You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN

Restless leg syndrome (RLS) merupakan gangguan yang berhubungan dengan sensasi
dan gerakan, biasanya berupa gejala tungkai atau kaki yang kejut kejut sewaktu tidur.
Biasanya penderita RLS sering menggerakkan tungkai dan jari atau bangkit dari
tempat tidur untuk menghilangkan gejala, tidak jarang pula mengganggu pasangan tidur
karena gerakan tungkainya yang periodik. RLS lebih merupakan suatu sindrom dibanding
suatu penyakit. RLS merupakan kumpulan gejala yang etiologinya berlainan dan diduga
memiliki satu atau dua penyebab utama dengan kontribusi satu sama lain.
Sensasi abnormal mengganggu yang dapat timbul atau biasa disebut disestesia pada
RLS meliputi worm under the skin (cacing dibawah kulit), creepy craws feelings (rasa
menggelikan yang menjalar), worm crawling in the veins (cacing yang menjalar dalam vena),
flowing water (seperti aliran air), pulling sensation (seperti ditarik tarik), atau aliran listrik
dalam tungkai dan sensasi abnormal lainnya. RLS biasanya dimulai dari tungkai, tapi dapat
juga pada tangan atau otot badan lain tergantung progresivitasnya.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Restless leg syndrome (RLS) adalah suatu fenomena sensorik dengan gerakan yang
khas, biasanya ditandai dengan dorongan yang tidak tertahankan untuk menggerakkan
tungkai, berhubungan dengan sensasi tungkai yang tidak menyenangkan dan bertambah
berat selama aktivitas ringan.
Penderita RLS merasakan sensasi tidak enak pada bagian tubuh ketika tidur dan
kebanyakan memiliki dorongan kuat untuk menggerakkan tubuh tersebut. Kadang
kadang gerakan tersebut membuat penderita merasa lebih baik walaupun tidak jarang
membuat penderita sulit memperoleh tidur yang cukup. Rasa tidak enak yang timbul
biasanya muncul pada kaki, tetapi dapat timbul pula di lengan, badan, atau pada bagian
tubuh yang diamputasi.
B. Epidemiologi
RLS terjadi pada 10% populasi umum dengan jumlah wanita dua kali lebih banyak
dibanding pria. Di Amerika Utara dan Eropa Barat, RLS lebih sering terjadi pada wanita
dan mereka yang memang memiliki riwayat keluarga dengan sindrom serupa. Anak anak
dengan attention deficit/hyperactive disorders (ADHD) lebih beresiko terkena sindrom
ini. Beberapa keadaan seperti kehamilan, gagal ginjal, dan defisiensi besi dapat
meningkatkan angka kejadian dan merupakan etiologi sekunder yang penting.

C. Klasifikasi
RLS dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab dan cara pengobatan
1. Berdasarkan Penyebab
a. RLS Primer
Merupakan RLS yang timbul pada usia muda <45 tahun dan berkaitan dengan
faktor genetik
b. RLS Sekunder
Gejala yang timbul akibat penyakt lain misalnya defisiensi besi, kehamilan,
gagal ginjal, penggunaan obat obatan tertentu, dan lain lain.
2. Berdasarkan Cara Pengobatan
a. RLS Intermiten

Gejala yang timbul tidak cukup sering untuk keperluan pengobatan harian
b. RLS Harian
RLS yang terjadi sedang sampai berat dan memerlukan pengobatan harian karena
memiliki dampak negatif dalam kehidupan sehari hari
c. RLS Refrakter
RLS harian yang tidak berhasil diobati dengan 2 golongan obat dopaminergik dan
non dopaminergik meskipun sudah diberikan dosis dan lam pengobatan yang
adekuat.
D. Patomekanisme
Patofisiologi yang pasti belum diketahui. Tetapi disfungsi dopamin diduga memiliki
peranan penting dalam terjadinya RLS. Disfungsi neuron dopaminergik dari regio
gipotamalus ke substansia grisea intermediolateral dan dorsal memodulasi eksitabilitas
sirkuit sensori motor. Kemudian diproyeksikan ke sistem limbik, korteks sensorik, dan
medula spinalis. Pola sirkadian dari gejala gejala yang ditemukan pada RLS berhubungan
dengan pusat kontrol sirkadian dalam hipotalamus.
Defisiensi zat besi diduga menyebabkan RLS primer. Zat besi memiliki peranan
penting dibuktikan dengan ditemukannya kadar zat besi yang lebih rendah pada batang
otak pasien RLS dibandingkan mereka yang normal.
Kidney failure related RLS dengan abnormalitas sensorimotor sukar dibedakan
dengan gagal ginjal pada umumnya. Dialisis tidak memperbaiki kidney failure related RLS
tetapi transplantasi ginjal menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan.
Kondisi kehamilan juga meningkatkan resiko perkembangan dan eksaserbasi RLS.
Gejala yang muncul semakin berat saat kehamilan trimester ketiga, tetapi kembali normal
setelah melahirkan. Faktor resiko lain pada RLS sekunder meliputi penambahan usia,
riwayat keluarga dengan RLS, artritis rheumatoid ataupun penggunaan obat obatan
tertentu seperti nikotin, anti depresan trisiklik atau selective reuptake inhibitor serta
antagonis dopamin seperti metoklorpamid.

