You are on page 1of 30

LAPORAN PENDAHULUAN

I.

KONSEP MEDIS
A. Defenisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2002).
Menurut WHO, Stroke adalah manifestasi klinik dari gangguan fungsi
cerebral, baik fokal maupun global, yang berlangsung dengan cepat, berlangsung
lebih dari 24 jam atau berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab selain
daripada gangguan vaskuler.
Serangan otak merupakan istilah kontemporer untuk stroke atau cedera
serebrovaskuler yang mengacu kepada gangguan suplai darah otak secara
mendadak sebagai akibat dari oklusi pembuluh darah parsial atau total, atau akibat
pecahnya pembuluh darah otak (Chang, 2010).
Stroke merupakan gangguan mendadak pada sirkulasi serebral di satu
pembuluh darah atau lebih yang mensuplai otak. Stroke menginterupsi atau
mengurangi suplai oksigen dan umumnya menyebabkan kerusakan serius atau
nekrosis di jaringan otak (Williams, 2008).
Stroke diklasifikasikan menjadi dua, yaitu stroke hemoragik (primary
hemorrhagic strokes) dan stroke non hemoragik (ischemic strokes) . Menurut
Price, (2006) stroke non hemoragik (SNH) merupakan gangguan sirkulasi cerebri
yang dapat timbul sekunder dari proses patologis pada pembuluh misalnya
trombus, embolus atau penyakit vaskuler dasar seperti artero sklerosis dan arteritis
yang mengganggu aliran darah cerebral sehingga suplai nutrisi dan oksigen ke otal
menurun yang menyebabkan terjadinya infark. Sedangkan menurut Padila, (2012)
Stroke Non Haemoragik adalah cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi

aliran darah otak terjadi akibat pembentukan trombus di arteri cerebrum atau
embolis yang mengalir ke otak dan tempat lain di tubuh.
Dari beberapa pengertian stroke diatas, disimpulkan stroke non hemoragik
adalah adalah gangguan cerebrovaskular yang disebabakan oleh sumbatnya
pembuluh darah akibat penyakit tertentu seperti aterosklerosis, arteritis, trombus
dan embolus.
B. Klasifikasi
Klasifikasi Stroke Non Haemoragik menurut Padila, (2012) adalah :
1. Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak
sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa dengan cepat dalam waktu tidak lebih
dari 24 jam.
2. Reversible Iscemic Neurological Deficit (RIND)
RIND adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena iskemia otak
berlangsung lebih dari 24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1-3
minggu
3. Stroke in Evolution (Progressing Stroke)
Stroke in evolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan
peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mencapai maksimal
dalam beberapa jam sampe bbrpa hari
4. Stroke in Resolution
Stroke in resolution adalah deficit neurologik fokal akut karena gangguan
peredaran darah otak yang memperlihatkan perbaikan dan mencapai
maksimal dalam beberapa jam sampai bebrapa hari

5. Completed Stroke (infark serebri)


Completed stroke adalah defisit neurologi fokal akut karena oklusi atau
gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa
memburuk lagi.
Sedangkan secara patogenitas menurut Tarwoto dkk, (2007) Stroke iskemik
(Stroke Non Hemoragik) dapat dibagi menjadi :
1. Stroke trombotik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena
trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke arteri serebri
media. Permulaan gejala sering terjadi pada waktu tidur,atau sedang istrirahat
kemudian berkembang dengan cepat,lambat laun atau secara bertahap sampai
mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-kadang dalam
beberapa hari (2-3 hari), kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada
kecendrungan untuk membaik dalam beberapa hari,minggu atau bulan.
2. Stroke embolik, yaitu stroke iskemik yang disebabkan oleh karena emboli
yang pada umunya berasal dari jantung. Permulaan gejala terlihat sangat
mendadak berkembang sangat cepat, kesadaran biasanya tidak terganggu,
kemungkinan juga disertai emboli pada organ dan ada kecenderungan untuk
membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan.
C. Etiologi
Menurut Smeltzer, 2002 penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1. Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran
darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan
kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang
dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis
biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal

ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan


tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala
neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2. Embolisme cerebral
Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan pembuluh darah otak
oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik
3. Iskemia
Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.
D. Manifestasi Klinis
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) Stroke menyebabkan berbagai deficit
neurologik, gejala muncul akibat daerah otak tertentu tidak berfungsi akibat
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut, bergantung pada lokasi lesi
(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Gejala
tersebut antara lain :
1. Umumnya terjadi mendadak, ada nyeri kepala
2. Parasthesia, paresis, Plegia sebagian badan
3. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan
control volunter terhadap gerakan motorik. Di awal tahapan stroke, gambaran
klinis yang muncul biasanya adalah paralysis dan hilang atau menurunnya
refleks tendon dalam
4. Dysphagia

5. Kehilangan komunikasi
6. Gangguan persepsi
7. Perubahan kemampuan kognitif dan efek psikologis
8. Disfungsi Kandung Kemih
Defisit neurologik stroke manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut :
No
1.

Defisit neurologi
Defisit lapang penglihatan

Manifestasi
a. Tidak menyadari orang atau objek, mengabaikan

a. Homonimus Hemlanopsia
Kehilangan penglihatan

salah satu sisi tubuh, kesulitan menilai jarak


b. Kesulitan melihat pada malam hari, tidak

perifer
b. Diplopia
2.

Defisit Motorik

menyadari objek atau batas objek.


b. Penglihatan ganda
a. Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada

a. Hemiparesis

b. sisi yang sama.

b.

a. Paralisis wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang

Hemiplegia

c. Ataksia
d.

Disatria

2.

Disfagia

sama.
b. Berjalan tidak mantap, tidak mampu menyatukan
kaki.
c. Kesulitan dalam membentuk kata
d. Kesulitan dalam menelan.

3.

Defisit sensori : Parastesia

4.

Defisit verbal
a. Fasia ekspresif
b. Fasia reseptif
c. Afasia global

a.

Kesemutan

a. Tidak mampu membentuk kata yang dapat


dipahami
b. Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan,
mampu berbicara tapi tidak masuk akal
c. Kombinasi afasia reseptif dan ekspresif

5.

Defisit kognitif

a. Kehilangan memori jangka pendek dan panjang,


penurunan

lapang

perhatian,

tidak

mampu

berkonsentrasi, dan perubahan penilaian.


6.

Defisit Emosional

a. Kehilangan kontrol diri, labilitas emosional,


depresi, menarik diri, takut, bermusuhan, dan
perasaan isolasi.

E. Patofisiologi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak.
Luasnya infark hergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya
pembuluh daralidan adekdatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai
oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin
lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan pant dan
jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab infark pad-a otak.
Trombus dapat berasal dari plak arterosklerotik, atau darah dapat beku pada area
yang stenosis, tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi
(Muttaqin, 2008).
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli
dalam aliran darah. Trombus mengakihatkan iskemia jaringan otak yang disuplai
oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan edema dan kongesti di sekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu
sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan.
Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan
nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding
pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi
berada pada pembuluh darah yang tersumbat . menyebabkan dilatasi aneurisma

pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma
pecah atau ruptur (Muttaqin, 2008).
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik clan hipertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan lebih sering
menyebabkan kematian di bandingkan keseluruhan penyakit serebro vaskulai;
karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan
intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk
serebri atau lewat foramen magnum (Muttaqin, 2008).
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hernisfer otak, dan
perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak.
Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak
di nukleus kaudatus, talamus, dan pons (Muttaqin, 2008).
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral:
Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk waktu 46 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral
dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung
(Muttaqin, 2008).
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif
banyak akan mengakihatkan peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan
tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elernen-elemen vasoaktif
darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi,
menyebabkan saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi
(Muttaqin, 2008).
Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Jika volume darah lebih
dari 60 cc maka risiko kematian sebesar 93% pada perdarahan dalam dan 71%
pada perdarahan lobar. Sedangkan jika terjadi perdarahan serebelar dengan
volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75%, namun

volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal (Misbach, 1999
dalam Muttaqin, 2008).
F. Faktor Resiko
Menurut Smeltzer, 2002 faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke non
hemoragik yaitu:
1. Faktor resiko terkendali
Beberapa faktor resiko terkendali yang menyebabkan stroke non
hemoragik sebagai berikut :
a) Hipertensi
b) Penyakit kardiovaskuler, embolisme serebral yang berasal dari
jantung, penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi
ventrikel kiri, abnormalitas irama (khususnya fibrasi atrium), penyakit
jantung kongestif.
c) Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke.
d) Kolesterol tinggi
e) Infeksi
f) Obesitas
g) Peningkatan hemotokrit meningkatkan resiko infark serebral
h) Diabetes
i) Kontrasepsi oral (khusunya dengan disertai hipertensi, merokok, dan
estrogen tinggi
j) Penyalahgunaan obat (kokain)
k) Konsumsi alkohol
2. Faktor resiko tidak terkendali
Beberapa faktor resiko tidak terkendali yang menyebabkan stroke non
hemoragik sebagai berikut :

a) Usia, merupakan foktor resiko independen terjadinya strok, dimana


refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.
b) keturunan / genetic
G. Penatalaksanaan
Menurut Smeltzer dan Bare, (2002) penatalaksanaan stroke dapat dibagi menjadi
dua, yaitu :
1. Phase Akut :
a) Pertahankan fungsi vital seperti : jalan nafas, pernafasan, oksigenisasi
dan sirkulasi.Reperfusi dengan trombolityk atau vasodilation :
Nimotop. Pemberian ini diharapkan mencegah peristiwa trombolitik /
emobolik.
b) Pencegahan peningkatan TIK. Dengan meninggikan kepala 15-30
menghindari flexi dan rotasi kepala yang berlebihan, pemberian
dexamethason.
c) Mengurangi edema cerebral dengan diuretik
d) Pasien di tempatkan pada posisi lateral atau semi telungkup dengan
kepala tempat tidur agak ditinggikan sampai tekanan vena serebral
berkurang
2. Post phase akut
a) Pencegahan spatik paralisis dengan antispasmodik
b) Program fisiotherapi
c) Penanganan masalah psikososial
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Muttaqin, (2008), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
ialah sebagai berikut :

1. Angiografi serebral: Membantu menentukan penyebab dari stroke secara


spesifik seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskular.
2. Lumbal pungsi: Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada
carran lumbal menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan
adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya
warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT scan.: Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi
henatoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang
pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
4. MRI: MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak.
Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
akibat dari hemoragik.
5. USG Doppler: Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
6. EEG: Pemeriksaan ini berturuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam
jaringan otak.
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Lumbal pungsi: pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna
likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama.
2. Pemeriksaan darah rutin.

3. Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsurangsur turun kembali.
4. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
II.

KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada stroke meliputi identitas klien,
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, dan pengkajian psikososial.
1. Identitas Klien: Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
2. Keluhan utama: Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang: Serangan stroke hemorhagik sering kali
berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas.
Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak
sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak
yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhari perubahan perilaku
juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak
responsif, dan konia.
4. Riwayat penyakit dahulu: Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke
sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma
kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian pemakaian

obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi,


antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian
riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan
tindakan selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga: Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita
hipertensi, diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi
terdahulu.
6. Pengkajian psikososiospiritual: Pengkajian psikologis klien stroke meliputi
beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk rnemperoleh persepsi
yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons
emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan
akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmarnpuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan
konsep diri menunjukkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan,
rnudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola penanganan stres, klien
biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan
proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi. Dalam pola rata nilai dan
kepercayaan, klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah
laku yang tidak stabil dan kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

Oleh karena klien harus menjalani rawat inap, maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Stroke memang suatu
penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan dapat mernengaruhi keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini
dapat memengaruhi stabilitas emosi serta pikiran klien dan keluarga. Perawat
juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak
gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang
diakibatkan.oleh defisit neurolcgis dalam hubungannya dengan peran sosial
klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis di dalam sistem dukungan individu.
7. Pemeriksaan Fisik: Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
secara per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
a. B1 (Breathing): Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada klien dengan
tingkat kesadaran compos mends, pengkajian inspeksi pernapasannya
tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang
kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.

