You are on page 1of 25

KISAH

DI BALIK PEMBUATAN FILM


'AYAT-AYAT CINTA'
Oleh : Hanung B
Editor: akhdian

http://akhdian.wordpress.com

KATA PENGATAR

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
uswah kita Nabi Muhammad SAW.
Jujur saya adalah penggemar Novel-nover karangan kang Abik, panggilan untuk
Habiburahman El Shirazy. Salah satunya adalah Ayat-Ayat Cinta (AAC). Meski buku itu
saya baca jauh dari awal peluncuran, tapi saya merasa tidak ketinggalan dalam
menemukan sari-sari keindahan dari Novel Ayat-ayat cinta tersebut.
Saya sampai meneteskan air mata ketika membaca Novel AAC. Sesuatu yang
jarang saya lakukan dan jarang saya rasakan ketika membaca sebuah buku. Saya
menemukan nilai lebih yang bisa saya ambil. Suatu suasana yang 'mungkin' pernah saya
rasakan ketika menjadi aktivis Kerohanian FT UNY dan juga takmir M-Al-Ikhlash/AlJihad Yogyakarta beberapa tahun lalu. Ada kerinduan yang mengharu biru dalam dada
saya . Kangen.
Setelah membaca AAC saya juga hunting novel karangan kang Abik yang lain.
Meski hanya pinjam saat ini saya sudah membaca Novel Pudarnya Pesona Cleopatra,
Ketika Cinta Bertasbih 1 dan 2 dan Dalam Mihrab Cinta.
Setelah saya searching di Internet saya menemukan kalau AAC akan dibuat film
layar lebarnya. Subhanallah. Saya merasa bersyukur karena seolah ada setetes embun
sejuk ditengah perfilman Nasional yang hanya sering membuat Film bertema horor dan
percintaan remaja.
Berita tentang Film ini sudah tersebar di internet. Banyak blog yang memuat
tentang akan tayangnya Film ini. Bahkan Trailer Film ini juga sudah beredar di situs
Youtube.
Saya pun sudah menanti. Dan berniat menonton film ini sekeluarga. Namun
ternyata Film AAC yang rencananya tayang akhir Desember mundur jadi Januari.
Kenapa? Itu yang saya tanyakan dan mungkin jutaan pecinta AAC yang lain. Saya cari
tahu. Saya search di Internet dan akhirnya menemukan blog Mas Hanung Bramantyo,
sang sutradara AAC. Di blog mas Hanung

http://dearestmask.blogs.friendster.com/my_blog saya menemukan jawabannya. bahkan


lebih dari yang saya butuhkan.
Blog Mas Hanung mengupas kisah-kisah pembuatan Film AAC secara detail. Jujur
ketika saya membaca baris demi baris tulisan Mas Hanung saya merasa seperti membaca
Novel bukan hanya membaca sebuah diary. Indah menyentuh. Perjuangan yang ckup
melelahkan tapi penuh optimisme untuk mewujudkan idealisme..
Maka setelah membaca seluruh Kisah Di Balik Produksi AAC saya mendapat ide
mengapa kisah tersebut tidak dibuat e-book. Akhirnya saya berusaha membuat e-book
berdasarkan tulisan dari Mas Hanung yang ditulis di blognya. Saya mengedit apa adanya
tulisan Mas Hanung. Saya belum sempat minta izin ke Mas Hanung dan semoga Mas
Hanung tidak keberatan tulisannya saya buat E-book.
Kepada Mas Hanung dan seluruh crew Film AAC semoga film AAC yang dibuat
akan Booming Di Indonesia. Amin. Dan yang terpenting lagi bagi yang membuat dan
menonton film juga bisa mengambil hikmah dari FILM AAC tersebut.
Kita tunggu penayangannya

Bogor, 20 Desember 2007

Akhdian
http://akhdian.wordpress.com

KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.1)

Aku mulai sadar bahwa tidak mudah membuat film agama. Itulah kenapa ibuku
dulu berpesan kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film tentang agamamu:
Islam. Awalnya aku cuma tersenyum mendengar kata-kata ibuku. Senyum yang
menyangsikan. Sebab pada waktu itu buatku film agama tidak lebih dari sekedar petuahpetuah yang membosankan. Lelaki berpeci dengan baju koko, bertasbih, kadang
berewokan, mulutnya nerocos soal ayat dengan cara menghadap kamera. Membuat
dirinya tampak suci dengan mengumbar ayat-ayat Quran. Ah, tidak terbayang olehku
sebuah film agama. Tapi aku tidak begitu saja lantas menyerah. Aku coba berangkat dari
apa yang aku kenal: Muhammadiyah. Lalu merentet ke sebuah nama: Ahmad Dahlan.
Hmm, aku memang menyukai film yang mengangkat satu tokoh: Gandhi, Erin
Brokovich, Henry V, Shakespeare, Baghad Sigh, Malcom X, dan mungkin juga nanti
Sukarno (kalau memang jadi difilmkan oleh Hollywood). Film yang mengangkat tokoh
bisa membuat penonton bercermin. Dan Agama adalah cermin bagi manusia untuk
senantiasa melihat kembali dirinya: Kotor atau bersih?
Lalu aku membuat proposal Ahmad Dahlan untuk aku tawarkan ke PP
Muhammadiyah. Ditolak! Muhammadiyah tidak ada uang, katanya . Aku cuma bengong
saja. Tidak ada uang? Kataku dalam hati. Ah, sudahlah. Mungkin waktu itu aku belom
dipercaya. maklum masih kuliah di IKJ semester Akhir.

Lalu kutinggalkan itikadku membuat film Agama. Aku terjun membuat film Cinta:
Brownies, Catatan Akhir Sekolah, Jomblo, dsb ... dsb ... Tapi aku tetap yakin bahwa
suatu saat akan datang masa aku membuat film tentang agama.
Alhamdulillah, benar. MD Entertainment menawari membuat Film Ayat-Ayat
Cinta (AAC).
'Kenapa anda membuat film ini?' Tanyaku
'Sederhana. Pertama, Ini film dari Novel best seller. Kedua, penduduk indonesia 80
persen muslim. Kenapa saya tidak membuat film tentang mereka? Kalau saya minta 1
persen dari 80 persen masak tidak bisa.'
1% dari 80% penduduk muslim Indonesia berarti sekitar 2 juta penonton.
dikalikan 10 ribu per tiket. Berarti pendapatan kotor 20 milyar. Kalau bujet produksinya
10 milyar, keuntungan yang didapat 10 milyar.
Aku jadi berfikir, kenapa Muhammadiyah tidak berfikiran begitu ya? Kalau cuma
mengumpulkan 2 juta penonton, masa Muhammadiyah tidak sanggup? Bukankah dari
80% tersebut 40% adalah warga Muhammadiyah? Ah, dasar stupid pikirku. Banyak
orang Islam tidfak berfikir luas seperti orang-orang Yahudi. Oleh sebab itu Islam selalu
dimarjinalkan, mudah diadu domba, dibohongi ... diakali.
Lalu aku mulai memasuki tahap persiapan dan riset.
Wallohu ... Aku melihat islam dari dekat sekali. Sangat dekat. Di Kairo, aku
menatap Menara Azhar, aku menyentuh dinding dan lantai Azhar university, aku
mencium bau apek baju-baju dan karpet mahasiswa Alzhar tetapi memiliki roman muka
bersih dan santun. Aku melihat keikhlasan mereka saat bersujud diatas sajadah buluk.
Bibir mereka pecah-pecah oleh panas sekaligus dingin hawa Kairo, tetapi dibalik bibir
pecah itu terlantun dzikir panjang menyebut: Alloh ... Alloh ...
Lalu aku melihat seorang syaih duduk bersila dihadapan murid-muridnya.
'Tallaqi' mereka menyebutnya. Aku mendengar seorang melantunkan ayat-ayat Al quran
di sudut masjid. Dan juga di pinggiran jalan. Seolah quran bagaikan bacaan novel. Allohu
Akbar ... Allohu Akbar. Inikah caramu membuatku dekat dengan agamaku, Ibu?
Darahku menggelora membuat mataku terbelalak. Islam sangat indah. Islam
sangat eksotis. Tapi orang-orang islam seperti tidak mengerti semua itu. Orang-orang
Islam di Jakarta lebih memilih jalan-jalan ke eropa daripada ke Kairo.

