You are on page 1of 18

REFERAT

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI PADA ANAK

Diajukan kepada:
dr. M. Mukhson , Sp.A

Disusun Oleh :
Rezky Galuh S

aputra

G1A212058

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF DR.MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI PADA ANAK

telah disetujui
pada tanggal: Januari 2014

Disusun oleh :
Rezky Galuh Saputra
G1A212058

Purwokerto,

Januari 2014

Pembimbing,

dr. M. Mukhson , Sp. A


NIP. 19631128 199102 1 001

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat berkoloni pada saluran cerna
manusia dan merupakan salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster, atau salah
satu faktor penyebab keganasan lambung. Infeksi didapatkan peroral dan sebagian
besar ditularkan antar anggota keluarga pada saat masa anak-anak (Logan dan Walker,
2001).
Robin Warren dan Barry Marshall, ahli patologi dari Perth tahun 1983
menemukan terdapat bakteri berbentuk spiral di spesimen biopsy gaster. Warren dan
Marshall kemudian memberi nama bakteri tersebut sebagai H. pylori. Infeksi H.
pylori ini berhubungan dengan kejadian infeksi lambung (Rajindrajith, Devanarayana
dan de Silva, 2009). Infeksi H.pylori merupakan masalah global, termasuk di
Indonesia, sampai saat ini belum jelas proses penularan serta patomekanisme infeksi
kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran cerna bagian atas (Rani dan Fauzi,
2009).
Infeksi H. pylori menjadi masalah kesehatan setelah ditemukan perdarahan
ulkus dan kanker lambung pada kasus yang terinfeksi oleh kuman ini.H. pylori dapat
menyebabkan gastritis pada anak yang terinfeksi dengan manifestasi klinis yang tidak
spesifik. Walaupun demikian, sebagian besar anak yang terinfeksi tetap asimtomatis
sepanjang hidupnya (Hegar, 2000).
Penegakan diagnosis dari infeksi H. pylori adalah dengan metode invasif dan
non invasif. Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsy yang diikuti oleh
pemeriksaan histologi, biakan, uji urease dan PCR, sedangkan uji non invasif meliputi
serologi dan uji C-urea napas (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi
H. pylori merupakan masalah global yang sampai saat ini masih belum jelas
betul proses patomekanisme infeksi kuman ini pada berbagai keadaan patologis saluran
cerna bagian atas. Bakteri H. pylori tersebar di seluruh dunia. Prevalensi infeksi
bervariasi menurut umur, latar belakang etnik, dan status sosio ekonomi. Anak-anak
dengan status sosioekonomi rendah mempunyai angka infeksi yang parallel dengan anakanak dari negara yang sedang berkembang (Atkins dan Cleary, 1999). Prevalensi infeksi
H.pylori di negara berkembang lebih tinggi daripada dengan negara maju. Prevalensi
pada populasi di negara maju sekitar 30-40%, sedangkan di negara berkembang
mencapai 80-90%. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 10-20% yang akan menjadi
penyakit gastroduodenal (Rani dan Fauzi, 2009).
Studi seroimunologi di Indonesia menunjukkan prevalensi 36-46% dengan usia
termuda 5 bulan. Selain faktor bakteri, faktor penjamu dan faktor lingkungan yang
berbeda akan menentukan terjadinya kelainan patologis akibat infeksi. Studi di Indonesia
menunjukkan adanya hubungan antara tingkat sanitasi lingkungan dengan prevalensi
infeksi H. pylori, sedangkan data di luar negeri menunjukkan hubungan antara infeksi
dengan penyediaan atau sumber air minum (Rani dan Fauzi, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Hegar (2000) di Jakarta, prevalensi H. pylori
berdasarkan pemeriksaan serologi didapatkan angka sebesar 27% dan 90% dari mereka
mempunyai seropositive ditemukan H. pylori pada lambungnya. Faktor risiko infeksi H.
pylori diantaranya lahir di negara berkembang, status ekonomi lemah, lingkungan yang
padat dan sanitasi yang kurang bersih, hidup dalam keluarga besar, dan adanya bayi di
rumah. Frekuensi infeksi H. pylorisama pada laki-laki dan perempuan (Fardah, Ranuh,
dan Atmadji, 2006).
Tidak ada reservoir lain untuk H. pylori selain gaster manusia. Maka transmisi
utama kuman ini adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia lain. Terdapat 3
kemungkinan cara penularan penyakit ini, yang pertama adalah transmisi fekal-oral, oraloral yaitu saat orang dewasa memberikan makanan pada anaknya, dan kemungkinan
terakhir adalah iatrogenic pada tube endoskopi yang mengandung bakteri ini (Fardah,
Ranuh, dan Atmadji, 2006).
B. Morfologi

Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif, non spora, berbentuk spiral
atau melengkung yang tumbuh secara mikroaerob. Bakteri ini memiliki ukuran lebar
sekitar 1 mikrometer dan panjang 3 mikrometer. Organisme ini mempunyai 5-7 flagel.
Organisme ini dapat tumbuh baik pada lingkunagan yang mengandung O 2 5%, CO2 510% dan suhu 35-37 C selama 16-19 hari. H. pylori memproduksi enzim ureasae dalam
jumlah besar, protease yang diperkirakan merusak lapisan mucus, catalase, sitokrom
oksidase, alkaline fosfatase dan glutamil transpeptidase (Fardah, Ranuh, dan Atmadji,
2006). Produksi urease yang berlebihan adalah sifat yang membedakan H. pylori dan
merupakan dasar untuk beberapa uji diagnostik. H. pylori mempunyai komposisi asam
lemak unik, untaian RNA ribosom 16S, dan sifat-sifat ultrastruktural yang membedakan
dengan spesimen Campylobacter (Atkins dan Cleary, 1999). Strain H. pylori dapat
dikultur dari duodenum, cairan lambung, dental plague walaupun jarang dilakukan, dan
feses (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

Gambar 1.Morfologi Helicobacter pylori


C. Patogenesis Helicobacter pylori
Mukosa gaster terlindungi sangat baik dari infeksi bakteri, namun H. pylori
memiliki kemampuan adaptasi yang sangat baik terhadap lingkungan ekologi lambung,
dengan serangkaian langkah unik masuk kedalam mukus, berenang dan orientasi spasial
didalam mukus, melekat pada sel epitel lambung, menghindar dari respon imun, dan
sebagai akibatnya terjadi kolonisasi dan transmisi persisten (Fardah, Ranuh, dan Atmadji,
2006).
H. pylori mempunyai hospes dan jaringan yang sangat spesifik. Faktor virulen
yang memungkinan organisme beradaptasi dengan lingkungan lambung adalah produksi
ammonia yang diperantarai urease yang menetralisasi asam lambung yang asam,
morfologi spiral dan flagella yang memungkinkan untuk menembus lapisan mukosa
protektif dan menahan peristaltic, dan adhesin yang memungkinkan organisme melekat
pada epitel gastrik (Atkins dan Cleary, 1999).

Setelah memasuki saluran cerna, bakteri H.pylori, harus menghindari aktifitas


bakterisidal yang terdapat dalam isi lumen lambung, dan masuk kedalam lapisan mukus.
Produksi urease dan motilitas sangat penting berperan pada langkah awal infeksi ini.
Urease menghidrolisis urea menjadi karbondioksida dan ammonia, sehingga H. pylori
mampu bertahan dalam lingkungan yang asam. Motilitas bakteri sangat penting pada
kolonisasi, dan flagel H. pylori sangat baik beradaptasi pada lambung (Fardah, Ranuh,
dan Atmadji, 2006).
H. pylori menyebabkan peradangan pada lambung terus - menerus. Respon
peradangan ini mula mula terdiri dari penarikan neutrofil, diikuti limfosit T dan B, sel
plasma, dan makrofag, bersamaan dengan terjadinya kerusakan sel epitel. Epitel
lambung pasien yang terinfeksi H. pylori meningkatkan kadar interleukin-1,
interleukin-2, interleukin-6, interleukin-8, dan tumor nekrosis faktor alfa. Diantara
semua itu, interleukin-8, adalah neutrophil-activating chemokine yang poten yang
diekspresikan oleh sel epitel gaster, berperan penting. Infeksi Helicobacter pylori
merangsang timbulnya respon humoral mukosa dan sistemik. Produksi antibodi yang
terjadi tidak dapat menghilangkan eradikasi infeksi, bahkan menimbulkan kerusakan
jaringan. Pada beberapa pasien yang terinfeksi H. pylori timbul respon autoantibodi
terhadap H+ / K+ ATP ase sel-sel parietal lambung yang berkaitan dengan meningkatnya
atrofi korpus gaster. Selama respon imun spesifik, subgrup sel T yang berbeda timbul.
Sel sel ini berpartisipasi dalam proteksi mukosa lambung, dan membantu membedakan
antara bakteri patogen dan yang komensal. Sel T- helper immatur ( Th 0 ) berdiferensiasi
menjadi 2 subtipe fungsional; sel Th-1 mensekresi interleukin-2, dan interferon gamma;
dan Th-2 mensekresi IL-4, IL-5 dan IL-10. Sel Th-2 menstimulasi sel B sebagai respon
terhadap patogen ekstrasel, sedangkan Th1 sebagai respon terhadap intrasel.Respon
inflamasi ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).

