You are on page 1of 37

ALINEMEN HORISONTAL

Definisi : Alinemen horisontal adalah proyeksi sumbu jalan


tegak lurus bidang horisontal / bidang kertas yang
terdiri dari garis lurus dan garis lengkung.
GAYA SENTRIFUGAL
Bila suatu kendaraan berjalan melintasi suatu tikungan, maka
kendaraan ini akan didorong secara radial keluar oleh gaya
sentrifugal dan selanjutnya gaya tersebut akan diimbangi oleh berat
kendaraan yang diakibatkan oleh superelevasi dari jalan dan oleh
gesekan melintang antara ban dan perkerasan.

Gaya-gaya yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut :


G Sin

GV
Cos
gR

GV 2
gR

G Cos

Diproyeksikan
terhadap garis ini

Fs

GV 2
Sin
gR

Gambar 5.1. Gaya-gaya pada lengkung horisontal

Gaya sentrifugal :
Dimana :

F = m.a

m = masa =

(5.1)

G
g

= berat kendaraan

V2
= percepatan sentrifugal =
R
V-1

V-2

V
R

= kecepatan kendaraan
= jari-jari tikungan

Dengan demikian rumus (5.1) menjadi :


F =

GV 2
gR

(5.2)

Karena gaya-gaya dalam satu kesetimbangan , maka :


GV 2
Cos
gR

= G sin Fs

GV 2
Cos
gR

= G sin fs (G cos GV

V2
gR

= tg fs +

nilai dari :

fs

gR

V2
tg
gR

fs

Sin )

V2
tg
gR

sangat kecil sehingga bisa diabaikan

dan tg dinyatakan dengan landai melintang super elevasi


e maka :
V2
gR

= e + fs

jika kecepatan dinyatakan dalam satuan km/jam dan


g=9,81m/det2 , maka persamaan akan menjadi :
V2
127 R

= e+fs

(5.3)

jika kecepatan dinyatakan dalam satuan mile/jam dan


g=32ft/det2 , maka persamaan akan menjadi :
V2
15 R

= e+fs

Catatan : 1 mile = 1760 yard = 5.280 ft

V-3

DERAJAD LENGKUNG
Ketajaman suatu tikungan horisontal dapat dinyatakan
dengan Radius / jari-jari atau Derajad lengkung,
o Derajat lengkung besarnya berbanding terbalik dengan jari-jari
lengkung.
o Derajat lengkung maksimum atau jari-jari minimum adalah harga
batas dari ketajaman suatu tikungan untuk suatu design speed
yang ditentukan dari super elevasi maksimum dan faktor
gesekan masimum

Definisis derajad lengkung :


Besarnya sudut pusat/sudut lengkung yang terjadi dengan
busur 25 m atau 100 ft

25
2R

D
=
360
D

1.432,394
=
R

(5.4)

100 ft

25 m
R

Gambar 5.2. Korelasi antara derajad lengkung (D)


dan radius lengkung (R)

untuk satuan British :


D
=
360

100
2R

V-4

5729,578
R

(5.5)

FAKTOR GESEKAN SAMPING


Tergantung pada :
1. Kecepatan kendaraan
2.Tipe dan kondisi perkerasan jalan
3.Tipe dan Kondisi ban
Kriteria untuk menentukan koefisien gesekan melintang
maksimum : yakni saat dimana gaya sentrifugal
mengakibatkan perasaan tidak enak dan pengendara
mengambil keputusan untuk menjalankan kendaraan lebih
cepat lagi.
Gambar 5.4 adalah hasil dari beberapa percobaan yang
berbeda. Meskipun demikian hal yang sama adalah bahwa
faktor gesekan melintang untuk kecepatan tinggi harus
lebih kecil daripada untuk kecepatan lebih rendah. Garis
tebal adalah garis yang diusulkan yang sesuai pada
perencanaan kecepatan tinggi dan memberikan faktor
gesekan lebih kecil untuk perencanaan pada kecepatan
rendah dibandingkan garis lengkung yang lain.
Harga yang lebih rendah pada kecepatan yang rendah
diinginkan, karena pengendara sering melewati design
speed yang rendah.
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa koefisien
gesek melintang untuk dipergunakan dalam perencanaan
tikungan harus sesuai dengan garis hitam lurus, yang
mempunyai harga 0,16 pada 30 km/jam sampai 0,10 pada
70 km/jam.

V-5

Gambar 5.3. Koefisien gesekan melintang maks. untuk


design (berdasar TEH92 dalam satuan SI)

Gambar 5.4. Maksimum keamanan untuk faktor


gesekan samping

V-6

DERAJAD LENGKUNG MAKSIMUM


( MAXIMUM DEGREE OF CURVATUR)

Definisi : derajad lengkung maks atau jari-jari minimum


adalah suatu harga batas untuk suatu design
speed, yang ditentukan dari superelevasi maks
dan koefisien gesek maksimum.
Menggunakan jari-jari yang lebih kecil untuk design speed
akan mengakibatkan diperlukannya superelevasi yang lebih
besar dari batas yang telah ditentukan.
Jari-jari min (R

min.)

