You are on page 1of 22

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK SPINA BIFIDA DENGAN

MENINGOKEL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah Mata Kuliah Keperawatan Anak

Dosen pembimbing;

Ibu. Ana Farida, S. kep. Ns.

Disusun Oleh:

Hajar Dewi Rizqi

7307005

PRODI S-1 KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM

JOMBANG

2010
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur
bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital
dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-
akan merupakan suatu seleksi alam terhadap kelangsungan hidup bayi yang
dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan kelainan kongenitaI besar, umumnya
akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan sering pula sebagai
bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan kelainan
kongenital berat, kira-kira 20% meninggal dalam minggu pertama
kehidupannya. Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik untuk
menegakkan diagnose kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula
adanya diagnosisi pre/- ante natal kelainan kongenital dengan beberapa cara
pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air
ketuban dan darah janin.
Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali sukar diketahui.
Pertumbuhan embryonal dan fetaI dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara bersamaan.
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor
janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi
faktor penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia
diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan
kongenitai tidak diketahui.
Salah satu kelainan congenital yang sering terjadi adalah meningokel.
Angka kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran. Terjadi karena adanya
defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan pertumbuhan yang
tidak normal korda spinalis atau penutupnya.
Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di
daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput
otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak
terdapat saraf).

B. Rumusan Masalah

a. Apa Pengertian dari Maningokel?


b. Apa Etiologi dari maningokel?
c. Apa tanda dan gejala dari maningokel?
d. Bagaimana Patofisiologi dari Maningokel?
e. Bagaimana Patofisiologi Nursing Patway (PNP) dari Maningokel?
f. Bagaimana cara Penatalaksanaan terhadap maningokel?
g. Bagaimana dalam Pemberian Asuhan Keperawatan?

C. Tujuan Umum

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak


2. Agar mahasiswa mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
Maningokel dan dapat memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.
TUJUAN KHUSUS
1. Agar para pembaca mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan
Maningokel dan bisa memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla spinalis melalui
spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan. Pembengkakan kistis
ini ditutupi oleh kulit yang sangat tipis. Pada kasus tertentu kelainan ini dapat
dikoreksi dengan pembedahan. Pembedahan terdiri dari insisi meningokel dan
penutupan dura meter. Kemudian kulit diatas cacat ditutup. Hidrosefalus
kemungkinan merupakan komplikasi yang memerlukan drainase. (Prinsip
Keperawatan Pediatric, Rosa M. sachrin. Hal-283)
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering terjadi.
Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah
servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak,
sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat
saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi normal
sesudah operasi. (IKA-FKUI. Hal-1136)
Spina bifida dimanifestasikan pada hampir semua kasus disrafisme spinal
yang merupakan terminologi untuk kelompok kelainan spinal yang umumnya
menunjukkan ketidaksempurnaan menutupnya jaringan mesenkim, tulang dan
saraf di garis tengah. . (Buku Ajar Neurologi Anak. Hal-144) Pembagian
disrafisme spinal antara lain:
1. Spina bifida okulta
Defek terdapat pada arkus vertebrata tanpa herniasi jaringan.
2. Meningokel spinalis
Defek pada durameter dan arkus spinalis. Herniasi jaringan saraf spinalis
atau sebagian medulla spinalis.
3. Meningomielokel
Kantung herniasi terdiri dari leptomeningen, cairan, jaringan saraf berupa
serabut spinalis atau sebagian medulla spinalis.
4. Mielomeningosistokel
Kantung terdiri dari leptomeningen, cairan cerebrospinal, serabut saraf yang
membenntuk kista berisi cairan yang berhubungan dengan kanalis sentralis.
5. Rakiskisis spinal lengkap
Tulang belakang terbuka seluruhnya

B. Etiologi/penyebab
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui.
Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya
defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal-
hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal
rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan
hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat
dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi,
termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila L. Betz &
Linda A. Sowden.2002] hal-468)
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek tabung
neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam
penyebab yang berat menentukan morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak dari
abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat dideteksi
pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi Umum Dan
Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885)