Gambar 2.Patogenesis Helicobacter pylori.


Sumber: Suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. New English Journal
Medicine, 2002 (347) 1175-86
D. Manifestasi Klinis
Penelitian tentang hubungan manifestasi klinis dan infeksi H. pylori pada anak
belum sebanyak yang dilakukan pada orang dewasa. Dari beberapa data yang dilaporkan
menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada anak sebagian besar asimptomatis atau
memperlihatkan gejala saluran cerna yang tidak spesifik (Hegar, 2000).
Infeksi H. pylori pada anak lebih sering berhubungan dengan gastritis
dibandingkan dengan ulkus peptikum. Secara klinis sulit membedakan gastritis yang
terinfeksi H. pylori dengan yang tidak terinfeksi H. pylori. Gastritis sering
memperlihatkan keluhan sakit perut berulang pada anak, oleh karena itu keluhan sakit
perut berulang pada anak oleh beberapa peneliti dianggap sebagai gejala klinis yang
berhubungan dengan infeksi H. pylori. Sakit perut yang berulang pada anak dianalogikan
dengan dispepsia non ulkus pada orang dewasa. Data dari beberapa peneliti

memperlihatkan 22-37% pada anak dengan sakit perut berulang terbukti menderita
infeksi H. pylori secara serologis (Hegar, 2000).
Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan, tetapi bila ditemukan perlu
dipikirikan kemungkinan adanya H. pylori. Keluhan lain yang sering disampaikan oleh
anak yang terinfeksi H. pylori adalah nyeri di daerah epigastrium, terbangun pada malam
hari dan sering muntah. Refluks gastroesofagus dan gagal tumbuh merupakan dua
keadaan lain yang pernah dilaporkan pada anak terinfeksi H. pylori. Beberapa gejala
klinis dianggap sebagai alarm symptoms seperti malabsorbsi dengan penurunan berat
badan, gangguan pertumbuhan, anemia defisiensi besi, diare berulang, dan malnutrisi
(Hegar, 2000).
E. Diagnosis
Pada anak berlaku ketentuan untuk tidak melakukan pemeriksaan diagnostik
apapun kecuali ingin melakukan terapi. Berbagai metode baik yang bersifat invasif
maupun non-invasif dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis infeksi H. pylori.
Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi yang diikuti oleh pemeriksaan histologi,
biakan, uji urease, dan PCR, sedangkan metode non-invasif meliputi serologi dan uji Curea napas (Hegar, 2000). Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien dengan ulkus
peptikum, gastric MALT lymphoma, gastritis kronis atrofik serta pasien dengan keluhan
dyspepsia yang belum diketahui sebabnya dan tidak ingin menjalani pemeriksaan yang
bersifat invasif. Pemeriksaan noninvasive ini tidak dianjurkan pada pasien yang
memperlihatkan

alarm

symptoms

yakni

penurunan

berat

badan,

perdarahan

gastrointestinal, muntah yang persisten. Pemeriksaan noninvasif ini juga tidak


diperlukan pada pasien dyspepsia yang berhubungan dengan penggunaan nonsteroid
anti-inflammatory drug (NSAID) (Kho, 2010)
Pemilihan jenis uji diagnostik sangat bergantung kepada
keberadaan alat diagnostik pada suatu pusat pelayanan kesehatan,
masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya. Pada anak dengan gejala
klinis dispepsia dianjurkan untuk menggunakan uji tapis yang bersifat
non-invasif. Pemeriksaan invasif dilakukan hanya pada kasus yang
memperlihatkan gejala klinis cukup kuat untuk dilanjutkan pada
terapi. Kombinasi 2 atau 3 jenis pemeriksaan akan meningkatkan nilai
sensitivitas dan spesifitas uji diagnostic H.pylori (Hegar, 2000).