'Saya akan membuat film ini eksotis, pak' begitu kata saya ke producer.
Dan mulailah persiapan dimulai. Semangatku menggelora. Aku baca buku-buku
tentang Fiqih dan sunnah. Aku libatkan mahasiswa Al Azhar untuk mendampingiku. Aku
sangat hati-hati sekali melakukan ini agar apa yang tertulis dalam novel dengan indah
pula tersampaikan lewat gambar. Sebuah film yang lembut, yang indah, yang suci
tergambar di depan mataku dan aku yakin sekali bisa mewujudkannya.
Namun

semua

impianku

itu

tidak

begitu

saja

mudah

diwujudkan.

Pertama kali berita tentang pembuatan film AAC tersebar, halangan pertama
datang justru dari pembaca. Diantara banyak yang berharap, mereka juga menyangsikan,
sinis, dan mencemooh. Bahkan ada yang bilang : 'Wah, sayang sekali novel sebagus ini
akan difilmkan. Jadi ill Feel, deh'. ada juga yang bilang 'Tidak pernah aku lihat Novel
yang di filmkan hasilnya bagus, sekalipun Harry Potter. Apalagi ini.'
Pada suatu hari ada sekelompok orang datang ke kantor MD, mereka bilang dari
organisasi Islam. Mereka datang dengan membawa seorang lelaki berwajah putih dan
seorang gadis berjilbab. Mereka bilang ...
'Ini calon pemain Fahri dan ini calon pemain Aisha' sambil menunjuk ke lelaki
berwajah putih dan gadis berjilbab itu.
'Kami dari organisasi Islam' lanjutnya 'Kami sangat concern terhadap dakwah
islamiah. Kami tidak ingin film Ayat-Ayat Cinta melenceng dari novel dan ajaran Islam.
Kang Abik (Nama panggilan Habiburrahman El Shirasy) sudah tahu tentang ini.'
Kami hanya saling pandang dan tersenyum. Aku ... malu sekali.
Tentu saja kami menolaknya. Kami tahu bahwa film ini harus dibuat dengan hatihati sekali. Kami juga tidak begitu saja memilih pemain hanya semata-mata ganteng dan
'menjual'. Karena itu kami menggandeng ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin
sebagai penasehat kami.
Sebelum aku melakukan casting, aku berdiskusi dulu dengan kang Abik. Kang
abik sangat concern dengan sosok Fahri. Dia harus turut serta memilih tokoh Fahri.
Semula kami membuka casting di pesantren-pesantren. Tetapi hasilnya Nol. Bukan
berarti para santri tidak ada yang ganteng dan pintar seperti fahri. Tetapi banyak diantara
mereka sudah menganggap 'Film' adalah produk sekuler. Oleh sebab itu banyak diantara
mereka tidak mau ikut casting. Saya pernah membaca satu hadist, jangankan membuat

film, menggambar manusia saja hukumnya Haram. Nanti di Neraka hasil gambar yang
kita buat harus kita hidupkan. Kalau tidak bisa, Malaikat Jibril akan mencambuk kita
dengan cambuk api.
Kami melakukan casting lebih dari 5 bulan. Semua yang ikut casting adalah
pemain-pemain terkenal. Tapi diantara mereka banyak terjebak pada tuntutan atas
'Kesucian Fahri'. Banyak diantara mereka beracting 'sok suci' dengan melantunkan ayatayat dan menyebut asma Alloh dengan berlebihan, mirip seperti ustadz-ustadz di TV-TV.
Pernah aku menemukan seorang yang menurutku pas bermain sebagai Fahri. Tetapi lelaki
itu tidak beragama Islam. Kang Abik tidak setuju. Lalu ditengah keputusasaan kami
datang seorang lelaki. Ganteng, tetapi tidak sombong (tidak merasa dirinya ganteng).
Sering kita lihat di Mal-Mal, banyak lelaki pesolek, sadar sekali bahwa dirinya ganteng.
Tetapi lelaki ini tidak . Dia sangat santun. Bahasanya pun santun. Ketika berucap Alloh,
dia agak-agak canggung. Bahkan tidak fasih seperti ustadz. Pada saat dia sholat aku
melihat gerakannya jauh dari sempurna. Tetapi lelaki itu punya mata yang didalamnya
mengandung semangat belajar. Dia adalah Fedi Nuril. Aku berdiskusi dengan kang Abik.
Terjadi tarik ulur dan perdebatan panjang. Akhirnya kita sepakat memutuskan dia yang
main sebagai Fahri. Alasanku adalah, Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat
Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Keputusan Fedi
Nuril sebagai Fahripun mengundang banyak kesangsian di kalangan pembaca fanatik
AAC, terutama di Malaysia. Karena film Fedi Nuril sebelumnya menampilkan Fedi
ciuman dengan perempuan bukan muhrim. Fedi pun mengakui itu. Yang membuat aku
terharu, Fedi menganggap film AAC sebagai media dia buat dekat dengan Islam. Belajar
kembali tentang Islam. Karena film ini, Fedi jadi rajin membuka-buka lagi buku tentang
Islam. Bahkan Fedi menyadari segala tingkah lakunya yang tidak Islami selama ini
setelah memerankan Fahri. Sungguh, baru kali ini aku rasakan dampak film yang begitu
besar mempengaruhi keimanan seseorang. Terima kasih kang abik. terima kasih Ibu.
Pada saat kami mencari sosok Aisha dan Maria, semula kami bersepakat untuk
mencari pemain Mesir. Tetapi setelah kami melakukan riset disana, sangat mengagetkan.
Perempuan-perempuan Mesir lebih tua dari umurnya. Aku mengcasting seorang
perempuan mesir bernama Roughda untuk berperan sebagai Aisha. Tidak hanya cantik,
tetapi mainnya luar biasa. Tetapi setelah di sejajarkan dengan Fahri, terlihat Roughda