C. Gambaran klinis
Akibat spina bifida, terjadi sejumlah disfungsi tertentu pada rangka, kulit
dan saluran genitourinari akibat spina bifida, tetapi tergantung pada bagian
medulla spinalis yang terkena. Pada meningokel dapat ditemukan:
1. Kantong herniasi CSS yang dapat dilihat pada daerah lumbosakral.
2. Hidrosefalus.
D. Patofisiologi
Ada dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebrata dan kolumna
spinalis: spina bifida okulta dan spina bifida sistika.
Spina bifida okulta adalah defek penutupan dengan meninges tidak terpajan
di permukaan kulit. Defek vertebralnya kecil, umumnya pada daerah
lumbosakral.
Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan
medula spinalis dan pembungkusnya. Meningokel adalah penonjolan yang terdiri
dari maninges dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS): penonjolan
ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi, dan medulla spinalis tidak
terkena. Hidrosefalus terdapat pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel
umumnya terdapat pada lumbosakral atau sacral.
Mielomeningokel adalah penonjolan meninges dan sebagian medulla
spinalis, selain kantong berisi CSS. Daerah lumbal atau lumbosakral terdapat
pada 42% kasus; torakolumna pada 27 kasus, sacral 21% kasus; dan torakal atau
servikal pada 10% kasus. Bayi dengan mielomeningokel mudah terkena cedera
selama proses kelahiran. Hidrosefalus terdapat pada hampir semua anak yang
menderita spina bifida (85% sampai 90%);kira-kira 60% sampai 70% tersebut
memiliki IQ normal. Anak dengan mielomeningokel dan hidrosefalus menderita
malformasi system saraf pusat lain, dengan deformitas Arnold-Chiari yang paling
umum.
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum diketahui.
Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya
defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal-
hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal
rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan
hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat
dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi,
termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila L. Betz &
Linda A. Sowden.2002] hal-468)
Banyak ahli percaya bahwa defek primer pada NTD (neural tube defect)
merupakan kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan awal embrio.
Akan tetapi, ada bukti bahwa defek ini merupakan akibat dari pemisahan tuba
neural yang sudah menutup karena peningkatan abnormal tekanan cairan
serebrospinal selama trimester pertama. Derajat disfungsi neurologik secara
lansung berhubungan dengan level anatomis defek tersebut dan saraf-saraf yang
terlibat. Kebanyakan mielomeningokel melibatkan area lumbal atau lumbosakral,
dan hidrosefalus merupakan anomali yang sering menyertainya (90% sampai
95%). (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425)
Pembedahan dilakukan secepatnya pada spina bifida yang tidak tertutup
kulit, sebaiknya dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang-kadang sebagai
akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus sementara atau menetap, karena
permukaan absorpsi CSS yang berkurang.
Kegagalan tabung neural untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau
kerusakan pada strukturnya setelah penutupan dapat dideteksi in utero dengan
pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum
ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan
sebagai prosedur skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi;
terminology spina bifida digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi
SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina vertebrata. (Patologi
Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885)
Posisi tengkurap mempengaruhi aspek lain dari perawatan bayi. Misalnya,
posisi bayi ini, bayi lebih sulit dibersihkan, area-area ancaman merupakan
ancaman yang pasti, dan pemberian makanan menjadi masalah.
Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau pemanas sehingga
temperaturnya dapat dipertahankan tanpa pakaian atau penutup yang dapat
mengiritasi lesi yang rapuh. Apabila digunakan penghangat overhead, balutan di
atas defek perlu sering dilembabkan karena efek pengering dari panas yang
dipancarkan.
Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap dengan
meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek tersebut.
Larutan pelembab yang dilakukan adalah salin normal steril. Balutan diganti
dengan sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus tersebut diamati dengan cermat
terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi. Sakus tersebut harus
dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau terkontaminasi. Kadang-
kadang sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada sakus meningkatkan
resiko infeksi pada system saram pusat.
Latihan rentang gerak ringan kadang-kadang dilakukan untuk mencegah
kontraktur, dan meregangkan kontraktur dilakukan, bila diindikasikan. Akan
tetapi latihan ini dibatasi hanya pada kaki, pergelangan kaki dan sendi lutut. Bila
sendi panggul tidak stabil, peregangan terhadap fleksor pinggul yang kaku atau
otot-otot adductor, mempererat kecenderungan subluksasi.
Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan remaja yang
menderita keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan kemampuan seksualnya,
penguasaan social, hubungan kelompok remaja sebaya, dan kematangan serta
daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan dengan
persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan yang
sebenarnya ada pada remaja itu.