R min =

dapat dihitung dari rumus :

V2
127(e.maks fs.maks)

(5.6)

Dan untuk satuan British adalah :


R

min

V2
15(e.maks fs.maks)

(5.7)

Dengan menggunkan D sebagai derajad lengkung dimana :


D

1.432,394
R

181.913,53(e.maks fs.maks
V2

maka :

(5.8)

Untuk satuan British dengan :


D

5.729,578
R

85.900(e.maks fs.maks
V2

maka :
(5.9)

Tabel 5.1 memberikan nilai Rmin yang dapat dipergunakan


untuk superelevasi maksimum 0,08 dan 0,10 serta untuk
koefisien gesekan melintang maksimum sehubungan dengan

V-7

nilai kecepatan rencana yang terpilih menurut Bina Marga.


Bandingkan dengan Tabel 5.2 untuk menurut AASTHO.

Tabel 5.1. Besar R min dan D maks


Kec. Renc.
Km/jam

e
maks

f
maks

R min
(perhit.)
m

R min
(design)
m

D maks
(design)
m

40

0,10
0,08

0,166

47,363
51,213

47
51

30,48
28,09

50

0,10
0,08

0,160

75,858
82,192

76
82

18,85
17,47

60

0,10
0,08

0,153

112,041
121,659

112
122

12,79
11,74

70

0,10
0,08

0,147

156,522
170,343

157
170

9,12
8,43

80

0,10
0,08

0,140

209,974
229,062

210
229

6,82
6,25

90

0,10
0,08

0,128

280,350
307,371

280
307

5,12
4,67

100

0,10
0,08

0,115

366,233
403,796

3,91
3,55

110

0,10
0,08

0,103

470,497
522,058

470
522

3,05
2,74

0,10
0,08

0,090

596,768
666,975

597
667

2,40
2,15

V-8

Tabel 5.2. Besar R min dan D maks


Design Speed
mph

e
maks

f
maks

Total
(e+f)