E. Gambaran Klinis
RLS merupakan gangguan sensori motor dengan ciri khas sebagai berikut :
1. Dorongan yang tidak tertahankan untuk menggerakkan tungkai akibat disestesia yang
bertambah berat selama kurang aktivitas seperti tidur atau berbaring.
2. Gerakan tungkai terjadi dilakukan untuk menghilangkan disestesia yang dialami,
penderita harus sadar dan dalam keadaan terjaga, namun terganggu oleh gejala RLS.
3. Penderita sering menggerakkan atau melontarkan tungkai dan bangkit dari tempat
tidur saat gejala muncul sehingga mengganggu pasangannya.
4. Gejala yang timbul makin berat saat sore dan malam hari terutama bila stirahat
berbaring.
5. RLS menimbulkan gangguan terhadap kualitas hidup meliputi 30 menit to get to
sleep, terjaga 3 kali atau lebih setiap malamnya, gangguan energi karena gejala yang
timbul, sukar duduk atau rileks, serta gangguan untuk dapat berkonsentrasi.
6. Pasangan tidur sering mendapat tendangan kaki sehingga tidurnya ikut terganggu
ataupun merusak barang barang yang ada disekitarnya.
7. Depresi dapat terjadi dihubungkan dengan sifatnya yang kronik dan tidak berkurang
atau hilang dengan tidur.
8. Penderita RLS cenderung mengalami penurunan libido, tetapi hubungannya masih
tidak jelas, apakah masalah gejala RLS yang berlangsung kronik atau mungkin karena
depresi.
9. Masalah sosial sering timbul berhubungan dengan pekerjaan atau perjanjian lain di
sore hari. Penderita RLS sangat terganggu karena disestesia dan ketidakmampuannya
untuk duduk selama pekerjaan.
10. Gangguan tidur yang muncul pada RLS pada akhirnya dapat menimbulkan
peningkatan tekanan darah dan penyakit jantung. Gangguan tidur sendiri mempunyai
efek samping pada sistem hormonal sehingga terjadi proses patologis pada pembuluh
darah dan jantung. Penderita RLS berat mengeluhkan nyeri kepala, gangguan memori,
dan kesultan berkonsentrasi.

F. Diagnosis
Kriteria klinik utama untuk diagnosis RLS meliputi :
1. Dorongan

untuk

menggerakkan

tungkai,

disertai

atau

disebabkan

adanya

ketidaknyamanan/tidak menyenangkan pada tungkai yang dapat disertai gejala serupa


pada lengan atau bagian lainnya.
2. Dorongan untuk menggerakkan atau sensasi tidak menyenangkan, yang dimulai atau
memburuk selama istirahat atau tidak beraktivitas seperti berbaring atau duduk.
3. Dorongan untuk menggerakkan atau sensasi tidak menyenangkan tersebut hilang
sebagian atau seluruhnya saat bergerak, berjalan, mergegangkan atau setidaknya
selama aktivitas tersebut berlangsung.
4. Dorongan untuk menggerakkan atau sensasi tidka menyenangkan memburuk saat
sore atau malam hari
Selain itu, kriteria pendukung untuk diagnosis RLS meliputi :
1. Riwayat RLS pada keluarga meningkatkan angka kejadian sekitar 3-6 kali lebih
banyak.
2. Respon terhadap terapi dopamine. Pasien dengan RLS memberikan respon yang baik
terhadap pemberian dopamin pada dosis yang lebih rendah dibandingkan dosis yang
diberikan pada penyakit Parkinson.
3. Periodic limb movement (PLM) saat tidur atau saat terjaga terjadi pada 85% penderita
RLS. PLM biasanya terjadi akibat penyakitlain terutama pada lansia dan jarang pada
anak anak.