E. Deteksi prenatal
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD terbuka
selama masa prenatal. Pemindaian ultrasuara pada uterus dan peningkatan
konsentrasi alfafetoprotein (AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada
fetus, dalam cairan amnion mengindikasikan adanya arensefali atau
mielomeningokel. Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini
adalah pada usia gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi AFP yang
normalnya menurun, dan pada saat yang tepat untuk melakukan aborsi
terapeutik. Pengambilan sampel virus koronik (chorionic villus sampling, CVS)
juga merupakan pemeriksaan untuk diagnostik NTD pada masa prenatal.
Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua ibu yang telah
melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan ditawarkan bagi
semua wanita hamil. Selain itu, rencana kelahiran dengan sesar dapat
menurunkan disfungsi motorik. (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L.
Wong. Hal-1425)

F. Penatalaksanaan medis dan bedah


Pembedahan mielomeningokel dilakukan pada periode neonatal untuk
mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal dan pirau CSS
pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat kelahiran. Pencangkokan kulit
diperlakukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik diberikan untuk mencegah
meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan tergantung ada tidaknya
disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada berbagai system tubuh.
 Untuk spina bifida okulta atau maningokel tidak diperlukan pengobatan
 Perbaikan mielomeningokel, dan kadang-kadang meningokel, secara bedah
diperlukan
 Apabila dilakukan perbedahan secara bedah, maka perlu dipasang suatu
pirau (shunt) untuk memungkinkan drainase CSS dan mencegah timbulnya
hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranium
 Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan, dapat mengurangi
kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek korda spinalis
BAB 3

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

a. Anamnesa :

1. Identitas bayi

2. Identitas ibu

3. Riwayat kehamilan ibu

 kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan

meningkat pada usia 16-18 minggu

4. Riwayat kelahiran.

 Seksio sesarae terencana atau normal

5. Riwayat Keluarga.

 Anak sebelumnya menderita spina bifida

6. Riwayat atau adanya faktor resiko

 Jenis kelamin laki-laki

b. Pemeriksaan Fisik.

Observasi adanya manifestasi mielomeningokel

1. Kantong yang dapat dilihat

2. Gangguan sensori biasanya disfungsi motorik paralel

 Di bawah vertebra lumbal kedua

 Flaksid, paralis parsial arefleksik pada ekstremitas bawah

 Berbagai derajat defisit sensori


 Inkontenensia aliran berlebihan dengan penetesan urin konstan

 Kurang kontrol defikasi

 Prolapsus rektal (kadang-kadang)

 Di bawah vertebra sakrum ketiga

 Tidak ada kerusakan motorik

 Dapat berupa anestesia sadel dengan paralis sfingter kandung kemih

dan sfingter anus

 Deformitas sendi (terkadang terjadi di uterus)

 Talipes valgus atau kontraktur varus

 Kifosis

 Skoliosis lumbosakral

 Dislokasi pinggul

3. Lakukan atau bantu dengan pemeriksaan neurologis

untuk menentukan tingkat kerusakan motorik dan sensorik

4. Inspeksi mielomeningokel untuk adanya perubahan pada

penampilan, sebagai contoh, abrasi, robekan, tanda-tanda infeksi

5. Observasi adanya tanda-tanda hidrosefalus

6. Observasi adanya tanda-tanda alergi lateks

7. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian.

 Radiologi

 Tomografi
B. Diagnosa

1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme infektif.