R min
feet

30
40
50
60
65
70
75
80

0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06
0,06

0,16
0,15
0,14
0,13
0,13
0,12
0,11
0,11

0,22
0,21
0,20
0,19
0,19
0,18
0,17
0,17

273
508
833
1263
1483
1815
2206
2510

21,0
11,3
6,9
4,5
3,9
3,2
2,6
2,3

D maks
(pembulatan
)
21,0
11,5
7,0
4,5
4,0
3,0
2,5
2,5

30
40
50
60
65
70
75
80

0,08
0,08
0,08
0,08
0,08
0,08
0,08
0,08

0,16
0,15
0,14
0,13
0,13
0,12
0,11
0,11

0,24
0,23
0,22
0,21
0,21
0,20
0,19
0,19

250
464
758
1143
1341
1633
1974
2246

22,9
12,4
7,6
5,0
4,3
3,5
2,9
2,5

23,0
12,5
7,5
5,0
4,5
3,5
3,0
2,5

30
40
50
60
65
70
75
80

0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10

0,16
0,15
0,14
0,13
0,13
0,12
0,11
0,11

0,26
0,25
0,24
0,23
0,23
0,22
0,21
0,21

231
427
694
1043
1225
1485
1786
2032

24,8
13,4
8,3
5,5
4,7
3,9
3,2
2,8

25,0
13,5
8,5
5,5
4,5
4,0
3,0
3,0

30
40
50
60
65
70
75
80

0,12
0,12
0,12
0,12
0,12
0,12
0,12
0,12

0,16
0,15
0,14
0,13
0,13
0,12
0,11
0,11

0,28
0,27
0,26
0,25
0,25
0,24
0,23
0,23

214
395
641
960
1127
1361
1630
1855

26,7
14,5
8,9
6,0
5,1
4,2
3,5
3,1

26,5
14,5
9,0
6,0
5,0
4,0
3,5
3,0

maks

V-9

Gambar 5.5. Hubungan antara (e+f) dan R atau D pada


beberapa kecepatan rencana satuan metrik

Gambar 5.6. Hubungan antara (e+f) dan R atau D pada


beberapa kecepatan rencana satuan British

V-10

SUPERELEVASI MAKSIMUM
Untuk kecepatan tertentu superelevasi maksimum dan
faktor gesekan maksimum, secara bersama menentukan
besar jari-jari minimum.
Superelevasi maksimum pada jalan dipengaruhi oleh
beberapa faktor :
1. Kondisi cuaca, untuk daerah sub tropis sering dan
banyaknya salju
2. Kondisi medan, datar atau pegunungan
3. Tipe daerah, urban atau rural
4. Seringnya terdapat kendaraan yang berjalan lambat,
yang mengakibatkan operasi tidak menentu.
Superelevasi maksimum untuk jalan raya pada umumnya
(untuk daerah tidak bersalju) adalah 0,12. Penggunaan
superelevasi sampai 0,13 menguntungkan pengemudipengemudi cepat akan tetapi memberikan kesukaran dalam
pembuatan/pelaksanaan, pemeliharaan jalan, dan untuk
pengendara yang berjalan pelan. Jadi superelevasi 0,12
menunjukkan angka maksimum.
Pada daerah dimana faktor salju / es menentukan,SE
sebesar 0,08 masih dapat diterima dengan mengingat
kemungkinan slip ke arah melintang kalau kendaraan sedang
berhenti atau mau berjalan dari keadaan berhenti.
Sedangkan pada daerah dengan konsentrasi kendaraan
tinggi misalnya dekat kota, biasanya superelevasi yang
lebih kecil yang dipergunakan. Seperti halnya pada
persimpangan-persimpangan penting dimana kendaraan
biasanya berjalan pelan karena akan membelok atau
memotong, adanya tanda-tanda lalu lintas, suatu
superelevasi maksimum yang lebih kecil dipergunakan yakni
harga sebesar 0,06.

V-11

Kesimpulan : dari kejadian di atas harus ada beberapa


superelevasi maksimum , yaitu sebesar 0,06 ; 0,08 ; 0,10 ;
dan 0,12. Ini diusulkan oleh AASTHO untuk masing-masing
golongan, jari-jari minimum dan superelevasi untuk jari-jari
yang lebih besar bisa ditetapkan.
DISTRIBUSI SUPERELEVASI (e)
DAN GESEKAN MELINTANG (fs)
Untuk perencanaan tikungan perlu menentukan SE yang
dapat dipakai pada daerah (range ) lengkungan yang
dipergunakan untuk masing-masing design speed. Satu
ekstrim dari daerah ini adalah SE maks. yang ditentukan
oleh sifat-sifat praktis dan dipergunakan untuk
menentukan jari-jari minimum. SE maks. berbeda
tergantung kondisi seperti diterangkan di atas, ekstrim
yang satu lagi adalah 0 (nol) yakni tidak diperlukannya SE
pada daerah lurus. Untuk jari-jari diantara ektrim dan
untuk design
speed tertentu superelevasi sebaiknya
didistribusikan dengan logis antara
faktor gesek
melintang dan SE.
Dapat disimpulkan :
Untuk : e+fs = 0
e+fs = (e+fs)max

jalan lurus, R
jalan pada lengkung dengan
R=R min

Untuk design speed tertentu ada 5 macam metoda


mendistribusikan di daerah lengkung (range of curve)
menurut AASTHO, yang hubungan masing-masing dapat
dilihat pada Gambar 5.7.
1. SE dan gesekan melintang adalah berbanding lurus
dengan derajad lengkung, yakni suatu hubungan yang
lurus antara D=0 dan D=max
2.Gesekan melintang (fs) sedemikian rupa sehingga seluruh
gaya sentrifugal yang terjadi pada kendaraan yang

V-12

berjalan pada daerah lengkung, yakni kendaraan yang


berjalan pada kecepatan rencana, akan diimbangi olef f
sampai mencapai nilai fs maks . Pada lengkung yang lebih
tajam lagi gaya sentrifugal yang terjadi baru diimbangi
oleh f dan e secara bersama-sama, secara berangsurangsur hingga nilai e mencapai nilai emaks.
3.Superelevasi (e) sedemikian rupa sehingga seluruh gaya
sentrifugal yang terjadi pada kendaraan yang berjalan
pada daerah lengkung, yakni kendaraan yang berjalan
pada kecepatan rencana, akan diimbangi olef e sampai
mencapai nilai emaks .Pada lengkung yang lebih tajam lagi
gaya sentrifugal yang terjadi baru diimbangi oleh e dan
fs secara bersama-sama, secara berangsur-angsur hingga
nilai fs mencapai nilai fs maks.
4.Metoda 4 sama dengan metode 3, hanya saja di sini tidak
memakai kecepatan rencana melainkan kecepatan ratarata.
5. Metoda 5 merupakan metoda antara metoda 1 dan 3 ,
yakni superelevasi dan gesekan melintang adalah
merupakan garis lengkung yang tidak simetris.
Metoda 1
Superelevasi berbanding lurus dengan derajad lengkung,
jadi suatu hubungan garis lurus antara D = 0 dan D =
maksimum (Gambar 5.7.a). Karena rumus umum lengkung
horisontal adalah e+f =V 2/127R, maka hubungan antara
koefisien gesekan melintang dengan derajad lengkung akan
berbentuk garis lurus (Gambar 5.7.b).
Metoda ini sangat logis dan sederhana. Pada suatu jalan,
alinemen terdiri dari garis lurus dan lengkungan yang
berbeda ketajamannya sampai batas maksimum untuk
design speed tertentu. Penggunaan superelevasi yang
berbanding lurus dengan derajad lengkung akan
memberikan hasil faktor gesekan melintang berupa garis

V-13

lurus dari 0 (nol) pada jalan lurus sampai maksimum pada


lengkung paling tajam, untuk kendaraan yang berjalan pada
kecepatan tetap.