lebih pas sebagai kakaknya daripada isteri Fahri. Padahal umurnya lebih muda 3 tahun
dari Fedi Nuril. Lalu kami mencari pemain dengan umur 8 tahun lebih muda dari Fedi.
Pada saat kami sejajarkan, sangat pas. Tetapi disaat dia berdialog tentang perkawinan,
tidak bisa dipungkiri 'kedewasaannya' tidak tampak. Alias belum matang. Kami bingung
dan akhirnya kami sepakat untuk mencari pemain indonesia saja.
Tidak gampang mencari pemain indonesia yang cantik sekaligus solihah. Pak Din
Syamsudin berpesan kalau bisa pemain Aisha kesehariannya ber jilbab. Lihatlah siapa
artis kita yang bertampang Bule yang seperti itu. Hanya Zaskia Meca saja yang berjilbab
dan cantik. Selebihnya tidak ada. Sementara itu Zascia tidak bertampang bule. Dia sangat
sunda. Pernah kita meng casting Nadine Candrawinata. Dia sangat cantik dan bermain
bagus. Dangat cocok pula berdampingan dengan Fedi Nuril. Tapi Nadine bukan Muslim.
Padahal Nadine sudah mau bermain sebagai perempuan Muslim. Aku pernah berdiskusi
panjang dengan kang abik soal itu. Aku bilang padanya ...
'Suatu hal yang unik, ketika tokoh Maria yang kristen dimainkan oleh seorang
muslim, sementara tokoh Aisha yang Islam dimainkan seorang kristen. Ini akan
memperlihatkan sikap toleransi dan demokratisasi dalam Islam seperti di India.'
Tetapi kang abik dan pak Din Syamsudin menyarankan untuk jangan bertaruh
terlalu besar di film ini. Masyarakat Islam di Indonesia berbeda dengan India. Di India,
masyarakat moslem dan Non Moslem sudah terdidik tingkat kedewasaan dalam
toleransi, sementara di Indonesia belum. Akhirnya dipilihlah Ryanti sebagai Aisha dan
Carrisa Putri sebagai Maria.
Ketiga pemain itu dikursuskan bahasa arab secara privat untuk mendalami
kehidupan Muslim di kairo. Mereka sangat antusias. Namun antusiasme itu harus
berhadapan dengan kenyataan bahwa mereka juga punya kesibukan lainnya. Ryanti
sebagai VJ di MTV dan Carrisa bermain sinetron. Ryanti yang bagiku sangat keteter
ketika berperan sebagai Aisha. Asiha adalah sosok yang memiliki beban berat. Sementara
Ryanti sebagai VJ MTV harus selalu tampak riang dan ringan. Sering sekali benturan itu
membuat proses pendalaman karakter tidak sempurna. Aku frustasi sendiri. Tetapi aku
ingat, bahwa di Film ini kesabaranku benar-benar di uji. Impianku mewujudkan
keindahan dan kedalaman Islam terbentur oleh kenyataan sebaliknya: Ringan, Riang,
Hedonistik dan Pop. Apalagi ketika producer tiba-tiba berubah pikiran melihat kenyataan

penonton Film Indonesia banyak di dominasi anak-anak muda yang pop, ringan dan tidak
menyukai hal-hal bersifat perenungan. Dia lantas ingin mengubah karakterr film AAC
menjadi sangat pop seperti Kuch Kuch Hotahai ... Tuhanku! Tuhanku! selamatkan film
ini ...
Tidak jarang aku berperang mulut dengan producerku ketika meminta adegan
Talaqi dibuang. Karena boring dan membuat penonton mengantuk. Lalu beberapa adegan
yang bersifat perenungan, seperti pada saat Fahri dipenjara dan menemukan hakikat
kesabaran dan keikhlasan dari seorang penghuni penjara yang absurd (dalam novel
digambarkan sebagai seorang professor agama bernama Abdul Rauf), Tetapi di Film saya
adaptasi sebagai sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih
dan suara yang sangat tajam melafatskan kebenaran. Semua adegan itu diminta untuk
dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun
Kuch Kuch Hotahai ...
Sabar ... Sabar ... Ikhlas ... ikhlas!!!

begitulah yang aku dapatkan di film ini.

Film ini tidak hanya mampu merobah pandanganku tentang Film. Film ini mampu dan
sudah merobah pandangan hidupku: tentang agama, kesetiaan, kerjakeras, komitmen, dan
... cinta. Berkali-kali aku berucap syukur yang besar kepada Tuhanku yang sudah
memberikan aku jalan menuju kedewasaan. Berkali-kali aku berucap terima kasih kepada
Kang Abik yang sudah secara tak langsung mempercayaiku menyutradarai film ini,
dimana telah membuatku kembali merasa dekat dengan Islam yang indah, bersahaja dan
penuh dengan toleransi. Dan terakhir, berkali-kali aku berucap syukur kepada Ibuku yang
telah berpesan untuk membuat film tentang agama. Sekarang aku mengerti, kenapa Kau
berpesan begitu Ibu. Tidak lain hanyalah untuk membuatku selalu dekat dengan Islam ...
La haula wa kuwwata illa billahi ...

KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.2)

Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul,
dan segudang manusia-manusia ciptaan Kang Abik bertebaran, hidup, saling bicara dan
saling mencinta. Kairo sangat indah kata kang Abik. Sudut-sudut pasar El Khalili, jalanan
di Down Town, Menara-menara masjid termasuk didalamnya Masjid Al Azhar dan
University of Azhar Cairo. Sangat detil kang Abik menggambarkan itu dalam novelnya,
yang membuat aku tertantang untuk mewujudkan dalam gambar: Bangunan-bangunan
tua peninggalan 3 Dinasti (Firaun, kesultanan dan Penjajah Perancis), Kios-kios
berdempetan berhadapan dengan trotoar-trotoar sempit yang penuh dengan pejalan kaki,
terkadang diisi kursi-kursi rotan caf pinggir jalan yang meletakkan seorang tua sedang
menyedot shisa. Lalu 5 jam dari tempat itu, menuju matahari terbit, kita melihat kampung
tua El Giza dengan aroma kotoran unta yang hmmm, sekilas menjijikkan, tetapi
tertutup oleh eksotisnya lingkungan khas kairo. Bangunan itu berdiri dari tumpukan
bata-bata merah yang dipoles campuran semen dan pasir. Menjadikan warna coklat muda
dominan, berpadu selaras dengan warna tanah, warna kain-kain yang dipakai membalut
tubuh gadis-gadis kairo, dan warna kulit unta. Bangunan itu ada banyak. Bertebaran.
Saling berdiri begitu saja. Tidak begitu rapi seperti bangunan-bangunan kuno di Itali atau
paris, tapi sangat menarik bagiku. Apalagi dengan latar belakang sepasang pyramid yang
gagah

menjulang

menyentuh

langit.

Kairo ah, Kairo. Di kota ini aku akan meletakkan kamera, melukis dengan cahaya,
membangun set dan meletakkan pemain-pemain didalamnya. Pemain Indonesia yang
bergaya selayaknya orang kairo asli.
Aku datang bersama tim kecil, menjalin kerjasama dengan local production
house, Egypt Production. Mereka sangat senang menyambut kedatangan kami. Kata
mereka, tidak mudah membuat film di kairo. Skenario film harus dapat ijin dari sensor
film. Tidak seperti di Indonesia. Bisa dengan gampang membuat film apa aja. Karena
waktu yang kita punya sangat sempit, ijin yang seharusnya 3 bulan, bisa diurus dalam 2
minggu oleh seorang local producer bernama Tammer Abbas; seorang muslim kairo,
cerdas, berpengalaman di bidang film dan kharismatis. Tammer mem-provide apa yang
kita butuhkan: Hunting Lokasi, akomodasi dan transportasi hingga penyewaan alat. Di
benankku, sedemikian jelas tergambar film ini akan sedetil seperti yang kang abik
tuliskan di novel.

