini
tidak hanya untuk wanita hamil tapi perlu juga untuk wanita yang belum
hamil. IgG: meningkat cepat pada hari ke 7 s/d 21 kemudian menurun,
dan tetap tinggal sebagai protection.

Pedoman diagnosis CRS

Laboratory Diagnosis dapat digunakan untuk diagnosis Congenital


Rubella dan menentukan status imun pada wanita umur reproduktif.
Sedangkan metode pemeriksaan yang digunakan: Hemaglutination
inhibition,

Passive

Hemaglutination

17

(PHA),

Indirect

fluorescent

immunoassay

(IFA),

Enzyme

immunoassay

(EIA-IgM,

IgG),

serta

Radioimmunoassay.
IgM
-

IgG
-

15 IU/ml

15 IU/ml

Penafsiran
Tak ada
perlindungan; perlu
dipantau lebih lanjut
Infeksi akut dini (<1
minggu)
Baru mengalami
infeksi
(112 minggu)
Imun, tidak perlu
pemantauan lebih
lanjut

Penafsiran hasil IgM dan IgG ELISA untuk rubella

h. Penatalaksanaan dan Pencegahan


1) Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus
Pengobatan

untuk

ibu

hamil

jika

untuk

campak

terserang

virus

Jerman. 7
ini

maka

kemungkinannya dokter akan memberikan suntikan imunoglobulin


(Ig). Ig yang diberikan sesudah pajanan pada masa awal masa
kehamilan mungkin tidak melindungi terhadap terjadinya infeksi
atau viremia, tetapi mungkin bisa mengurangi gejala klinis yang
timbul. Ig kadang-kadang diberikan dalam dosis yang besar (20 ml)
kepada wanita hamil yang rentan terpajan penyakit ini yang tidak
menginginkan

aborsi

dikarenakan

alasan

tertentu,

tetapi

manfaatnya belum terbukti. Ig tidak dapat menghlangkan virus


rubela tetapi dapat membantu meringankan gejala-gejala yang
diberikan oleh virus ini dan dapat mengurangi risko-risiko pada janin.
Dengan kata lain, Ig dapat mengurangi gejala rubela tetapi tidak
dapat menghilangkan risiko infeksi yang diberikan virus rubela
terhadap janin

yang

dikandung.

Selanjutnya

pengobatan

lain

bersifat simptomatik, misalnya pemberian acetaminophen atau


ibuprofen untuk mengurangi demam.
2) Pencegahan
Pencegahan Rubella dapat dicegah dengan vaksin rubella.
Imunisasi rubella secara luas dan merata sangat penting untuk
18

mengendalikan penyebaran penyakit ini, yang pada akhirnya dapat


mencegah cacat bawaan/lahir akibat sindrom rubella bawaan. Vaksin
ini biasanya diberikan kepada anak-anak berusia 12 - 15 bulan dan
menjadi bagian dari imunisasi MMR yang telah terjadwal. Dosis kedua
MMR biasanya diberikan pada usia 4 - 6 tahun, dan tidak boleh lebih
dari 11 - 12 tahun. Sebagaimana dengan imunisasi lainnya, selalu
ada pengecualian tertentu dan kasus-kasus khusus. Dokter anak
akan memiliki informasi yang tepat. Vaksin rubella tidak boleh
diberikan kepada wanita hamil atau wanita yang akan hamil dalam
jangka waktu satu bulan sesudah pemberian vaksin. Jika anda
berpikir untuk hamil, pastikan bahwa anda kebal terhadap rubella
melalui tes darah. Jika tidak, sebaiknya anda mendapatkan vaksinasi
setidaknya satu bulan sebelum memulai kehamilan.
Wanita hamil yang tidak kebal terhadap