1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi direkomendasi untuk dikerjakan pada kasus dengan
gejala saluran cerna atas yang dicurigai suatu kelainan organik dan bila ditemukan
H. pylori pada pemeriksaan endoskopi, maka pasien harus segera mendapat terapi.
Endoskopi merupakan tindakan penting untuk mendapatkan jaringan untuk
pemeriksaan histologi, biakan, atau uji urease. Tindakan ini jarang digunakan untuk
penelaahan epidemiologi infeksi H. pylori dan evaluasi hasil eradikasi serta tidak
digunakan untuk penapisan anak yang tidak memperlihatkan gejala (Hegar, 2000).
Sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi, pasien biasanya dianjurkan untuk
menghentikan obat antibiotic, anti sekresi asam lambung terutama golongan proton
punp inhibitor, bismuth selama satu atau dua minggu sebelum dilakukan
pemeriksaan (Rani dan Fauzi, 2009).
2. Uji urease jaringan biopsy
Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori dengan cepat. Uji urease yang
dilakukan pada jaringan biopsy lambung akan memperlihatkan perubahan warna
media yang digunakan akibat adanya peningkatan pH akibat digesti urea oleh urease.
Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi, tetapi sangat tergantung pada
ketepatan pengambilan sampel jaringan. Nilai diagnostic cara ini dapat ditingkatkan
dengan cara menambah jumlah sampel jaringan. Nilai sensitivitas uji urease jaringan
biopsi berkurang pada pasien yang mendapat proton pump inhibitor (PPI), antibiotik,
atau bismut. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah bakteri,
berpindahnya bakteri dari antrum ke korpus, atau terganggunya aktivitas urease.
Oleh karena itu, pada pasien yang mendapat obat-obat tersebut, dianjurkan untuk
dilakukan pengambilan jaringan biopsi selain diantrum juga di korpus lambung.
Pemeriksaan kombinasi antrum dan korpus menaikkan nilai sensitivitas. Pada
keadaan demikian mungkin diperlukan uji diagnostik lainnya seperti histologi dan
biakan (Hegar, 2000).
Pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas yang tinggi pada orang
dewasa, namun hasil negatif palsu sering ditemukan pada anak. Hal ini mungkin
disebabkan oleh koloni bakteri yang lebih sedikit pada anak. Uji ini merupakan
pilihan pertama apabila dilakukan tindakan endoskopi. Pemeriksaan histologi
dilakukan bila uji urease memberikan hasil negatif (Hegar, 2000). Namun, cara

diagnosis ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan eradikasi (Rani
dan Fauzi, 2009).
3. Histologi
Helicobacter pylori pertama kali dilihat oleh RobinWarren dengan
menggunakan pewarnaan hematosilin& eosin (HE). Penggunaan teknik pewarnaan
Giemsa atau Whartin-Starry ternyata lebih memudahkan para ahli patologi anatomi
mendiagnosis infeksi H. pylori. Pada kasus gastritis kronis aktif, H.pylori kadang
kala tidak dapat dideteksi dengan mikroskopik rutin, tetapi dapat dideteksi dengan
pewarnaan Giemsa atau Whartin-Starry. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dikerjakan secara rutin, tetapi hanya pada hasil serologi dan urease negatif.
Pemeriksaan histologi mungkin diperlukan untuk menyingkirkan proses keganasan
pada kasus ulkus lambung (Hegar, 2000).
Pemeriksaan histologi umumnya tidak digunakan untuk evaluasi hasil
terapi, akan tetapi bila dilakukan tindakan endoskopi, maka H.pylori harus sekaligus
dibuktikan secara endoskopi. Apabila uji urease dan histologi digunakan sebagai
evaluasi hasil eradikasi, maka sebaiknya dilakukan paling cepat 4 minggu setelah
terapi selesai. Pada pasien yang dicurigai menderita ulkus lambung perlu dilakukan
endoskopi untuk membuktikan adanya H. pylori baik secara uji urease atau histologi
dan sekaligus untuk menyingkirkan proses keganasan pada lambung (Hegar, 2000).
4. Biakan mikrobiologi
Biakan organisme merupakan cara yang terbaik untuk menegakkan
diagnosis setiap infeksi bakteri termasuk H. pylori. H. pylori dapat dibiak dari
jaringan biopsy lambung dan duodenum. Walaupun demikian, biakan masih
dianggap sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis. Teknik biakan sulit, karena
memerlukan suasana media yang mikroaerofilik (5% O2dengan 5-10% CO2) dan
memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini yang menjadi hambatan bila digunakan
sebagai prosedur rutin. Cara ini umumnya digunakan untuk kepentingan penelitian.
Pemeriksaan biakan tetap diperlukan untuk kepentingan petunjuk tatalaksana infeksi
H.pylori pada pasien yang mengalami kegagalan eradikasi berulang. Kegunaan
utama biakan adalah menentukan jenis antibiotik yang akan digunakan. Pemeriksaan
ini tidak diperlukan pada saat awal terapi, tetapi mungkin diperlukan bila terdapat
kegagalan eradikasi sebanyak 2 kali (Hegar, 2000).
5. Uji Serologi

