Professional Documents
Culture Documents
Sindrom Nefrotik
Disusun oleh:
Nanda Cendikia
112014228
Pembimbing:
Dr. Mustari M, Sp. A
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif, terutama
albuminuria (>1 g/m2/24 jam), hipoalbuminemia (albumin serum <2,5 g/dL), edema, dan
hiperkolesterolemia (>250 mg/dL). Kadang-kadng gejala disertai dengan hematuria,
hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Angka kejadian bervariasi antara 2-7 per 100.000
anak, dan lebih banyak pada anak lelaki daripada perempuan dengan perbandingan 2:1. 1,2
Sindrom nefrotik dapat dibedakan menjadi sindrom nefrotik kongenital, sindrom
nefrotik primer, dan sindrom nefrotik sekunder. Pada umumnya sebagian sebagian besar (
80%) sindrom nefrotik primer member respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan
steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak member
respons lagi dengan pengonatan steroid.1
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif ..
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan,
penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit herediterfamilial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas
massif.3,4 Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak
(< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur ratarata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur
rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.
sindrom
nefrotik
sebagian
besar
diperantarai
oleh
beberapa
bentuk
Infeksi
i.
ii.
ii.
2)
Tuberkulosis, lepra
Keganasan
Adenokarsinoma paru, kanker payudara, kolon, bronkus, limfoma hodgkin, myeloma
multiple, dan karsinoma ginjal
3)
4)
5)
Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab yang paling sering. Perlu
diingat bahwa penyakit-penyakit yang termasuk golongan nefrosis, yaitu penyakit yang
terutama mengenai tubulus, tidak ada yang menyebabkan SN.5
Lebih dari 1400 kasus, beberapa jenis glomerulonefritis primer merupakan penyebab dari
78% sindrom nefrotik pada orang dewasa dan 93% pada anak-anak.5
III.Epidemiologi
Insiden Sn primer pada anak sekitar 2-7 per 100.000 anak, dan lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki (perbandingan 2:1). Sindrom nefrotik primer paling sering
terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian SN primer seing dikaitkan dengan tipe genetic HLA
tertentu (HLA-DR, HLA-B8, dan HLA-B12). Usia, ras, dan geografis juga turut
mempengaruhi insiden SN.2
IV.Patofisiologi
Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel endotel yang mengandung banyak lubang yang
disebut fenestra. Membran basalis membentuk satu lapisan yang berkesinambungan antara
sel endotel dan sel epitel di bagian luar. Membran basalis terdiri dari tiga lapisan yaitu lamina
rara interna, lamina densa, dan lamina rara eksterna. Sel epitel viseralis kapsula Bowman
menutupi kapiler dan membentuk tonjolan sitoplasma yang disebut foot process yang
berhubungan dengan lamina rara eksterna. Di antara tonjolan tersebut terdapat celah filtrasi
yang disebut slit pore dan ditutupi oleh suatu membran yaitu slit diafragma.4 Pada
glomerulus, sawar filtrasi glomerulus terdiri dari fenestra endotelium, membran basalis
glomerulus, dan sel epitel viseralis. Membran basalis glomerulus merupakan jaringan yang
terdiri dari kolagen tipe IV, laminin, nidogen, dan proteoglikan. Membran basalis ini
berfungsi sebagai sawar size- and charge selective (sawar muatan dan ukuran).4 Slit
6
diafragma yang terdapat di antara foot process epitel turut berperan dalam sawar sizeselective. Molekul utama yang menentukan anionic site yang merupakan size- and charge
selective pada glomerulus adalah proteoglikan heparan sulfat membran basalis terutama
lamina rara eksterna, serta sialoglikolipid dan sialoglikoprotein pada sel endotel dan
permukaan sel podosit epitel viseralis. Selain heparan sulfat, terdapat juga kelompok anionik
lain seperti residu karboksil yang merupakan glikoprotein membran basalis glomerulus, dan
glikoprotein kondroitin sulfat. Patogenesis sindrom nefrotik pada anak terjadi berdasarkan
mekanisme imunologis berupa abnormalitas sintesis globulin dan respons mitogen limfosit. 4
Adanya defek pada fungsi sel T atau produknya akan menyebabkan disfungsi
glomerulus terhadap protein serum. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan pengeluaran
heparan sulfat dan kondroitin sulfat urin. Pengeluaran proteoglikan heparan sulfat dalam urin
ini akan menyebabkan penurunan muatan anionik dan hilangnya sawar elektrostatik yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran basalis glomerulus dan menimbulkan
proteinuria.4
Proteinuria akan menyebabkan hipoalbuminemia dan selanjutnya terjadi edema,
hiperkolesterolemia, dan manifestasi lain sindrom nefrotik. Vermylen melaporkan penurunan
