You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
Multiple Sklerosis (MS) adalah suatu penyakit yang dipicu oleh berbagai
penyebab, salah satunya adalah virus serta genetik yang akan menyebabkan
perubahan mekanisme system imun di dalam susunan saraf pusat. MS ini terjadi
pada onset usia 20-50 tahun. Reaksi yang timbul pada multiple sklerosis dapat
bermanifestasi menjadi peradangan tipe akut maupun tipe kronik. Penyakit ini
ditandai dengan adanya proses kerusakan pada myelin yang kemudian meluas ke
daerah substansia alba sususan system saraf pusat (SSP).
Penyakit ini bermanifestasi pada beberapa gangguan yakni gangguan
sensorik, gangguan penglihatan, disfungsi kandung kemih, sampai dengan
gangguan suasana mood. Penyakit ini dapat diketahui dengan mengunakan MRI
untuk hasil yang paling akurat, dan dapat diterapi dengan menggunakan berbagai
pengobatan. Berikut akan dipaparkan mengenai penyakit Multiple Sklerosis
secara lebih mendalam mulai dari definisi penyakit, epidemiologi, etiologi dan
pathogenesis terjadinya penyakit, manifestasi klinis yang berdampak pada pasien,
pemeriksaan penunjang, tatalaksana, serta komplikasi dan prognosis pasien
apabila mengidap penyakit ini di kemudian hari.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Multiple Sclerosis adalah penyakit idiopatik, autoimun dan inflamasi
kronik yang menimbulkan gejala neurodegeneratif akibat degradasi mielin
pada serabut saraf di sistem saraf pusat. Kerusakan ini mengganggu transmisi
normal sinyal sepanjang akson sehingga menimbulkan berbagai gejala
neurologis (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter, 2014).
B. Epidemologi
Hampir 400.000 individu di Amerika Serikat dan 2,4 juta orang diseluruh
dunia menderita MS. Wanita memiliki resiko 2 sampai 3 kali lebih besar dari
pada laki-laki untuk terdiagnosis MS dan kebanyakan kasus MS terjadi pada
usia antara 20 sampai 50 tahun, dengan puncaknya pada usia 29 tahun.
Merupakan penyebab kecacatan yang paling sering kedua di usia muda dan
penyakit ini merupakan penyakit kronik dengan beban ekonomi yang tinggi,
dengan anggaran total pertahunnya per individu melebihi US$ 50.000, sama
dengan penyakit gagal jantung (Wajda, Sosnoff, 2015;Wingerchuk, Carter,
2014).
C. Etiologi
Penyebab MS belum diketahui. Hal ini diyakini bahwa respon imun yang
abnormal terhadap lingkungan pada orang yang sebelumnya mempunyai
bakat genetik (NICE, 2014). Akan tetapi hal ini melibatkan kombinasi antara
faktor genetic dan factor non- genetik seperti infeksi virus, factor
metabolisme atau lingkungan. Kemudian, ini akan menyebabkan gangguan
autoimun dan akan menyerang SSP secara berulang (Marvin M. 2012).

D. Patofisiologi

Awal

terjadinya

multiple

sklerosis

terjadinya

kerusakan

yang

menyebabkan peradangan di sistem saraf pusat. Masih belum diketahui


penyebab pastinya, tetapi penelitian yang lain menunjukkan adanya faktor
dari agen genetik, lingkungan dan infeksi yang mungkin mempengaruhi
perkembangan

multiple

sklerosis.

