You are on page 1of 15

TOLERANSI OSMOTIK ERITROSIT

LAPORAN
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fisiologi Hewan dan Manusia
yang dibimbing oleh Drs. Soewolo, M.Pd dan Nuning Wulandari, S.Si., M.Si

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Oleh :
Offering C/ Kelompok 3
Hanifa Fitria Ratri
(130341614781)
Henrika Jempormase
(130341614778)
Lailil Hidayah
(130341614827)
Mayang Puspa Rena
(130341614833)
Rizka Nur Laili
(130341614848)
Sasty Alvionita
(130341614828)
Zulfindira Septri Ruudevi (130341614831)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
November 2014

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan terjadinya hemolisis
dan krenasi eritrosit pada medium berbeda-beda dan mengetahui persentase
hemolisis eritrosit pada medium yang berbeda-beda.
Dasar Teori
Lingkungan luar sel adalah cairan, baik sel tunggal maupun sel jamak.
Dengan lingkungan luar itulah sel mengadakan pertukaran zat atau bahan. Bahan
yang dibutuhkan diambil dari lingkungan luarnya, dan sisa metabolisme juga
dikeluarkan ke lingkungan luarnya. Pertukaran zat dapat dilakukan melalui proses
fisika yaitu difusi osmosis, atau melalui proses biologis yaitu transport aktif ( Tim
Dosen Fisiologi Hewan, 2013).
Darah merupakan suatu jaringan cair yang tersusun dari sel-sel darah yang
berada dalam suatu matrik cair yang biasa disebut plasma darah. Sel-sel darah
terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah
(trombosit). Darah manusia dan darah hewan lain terdiri atas suatu komponen
cair, yaitu plasma, dan berbagai bentuk unsur yang dibawa dalam plasma, antara
lain sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah.
Plasma terdiri atas 90% air, 7 sampai 8% protein yang dapat larut, 1% elektrolit
dan sisanya 1-2% berbagai zat makanan dan mineral yang lain. Pada vertebrata
eritrositnya ada yang berinti dan berbentuk ellipsoid. (Ville et al., 1989). Bentuk
dan ukuran eritrosit tergantung pada jenis hewan. Pada mamalia eritrositnya tidak
berinti, umumnya berbentuk bulat bikonkaf. Eritrosit pada vertebrata lain
berbentuk lonjong, bikonvek dan berinti. Pada umumnya eritrosit yang tidak
berinti mempunyai ukuran lebih kecil daripada eritrosit yang berinti. Di antara
eritrosit vertebrata, eritrosit Amphibi memiliki ukuran yang paling besar (Tim
Pembina MK Fisiologi Hewan, 2012).
Seperti sel-sel lain, eritrosit dibatasi oleh suatu membran yang bersifat
semipermeabel atau selektif permeabel, artinya membran dapat ditembus oleh air
dan zat terlarut tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh zat tertentu yang lain.
Membran eritrosit umumnya mudah dilalui oleh ion-ion H+, OH-, NH4+, PO42-,
HCO3- dan oleh zat-zat seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat.
Sebaliknya membran eritrosit tidak mudah ditembus oleh Na + , K+, Ca2+ , Mg2+ ,