Gambar 5.7. Aplikasi metoda distribusi superelevasi dan


gesekan melintang menurut AASTHO, untuk
Vrencana = 60Km/jam dan emaks = 10 %)

V-14

Bentuk hubungan garis lurus juga berlaku jika peninjauan


dilakukan untuk kecepatan jalan rata-rata yang biasanya
lebih rendah daripada design speed (gambar 5.7.c).

Gambar 5.8. Metoda distribusi superelevasi dan


gesekan samping menurut AASTHO

Contoh soal :
Berapa R min atau Dmax suatu jalan dengan design speed 60
km/jam dan superelevasi maks. 10 %.
Penyelesaian :

V-15

Berdasarkan Tabel 5.1 atau Gambar 5.3 , dengan V = 60


km/jam dan e = 10 % diperoleh fs maks = 0,153.
Nilai R min diperoleh dari :
V2
127Rmin

= emaks+ fsmaks

(60) 2
127 Rmin

= 0,10 + 0,153

Rmin = 115 m (nilai pembulatan)


dan nilai Dmaks adalah :
Dmaks = 1432,39 = 12,46o
115

Dari Gambar 5.7 dapat dilihat bahwa titik :


A1 = menunjukkan kondisi untuk e maks = 0,10
Dmaks = 12,46o
A2 = menunjukkan kondisi untuk f maks = 0,153
Dmaks = 12,46o
A3 diperoleh dengan menggunakan kecepatan rata-rata
sebesar 90 % dari kecepatan rencana, yakni 54 km/jam,
sehingga dengan R min dan e=0,10 diperoleh nilai fs :
(54) 2
127 x115

= 0,10 + fs

fs = 0,10
Berarti titik A3 menunjukkan kondisi dengan :
E = e maks = 0,10
D = Dmaks = 12,46o
F = 0,10

V-16

Dengan metode pertama ini jika direncanakan suatu


lengkung horisontal dengan :
R = 250 m, maka :
D

1.432,39
250

5,73
12,46

= 5,73o

x 0,10 = 0,046

Pada kecepatan rencana :


(60) 2
127 x 250

= 0,046 + fs

fs = 0,067

Pada kecepatan rata-rata :


(54) 2
127 x 250

= 0,046 + fs

fs = 0,046

Metoda ke-2
Pada metoda kedua ini, pada mulanya seluruh gaya
sentrifugal, yang terjadi pada kendaraan yang berjalan
pada daerah lengkung, akan diimbangi oleh gaya gesekan
melintang (fs) sampai mencapai nilai maksimum (fs maks),
tanpa melibatkan superelevasi (e), sehingga pada Gambar
5.7.a terlihat nilai e=0 sampai titik B1 dan pada Gambar
5.7.b terlihat nilai fs berangsur-angsur baik sampai
mencapai maksimum di titik B1.
Jika lengkung menjadi lebih tajam lagi, gaya sentrifugal
yang terjadi semakin besar dan nilai fs sudah mencapai
maksimum, maka superelevasi baru difungsikan bersamasama dg fs, nilai e secara berangsur-angsur naik hingga
mencapai nilai emaks di titik A1(Gb. 5.7.a)
Dapat dilihat pada Gambar 5.7.b bahwa nilai fs bertambah
berangsur-angsur berbanding lurus dengan nilai D hingga
mencapai nilai maksimum (fs maks dan Dmaks), sementara nilai

V-17

e tetap nol. Setelah mencapai nilai maksimum, nilai fs maks


akan tetap dipertahankan dan nilai e bergerak naik
mengimbangi gaya centrifugal yang terjadi, pada lengkung
yang lebih tajam, hingga mencapai nilai maksimum (e maks).
Titik balik pada saat nilai D dan fs mencapai maksimum atau
saat nilai e mulai berangsur naik (Titik B1 dan B2), dapat
dihitung sebagai berikut :

V2
127 R

= e+fs

dengan nilai e = 0, maka nilai fs mencapai maks. sehingga :


V2
fs maka =
127 R
Contoh soal :
Berapa R min atau Dmax suatu jalan dengan design speed
60 km/jam dan superelevasi maksimum 10 %.
Penyelesaian :
Berdasarkan Tabel 5.1 atau Gambar 5.3 , dengan V = 60
km/jam dan emaks = 10 % diperoleh fs maks = 0,153.
Berdasar metoda kedua pertama kali nilai e = 0,
sehingga R adalah :
V2
127Rmin

