Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Multiple Sklerosis (MS) adalah suatu penyakit yang dipicu oleh berbagai
penyebab, salah satunya adalah virus serta genetik yang akan menyebabkan
perubahan mekanisme system imun di dalam susunan saraf pusat. MS ini terjadi
pada onset usia 20-50 tahun. Reaksi yang timbul pada multiple sklerosis dapat
bermanifestasi menjadi peradangan tipe akut maupun tipe kronik. Penyakit ini
ditandai dengan adanya proses kerusakan pada myelin yang kemudian meluas ke
daerah substansia alba sususan system saraf pusat (SSP).
Penyakit ini bermanifestasi pada beberapa gangguan yakni gangguan
sensorik, gangguan penglihatan, disfungsi kandung kemih, sampai dengan
gangguan suasana mood. Penyakit ini dapat diketahui dengan mengunakan MRI
untuk hasil yang paling akurat, dan dapat diterapi dengan menggunakan berbagai
pengobatan. Berikut akan dipaparkan mengenai penyakit Multiple Sklerosis
secara lebih mendalam mulai dari definisi penyakit, epidemiologi, etiologi dan
pathogenesis terjadinya penyakit, manifestasi klinis yang berdampak pada pasien,
pemeriksaan penunjang, tatalaksana, serta komplikasi dan prognosis pasien
apabila mengidap penyakit ini di kemudian hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Multiple Sclerosis adalah penyakit idiopatik, autoimun dan inflamasi
kronik yang menimbulkan gejala neurodegeneratif akibat degradasi mielin
pada serabut saraf di sistem saraf pusat. Kerusakan ini mengganggu transmisi
normal sinyal sepanjang akson sehingga menimbulkan berbagai gejala
neurologis (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter, 2014).
B. Epidemologi
Hampir 400.000 individu di Amerika Serikat dan 2,4 juta orang diseluruh
dunia menderita MS. Wanita memiliki resiko 2 sampai 3 kali lebih besar dari
pada laki-laki untuk terdiagnosis MS dan kebanyakan kasus MS terjadi pada
usia antara 20 sampai 50 tahun, dengan puncaknya pada usia 29 tahun.
Merupakan penyebab kecacatan yang paling sering kedua di usia muda dan
penyakit ini merupakan penyakit kronik dengan beban ekonomi yang tinggi,
dengan anggaran total pertahunnya per individu melebihi US$ 50.000, sama
dengan penyakit gagal jantung (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter,
2014).
C. Etiologi
Penyebab MS belum diketahui. Hal ini diyakini bahwa respon imun yang
abnormal terhadap lingkungan pada orang yang sebelumnya mempunyai
bakat genetik (NICE, 2014). Akan tetapi hal ini melibatkan kombinasi antara
faktor genetic dan factor non- genetik seperti infeksi virus, factor
metabolisme atau lingkungan. Kemudian, ini akan menyebabkan gangguan
autoimun dan akan menyerang SSP secara berulang (Marvin M. 2012).
D. Patofisiologi
Awal
terjadinya
multiple
sklerosis
terjadinya
kerusakan
yang
multiple
sklerosis.
Terdapat
respon
imunologi
yang
Bagaimanapaun
mielin
dapat
beregenerasi
dan
hilangnya
gejala
F. Penegakkan Diagnosis
Mielin adalah zat lemak yang melapisi akson pada SSP dan memiliki efek
isolator memungkinkan impuls listrik untuk bergerak lebih cepat. Kerusakan
myelin menyebabkan perpindahan informasi terganggu sepanjang akson. Di
MS, bercak peradangan dapat terjadi di mielin, hal ini dapat mengakibatkan
myelin itu sendiri menjadi rusak. Jika peradangan luas, dapat meninggalkan
bekas luka atau lesi. Lesi ini dapat muncul di banyak lokasi di seluruh SSP.
Demielinasi terjadi ketika mielin di sekitar akson memburuk dan hilang. Ada
juga yang menunjukkan bahwa akson itu sendiri menjadi rusak dimana
hilangnya akson merupakan penyebab gangguan. Setelah hilang, akson tidak
pernah
bisa
regenerasi
dan
ini
dianggap
untuk
memperhitungkan
awal. Insiden onset naik selama 20-an, mencapai puncaknya pada akhir20-an
dan awal 30-an. Gejala awal adalah kebanyakan umum, gangguan
penglihatan, termasuk nyeri sekitar mata, kabur atau penglihatan ganda,
masalah sensorik, kelemahan, mati rasa, gangguan keseimbangan dan
kelelahan. (Bloch et al, 2011)
Pada 85% dari orang mengalami onset gejala awal yang dikenal sebagai
sindrom klinis terisolasi (CIS). Peristiwa ini didefinisikan sebagai episode
pertama individu dari gejala neurologis yang berlangsung setidaknya 24 jam.