rubella

harus

menghindari orang yang mengidap penyakit ini harus diberikan


vaksinasi setelah melahirkan sehingga dia akan kebal terhadap
penyakit ini di kehamilan berikutnya. Dan semua kasus rubela harus
dilaporkan ke institusi yang berwenang.
2.5 Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan
struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan
pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan
tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di Amerika CMV merupakan penyebab
utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5- 2 % dari seluruh bayi neonatal). Yow dan
Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20 tahun atas morbiditas yang disebabkan
oleh CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV
diperoleh 50.000 bersifat simptomatis dengan kelainan reterdasi mental, kebutaan, dan
tuli sedangkan 120 ribu janin bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologik.
Penularan/ transmisi CMV ini berlangsung secara horizontal, vertikal, dan
berhubungan seksual. Transmisi horizontal terjadi melalui droplet infestion dan kontak
dengan air ludah dan seni. Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses
infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi
transplasenta selama kehamilan dan diperkirakan 0.5%- 2.5 % dari populasi neonatal. Di
masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang
19

telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transufusi darah. Dengan cara ini
diperkirakan prevelensinya sebsar 3-5 %.
a. Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut
infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta
virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas.
Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini
disebut sebagai infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multipikasi
virus. Keadaan itu misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun
karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien
ataupun penderita dengan keganasan.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit
tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan
bahwa kedua keadaan tersebut menekan respon sel limfosit T sehingga timbul
stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari
periode laten disertai berbagai sindrom.
b. Epidemiologi
Di negara-negara maju CMV adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
utama dengan angka kejadian 0.3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa
10-15% bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan
manifestasi klinik akibat terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya
(multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya
cacat neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa
hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan psikomotor, ikterus,
petechie, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral.
Sebanyak 10-15% bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimptomatis)
serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat
neurologik seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan pengheliatan
diperkirakan 1-2 tahum kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah
penyebab utama kerusakan sistem saraf pusat pada anak-anak.
c. Infeksi CMV pada kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi
pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun
endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil

20

dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan
seropositif.
Infeksi endogenik adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam
keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh
lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).
d. Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik
maupun virologik. Dengan merode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat
ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif ( tampak
adanya IgM dan IgG anti-CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval
kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer dapat pula ditentukan
dengan Low IgG Avidity, yaitu antobodi kelas IgG menunjukkan fungsional
aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah
infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukkan IgG
aviditas rendah terhadap CMV.
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluorosen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang
mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo
dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.
e. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadao ibu dengan kehamilan yang
menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini karena
diperkirakan 70% dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan demikian,
diagnosis pranatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak perlu terhadap
janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat
berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi
karena pengobtan dengan antivirus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif dan
memuaskan.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi
virus pada cairan ketuban yang diperoleh seletah amniosintesis. Amniosintesis dalam
hubungan ini paling baik dikerjakan pada kehamilan usia 21-23 minggu karean tiga
hal berikut :
1) Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum umur
kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengeksresi virus sitomegalo
melalui urin ke dalam cairan ketuban
2) Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus dapat
ditemukan dalam cairan ketuban
21

3) Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi
maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Gambar 2 : Kongenital CMV

Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis pranatal hasil amniosintesis


lebih baik jika dibandingkan dengan kordosintesis. Demikian pula halnya biopsi vili
korialis dikatakan tidak meningkatkan kemampuan mendiagnosis infeksi CMV
intrauterin. Kedua prosedur ini kordosintesis dan biopsi membawa resiko bagi janin,
bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan.
Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal
sangat membantu dalam mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi/ diduga terinfeksi
CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterin bila
didapatkan hal-hal berikut pada janin : oligohidraminion, polihidramnion, hidprops
nonimun, asites janin, gangguan pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali
serebral (hidrosefalus), kalsifikasi intrakranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi
intrahepatik.
f. Terapi dan Konseling