fosfat organik dan zat-zat lain seperti hemoglobin dan protein plasma (Tim
Pembina MK Fisiologi Hewan, 2012).
Lisis merupakan istilah umum untuk peristiwa menggelembung dan
pecahnya sel akibat masuknya air ke dalam sel. Lisis pada eritrosit disebut
hemolisis, yang berarti peristiwa pecahnya eritrosit akibat masuknya air ke dalam
eritrosit sehingga hemoglobin keluar dari dalam eritrosit menuju ke cairan
sekelilingnya. Hemolisis ini akan terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam
medium yang hipotonis terhadap isi sel eritrosit. Namun perlu diketahui bahwa
membran eritrosit (termasuk membran sel yang lain) memiliki toleransi osmotik,
artinya sampai batas konsentrasi medium tertentu sel belum mengalami lisis.
Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan NaCl tertentu tidak semua eritrosit
mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi osmotis membran
eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua membran selnya memiliki toleransi
rendah (mudah pecah), sedangkan membran eritrosit muda memiliki toleransi
osmotik yang lebih besar (tidak mudah pecah) (Subowo, 1992).
Sel eritrosit hewan Homoioterm isotonis terhadap larutan 0,9% NaCl, oleh
karena itu hemolisis akan terjadi apabila eritrosit hewan homoioterm dimasukkan
ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi di bawah 0,9% sedangkan untuk
eritrosit hewan poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih rendah dari 0,7%.
Namun perlu diketahui bahwa membran eritrosit (termasuk membran sel yang
lain) memiliki konsentrasi osmotik, artinya sampai batas konsentrasi medium
tertentu sel belum mengalami lisis. Kadang-kadang pada suatu konsentrasi larutan
NaCl tertentu tidak semua eritosit mengalami hemolisis. Hal ini menunjukkan
bahwa toleransi osmotis membran eritrosit berbeda-beda. Pada eritrosit tua
membran selnya memiliki toleransi rendah (mudah pecah), sedangkan membran
eritrosit muda memiliki toleransi osmotik yang lebih besar (tidak mudah pecah).
Peristiwa sebaliknya dari hemolisis adalah krenasi, yaitu peristiwa mengkerutnya
membran sel akibat keluarnya air dari dalam eritrosit. Krenasi dapat terjadi
apabila eritrosit dimasukkan ke dalam medium hipertonis terhadap isi eritrosit,
misalnya untuk eritrosit hewan Homoioterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat
dari 0,9%, sedangkan untuk hewan Poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih
pekat dari 0,7% (Soewolo, 2000).

Keseimbangan

osmotik

merupakan

kekuatan

yang

besar

untuk

memindahkan air agar dapat melintasi membran sel. Bila cairan interseluler dan
ekstraseluler dalam keseimbangan osmotik, maka perubahan yang relatif kecil
pada konsentrasi zat terlarut impermeabel dalam cairan ekstraseluler dapat
menyebabkan perubahan luar biasa dalam volume sel (Syaifuddin, 2009).
1. Cairan isotonik. Jika suatu sel diletakkan pada suatu larutan dengan zat
terlarut impermeabel (tidak dapat dilewati) maka sel tidak akan mengerut
atau membengkak karena konsentrasi air dalam cairan intraseluler tidak
dapat masuk atau keluar dari sel sehingga terdapat keseimbangan antara
cairan intraseluler dan ekstraseluler.
2. Cairan hipotonik. Jika suatu sel diletakkan dalam larutan yang mempunyai
konsentrasi zat terlarut impermeabel lebih rendah, air akan berdifusi ke
dalam sel menyebabkan sel membengkak karena mengencerkan cairan
intraseluler sampai kedua larutan mempunyai osmolaritas yang sama.
3. Cairan hipertonik. Jika suatu sel diletakkan dalam larutan yang
mempunyai konsentrasi zat terlarut impermeabel lebih tinggi, air akan
mengalir keluar dari sel ke dalam cairan ekstraseluler. Pada keadaan ini sel
akan mengerut sampai kedua konsentrasi menjadi sama (Syaifuddin,
2009).
Kerusakan membran eritrosit dapat disebabkan oleh antara lain
penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan
permukaan membran eritrosit, zat/unsur kimia tertentu, pemanasan dan
pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah dan lain-lain. Apabila
medium di sekitar eritrosit menjadi hipotonis (karena penambahan larutan NaCl
hipotonis) medium tersebut (plasma dan larutan NaCl) akan masuk ke dalam
eritrosit melalui membran yang bersifat semipermiabel dan menyebabkan sel
eritrosit menggembung. Bila membran tidak kuat lagi menahan tekanan yang ada
di dalam sel eritrosit itu sendiri, maka sel akan pecah, akibatnya hemoglobin akan
bebas ke dalam medium sekelilingnya. Sebaliknya bila eritrosit berada pada
medium yang hipertonis, maka cairan eritrosit akan keluar menuju ke medium
luar eritrosit (plasma), akibatnya eritrosit akan keriput (krenasi). Keriput ini dapat
dikembalikan dengan cara menambahkan cairan isotonis ke dalam medium luar
eritrosit (plasma) (Dietor, 1992).

