You are on page 1of 29

REFERAT

Infeksi Helicobacter Pylori Pada Anak

Diajukan kepada:
dr. M. Mukhson , Sp.A
Disusun Oleh :
Rezky Galuh S G1A212059
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU
KESEHATAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF DR.MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014

Pendahuluan
Helicobacter pylori adalah bakteri yang dapat

berkoloni pada saluran cerna manusia dan merupakan


salah satu penyebab ulkus duodenum dan gaster,
atau salah satu faktor penyebab keganasan lambung
Robin Warren dan Barry Marshall, ahli patologi dari
Perth tahun 1983 menemukan terdapat bakteri
berbentuk spiral di spesimen biopsy gaster
H. pylori dapat menyebabkan gastritis pada anak
yang terinfeksi dengan manifestasi klinis yang tidak
spesifik. Walaupun demikian, sebagian besar anak
yang terinfeksi tetap asimtomatis sepanjang hidupnya

Epidemiologi
Prevalensi pada populasi di negara maju sekitar 30-

40%, sedangkan di negara berkembang mencapai


80-90%.
Penelitian yang dilakukan oleh Hegar (2000) di
Jakarta, prevalensi H. pylori berdasarkan
pemeriksaan serologi didapatkan 27% sampel dan
90% dari mereka mempunyai seropositive
ditemukan H. pylori pada lambungnya
Tidak ada reservoir lain untuk H. pylori selain
gaster manusia. Maka transmisi utama kuman ini
adalah dari gaster manusia yang satu ke manusia
lain

Morfologi
Helicobacter pylori adalah bakteri gram

negatif, non spora, berbentuk spiral atau


melengkung yang tumbuh secara mikroaerob
H. pylori memproduksi enzim ureasae dalam
jumlah besar, protease yang diperkirakan
merusak lapisan mucus, catalase, sitokrom
oksidase, alkaline fosfatase dan glutamil
transpeptidase

Patogenesis H. pylori

Manifestasi Klinis
Dari beberapa data yang dilaporkan

menunjukkan bahwa infeksi H. pylori pada


anak sebagian besar asimptomatis atau
memperlihatkan gejala saluran cerna yang
tidak spesifik
Secara klinis sulit membedakan gastritis yang
terinfeksi H. pylori dengan yang tidak
terinfeksi H. pylori
Data dari beberapa peneliti memperlihatkan
22-37% pada anak dengan sakit perut
berulang terbukti menderita infeksi H. pylori
secara serologis

Kejadian ulkus pada anak jarang ditemukan,

tetapi bila ditemukan perlu dipikirikan


kemungkinan adanya H. pylori
Keluhan lain yang sering disampaikan oleh
anak yang terinfeksi H. pylori adalah nyeri di
daerah epigastrium, terbangun pada malam
hari dan sering muntah
Beberapa gejala klinis dianggap sebagai alarm
symptoms seperti malabsorbsi dengan
penurunan berat badan, gangguan
pertumbuhan, anemia defisiensi besi, diare
berulang, dan malnutrisi

Diagnosis
Pada anak berlaku ketentuan untuk tidak

melakukan pemeriksaan diagnostik apapun


kecuali ingin melakukan terapi
Metode invasif meliputi endoskopi dan biopsi
yang diikuti oleh pemeriksaan histologi, biakan,
uji urease, dan PCR, sedangkan metode noninvasif meliputi serologi dan uji C-urea napas
Pemilihan jenis uji diagnostik sangat
bergantung kepada keberadaan alat diagnostik
pada suatu pusat pelayanan kesehatan,
masalah klinis yang diperlihatkan, dan biaya.

