You are on page 1of 8

TERAPI IKTERUS

Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala


yang cukup mengganggu misalnta gatal (pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatik,
pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan ireversibel (sperti
sirosis bilier primer) biasanya responsif terhadap kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis
terbagi 2 akan mengikat garam empedu di usus.kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat,
hipoprotrombinemia biasanya membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10
mg/hari SK untuk 2-3 hari (Sulaiman, 2009).
Pemberian suplemen

kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang

irreversibel, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vit. A


dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorrhea yang berat dapat
dikurangi dengan pemberian sebgaian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride
(Sulaiman, 2009).
Sumbatan bilier ektra-hepatik biasanya membutuhkan tidakan pembedahan,
ektraksibatu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter atau striktur (sering
keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operable,
drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati
(transhepatik) atau secara endoskopi (Sulaiman, 2009).

Terapi antivirus pada kronik hepatitis B

Indikasi terapi
1. Pasien dengan ALT normal tidak perlu diterapi antivirus tapi perlu dipantau kadar
ALT setiap 3 bulan.
2. Pasien hepatitis B kronik dengan HBeAg (+) dan kadar ALT > 2xBANN pengobatan
antivirus boleh segera dimulai.
3. Pasien hepatitis B kronik dengan kadar ALT meningkat > 2 x BANN sedangkan
HBeAg (-) disertai anti HBe (+) dan kadar HBV-DNA (+) > 100.000 kopi/mL diberi
terapi antivirus (PPHI, 2006).
Pasien yang menunjukkan adanya peningkatan ALT (dari normal at< peningkatan
kadar minimal) atau ALT > 5x BANN mungkin diakibatkan karena eksaserbasi, hepatitis
berat atau dekompensasi hati. Oleh sebab itu, mereka perlu diawasi secara ketat, termasuk
pemeriksaan kadar bilirubin dan prothrombin setiap minggu atau 2 mingguan dan
pengobatan dimulai tepat waktu untuk mencegah dekompensasi. Eksaserbasi tersebut
dapat juga mempercepat serokonversi HBeAg secara spontan yang diikuti dengan remisi.
Karena itu, maka masih diperbolehkan untuk menunda pemberian terapi selama 3 bulan
(observasi) jika tidak ada kekhawatiran akan terjadinya dekompensasi hati (PPHI, 2006).
Pada pasien dengan HBV-DNA positif baik HBeAg (+) maupun HBeAg (-), dengan
kadar ALT > 5x BANN, dianjurkan menggunakan analog nukleosida. Lamivudine
digunakan terutama bila didapatkan tanda-tanda dekompensasi hati. Untuk pasien HBeAg
positif dengan kadar ALT antara 2-5x BANN pilihan antara analog nukleosida atau
interferon, sama-sama dapat digunakan. Dalam membuat pilihan antara analog nukleosida
atau interferon (PPHI, 2006).
Pemberian intreferon a-2b konvensional dan khususnya pegylated interferon a-2a
menunjukkan hasil sustained response yang lebih tinggi, namun kedua obat ini
mempunyai efek samping yang lebih banyak dan memerlukan pengawasan yang lebih
ketat dan kontra indikasi pada keadaan dekompensasi hati. Penggunaan kedua obat ini
pada penderita sirosis hati dapat memicu terjadinya dekompensasi hati. Pemberian
kortikosteroid sebelum terapi interferon secara umum tidak dianjurkan. Kalau pemberian
koritikosteroid akan dilakukan, maka harus secara hati-hati dan hanya pada pusat
kesehatan yang berpengalaman. Kombinasi atau strategi lain harus dievaluasi lebih lanjut.
Adefovir dipifoxil dapat dipilih atas dasar resistensinya yang rendah, dan bermanfaat

pada penderita yang mengalami mutan akibat pengobatan lamivudine. Entecavir


mempunyai daya supresi HBV-DNA yang sangat kuat dan belum menunjukkan adanya
tanda resistensi (dalam waktu dua tahun) terutama pada penderita naif analog nukleosida
(PPHI, 2006).
Tabel, Terapi antiviral pada hepatitis B kronik
Obat