Kerapuhan membran eritrosit dipengaruhi oleh umur eritrosit, semakin tua


umur eritrosit maka membran selnya semakin rapuh. Di dalam tubuh hewan,
eritrosit tua dan muda saling bercampur. Oleh karena itu batas toleransi osmotik
membran eritrosit harus dibedakan menjadi batas atas toleransi dan batas bawah
toleransi. Batas bawah toleransi ditunjukkan oleh kepekatan suatu medium,
dimana apabila eritrosit dilarutkan dalam medium tersebut, sudah nampak eritrosit
yang mengalami hemolisis. Sedangkan batas atas toleransi osmotik eritrosit
mengacu kepada kepekatan suatu medium dimana bila eritrosit dilarutkan dalam
medium tersebut akan mengalami hemolisis sempurna, artinya semua eritrosit
sudah mengalami hemolisis (Tim Pembina MK Fisiologi Hewan, 2012).
Apabila eritrosit mengalami hemolisis maka hemoglobin akan larut dalam
mediumnya. Akibat dari terlarutnya hemoglobin tersebut medium akan berwarna
merah. Makin banyak eritrosit yang mengalami hemolisis, maka makin merah
warna mediumnya. Dengan membandingkan warna mediumnya dengan larutan
standar (eritrosit dalam air suling) maka dapat ditentukan tingkat kerapuhan
membran eritrosit (tingkat toleransi osmotik membran eritrosit) (Soewolo, 2000).
Alat dan Bahan
Alat:
Mikroskop cahaya
Kaca benda
Kaca penutup
Mikropipet
Pipet tetes
Papan dan alat seksi
Gelas piala

Bahan:
Larutan garam fisiologis untuk

katak (0,7% NaCl),


Aquadest,
Berbagai larutan garam dapur
dengan konsentrasi 3%, 2%, 1%,
0%, 0,9%, 0,7%, 0,5%, 0,3%,

0,1%,
Antikoagulan

(heparin

atau

campuran kalium oksalat dengan

amonium oksalat)
Katak hijau

Cara Kerja
1.

Mengetahui Kecepatan Hemolisis dan Krenasi


M
Mensingle
.
pit
katak,
kemudian
membelahnya
hingga
nampak
jantung
dan
pembuluh
darah

Menusuk
salah
satu
pembuluh
darah
besar
sehingga
darahnya keluar.

2.

Mengamati
di
bawah
mikroskop dengan hati-hati
kapan
telah
nampak
terjadinya
hemolisis,
mencatat waktunya (dalam
detik).

Menyiapkan kaca benda,


meneteskan larutan 7%
NaCl pada kaca benda
kemudian
melarutkan
sedikit darah katak pada
larutan NaCl tersebut.

.
Melakukan seperti
cara kerja nomor 3 untuk
larutan 0,5% NaCl, 0,3%
NaCl, 0,1% NaCl dan
aquades, mencatat hasilnya
dan membuat kesimpulan.

Melakukan seperti cara


kerja nomor 3 (untuk
mengetahui
krenasi)
dengan
menggunakan
larutan NaCl yang lebih
pekat dari 7%. Mencatat
hasilnya.

Menghitung Persentase Hemolisis


Mensingle pith katak, kemudian
membedahnya hingga nampak jantung
dan pembuluh darah besar.
Menyiapkan 10 tabung reaksi dan
mengisi pada masing-masing tabung
0,1 ml sampel darah, memberi
nomor/label pada tabung reaksi.

Menusuk salah satu pembuluh darah


besar sehingga darahnya keluar.

Menampung 2-5 ml sampel darah


dalam suatu tabung reaksi yang telah
diberi anti koagulan.

Menambahkan larutan NaCl dalam


darah sampel pada tabung reaksi
tersebut:
tabung 1 dengan 2 ml 0,7% NaCl,
tabung 2 dengan 2 ml 0,5% NaCl,
tabung 3 dengan 2 ml 0,3% NaCl,
tabung 4 dengan 2 ml 0,1% NaCl dan
tabung 5 dengan 2 ml aquadest.

Mengamati perubahan yang terjadi


dengan ketentuan: apabila supernatan
sudah ada yang berwarna merah dan
endapan eritrosit sudah berkurang,
berarti larutan NaCl ini sudah mulai
terjadi hemolisis, maka ini merupakan
batas bawah toleransi osmotis membran
eritrosit.