Terdapat

respon

imunologi

yang

mempengaruhi terjadinya multiple sklerosis yang dapat berupa bawaan dan


bisa dengan imun adaptif. Dimana pada respon imun bawaan terjadi
pengaktifan reseptor mikroba tertentu yaitu antigen TLRs yang diikat dengan
sitokin yang memodulasi respon imun adaptif. Pada sistem imun bawaan
memainkan peran dalam melakukan inisiasi dan mempengaruhi sel T dan sel
B dalam multiple sklerosis, misalnya ketika sel dendrit menjadi semi matang
dan menginduksi sel T untuk menghasilkan sitokin lalu menghambat IL 10
atau TGF. Sel T berdiferensiasi Th 1, Th 2, dan Th 17. Dimana ketika sel T
berdiferensiasi ke Th 1 peradangan sudah dimulai dan sudah mulai menjalar
dan reseptor Th 17 mulai memperlihatkan tanda klinis dari multiple sklerosis
baik itu yang akut ataupun kronis ( Loma, R 2011 ).
Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis, demyelinasi dan
gliokis (bekas luka). Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi
inflamatori, mediasi imune, proses demyelinasi. Yang beberapa percaya
bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara genetik mudah diterima
individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex: infeksi). T sel
ini dalan hubungannya dengan astrosit, merusak barier darah otak, karena itu
memudahkan masuknya mediator imun ( Jose Sa, M 2012 ).
Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosit (sel yang
membuat mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin. Makrofage yang
dipilih dan penyebab lain yang menghancurkan sel. Proses penyakit terdiri
dari hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosit, dan poliferasi
astrosit. Perubahan ini menghasilkan plak , atau sklerosis dengan plak yang
tersebar. Bermula pada sarung mielin pada neuron diotak dan spinal cord
yang terserang. Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat
saraf tidak dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini
klien dapat komplain (melaporkan) adanya fungsi yang merugikan (ex :
kelemahan) ( Jose Sa, M 2012 ).

Bagaimanapaun

mielin

dapat

beregenerasi

dan

hilangnya

gejala

menghasilkan pengurangan. Sebagai peningkatan penyakit, mielin secara total


robek/rusak dan akson menjadi ruwet. Mielin ditempatkan kembali oleh
jaringan pada bekas luka, dengan bentuk yang sulit, plak sklerotik, tanpa
mielin impuls saraf menjadi lambat, dan dengan adanya kehancuranpada
saraf, axone, impuls secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi
secara permanen. Pada banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan
penurunan fungsisaraf secara progresif ( Jose Sa, M 2012 ).
E. Manifestasi Klinis: (Wilson LM, Price SA, 2012)
1 Gangguan sensorik
Parestesia (baal, perasaan geli, perasaan mati, tertusuk-tusuk jarum dan
peniti) mungkin berbeda-beda tingkatannya dari hari ke hari. Jika lesi
terdapat pada kolumna posterior medulla spinalis servikalis, fleksi leher
menyebabkan sensasi seperti syok yang berjalan ke bawah medulla
2

spinalis (tanda Lhermitte)


Gangguan penglihatan
Sejumlah besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejalagejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada
kedua mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total selama
beberapa jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan visual ini
mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu, juga
ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang nukleus

atau serabut-serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus


Kelemahan spastik anggota gerak
Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak
pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota
gerak. Pasien mungkin mengeluh merasa lelah dan berat pada satu
tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang sebelah terseret
maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat mengeluh
tungkainya kadang-kadang seakanakan meloncat secara spontan
terutama apabila ia sedang berada di tempat tidur. Keadaan spatis yang
lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks tendon
mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respons

plantar berupa ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini merupakan


4

indikasi terserangnya lintasan kortikospinal


Tanda-tanda serebelum
Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus
(gerakan osilasi bola mata yang cepat dalam arah horisontal atau vertikal)
dan ataksia serebelar dimanifestasikan oleh gerakan-gerakan volunter,
intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria (bicara dengan

kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan tersendat-sendat


Disfungsi kandung kemih
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan
pengaturan sfingter sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi
yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spastis.

Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia


Gangguan suasana hati
Banyak mengalami suatu perasaan senang yang tidak realistic atau
disebu teuforia. Hal ini diduga disebabkan terserangnya substansia alba
lobus frontalis. Tanda lain gangguan serebral dapat berupa hilangnya
daya ingat dan demensia.

F. Penegakkan Diagnosis
Mielin adalah zat lemak yang melapisi akson pada SSP dan memiliki efek
isolator memungkinkan impuls listrik untuk bergerak lebih cepat. Kerusakan
myelin menyebabkan perpindahan informasi terganggu sepanjang akson. Di
MS, bercak peradangan dapat terjadi di mielin, hal ini dapat mengakibatkan
myelin itu sendiri menjadi rusak. Jika peradangan luas, dapat meninggalkan
bekas luka atau lesi. Lesi ini dapat muncul di banyak lokasi di seluruh SSP.
Demielinasi terjadi ketika mielin di sekitar akson memburuk dan hilang. Ada
juga yang menunjukkan bahwa akson itu sendiri menjadi rusak dimana
hilangnya akson merupakan penyebab gangguan. Setelah hilang, akson tidak
pernah

bisa

regenerasi

dan

ini

dianggap

untuk

memperhitungkan

ketidakmampuan progresif yang sering menjadi bagian dari kondisi tersebut.