Setelah riset selesai dan scenario jadi, 20 tim dari Jakarta datang untuk melakukan
hunting lokasi sekaligus test kamera. Kami melakukan shooting di sebuah tempat di El
Giza. Alat-alat yang di sediakan buat kami jauh lebih bagus dari yang sering kita pakai di
Indonesia. Kami sangat di support disana. Kami melakukan persiapan di kairo selama 2
minggu. Tammer akan mensupport semua shooting di Kairo berikut kostum, lokasi, crew
dan pemain pendukung. Film ini benar-benar akan menjadi film Indonesia yang shooting
total di Luar Negeri. Baru pertama kali terjadi dalam sejarah perkembangan film
nasional. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaanku waktu itu. Ibu, aku akan
persembahkan yang terbaik buatmu sebuah film agama yang indah dan bersahaja.
Yang akan kau kenang dan semua umat muslim Indonesia dan dunia tentunya
`Mendadak semua berhenti begitu saja. Impian itu kandas. Producer
membatalkan shooting di Kairo dengan alasan bujet produksi yang ditawarkan Egypt
Production tidak masuk akal. Tammer Abbas menawarkan angka 3 kali lipat produksi
standart Film Indonesia. 1 Film AAC di produksi sama saja memproduksi 3 film layar
lebar di Jakarta. Siapapun producer di negeri ini akan berfikiran sama: Membatalkan
produksi Film.
Seakan runtuh bangunan

mimpi yang sudah aku bangun. Satu persatu

menimpaku.
Tapi producerku tidak begitu saja berniat membatalkan produksi film ini.
Kita sudah terlanjur berjanji dengan banyak orang. Katanya
Bersama-sama kita mulai memikirkan bagaimana AAC bisa diproduksi sesuai
dengan apa yang kita inginkan. Kemudian kita mencari sponsor untuk bisa tetap shooting
di Kairo. Kita menjalin kerjasama dengan The Embassy of Egypt di Jakarta. Lewat
hubungan baik dengan ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, mereka setuju dengan
tawaran ini. Kata Dubesnya, Film ini akan dikelola oleh dua Negara: Indonesia dan
mesir. Sebelum di putar di bioskop, film ini harus diputar dihadapan presiden NegaraNegara Islam di Asia dan Timur Tengah, begitu kata Dubes. Betapa senangnya aku
mendengar kabar ini. Impianku bangkit. Ku kabarkan berita ini ke teman-teman crew dan
pemain. Mereka kembali semangat. Akhirnya dibuatkan kesepakatan antara dua Negara
melalui Dubes Mesir-DepBudPar-PP Muhammadiyah. Bersama-sama kita melakukan
pers conference, mengabarkan berita gembira ini ke masyarakat.

10

Namun lagi-lagi semua itu tidak ada artinya. Pemerintah mesir, sekalipun
memberikan dukungan buat kerjasama ini, tidak bisa melakukan intervensi terhadap
harga-harga termasuk di dalamnya Equiptment, lokasi, property. Itu adalah hak
perusahaan swasta. Artinya, sekalipun di dukung pemerintah, tetap tidak bisa
mempengaruhi harga. Harapan shooting di Kairo akhirnya kandas. Terlebih lagi pihak
Egypt Production tiba-tiba mengirimkan tagihan atas hunting, pelayanan persiapan dan
test kamera selama di kairo sebesar 500 juta rupiah. Angka yang tidak masuk akal buat
producer untuk harga test kamera dan hunting. Biasanya di Jakarta kami melakukan
hunting sekitar 5 juta sampai 10 juta. Test kamera gratis kita lakukan karena itu salah satu
fasilitas perusahaan penyewaan alat.
Akhirnya producer tidak mau membayarnya. Terjadilah perselisihan antara
keduanya. Pihak Egypt Production melayangkan surat gugatan ke pihak KBRI di Kairo.
Pihak KBRI kairo mengirimkan surat ke Departemen Luar Negeri Indonesia dan
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata yang isinya terjadi penipuan pihak MD kepada
perusahaan Kairo. Berita ini membuat Deplu dan Depbudpar menarik kembali
dukungannya. Begitu juga dengan pihak Dubes Mesir. Seperti sebuah drama tragedy saja,
nasib produksi Ayat-Ayat cinta tidak terselamatkan.
Terbayang olehku bangunan-bangunan bersejarah, menara-menara masjid Azhar
yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional, pyramid, guran sahara,
pantai Alexandria yang indah hilang hilang ditelan angin begitu saja. Lalu pesan
ibu terngiang : Kalau kamu sudah bisa membuat film, buatlah film agama
aasif ya ummi

11

Ana

KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.3)

Bukan sekali ini aku mendapatkan persoalan pada saat membuat film. Persoalan
buatku adalah sahabat karib. Di Dapur Film aku menekankan ke teman-teman, jika mau
terjun ke dunia film, persoalan adalah bagian hidup kita. Bukan berarti kita mencari
persoalan, tapi persoalan harus kita sikapi sebagai tantangan. Akan tetapi persoalan yang
menimpaku sekarang ini seolah tak berujung. Menangis sudah bukan suatu yang luar
biasa lagi.
Sejak kabar kita bakal sulit shooting di kairo aku jadi tidak bergairah. Tapi kabar
film AAC bakal diproduksi sudah beredar. Posisiku sulit. Bersamaan dengan itu film
produksi pertama MD yang berbujet besar drop di pasaran. Sebuah film yang dianggap
idealis, bahkan tidak mampu menembus angka 100 ribu penonton. Keyakinan producer
mulai goyah.
Apakah kamu masih yakin AAC akan diproduksi? Kata producer padaku,
Iya jawabku yakin. Sekalipun aku sendiri tidak tahu apakah keyakinan itu sekuat
dulu.
Apakah AAC adalah film yang bakal di tonton? tanyanya kemudian.
Aku lalu ingat pernyataannya tentang 80% penduduk Indonesia adalah muslim.
Kemudian aku membalikkan pernyataan itu kepadanya. Jawabnya
Ya, tetapi setelah melihat realitas, penonton kita masih belum bisa menerima
film-film berat.
Beberapa detik aku sempet bingung dengan istilah film berat. Aku tahu pada
waktu itu kondisi psikologis producerku sedang drop. Tidak hanya satu-dua juta kerugian
yang dia tanggung di film pertama. Wajar jika sudah menggoyahkan keyakinannya. Aku
berusaha meyakinkan dia lagi kalau AAC adalah film yang ditunggu penonton. Aku juga
meyakinkan kalau kita di dukung oleh Muhammadiyah. Tapi alasan itu tidak cukup buat
dia. Sebuah dukungan bisa dengan gampang dicabut. Tetapi sebuah produk yang sudah
diproduksi tidak bisa diuangkan. Investor tetap menanggung beban besar. Intinya, dia
butuh keyakinan kalau AAC adalah film yang bakal ditonton lebih dari 1 juta penonton.
Jumlah tersebut diperhitungkan secara bisnis untuk balik modal, mengingat bujet yang

12

dipersiapkan untuk memproduksi AAC duakali lipat bujet standart Film Indonesia. Yah,
sekitar 7 Milyar.
Lalu

produk

seperti

apa

yang

ditonton

oleh

satu

juta

penonton?