A Apabila supernatan berwarna merah,


tanpa endapan eritrosit sama sekali,
berarti pada larutan NaCl ini terjadi
hemolisis
sempurna,
maka
ini
merupakan batas atas toleransi osmotis
membran eritrosit.
Data
1.

Menghitung Kecepatan Hemolisis dan Krenasi


Hemolisis

Mendiamkan darah dalam tabung


reaksi sekitar 10 menit, setelah itu
memusingkannya (sentrifuse) selama
5 menit dengan kecepatan 3.000 rpm.

Mengamati warna dan volume


supernatan, serta endapan eritrosit.
Supernatan yang berwarna bening
(tanpa warna merah) dengan endapan
eritrosit paling banyak berarti pada
larutan NaCl tersebut tidak terjadi
hemolisis sama sekali.

No
1.
2.
3.
4.
5.

Perlakuan
Darah + 0,7% NaCl
Darah + 0,5% NaCl
Darah + 0,3% NaCl
Darah + 0,1% NaCl
Darah + Aquades

Waktu Hemolisis

2 menit 39 detik
1 menit 29 detik
57 detik
24 detik

Krenasi
No
1.
2.
3.
4.
2.

Perlakuan
Darah + 0,9% NaCl
Darah + 1% NaCl
Darah + 2% NaCl
Darah + 3% NaCl

Waktu Hemolisis
3 menit 15 detik
2 menit 41 detik
2 menit 3 detik
58 detik

Menghitung Persentase Hemolisis


No
1.
2.
3.
4.
5.

Perlakuan
Darah + 0,7% NaCl
Darah + 0,5% NaCl
Darah + 0,3% NaCl
Darah + 0,1% NaCl

Warna Supernatan
Jernih
Merah (+)
Merah (++)
Merah agak tua (++

Jumlah Endapan
Banyak (++++)
Banyak (+++)
Sedikit (++)
Sedikit (+)

Darah + Aquades

+)
Merah tua (++++)

Tidak ada endapan

Analisis Data
1. Menghitung kecepatan hemolisis dan krenasi
Pada praktikum menghitung kecepatan hemolisis digunakan darah katak
yang belum tercampur dengan anti koagulan. Darah katak diteteskan di setiap
kaca benda yang masing-masing kaca benda tersebut telah ditetesi larutan NaCl
dengan konsentrasi yang

berbeda-beda yaitu 0,7%, 0,5%, 0,3%, 0,1% dan

aquades. Kaca benda dan satu tetes NaCl diletakkan di bawah mikroskop dan
mulai diteteskan darah dan dihitung waktu sampai darah mengalami hemolisis.
Dari percobaan ini, data yang diperoleh adalah pada konsentrasi 0,7% NaCl, tidak
menunjukan adanya darah yang lisis karena NaCl 0,7% termasuk keadaan
isotonik dengan tubuh katak. Pada konsentrasi NaCl 0,5% terdapat darah yang
mengalami hemolisis pada waktu 2 menit 39 detik hal ini dikarenakan NaCl 0,5%
lebih encer dari pada 0,7% sehingga terjadi proses masuknya air ke eritrosit yang
menyebabkan eritrosit menggembung dan kemudian akan mengalami hemolisis.
Pada konsentrasi NaCl 0,3% terdapat darah yang mengalami hemolisis pada