Kerugian aksonal sekarang diyakini terjadi lebih awal pada penyakit itu. MS
dapat mempengaruhi setiap bagian dari system saraf pusat, sehingga
menimbulkan berbagai gejala fisik dan kadang-kadang gejala kognitif. Onset
MS jarang terjadi sebelum pubertas dan biasanya dalam kehidupan dewasa

awal. Insiden onset naik selama 20-an, mencapai puncaknya pada akhir20-an
dan awal 30-an. Gejala awal adalah kebanyakan umum, gangguan
penglihatan, termasuk nyeri sekitar mata, kabur atau penglihatan ganda,
masalah sensorik, kelemahan, mati rasa, gangguan keseimbangan dan
kelelahan. (Bloch et al, 2011)
Pada 85% dari orang mengalami onset gejala awal yang dikenal sebagai
sindrom klinis terisolasi (CIS). Peristiwa ini didefinisikan sebagai episode
pertama individu dari gejala neurologis yang berlangsung setidaknya 24 jam.
Kerusakan mungkin mengakibatkan gejala tunggal (misalnya optik neuritis)
atau multifocal ketika beberapa gejala mungkin dialami (misalnya masalah
ketiadaan koordinasi dan kandung kemih). Tidak semua orang yang
mengalami CIS akan menjadi MS. Namun, jika temuan MRI menunjukkan
lesi otak yang menunjukkan MS maka kemungkinan memiliki gejala lanjut
dan diagnosis pasti dari MS cukup tinggi. (Bloch et al, 2011)
Diagnosis pasti MS didasarkan pada bukti obyektif lesi, yaitu kambuh dan
remisi gejala yang mempengaruhi setidaknya dua wilayah yang terpisah dari
otak atau sumsum tulang belakang. MS bisa sulit untuk didiagnosa karena
tidak ada tes tunggal, atau fitur klinis yang eksklusif untuk kondisi, dan
penyebab lain yang mungkin harus dihilangkan. Ada kriteria yang telah
ditetapkan yang harus dipenuhi untuk secara positif mengidentifikasi MS. Ini
dikenal sebagai 'Kriteria McDonald' dan relevan dalam diagnosis MS. Revisi
kriteria ini pada tahun 2010 memungkinkan untuk diagnosis awal dari MS.
(Bloch et al, 2011). Ada tiga pemeriksaan utama, semua atau sebagian dari
yang dapat dilakukan saat MS diduga meskipun tidak ada yang 100%
meyakinkan tanpa mendukung bukti klinis dan riwayat klinis yang kuat.
Pemeriksaan itu adalah (Bloch et al, 2011) :
1 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah investigasi yang paling sensitive dengan kemampuan
untuk menyoroti area demielinisasi aktif dan non-aktif. MRI menciptakan
gambar dengan menggunakan medan magnet dan gelombang radio untuk
memantau atom hydrogen dalam tubuh. Senyawa kimia terbentuk dari
bekas luka yang disebabkan oleh MS artinya bahwa itu terlihat sebagai
bercak putih pada gambar MRI, memberikan gambaran yang sangat jelas
tentang efek MS pada otak dan sumsum tulang belakang

Tes neurofisiologis
Tes yang paling umum adalah membangkitkan potensi visual
(VEP). Tes Visual melibatkan menonton layar televisi yang mempunyai
kotak hitam dan putih. Elektroda ditempatkan di atas korteks visual dan
computer menganalisis sinyal visual diterima dari televisi. Lamanya
waktu yang dibutuhkan sinyal untuk meninggalkan televise dan
mencapai korteks visual diketahui dan dengan demikian penundaan
dalam transmisi sinyal dapat diidentifikasi. Keterlambatan tersebut

mungkin menjadi indikasi kerusakan akibat lesi MS.


Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF)
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF) yang digunakan untuk
menjadi bantuan diagnostic penting tetapi peningkatan penggunaan MRI
telah mengurangi kebutuhan untuk prosedur invasive ini. Cairan diambil
dari sumsum tulang belakang dengan cara pungsi lumbal. Sampel CSF
dianalisis dengan elektroforesis untuk tingkat protein dan jumlah
leukosit. Sekitar 80% dari penderita MS memiliki indeks IgG tinggi
indeks ataui munoglobulin oligoclonal band yang ada dalam cairan
tulang belakang tetapi tidak dalam serum, menunjukkan peradangan dan
gangguan imunologi.