= 0 + fs maks

(60) 2
127 Rmin

= 0,153

min

= 185,27 m

dan nilai D adalah :


D

1.432,39
= 7,73o
185,27

Berarti bahwa saat nilai D berada pada 0 (D=0) sampai


dengan mencapai harga 7,73o (D=7,73o) maka :

V-18

1. Nilai fs bergerak dari angka 0 (nol) sampai dengan


mencapai nilai fs maks
2. Nilai e tetap berharga 0 (nol)
Sementara pada saat nilai D bergerak mulai nilai D=7,73o
hingga mencapai nilai maksimum (Dmaks =12,78o),maka :
1. Nilai fs maks berharga tetap atau tidak berubah
2. Nilai e bergerak dari 0 (nol) hingga mencapai nilai
emaks
Jika menggunakan kecepatan rata-rata yakni 90 % dari
kecepatan rencana, yakni 54 km/jam, maka (titunjukkan
dengan titik B3):
(54) 2
127 x185,27

fs

= 0 + fs
= 0,124

Dari Gambar 5.7 dapat dilihat bahwa titik :


B1 = menunjukkan kondisi untuk e = 0
D = 7,73o
B2 = menunjukkan kondisi untuk fs = 0,153
D = 7,73o
B3 = menunjukkan kondisi untuk fs = 0,153
D = 7,73o
Dengan metode kedua ini jika direncanakan suatu
lengkung horisontal dengan :
R = 250 m, maka :
1.432,39
D =
=
250

5,73o

V-19

untuk nilai e = 0 , maka :

Pada kecepatan rencana :


(60) 2
127 x 250

fs

= fs
= 0,113

Pada kecepatan rata-rata :


(54) 2
127 x 250

= 0+ fs
fs = 0,092

Metoda ke-3
Pada metoda ketiga ini seluruh gaya sentrifugal yang
timbul diimbangi oleh berat kendaraan akibat superelevasi
hingga mencapai nilai emaks. Setelah itu jika lengkung lebih
tajam lagi, maka gaya sentrifugal akan diimbangi secara
bersama-sama oleh emaks dan gesekan melintang (fs) sampai
mencapai nilai fs maks. Dengan demikian superelevasi setelah
mencapai nilai maksimum akan bernilai tetap sedangkan
faktor gesekan melintang bertambah berangsur-angsur
dari nol hingga mencapai nilai maksimum fs maks.
Dapat dilihat pada Gambar 5.7.a bahwa nilai e bertambah
berangsur-angsur berbanding lurus dengan nilai D hingga
mencapai nilai maksimum (e maks dan Dmaks), sementara nilai
fs tetap nol. Setelah mencapai nilai maksimum, nilai e maks
akan tetap dipertahankan dan nilai fs bergerak naik
mengimbangi gaya centrifugal yang terjadi, pada lengkung
yang lebih tajam, hingga mencapai nilai maksimum (fs maks).
Titik balik pada saat nilai D dan e mencapai maksimum atau
saat nilai fs mulai berangsur naik (Titik C1 dan C2), dapat
dihitung sebagai berikut :
V2
127 R

= e + fs

V-20

dengan nilai
sehingga :

fs = 0, maka nilai

maka

e mencapai maksimum

V2
=
127 R

Contoh soal :
Berapa R min atau Dmax suatu jalan dengan design speed
60 km/jam dan superelevasi maks. 10 %.
Penyelesaian :
V = 60 km/jam dan e = 10 %
Berdasar metode ketiga fs = 0
Dengan nilai fs = 0, maka nilai R adalah :
V2
127Rmin

= 0,10 + 0

(60) 2
127 Rmin

= 0,10

min

= 283,46 m

diambil R

min

= 285 m

dan nilai D adalah :


D

1.432,39
=
= 5,03o
285

Berarti bahwa saat nilai D berada pada 0 (D=0) sampai


dengan mencapai harga 5,03o (D=5,03o) maka :
1. Nilai e bergerak dari angka 0 (nol) sampai dengan
mencapai nilai e maks
2. Nilai fs tetap berharga 0 (nol)
Sementara pada saat nilai D bergerak mulai nilai D=5,03o
hingga mencapai nilai maksimum (Dmaks =12,78o),maka :
1.Nilai e maks berharga tetap atau tidak berubah
2.Nilai fs bergerak dari 0 (nol) hingga mencapai fs

maks

V-21

Jika menggunakan kecepatan rata-rata yakni 90 % dari


kecepatan rencana, yakni 54 km/jam, maka (titunjukkan
dengan titik C3):
(54) 2
= 0,10 + fs
127 x 285
fs = -0,019

Dari Gambar 5.7 dapat dilihat bahwa titik :