waktu 1 menit 29 detik hal ini dikarenakan NaCl 0,3% lebih encer dari pada 0,7%
sehingga terjadi proses masuknya air ke eritrosit yang menyebabkan eritrosit
menggembung dan kemudian akan mengalami hemolisis.. Pada konsentrasi NaCl
0,1% terdapat darah yang mengalami hemolisis pada waktu 57 detik hal ini
dikarenakan NaCl 0,5% lebih encer dari pada 0,7% sehingga terjadi proses
masuknya air ke eritrosit yang menyebabkan eritrosit menggembung dan
kemudian akan mengalami hemolisis.. Dan pada konsentrasi NaCl 0% (aquades)
terdapat darah yang mengalami hemolisis pada waktu 24 detik hal ini dikarenakan
NaCl 0,5% lebih encer dari pada 0,7% sehingga terjadi proses masuknya air ke
eritrosit yang menyebabkan eritrosit menggembung dan kemudian akan
mengalami hemolisis. Maka dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa semakin
encer larutan NaCl maka semakin cepat pula terjadinya proses hemolisis.
Pada praktikum menghitung kecepatan krenasi digunakan darah katak
yang belum tercampur dengan anti koagulan. Darah kakak diteteskan di setiap
kaca benda yang masing-masing kaca benda tersebut telah ditetesi larutan NaCl
dengan konsentrasi yang berbeda-beda yaitu 0,9%, 1%, 2% dan 3%. Kaca benda
dan satu tetes NaCl diletakkan di bawah mikroskop dan mulai diteteskan darah
dan dihitung waktu sampai darah mengalami krenasi. Dari percobaan ini, data
yang diperoleh adalah pada konsentrasi NaCl 0,9%, menunjukan adanya darah
yang krenasi karena NaCl 0,9% lebih pekat dari NaCl 0,7% sehingga terjadi
proses keluarnya air dari eritrosit yang menyebabkan eritrosit mengkerut dan
kemudian akan mengalami krenasi. Pada konsentrasi NaCl 1% terdapat darah
yang mengalami krenasi pada waktu 2 menit 41 detik hal ini dikarenakan NaCl
1% lebih pekat dari pada 0,7% sehingga terjadi proses keluarnya air dari eritrosit
yang menyebabkan eritrosit mengkerut dan kemudian akan mengalami krenasi.
Pada konsentrasi NaCl 2% terdapat darah yang mengalami hemolisis pada waktu
2 menit 3 detik hal ini dikarenakan NaCl 1% lebih pekat dari pada 0,7% Pada
konsentrasi NaCl 0,1% terdapat darah yang mengalami hemolisis pada waktu 57
detik hal ini dikarenakan NaCl 0,5% lebih encer dari pada 0,7% sehingga terjadi
proses keluarnya air dari eritrosit yang menyebabkan eritrosit mengkerut dan
kemudian akan mengalami krenasi dan pada konsentrasi NaCl 3% terdapat darah
yang mengalami krenasi pada waktu 58 detik hal ini dikarenakan NaCl 3% lebih
pekat dari pada 0,7% sehingga terjadi proses keluarnya air dari eritrosit yang

menyebabkan eritrosit mengkerut dan kemudian akan mengalami krenasi. Maka


dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa semakin pekat larutan NaCl maka
semakin cepat pula terjadinya proses krenasi.
2. Menghitung persentase hemolisis
Pada percobaan kali ini digunakan 0,1 ml sampel darah katak yang telah
diberi anti koagulan yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
telah diberi label. Tabung 1 sampel darah 0,1 ml ditambah dengan 2 ml 0,7 NaCl,
kemudian tabung 2 sampel darah 0,1 ml ditambah dengan 2 ml 0,5% NaCl,
tabung 2 sampel darah 0,1 ml ditambah dengan 2 ml 0,3% NaCl, tabung sampel
darah 0,1 ml ditambah dengan 2 ml 0,1% NaCl dan tabung 5 sampel darah 0,1 ml
ditambah dengan 2 ml 0% NaCl (aquades). Kemudian kelima tabung tersebut
didiamkan selama 10 menit kemudian dipusingkan selama 5 menit dengan
kecepatan 3000 rpm.
Pada tabung 1 warna supernatan jernih (tanpa warna merah) dan jumlah
endapannya banyak (++++) hal ini menunjukkan bahwa pada larutan NaCl
tersebut tidak terjadi hemolisis sama sekali. Pada tabung 2 warna supernatan
merah (+) dan jumlah endapan banyak (+++) tapi lebih berkurang hal ini
menunjukkan bahwa pada larutan NaCl ini sudah mulai terjadi hemolisis, maka
ini merupakan batas bawah toleransi osmotis membran eritrosit. Pada tabung 3
warna supernatan merah (++) dan jumlah endapan sedikit (++) hal ini
menunjukkan bahwa pada larutan NaCl ini terjadi hemolisis. Pada tabung 4 warna
supernatan merah agak tua (+++) dan jumlah endapan sedikit (+) hal ini
menunjukkan bahwa pada larutan NaCl ini terjadi hemolisis. Pada tabung 5 warna
supernatan merah tua (++++) dan tidak memiliki endapan sama sekali hal ini
menunjukkan bahwa pada larutan NaCl ini terjadi hemolisis sempuna, maka ini
merupakan batas atas toleransi osmotik membran eritrosit.
Pembahasan
1. Menghitung kecepatan hemolisis dan krenasi
Praktikum kali ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan terjadinya
hemolisis dan krenasi eritrosit pada medium yang berbeda-beda, sehingga
digunakan eritrosit Amphibi karena eritrosist Amphibi memiliki ukuran yang
paling besar di antara eritrosit vertebrata yang lain. Proses masuknya larutan ke
dalam eritrosit dikarenakan eritrosit dibatasi oleh suatu membran yang bersifat

