You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Miastenia gravis merupakan penyakit neuromuscular yg merupakan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter & lambatnya pemulihan atau suatu
penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf ( neuromuscular junction )
berfungsi secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan otot menahun.
Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya
setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly (1895) adalah orang
yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga mengusulkan
pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang
baik untuk miastenia gravis.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi pada
berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita
lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan
pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit ini tampak pada
usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering
terjadi pada usia 42 tahun. Early-onset miastenia gravis biasanya terjadi pada wanita pada
usia 18-50 tahun dan late-onset miastenia gravis lebih sering pada laki-laki dengan usia
50 tahun ke atas.

Miastenia gravis timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau
pada paut saraf otot (neuromuscular junction). Kematian dari penyakit miastenia gravis
biasanya disebabkan oleh insufisiensi pernafasan, tetapi dpt dilakukannya perbaikan dlm
perawatan intensif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Definisi Miastenia Gravis
2. Anatomi Neuromuscular Junction
3. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction
4. Klasifikasi Miastenia Gravis
5. Etiologi Miastenia Gravis
6. Patofisiologi Miastenia Gravis
7. Gambaran Klinis Miastenia Gravis
8. Diagnosis Miastenia Gravis
9. Penatalaksanaan Miastenia Gravis
1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Memperoleh informasi ilmiah mengenai Miastenia Gravis meliputi definisi,
patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis dan penatalaksanaan.
2. Mampu melakukan diagnostik dan tindakan yang tepat pada kasus-kasus
Miastenia Gravis.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kelemahan atau
kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas dan akan pulih kekuatannya
setelah beberapa saat yaitu dari beberapa menit sampai jam. Jolly (1895) adalah orang
yang pertamakali menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga mengusulkan
2

pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang
baik untuk miastenia gravis.
2.2 Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi dan
fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat saraf secara
normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot
rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular
junction atau sambungan neuromuskular.
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat
saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan
celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction.

2.3 Fisiologi Dan Biokimia Neuromuscular Junction


Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:
3

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim

kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:


Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut
vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya.
Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan
membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000
molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan
dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang
kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah
impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase
listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf.
Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan
asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke
dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan
kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul
asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan
bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation
melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot
sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan

depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan
disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis
rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana
protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah sebagai
berikut:

Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.

Mengandung lima subunit : 2 alfa, beta, delta dan gamma.

Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang
memungkinkan aliran baik Na+ maupun K+.

Bisa berikatan dengan erat pada subunit dan dapat digunakan untuk melabel
reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas untuk memurnikannya.

Autoantibodi terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia gravis.

2.4 Klasifikasi Miastenia Gravis


Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia gravis
dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :
Golongan I : Miastenia Okular

Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular yang
menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis unilateral. Bentuk
ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten terhadap pengobatan.
Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan
Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang kemudian
menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar. Otot- otot respirasi
biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah golongan III dapat terjadi dalam dua tahun
pertama dari timbulnya penyakit miastenia gravis.
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang mempunyai
reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada dalam keadaan bahaya dan
akan berkembang menjadi krisis miastenia.
Golongan IV : Krisis miastenia
Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan otot yang
menyeluruh disertai dengan paralisis otot-otot pernafasan . Hal ini merupakan keadaan
darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada penderita golongan III yang kebal
terhadap obat-obat antikolinesterase yang pada saat yang sama menderita infeksi lain.
Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan adalah
disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan antikolinesterase yang disebut
krisis kolinergik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan
bertambah lemah pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi
krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada kebanyakan
wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat menstruasi.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :

Kelas
I

subkelas

Gejala
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta

II

adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot


IIa

okular.
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.

IIb

Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan


Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otototot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.

III

Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami


IIIa

kelemahan tingkat sedang.


Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot

IIIb

orofaringeal yang ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan

IV

dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular


IVa

mengalami kelemahan dalam berbagai derajat


Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami

IVb

kelemahan dalam derajat ringan.


Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan intubasi.


Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan
tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala
itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak
menurun.Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti
dibawah ini :
a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.
b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk
mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut menjadi
lemah. Pernapasan tidak terganggu.
c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot
okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia. Penderita
terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.
2.5 Etiologi Miastenia Gravis
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan
penyakit-penyakit lain seperti : tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan lupus
eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi merangsang
pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai kemampuan
mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia gravis disebabkan
oeh kerusakan reseptor asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun.
Pada penyakit miastenia gravis yaitu kelemahan otot yang berbahaya telah
ditemukan adanya antibodi yang menduduki reseptor acetylcholine dari motor end plate
sehingga ia tidak dapat menggalakkan serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut

dikenal sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi ayng terbukti dibuat oleh kelenjar
timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.
Pada miastena gravis ciri-ciri imunologik lebih lengkap daripada penyakit otot
lainnya. Gejala tunggal utama adalah kelemahan otot setelah mengeluarkan tenaga yang
sembuh kembali setelah istirahat. Walaupun kelumpuhan khas itu dapat timbul pada
setiap otot terutama otot-otot okuler dan saraf kranial motorik yang sering terkena juga
adalah otot wajah dan otot penelan.
Pembuktian etiologi auto-imunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa
glandula timus mempunyai hubungan yang erat. Pada 80% dari penderita mistenia gravis
didapati glandula timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan
struktur timoma dan pada penderita lainnya terdapat infiltrat limfosit pada pusat
germinativa di glandula timus seperti juga ditemukan pada penderita lupus eritematosus
sistemik,

tirotoksikosis,

miksedema,

penyakit

Addison

dan

anemia

hemolitik

eksperimental pada tikus.