b. B2 (Blood): Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan


(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah
biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan
darah >200 mmHg).
c. B3 (Brain): Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung
pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap
dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
d. B4 (Bladder): Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia
urine sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter
urine eksternal hilang atau berkurang. Selama periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Inkontinensia urine yang
berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
e. B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan
oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah
pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat
penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut
menunjukkan kerusakan neurologis luas.
f. B6 (Bone): Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor
atas menyilang, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi

yang berlawanan dari otak. Disfungsi motorik paling umum adalah


hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah
tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan 02 kulit akan tampak
pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya
kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/ hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.
8. Pengkajian Tingkat Kesadaran: Kualitas kesadaran klien merupakan parameter
yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya
berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah
mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
9. Pengkajian Fungsi Serebral: Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi
intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
a. Status Mental: Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b. Fungsi Intelektual: Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik
jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung
dan kalkulasi. Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu

kesulitan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu


nyata.
c. Kemampuan Bahasa: Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi
yang memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang
dominan pada bagian posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami
bahasa lisan atau bahasa tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari
girus frontalis inferior (area Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien
dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan tepat dan bicaranya
tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan
tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika klien
mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
d. Lobus Frontal: Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan
jika kerusakan telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau
fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini
dapat ditunjukkan dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan klien ini
menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi
umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien terhadap
penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan
kurang kerja sama.
e. Hemisfer Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese sebelah kiri tubuh,
penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga
kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada stroke hemifer

kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat hati-hati,


kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah
frustrasi.
10. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Muttaqin, (2008) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII.
a. Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
b. Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai

pakaian

tanpa

bantuan

karena

ketidakmampuan

untuk

mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.


c. Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, padasatu
sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
d. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi
otot pterigoideus internus dan eksternus.
e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.

i. Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi,
serta indra pengecapan normal.
11. Pengkajian Sistem Motorik: Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN)
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
Oleh karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah
satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang
berlawanan dari otak
12. Pengkajian Sistem Sensorik: Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi
terdapat ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara mata dan
korteks visual.
Menurut Doenges (2012) data dasar pengkajian pada pasien NHS yaitu:
1. Aktivitas/ istirahat
Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia)
Tanda: gangguan tonus otot, hemiplagia, dan terjadi kelemahan umum,
gangguan pengelihatan, gangguan tingkat kesadaran.
2. Sirkulasi
Gejala: adanya penyakit jantung , polisitemia, riwayat hipotensi postural,
Tanda: hipertensi arterial,nadi bisa bervariasi karena pengaruh jantung,
disaritmia, perubahan EKG
3. Integritas ego
Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira,
kesulitan untuk mengekspresikan diri.

4. Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih, seperti inkontinensia urine, anuria, distensi
abdomen, bising usus negatif
5. Makanan/ cairan
Gejala: nafsu makan hilang, mual selama fase akut (peningkatan TIK),
kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi, dan tenggorok, disfagia, ada
riwayat diabetes, peningkatan lemak dalam darah.
Tanda: kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringeal)
6. Neurosensori
Gejala : sinkope/ pusing, sakit kepala, kelemahan/ kesemutan/ kebas, sisi
yang terkena terlihat seperti mati/ lumpuh, pengelihatan menurun,
pengelihatan ganda, atau gangguan yang lain, gangguan pengecapan.
Tanda: status mental/ kesadaran; biasanya terjadi koma pada tahap awal
haemorhagic, pada wajah terjadi paralisis atau parese (ipsilateral), afasia,
kehilangan kemampuan untuk mengenali / menghayati masuknya rangsang
visual, apraksia
7. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
Tanda: tingkah laku yang stabil, gelisah, ketegangan pada otot.
8. Pernapasan
Gejala: merokok
Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan napas
9. Kemanan
Tanda: motorik/ sensorik akan masalah dengan pengelihatan, perubahan
persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan), kesulitan untuk
melihat objek dari sisi kiri (pada stroke kanan), kesulitan menelan, tidak
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara mandiri.