semipermeabel atau selekstif permeabel, artinya membran dapat ditembus oleh air
dan zat terlarut tertentu, tetapi tidak dapat ditembus oleh zat tertentu yang lain.
Membran eritrosit umumnya mudah dilalui oleh ion-ion H+, OH-, NH4+, PO42-,
HCO3- dan oleh zat-zat seperti glukosa, asam amino, urea, dan asam urat.
Sebaliknya membran eritrosit tidak mudah ditembus oleh Na + , K+, Ca2+ , Mg2+ ,
fosfat organik dan zat-zat lain seperti hemoglobin dan protein plasma (Tim
Pembina MK Fisiologi Hewan ,2012).
Larutan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah larutan NaCl
yang mempunyai konsentrasi yang berbeda-beda. Bila eritrosit dimasukkan ke
dalam medium hipotonis, maka air akan masuk ke dalam eritrosit dan aritrosit
akan menggelembung. Apabila batas toleransi osmotik membran eritrosit
terlampaui, maka eritrosit akan pecah, isi eritrosit (termasuk di dalamnya
hemoglobin) akan keluar, menyebabkan medium menjadi berwarna merah.
Peristiwa pecahnya membran eritrosit dan dibebaskannya hemoglobin ke dalam
medium disebut hemolisis. Sedangkan peristiwa krenasi, yaitu peristiwa
mengkerutnya membran sel akibat dari keluarnya air dari dalam sel. Krenasi
terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke dalam cairan hipertonis dari isi sel (Tim
Pembina MK Fisiologi Hewan, 2012).
Hasil pengamatan menunjukkan tidak terjadi hemolisis untuk darah yang
diteteskan dalam larutan NaCl dengan konsentrasi 7%, hal ini dikarenakan larutan
dengan konsentrasi 0,7% merupakan larutan yang isotonis terhadap cairan di
dalam eritrosit Amphibi, sehingga tidak terjadi peritiwa hemolisis maupun krenasi.
Medium dengan menambahkan darah ke dalam larutan NaCl dengan konsentrasi
0,5% memerlukan waktu untuk hemolisis 2 menit 39 detik. Darah yang diteteskan
ke dalam larutan NaCl yang memiliki konsentrasi 0,3% mempunyai kecepatan
hemolisis 1 menit 29 detik. Pada darah yang diteteskan dalam NaCl dengan
konsentrasi 0,1 % mempunyai kecepatan hemolisis 57 detik. Sedangkan untuk
yang dituangkan ke dalam aquades mempunyai kecepatan hemolisis 24 detik.
Dapat terlihat bahawa

semakin tinggi konsentrasi larutan, semakin lama

terjadinya hemolisis. Larutan dengan konsentrasi semakin rendah semakin bersifat


hipotonik sehingga larutan di luar sel yang mempunyai tekanan osmotik lebih
kecil daripada tekanan osmotik di dalam sel darah merah, akibatnya sel menjadi