Kerusakan mungkin mengakibatkan gejala tunggal (misalnya optik neuritis)
atau multifocal ketika beberapa gejala mungkin dialami (misalnya masalah
ketiadaan koordinasi dan kandung kemih). Tidak semua orang yang
mengalami CIS akan menjadi MS. Namun, jika temuan MRI menunjukkan
lesi otak yang menunjukkan MS maka kemungkinan memiliki gejala lanjut
dan diagnosis pasti dari MS cukup tinggi. (Bloch et al, 2011)
Diagnosis pasti MS didasarkan pada bukti obyektif lesi, yaitu kambuh dan
remisi gejala yang mempengaruhi setidaknya dua wilayah yang terpisah dari
otak atau sumsum tulang belakang. MS bisa sulit untuk didiagnosa karena
tidak ada tes tunggal, atau fitur klinis yang eksklusif untuk kondisi, dan
penyebab lain yang mungkin harus dihilangkan. Ada kriteria yang telah
ditetapkan yang harus dipenuhi untuk secara positif mengidentifikasi MS. Ini
dikenal sebagai 'Kriteria McDonald' dan relevan dalam diagnosis MS. Revisi
kriteria ini pada tahun 2010 memungkinkan untuk diagnosis awal dari MS.
(Bloch et al, 2011). Ada tiga pemeriksaan utama, semua atau sebagian dari
yang dapat dilakukan saat MS diduga meskipun tidak ada yang 100%
meyakinkan tanpa mendukung bukti klinis dan riwayat klinis yang kuat.
Pemeriksaan itu adalah (Bloch et al, 2011) :
1 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah investigasi yang paling sensitive dengan kemampuan
untuk menyoroti area demielinisasi aktif dan non-aktif. MRI menciptakan
gambar dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk
memantau atom hydrogen dalam tubuh. Senyawa kimia terbentuk dari
bekas luka yang disebabkan oleh MS artinya bahwa itu terlihat sebagai
bercak putih pada gambar MRI, memberikan gambaran yang sangat jelas
tentang efek MS pada otak dan sumsum tulang belakang
Tes neurofisiologis
Tes yang paling umum adalah membangkitkan potensi visual
(VEP). Tes Visual melibatkan menonton layar televisi yang mempunyai
kotak hitam dan putih. Elektroda ditempatkan di atas korteks visual dan
computer menganalisis sinyal visual diterima dari televisi. Lamanya
waktu yang dibutuhkan sinyal untuk meninggalkan televise dan
mencapai korteks visual diketahui dan dengan demikian penundaan
dalam transmisi sinyal dapat diidentifikasi. Keterlambatan tersebut
G. Tatalaksana
1 Fingolimod
Terapi multiple sklerosis telah mengalami pergeseran, terapi first line
MS sebelum fingolimod diresmikan adalah IFN beta. Setelah
dibandingkan, data-data mengindikasikan bahwa pada 12 bulan, rerata
jumlah lesi T1 yang diperkuat gadolinium secara bermakna lebih rendah
pada pasien yang diterapi dengan fingolimod (0,5 mg) dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan interferon -1a secara intramuskular,
yaitu 0,2 berbanding 0,5 (p<0,001). Efek fingolimod (0,5 mg)
dibandingkan dengan plasebo pada pemberian selama 24 bulan juga
berbeda bermakna, yaitu sebesar 0,2 berbanding 1,1 (p<0,001) (Groves
et al, 2013).