2. Risti trauma berhubungan dengan lesi spinal
3. Risti trauma berhubungan dengan kerusakan sirkulasi cairan
serebrospinal
4. Risti cidera berhubungan dengan pemajanan berulang pada produk lateks
dan alergi lateks
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan ketahanan
sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial
6. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perubahan emosi pada
semua anggota keluarga yang berkaitan dengan pengobatan atau sakitnya
anggota keluarga
7. Resiko tinggi penatalaksanaan program terapiutik tidak efektif
berhubungan dengan ketidaktahuan tentang pengobatan atau teknik
8. Risiko hambatan kedekatan orang tua-bayi berhubungan dengan
hambatan untuk menggendong sekunder akibat pemantauan pada
perawatan intensif
9. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan imobilitas
sekunder akibat reposisi tidak efektif
10. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

C. Intervensi

1. Diagnosa : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme


infektif. Sasaran: Pasien mengalami penurunan risiko terhadap infeksi system
saraf pusat

Intervensi keperawatan/rasional

 Posisikan bayi untuk mencegah kontaminasi urin dan feses


 Bersihkan mielomeningokel dengan cermat menggunakan salin normal
steril bila bagian ini menjadi kotor atau terkontaminasi

 Berikan balutan steril dan lembab dengan larutan steril sesuai instruksi
(salin normal, antibiotik) untuk mencegah pengeringan kantong

 Berikan antibiotik sesuai resep

 Pantau dengan cermat tanda-tanda infeksi (peningkatan suhu, peka


rangsang, latergi, kaku kuduk) untuk mencegah keterlambatan
pengobatan dalam pengobatan

 Berikan perawatan serupa untuk sisi operatif pada paskaoperasi

Hasil yang di harapkan

 kantong meningeal tetap bersih, utuh, dan tidak menunjukkan bukti-


bukti infeksi

2. Diagnosa: Risti trauma berhubungan dengan lesi spinal

Sasaran: pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal

Intervensi keperawatan/rasional

 Rawat bayi dengan cermat untuk mencegah kerusakan pada kantong


meningeal atau sisi pembedahan

 Gunakan alat pelindung di sekitar kantong missal; selimut plastic


bedah, potong sesuai ukuran dan sesuai ukuran dan tempelkan
dibawah kantong di samping sacrum dan selimuti dengan longgar
untuk memberikan lapisan pelindung

 Modifikasi aktifitas keperawatan rutin (misal; member makan,


merapikan tempat tidur, aktifitas kenyamanan) untuk mencegah
trauma
Hasil yang diharapkan

 Kantong meningeal tetap utuh

 Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma

3. Diagnosa Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan sirkulasi


cairan serebrospinl

Sasaran: pasien tidak mengalami tekanan intrakranial

Intervensi keperawatan/rasional

 Ukur lingkaran oksifitoprontal setiap hari untuk mendeteksi


peningkatan tekanan intracranial dan terjadinya hidrosefalus

 Observasi adanya tanda-tanda peningkatan intracranial, yang


menunjukkan terjadinya hidrosefalus.

o Peka rangsang

o Latergi

Bayi

o Menangis bila diangakat atau digendon: diam bila tetap


berbaring

o Peningkatan lingkar oksipitofrontal

o Peregangan sutura

o Perubahan tingkat kesadaran

Anak

o Sakit kepala (khusus di pagi hari)


o Apatis

o Konfusi

Hasil yang diharapkan

 Bukti tekanan intracranial dan hidosefalus terdeteksi dini, dan


intervensi yang tepat diimplementasikan

4. Diognosa: Risti cidera berhubungan dengan pemajanan berulang pada produk


lateks dan alergi lateks
Sasaran pasien: pasien mengalami pemajanan minimum pada lateks
Intervensi keperawatan/rasional

 Identifikasi anak dengan alergi lateks

 Jaga agar lingkungan bebas lateks untuk menurunkan pemajanan

 Ajari anggota keluarga dan pemberi perawatan lain (mis., pekerja


perawatan sehari, guru) tentang hal-hal berikut:

 Risiko alergi lateks dan hal-hal yang harus dihindari untuk


menurunkan pemajanan

 Tanda-tanda alergi (dari gatal-gatal, ruam, dan mengi pada anafilaktik)


untuk mendeteksi reaksi dengan cepat

 Tindakan kedaruratan, termasuk penggunaan kit anafilaktik dan


memanggil pelayanan medis darurat, untuk mencegah keterlambatan
tindakan

Hasil yang diharapkan

 Anak tidak mengalami reaksi alergi terhadap lateks


5. Diagnose: kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial
Sasaran pasien : pasien tidak mengalami deformitas ekstremitas bawah dan
panggul atau resiko pasien terhadap hal tersebut minimal
Intervensi keperawatan/rasional