C1 = menunjukkan kondisi untuk e
C2 = menunjukkan kondisi untuk
C3 = menunjukkan kondisi untuk

maks

D
fs
D
fs
D

=
=
=
=
=
=

0,10
5,03o
0,153
5,03o
-0,0193
5,03o

Dengan metode ketiga ini jika direncanakan suatu


lengkung horisontal dengan :
R = 250 m, maka berdasarkan pada metoda ketiga ini
(gambar 5.7) adalah sbb. :
emaks = 10 %.
1.432,39
D =
= 5,73o
250
untuk nilai emaks = 10 %, maka :

Pada kecepatan rencana :


(60) 2
= 0,10 + fs
127 x 250

fs

= 0,011

Pada kecepatan rata-rata :


(54) 2
= 0,10 + fs
127 x 250
fs = -0,008

V-22

Metoda ke-4
Pada metoda keempat ini prinsipnya sama dengan metoda
ketiga hanya agar tidak diperoleh nilai kefisien gesekan
melintang fs yang negatif , maka e maks didasarkan pada
kecepatan rata-rata.
Contoh soal :
Kecepatan rata-rata = 54 km/jam dan fs = 0, maka e
maks ditentukan berdasarkan :
e

maks

0,10 =
R

min

2
Vrata
rata
127Rmin

54 2
127 Rmin

= 229,61 m ,

diambil R

min=

230 m

Jika kendaraan berjalan pada kecepatan rencana, maka :


0,10 + fs =

60 2
127 x 230

fs = 0,023
Dengan Rmin = 230 m, maka :

1432,39
D =
230

6,23 o

Pada Gambar 5.7. dapat dilihat bahwa titik:


D1 = menunjukkan kondisi untuk e maks = 0,10
D2 = menunjukkan kondisi untuk
D3 = menunjukkan kondisi untuk

D
fs
D
fs
e
D

=
=
=
=
=
=

6,23o
0,023
6,23o
0
emaks = 0,10
6,23o

V-23

Dengan metode keempat ini jika direncanakan suatu


lengkung horisontal dengan :
R = 250 m, maka berdasarkan pada metoda keempat ini
(gambar 5.7)
D=

1.432,39
250

= 5,73o

Superelevasi yang dibutuhkan :


e

5,73
x0,10 = 0,092
6,23

Pada kecepatan rencana :


(60) 2
127 x 250

= 0,092 + fs

fs = 0,021

Pada kecepatan rata-rata :


(54) 2
127 x 250

= 0,092 + fs
fs = 0

Metoda ke-5
Metoda kelima ini merupakan metoda antara metoda
pertama dengan metoda keempat yang diperlihatkan
sebagai garis lengkung parabola tidak simetris. Bentuk
parabola ini berlaku baik, jika dipergunakan kecepatan
rencana maupun kecepatan jalan rata-rata dan merupakan
metoda yang paling umum dipergunakan.
Pada bab di depan (rumus 5.7) disebutkan bahwa :
Dmaks =

181.913,53(e.maks fs.maks
V2

V-24

Jika besaran 181.913,53 merupakan konstanta (K), maka


rumus di atas menjadi :
Dmaks =

K (e.maks fs.maks
V2

(5.10)

Pada Gambar 5.7 dan 5.9 dapat dilihat bahwa untuk metoda
keempat :
Pada titik D2 berlaku :
Dp =

K (emaks h)
V2

(5.11)

Dan untuk titik D3 berlaku :


Dp

K (emaks )
=
V j2

(5.12)

Dimana : V = kecepatan rencana jalan


Vj = kecepatan rata-rata jalan
Pers (5.11) = pers (5.12), dimana nilai Dp dipersamakan ,
sehingga :

K (emaks h)
=
V2

K (emaks )
V j2
h
h

emaks xV 2
emaks
V j2

V2
emaks ( 2 1)
Vj

(5.13)

Slop di kiri titik D2 adalah :


tg

1 =

h/Dp

(5.14)

dan slop di kanan titik D2 adalah :


tg

f maks h
= D
maks D p

(5.15)

V-25

Gambar 5.9. Penurunan persamaan lengkung parabola untuk metoda


kelima , untuk V rencana = 60 Km/jam dan emaks = 10 %)

Garis M0 pada lengkung Gambar 5.9.b. yang merupakan


tengah-tengah anatar metoda pertama dengan metoda
keempat adalah :
M0 =

a.b(tg 2 tg1 )
2(a b)

(5.16)

V-26

M0 =
Dimana :

Dp ( Dmaks Dp ) x(tg 2 tg1 )


2 Dmaks.

(5.17)

a = DP
b = Dmax - DP
a+b = Dmax

Persamaan umum lengkung parabola adalah :


Y

X2
).L
= (
L

(5.18)

Untuk lengkung di sebelah kiri Dp (Gambar 5.9.b) dimana D


Dp, adalah:
f1

2
= M0 ( D ) D.tg1 )
p

(5.19)

Untuk lengkung di sebelah kanan Dp (Gambar 5.9.b) dimana


D > Dp, adalah:
f2

= M0 (

Dmaks D 2
) h ( D Dp ).tg 2
Dmaks Dp

(5.20)

Dengan mempergunakan persamaan-persamaan di atas


diperoleh gambar grafik yang menunjukkan hubungan
antara superelevasi (e) dengan derajad lengkung (D) dan
kecepatan rencana (V) pada suatu superelevasi maksimum
tertentu.
Contoh soal :
Gambar 5.9.a menggambarkan hubungan superelevasi (e)
dengan derajad lengkung(D) untuk kecepatan rencana
V=60 km/jam dan emaks = 10 %.