Pertanyaan itu yang akan merobah karakter Film Ayat-Ayat Cinta yang selanjutkan
menjadi persoalanku kemudian.
Pertama yang dilakukan untuk menset-up produk agar ditonton oleh satu juta
penonton adalah mengubah scenario menjadi light. Scenariopun dirombak total. Producer
sempat menghubungi Musfar Yasin untuk menggantikan Salman Aristo, karena pada saat
itu Nagabonar jadi 2 meraih 1,3 juta penonton. Musfar menolak dengan alasan tidak etis.
Salman Aristo kemudian bersedia merubah scenario dengan catatan sedikit keluar dari
novel. Kita sepakat. Dalam hal ini Kang Abik sedikit kita abaikan dengan maksud
segalanya berjalan lancar. Mengingat kang Abik kondisinya waktu itu tidak di Jakarta,
sehingga untuk melakukan diskusi scenario harus menghadirkannya dari semarang.
Skenario dibuat dalam 2 minggu. Selama 2 minggu itu kegiatan persiapan
menjelang shooting dihentikan. Di minggu ketiga seharusnya kita sudah melakukan
shooting, terpaksa dilakukan persiapan lagi. Jadwal akhirnya mundur satu bulan.
Keberatan muncul dari para pemain. Sebagian pemain Ayat-Ayat Cinta adalah pemain
dengan jadwal ketat. Fedi Nuril sibuk dengan album dan tour Garasi. Ryanti sibuk
dengan jadwal MTV, Carissa dan tante Marini sibuk dengan sinteron striping, Melanie
putria dan Surya Saputra sibuk dengan presenter. Kalau produksi ini mundur schedule
pemain yang akan sulit. Di bulan kedepan para pemain tersebut sudah masuk schedule
lain diluar Ayat-Ayat Cinta. Hal itu membuat Iqbal Rais, asistenku kelabakan mengatur
schedule. Dalam 2 minggu itu pekerjaan Iqbal berkali-kali melakukan revisi schedule dan
breakdown shooting. Sedangkan Amelia Oktavia (amek) dan Ruth Damai Pakpahan
(Iyuth) yang bertugas sebagai casting director me-loby pemain kembali. Itu tidak mudah
tentunya. Schedule di luar AAC sudah terlanjur di booking oleh para manajer. Malah
beberapa ada yang sudah kontrak.
Seperti yang disepakati bersama, scenario rampung dalam 2 minggu. Tapi bukan
berarti persoalan selesai disitu. Tahap berikutnya adalah menentukan dimana shooting
dilakukan, mengingat kairo sudah tertutup buat MD. Oh,ya Hal mendasar yang
membuat produksi ini mengalami kendala kreatif adalah producer mulai menekan bujet

13

produksi akibat kerugian di film pertama. Pemindahan shooting di Indonesia dilakukan


dengan asumsi bujet produksi tidak semahal di Kairo. Padahal kenyataan di lapangan
tidak semudah asumsi itu. Sesuatu yang diciptakan dengan set akan lebih mahal
dibanding kita menggunakan set yang sudah jadi. Kalau toh ditemukan rumah yang mirip
dengan yang ada di Kairo, perabot didalam rumah itu tidak bisa dipakai.
Menjelang shooting aku dan producer banyak bertengkar soal itu. Pengajuan bujet
untuk tata artistic di potong. Begitupun dengan pengajuan lampu. Aku seperti berada
dalam ruang isolasi yang semakin lama dinding itu bergerak menghimpit. Pada awal
persiapan, konsep film AAC adalah menghadirkan keindahan kota kairo dengan
memotret lansekap sebagaimana tertulis di novelnya kang Abik. Kini, terpaksa harus aku
persempit mengingat lokasi shooting tidak memadai dan peralatan pendukung dikurangi.
Aku dan Salman Aristo memutuskan memperkuat dramatik cerita daripada keindahan
gambar. Oleh sebab itu beban jatuh pada para pemain. Pemain harus mampu secara
meyakinkan membawakan karakter yang diperankan. Disini muncul persoalan baru.
Sekalipun Amek dan Iyuth berhasil me-loby pemain untuk mundur shooting, tapi tidak
bisa dapat waktu untuk latihan. Jangankan untuk melakukan riset dan observasi peran,
untuk melakukan reading scenario saja waktunya terbatas. Kepalaku mendadak berat
sekali. Hari-hari shooting tinggal beberapa hari, tapi permainan mereka masih jauh dari
harapanku. Ya Alloh, selamatkan aku. Selamatkan film ini
Pernah suatu kali aku minta mundur lagi karena pemain belum siap, terutama
Rianti dan Carrisa. Producer tidak memberikan ijin. Aku bingung. Aku melihat Rianti
dan Cariisa masih jauh dari harapanku. Pada awalnya tokoh Aisha diperankan Carrisa
dan Rianti sebagai Maria. Saat latihan berlangsung, aku merasa keduanya tidak pernah
mencapai klimaks. Selalu saja ada yang salah. Kemudian mas Whani Darmawan selaku
acting coach (Penata laku) mencoba merobah posisi. Rianti sebagai Aisha dan Carrisa
sebagai Maria. Aku melihat ada perubahan ke lebih baik. Mungkin tepatnya: Lebih pas
Tapi aku masih belum yakin dengan itu, dikarenakan banyak persoalan kreatif lain
yang menghimpitku. Aku tidak bisa dengan jernih memutuskan. Lalu Aku minta bantuan
Salman Aristo untuk ikut memutuskan. Setelah melewati test kamera, aku, Salman Aristo
dan Producer bersama-sama melihat dan memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha.
Aku ingat waktu itu rapat untuk memutuskan siapa yang pantas menjadi Aisha dilakukan

14

10 menit sebelum acara pers conference yang menghadirkan PP Muhammdiyah Din


Sayamsudin dan wartawan dari media cetak dan TV. Di ruang lain, Rianti dan Carisa
menunggu keputusan itu, karena berhubungan dengan siapa yang akan memakai cadar
dan jilbab pada saat acara pers conference. Akhirnya, kami memutuskan Rianti yang
menjadi Aisha. Cadarpun terpasang menutup sebagian wajah cantik Rianti
Ketika hari Shooting ditentukan, pemain sudah disiapkan secara schedule, Set
sudah dibangun, mendadak ada kabar Ryanti akan di deportasi karena masa tinggalnya
sudah habis (Rianti masih menjadi warag Negara Inggris saat ini), sehingga dia harus
kabur ke Singapura beberapa hari sambil mengurus perpanjangan masa tinggalnya di
Indonesia. Shooting yang sudah kita tentukan harus mundur lagi. Set yang sudah
dibangun harus dibongkar. Kepalaku mulai berat. Mataku mulai kabur. Allohu akbar!
Apa lagi yang harus aku hadapi? Berapa tetes lagi air mataku kutumpahkan dan berapa
lapang lagi dadaku aku rentangkan? Ingin rasanya aku lari dari semua ini. Tapi aku selalu
ingat pesan ayahku, wong lanang kui kudu mrantasi (Lelaki itu harus menyelesaikan
segala persoalan). Aku melihat sisi positif dari kemunduran ini. Aku bisa focus latihan
buat pemain. Akhirnya kamipun mundur. Karena set yang sudah dibuat tidak bisa
dibongkar, kita terpaksa shooting satu hari tapi setelah itu break seminggu.
Pada saat shooting, aku melihat kairo berdiri di Jakarta dan semarang. Aku melihat metro
yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai. Aku melihat perpustakaan Al Azhar
dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota. Flat Fahri, Flat
Maria dan Pasar El Khalili di kota lama dan Gedung Lawang Sewu Semarang. Ruang
sidang pengadilan Fahri di Gereja Imanuel Jakarta. Apa yang dibangun Allan, art
directorku, berhasil meski dengan berbagai kendala keuangan yang tidak lancar. Untuk
membangun set dan menyediakan property, Allan sering mengeluarkan uang pribadinya
untuk menutup aliran uang yang tidak lancar. Gajinya yang seharusnya di bagi-bagikan
kepada krunya, habis buat belanja property dan membangun set. Karenanya banyak
krunya pada marah-marah dan kabur.
Pada saat shooting berlangsung, tidak begitu saja mulus dan on schedule. Harihari pertama kami berhasil menghadirkan suasana kairo dengan menyewa orang-orang
arab sebagai extras. Karena shooting selalu selesai tengah malam, orang-orang arab lamalama tidak mau diajak shooting lagi. Maklumlah, mereka bukan berprofesi sebagai

