You are on page 1of 9

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat anestesi dan yang digunakan di

indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam , Degidrobenzperidol, Fentanil,
Ketamin dan Propofol. Berikut ini akan dijelaskan lebih jauh mengenai obat obat anestesi intravena
tersebut.
2.1 Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena dan lebih dikenal dengan
nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat
induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan
pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean,
sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal
tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg).
2.1.2 Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya
berlangsung di reseptor GABA A (Gamma Amino Butired Acid).
2.1.3 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini
terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2
24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan secara
cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik ) dan
kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol
bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
2.1.4 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek
sedasi, tanpa disertai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran
berlangsung cepat.
Pada sistem kardiovaskular
Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai
dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi jantung juga sangat minim.

Sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan
henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan
2.1.5 Dosis dan penggunaan
a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infuse
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 150 g/kg/min IV (titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung penggunaanya
dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan
hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.
2.1.6 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi
pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidocain
(0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada
bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah
juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan
emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan metabolisme
lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.
2.2Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium
Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat
short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat (30-45 detik).
Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 10 menit
konsentrasi mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau
dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid], methohexital
[1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2thiobarbituric acid]. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan
methohexital (Brevital) adalah oxybarbiturate.

Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan obat
terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.
2.1.1 Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan menyebabkan hambatan pada
reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan
polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang beberapa terletak dibatang otak yang mampu
mengontrol beberapa fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus
lebih berpengaruh pada sinap saraf dari pada akson. Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter
inhibitor seperti asam gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan
transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
2.1.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk induksi anestesi
umum pada orang dewasa dan anak anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau
metoheksital untuk induksi pada anak anak. Sedangkan phenobarbital atau sekobarbital intramuskular
untuk premedikasi pada semua kelompok umur.
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh
jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami difusi
kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat
dalam plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak
anak terjadi 6 ml/kg/menit.
2.1.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis subhipnotik,
menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang tinggi akan
menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.
Sistem kardiovaskular
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung, penurunan
tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek
depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot
jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi Co2 atau hipoksia.
Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat
disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat
dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat
terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Sistem pernafasan
Akan mennyebabkan penurunan frekwensi nafas dan volume tidal. bahkan dapat sampai menyebakan
terjadinya asidosis respiratorik.
2.1.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk menghindarkan efek negatif dari
tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.
2.1.5 Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini kepada pasien
yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi
anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut, karena
barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui
I.V, hal ini dapat diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
2.2 Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan
phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk
menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi dan
kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non barbiturate
general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan
Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.

Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi ,
hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur
dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira
yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
2.2.1 Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla
spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat
menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
2.2.2 Efek farmakologis
Efek pada susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat
kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus.
Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari, seperti gerakan mengunyah, menelan,
tremor dan kejang. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.
Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Efek pada mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan tekanan
intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Efek pada sistem kardiovaskular.
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan
darah dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi pembuluh
darah perifer.
Efek pada sistem respirasi
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi
bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien ashma.
2.2.3 Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit
didapat contohnya pada anak anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V atau

I.M. dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih
rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Emberian secara intermitten
diulang setiap 10 15 menitdengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.
2.2.4 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuscular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek
muncul dalam 30 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar
setelah 15 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit yang masih
aktif.
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
2.2.5 Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat
menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada
otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan
tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
2.2.6 Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka
penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat, misalnya pada
trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada
penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif
terhadap obat obat simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
2.3 Opioid

Opioid telah digunakkan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari
ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang
berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil,
and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak.
Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.
2.3.1 Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan lain. Empat
tipe mayor reseptor opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih
efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor,
afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat pelepasan presinaptik
dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
2.3.2 Dosis
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan
morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
2.3.3 Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak level
plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan
analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 g/Kg)
dan dewasa (200-800 g).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dan morfin
memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih
panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.
Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar. Produk akhir
berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi

Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada aliran
darah hepar. 5 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil
dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.
2.3.4 Farmakodinamik
Efek pada sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot
pembuluh darah 3.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan aliran
simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena
adanya pelepasan histamin.
Efek pada sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah
volume tidal yang menurun .11 PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve
respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas
akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada
dosis tertentu.
Efek pada Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.
Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan
pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
2.4 Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium),
Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan
kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau
Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan
PH 3,5.
2.4.1 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb

Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg


Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
2.4.2 Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 8 menit
setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis
ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan
diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat
pada pasien tua.
2.4.3 Farmakodinamik
Dalam sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek
analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
Efek Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi
frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila
dikombinasi dengan opioid.
Sistem Respiratori
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi
pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Efek terhadap saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal , sehingga
sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

You might also like