V-27

Penyelesaian :
Dengan metode pertama:
Berdasarkan Tabel 5.1 atau Gambar 5.3 , dengan V = 60
km/jam dan e = 10 % diperoleh fs maks = 0,153.
Nilai R

min diperoleh

dari :

V2
127Rmin

= emaks + fsmaks

(60) 2
127 Rmin

= 0,10 + 0,153

Rmin = 115 m (nilai pembulatan)


Dengan Rmin = 115 m, maka :

1.432,39
Dmaks=
=
115

12,46

Dengan metoda keempat :


Kecepatan rata-rata = 54 km/jam dan fs = 0, maka Rmin
ditentukan berdasarkan :
2
Vrata
rata
e maks = 127R
min

54 2
0,10 = 127 R
min
R

min

= 229,61 m , diambil R

min

= 230 m

Jika kendaraan berjalan pada kecepatan rencana, maka :


60 2
0,10 + fs =
127 x 230
fs = 0,023

V-28

Mencari Dp :
D
Jadi : Dp

1.432,39
230

= D = 6,23

6,23o

Mencari h :
V2
602
e
(

1
)
0
,
10
x
(
1) = 0,023
h = maks V 2
=
2
54
j

Mencari tg 1
tg

1 =

Mencari tg

h/Dp =0,023/6,23

0,00369

2 :

0,153 0,023
f maks h
tg 2 = D
= 12,46 6,23 = 0,02087
maks D p

Mencari M0 :
M0 =
=

Dp ( Dmaks Dp ) x(tg 2 tg1 )


2 Dmaks.

6,23x(12,46 6,23) x(0,02087 0,00369)


= 0,02676
2 x12,46

Persamaan lengkung kiri Dp :


f1

D 2
) D.tg1 )
Dp

M0 (

0,02676 (

D 2
) 0,00369 D
6,23

Persamaan lengkung di sebelah kanan Dp :


f2

Dmaks D 2
(
M0 D D ) h ( D Dp ).tg 2
maks
p
12,46 D 2
) 0,023 ( D 6,23 p ).0,02087
6,23

= 0,02676 (

V-29

Dari kedua persamaan di atas, tinggal memasukkan nilai D


yang dikehendaki sehingga jika titik-titik yang diperoleh
tersebut dihubungkan akan membentuk garis lengkung.
Misal :
1. Untuk nilai D = 40 maka diperoleh :
fs1 = 0,02676 ( 4 )2 0,00369 x4 = 0,0258
6,23

= 0,054

2. Untuk nilai D = 100 maka diperoleh :


f2

= 0,02676 (12,46 10 )2 0,023 (10 6,23).x.0,02087

= 0,106
= 0,096

6,23

Gambar 5.10. Metoda kelima distribusi e dan fs menurut AASTHO

V-30

LENGKUNG PERALIHAN
Pada kecepatan rendah dan jari-jari yang besar, rata-rata
pengemudi dapat melakukan jejak transisi di dalam batasbatas lebar lajur normal. Pada kecepatan tinggi dan
tikungan

tajam

(jari-jari

kecil),

mempertahankan

kendaraan tinggal pada suatu lebar lajur normal tidak


dapat dilakukan.
Agar kendaraan tetap tinggal pada lajur, diperlukan
lengkung transisi antara jalan lurus ( R =

dengan

lengkung lingkaran (circle), yang disebut sebagai lengkung


peralihan dan biasanya dipakai bentuk spiral atau clothoid.
Keuntungan dari penggunaan lengkung peralihan adalah :
1. Perencanaan
mengakibatkan

lengkung
gaya

peralihan

sentrifugal

yang

baik,

bertambah

dan

berkurang secara teratur, sewaktu kendaraan memasuki


dan meninggalkan lengkung peralihan. Hal itu akan
memberikan jejak yang mudah diikuti oleh pengemudi
untuk mengikuti lajur yang telah disediakan untuknya,
sehingga memperkecil penggunaan lajur yang berada di
sebelahnya.
2. Panjang lengkung transisi memberikan kemungkinan
untuk mengatur pencapaian kemiringan, dari lereng
normal (crown) ke superelevasi penuh, pada lengkung
lingkaran. Apabila terdapat tikungan tanpa lengkung
peralihan, dimana superelevasi dilakukan sebagian pada
jalan lurus dan sebagian pada jalan lengkung, maka
pengendara yang akan mendekati lengkungan harus
menahan stir/kemudi ke arah lawan dari lengkungan,