1. Endoskopi
Endoskopi merupakan tindakan penting untuk

mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan


histologi, biakan, atau uji urease
Sebelum dilakukan pemeriksaan endoskopi,
pasien biasanya dianjurnkan untuk
menghentikan obat antibiotic, anti sekresi
asam lambung terutama golongan proton
punp inhibitor, bismuth selama satu atau dua
minggu sebelum dilakukan pemeriksaan

2. Uji urease jaringan biopsy


Uji urease dapat mendeteksi infeksi H. pylori

dengan cepat.
Uji urease yang dilakukan pada jaringan biopsy
lambung akan memperlihatkan perubahan
warna media yang digunakan akibat adanya
peningkatan pH akibat digesti urea oleh urease
Uji ini mempunyai nilai spesifisitas yang tinggi,
tetapi sangat tergantung pada ketepatan
pengambilan sampel jaringan
Pemeriksaan kombinasi antrum dan korpus
menaikkan nilai sensitivitas

Pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitivitas

yang tinggi pada orang dewasa, namun hasil


negatif palsu sering ditemukan pada anak. Hal
ini mungkin disebabkan oleh koloni bakteri
yang lebih sedikit pada anak
Uji ini merupakan pilihan pertama apabila
dilakukan tindakan endoskopi. Pemeriksaan
histologi dilakukan bila uji urease memberikan
hasil negatif

3. Histologi
Helicobacter pylori pertama kali dilihat oleh

Robin Warren dengan menggunakan


pewarnaan hematosilin & eosin (HE)
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dikerjakan secara rutin, tetapi hanya pada
hasil serologi dan urease negatif.
Pemeriksaan histologi mungkin diperlukan
untuk menyingkirkan proses keganasan pada
kasus ulkus lambung

4. Biakan mikrobiologi
Biakan organisme merupakan cara yang

terbaik untuk menegakkan diagnosis setiap


infeksi bakteri termasuk H. pylori
Walaupun demikian, biakan masih dianggap
sebagai jenis pemeriksaan yang tidak praktis
Teknik biakan sulit, karena memerlukan
suasana media yang mikroaerofilik (5% O 2
dengan 5-10% CO2) dan memerlukan waktu
yang cukup lama
Kegunaan utama biakan adalah menentukan
jenis antibiotik yang akan digunakan

5. Uji Serologi
Nilai sensitivitas dan spesifisitas uji serologi

harus paling rendah 90%


Hasil uji serologi tergantung dari antigen
H.pylori yang digunakan pada pemeriksaan
tersebut
Dianjurkan untuk melakukan uji validitas
terhadap pemeriksaan serologi sesuai dengan
kondisi masing-masing daerah, karena
antigen strain bakteri dari suatu daerah
mungkin berbeda dengan bahan yang
digunakan pada uji tersebut.

Uji serologi mempunyai keterbatasan bila

digunakan sebagai pemantau keberhasilan terapi.


Sedikit penurunan kadar antibodi dapat terlihat
setelah eradikasi. Kadar IgG H.pylori masih tetap
terdeteksi meskipun bakterinya telah hilang
Saat ini telah ditemukan uji serologi (ELISA) dengan
menggunakan spesimen urin.
Selain itu, telah ditemukan pula cara mendeteksi
antibodi H. pylori di dalam air liur, tetapi nilai
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini masih
dianggap terlalu rendah yaitu sebesar 84-93% dan
70-82%

6. Uji C13 dan C14 Urea Napas


Uji C-urea napas merupakan salah satu

langkah keberhasilan dalam diagnosis dan


tatalaksana infeksi H. pylori
Cara ini merupakan metoda diagnostik
noninvasive yang paling akurat dan
sederhana.
Uji C-urea napas hanya mendeteksi infeksi
yang sedang terjadi, sehingga dianjurkan
selain sebagai penapis infeksi H.pylori, juga
sebagai evaluasi terapi eradikasi

C-14 urea napas merupakan uji C-urea napas yang

pertama kali dikembangkan. P


ada pemeriksaan ini, pasien diminta untuk minum
sejumlah urea berlabel radioaktif. Urea berlabel
radioaktif tersebut akan dihidrolisis oleh urease
yang terdapat di dalam H. pylori menjadi amonia
dan bicarbonat berlabel. Bicarbonat ini akan
diekskresi melalui udara napas sebagai CO 2
berlabel.
Terdapat hubungan yang erat antara uji C urea
napas dengan jumlah bakteri di dalam lambung
yang juga menggambarkan derajat gastritis