G. Diagnosis Banding
1. Gerakan anggota badan berulang pada orang normal.
2. Kramp atau spasme otot tungkai. Kramp mirip dengan RLS terutama karena timbul
malam hari, disertai dengan rasa nyeri dan berlangsung 5-30 menit, hilang dengan

perubahan posisi.
3. Keluhan keluhan posisi tungkai yang abnormal yang dapat terjadi saat tidur.
4. Neuropati perifer, disebabkan kerusakan saraf pada lengan atau tungkai. Dapat terjadi
karena trauma saraf, tumor, toksin, penyakit autoimun, defisiensi nutrisi, alcoholism,
gangguan vaskuler dan metabolik seperti diabetes mellitus. Tetapi keluhan ini tidak
memburuk di sore atau malam hari seperti RLS.
5. Sindroma kaki terbakar. Terdapat sensasi rasa terbakar, rasa nyeri pada kaki dan
tungkai, tetapi tidak disertai dengan dorongan untuk menggerakkan.
6. Penyakit vaskuler perifer. Disebabkan sumbatan arteri anggota badan. Awalnya hanya
nyeri tungkai ketika berjalan dan tidak ada hubungan dengan dorongan untuk
menggerakkan tungkai.
7. Fibromialgia dan sindrom keletihan kronik. Keduanya bisa terjadi bersamaan. Nyeri
otot lebih luas dan tidak berhubungan dengan dorongan untuk menggerakkan.
Keduanya sering terjadi pada gangguan tidur (sleep deprivation). Kedua gejala
membaik dengan obat obatan yang menyembuhkan RLS.
8. Artropathy. Kelainan ini biasanya tidak menyebar ke tungkai dan bertambah berat saat
aktivitas.
9. Akathsia. Dorongan untuk menggerakkan seperti menggoyangkan tungkai saat berdiri
atau duduk terjadi sepanjang hari, terutama disaat duduk bukan berbaring.
10. Sindrom gerak ibu jari dan tungkai, berupa gerakan ibu jari yang involunter, irreguler,
dan menetap.

H. Penatalaksanaan
Pengobatan RLS bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul. Penyembuhan
hanya mungkin terjadi pada RLS sekunder terutama jika faktor penyebabnya dapat

ditemukan dan diatasi. Pengobatan hanya diberikan jika diperlukan terutama pad RLS
intermiten.
Pada RLS sekunder, gejala akan mengalami perbaikan ketika penyakit dasarnya
diobati contohnya pada hal berikut :
a. Kelainan defisiensi zat besi (dengan atau tanpa anemia), gejala RLS akan
menghilang dengan pemberian zat besi meskipun tidak bermanfaat pada keadaan
feritin >50 nm per ml.
b. Pada kehamilan khususnya trimester pertama, gejala RLS pada umumnya
mengalami perbaikan sete;ah melahirkan.
c. Pada penyakit ginjal kronik, gejala RLS akan mengalami perbaikan setelah
dilakukan transplantasi ginjal.
Non Farmakoterapi
Beberapa pendekatan non farmakoterapi yang dapat digunakan untuk mengurangi
gejala RLS antara lain :
a. Aktivitas mental. RLS terjadi saat istirahat dan penurunan kesiagaan. Aktivitas
mental yang memerlukan kesiagaan dapat memperbaiki gejala RLS; contohnya
mengisi teka teki silang, bermain kartu, bermain video game, serta membaca buku
yang bermanfaat.
b. Aktivitas fisik. Aktivitas fisik dapat menghilangkan gejala RLS. Latihan pergangan
seperti yoga dapat menghilangkan gejala RLS. RLS ringan sampai sedang dapat
dilakukan latihan seperti berdiri pada jari jari kaki atau meregangkan lutut setengah
bungkuk sampai letih. Pada RLS berat, berjalan dapat menghlangkan sebagian
gejala.
c. Aktivitas kontrastimulasi. Aktivitas ini berupa sensasi nyeri atau sensasi tidak
menyenangkan. Pemijatan bagian badan, penekanan telapak tangan dan lengan dapat
menghilangkan gejala RLS sementara. Mandi dengan air dingin atau panas atau
berganti ganti dapat pula menghilangkan gejala RLS.

