Professional Documents
Culture Documents
Diajukan kepada:
dr. M. Mukhson , Sp.A
Disusun Oleh :
Rezky Galuh S
aputra
G1A212058
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
telah disetujui
pada tanggal: Januari 2014
Disusun oleh :
Rezky Galuh Saputra
G1A212058
Purwokerto,
Januari 2014
Pembimbing,
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna
manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah
satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan peroral dan sebagian
besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa anak-anak (Logan dan Walker,
2001).
Robin Warren dan Barry Marshall, ahli patologi dari Perth tahun 1983
menemukan terdapat bakteri berbentuk spiral di spesimen biopsy gaster. Warren dan
Marshall kemudian memberi nama bakteri tersebut sebagai H. pylori. Infeksi H.
pylori ini berhubungan dengan kejadian infeksi lambung (Rajindrajith, Devanarayana
dan de Silva, 2009). Infeksi H.pylori merupakan masalah global, termasuk di
Indonesia, sampai saat ini belum jelas proses penularan serta patomekanisme infeksi
kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (Rani dan Fauzi,
2009).
Infeksi H. pylori menjadi masalah kesehatan setelah ditemukan perdarahan
ulkus dan kanker lambung pada kasus yang terinfeksi oleh kuman ini.H. pylori dapat
menyebabkan gastritis pada anak yang terinfeksi dengan manifestasi klinis yang tidak
spesifik. Walaupun demikian, sebagian besar anak yang terinfeksi tetap asimtomatis
sepanjang hidupnya (Hegar, 2000).
Penegakan diagnosis dari infeksi H. pylori adalah dengan metode invasif dan
non invasif. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsy yang diikuti oleh
pemeriksaan histologi, biakan, uji urease dan PCR, sedangkan uji non invasif meliputi
serologi dan uji C-urea napas (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
H. pylori merupakan masalah global yang sampai saat ini masih belum jelas
betul proses patomekanisme infeksi kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran
cerna bagian atas. Bakteri H. pylori tersebar di seluruh dunia. Prevalensi infeksi
bervariasi menurut umur, latar belakang etnik, dan status sosio ekonomi. Anak-anak
dengan status sosioekonomi rendah mempunyai angka infeksi yang parallel dengan anakanak dari negara yang sedang berkembang (Atkins dan Cleary, 1999). Prevalensi infeksi
H.pylori di negara berkembang lebih tinggi daripada dengan negara maju. Prevalensi
pada populasi di negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang
mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi
penyakit gastroduodenal (Rani dan Fauzi, 2009).
Studi seroimunologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46% dengan usia
termuda 5 bulan. Selain faktor bakteri, faktor penjamu dan faktor lingkungan yang
berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi. Studi di Indonesia
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
infeksi H. pylori, sedangkan data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi
dengan penyediaan atau sumber air minum (Rani dan Fauzi, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Hegar (2000) di Jakarta, prevalensi H. pylori
berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka
mempunyai seropositive ditemukan H. pylori pada lambungnya. Faktor risiko infeksi H.
pylori diantaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang
padat dan sanitasi yang kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, dan adanya bayi di
rumah. Frekuensi infeksi H. pylorisama pada laki-laki dan perempuan (Fardah, Ranuh,
dan Atmadji, 2006).
Tidak ada reservoir lain untuk H. pylori selain gaster manusia. Maka transmisi
utama kuman ini adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia lain. Terdapat 3
kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oraloral yaitu saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan
terakhir adalah iatrogenic pada tube endoskopi yang mengandung bakteri ini (Fardah,
Ranuh, dan Atmadji, 2006).
B. Morfologi
Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif, non spora, berbentuk spiral
atau melengkung yang tumbuh secara mikroaerob. Bakteri ini memiliki ukuran lebar
sekitar 1 mikrometer dan panjang 3 mikrometer. Organisme ini mempunyai 5-7 flagel.