C-13 yang merupakan isotop non-radioaktif mulai

banyak digunakan pada anak. Nilai sensitivitas dan


spesifisitas yang tinggi pada anak banyak dilaporkan
oleh beberapa peneliti. Sangat disayangkan, alat
untuk menguji C-13 napas ini cukup mahal
Kedua cara ini mempunyai nilai sensitivitas sebesar
95-98% dan spesifisitas 98-100%
Penggunaan proton pump inhibitor (PPI) harus
dihentikan paling lambat 4 minggu sebelum uji Curea napas dilaksanakan. Uji C-urea napas
merupakan uji diagnostik yang realibel dan
merupakan pilihan pertama

PCR (Polymerase Chain


Reaction )
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi strain

typing H. pylori dan menghitung jumlah


bakteri dalam jaringan biopsy. Nilai
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini
tinggi.
Spesimen dari PCR dapat diambil dari
spesimen biopsy, asam lambung, dan saliva
PCR juga dapat digunakan untuk menetukan
strain H. pylori atau resistensi obat yang
digunakan untuk eradikasi infeksi H. pylori
dan virulensi bakteri

Pengobatan lini pertama


Selain untuk mencegah terjadinya resistensi,

penggunaan berbagai jenis obat akan memberikan


hasil yang lebih efektif, karena terdapat mekanisme
sinergis dari obat-obat tersebut.
Dilaporkan tingkat eradikasi yang dicapai dengan
menggunakan kombinasi 3 jenis obat (PPI,
klaritromisin dan amoksisilin) sebesar 87- 92%,
sedangkan bila hanya menggunakan 2 jenis obat
(PPI dan amoksisilin) sebesar 70%.
Oleh karena itu, kombinasi 3 jenis obat yang
menggunakan PPI atau bismut direkomendasikan
sebagai obat pilihan pertama

Konsensus para Ahli Gastroenterologi di

Amerika dan Eropa merekomendasi


penggunaan 3 jenis obat yang terdiri dari PPI,
dan kombinasi 2 antibiotik selama 7 hari.
Kombinasi obat yang direkomendasikan
adalah
(1) PPI, metronidazol, dan klaritromisin, atau
(2) PPI, amoksisilin (bila diduga ada resistensi
terhadap metronidazol), atau
(3) PPI, amoksisilin,dan metronidazol (bila ada
resistensi terhadap klaritromisin)

Eradikasi dikatakan berhasil apabila

ditemukan gambaran histologi yang normal,


atau hasil biakan jaringan biopsi dan uji urea
napas negatif.
Uji diagnostik yang bersifat non invasif lebih
dianjurkan.
Apabila eradikasi yang diberikan tidak
memberikan hasil optimal, biakan dan uji
resistensi diperlukan untuk menentukan jenis
antibiotik selanjutnya

Terapi lini kedua


Kegagalan tata laksana dengan lini pertama

merupakan tanda adanya resistensi H. pylori


terhadap salah satu antibiotik yang digunakan
Ketika tata laksana dengan lini pertama gagal,
maka digunakan lini kedua yang sering disebut
dengan quadruple therapy
Quadruple therapy terdiri dari kombinasi PPI,
bismuth subsalisilat, metronidazol, dan tetrasiklin
Efektivitas regimen quadruple therapy mencapai
93%, sementara efektivitas regimen triple therapy
sekitar 77%.