G. Tatalaksana
1 Fingolimod
Terapi multiple sklerosis telah mengalami pergeseran, terapi first line
MS sebelum fingolimod diresmikan adalah IFN beta. Setelah
dibandingkan, data-data mengindikasikan bahwa pada 12 bulan, rerata
jumlah lesi T1 yang diperkuat gadolinium secara bermakna lebih rendah
pada pasien yang diterapi dengan fingolimod (0,5 mg) dibandingkan
dengan pasien yang menggunakan interferon -1a secara intramuskular,
yaitu 0,2 berbanding 0,5 (p<0,001). Efek fingolimod (0,5 mg)
dibandingkan dengan plasebo pada pemberian selama 24 bulan juga
berbeda bermakna, yaitu sebesar 0,2 berbanding 1,1 (p<0,001) (Groves
et al, 2013).
Fingolimod adalah preparat oral yang berfungsi untuk memodulasi
reseptor sphingosine 1-posphate (S1P) dan telah disetujui sebagai

pengobatan Multiple Sklerosis oleh Amerika Utara pada tahun 2010 dan
Eropa pada tahun 2011. Fingolimod ini akan terfosforilasi oleh spingosin
kinase menjadi bentuk aktifnya, yang nantinya bentuk aktifnya ini akan
berikatan dengan S1PR (reseptor S1P) (Groves et al, 2013). S1P yang
terkandung dalam fingolimod nantinya akan menempati reseptor yang
berada pada oligodendrosit, astrosit, neurin dan microglia. Namun, pada
pasien dengan MS, mereka hanya memiliki sedikit spingomyelin dimana
spingomyelin ini merupakan derivate dari spingosin endogen dan S1P
pada substansia alba. Ikatan antara S1PR yang diinduksi oleh
fingolimode dengan S1P akan menyebabkan jumlah reseptor akan
berkurang pada permukaan sel. Hal ini menyebabkan kadar limfosit
dalam serum dan CSF akan menurun dan menurunkan resiko kejadian
inflamasi yang diketahui sebagai pathogenesis utama terjadinya MS.
Fingolimod juga dapat menurunkan progresifitas terjadinya EAE atau
experimental autoimmune encephalomyelitis pada hewan coba (Fox EJ,
Rhoades R, 2012).
2

Alemtuzumab
Alemtuzumab adalah antibodi monoklonal manusia yang antagonis
terhadap CD52, sebuah glikoprotein yang ditemukan pada permukaan
limfosit dan monosit. Pada hewan coba, pemberian alemtuzumab
menurunkan limfosit darah perifer mencit, tanpa disertai kerusakan organ
limfoid. Kelebihan penggunaan obat ini dibandingkan interferon beta 1A
adalah alemtuzumab secara signifikan dapat menurunkan angka kejadian
remiten-relaps MS dibandingkan IFB B1A. Namun, alemtuzumab juga
memiliki kelemahan berupa kejadian infeksi yang lebih sering terjadi
pada penggunaan alemtuzumab dibandingkan IFNB1A (interferon beta
1A), hal lini diduga karena potensiasi alemtuzumab untuk mereduksi
jumlah limfosit lebih kuat dibandingkan IFNB1A (Fox EJ, Rhoades R,

2012).
BG 12 (dimethyl fumarate)
BG 12 adalah suatu

ester

asam

fumarat

dengan

imunomodulator. BG-12 terutama NF E2 related factor

fungsi
2 yang

dihasilkannya dapat menurunkan jumlah leukosit yang melewati sawar


darah otak dan bersifat neuroprotektif dengan mengandalkan mekanisme
antioksidan. Monomotil fumarat, suatu senyawa aktif BG-12 diteliti
dapat memproteksi neuron dan astrosit dari proses kematian sel yang
4

diinduksi oleh hydrogen peroksida (Groves et al, 2013).


Terifluonamid
Terifluonamid adalah dihidroorat dehidrogenase inhibitor, sebuah
protein esensial yang berasal dari membrane mitokrondria yang berfungsi
memblok sistesis pirimidin agar tidak terbentuk sel T dan sel B yang
autoreaktif. Dosis pemberian obat yang sudah dicoba ke manusia adalah
7-14 mg/hari, dengan efikasi dalam menurunkan jumkah T2 pada dosis 7
mg sebesar 39,4 % dan dosis 14 mg sebesar 67,4 % (Groves et al, 2013).