22

Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada


pengobatan infeksi kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer
yang terjadi pada umur kehamilan 20 minggu setelah memperhatikan hasil
diagnosis pranatal kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi
diberikan guna mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada
penderita dengan AIDS serta tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi CMV
setelah tranplasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah
Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir, dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum
dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta
resistensi. Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi kongenital.
2.6 Herpes Simplex Virus
Herpes simplex virus (HSV) adalah salah satu virus infeksi penyakit menular seksual
yang paling sering terjadi di dunia. Herpes simplex virus tipe 2 (HSV-2) adalah penyebab
utama herpes genital dan hampir selalu dapat ditularkan secara seksual. Herpes simplex
virus tipe 1 (HSV-1) biasanya ditransmisikan selama masa anak-anak tanpa kontak
seksual. Walaupun begitu, HSV-1 dapat menjadi kausa herpes genital di beberapa negara
berkembang. Di Amerika Serikat, HSV-1 adalah penyebab penting dalam herpes genital
dan meningkat pada kasus mahasiswa.
Insiden infeksi terbesar HSV adalah pada wanita usia reproduktif, resiko transmisi
virus kepada fetus atau neonatus adalah hal yang sangat dipikirkan di dunia kesehatan.
Penemuan terbaru tentang infeksi pertama kali oleh ibu adalah faktor penting dalam
transmisi herpes genital dari ibu kepada fetus ataupun neonatus. Faktanya wanita hamil
yang mendapatkan infeksi herpes genital sebagai infeksi primer pada masa kehamilannya
adalah resiko terbesar dalam menularkan virus kepada janinnya. Faktor resiko tambahan
untuk neonatus adalah infeksi HSV termasuk dalam penggunaan foetal-scalp electrode
dan usia ibu kurang dari 21 tahun. Ini berdasarkan dari penemuan baru dalam manajemen
ibu hamil dengan herpes genital untuk mencegah infeksi kembali selama kehamilan.
a. Epidemiologi
Infeksi HSV genital telah meningkat di negara berkembang. Hasil studi
peneliti Canada mengatakan HSV-2 pada wanita hamil dengan seropositif adalaj 17%
dengan range antara 7.1% hingga 28.1%. HSV neonatal merupakan hal yang
diperhitungkan dari herpes genital. Canadian neonatus menunjukkan infeksi HSV
adalah 1 dari 17.000 kelahiran. Menurut data Amerika Aerikat, insiden neinatus

23

dengan HSV adalah 1 dalam 3500 kelahiran. Ketidaksinambungan ini kemungkinan


terjadi karena terdapat kasus yang tidak dilaporkan.
b. Manifestasi klinis
1) Neonatal dan kongenital HSV
Neonatal HSV mendapatkan infeksi saat atau dekat dengan waktu persalinan
karena terpajan virus dari traktus genetalia ibu. Ada juga cara penyebaran lain
yang jarang ditemukan karena iatrogenik atau transimisi keluarga setelah
melahirkan dari oral atau lesi pasa kulit. Infeksi herpes neonatal didiagnosa
kesetelah bukti dari infeksi HSV bermanifestasi mebih dari 48 jam setelah proses
persalinan dimulai. Ini sangat membantu untuk membedakan neonatal dan
kongenital infeksi HSV. Kongenital HSV adalah fenomena yang sangat jarang
terjadi dalam penularan HSV dalam uterus yang dimana akan membentuk
gabungan infeksi yang disebut dengan infeksi TORCH.

Gambar 3 : penularan HSV pada kasus neonatal dan kongenital

Manifestasi dari infeksi HSV neonatal ataupun kongenital dapat


diklasifikasikan menjadi tiga level penyamit yaitu :

Infeksi kulit, mata, mulut ( 38% dapat berkembang menjadi penyakit

neurologis seperti swquela)


Penyakit sistem saraf pusat ( manifestasi sebagai ecpephalitis dengan atau

tanpa kulit, infeksi pada mulut dan mata)


Disseminated disease ( infeksi yang paling serius yang 90% berujung
mortal jika tidak ditangani)

24

Diagnosis dari infeksi herpes neonatal dapat dibuat dengan presentasi


klinis basal dan atau hasil positif dari kultur neonatus yang berusia lebih dari 48
jam pasca persalinan. Pada semua kasus suspect infeksi HSV neonatal dan
kongenital, harus berkonsultasi dengan ahli pediatri. Intravenous antiviral therapy
(acyclovir) sebaikknya diinisiasi secepat mungkin dengan standar dosis yang
tepat. Dengan penggunanaanya ada penurunan mortalitas (dari 58% menjadi 16%)
dan neurologic sequelae.
2) Maternal HSV
Infeksi genital pada kasus HSV biasanya pada oleh HSV-2 tapi akhir-akhir ini
meningkat frekuensinya oleh HSV-1, dan berimplikasi pada infeksi herpes
neonatal lebih sering di Canada. Manajemen HSV pada masa kehamilan
dibutuhkan untuk memehami manifestasi klinis pada penyakit.
3) Manifetasi klinis dari Herpes Genetalia
Infeksi HSV dapat dijelaskan dengan 2 cara yaitu :
Tahap infeksi : episode dimana pertama kali dikenali secara klinis dari

infeksi atau kejadian berulang


Prior immune status : primary or non-primary (infeksi biasanya pada
tempat yang berbeda.