15

pemain. Kebanyakan dari mereka pedagang, mahasiswa, karyawan bahkan ada yang
dokter. Suatu kali pernah si dokter marah-marah karena shooting sampai malam, padahal
sebagai dokter dia tidak pernah berpraktek sampai malam. Di hari-hari menjelang akhir
shooting AAC, bahkan untuk mengajak gembel Arab pasar Tanah Abang pun tidak bisa.
Masya Alloh!!
Di Kota lama dan Lawang sewu Semarang, kami menghadapi persoalan kamera
terbakar, hujan, berhadapan dengan preman Kota Lama, ruang sempit dan lapuk karena
tua yang membuat set lampu lama. Dengan begitu scene yang seharusnya diambil jadi
banyak terhutang. Untuk membayarnya, kita menunggu jadwal pemain kosong, Amek
dan Iyuth kembali me-loby, iqbal rais kembali membongkar break down. Hal itu terus
menerus mereka lakukan sampai-sampai Amek dan Iyuth kehilangan muka di hadapan
manajer dan pemain. Tidak jarang aku melakukan improvisasi demi efisiensi. Banyak
adegan aku sederhanakan. bahkan dibuang. Tapi aku cukup senang karena aku bisa
merobah salah satu sudut kota lama semarang menjadi pasar di El-Giza. Aku
menghadirkan unta dari Kebun Binatang Gembiraloka Jogjakarta. Penduduk kota lama
Semarang dibikin heboh dengan munculnya unta secara tiba-tiba di sana.
Shooting paling berat yang aku rasakan pada saat adegan sidang Fahri. Aku
memilih gereja Imanuel Jakarta untuk di set sebagai ruang pengadilan. Aku
menghadirkan lebih dari 300 ekstrass. Semua pemain utama kumpul jadi satu. Penata
kostum, penata make up kewalahan menghadapi banyaknya pemain. Ini salah satu scene
dengan jumlah pemain paling banyak. Aku melihat hal yang unik di sana. Banyak pemain
memakai Jilbab bahkan bercadar, tapi mereka berada di dalam gereja. Tanda salib
bertebaran di atas kepala mereka. Suatu yang lucu dan menarik aku lihat. Lalu aku ingat,
pada saat aku masuk masjid Al Azhar, bahkan untuk ijin memotret saja tidak mudah.
Apalagi shooting. Tapi di gereja Imanuel ini, aku tidak hanya membawa kamera dan
lighting. Aku bahkan memasukkan teralis penjara sebesar 3 meter persegi didalamnya.
Aku tertawa kalau memikirkan itu
Tidak terasa, persoalan sudah menjadi bagian dari produksi ini. Malah, ketika
persoalan tidak muncul aku merasa ada yang aneh. Terlepas dari semua itu, aku senang
bisa terlibat dalam persoalan. Terlebih lagi, persoalan itu bisa terpecahkan sekalipun
dengan air mata. Semoga kedepan, aku bisa lebih dewasa.

16

Robbana afrigh alaina shabran wa tsabit aghda mana fanshurnaa ala qaumil kafiriin ...
( ...Ya Alloh, limpahkan kami kesabaran. tegakkanlah kaki kami kembali. Lindungilah
kami atas orang-orang yang membenci kami ...)
Hingga shooting ini selesai, kami masih berhadapan dengan puluhan persoalan
lagi. Nantikan di bagian IV (AAC hijrah ke India untuk menghadirkan Sungai Nil,
Padang Pasir dan kota) ...

17

KISAH DI BALIK PRODUKSI AYAT-AYAT CINTA (bag.Akhir)

Shooting di Jakarta sudah selesai. Aku puas dengan kerja tim AAC yang solid.
Sekalipun berat, tetap commit untuk menyelesaikan film ini apapun hambatannya.
Padahal secara legal, kontrak crew sudah habis 1 bulan sebelumnya. Artinya, mereka
bekerja tanpa ikatan kontrak lagi. Ini yang membuat aku terharu atas commitment
mereka. Terlebih lagi, banyak diantara mereka non-muslim. Tapi tidak satupun dari
mereka yang mengkaitkan keyakinan itu dengan kualitas kerja mereka.
Sebagaimana sudah direncanakan sebelumnya, meski Allan bisa menyulap
Semarang dan Jakarta jadi kairo. Secara geografis, tidak akan tergambar jika tidak ada
shooting di Kairo. Awalnya producer sudah puas dengan hasil shooting di Indonesia
tanpa perlu shooting di Kairo. Saya sangat keberatan.
Sebenarnya, dari hasil sisa adegan yang belum diambil, hanya membutuhkan
waktu 5 hari saja shooting di kairo. Akhirnya producer mengerti dan menjalin hubungan
dengan local production lain di kairo. Local producer itu sering menangani film-film
asing yang shooting di Cairo. Sebuah perusahaan yang juga berpengalaman d bidang
produksi film. Setelah melihat konsep film AAC, dia menawarkan harga untuk shooting
disana selama 5 hari. Jumlah yang diajukan sebesar 3 Milyar untuk shooting 5 hari. Nilai
yang bahkan di Indonesia bisa membuat satu film.
Angka yang tidak masuk akal kata producerku.
Aku sepakat dengan producerku, meski aku tahu konsekwensi membuat film
sesuai dengan novel Kang Abik memang berbujet besar. Tapi aku tetap tidak percaya
degan penawaran itu. Setelah kita cek quote yang diajukan, aku melihat item-item yang
tidak rasional. Misalnya, makan per orang dia budjet kan 100 US$ sehari. Padahal pada
saat riset di sana, aku bisa makan dengan 25 ribu sehari. Bujet penawaran itu tidak bisa
ditawar kecuali kita mengurangi jumlah hari dan kru. Negosiasi tertutup.
Kemudian muncul gagasan shooting di India dari salah seorang staf perusahaan
MD yang orang India. Dia berjanji bisa menyediakan lokasi yang kita butuhkan mirip
Cairo. Semula aku ragu, tapi setelah ditunjukkan foto-foto lokasi di India, saya jadi
yakin. Dalam foto itu tergambat Sungai Nil, sudut kota kairo, Taman Al azhar University,

18

Padang Pasir lengkap dengan unta-unta dan kafilah. Hanya pyramid saja yang tidak ada.
Tapi itu bisa dibuat di studio menggunakan Computer Graphics Imagery (CGI) yang
lebih dikenal dengan special effect.
Disaat persiapan menuju India, tercetus ide untuk tetap bisa shooting di Kairo
dengan dibarengi workshop film buat mahasiswa Indonesia-Al Azhar. Lalu aku
menghubungi PCIM (Pimpinan Cabang Islam Muhammadiyah). Mereka setuju dengan
ideku. Kita bahkan dibantu KBRI. Di Kairo, aku dan PCIM berencana menggelar
workshop dengan peserta anggota PCIM (mereka adalah mahasiswa Indonesia yang
sekolah di Azhar Univ yang menjadi anggota Muhammadiyah) dan akan Shooting
mengambil suasana kota dengan kamera kecil bersama dengan mahasiswa peserta
workshop tersebut. Biasanya, kegiatan yang mengatasnamakan mahasiswa tidak perlu
ijin berbelit-belit. Maka segala sesuatu dipersiapkan. Dari Jakarta, tim yang berangkat ke
India 20 orang termasuk pemain, tetapi 6 diantaranya berangkat duluan ke Kairo selama 4
hari. 6 orang tersebut adalah, Fedi Nuril, Faozan Rizal (Kamera), Kasnan (Asisten
Kamera), seorang pengawal alat, Adi molana (tata suara) dan aku.
Producer setuju dengan rencana tersebut. Tapi ditengah persiapan itu, muncul
kendala di pengurusan Visa. Karena hari shooting di India dan Kairo berurutan, membuat
pengurusan visa tarik-tarikan antara keduanya. Waktu kita hanya 1 minggu sebelum
keberangkatan shooting, sementara mengurus Visa di India membutuhkan waktu 4
sampai 5 hari karena jumlah orang yang akan berangkat banyak. Begitupun mengurus
Visa Kairo. Akhirnya aku minta tolong pihak PCIM dengan bantuan KBRI menguruskan
visa on arrival. KBRI setuju dan sudah menghubungi pihak emigrasi cairo bahwa akan
datang tim dari Indonesia berjumlah 6 orang untuk workshop. Kamipun senang dengan
kabar tersebut. Terbayang eksotisnya kota kairo, kios-kiosnya, menara-menara masjid
yang menjulang, jalan raya yang macet, kampung- el giza. Bahkan pihak KBRI bisa
menyediakan fasilitas khusus masuk kawasan pyramid dengan bebas. Rasa optimisku
bangkit lagi. Akhirnya aku bisa shooting di Kairo
Tapi, lagi-lagi semua itu cuma mimpi. Sesampainya di bagian Check In Bandara
Sukarno-Hatta, aku dan 5 kru lainnya tidak boleh berangkat. Waktu itu kami berencana
terbang ke Kairo dengan Sinagpore Airlines (SQ). Pihak SQ tidak bisa memberangkatkan
kami dengan alasan tidak ada visa. Aku menjelaskan, bahwa kita dapat fasilitas Visa on