H. Prognosis dan Komplikasi


1 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien MS antara lain
(Ajami, 2014):
a) Depresi
b) Kesulitan dalam menelan
c) Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
d) Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
e) Membutuhkan kateter
f) Osteoporosis
g) Infeksi saluran kemih
2

Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan
memiliki cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah
onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis
ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi
meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang
terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci

dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat kerusakan


kognitif (Schreiber, 2015).
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk
pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih
tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga
merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan (Dong,
2014; Ajami 2014).
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan
MS, dan tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan.
Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%),
seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan
dengan MS. Marburg varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis
fulminan penyakit yang dapat menyebabkan koma atau kematian
dalam beberapa hari (Ajami, 2014).

BAB III
PENUTUP
Multiple sklerosis adalah penyakit yang menyerang lapisan myelin
aksonal yang diakibatkan oleh multifaktorial, meliputi infeksi, genetic, maupun
idiopatik. Penyakit ini menyerang usia produktif 20-50 tahun, dengan prognosis
dubia et malam jika tidak diobati secara langsung, yang akan berakibat pada
kecacatan pada 30% kasus. Terapi Multiple Sklerosis pun telah mengalami
perkembangan dari awalnya memakai IFN beta menjadi fingolimod yang
efikasinya lebih tinggi dan lebih efektif. Kompliaksi tersering dari penyakit ini
adalah depresi, maka dari itu, selain pengobatak farmakologi, juga penting
dilakukan penerapan terapi non farmakologi seperti dukungan keluarga yang
dapat menimbulkan kondisi yang kondusif bagi penyembuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Ajami, S., Ahmadi, G., & Etemadifar, M. (2014). The role of information system
in multiple sclerosis management. Journal of Research in Medical
Sciences: The Official Journal of Isfahan University of Medical Sciences ,
19(12), 11751184
Bloch S, et al. 2011. Multiple Sclerosis Information for Health and Social Care
Professionals.

http://www.mstrust.org.uk/downloads/ms-info-health-

professionals.pdf.
Dong, G., Zhang, N., Wu, Z., Liu, Y., & Wang, L. (2015). Multiple Sclerosis
Increases Fracture Risk: A Meta-Analysis. BioMed Research International,
2015, 650138. doi:10.1155/2015/650138
Fox J.R., Rhoades R.W.2012. New Treatments and Treatment Goals for Patients
with Relapsing-Remitting Multiple Sclerosis. Journal of Current Opinion
Neurology.

Accessed

at

April,

8ty

2015.

Available

on

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22398660
Groves, A., Kihara, Y., Chun, Y.2013. Fingolimod: Direct CNS effects of
sphingosine 1-phosphate (S1P) receptor modulation and implications in
multiple sclerosis therapy. Journal of Neurological Sciences 328: 918. at

April, 8ty 2015. Available on http://www.ebi.ac.uk/chebi/searchId.do?


chebiId=CHEBI:63115Upasana Ranga & Senthil Kumar Aiyappan. 2014.
Brown-Squard syndrome. http://www.ijmr.org.in
Marvin

M.
Goldenberg,
2012.
Multiple
Sclerosis
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3351877/

Review.

Maria Jos S. 2012. Physiopathology of symptoms and signs in multiple


sclerosis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22990733
NICE. 2014. Multiple sclerosis management of multiple sclerosis in primary and
secondary
care.
http://www.nice.org.uk/guidance/cg186/resources/guidance-multiplesclerosis-pdf
Ropper AH, Samuels MA, 2009, Adams and Victors Principles of Neurology.
New York: McGraw-Hill
Schreiber, H., Lang, M., Kiltz, K., & Lang, C. (2015). Is Personality Profile a
Relevant Determinant of Fatigue in Multiple Sclerosis? Frontiers in
Neurology, 6, 2. doi:10.3389/fneur.2015.00002
Wajda DA, Sosnoff JJ, 2015. Cognitive-Motor Interference in Multiple Sclerosis:
A Systematic Review of Evidance, Correlates, and Consequences.
Hindawi Publishing Corporation BioMEd REsearch International. 2015 :
1-8
Wilson LM, Price SA, 2012. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-proses Penyakied
6, Jakarta : EGC
Wingerchuk DM, Carter JL, 2014. Multiple Sclerosis : Current and Emerging
Disease-Modifying Therapies and Treatment Strategies. Mayo Clin Proc.
2014 : 225-240

You might also like