Infeksi primer : kejadian dimana HSV-1 atau HSV-2 tidak terungkap ( antibody
negatif pada HSV-1 dan HSV-1) pada tipe virus.
Non-primary first episoded : merupakan episode pertama ditemukannya, tapi
seseorang memiliki antobodi HSV-1 atau HSV-2 yang terlihat.
Recurrent : infeksi berulang yang sebelumnya memiliki antibodi terhafap virus
tersebut.
First clinically recognized episode of infection : ini sangat penting untuk
dikonsultasikan selama kehamilan.
4) Implikasi HSV genital selama kehamilan
Infeksi primer dalam kehamilan
Resiko infeksi neonatus terlihat paling besar saat infeksi primer
maternal pada trimester ketiga. Pada situasi ini, ibu mendapatkan infeksi
tapi tak mampu merubahnya menjadi IgG untuk persalinan dan proses
persalinan terjadi tanpa adanya perlingusngan dari IgG pasif dari ibunya.
Pada kasusu ini sekitar 30-50% resiki infeksi herpes neonatal.
25

Infeksi

primer

pada

trimester

pertama

ataupu

kedua

dapat

meningkatkan abortus spontan atau prematuritas dan, pertumbuhan fetal


terhambat- fetal growth restriction. Pada kasus yang jarang transimis
uteroplacenta mengahasilkan infeksi kongenital (in utero). Manifetasi fetal
dapat berupa : mikrosepali, hepatosplenomegali, IUGR (intrauterine

growth restriction) dan IUFD (intrauterine fetal death).


Managemen pada infeksi HSV primer maternal
Penatalaksanaan dengan antiviral, termasuk selama kehamilan trimester
pertama, semiestinya dapat dilaksanakan jika simptom gejala jarang
ditemukan. Terdapat data penelitian yang cukup untuk menjamin acyclovir
aman saat kehamilan.
Jika selama kehamilan terdapa pasangan HSV discordant ( ketika ibu
hami dengan seronegative dan suaminya positif, nasihat harus diberikan
untuk tidak melakukan kontak oral-anogenital dan anogenital-anogenital
untuk mencegah tertularnya HSV. Antivirus juga harus diberikan kepada

sumai untuk menurunkan resiko penularan pada ibu hamil.


Mode pesalinan pada kasus wanita dengan infeksi HSV primer
Infeksi primer baik itu tipe 1 maupun tipe 2 pada teimester ketiga
kehamilan menunjukkan resiko tertinggi (30-50%) untuk terinfeksi. Pada
kasus yang tidak biasa, Caesarean section adalah mode yang disarankan.
Jika pada trimester ketiga atau dekat waktu persalinan serostatus tak
mampu ditetapkan maka mengatur seorang wanita sebagai infeksi primer
semestinya dilakukan. Kultur neonatal pada HSV sebaiknya dilakukan
setelah persalinan, dan neonatus harus di observasi sebagik-baiknya dari

tanda-tanda infeksi HSV.


HSV recurrent maternal pada kehamilan
Wanita hamil dengan infeksi herpes simplex yang mendapat infeksi
kembali dalam kehamilan akan memiliki antibofi IgG yang akan melewati
tranplasenta kepada fetus. Mungkin karena antibodi pasif protektif,
neonatus tak dapat mengembangkan infeksi herpes dari ibunya dengan
penyakit recurrent.
Jika lesi HSV genital ditemukan pada saat persalinan pervaginam maka
resiko infeksi neonataus yang telah dilaporkan adalah 2-5 %. Wanita yang
tak meiliki lesi juga tetap dapat memiliki resiko sebesar 1%.
Dari data yang diambil secara acak, pemberian suoresif antiviral pada
usia gestasi 36 minggu menurunkan resiko terpapar virus, lesi herpes, dan
26