d. Aktivitas seks dan orgasme. Sebenarnya tidak jelas apakah aktivitas fisik atau
stimulasi seksual yang menyebabkan hilangnya gejala. Tetapi beberapa orang
melaporkan bahwa gejala RLS cepat muncul kembali setelah aktivitas seksual
berakhir ataupun setelah orgasme.
e. Penghentian kebiasaan merokok, konsumsi kopi, serta alkohol. Merokok
memperburuk gejala RLS. Menghentikan konsumsi kopi pun dapat memperbaiki
gejala RLS secara signifikan. Konsumsi alkohol dapat mengganggu tidur mskipun
pada dosis rendah yang pada akhirnya meningkatkan fragmentasi tidur dan jumlah
bangun dibanding mereka yang tidak mengkonsumsi alkohol.
f. Menghindari penggunaan obat yang dapat memicu gejala RLS seperti antihistamin,
antinausea dan antiemetik, antidepresan, serta obat obatan narkoleptik psikotik yang
akan memperburuk gejala RLS.
g. Sleep hygiene. Istirahat malam diupayakan menjadi senyaman mungkin, antara lain
dengan durasi tidur yang cukup; tidur dan bangun teratur sesuai irama sirkardian;
jadwal tidur yang tetap; mencegah minum kopi di sore hari, suara keras, konsumsi
alkohol dan rokok; makan makanan sehat sebelum tidur; serta mencegah timbulnya
gangguan psikis seperti frustasi, marah, serta ansietas.

Farmakoterapi
RLS diberikan pengobatan hanya jika klinisnya bermakna yaitu gejala
mengganggu kualitas hidup pasien, fungsional harian, fungsional harian ataupun tidur.
Pengobatan RLS dibagi menjadi 3 kelompok pengobatan yang berbeda yaitu
intermiten, harian, dan refrakter.
1. RLS Intermiten
Pendekatan non farmakologi meliputi :
a. Periksa kadar feritin serum darah; jika kadar feritin serumnya rendah maka
diberikan penambahan zat besi.

b. Melakukan aktivitas yang menyiagakan mental untuk mengurangi gejala saat


terjadi kebosanan seperti bermain video game, mengisi teka teki silang.
c. Menghentikan konsumsi alkohol serta kebiasaan merokok.
d. Mengentikan konsumsi obat yang dapat memicu gejala seperti antidepresan,
neuroleptik, antiemetik metoklopramid, atau antihistamin sedatif.
Obat obatan yang dapat diberikan jika diperlukan meliputi :
a. Levodopa/carbidopa atau benserazide (100 mg/25 mg)
b. Agonis dopamine : pramipexole (0.125-1.5 mg/hari), ropinirole (0.25-6 mg/hari)
c. Opioid ringan : tramadol (100-400 mg/hari), hydrocodone (5-20 mg/hari),
oxycodone (5-20 mg/hari)
d. Benzodiazepin atau agonis benzodiazepine : clonazepam (0.5-4 mg/hr),
temazepam, triazolam, zolpidem atau zaleplon.
2.RLS Harian
Pendekatan terapi non farmakologi RLS harian sama seperti pada RLS
intermiten. Pendekatan terapi farmakologi untuk RLS harian meliputi :
a. Agonis dopamine : pramipexole atau ropinirole.
b. Antikonvulsan : gabapentin
c. Opioid ringan : tramadol, hydrocodone, oxycodone
3.RLS Refrakter
RLS refrakter adalah RLS harian yang diobati dengan agonis dopamin serta satu
atau lebih hal dibawah ini :
a. Respon awaltidak adekuat meskipun dosis obat telah maksimal
b. Respon menjadi tidak adekuat dengan perkembangan waktu meskipun dosis
sudah meningkat.
c. Timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi.

d. Augmentation yang tidak dapat dikendalikan dengan penambahan dosis obat


sebelumnya.
Pendekatan terapi farmakologi yang dapat diterapkan :
a. Mengganti dengan obat gabapentin
b. Mengganti dengan agonis dopamin yang lain
c. Menambahkan obat kedua (obat yang bukan dari agonis dopamin, seperti
gabapentin, opioid, atau benzodiazepin).
d. Mengganti dengan opioid kuat pada ksus yang berat dan resisten (methadone 5-40
mg/hari).