Organisme ini dapat tumbuh baik pada lingkunagan yang mengandung O 2 5%, CO2 510% dan suhu 35-37 C selama 16-19 hari. H. pylori memproduksi enzim ureasae dalam
jumlah besar, protease yang diperkirakan merusak lapisan mucus, catalase, sitokrom
oksidase, alkaline fosfatase dan glutamil transpeptidase (Fardah, Ranuh, dan Atmadji,
2006). Produksi urease yang berlebihan adalah sifat yang membedakan H. pylori dan
merupakan dasar untuk beberapa uji diagnostik. H. pylori mempunyai komposisi asam
lemak unik, untaian RNA ribosom 16S, dan sifat-sifat ultrastruktural yang membedakan
dengan spesimen Campylobacter (Atkins dan Cleary, 1999). Strain H. pylori dapat
dikultur dari duodenum, cairan lambung, dental plague walaupun jarang dilakukan, dan
feses (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).
memperlihatkan 22-37% pada anak dengan sakit perut berulang terbukti menderita
infeksi H. pylori secara serologis (Hegar, 2000).
Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu
dipikirikan kemungkinan adanya H. pylori. Keluhan lain yang sering disampaikan oleh
anak yang terinfeksi H. pylori adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada malam
hari dan sering muntah. Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua
keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H. pylori. Beberapa gejala
klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorbsi dengan penurunan berat
badan, gangguan pertumbuhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi
(Hegar, 2000).
E. Diagnosis
Pada anak berlaku ketentuan untuk tidak melakukan pemeriksaan diagnostik
apapun kecuali ingin melakukan terapi. Berbagai metode baik yang bersifat invasif
maupun non-invasif dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis infeksi H. pylori.
Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh pemeriksaan histologi,
biakan, uji urease, dan PCR, sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji Curea napas (Hegar, 2000). Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien dengan ulkus
peptikum, gastric MALT lymphoma, gastritis kronis atrofik serta pasien dengan keluhan
dyspepsia yang belum diketahui sebabnya dan tidak ingin menjalani pemeriksaan yang
bersifat invasif. Pemeriksaan noninvasive ini tidak dianjurkan pada pasien yang
memperlihatkan
alarm
symptoms
yakni
penurunan
berat
badan,
perdarahan
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasi untuk dikerjakan pada kasus dengan
gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan
H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi.
Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk
pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Tindakan ini jarang digunakan untuk
penelaahan epidemiologi infeksi H. pylori dan evaluasi hasil eradikasi serta tidak
digunakan untuk penapisan anak yang tidak memperlihatkan gejala (Hegar, 2000).
Sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi, pasien biasanya dianjurkan untuk
menghentikan obat antibiotic, anti sekresi asam lambung terutama golongan proton
punp inhibitor, bismuth selama satu atau dua minggu sebelum dilakukan
pemeriksaan (Rani dan Fauzi, 2009).
2. Uji urease jaringan biopsy
Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang
dilakukan pada jaringan biopsy lambung akan memperlihatkan perubahan warna
media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat digesti urea oleh urease.
Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada
ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostic cara ini dapat ditingkatkan
dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan
biopsi berkurang pada pasien yang mendapat proton pump inhibitor (PPI), antibiotik,
atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri,
berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease.
Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, dianjurkan untuk
dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung.
Pemeriksaan kombinasi antrum dan korpus menaikkan nilai sensitivitas. Pada
keadaan demikian mungkin diperlukan uji diagnostik lainnya seperti histologi dan
biakan (Hegar, 2000).
Pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi pada orang
dewasa, namun hasil negatif palsu sering ditemukan pada anak. Hal ini mungkin
disebabkan oleh koloni bakteri yang lebih sedikit pada anak. Uji ini merupakan
pilihan pertama apabila dilakukan tindakan endoskopi. Pemeriksaan histologi
dilakukan bila uji urease memberikan hasil negatif (Hegar, 2000). Namun, cara
diagnosis ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan eradikasi (Rani
dan Fauzi, 2009).