heparan sulfat pada membran basalis glomerulus sindrom nefrotik jenis sklerosis mesangial
difus dan peningkatan ekskresi heparan sulfat dalam urin pasien SN lebih berat dibandingkan
pengeluaran kondroitin sulfat. Nephrin diproduksi sel epitel dan berperan dalam
perkembangan atau terpeliharanya sawar filtrasi glomerulus. Nephrin merupakan protein
transmembran superfamili imunoglobulin yang mempunyai berat molekul 135 kD. Bagian
ekstraselular nephrin mengandung 8 domain immunoglobulin-like dan 1 domain fibronectin
tipe III like module. Bagian ini diikuti oleh 1 domain transmembran tunggal dan 1 cytosolic
C- terminal. Protein ini dapat berinteraksi dengan protein membran atau dengan komponen
membran basalis glomerulus. Kelainan pada interaksi ini dapat menyebabkan disintegrasi
sawar filtrasi.4
Proteinuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuraia glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan
peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
diekskresikan dalam urin adalah albumin. 7 Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung
dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD
7
melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu
polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal,
proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati
membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.4
Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan
katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak
memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau
menurun.3
Hiperlipidemia
Pada status nefrosis, hampir semua kada lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein
serum meningkat. Sekurang-kurangnya ada dua factor yang memberikan sebagian penjelasan:
(1) hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein; dan (2) katabolisme lemak menurun, karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma, system enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Lipiduria
Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.3
Edema
Mekanisme pembentukan edema pada nefrosis tidak dimengerti sepenuhnya.
Kemungkinannya adalah bahwa edema didahului oleh timbulnya hipoalbuminemia,akibat
kehilangan protein urin. Hipoalbuminemia meyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma,
yang memungkinkan transudasi cairan dari ruang intravascular ke ruang interstisial.
Penurunan volume intravaskuler menurunkan tekanan perfusi ginjal; mengaktifkan system
rennin-angiotensin-aldosteron, yang merangsang reabsorsi natrium di tubulus distal.
Penurunan volume intravaskuler juga merangsang pelepasan hormone antidiuretik, yang
mempertinggi reabsorsi air dalam duktus kolektivus. Karena tekanan onkotik plasma
berkurang, natrium dan air yang telah direabsorsi masuk ke ruang interstitial, memperberat
edema.
8
Hiperkoagulabilitas
Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit,
fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya
faktor zimogen (faktor IX, XI).3
Kerentanan terhadap infeksi
Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,
penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan
terhadap
infeksi
bakteri
berkapsul
seperti
Streptococcus
pneumonia,
Klebsiella,
Haemophilus.Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.7
V. Diagnosis
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai, atau
seluruh tubuh yang dapat disertai penurunan jumlah urin. Keluhan lain juga dapat ditemukan
seperti urin keruh atau jika terdapat hematuri berwarna kemerahan.1
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, ata adanya
asites dan edema skrotum/labia; terkadang ditemukan hipertensi.1
Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (2+), rasio albumin kreatinin urin >2 dan dapat
disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (<2,5 g/dL),
hiperkolesterolemia (>200 mg/dl) dan laju endap darah yang meningkat. Kadar ureum dan
kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.1
VI.Penatalaksanaan
Medika mentosa
Pengobatan dengan prednisone diberikan dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2
mg/kgBB/hr (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi tiga, selama 4 minggu, dilanjutkan
9
dengan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hr) dosis tunggal pagi selang sehari
(dosis alternating) selama 4-8 minggu.1
Bila terjadi relaps, maka diberikan prednisone 60 mg/m 2/hari sampai terjadi remisi
(maksimal 4 minggu), dilanjutkan 2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari) secara alternating selama 4
minggu. Pada sindrom nefrotik resisten steroid atau toksik steroid, diberikan obat
imunosupresan lain seperti siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis
tunggal di bawah pengawasan dokter nefrologi anak. Dosis dihitung berdasarkan berat badan
tanpa edema. (persentil ke-50 berat badan menurut tinggi badan).1
Suportif
Bila ada edema anasarka diperlukan tirah baring. Selain pemberian kortikosteroid atau
imunosupresan, diperlukan pengobatan suportif lainnya, seperti pemberian diet protein
normal (1,5-2 g/kgbb/hari), diet rendah garam (1-2g/hr) dan diuretic. Diuretic furosemide 1-2
mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironoloakton (antagonis aldosteron,
diuretic hemat kalium) 2-3 mg/kgbb/hari bila ada edema anasarka atau edema yang
mengganggu aktivitas. Jika hipertensi dapat ditambahkan obat antihipertensi. Pemberian
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan
interstitial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb dilakukan atas
indikasi seperti pada edema refrakter, syok, atau kadar albumin 1 gram/dL. Terapi
10
psikologis terhadap pasien dan orang tua diperlukan karena penyakit ini dapat berulang dan
merupakan penyakit kronik.1
-
Pemantauan terapi
Dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka lama, maka perlu
dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek samping obat. Prednison dapat
menyebabkan hipertensi atau efek samping lain dan siklofosfamid dapat menyebabkan
depresi sumsum tulang dan efek samping lain. Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan
secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan darah tepi setiap minggu.
Bila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti dengan imunosupresan lain,
hipertensi diatasi dengan obat hipertensi. Jika terjadi depresi sumsum tulang ( leukosit <
3.000/uL) maka obat dihentikan sementara dan dilanjutkan lagi jika leukosit 5.000/uL.1
VII.Komplikasi
a. Infeksi
Infeksi adalah komplikasi nefrosis utama, komplikasi ini akibat dari meningkatnya
kerentanan terhadap infeksi selama kambuh. Penjelasan yang diusulkan meliputi penurunan
kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media biakan, defisiensi protein,
penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi imunosuresif, penurunan perfusi limpa
karena hipovolemia, kehilangan factor komplemen (factor properdin B) dalam urin yang
mengopsonisasi bakteri tertentu.
Belum jelas mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infkesi yang paling sering;
sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kencing juga dapat ditemukan. Organism
penyebab peritonitis yang paling lazim adalah streptococcus pneumonia; bakteri gram-negatif
juga ditemukan. Demam dan temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi
kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan
darah dan cairan peritoneum), dan melalui terapi awal yang mencakup organism gram-positif
maupun gram-negative adalah penting untuk mencegah terjadinya penyakit yang mengancam
jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita nefrosis harus mendapat vaksin pneumokokus
polivalen.
11
IX. Kesimpulan
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis dengan gejala proteinuria massif, terutama
albuminuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia, Kadang-kadng gejala
disertai dengan hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Pemahaman patogenesis
dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN.
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit
penyebab, menghilangkan /mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta
mencegah dan mengatasi penyulit.
12
Daftar Pustaka
1. Pudjiadi AH, Hegar B, Hardyastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmmoniati ED,
penyunting. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2010.
2. Vogt BA, Avner ED. Conditions particulary associated with proteinuria. Dalam: Kliegman
RM, Stanton BM, Geme J, Schor N, Behrman RE, penyuting. Nelsons textbook of
pediatrics. Edisi ke 15. Philadelphia: Elsevier Saunders; Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012.
3. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran 2006; 150: 50-3.
4. Pardede SO. Sindrom nefrotik infantil. Cermin Dunia Kedokteran 2002; 134: 32-7.
5. Himawan S., 2000. Patologi Anatomi . Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 264-65
6. Orth S.R.& Berhard E., 1998. The Nephrotic Syndrome. NEJM. Volume 338. No.17. Hal
1202-11.
7. Djuanita E, Joseph E. Sindroma nefrotik patofisiologi dan penatalaksanaannya. Maj
Kedokt Damianus 2008; 7(3): 151-8.
8. Effendi I.& Pasaribu R., 2006.Edema Patofisiologi dan Penanganan dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcellius S.K., Siti S. (Ed).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
III. Edisi IV. Jakarta, Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal.513-15
13