 Lakukan latihan rentang gerak pasif untuk mencegah kontraktur;


jangan memaksakan suatu titik tahanan untuk mencegah trauma

 Lakukan peregangan otot bila diindikasikan untuk mencegah


kontraktur

 Pertahankan panggul pada abduksi ringan sampai sedang untuk


mencegah dislokasi, jaga agar kaki tetap berada pada posisi netral
untuk mencegah kontraktur

 Gunakan gulungan popok, bantalan, bantal pasir kecil, atau alat yang
dirancang khusus untuk mempertahankan posisi yang diinginkan

Hasil yang diharapkan

 Ekstremitas mempertahankan fleksibelitasnya

 Panggul dan ekstremitas bawah dipertahankan pada artikulasi dan


kesejajaran yang benar

6. Diagnose: Perubahan proses keluarga berhubungan dengan perubahan emosi


pada semua anggota keluarga yang berkaitan dengan pengobatan atau sakitnya
anggota keluarga
Tujuan
Anggota keluarga mempertahankan sistem fungsi dukungan mutual satu sama
lain
Intervensi keperawatan/rasional

 Beri dukungan emosional kepada orang tua


 Bantu keluarga dalam menghadapi kekhawatirannya terhadap situasi

 Ciptakan lingkungan rumah sakit yang bersifat pribadi dan mendukung


untuk keluarga

 Libatkan anggota keluarga dalam perawatan anggota keluarganya yang


sakit bila memungkinkan (member makan, memandikan, memakai
baju, ambulasi)

 Bantu anggota keluarga mengubah harapan anggota keluarga yang


sakit dengan sikap realistis

Kriteria hasil

 Ansietas keluarga berkurang yang berhubungan dengan ketakutan


karena ketidaktahuan, ketakutan karena kehilangan control emosi.

7. Diagnose: Resiko tinggi penatalaksanaan program terapiutik tidak efektif


berhubungan dengan ketidaktahuan tentang pengobatan atau teknik dan
ketidakcukupan pengetahuan
Tujuan
Keluarga mengungkapkan maksud untuk melakukan perilaku kesehatan yang
diperlukan atau keinginan untuk pulih dari penyakit dan pencegahan
kekambuhan atau komplikasi
Intervensi keperawatan/rasional

 Dapatkan jalan masuk ke dalam system keluarga, jangan mengambil


alih

 Hindari kesan memaksa

 Dengarkan untuk mengetahui kesesuaian antara kekhawatiran, hindari


memberi harapan
 Upayakan untuk mengetahui kesesuaian antara kebutuhan yang
diungkapkan dengan layanan yang diberikan perawat

 Gali dengan orang tua tentang penatalaksanaan masalah yang telah


berhasil pada masa lalu untuk meningkatkan percaya diri

 Kumpulkan ekspresi tentang perasaan, keperhatinan, dan pertanyaan


dari individu dan keluarga untuk mengetahui tingkat pengetahuan
keluarga

 Beri dorongan keluarga untuk mencari informasi dan membuat


keputusan berdasarkan informasi untuk meningkatkan sikap positif
dan partisipasi aktif keluarga

Kriteria hasil

 Ansietas keluarga berkurang yang berhubungan dengan ketakutan


karena ketidaktahuan, ketakutan karena kehilangan kontrol

 Anggota keluarga dapat menggambarkan proses penyakit, penyebab


dan factor penunjang pada gejala, dan regimen untuk penyakit atau
control gejala

8. Diagnose : Risiko hambatan kedekatan orang tua-bayi berhubungan dengan


hambatan untuk menggendong sekunder akibat pemantauan pada perawatan
intensif
Tujuan
Mendemonstrasikan peningkatan perilaku kedekatan, seperti menggendong
bayi dengan dekat, tersenyum dan bicara pada bayi, dan mencari kontak mata
dengan bayi
Intervensi keperawatan/rasional

 Izinkan orang tua untuk melihat dan menyentuh bayi sebelum


dipindahkan
 Anjurkan kunjungan dini untuk ibu bila mungkin, buat hubungan
telefon yang sering dengan pemberi perawatan bayi bila kunjungan
tidak memungkinkan