10. Interaksi sosial


Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
B. Diagnosa
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin muncul menurut Doengoes
(2012) adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan
oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/
sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda
vital.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak
dengan tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan
rentang gerak; penurunan kekuatan otot/ kontrol.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/
penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :
disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,
konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk
menyebutkan posisi bagian tbuh.
5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan,
koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan:
kerusakan kemampuan AKS.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam

struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak berdaya,
tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal
sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi, penyataan kesalahan
informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.
C. Intervensi
Adapun intervensi keperawatn yang diterapkan pada pasien NHS menurut
Doengoes (2012), yaitu:
1. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan aliran darah: gangguan
oklusif, vasospasme serebral, edema serebral ditandai dengan perubahan
tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/
sensori: gelisah, defisit sensori bahasa, intelektual, perubahan tanda- tanda
vital.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran; biasanya/membaik, fungsi kognitif,
dan motorik/ sensori
b. Mendemontrasikan tanta- tanda vital stabil, dan tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK
c. Menunjukkan tidak ada tanda-tanda kelanjutan/ kekambuhan.
Intervensi:
a. Tentukan faktor faktor yang berhubungan dengan keadaan/ penyebab
khusus selama koma/ penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya
peningkatan TIK.

Rasional:

Mempengaruhi

penetapan

intervensi.

Kerusakan

atau

kemunduran gejala/tanda setelah fase awal memerlukan tindakan


pembedahan segera dan atau harus dipindahkan ke ruang ICU.
b. Pantau/ catat status neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan
keadaan normalnya/ standar.
Rasional: mengetahui kecenderungan tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan mengetahui luas, dan kemajuan / resolusi
kerusakan SSP.
c. Pantau tanda- tanda vital, seperti catat: adanya hipertensi, frekuensi irama
jantung, catat irama dan pola pernapasan, evaluasi pupil, reaksinya
terhadap cahaya. Catat perubahan dalam pengelihatan, seperti adanya
kebutaan, gangguan lapang pandang
Rasional: adanya variasi mungkin terjadi, namun tanda- tanda vital harus
mendapat perhatian karena bisa mempengaruhi intervensi yang akan
dilakukan.
d. Kaji fungsi bicara
Rasional: perubahan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat
gangguan serebral.
e. Letakkan kepala dalam posisi agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis.
Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan
sirkulasi.
f. Pertahankan keadaan tirah baring: ciptakan lingkungan yang tenang,
batasi pengunjung/ aktivitas pasien sesuai indikasi.
Rasional: aktivitas/ stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
g. Kolaborasi:
1) berikan oksigen sesuai indikasi

rasional: menurunkan hipoksia yang dapat menyebabkan vasodilatasi


serebral dan tekanan meningkat.
2) Berikan obat sesuai dengan indikasi (antikoagulasi, antihipertensi,
vasodilatasi perifer)
Rasional: antikoagulasi meningkatkan memperbaiki aliran darah,
anti hipertensi menurunkan tekanan darah, vasodilatasi perifer
memperbaiki sirkulasi dan menurunkan vasospasme.
3) Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan indikasi.
Rasional: memberikan informasi tentang kefektifan pengobatan.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan neuromuskuler,
kelemahan, parestesia, paralisis; ditandai dengan ketidakmampuan bergerak
dengan tujuan dalam lingkungan fisik; kerusakan koordinasi,; keterbatasan
rentang gerak; penurunan kekuatan otot/ kontrol.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan posisi optimal dari fungsi yang dibuktikan oleh tak
adanya kontraktur
b. Mempertahankan/ meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang terkena
c. Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/ luasnya kerusakan awal dan dengan
cara yang teratur
Rasional: mengidentifikasi kelemahan dan dapat memberikan informasi
mengenai pemulihan.
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang , miring) dan jika
memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang
terganggu