Rekomendasi terapi farmakologi pada RLS menurut AAN (American Academy of


Neurology) tahun 2012 :
1. Agonis dopamin : pramipexole dan ropinirole efektif untuk terapi RLS sedang-berat.
Pergolide eketif untuk mengobati RLS tetapi di Amerika Serikat telah ditarik dari
peredaran karena beresiko vaskulopati pada jantung.
2. Levodopa efektif untuk terapi RLS tetapi memiliki resiko augmentation.
3. Opioid efektif untuk terapi RLS khususnya untuk pasien RLS yang tidak mebaik
dengan terapi lain.
4. Antikonvulsan : Gabapentin enacarbile efektif untuk RLS ringan-sedang serta
sedang-berat, pregabalin efektif untuk terapi RLS sedang-berat.

I. Prognosis
Perkembangan RLS dapat ditinjau dari 3 dimensi meliputi bagaimana gejala dialami,
berapa kali frekuensi gejala terjadi serta bagaimana intensitas gejala yang dirasakan.
Keterbatasan sosial merupakan gejala yang paling mengganggu selain adanya gangguan
tidur dan segala dampaknya.

RLS biasanya dialami seumur hidup terutama RLS primer sebelum umur 45 tahun.
Gejala RLS dapat semakin memberat dengan bertambahnya usia. RLS primer
berlangsung lebih lama dibanding RLS sekunder. Obat yang tersedia kini dapat
mengendalikan gejala RLS meskipun belum dapatmenyembuhkan secara total.

III.

KESIMPULAN

1. Restless leg syndrome (RLS) adalah suatu fenomena sensorik dengan gerakan yang
khas, biasanya ditandai dengan dorongan yang tidak tertahankan untuk
menggerakkan

tungkai,

berhubungan

dengan

sensasi tungkai

yang

tidak

menyenangkan dan bertambah berat selama aktivitas ringan.


2. Pengobatan RLS bertujuan untuk mengurangi gejala yang timbul. Penyembuhan
hanya mungkin terjadi pada RLS sekunder terutama jika faktor penyebabnya dapat
ditemukan dan diatasi. Pengobatan RLS dibagi menjadi 3 kelompok pengobatan
yang berbeda yaitu intermiten, harian, dan refrakter.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allen RP, Montplaisir J, Ulfber J. Restless Legs (New Insight), Rafael bokforlag,
Boeringer Ingelheim GmbH, Rocheter USA, 2003; 03-10: 1-93.
2. Bochfahrer MJ, Hening WA, Kushide CA, Restless Leg Syndrome Copy With Your
Sleepless Night. American Academy of Neurology 2007.
3. Marconi M, Ferini SL. Review Pharmacological of Restless Legs Syndrome. Clinical
Medicine : Therapeutic 2009; 1 : 1179-1188.
4. Natarajan R. Review of Periodic Limb Movement and Restless Leg Syndrome. J. Of
Post Graduate Medicine 2010; 56 (2) : 157-162.
5. Trenkwalder C, Hogl B, Winkelmann J. Recent Advances in the Diagnosis Genetic
and Treatment of Restless Legs Syndrome. J. Neuronal 2009; 256 : 539-553.
6. Aurora RN, Kristo DA, Bista SR, et al. The Treatment of Restless Legs Syndrome and
Periodic Limb Movement Disorder in Adults. An update for 2012 : Practice
Parameters with an evidence based systematic review and meta-analyses. Sleep 2012;

35 (8) : 1039-1062.
7. Silber MH, Ehrenberg BL, Allen RP, et al. An Algorithm for the Management of
Restless Legs Syndrome. Mayo Clin Proc 2004; 79 (7) : 916-992.
8. Garcia-borreguero G, Stillman P, Bones H, et al. Algorithms for the Diagnosis and
Treatment of Restless Legs Syndrome in Primary Care. BMC Neurology 2011, 11:28.

You might also like