3. Histologi
Helicobacter pylori pertama kali dilihat oleh RobinWarren dengan
menggunakan pewarnaan hematosilin& eosin (HE). Penggunaan teknik pewarnaan
Giemsa atau Whartin-Starry ternyata lebih memudahkan para ahli patologi anatomi
mendiagnosis infeksi H. pylori. Pada kasus gastritis kronis aktif, H.pylori kadang
kala tidak dapat dideteksi dengan mikroskopik rutin, tetapi dapat dideteksi dengan
pewarnaan Giemsa atau Whartin-Starry. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dikerjakan secara rutin, tetapi hanya pada hasil serologi dan urease negatif.
Pemeriksaan histologi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan proses keganasan
pada kasus ulkus lambung (Hegar, 2000).
Pemeriksaan histologi umumnya tidak digunakan untuk evaluasi hasil
terapi, akan tetapi bila dilakukan tindakan endoskopi, maka H.pylori harus sekaligus
dibuktikan secara endoskopi. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai
evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4 minggu setelah
terapi selesai. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan
endoskopi untuk membuktikan adanya H. pylori baik secara uji urease atau histologi
dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung (Hegar, 2000).
4. Biakan mikrobiologi
Biakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan
diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari
jaringan biopsy lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih
dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena
memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% O2dengan 5-10% CO2) dan
memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan
sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Pemeriksaan biakan tetap diperlukan untuk kepentingan petunjuk tatalaksana infeksi
H.pylori pada pasien yang mengalami kegagalan eradikasi berulang. Kegunaan
utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Pemeriksaan
ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin diperlukan bila terdapat
kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali (Hegar, 2000).
5. Uji Serologi
minggu sebelum uji C-urea napas dilaksanakan. Uji C-urea napas merupakan uji
diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama (Hegar, 2000).
dapat
memberikan
hasil
negatif
palsu.
Pemeriksaan
serologi
yang
resistensi H. pylori terhadap salah satu antibiotik yang digunakan. Resistensi terhadap
klaritromisin merupakan yang paling sering walaupun tidak tertutup kemungkinan
adanya resistensi terhadap antibiotik yang lain. Ketika tata laksana dengan lini pertama
gagal, maka digunakan lini kedua yang sering disebut dengan quadruple therapy.
Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat, metronidazol, dan
tetrasiklin (Kho, 2010).
Efektivitas regimen quadruple therapy mencapai 93%, sementara efektivitas
regimen triple therapy sekitar 77%. Dosis regimen quadruple therapy ini adalah
omeprazol 2x20 mg/hari, bismuth subsalisilat 4x525 mg/hari, metronidazole 4x250
mg/hari, dan tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 10-14 hari (Kho, 2010).
Permasalahan utama pada regimen quadruple therapy ini adalah jadwal
konsumsi obat yang rumit dan insiden efek samping yang lebih besar. Bila masih
terdapat kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen quadruple therapy, maka
dianjurkan untuk menggunakan regimen lini ketiga yaitu kombinasi levofloksasin,
amoksisilin, dan PPI selama 10 hari. Kegagalan eradikasi dengan lini kedua dapat
mencapai 20%. Penggunaan kultur untuk mengetahui resistensi dalam praktik sehari-hari
masih kontroversial karena selain prosedurnya rumit, juga membutuhkan waktu dan
biaya. Dosis yang digunakan untuk levofloksasin adalah 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1
g/ hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari. Levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin,
amoksisilin, dan PPI) seringkali disebut sebagai regimen lini ketiga (Kho, 2010).
Gisbert et al membandingkan levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin
2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari) dengan rifabutin
2x150 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari pada masingmasing 20 pasien dengan riwayat gagal eradikasi H. pylori dengan lini pertama dan
kedua, dan terlihat bahwa nilai eradikasi dengan levofloksasin lebih tinggi dibandingkan
dengan rifabutin (85% berbanding 45%). Sementara itu, Gatta et al juga memperlihatkan
keberhasilan eradikasi levofloxacine- based triple therapy mencapai 92% pada 151
pasien dengan infeksi H. pylori yang persisten dengan lini pertama dan kedua (Kho,
2010).