19

Arrival dari KBRI Cairo. Mereka minta bukti tertulis dari pihak KBRI sebagai pegangan.
Aku tunjukkan undangan dari PCIM untuk workshop atas nama Muhammadiyah ke
pihak SQ. Mereka tidak mau terima. Yang mereka minta adalah surat tertulis yang
menjamin 6 orang yang diterbangkan SQ bisa diterima di Kairo. Itu tanggungjawab
Airlines atas keselamatan penumpang. Aku segera telpon pihak PCIM untuk
menghubungi KBRI. Ternyata hari itu kantor KBRI libur. Sekalipun bisa terhubung
secara pribadi dengan bagian konsulat KBRI, tapi untuk urusan administrasi harus
melalui kantor. Akhirnya, kami tidak jadi berangkat. Kamera yang sudah kita sewa, tiket
yang sudah kita beli dan segala harapan untuk bisa shooting di Kairo buyar Dada ini
terasa sakit sekali. Dalam perjalanan meninggalkan bandara Soekarno-Hatta, tanpa sadar,
air mataku meleleh lagi. Ya Alloh, Apakah aku terlalu kotor memproduksi film ini, maka
kau berikan hambatan buatku untuk yang terbaik?
Tidak ada harapan lagi kecuali shooting ke India saja. Untuk saat ini, sebuah
kemewahan bisa membayangkan film ini sesuai dengan harapan Kang Abik dan pembaca
fanatik AAC. Yang bisa aku lakukan hanyalah menyelesaikan film ini semaksimal yang
aku bisa.
Pesawat Malaysia Airlines take off dari Jakarta membawa 20 Kru dan pemain
AAC beserta dua kopor berisi Kostum pemain, 3 kopor berisi property keperluan Artistik
dan dua kopor lain berisi bahan baku film 35mm serta kabel-kabel. Kira-kira 8 jam
perjalanan, kami mendarat di Banglore untuk transit. Saat itu malam hari. Udara agak
dingin. Pesawat yang membawa kita ke Bombay baru besok pagi sekitar jam 10 take off
dari bandara. Menurut travel agent di Jakarta, di Banglore kita disediakan penginapan.
Tetapi kenyataannya bukan penginapan sebagaimana layaknya sebuah hotel transit di
bandara international. Kita disediakan satu apartement dengan 6 kamar. Padahal kami
berjumlah 20 orang dimana tidak semuanya laki-laki. Kopor kami juga banyak. Tidak
layak buat kami untuk menempati satu apartement. Malam itu sudah jam 12 malam.
Pihak administrasi apartement sudah tutup untuk meminta tambahan satu apartement lagi.
Kami kebingungan sendiri. Setelah beberapa lama terkatung-katung, salah seorang
pembantu apartement lain menawari bisa memakai apartementnya kalau cuma buat
semalam, karena pemiliknya sedang keluar kota. Akhirnya kami patungan menyewanya.
Apartement itu untuk crew dan pemain perempuan. Aku bersama crew laki-laki lainnya

20

saling tumpang tindih di apartement satunya. Aku dan Rajish (Make up artist) tidur di
sofa depan. Faozan Rizal dan tim kamera tumpuk-tumpukan satu kamar. Fedi, Oka dan
Iqbal tidur satu ranjang bertiga. Lainnya tidur sekenanya.
Tepat jam 11 siang kami meninggalkan Banglore menuju Bombay. Kami sudah
dijemput sebuah bis yang akan membawa kami 15 jam menuju Jodhpur. Bayangan kami,
Jodhpur adalah kota kecil yang tidak ada bandaranya disana. Tapi ternyata Jodhpur
adalah kota wisata. Banyak turis eropa-Amerika datang kesana menggunakan pesawat,
apalagi

di

bulan-bulan

November.

Bandaranya-pun

lebih

bagus

dari

Halim

Perdanakusuma. Jadi penggunaan bis semata-mata buat ngirit bujet produksi, mengingat
harga tiket Bombay-Jodhpur di bulan-bulan libur naik. Kami cuma menghela nafas. 15
jam perjalanan, bayangan kami, seperti perjalanan Jakarta Surabaya. Tidak apalah, aku
bisa istirahat di bis, pikirku.
Setelah keluar dari bandara Bombay dengan tumpukan kopor-kopor, kami melihat
bis yang disediakan kami kecil. Warnanya kuning. Bis tersebut bukan selayaknya
kendaraan tempuh Jakarta-Surabaya. Bis itu seperti bis Jakarta-Sukabumi yang diberi
AC. Tempat duduknya sempit hanya memuat 20 orang saja. Sedangkan kopor-kopor
kami banyak. Aku komplain dengan orang india (staff MD) yang mengurusi kami disana.
Dia bilang, bis ini disediakan berdasarkan bujet dari producer. Kami tetap tidak mau naik.
Aku melihat wajah teman-teman kusut. Tika (line producer AAC) marah dan meminta
local unit menyediakan tiket pesawat. Sayangnya, tiket pesawat ke jodhpur habis sampai
3 hari kedepan. Setelah berdebat lama, akhirnya kami disediakan satu mobil kijang
khusus untuk kopor-kopor. Allan menyertai kopor-kopor itu di mobil Kijang. Yang
lainnya naik bis. Fedi yang berkaki panjang menduduki bagian belakang tepat di selasar
tengah bis diapit Rianti, Prita (Pencatat Script), dan Clarissa. Ditengah diisi Oka, Pao,
Tarmiji, Kasnan (tim kamera), Adi molana dan pak Rajish. Di depan ada Aku, Retno
Damayanti (kostum), mbak Tia (asisten Retno) dan Tika. Seorang supir bernama Ganesh
membawa kami membelah negeri India melintasi Gujarat. Sebuah perjalanan panjang dan
melelahkan terbayang
Perjalanan Bombay-Jodhpur mirip seperti perjalanan Jakarta-Surabaya. Padang
Ilalang terbentang di kiri kanan. Rumah-rumah gubuk, warung-warung tempat mangkal
bis dan Container berderetan sepanjang jalan seperti di film Iran Caf Transit, jajaran

