You are on page 1of 12

APENDISITIS

1. PENGERTIAN

Apendisitis adalah inflamasi pada apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab
yang jelas, obstruksi apendiks oleh feses, atau akibat terpuntirnya apendiks atau
pembuluh darahnya. (Corwin,2009;607)

Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering (Arif Mansjoer ddk. 2001).
Jadi apendisitis adalah peradangan pada apendiks yang dapat timbul akibat
obstruksi apendiks atau penyebab lainnya yang merupakan kasus gawat bedah
abdomen yang paling sering terjadi

2. ETIOLOGI/PENYEBAB
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai factor
pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi
ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris
dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi
lumen yang telah disebutkan di atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan
penyebab obstruksi yang paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan
apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica. Trauma tumpul
atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post
operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan
pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous
tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal

yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan


kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut.
3. EPIDEMIOLOGI
Sejarah apendisitis dimulai pada tahun 1827 oleh Melier yang pertama kali menyebutkan
proses peradangan di sekum dengan typhlitis atau perityphlitis. Reginald H. dan Fitz
untuk pertama kalinya melakukan pemeriksaan histopatologi apendiks dari hasil operasi.
Sejarah modern apendisitis dimulai dari tulisan klasik Charles McBurney tahun 1889,
yang dipublikasikan dalam New York Surgical Society on November 13,1889. McBurney
mendiskripsikan peradangan akut di kuadran kanan bawah biasanya disebabkan oleh
apendisitis, yang sebelumnya disebut oleh Melier dengan typhlitis atau perityphl
Frekuensi apendisitis ialah sekitar 7% di Amerika Serikat. Angka insidennya ialah1,1
kasus perseribu orang. Di Inggris, apendisitis merupakan kegawatdaruratanabdomen yang
paling sering dan mengakibatkan 40.000 orang harus dirawat di rumah sakit setiap
tahunnya. Pria lebih banyak terkena dibandingkan wanita dengan rasio 1,4:1 dan resiko
mendapatkan penyakit ini ialah 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita. Golongan umur
terbanyak adalah dewasa muda, yaitu antara umur 10-30 tahun.Sejak tahun 1940, insiden
apendisitis telah menurun di Inggris namun penyebab penurunan ini belum begitu jelas.
Angka mortalitas yang tinggi dari apendisitis akut mengalami penurunan dalam beberapa
dekade. Hawk et al, membandingkan kasus apendisitis akut pada periode 19331937
dengan 19431948. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan peritonitis lokal
menurun dari 5% menjadi 0%. Angka mortalitas pasien apendisitis akut dengan
peritonitis umum menurun dari 40,6% menjadi 7,5%. Pada tahun 1930, 15 kasus
meninggal karena apendisitis dari 100 ribu populasi, sedangkan 30 tahun kemudian hanya
1 kasus meninggal dari 100 ribu populasi. Pada tahun 1977, mortalitas pasien dengan
apendisitis akut tanpa perforasi 0,1-0,6% dan dengan perforasi 5%. (Agustinnur. 2010)
Apendisitis akut merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negaranegara maju, sedangkan pada negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, namun dalam
tiga dasawarsa terakhir menurun secara bermakna. Kejadian ini di duga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Insiden pada lakilaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada usia 20-30 tahun, insiden pada

laki-laki lebih tinggi. Appendicitis dapat menyerang orang dalam berbagai umur,
umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun,khususnya antara 8 sampai 14
tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah 2tahun (Anonim. 2010)

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar
(nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini
biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya,
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah
sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari
apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut.
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada
saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul
gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya dan biasanya
baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala
apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1. Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak
tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan
terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya
serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi,
menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita
hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut,
mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada
kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan
bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
5. PATOFISIOLOGI
Apendiks vermiformis merupakan sisa apeks sekum yang belum diketahui fungsinya pada
manusia. Struktur ini berupa tabung yang pankang, sempit (sekitar 6 sampai 9 cm), dan
mengandung arteria apendikularis yang merupakan suatu arteria terminalis (end-artery).
Pada posisi yang lazim, apendiks terletak pada dinding abdomen, di bawah titik
McBurney. Titik McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior ke
kanan umbilicus. Titik tengah garis ini merupakan tempat pangkal apendiks.

Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ
tersebut. Patogenesis utamanya diduga adanya obstruksi lumen, yang biasanya disebut
fekalit (feses keras yang terutama disebabkan oleh serat). Penumbatan pengeluaran secret
mucus mengakibatkan terjadinya pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Peningkatan
tekanan intrakrtanium dapat menyebabkan terjadinya oklusi arteri terminalis (end-artery)
apendikularis. Bila keadaan ini dibiarkan berlangsung terus, biasanya mengakibatkan
nekrosis, gangrene, dan perforasi. Penelitian terakhir

menunjukkan

bahwa ulserasi

mukosa sekitar 60 hingga 70% kasus, lebih sering daripada sumbatan lumen. Penyebab
ulserasi tidak diketahui, walaupun sampai sekarang diperkirakan disebabkan oleh virus.
Akhir-akhir ini penyebab infeksi yang paling diperkirakan adalah Yersinia enterocolotica.
(Price.2006:448)
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa appendiks mengalami bendungan.
Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elasitas dinding appendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra lumen.
Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema dan
ulaserasi mukosa. Pada saat itu terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai dengan nyeri
epigastrium.
Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
sehingga peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum yang dapat
menimbulkan nyeri pada abdomen kanan bawah yang disebut apendisitis supuratif akut.
Apabila aliran arteri terganggu maka akan terjadi infrak dinding appendiks yang diikuti
ganggren. Stadium ini disebut apendisitis ganggrenosa. Bila dinding appendiks rapuh
maka akan terjadi prefesional disebut appendikssitis perforasi.
Bila proses berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
appendiks hingga muncul infiltrat appendikkularis.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan untuk terjadi perforasi, sedangkan pada orang tua mudah terjadi karena ada
gangguan pembuluh darah.

6. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.


Palpasi : pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing
Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri

pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).


Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada

apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator : pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis
pelvika.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis ringan (10.000-20.000/
ml) dengan peningkatan jumlah netrofil. Ini ditemukan pada kebanyakan
kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, Pada

appendicular infiltrat, didapatkan LED akan meningkat.


Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan urin perlu dilakukan untuk membedakanya

dengan kelainan pada saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai
gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.
b. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis.
Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.
c. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG
terutama pada wanita dan juga bila dicurigai adanya abses. Pemeriksaan USG
dilakukan bila sudah terjadi infiltrat apendikularis. Dengan USG dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.
d. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis
pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai
metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan
tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.
e. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.
f. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan
ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendiks.
g. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk
diagnosis appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai
gambaran histopatologi appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada
kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut
secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang
yang tidak dilakukan operasi.
8. KOMPLIKASI

Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi penyakit ini tidak
dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami
perforasi. Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut
kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus,
demam, malaise, dan leikositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum
atau pembentukan abses telah terjadi sejak pasien pertama kali datang diagnosis dapat
ditegakan dengan pasti.
Perforasi merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. Perforasi dapat
menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Insiden
perforasi adalah 10 % sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia.
Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
Teromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi
yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil,
hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks.
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdomen lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
9. PENATALAKSANAAN
1. Sebelum operasi
a. Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu
dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif
tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun peritonitis
lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (leukosit
dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak
dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan
kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah
dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Intubasi bila perlu
c. Antibiotik

2. Operasi apendiktomi
3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuki mengetahui terjadinya pendarahan
di dalam, syok, hipertermia, atau gannguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila
pasien telah sadar sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien
dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik dalam 12 jam tidak terjadi gangguan.
Selama itu pasien di puasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya dalam
perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.
Kemudian berikan minum mulai 15ml/jam selama 4-5jam lalu naikkan 30ml/ja.
Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan
lunak.
Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk diluar kamar. Hari
ketujuh jaritan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.
4. Penatalaksanaan gawat darurat non-operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah berikan penatalaksanaan bedah dalam peritonitis akut.
Dengan demikian gejala apendisitis akut akan mereda, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi dapat berkurang.
10. KRITERIA DIAGNOSIS