Rasional: menurunkan resiko terjadinya trauma/ iskemia jaringan. Daerah


yang terkena mengalami perburukan/ sirkulasi yang lebih jelek dan
menurunkan sensasi.
c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas. Anjurkan untuk melakukan latihan seperti menggenggam
bola karet melebarkan jari-jari kaki/ telapak.
Rasional:meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu
mencegah kontraktur.
d. Gunakan penyangga lengan ketika pasien dalam posisi tegak, sesuai
indikasi.
Rasional: menurunkan resiko subluksasio lengan dan sindrom bahulengan.
e. Tempatkan bantal di bawah aksilla untuk melakukan abduksi pada tangan.
Rasional: mencegah abduksi bahu dan fleksi siku.
f. Tinggikan tangan dan kepala.
Rasional: meningkatkan aliran balik vena dan membantu mencegah
terbentuknya edema.
g. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong daerah
tubuh yang mengalami kelemahan.
Rasional: dapat berespons yang baik jika daerah yang sakit tidak menjadi
lebih terganggu dan memerlukan latihan aktif untuk menyatukan kembali
sebagian tubuhnya sendiri.
h. Kolaborasi: konsultasikan dengan ahli fisioterapi, secara aktif, latihan
resistif dan ambulasi pasien.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan/ kelelahan umum.

Kriteria hasil:
a. Mengindikasikan pemahaman tentang masalah komunikasi
b. Membuat metode komunikasi dimana kebutuhan dapat dipersepsikan
Intervensi:
a. Kaji tipe/ derajat disfungsi, seperti pasien tampak tidak memahami kata,
atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional: membantu menentukan daerah dan kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses
komunikasi.
b. Minta pasien untuk mengucapkan kata sederhana seperti pus
Rasional: mengidentifikasi adanya disartria sesuai komponen motorik dari
bicara seperti lidah yang dapat mempengaruhi artikulasi.
c. Anjurkan

pengunjung

untuk

mempertahankan

usahanya

untuk

berkomunikasi dengan pasien


Rasional: mengurangi isolasi sosial pasien dan meningkatkan penciptaan
komunikasi yang efektif.
d. Kolaborasi: konsultasikan/ rujuk pada ahli terapi wicara.
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi/
penerimaan sensori, tranmisi, integrasi, stres psikologik; ditandai dengan :
disorientasi terhadap tempat, waktu, orang, respons emosional berlebihan,
konsentrasi buruk, perubahan pola komunikasi, ketidakmampuan untuk
menyebutkan posisi bagian tubuh.
Kriteria hasil:
a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi perseptual
b. Mengakui perubahan dan kemampuan
c. Mendemostrasikan perilaku untuk mengkompensasi terhadap defisit hasil.
Intervensi:

a. Lihat kembali proses patologis kondisi individual


Rasional: kesadaran akan tipe/ daerah yang terkena membantu dalam
mengkaji defisit spesifik dan perawatan
b. Evaluasi adanya gangguan pengelihatan.
Rasional: munculnya gangguan pengelihatan dapat berdampak negatif
terhadap

kemampuan

pasien

untuk

menerima

lingkungan

dan

mempelajari kembali keterampilan.


c. Ciptakan

lingkungan

yang

sederhana,

pindahkan

perabt

yang

membahayakan.
Rasional: membatasi jumlah stimulasi pengelihatan, mencegah resiko
kecelakaan.
d. Anjurkan klien untuk mengamati kakinya bila perlu dan menyadari posisi
bagian tubuh tertentu. Buat pasien memperhatikan bagian tubuh yang
terabaikan.
Rasional: penggunaan stimulasi pengelihatan dan sentuhan membantu
dalam mengintegrasikan kembali sisi yang sakit.
5. Defisit perawatan diri: mandi, berpakaian, makan, eliminasi berhubungan
dengan kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan otot dan daya tahan,
koordinasi otot, kerusakan kognitif, nyeri dan depresi ditandai dengan:
kerusakan kemampuan AKS.
Kriteria Hasil:
a. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan sendiri.
b. Mengidentifikasi sumber komunitas/ pribadi memberikan bantuan sesuai
kebutuhan.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk menentukan kebutuhan
sehari- hari