21

rumah-rumah pedesaan diselingi pohon-pohon besar dan sawah-sawah tandus


berseliweran. Pemandangan luar biasa buatku. Eksotis. Bis kami melaju bersama dengan
puluhan bahkan ratusan truk-truk. Kadang bis kami berhenti sekedar minum teh hangat
India yang dicampur susu bersama sopir-sopir berkulit hitam. Di perbatasan Gujarat.
Kami mendapat persoalan. Bis kami dilarang melintasi perbatasan karena dokumen tidak
lengkap. Selama 2 jam kami dicuekin, sementara Ganesh mondar-mandir dari post satu
ke post lainnya yang jaraknya 1 km untuk menyelesaikan administrasi. Terlihat dia begitu
stress, dia meminjam Hp Tika untuk menghubungi seseorang. Terlihat dari cara
bicaranya, Ganesh sedang bertengkar. Mungkin orang itu yang menyebabkan Ganesh
mendapat persoalan. Kami nyaris balik ke Bombay karena tidak ada ijin melintas.
Ditengah situasi panik itu Rianti, Clarrisa, Oka dan Fedi didatangi militer bersenapan
karena mereka foto-foto.
Ini bukan tempat wisata! kata Militer itu.
Terlihat wajah Rianti pucat karena takut. Akhirnya Ganesh menjelaskan
ketidaktahuan kami. Merekapun mengerti. Setelah 2 jam lewat dengan perasaan tidak
menentu, kami bisa melintasi perbatasan, melanjutkan perjalanan atas perjuangan
Ganesh. Malam yang panjang terasa. Sekalipun sulit buat kami tidur di tempat sempit
seperti itu, kami tidak bisa melewatkan rasa ngantuk. Pagi berikutnya kami berhenti di
sebuah kota kecil. Kami menyewa losmen kecil buat mandi dan sarapan. Kami istirahat
selama 4 jam memberikan kesempatan Ganesh tidur. Di tempat itu kami diliatin
penduduk sekitar. Apalagi Rianti dan Clarissa. Orang-orang India memiliki keramahan
berbeda dengan Indonesia. Apalagi bukan di kota besar seperti Bombay, Delhi atau
Madrass. Suara mereka yang keras membuat kami mengira mereka marah. Tetapi
sebenarnya tidak. Di tempat itu kami baru sadar bahwa kami sudah menempuh 15 jam
perjalanan. Tetapi kami masih berada setengah perjalanan menuju Jodhpur. Setelah
membuka peta baru kami sadar berapa jarak sebenarnya dan berapa waktu tempuh
sebenarnya antara Bombay-Jodhpur. Bombay-Jodhpur berjarak 850km, Kira-kira 24 jam
waktu perjalanan darat jika ditempuh secara non-stop. Kami merasa ditipu. Fedi yang
biasanya diam, kini marah-marah, dia protes ke producer atas perlakuan ini. Jawab
producerku, pihak MD tidak tahu menau soal ini. Mereka juga minta maaf. Pak Rajish,
salah satu karyawan MD dari India bagian make up artis banyak membantu kami.

22

Setidaknya membantu kami berkomunikasi. Ternyata, dibalik semua itu ada yang tidak
jujur, memanfaatkan situasi ini untuk mengambil keuntungan. Aku marah, tetapi aku tahu
itu tidak ada gunanya. Akibat dari kesalahpahaman ini kami kehilangan waktu dan tenaga
yang seharusnya bisa dimanfaatkan buat Shooting. Kami cuma bisa pasrah
Jam 8 malam, tepat 30 jam perjalanan dari Bombay, kami masuk Hotel.
Alhamdulillah, akhirnya kami bisa merebahkan diri di tempat yang layak. Diatas tempat
tidur aku melepaskan pikiran. Sepanjang hidupku, tidak pernah aku membayangkan
melintasi negeri Gujarat naik bis. Tanpa asuransi, tanpa perlindungan apapun. Untung
tidak ada teroris menghadang kami. Sungguh, aku sudah tidak kuat. Aku ingin lari saja
dari produksi. Toh, tidak ada jaminan apapun buatku untuk menyelesaikan film ini?
Uang? Demi Alloh, gajiku tidak sebanding dengan persoalan yang aku hadapi. Kalau
orang mengira aku melakukan ini semua demi uang? Demi jualan? Kehormatan?
Wallohi, orang itu benar-benar picik. Tidak ada keuntungan materi yang aku dapat di
film ini. Semata-mata hanya idealismeku saja yang berharap Film Indonesia tidak hanya
diisi oleh Horor dan percintaan remaja Kota. Tapi apa itu idealisme? Apakah Kang Abik
dan jutaan pembaca AAC mengerti soal idealisme ini? Apa yang mereka bisa berikan
buat mengganti segudang persoalan kami disini? Mereka tidak lebih dari sekedar
penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan Film dengan Novelnya.
Lantas jika tidak sama dengan Novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan
kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam Novel tidak tampak, tidak
terasa.
Lagi-lagi dadaku sesak. Tapi aku tidak bisa lari. Aku sudah berjanji kepada
diriku, anakku dan ibuku untuk memberikan yang terbaik.
'Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.' Kata
ibuku yang terus menerus terngiang.
Pagi harinya aku mulai shooting. Dan persoalan seperti tidak selesai. Dari mulai
peralatan yang kami pakai sudah ditinggalkan industri India 5 tahun yang lalu alias butut:
Lampu-lampu yang fliker (menghasilkan cahaya kelap-kelip seperti neon yang habis watt
nya), Kamera tua yang ketika dipakai mengeluarkan bunyi berisik, generator kami yang
lebih layak dipakai buat menyalakan mesin pemarut kelapa dibanding buat shooting. Lalu
kru-kru India yang disediakan untuk membantu kami bukan kru profesional. Di bagian

23

akomodasi makanan kami selalu datang telat sehingga banyak yang protes. Tidak hanya
kru Jakarta saja yang protes, kru India juga begitu. Suatu kali pernah mereka mogok kerja
tidak shooting karena hanya di kasih makan sekali sehari. Padahal shooting sampai jam
12 malam. Di lokasi gurun, kami harus mendaki gunung pasir dengan jalan kaki sebelum
menuju lokasi utama. Kami menggunakan Unta buat mengangkat Kamera dan
perlengkapannya. Kaki-kaki kami sakit tertusuk tanaman duri. Bibir kami banyak yang
pecah karena panas matahari. Sebelum mencapai tempat lokasi, kami istirahat mirip
kafilah-kafilah yang kehausan ditengah sahara.
Tapi dari semua kesulitan itu, Alhamdulillah aku bisa menyelesaikannya dengan
baik. Lokasi yang aku dapatkan luar biasa. Kecuali lokasi Gurun, lokasi Nil, Taman,
Rumah Sakit berada di satu hotel peninggalan Kasultanan Pakistan. Lokasi gurun Pasir
kami tempuh 4 jam perjalanan dari Jodhpur. Melelahkan tapi juga menyenangkan.
3 hari kami melakukan shooting dan 2 hari sisanya adalah perjalanan. Di hari
ketiga, rombongan kembali ke Jakarta. Aku bersama 20 cann film hasil shooting di
Jodhpur terbang menuju Madras untuk editing dan processing lab. Sastha Sunu, editor
Ayat-Ayat Cinta sudah menungguku disana. Sampai tulisan ini dikirim, aku masih
menyelesaikan proses film Ayat-Ayat Cinta yang semakin lama semakin rumit secara
teknis. Sehingga mengakibatkan jadwal Tayang Ayat-Ayat Cinta mundur di bulan
Januari. Aku tidak berani menjelaskan kerumitan itu, karena sifatnya technical sekali.
Pendeknya, produksi Ayat-Ayat Cinta adalah produksi yang penuh dengan cobaan
dibandingkan 6 filmku sebelumnya.
Semoga Cobaan ini membuktikan Cinta Alloh masih bersama Kami semua

24

You might also like