G. Reinfeksi
Reinfeksi H pylori mungkin jarang ditemukan, dan bila ditemukan lebih
merupakan suatu rekrudensi akibat terapi yang gagal.Kejadian reinfeksi umumnya
berhubungan dengan efektivitas terapi yang diberikan kurang optimal.Kejadian reinfeksi
tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara negara berkembang (20%) dan
negara maju (13%). Pada laporan beberapa negara di Asia pasifik, reinfeksi jarang
ditemukan pada orang dewasa, yaitu 0.5-10% pertahun, sedangkan pada anak mungkin
lebih tinggi. Kejadian reinfeksi dilaporkan sebesar 4% setelah 1 tahun mendapat terapi
yang mempunyai tingkat eradikasi 82%. Reinfeksi dapat pula terjadi setelah tindakan
endoskopi akibat pembersihan alat yang kurang adekuat, meskipun angka kejadian
secara pasti belum diketahui. Kesepakatan saat ini adalah kurang beralasan memberikan
terapi untuk mencegah reinfeksi pada anggota keluarga (Hegar, 2000).
H. Follow Up Eradikasi H. pylori
Konfirmasi atas keberhasilan eradikasi H. pylori sangat penting untuk pasien
dengan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori, gastric MALT lymphoma, pasien yang
telah menjalani reseksi karsinoma gaster tahap awal maupun untuk pasien dengan gejala
yang menetap setelah upaya eradikasi H. pylori. Konfirmasi keberhasilan eradikasi ini
dilakukan melalui pemeriksaan UBT ataupun SAT setelah penghentian obat selama 4
minggu atau lebih untuk menghindari hasil negatif palsu. Keberhasilan eradikasi juga
dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan endoskopi ulang pada pasien dimana endoskopi
ulang memang diperlukan (Kho, 2010).
Zipser et al melakukan penelitian dengan 34 pasien yang telah mendapatkan
regimen triple therapy selama 10 hari berupa omeprazol (2x20 mg/hari), amoksisilin
(2x1 g/hari), dan klaritromisin (2x500 mg/hari). Kemudian dilakukan konfirmasi ulang
dengan menggunakan pemeriksaan UBT dengan hasil 5 di antara 34 (15%) pasien
tersebut positif. Hasil ini menandakan kegagalan dalam eradikasi sebesar 15% dengan
pemakaian triple therapy di atas. Oleh karena sebagian besar kegagalan eradikasi ini
merupakan akibat resistensi terhadap antibiotik, maka dianjurkan tata laksana ulang
dengan jenis antibiotik yang lain (Kho, 2010).
KESIMPULAN
1. Infeksi H. pylori merupakan salah satu penyakti infeksi yang paling banyak
dilaporkan di seluruh dunia saat ini.
2. Sebagian besar anak yang terdapat H. pylori di lambungnya bersifat asimptomatis,
hanya kasus dengan ulkus yang memperlihatkan hubungan yang jelas antara infeksi
ini dengan manifestasi klinis.
3. Diagnosis dan tata laksana infeksi H. pylori menjadi penting dalam evaluasi pasien
dengan keluhan dyspepsia.
4. Uji diagnostik yang dianjurkan adalah uji yang mudah dikerjakan dan memberikan
hasil yang akurat.
5. Konsensus terapi eradikasi H. pylori pada anak masih mengacu pada orang dewasa.
Kombinasi proton pump inhibitor (PPI) dan 2 jenis antibiotik masih merupakan
pilihan terapi di beberapa negara saat ini.
6. Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi
H.
pylori
diperlukan
mengingat
DAFTAR PUSTAKA
Atkins JT., Cleary TG. 1999. Helicobacter dalam Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Jakarta EGC. Edisi 15 vol 2 hal 988-992
Fardah, A., Ranuh RG., Atmadji SD. 2006. Infeksi Helicobacter pylori pada
Anak. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair: Divisi
Gastroenterologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya
Hegar, Badriul. 2000. Infeksi Helicobacter pylori pada Anak.Sari Pediatri.
Jakarta. Vol 2. No 2. Hal 82-89
Kho,
Dragon.
2010.
Diagnosis
dan
Tata
Laksana
Terkini
Infeksi