mengembang atau plasmolisis dan membran sel dapat pecah atau terjadi hemolisis
(Wulangi, 1993). Pecahnya membran sel ini dikarenakan sel sudah tidak dapat
menahan isi di dalamnya.
Semakin tinggi konsentrasi larutan, semakin lama hemolisisnya. Hal ini
terjadi karena larutan semakin tidak hipotonis terhadap isi sel, sehingga proses
untuk mengembangnya sel karena masuknya larutan NaCl ke dalam sel semakin
lama. Kecepatan dari hemolisis ini juga bergantung dari tingkat hipotonis dari
larutan pada medium. Pada medium dengan larutan aquades diketahui memiliki
kecepatan 24 detik untuk terjadinya hemolisis. Hal ini sesuai dengan teori dimana
aquades memiliki konsentrasi lebih rendah daripada cairan di dalam eritrosit dan
aquades bersifat hipotonik. Sehingga mengakibatkan aquades terserap ke dalam
eritrosit dan lama-lama dapat mengakibatkan eritrosit mengalami hemolisis.
Darah yang diteteskan pada larutan NaCl dengan konsentrasi di atas 0,7%
mempunyai hasil yang berbeda dengan larutan NaCl yang konsentrasinya di
bawah 0,7%. Pada larutan dengan konsentrasi 0,9% terlihat sel eritrosit mengkerut
dengan cepat, dengan waktu yang dibutuhkan hingga sel mengkerut adalah 2
menit 15 detik. Pada konsentrasi larutan 1% waktu untuk sel eritrosit mengkerut
adalah 2 menit 41 detik, konsentrasi larutan NaCl 2% waktunya adalah 3 detik.
Sedangkan untuk NaCl dengan konsentrasi 3% kecepatan sel eritrosit untuk
mengkerut adalah 58 detik. Semakin tinggi konsentrasi larutan, semakin cepat sel
tersebut mengkerut. Peristiwa mengkerutnya membran sel akibat keluarnya air
dari isi sel disebut krenasi. Krenasi dapat terjadi apabila eritrosit dimasukkan ke
dalam medium hipertonis terhadap isi eritrosit, misalnya untuk eritrosit hewan
Homoioterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,9%, sedangkan untuk
hewan Poikiloterm adalah larutan NaCl yang lebih pekat dari 0,7% (Soewolo,
2000). Semakin pekat larutan yang berada pada medium, mengakibatkan larutan
tersebut bersifat hipertonis terhadap cairan di dalam sel. Akibatnya cairan di
dalam sel akan keluar dengan cepat dan menyebabkan sel eritrosit mengkerut.
2. Menghitung persentase hemolisis
Pada tabung 1 yaitu darah yang ditambah dengan 2 ml 0,7% NaCl terlihat
bahwa supernatan jernih dan terdapat sangat banyak endapan eritrosit,
menunjukkan bahwa tidak terjadi hemolisis sama sekali. Hal ini terjadi karena
konsentrasi osmotik eritrosit katak (poikiloterm) sama dengan konsentrasi

osmotik larutan NaCl 0,7%. Konsentrasi air dalam cairan intraseluler tidak dapat
masuk atau keluar dari sel sehingga terdapat keseimbangan antara cairan
intraseluler dan ekstraseluler (Syaifuddin, 2009). Pada tabung 2 yaitu darah yang
ditambah dengan 2 ml 0,5% NaCl terlihat bahwa supernatan berwarna merah
sedikit dan terdapat banyak endapan eritrosit, menunjukkan bahwa sudah mulai
terjadi hemolisis dan ini berarti bahwa larutan 0,5% NaCl merupakan batas bawah
toleransi osmotis membran eritrosit. Hemolisis ini terjadi karena larutan 0,5%
NaCl berada di bawah tekanan osmotik katak (poikiloterm), maka sesuai dengan
teori dari Tim Pembina MK Fisiologi Hewan (2012) yaitu bila eritrosit
dimasukkan ke dalam medium hipotonis, maka air akan masuk ke dalam eritrosit
dan eritrosit akan menggelembung. Apabila batas toleransi osmotik membran
eritrosit terlampaui, maka eritrosit akan pecah, isi eritrosit (termasuk di dalamnya
hemoglobin) akan keluar, menyebabkan medium menjadi berwarna merah. Batas
bawah toleransi ditunjukkan oleh kepekatan suatu medium, dimana apabila
eritrosit dilarutkan dalam medium tersebut, sudah nampak eritrosit yang
mengalami hemolisis. Pada eritrosit tua membran selnya memiliki toleransi
rendah (mudah pecah) sedangkan membran eritrosit muda memiliki toleransi
osmotik yang lebih besar (tidak mudah pecah). Begitu juga pada tabung 3 yaitu
darah yang ditambah dengan 2 ml 0,3% NaCl terlihat bahwa supernatan berwarna
merah lebih pekat dari tabung 2 tetapi hanya terdapat sedikit endapan eritrosit.
Pada tabung 4 yaitu darah yang ditambah dengan 2 ml 0,1% NaCl terlihat
bahwa supernatan berwarna merah pekat dan terdapat sangat sedikit endapan
eritrosit, menunjukkan bahwa hemolisis sudah mendekati sempurna. Hal ini
karena larutan 0,1% NaCl berada di bawah tekanan osmotik katak (poikiloterm).
Menurut Tim Pembina MK Fisiologi Hewan (2012), bila eritrosit dimasukkan ke
dalam medium hipotonis, maka air akan masuk ke dalam eritrosit dan eritrosit
akan menggelembung. Apabila batas toleransi osmotik membran eritrosit
terlampaui, maka eritrosit akan pecah, isi eritrosit (termasuk di dalamnya
hemoglobin) akan keluar, menyebabkan medium menjadi berwarna merah. Makin
banyak eritrosit yang mengalami hemolisis, maka makin merah warna
mediumnya.
Pada tabung 5 yaitu darah yang ditambah dengan 2 ml aquades terlihat
bahwa supernatan merah sangat pekat dan tidak ada endapan eritrosit, hal ini