Gambaran histologik otot yang terkena terdiri dari reaksi CMI. Antibodi dan
faktor rheumatoid kedua-duanya ditemukan pada maworitas penderita miastenia gravis.
Kombinasi dengan arthritis rheumatid, lupus, anemia pernisiosa, sarkoidosis, Hodgkin
dan tiroidits sering dijumpai pada beberapa penderita miastenia gravis.
2.6 Patofisiologi Miastenia Gravis
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan
otot pada saat melakukan kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal waktu untuk
kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan

kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang
dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk kegiatan fisik.
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada
serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.
Inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan
miastenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90%
pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Mekanisme pasti tentang
hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia
gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana
antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan
sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan
organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus
seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik. Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

10

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa.
Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan
terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang
reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan
sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan
yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.
2.7 Gambaran Klinis Miastenia Gravis
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal yang
ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya
terdapat gejala kelainan okular disertai dengan kelemahan otot-otot lainnya. Kira-kira
15% ditemukan kelemahan ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan okular. Yang
lainnya kira-kira 20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Anamnesis yang klasik dari penderita dengan miastenia okular adalah adanya
gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu maghrib dan menghilang pada
waktu pagiharinya. Dapat pula timbul ptosis pada otot-otot kelopak mata. Bila otot-otot
bulbar terkena, suaranya menjadi suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan
memburuk bila percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni
temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu mengunyah dan
penderita seringkali menunjang rahangnya dengan tangan sewaktu mengunyah. Keluhan
lainnya adalah disfagia dan regurgitasi makanan sewaktu makan.

11

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius sering
menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walaupun otot levator palpebra jelas
lumpuh pada miastenia gravis, otot-otot okuler adakalanya masih bisa bergerak normal,
tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okuler kedua belah sisi akan melengkapi ptosis.
Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test Wartenberg,
dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada sesuatu yang
berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik, kedua kelopak mata atas
akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit setelah menjalani test
tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan timbul dengan jelas. Mula
timbulnya dengan ptosis (90%) unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu sampai
bulan ptosisi dapat dilengkapi dengan diplopia (paralisis okuler) dan suara sengau
(paralisis palatum mole). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari
menjelang sore.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari
sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan
penglihatan (karena diplopia dan ptosis) dan kesulitan menelan/mengunyah. Penderita
berkunjung ke dokter untuk pengobatan karena diplopia yang sangat mengganggu.
Kelemahan otot non bulbar baru dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang
pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan dengan tangan,
kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atropi otot dapat
ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk lagi
Penyakit miastenia gravis biasanya mulai tampak pada umur 20-40 tahun. Gejala
utama pada penyakit ini adalah timbulnya kelemahan otot bila otot tersebut digunakan

12

terus menerus. Otot mata yang sering terkena sehingga timbul ptosis dan strabismus.
Selain itu juga dapat timbul kelemahan pada otot masseter, sehingga mulut penderita
sukar untuk menutup. Selain itu juga dapat pula timbul kelemahan faring, lidah, palatum
molle dan laring sehingga

timbulnya kesukaran untuk menelan dan kesukaran untuk

bicara..
Gejala klinis miastenia gravis antara lain :

Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala kelumpuhan nervus okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh,
namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan
ekstensi kepala.

Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular


(ptosis).

Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan


tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas.

13

Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut
penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot faring,
lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran menelan dan berbicara.
Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.
2.8 Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas normal.
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar juga sering
terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat
kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke
hidung penderita.
Selain itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam
mengunyah serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang
menyebabbkan penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang
pada miastenia gravis menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga
dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami
kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.