Uji serologi sudah banyak digunakan oleh beberapa pusat pelayanan


kesehatan. Selain digunakan sebagai uji penapisan, sering pula digunakan sebagai
pendukung penelitian klinis dan epidemiologi. Nilai sensitivitas dan spesifisitas uji
serologi harus paling rendah 90% (Hegar, 2000).
Hasil uji serologi tergantung dari antigen H.pylori yang digunakan pada
pemeriksaan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan uji validitas terhadap
pemeriksaan serologi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah, karena antigen
strain bakteri dari suatu daerah mungkin berbeda dengan bahan yang digunakan pada
uji tersebut. Pada penelitian klinis, pemeriksaan endoskopi diperlukan untuk
mengetahui karakteristik penyakit sebelum dilakukan pemberian terapi, sedangkan
uji serologi digunakan sebagai penapis tindakan endoskopi. Uji serologi akhir-akhir
ini sering dilaporkan kurang memuaskan bila digunakan sebagai penapis infeksi H.
pylori pada anak. Sejak diketahui kadar antibodi IgG H. pylori pada anak berbeda
dengan orang dewasa, maka diperlukan validitas uji serologi pada anak. Keadaan ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan jumlah bakteri dan lama infeksi. Berbagai uji
serologi cepat telah diperkenalkan secara luas sejak beberapa tahun terakhir,
akantetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas dari beberapa dari alat tersebut masih
kurang memuaskan, yaitu berkisar antara 63-97% dan 68-92%. 22 Uji serologi
cepat tidak direkomendasikan sebagai uji yang realibel pada anak (Hegar, 2000).
Uji serologi mempunyai keterbatasan bila digunakan sebagai pemantau
keberhasilan terapi. Sedikit penurunan kadar antibodi dapat terlihat setelah eradikasi.
Kadar IgG H.pylori masih tetap terdeteksi meskipun bakterinya telah hilang.
Sebagian besar pasien tetap memperlihatkan sero positif setelah 6 bulan eradikasi.
Para ahli gastroenterologi telah menyepakati penggunaan uji serologi hanya sebagai
penapis infeksi H.pylori (sebelum eradikasi) atau sebagai evaluasi eradikasi setelah 6
bulan terapi selesai. Eradikasi dikatakan berhasil bila didapatkan penurunan kadar
IgG sebesar 50% (Hegar, 2000).
Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan menggunakan
spesimen urin. Hasil yang diperoleh pun sangat akurat, sehingga sangat berguna
untuk penapisan infeksi H.pylori. Selain itu, telah ditemukan pula cara mendeteksi
antibodi H. pylori didalam air liur, tetapi nilai sensitivitas dan spesifisitas
pemeriksaan ini masih dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan 70-82%.
Saat ini sedang dilakukan penelitian mengenai deteksi antigen didalam tinja (Hegar,
2000).

6. Uji C-13 dan C-14 Urea Napas


Uji C-urea napas merupakan salah satu langkah keberhasilan dalam
diagnosis dan tatalaksana infeksi H. pylori. Cara ini merupakan metoda diagnostik
noninvasive yang paling akurat dan sederhana. Uji C-urea napas hanya mendeteksi
infeksi yang sedang terjadi, sehingga dianjurkan selain sebagai penapis infeksi
H.pylori, juga sebagai evaluasi terapi eradikasi. Tingkat sensisitivitas dan spesifisitas
uji C-urea napas sebelum dan sesudah eradikasi menunjukkan hasil yang sama.
Keadaan ini yang menjadikan uji C-urea napas tepat bila digunakan untuk
menentukan keadaan H.pylori setelah eradikasi (Hegar, 2000).
C-14 urea napas merupakan uji C-urea napas yang pertama kali
dikembangkan. Pada pemeriksaan ini, pasien diminta untuk minum sejumlah urea
berlabel radioaktif. Urea berlabel radioaktif tersebut akan dihidrolisis oleh urease
yang terdapat di dalam H. pylori menjadi amonia dan bicarbonat berlabel. Bicarbonat
ini akan diekskresi melalui udara napas sebagai CO2 berlabel. Terdapat hubungan
yang erat antara uji Curea napas dengan jumlah bakteri di dalam lambung yang juga
menggambarkan derajat gastritis. Meskipun dosis radiasi yang terpapar ke pasien
tidak sebesar radiasi yang diperkenankan, tetapi cara ini tidak etis bila dikerjakan
pada ibu hamil, remaja, dan anak karena radiasi ini mempunyai waktu paruh yang
lama. C-13 yang merupakan isotop non-radioaktif mulai banyak digunakan pada
anak. Nilai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada anak banyak dilaporkan oleh
beberapa peneliti. Sangat disayangkan, alat untuk menguji C-13 napas ini cukup
mahal (Hegar, 2000).
Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar 95-98% dan spesifisitas
98-100%. Hasil positif palsu dapat ditemukan akibat metabolisme urea oleh bakteri
di luar lambung, sedangkan hasil negatif palsu umumnya disebabkan oleh proses
pengosongan lambung yang cepat atau mendapat obat-obatan yang menghambat
urease, seperti antibiotika, bismut, dan obat supresi H2. Oleh karena itu,
direkomendasikan penggunaan uji C-urea napas sebagai evaluasi terapi eradikasi
paling lambat 4 minggu setelah eradikasi selesai. Hasil negatif yang ditemukan pada
4 minggu pasca terapi dapat disebabkan oleh penekanan jumlah bakteri dan aktivitas
urease. Penggunaan proton pumpinhibitor (PPI) harus dihentikan paling lambat 4