sesuai dengan teori dari Soewolo (2000) yang mengatakan bahwa pada dasarnya
semua eritrosit sudah mengalami hemolisis sempurna pada air suling. Hasil
hemolisis sempurna eritrosit dalam air suling biasa dianggap sebagai larutan
standar untuk menentukan tingkat kerapuhan eritrosit. Hemolisis seperti ini
disebut hemolisis osmotik, yaitu hemolisis yang disebabkan oleh perbedaan
tekanan osmotik isi sel dengan mediumnya (cairan di sekitarnya).
Kerapuhan membran eritrosit dipengaruhi oleh umur eritrosit, semakin tua
umur eritrosit maka membran selnya semakin rapuh. Di dalam tubuh hewan,
eritrosit tua dan muda saling bercampur. Oleh karena itu batas toleransi osmotik
membran eritrosit harus dibedakan menjadi batas atas toleransi dan batas bawah
toleransi. Batas bawah toleransi ditunjukkan oleh kepekatan suatu medium,
dimana apabila eritrosit dilarutkan dalam medium tersebut, sudah nampak eritrosit
yang mengalami hemolisis. Sedangkan batas atas toleransi osmotik eritrosit
mengacu kepada kepekatan suatu medium dimana bila eritrosit dilarutkan dalam
medium tersebut akan mengalami hemolisis sempurna, artinya semua eritrosit
sudah mengalami hemolisis (Tim Pembina MK Fisiologi Hewan, 2012).

Kesimpulan
1. Semakin rendah konsentrasi larutan semakin cepat terjadinya hemolisis pada
eritrosit. Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin cepat proses krenasi dari
sel eritrosit. Pada konsentrasi NaCl 0,7% sel eritrosit tidak mengalami
hemolisis atau krenasi, hal ini dikarenakan larutan NaCl dengan konsentrasi
2.

0,7 % isotonis dengan cairan di dalam sel.


Batas bawah toleransi osmotis membran eritrosit katak adalah larutan 0,5%
NaCl, sedangkan batas atas toleransi osmotis membran eritrositnya adalah
larutan aquades.

Daftar Rujukan
Dietor, Delman H. 1992. Histologi Veterinner. Jakarta: UI press.
Soewolo. 2000. Pengantar Fisiologi Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Subowo. 1992. Histologi Umum. Jakarta Bumi aksara.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi tubuh manusia untuk mahasiswa keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.
Tim Dosen Fisiologi Hewan. 2013. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan. Jember:
FKIP Universitas Jember.

Tim Pembina MK Fisiologi Hewan. 2012. Petunjuk Praktikum Fisiologi Hewan.


Malang: Universitas Negeri Malang.
Villee, C.A,W.F. Walker dan R.D. Barnes. 1988. General Zoology. W.B. Saunders
Company, Philadelphia.
Wulangi, Kartolo S. 1993. Prinsip-Prinsip Fisiologi Hewan. Jakarta: Depdikbud
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

You might also like