Diagnosis apendisitis akut biasanya berdasarkan gejala klinis dan tes laboratorium.
Diagnosis ditegakkan bila memenuhi
1. Gambaran klinis yang mengarah ke appendicitis seperti

Nyeri di sekitar

umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun), nausea, dan
sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke kanan
bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan
2. Demam lebih dari 37,50C
3. Laboratorium : lekositosis yaitu lekosit > 10.000 /dl biasanya pada perforasi
terdapat pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
4. USG yang mungkin di temukan pada pemeriksaan ini :
Lampiran buncit berisi cairan dengan diameter lebih dari 5 mm
Ketebalan dinding 3 mm atau lebih besar
Tidak adanya gerak peristaltik dan noncompressibility usus buntu
Perubahan pericaecal.
Massa pada appendix

5. Laporoskopi biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum


dilakukan apendiktomi pada wanita muda.
6. CT scan : dilakukan jika di duga terdapat perforasi atau pembentukan abses
karena akan memberikan karakteristik yang yang tepat terhadap massa inflamasi,
luas dan lokasinya.
11. DIAGNOSIS BANDING
Gastroenteritis akut : Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam
dan leukosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang
timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah pindah. Hiperperistaltik
merupakan merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung

akut, suatu obsevasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.


Adenitis mesebrikum juga dapat menunjukan gejala dan tanda yang identik
dengan appendicitis. Penyakit ini lebih sering pada anak anak, biasanya
didahului dengan infeksi saluran napas. Lokasi nyeri di perut kanan bawah tidak

konstan dan menetap


Divertikulitis Meckeli juga menunjukan gejala yang hampir sama. Lokasi nyeri
mungkin lebih ke medial, tetapi ini bukan criteria diagnosis yang dapat dipercaya.
Karena kedua kelainan ini membutuhkan tindakan operasi, maka perbedaannya

bukanlah hal yang penting.


Enteritis regional, amubiasis,ileitis akut, perforasi ulkus duodeni, kolik ureter,
kehamilan ektopik terganggu, dan kista ovarium terpuntir. Pneumonia lobus
kanan bawah kadang kadang juga berhubungan dengan nyeri di kuadran kanan
bawah(Nining,2008)

12. PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas
penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak
diangkat.
13. HE
Pre operasi

Persiapan fisik dan mental pasien. Perawat bisa menjelaskan kepada pasien mengenai
pentingnya dilakukan tindakan operasi dan akibat yang akan ditimbulkan jika tidak
dilakukan tindakan operasi tersebut.

Pasien diberi instruksi secara lisan dan tertulis tentang gejala-gejala yang akan
dialami pasien setelah operasi yaitu kemerahan atau pemisahan sayatan, dan
peningkatan nyeri insisi.

Post operasi

Menyarankan pasien untuk mengkonsumsi diet tinggi serat

Memberi informasi kepada pasien mengenai tanda infeksi pada insisi, yang
memerlukan intervensi medis misalnya demam, kemerahan menetap, bengkak, hangat
lokal, nyeri tekan, drainage purulen dan bau busuk.

Jika pasien menerima obat apapun di rumah, perawat dapat menjelaskan tentang
tujuan pengobatan tersebut, dosis, frekuensi, waktu serta potensi efek samping. Pasien
harus diinstruksikan oleh perawat tentang langkah yang harus diambil jika efek
samping terjadi.

Menjelaskan kepada pasien mengenai gejala kekambuhan apendisitis

Menjelaskan kepada pasien mengenai proses penyembuhan karena pasien dapat


pulang beberapa hari setelah operasi apendisitis, jika pasien dapat beradaptasi
dengan kondisinya. Pasien mungkin memerlukan dukungan sebagai adaptasi untuk
pemulihan pasca-operasi.

Jika pasien sudah pulang ke rumah, harus ada persediaan untuk kebutuhan pasien.
Jika pasien maupun keluarga tidak dapat melakukan perawatan insisi secara
independen, dapat menyarankan pasien untuk melakukan perawatan secara home
care, perawatan ke dokter, rumah sakit atau ke pusat kesehatan masyarakat terdekat.

You might also like