kebutuhan untuk melakukan SC saat persalinan. Dosis pada penelitian ini


adalah acyclovir 400 mg yang dilakukan 3 kali sehari, atau acyclovir 200
mg yang diberikan empat kali sehari dari usia gestasi 36 minggu sampai

persalinan.
Mode persalinan herpes genital pada maternal rekuren
Caesarean section direkomendasikan jika lesi HSV tampak pada saat
proses persalinan. Pada kasus ini jika lesi ada pada vulva area, ini dapat
pula meimiliki resiko penularan virus vaginal atau sekvikal. Untuk
mencegah herpes neonatal, Caesarian section sebaiknya dilakukan 4 jam
setelah pecahnya selaput ketuban.
Jika PPROM dimana terjadi prolongasi kehamilan, maka penggunaan

supresif antivviral direkomendasikan untuk digunakan.


5) Postpartum
Jika lesi HSV tampak pada ibu post partum, maka cuci tangan dengan baik dan
tidakan hati-hati harus dilakukan. Tindakan hati-hati ini dilakukan pada semua
pasien yang kontak langsung pada pasien.
Kontraindikasi menyusui hanya jika ibu memiliki lesi aktif pada payudara
mereka.
6) Rekomendasi dan saran
Pasien dengan riwayat herpes genital sebaiknya mengevaluasi kemailan

dini
Wanita dengan HSV genital rekurens sebaiknya berkonsultasi tentang

resiko transmisi HSV pada neonatus saat proses persalinan


Pada saat persalinan wanita dengan HSV rekurens sebaiknya melakukan

caesarian section jika terdapat gejala prodromal atau adanya lesi HSV
Wanita yang diketahui dengan infeksi HSV genital rekurens sebaiknya
diberikan acyclovir atau valacuclovir supresi pada usia kehamilan 36
minggu untuk menurunkan resiko lesi dan penularan virus pada saat proses

persalinan dan menurunkan kebutuhan caesarian section


Wanita dengan herpes genital primer pada kehamilan trimester ketiga
memiliki resiko tinggi penularan HSV pada neonatus. Hal ini
menyebabkan persalinan sebaiknya dilakukan caesarian section untuk

meurunkan resiko.
Wanita hamil yang tak meiliki riwayat HSV tapi yang memiliki suami
dengan HSV genital sebaiknya melakukan tes spesifik serologi untuk
mencegah resiko dari tertularnya HSV genital selama kehamilan. Tes ini
harus dilakukan kembali saat gestasi berusia 32 sampai 34 minggu.
27

28

BAB III
KESIMPULAN
Infeksi TORCH pada kehamilan merupakan hal serius yang harus ditangani karena dapat
menyebabkan abortus maupun kelahiran cacat pada janin. Wanita sebaiknya melakukan tes
serologi sebelum kehamilan untuk menghindari bahaya infeksi TORCH.jika sudah terinfeksi
tak ada obat yang dapat diberikan pada ibu hamil pada kasus rubella dan cytomegalovirus
sedangkan pada pasien toxoplasma gondii dan herpes simplex terdapat obat walaupun dengan
berbagai tindakan khusus harus tetap dilaksanakan. Untuk pencegahan infeksi, hanya infeksi
rubella yang dapat dicegah dengan melakukan vaksinasi.

29

DAFTAR PUSTAKA
1. Anzivino, Elena et al. Virology Journal : Herpes simplex virus infection in
pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and
prevention. BioMed Central. 2009; 6 (40) : 1-11
2. Cunningham, F. Gary , et al. 2012. Obstetri Williams- vol 2- ed 23. Jakarta :
EGC, hlm : 1278-1290
3. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1-ed 2. Jakarta : EGC
4. Money, Deborah et al. Guidelines for the Management of Herpes Simplex
Virus In
5. Pregnancy. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINE. 2008; 208 : 514- 519
6. Taechowisan, Thongchai et al. Imune status in congenital infection by TORCH
7. Agents in Pregnant Thais. Asian Pasific Journal Of Allergy and Immunology.
1997; 15: 93-97
8. Saifudin, Abdul Bari et al. 2010. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo ed4. Jakarta : P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hlm : 935-945

30

You might also like