Dosis

Dosis Anak

Pregnancy

Side effect

Monitoring

Peg-IFN-2a

dewasa
180 g per

1 tahun

catagory
C

Anorexia dan

CBC (setiap

(dewasa)

minggu

Dosis: 6 juta

penurunan

bulan sampai

IU/m2

berat badan

3 bulan)

pada anak,

TSH (setiap

fatigue,

3 bulan)

IFN--2 b
(anak)

gangguan
mood,
gangguan
Lamivudin

100 mg/hari

autoimun
Pancreatitis,

Amylase,

Dosis: 3

laktat

jika simptom

mg/kg/hari

asidosis

peningkatan

2 tahun

Dosis

asam laktat

maksimal

terlihat

100 mg
Telbivudine

600 mg/hari

Peningkatan

Creatinin

kreatinin

kinase

kinase,

Kadar asam

miopathy,

laktat

neuropati
perifer, laktat
Entecavir

0,5 1,0

2 tahun

mg/hari

Dosis: 3
mg/kg/hari
Dosis

asidosis
Laktat

Kadar asam

asidosis

laktat

maksimal
Adefovir

10 mg/hari

100 mg
12 tahun

Gagal ginjal

Kreatinin

Dosis: 10

akut, laktat

clearance

mg/hari

asidosis,
nefrogenic
diabetes
insipidus

(Terrault, 2015)
Interferon a konvensional diberikan selama 4-6 bulan, untuk pasi non responders dan
HBeAg negatif, pengobatan dapat diterusk; selama 12 bulan. Pegylated interferon a-2a,
diberikan selama 6 bulan pada pasi HbeAg positif dan 12 bulan pada pasien HBeAg negal
Dianjurkan juga untuk melakukan pengawasan selama 6-12 bulan setelah berakhirnya terapi
interferon untuk melihat adanya respon lambat atau perlunya terapi yang lain. Pada umumnya
pengobatan analog (PPHI, 2006).
Terapi Sirosis hepatis
Penatalaksanaan hipertensi portal pada sirosis hati
Pencegahar perdarahan pertama (=profilaksis primer)
1. Umum: hindari alkohol dan tidak boleh mengkonsumsi aspirin serta obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
2. Propanolol, suatu penghambat beta nonkardioselektif dapat diberikan dengan tujuan
menurunkan tekanan v. Portal melalui mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah
splanknik. Dosis propanolol sangat individual, namun target yang harus dicapai
adalah penurunan nadi 25% dari nadi awal atau mencapai sekitar 55-60x/menit
3. Nadolol atau isosorbid 5 mononitrat dapat diberikan sebagain pengganti propanolol
(bila ada kontraindikasi atau efek samping obat)
4. Skleroterapi atauligasi varises endoskopi pada beberapa kasus tertentu, teteapi secara
cost effective, ternyata propanolol lebih unggul (Setiawan et al, 2007).
Penatalaksanaan pendarahan akut varises secara garis besar penatalaksanaan terdiri dari:
1. Penatalaksanaan umum dan resusitasi
a. Penderita harus mendapatkan pertolongan untuk menstabilkan hemodinamis,
pilihan cairan resusitasi adalah cairan kristaloid.

b. Bila transfusi diperlukan, berikan jangan terlalu cepat dan cukup sampai
dengan PCV/Het sekitar 0,27-0,30
c. Hindari ensefalopati dengan cara pemberian laktulosa dan klisma tinggi
d. Pemasangannasogastric tube berguna untuk memonitor adanya perdarahan
baru atau untuk ]ersiapan endoskopi. Lakukan lavas lambung
e. Pemberian antibiotik jangka pendek (misalnya siprofloksasin) terbukti dapat
mencegah terjadinya peritonitis bakterial spontasn
f. Vitamin K diberikan bila ada gangguan faal koagulasi (Setiawan et al, 2007).
2. Usaha penghentian perdarahan varises
a. Pemberian obat-obatan vasoaktif (Misalnya vasopressin, somatostatin atau
b.
c.
d.
e.
f.