Terapi lini ketiga


Kegagalan eradikasi dengan lini kedua dapat

mencapai 20%
Bila masih terdapat kegagalan dalam
eradikasi H. pylori dengan regimen quadruple
therapy, maka dianjurkan untuk
menggunakan regimen lini ketiga yaitu
kombinasi levofloksasin, amoksisilin, dan PPI
selama 10 hari.
Dosis yang digunakan untuk levofloksasin
adalah 2x500 mg/hari, amoksisilin 2x1 g/ hari,
dan omeprazol 2x20 mg/hari

Reinfeksi
Kejadian reinfeksi umumnya berhubungan

dengan efektivitas terapi yang diberikan


kurang optimal
Kejadian reinfeksi jarang ditemukan pada
orang dewasa, yaitu 0.5-10% pertahun,
sedangkan pada anak mungkin lebih tinggi.
Reinfeksi dapat pula terjadi setelah tindakan
endoskopi akibat pembersihan alat yang
kurang adekuat, meskipun angka kejadian
secara pasti belum diketahui

Follow Up Eradikasi H. pylori


Konfirmasi keberhasilan eradikasi ini dilakukan

melalui pemeriksaan UBT ataupun SAT setelah


penghentian obat selama 4 minggu atau lebih
untuk menghindari hasil negatif palsu.
Keberhasilan eradikasi juga dapat dikonfirmasi
melalui pemeriksaan endoskopi ulang pada
pasien dimana endoskopi ulang memang
diperlukan
Sebagian besar kegagalan eradikasi ini
merupakan akibat resistensi terhadap
antibiotik, maka dianjurkan tata laksana ulang
dengan jenis antibiotik yang lain

Kesimpulan
1. Infeksi H. pylori merupakan salah satu penyakti infeksi yang paling
2.

3.
4.
5.

6.

banyak dilaporkan di seluruh dunia saat ini.


Sebagian besar anak yang terdapat H. pylori di lambungnya bersifat
asimptomatis, hanya kasus dengan ulkus yang memperlihatkan
hubungan yang jelas antara infeksi ini dengan manifestasi klinis.
Diagnosis dan tata laksana infeksi H. pylori menjadi penting dalam
evaluasi pasien dengan keluhan dyspepsia.
Uji diagnostik yang dianjurkan adalah uji yang mudah dikerjakan dan
memberikan hasil yang akurat.
Konsensus terapi eradikasi H. pylori pada anak masih mengacu pada
orang dewasa. Kombinasi proton pump inhibitor (PPI) dan 2 jenis
antibiotik masih merupakan pilihan terapi di beberapa negara saat ini.
Konfirmasi ulang keberhasilan eradikasi H. pylori diperlukan mengingat
kemungkinan kegagalan eradikasi yang dikaitkan dengan risiko
terjadinya berbagai penyakit gastrointestinal pada pasien dengan
infeksi H. pylori yang persisten

Daftar pustaka
Atkins JT., Cleary TG. 1999. Helicobacter dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.

Jakarta EGC. Edisi 15 vol 2 hal 988-992


Fardah, A., Ranuh RG., Atmadji SD. 2006. Infeksi Helicobacter pylori pada
Anak. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. FK Unair: Divisi Gastroenterologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Surabaya
Hegar, Badriul. 2000. Infeksi Helicobacter pylori pada Anak. Sari Pediatri.
Jakarta. Vol 2. No 2. Hal 82-89
Kho, Dragon. 2010. Diagnosis dan Tata Laksana Terkini Infeksi Helicobacter
Pylori. Majalah Kedokteran Indonesia. Volume 60. No 8. Hal 381-85
Logan, R., Walker M. 2001. ABC of the upper gastrointestinal tract:
epidemiology and diagnosis of Helicobacter pylori infection. Br Med J. 323:
920-2
Rajindrajith, S., Devanarayana, NM., dan de Silva HJ. 2009. Helicobacter pylori
infection in Children. The Saudy Journal of Gastroenterology. 15(2) hal 86-94
Rani, Aziz A., Fauzi A. 2009. Infeksi Helicobacter pylori dan penyakit
gastroduodenal dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC Jilid 1
Edisi 5. Hal 501-508

Terima kasih

You might also like