V-31

karena adanya superelevasi pada bagian jalan lurus yang


dalam hal ini merupakan gerakan yang tidak normal.
3. Memungkinkan
perkerasan

yang

mengadakan
diperlukan

peralihan
dari

jalan

pelebaran
lurus

ke

kebutuhan lebar perkerasan pada tikungan-tikungan


yang tajam.
4. Menambah tingkat keselamatan dan kenyamanan dari
pengemudi, karena sedikit sekali kemungkinan kendaraan
keluar dari jalur.
5. Menambah keindahan alinemen / bentuk jalan, yakni
tidak terlihat adanya patahan jalan pada permulaan dan
akhir dari lengkung lingkaran.
Penggunaan spiral adalah sederhana. Derajad lengkung
berkisar dari nol di akhir bagian lurus sampai derajad
lengkung lingkaran pada ujung lengkung lingkaran.
Menurut definisi, derajad lengkungan pada tiap titik pada
spiral berbanding lurus dengan panjang jarak yang diukur
sepanjang spiral.
Keberatan dari penggunaan spiral adalah karena
perhitungan yang menjemukan. Oleh karena itu harus
diusahakan untuk dapat menggunakan lengkung spiral dan
bukan menyelidiki rumus yang kompleks dengan faktorfaktor yang tidak diketahui.

V-32

Panjang lengkung peralihan menurut Bina Marga


diperhitungkan mulai dari bentuk crown sampai dengan

kemiringan sebesar superelevasi.

Sedangkan AASTHO
mulai dari bentuk lurus pada
setengah sisi luar dan sisi dalam sebesar superelevasi
(dihitung dari as jalan ) sampai dengan kemiringan sebesar
superelevasi.
As jln

As jln
e

e
h

en

en

h1
0%
%

en

h1

h
Ls

(a) Menurut BM

Ls

(b) Menurut AASHTO

Gambar 5.11. Panjang Lengkung Peralihan menurut Bina


Marga dan menurut AASTHO

V-33

Landai Relatif
Tahapan perubahan kemiringan dari lereng normal ke
kemiringan sebesar superelevasi, menyebabkan perubahan
tinggi perkerasan pada sisi luar jalan (dari elevasi pada
kondisi jalan lurus ke elevasi pada kondisi superelevasi).
Landai relatif (1/m) adalah besarnya kelandaian akibat
perbedaan elevasi tepi perkerasan sebelah luar sepanjang
lengkung peralihan.
Perbedaan

elevasi

ini

hanya

perubahan

bentuk

penampang

sebatas

pada

melintang,

dan

tinjauan
belum

merupakan gabungan dengan alinemen vertikal.


1. Menurut Bina Marga :

1
h

Landai relatif = m L
s
1 (e en ) B

m
Ls

(5.21)

2. Menurut AASHTO :

1
h1

Landai relatif = m L
s

1 ( e) B

m
Ls

(5.22)

Besarnya nilai landai relatif maksimum dipengaruhi oleh


kecepatan

dan

tingkah

laku

pengemudi.

Tabel

5.3

V-34

menunjukkan

nilai

kelandaian

relatif

maksimum

berdasarkan empiris.
Tabel 5.3. Kelandaian Relatif Maksimum
Kecepatan
Rencana
Km/jam

Kelandaian
relatif maks.

32
48
64
80
88
96
104
112

1/33
1/150
1/175
1/200
1/213
1/222
1/244
1/250

AASHTO

Kecepatan
Rencana
Km/jam
20
30
40
50
60
80
100

Kelandaian
relatif maks.
BINA MARGA
1/50
1/75
1/100
1/115
1/125
1/150

Pada jalan berlajur banyak pencapaian kemiringan tidak


dapat mempergunakan data di atas.
Dari pengamatan secara empiris diperoleh bahwa :
pencapaian kemiringan untuk jalan 3 lajur adalah 1,2 kali
dari panjang pencapaian kemiringan untuk jalan 2 lajur
Jalan 4 lajur adalah 1,5 kali dari panjang pencapaian
kemiringan untuk jalan 2 lajur
dan jalan 5 lajur adalah 2 kali dari panjang pencapaian
kemiringan untuk jalan 2 lajur.

V-35

Dari batasan landai relatif maksimum maka dapat


ditentukan panjang lengkung peralihan minimum yang
dibutuhkan, yakni :
1. Menurut Bina Marga :

1
h
Landai relatif = m L
s

mmaks

(e en ) B
Ls

mmaks

(e + en).B.mmaks

(5.23)

2. Menurut AASHTO :

1
h1
Landai relatif = m L
s
m

mmaks

(e) B
Ls =

1
mmaks

Ls

(e ).B.mmaks

(5.24)

V-36

Wn

V-37

Gambar Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan

You might also like