octreotide)
Pemasangan sengstaken blakemore tube (= SB-tube)
Skleroterapi endoskopi (STE)
Ligasi varises esofagus
TIPS (transjuguler intrahepatic porto systemic shunt)
Bedah darurat (Setiawan et al, 2007).

Penatalaksanaan ensefalopati hepatis akut


1. Identifikasi faktor presipitasi
2. Pertahankan keseimbangan kalori cairan dan elektrolit
3. Pengososngan usus dari bahan-bahan nitrogen dengan cara dihentikan obat-obatan
yang mengandung nitrogen, hentikan perdarahan dan lakukan klisma atau enema
tinggi
4. Diet tanpa (rendah protein, dan pemebrian protein diberikan bertahap sesuai kondisi
penderita)
5. Sterilisasi usus dengan kanamicin oral selama satu minggu
6. Stop pemberian diuretika dan evaluasi kadat elektrolit serum
7. Pemberian asam amino rantai cabang (AARC) masi memberikan hasil yang
kontroversial (Setiawan et al, 2007).
Penatalaksanaan ensefalopati hepatitis kronik
1. Diet rendah protein (40-50 g/hari), usahakan AARC
2. Hindari obat-obatan dengan mengandung nitrogen
3. Laktulosa 3 x 10-30 ml/hari, dan usahakan BAB, 2x/hari (Setiawan et al, 2007).
Terapi parasintesis abdominal ascites
1. Seleksi pasien
a. Ascites tense atau permagna
b. Didapatakan edema tungkai
c. Child B
d. Protrombine > 40 %
e. Bilirubin serum < 10 mg/dl

f. Trombosit > 40.000/mm3


g. Kreatinin serum < 3 mg/dl
2. Rutin
a. Jumlah cairan 5-10 L
b. Infus albumin 6-8 g/l cairan diambil
3. Asites refrakter
a. Parasintesid beulang
b. TIPS
c. Peritoneo-venous (Le Veen) shunt
d. Transplatasi hati (Setiawan et al, 2007).
Terapi kolelitiasis
1. Terapi non-bedah
Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif
diantaranya batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu,

fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten (Oesman, 2009).
Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan
melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun
1974 hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran
empedu. Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket
kawat atau balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju
lumen duodenum sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran
empedu sulit (batu besar, batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang
terletak di atas saluran empedu yang sempit) diperlukan beberapa prosedur
endoskopik tambahan sesudah sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan

litotripsi mekanik dan litotripsi laser (Oesman, 2009).


Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan
gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu,
analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani

terapi ini (Oesman, 2009).


2. Terapi bedah
Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut (Oesman, 2009).

Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh
sampai sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini.
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di
dinding perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila
simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau
berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan
kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7 Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung
empedu simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi
luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal (Oesman,
2009).

Daftar Pustaka

Setiawan B, et al. Sirosis hati. Dalam: Tjokroprawiro A, Penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Surabaya: Airlangga University Press; 2007. h. 129-136.
PPHI. Panduan tata laksana infeksi hepatitis B kronik. Jakarta; Konsensus Perhimpunan
Peneliti Hati Indonesia. 26 agustus 2006.
Terrault N. A, AASLD Guidelines for Treatment of Chronic Hepatitis B. American
Assosiation for the Study of Liver Disease 2015, 1(1). h. 1-19
Oesman N. Kolitis Infeksi. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting. Ilmu
penyakit dalam. Jakarta: interna publishing; 2009. h. 560-566.
Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada pasien ikterus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: interna publishing; 2009. h. 634-639.

You might also like