minggu sebelum uji C-urea napas dilaksanakan. Uji C-urea napas merupakan uji
diagnostik yang realibel dan merupakan pilihan pertama (Hegar, 2000).

7. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Polymerase chain reaction merupakan teknik laboratorium yang secara in
vitro dapat memproduksi rantai DNA spesifik dalam jumlah yang besar. Spesimen
dari PCR dapat diambil dari spesimen biopsy, asam lambung, dan saliva.
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi strain typing H. pylori dan menghitung jumlah
bakteri dalam jaringan biopsy. Nilai sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini
tinggi. PCR tidak digunakan secara rutin, tetapi lebih sering digunakan untuk
kepentingan penelitian. PCR juga dapat digunakan untuk menetukan strain H. pylori
atau resistensi obat yang digunakan untuk eradikasi infeksi H. pylori dan virulensi
bakteri (Fardah, Ranuh, dan Atmadji, 2006).
F. Pengobatan
1. Tata laksana infeksi H. pylori
Sampai sejauh ini belum terpapar kesepakatan dari para ahli gastroenterologi
tentang pengobatan infeksi H. pylori pada anak. Beberapa kelompok ahli
merekomendasi pengobatan eradikasi H. pylori pada anak dengan dispepsia fungsional
dengan uji tapis positif, sedangkan kelompok lain merekomendasi hanya pada anak
dengan ulkus. Berbagai jenis obat yang pernah digunakan adalah bismut, ranitidin
bismut sitrat, H2 antagonis, PPI, dan beberapa antibiotik. Terapi yang diberikan
sebaiknya sederhana, dapat ditoleransi dengan baik, dan memiliki tingkat eradikasi lebih
dari 80% (Hegar, 2000).
Selain untuk mencegah terjadinya resistensi, penggunaan berbagai jenis obat
akan memberikan hasil yang lebih efektif, karena terdapat mekanisme sinergis dari obatobat tersebut. Dilaporkan tingkat eradikasi yang dicapai dengan menggunakan
kombinasi 3 jenis obat (PPI, klaritromisin dan amoksisilin) sebesar 87-92%, sedangkan
bila hanya menggunakan 2 jenis obat (PPI dan amoksisilin) sebesar 70%. Kombinasi
amoksisilin, bismut, dan metronidazol juga memberikan tingkat eradikasi yang tinggi,
yaitu sebesar 96%. Oleh karena itu, kombinasi 3 jenis obat yang menggunakan PPI atau
bismut direkomendasikan sebagai obat pilihan pertama. Akan tetapi dalam
penggunaannya , PPI lebih mudah diteloransi oleh anak dibanding dengan bismut.

Bismut-salisilat tidak dianjurkan penggunaannya pada anak berumur dibawah 16 tahun


karena ditakutkan terjadinya sindrom Reye. Kombinasi obat yang menggunakan PPI
ternyata memperlihatkan penyembuhan ulkus yang lebih cepat (Hegar, 2000).
Konsensus para Ahli Gastroenterologi di Amerika dan Eropa merekomendasi
penggunaan 3 jenis obat yang terdiri dari PPI, dan kombinasi 2 antibiotik selama 7 hari.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah (1) PPI, metronidazol, dan klaritromisin,
atau (2) PPI, amoksisilin (bila diduga ada resistensi terhadap metronidazol), atau (3) PPI,
amoksisilin, dan metronidazol (bila ada resistensi terhadap klaritromisin). Di negara
Belanda dan Belgia digunakan kombinasi omeprazole 0.6 mg/kg dua kali sehari,
amoksisilin 30 mg/kg dua kali sehari, dan klaritromisin 15 mg/kg dua kali sehari, selama
7 hari. Pedoman terapi yang dilaksanakan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
mengacu kepada terapi yang diberikan oleh kedua negara tersebut (Hegar, 2000).
Kejadian resistensi terhadap amoksisilin rendah, sedangkan kejadian
resistensi terhadap golongan makrolid (klaritromisin) dan metronidazol cenderung
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan obat-obat tersebut. Pada daerah
yang memiliki angka kejadian resistensi terhadap metronidazol lebih dari 30%,
dianjurkan untuk langsung memberikan amoksisilin. Data terakhir memperlihatkan
penggunaan lanzoprazol sebagai PPI. Kombinasi lanzoprazol, amoksisilin/metronidazol,
dan klaritromisin memberikan tingkat eradikasi yang cukup baik (87%), tetapi
penggunaannya pada anak belum dilaporkan secara luas (Hegar, 2000).
Eradikasi dikatakan berhasil apabila ditemukan gambaran histologi yang
normal, atau hasil biakan jaringan biopsi dan uji urea napas negatif. Uji diagnostik yang
bersifat non invasif lebih dianjurkan. Sebagai uji baku digunakan uji urea napas. (C13
urea napas). Evaluasi hasil eradikasi sebaiknya tidak dilakukan sebelum 4 minggu
karena