Rasional: membantu dalam merencanakan pemenuhan kebutuhan secara


individual
b. Anjurkan keluarga pasien untuk menghindari melakukan sesuatu untuk
pasien yang dapat dilakukan sendiri, berikan bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional: penting bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk
diri sendiri untuk memperthakankan harga diri dan meningkatkan
pemulihan.
c. Pertahankan dukungan, sikap yang tegas, beri pasien waktu yang cukup
untuk mengerjakan aktivitasnya.
Rasional: pasien akan memerukan empati, tetapi perlu untuk mengetahui
pemberi asuhan yang akan membantu pasien secara konsisten.
d. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi.
6. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perseptual kognitif, ditandai dengan perubahan aktual dalam
struktur atau fungsi, perasaan negatif tentang tubuh, perasaan tidak berdaya,
tidak melihat atau menyentuh pada bagian yang sakit.
Kriteria hasil:
a. Bicara/ berkomunikasi dengan orang terdekat,
b. Mengungkapkan penerimaan pada diri sendiri dalam situasi
c. Mengenali dan menggabungkan perubahan dalam konsep diri dalam cara
yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi:
a. Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat
ketidakmampuannya.
Rasional:

penentuan

faktor

secara

individu

membantu

mengembangkan perencanaan asuhan / pilihan intrevensi.

dalam

b. Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk perasaan


marah.
Rasional: mendemontrasikan penerimaan/ membantu pasien untuk
mengenal dan mulai memahami perasaannya.
c. Dorong orang terdekat untuk memberi kesempatan pada saat melakukan
sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri
Rasional: membangun kembali rasa kemandirian dan menerima
kebanggan diri dan meningkatkan proses rehabilitasi.
d. Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi,
pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi, dan
menarik diri.
Rasional: mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang mungkin
memerlukan evaluasi dan intervensi lanjut.
7. Resiko tinggi terhadap kerusakan menelan berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular.
Kriteria hasil:
a. Mendemonstrasikan metode makan tepat untuk situasi individual dengan
aspirasi tercegah.
b. Mempertahankan berat badan yang diinginkan
Intervensi:
a. Tinjau ulang kemampuan menelan pasien. Catat adangan gangguan lidah,
kemampuan untuk melindungi jalan napas.
Rasional: intervensi nutrisi ditentukan oleh faktor ini.
b. Tingkatkan upaya untuk dapat melakukan proses menelan yang efektif
dengan mengontrol kepala, posisi tegak/ duduk setlama dan setelah
makan, stimulasi bibir untuk menutup dan membuka secara manual,

meletakkan makanan pada bagian yang tidak mengalami gangguan,


memberikan makan dengan perlahan di lingkungan yang tenang.
c. Pertahankan masukan dan haluaran yang adekuat.
d. Anjurkan untuk berpartisipasi dalam program latihan.
e. Kolaborasi: Berikan cairan IV dan/ atau makanan melalui selang.
8. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan dengan
kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kurang mengingat, tidak mengenal
sumber informasi, ditandai dengan: meminta informasi, penyataan kesalahan
informasi, ketidak akuratan mengikuti instruksi.
Kriteria hasil:
a. Berpartisipasi dalam proses belajar.
b. Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan aturan terapiutik.
Intervensi:
a. Evaluasi tipe/ derajat dari gangguan persepsi sensori
Rasional: defisit mempengaruhi pilihan metode pengajaran dan isis/
kompleksitas instruksi.
b. Tinjau ulang/ pertegas kembali pengobatan yang diberikan, identifikasi
cara meneruskan program pengobatan setelah pulang.
Rasional: tentang aktivitas yang dianjurkan, pembatasan, dan kebutuhan
merupakan hal penting untuk pemulihan.

DAFTAR PUSTAKA
Chang, Ester . 2010 . Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta:
EGC.
Corwin, Elizabeth J . 2009 . Buku Saku Patofisiologi . Jakarta: E G C.
Doengoes, Marilyn dkk . 2012 . Rencana Asuhan Keperawatan . Jakarta: E G C
Muttaqin, Arif. 2008 . Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Padila. 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Price, SA dan Wilson, 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses- proses penyakit
ed. 6 vol.1. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth . Jakarta : E G C.
Tarwoto, 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem Persyarafan .
Jakarta: Sagung Seto.
William, Lippicont . 2008 . Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit .
Jakarta: Indeks.
Wilkinson, Judith . 2013 . Diagnosis NANDA Intervensi NIC Kriteria Hasil NOC.
Jakarta: EGC .

You might also like