Kriteria hasil

 Orang tua mulai mengungkapkan perasaan positif mengenai bayi

9. Diagnose : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan


imobilitas sekunder akibat reposisi tidak efektif
Tujuan
Individu menunjukkan integritas kulit bebas dekubitus
Intervensi keperawatan/rasional

 Ubah posisi individu untuk berbalik atau mengangkat berat badannya


setiap 30 menit sampai 2 jam untuk penurunan takanan pada kulit

 Instruksikan keluarga tentang teknik spesifik yang digunakan dirumah


untuk mencegah dekubitus

Kriteria hasil

 Individu bebas dari dekubitus

10. Diagnose: Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan


tubuh berhubungan dengan intake adekuat
Tujuan
Membantu terpenuhinya kebutuhan nutrisi
Intervensi keperawatan/rasional

 Beri dosis sedikit tetapi sering

 Pasang infus

 Kolaborasi dengan ahli gizi


Kriteria hasil

 Dapat mempertahankan berat badan dalam batas normal normal

D. Implementasi

1. Minimalkan resiko infeksi pada sebelum dan sesdah operasi


2. Jaga pasien tidak mengalami trauma pada sisi bedah/lesi spinal
3. Deteksi dini tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial
4. Minimalkan pemajanan lateks
5. Pertahankan asupan nutrisi dan cairan
6. Pantau adanya tanda dan gejala infeksi
7. Lakukan perawatan luka operasi: gunakan teknik steril ketika mangganti
dan menguatkan balutan
8. Ajarkan pada orang tua tentang pelaksanaan pelatihan jangka panjang
9. Beri informasi pada orang tua tentang teknik-teknik yang memfasilitasi
mobilitas dan kemandirian
10. Beri pendidikan pada orang tua tentang pertumbuhan dan perkembangan
normal serta penyimpangan-penyimpangannya dari normal

Evaluasi

1. Apakah anak terhidrasi dengan baik dan mempertahankan berat badannya


2. Apakah anak bebas dari infeksi
3. Apakah Anak dan orang tua menunjukkan kemampuan untuk melaksanakan
perawatan jangka panjang di rumah dan bebas dari komplikasi.
BAB 4

Penutup

A. Kesimpulan
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur
bayi yang timbul sejak kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital
dapat merupakan sebab penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian
segera setelah lahir. Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya
sering diakibatkan oleh kelainan kongenital yang cukup berat.
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering
terjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di
daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput
otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak
terdapat saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan
menjadi normal sesudah operasi.
B. Saran
Deteksi dini dan pencegahan pada awal kehamilan dianjurkan untuk
semua ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan
pemeriksaan ditawarkan bagi semua wanita hamil.
REFERENSI

1. Cecila L. Betz & Linda A. Sowden.2002. Keperawatan Pediatri Edisi 3.


EGC: Jakarta.
2. Diane M. Fraser. Dkk. 2009. Myles Buku Ajar Kebidanan. EGC: Jakarta.
3. Elizabet J. Corwin. 2000. Buku saku patofisiologi. EGC: Jakarta
4. J.C.E. Underwood. 1999. Patologi Umum Dan Sistematik. Vol 2. EGC:
Jakarta
5. Linda Juall Carpenito-moyet. 2006. Buku saku diagnosis keperawatan
Edisi 10. EGC: Jakarta
6. Marliynn E. Doengoes, Dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.
EGC: Jakarta
7. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak Bag. 3. EGC: Jakarta.
8. Rosa m. Saccharin. 1996. Prinsip keperawatan pediatric edisi 2. EGC;
Jakarta
9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.
FKUI : Jakarta.
10. Taslim S. Soetomenggolo, Sfyan Ismael. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak.
BP IDAI: Jakarta.
11. Wiknjosastro, Hanifa . dkk. 1999. Ilmu kebidanan.Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiharjo: Jakarta.
12. Wong , Donna L dkk. 2008. Buku ajar keperawatan pediatric vol 2. EGC:
Jakarta.
13. Wong , Donna L. 2004. Pedoman klinis keperawatan Pediatrik Edisi 4 .
EGC: Jakarta.

You might also like