dapat

memberikan

hasil

negatif

palsu.

Pemeriksaan

serologi

yang

memperlihatkan penurunan kadar antibodi sebesar 50% sebagai petanda keberhasilan


eliminasi bakteri harus dilakukan pada 6 bulan setelah eradikasi. Apabila eradikasi yang
diberikan tidak memberikan hasil optimal, biakan dan uji resistensi diperlukan untuk
menentukan jenis antibiotik selanjutnya (Hegar, 2000).
2. Tata laksana lini kedua untuk kegagalan lini pertama
Walaupun efektivitas regimen triple therapy untuk eradikasi H. pylori cukup
tinggi, masih ditemukan sekitar 20% pasien yang menunjukkan adanya infeksi H. pylori
pasca regimen. Kegagalan tata laksana dengan lini pertama merupakan tanda adanya

resistensi H. pylori terhadap salah satu antibiotik yang digunakan. Resistensi terhadap
klaritromisin merupakan yang paling sering walaupun tidak tertutup kemungkinan
adanya resistensi terhadap antibiotik yang lain. Ketika tata laksana dengan lini pertama
gagal, maka digunakan lini kedua yang sering disebut dengan quadruple therapy.
Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI, bismuth subsalisilat, metronidazol, dan
tetrasiklin (Kho, 2010).
Efektivitas regimen quadruple therapy mencapai 93%, sementara efektivitas
regimen triple therapy sekitar 77%. Dosis regimen quadruple therapy ini adalah
omeprazol 2x20 mg/hari, bismuth subsalisilat 4x525 mg/hari, metronidazole 4x250
mg/hari, dan tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 10-14 hari (Kho, 2010).
Permasalahan utama pada regimen quadruple therapy ini adalah jadwal
konsumsi obat yang rumit dan insiden efek samping yang lebih besar. Bila masih
terdapat kegagalan dalam eradikasi H. pylori dengan regimen quadruple therapy, maka
dianjurkan untuk menggunakan regimen lini ketiga yaitu kombinasi levofloksasin,
amoksisilin, dan PPI selama 10 hari. Kegagalan eradikasi dengan lini kedua dapat
mencapai 20%. Penggunaan kultur untuk mengetahui resistensi dalam praktik sehari-hari
masih kontroversial karena selain prosedurnya rumit, juga membutuhkan waktu dan
biaya. Dosis yang digunakan untuk levofloksasin adalah 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1
g/ hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari. Levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin,
amoksisilin, dan PPI) seringkali disebut sebagai regimen lini ketiga (Kho, 2010).
Gisbert et al membandingkan levofloxacine-based triple therapy (levofloksasin
2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari) dengan rifabutin
2x150 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/hari, dan omeprazol 2x20 mg/hari pada masingmasing 20 pasien dengan riwayat gagal eradikasi H. pylori dengan lini pertama dan
kedua, dan terlihat bahwa nilai eradikasi dengan levofloksasin lebih tinggi dibandingkan
dengan rifabutin (85% berbanding 45%). Sementara itu, Gatta et al juga memperlihatkan
keberhasilan eradikasi levofloxacine- based triple therapy mencapai 92% pada 151
pasien dengan infeksi H. pylori yang persisten dengan lini pertama dan kedua (Kho,
2010).
G. Reinfeksi
Reinfeksi H pylori mungkin jarang ditemukan, dan bila ditemukan lebih
merupakan suatu rekrudensi akibat terapi yang gagal.Kejadian reinfeksi umumnya
berhubungan dengan efektivitas terapi yang diberikan kurang optimal.Kejadian reinfeksi

tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok antara negara berkembang (20%) dan
negara maju (13%). Pada laporan beberapa negara di Asia pasifik, reinfeksi jarang
ditemukan pada orang dewasa, yaitu 0.5-10% pertahun, sedangkan pada anak mungkin
lebih tinggi. Kejadian reinfeksi dilaporkan sebesar 4% setelah 1 tahun mendapat terapi
yang mempunyai tingkat eradikasi 82%. Reinfeksi dapat pula terjadi setelah tindakan
endoskopi akibat pembersihan alat yang kurang adekuat, meskipun angka kejadian
secara pasti belum diketahui. Kesepakatan saat ini adalah kurang beralasan memberikan
terapi untuk mencegah reinfeksi pada anggota keluarga (Hegar, 2000).
H. Follow Up Eradikasi H. pylori
Konfirmasi atas keberhasilan eradikasi H. pylori sangat penting untuk pasien
dengan ulkus yang disebabkan oleh H. pylori, gastric MALT lymphoma, pasien yang
telah menjalani reseksi karsinoma gaster tahap awal maupun untuk pasien dengan gejala
yang menetap setelah upaya eradikasi H. pylori. Konfirmasi keberhasilan eradikasi ini
dilakukan melalui pemeriksaan UBT ataupun SAT setelah penghentian obat selama 4
minggu atau lebih untuk menghindari hasil negatif palsu. Keberhasilan eradikasi juga
dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan endoskopi ulang pada pasien dimana endoskopi
ulang memang diperlukan (Kho, 2010).
Zipser et al melakukan penelitian dengan 34 pasien yang telah mendapatkan
regimen triple therapy selama 10 hari berupa omeprazol (2x20 mg/hari), amoksisilin
(2x1 g/hari), dan klaritromisin (2x500 mg/hari). Kemudian dilakukan konfirmasi ulang
dengan menggunakan pemeriksaan UBT dengan hasil 5 di antara 34 (15%) pasien
tersebut positif. Hasil ini menandakan kegagalan dalam eradikasi sebesar 15% dengan
pemakaian triple therapy di atas. Oleh karena sebagian besar kegagalan eradikasi ini
merupakan akibat resistensi terhadap antibiotik, maka dianjurkan tata laksana ulang
dengan jenis antibiotik yang lain (Kho, 2010).

KESIMPULAN
1. Infeksi H. pylori merupakan salah satu penyakti infeksi yang paling banyak
dilaporkan di seluruh dunia saat ini.
2. Sebagian besar anak yang terdapat H. pylori di lambungnya bersifat asimptomatis,
hanya kasus dengan ulkus yang memperlihatkan hubungan yang jelas antara infeksi
ini dengan manifestasi klinis.
3. Diagnosis dan tata laksana infeksi H. pylori menjadi penting dalam evaluasi pasien
dengan keluhan dyspepsia.
4. Uji diagnostik yang dianjurkan adalah uji yang mudah dikerjakan dan memberikan
hasil yang akurat.
5. Konsensus terapi eradikasi H. pylori pada anak masih mengacu pada orang dewasa.
Kombinasi proton pump inhibitor (PPI) dan 2 jenis antibiotik masih merupakan
pilihan terapi di beberapa negara saat ini.
6. Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi

H.

pylori

diperlukan

mengingat

kemungkinan kegagalan eradikasi yang dikaitkan dengan risiko terjadinya berbagai


penyakit gastrointestinal pada pasien dengan infeksi H. pylori yang persisten.

DAFTAR PUSTAKA
Atkins JT., Cleary TG. 1999. Helicobacter dalam Ilmu Kesehatan Anak
Nelson. Jakarta EGC. Edisi 15 vol 2 hal 988-992
Fardah, A., Ranuh RG., Atmadji SD. 2006. Infeksi Helicobacter pylori pada
Anak. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair: Divisi
Gastroenterologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya
Hegar, Badriul. 2000. Infeksi Helicobacter pylori pada Anak.Sari Pediatri.
Jakarta. Vol 2. No 2. Hal 82-89
Kho,

Dragon.

2010.

Diagnosis

dan

Tata

Laksana

Terkini

Infeksi

Helicobacter Pylori. Majalah Kedokteran Indonesia.Volume 60. No


8. Hal 381-85
Logan, R., Walker M. 2001. ABC of the upper gastrointestinal tract:
epidemiology and diagnosis of Helicobacter pylori infection. Br Med
J. 323: 920-2
Rajindrajith, S., Devanarayana, NM., dan de Silva HJ. 2009. Helicobacter
pylori infection in Children. The Saudy Journal of Gastroenterology.
15(2) hal 86-94
Rani, Aziz A., Fauzi A. 2009.Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit
gastroduodenal dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC
Jilid 1 Edisi 5. Hal 501-508
Suerbaum S, Michetti P. Helicobacter pylori infection. New English Journal Medicine, 2002
(347) 1175-86

You might also like