14

Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari
tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat
melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan
dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki. Kelemahan otot-otot pernapasan dapat
dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat
darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan.
Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi
karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot
faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat terhadap
fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan. Biasanya
kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan sering kali
mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang
diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan
medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang
ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus
pada mata yang melakukan abduksi
Prosedur diagnostik dimulai dari anamnesis yang cermat dan dilanjutkan dengan
tes klinik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot setelah aktivitas ringan
tertentu, kemudian ditegakkan dengan pemeriksaan farmakologik yaitu tes endrofonium
atau dengan tes neostigmin.
Tes klinik, didasarkan pada kelelahan otot-otot yang terkena :

15

1. Memandang objek diatas level bola mata akan timbul ptosis pada miastenia
okular.
2. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-otot bahu yang
terkena.
3. Pada kasus-kasus bulbar, penderita disuruh menghitung 1 sampai 100 maka
volume suara akan menghilang atau timbul disartria.
4. Sukar menelan bila terdapat gejala disfagia.
Tes Farmakologik
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Dengan pemberian injeksi 2 mg edrofonium, bila tidak ada efek samping dilanjutkan
dengan 8 mg yang diberikan intravena. Gejala miastenis gravis akan membaik dalam
waktu 30 detik sampai 1 menit dan efek akan hilang dalam beberapa menit.
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Dengan pemberian 1,25 mg neostigmin secara intramuskularis, dapat dikombinasi
dengan atropi 0,6 mg untuk mencegah efek samping. Gejalanya akan membaik
dalam waktu 30 detik dan akan berakhir dalam 2 atau 3 jam.
3. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet
lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
Untuk penegakan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :

16

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang jelas,
penderita menjadi anartris dan afonis.
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan mata secara terus menerus, lama
kelamaan akan timbul ptosis.
Setelah beristirahat maka suara penderita kembali normal tidak parau lagi dan mata tidak
akan tampak ptosis.

2.9 Penatalaksanaan Miastenia Gravis


Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat antikolinesterase
misalnya neostigmin dan piridostigmin.Obat-obat ini berperan menghambat kolinesterase
yang kerjanya menghancurkan asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1 tablet neostigmin
atau piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan bergantung pada reaksi
penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas muskarinik dan nikotinik.
Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik
yaitu mempengaruhi ganglion autonom dan myoneural junction.
Efek muskarinik seperti koli abdomen, diare dan hiperhidrosis dapat diatasi
dengan pemberian atropin. Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi
untuk dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek samping
selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah sakit, terutama bila timbul
gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase harus diteruskan dan prednison diberikan
serta ditingkatkan perlahan-lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100 mg perhari dan

17

diberikan selang satu hari, tergantung pada reaksi penderita. Setelah ada perbaikan, dosis
neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahan-lahan. Kombinasi baik
piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari merupakan terapi inisial pilihan
untuk penderita dengan timoma.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan terapi sebagai berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya diberikan 3x1 tab
sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab). Untuk menghindari timbulnya nyeri
perut sebaiknya diberikan pula atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila perlu diberikan
0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan sampai 1,5 mgr. Prostigmin secara
i.m).
3.

Endrophonium chloride (tensilon) 10 mgr. per amp. (i.v).

4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mgr per tab (per os).


5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mgr. per tab (per os)
Obat-obat tersebut diatas adalah obat-obat antikolinesterase (kolinesterase
inhibitor).

Pemberian obat-obat antikolinesterase memiliki efek toksis yang dapat

mencakup efek muskarinik (parasimpatikomimetik), efek nikotinik dan central nervous


system effect. Over dosis obat-obat antikolinesterase akan dapat menimbulkan krisis
kolinergik dengan gangguan pernafasan. Gangguan pernafasan yang timbul antara lain :
bronkokonstriksi, bronkhorrhea, paralisis otot-otot dada dan depresi pusat pernafasan
(sentral).
Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut
1. Plasma Exchange (PE)

18

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon


dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi
dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini
digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau
pasien yang kesulitan menjalani periode postoperative. Belum ada regimen standar untuk
terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap
kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari.
Albumin (5%) dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama
dan dapat bertahan hingga lebih dari 10 minggu. Efek samping utama dari terapi PE
adalah terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi
kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi.
Trombositopenia dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi
pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang dapat
dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-frozen plasma tidak
diperlukan
2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating
aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari
IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon
imun. Reduksi dari titer antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada
sebagian besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi.

19

Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua
terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Tetapi
berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi
PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG
sebagai terapi awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan
infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri kepala yang
hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih
lambat. Flulike symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan
malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.
Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk
pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak
dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Kortikosteroid memiliki
efek yang kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia
gravis masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi
sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell yang
teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan

20

kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien yang berespon
terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer antibodinya. Kortikosteroid
diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat mengganggu, yang tidak
dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid
adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan
dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.
2. Azathioprine
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif
terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat
dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek terhadap
penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara
oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar
25-50 mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan obat yang secara
relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping
yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon Azathioprine
sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan
dilaporkan terjadi pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan
dengan obat imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel Thelper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.
Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga

21

dosis.

Respon

terhadap

Cyclosporine

lebih

cepat

dibandingkan

azathioprine.

Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

3.2 SARAN

22

DAFTAR PUSTAKA
Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sidharta Priguna. 2008 Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta. Penerbit Dian
Rakyat.
Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press.
1991.
Sidharta Priguna dan Mardjono Mahar, 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Penerbit
Dian Rakyat.
Benny dewa. Miastenia Gravis. www.miasteniagravisneurologi.com/120708, etc oktober,
2015

23

You might also like