Fingolimod adalah preparat oral yang berfungsi untuk memodulasi
reseptor sphingosine 1-posphate (S1P) dan telah disetujui sebagai
pengobatan Multiple Sklerosis oleh Amerika Utara pada tahun 2010 dan
Eropa pada tahun 2011. Fingolimod ini akan terfosforilasi oleh spingosin
kinase menjadi bentuk aktifnya, yang nantinya bentuk aktifnya ini akan
berikatan dengan S1PR (reseptor S1P) (Groves et al, 2013). S1P yang
terkandung dalam fingolimod nantinya akan menempati reseptor yang
berada pada oligodendrosit, astrosit, neurin dan microglia. Namun, pada
pasien dengan MS, mereka hanya memiliki sedikit spingomyelin dimana
spingomyelin ini merupakan derivate dari spingosin endogen dan S1P
pada substansia alba. Ikatan antara S1PR yang diinduksi oleh
fingolimode dengan S1P akan menyebabkan jumlah reseptor akan
berkurang pada permukaan sel. Hal ini menyebabkan kadar limfosit
dalam serum dan CSF akan menurun dan menurunkan resiko kejadian
inflamasi yang diketahui sebagai pathogenesis utama terjadinya MS.
Fingolimod juga dapat menurunkan progresifitas terjadinya EAE atau
experimental autoimmune encephalomyelitis pada hewan coba (Fox EJ,
Rhoades R, 2012).
2
Alemtuzumab
Alemtuzumab adalah antibodi monoklonal manusia yang antagonis
terhadap CD52, sebuah glikoprotein yang ditemukan pada permukaan
limfosit dan monosit. Pada hewan coba, pemberian alemtuzumab
menurunkan limfosit darah perifer mencit, tanpa disertai kerusakan organ
limfoid. Kelebihan penggunaan obat ini dibandingkan interferon beta 1A
adalah alemtuzumab secara signifikan dapat menurunkan angka kejadian
remiten-relaps MS dibandingkan IFB B1A. Namun, alemtuzumab juga
memiliki kelemahan berupa kejadian infeksi yang lebih sering terjadi
pada penggunaan alemtuzumab dibandingkan IFNB1A (interferon beta
1A), hal lini diduga karena potensiasi alemtuzumab untuk mereduksi
jumlah limfosit lebih kuat dibandingkan IFNB1A (Fox EJ, Rhoades R,
2012).
BG 12 (dimethyl fumarate)
BG 12 adalah suatu
ester
asam
fumarat
dengan
fungsi
2 yang
Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan
memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah
onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis
ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang
terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci
BAB III
PENUTUP
Multiple sklerosis adalah penyakit yang menyerang lapisan myelin
aksonal yang diakibatkan oleh multifaktorial, meliputi infeksi, genetic, maupun
idiopatik. Penyakit ini menyerang usia produktif 20-50 tahun, dengan prognosis
dubia et malam jika tidak diobati secara langsung, yang akan berakibat pada
kecacatan pada 30% kasus. Terapi Multiple Sklerosis pun telah mengalami
perkembangan dari awalnya memakai IFN beta menjadi fingolimod yang
efikasinya lebih tinggi dan lebih efektif. Kompliaksi tersering dari penyakit ini
adalah depresi, maka dari itu, selain pengobatak farmakologi, juga penting
dilakukan penerapan terapi non farmakologi seperti dukungan keluarga yang
dapat menimbulkan kondisi yang kondusif bagi penyembuhan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Ajami, S., Ahmadi, G., & Etemadifar, M. (2014). The role of information system
in multiple sclerosis management. Journal of Research in Medical
Sciences: The Official Journal of Isfahan University of Medical Sciences ,
19(12), 11751184
Bloch S, et al. 2011. Multiple Sclerosis Information for Health and Social Care
Professionals.
http://www.mstrust.org.uk/downloads/ms-info-health-
professionals.pdf.
Dong, G., Zhang, N., Wu, Z., Liu, Y., & Wang, L. (2015). Multiple Sclerosis
Increases Fracture Risk: A Meta-Analysis. BioMed Research International,
2015, 650138. doi:10.1155/2015/650138
Fox J.R., Rhoades R.W.2012. New Treatments and Treatment Goals for Patients
with Relapsing-Remitting Multiple Sclerosis. Journal of Current Opinion
Neurology.
Accessed
at
April,
8ty
2015.
Available
on
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22398660
Groves, A., Kihara, Y., Chun, Y.2013. Fingolimod: Direct CNS effects of
sphingosine 1-phosphate (S1P) receptor modulation and implications in
multiple sclerosis therapy. Journal of Neurological Sciences 328: 918. at
M.
Goldenberg,
2012.
Multiple
Sclerosis
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3351877/
Review.