You are on page 1of 14

Tugas

Ringkasan Materi Kuliah (RMK)

PENGELOLAAN KEUANGAN
NEGARA

Disusun Oleh :
Aditya Yusta Kalpika

(F1314125)

Dias Panggalih

(F1314137)

Pandu Karno Wibowo (F1314149)


Ryan Octa Pradana

(F1314161)

Pengelolaan Keuangan Negara


Universitas Sebelas Maret Surakarta
Outline

1.1. Pengertian dan Dasar Hukum Keuangan Negara


1.2. Lingkup Keuangan Negara
1.3. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
1.4. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
1.5. Mengapa Keuangan Negara Harus Dikelola dengan Baik?

1.1 PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM KEUANGAN NEGARA


Secara umum keuangan diartikan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan
penerimaan dan pembayaran uang. Oleh karena itu, keuangan sering diartikan sebagai
suatu sistem mengenai penerimaan dan pengeluaran uang. Bertolak dari pengertian ini,
maka yang dimaksud keuangan negara adalah semua hal yang bertalian dengan
masalah penerimaan dan pengeluaran dari suatu negara.
Beberapa pakar keuangan negara memberikan pengertian tentang keuangan negara.
Musgrave (1989) menyatakan bahwa studi tentang keuangan negara (atau yang sering
disamakan dengan public finance) merupakan studi tentang ekonomi dari sektor publik
(economics of public sector), yang tidak hanya berkenaan dengan keuangan saja tetapi
juga berkenaan dengan tingkat penggunaan dan alokasi sumber daya negara, distribusi
pendapatan, dan tingkat aktivitas ekonomi. Walaupun demikian, pada umumnya
studi keuangan negara membatasi hanya pada penerimaan dan pengeluaran yang ada
pada anggaran pemerintah (pusat dan daerah) dan pengaruh-pengaruhnya. Aspek-aspek
lain yang juga merupakan bidang studi keuangan negara adalah regulasi ekonomi oleh
cabang pemerintahan yudikatif, pengelolaan perusahaan negara, dan pengaturan kebijakan
moneter.
Pendapat Musgrave tersebut ditegaskan kembali oleh Ulbrich (2003) yang menyatakan
bahwa studi keuangan negara telah berkembang menjadi suatu bidang studi yang lebih
luas yaitu studi ekonomi atas sektor publik (public sector
economics).
Walaupun
demikian
istilah keuangan
(finance)
pada keuangan negara (public finance)
mempersempit pembahasan hanya pada aktivitas penerimaan, pengeluaran, dan
penganggaran negara.
Suparmoko (1992) menyatakan bahwa keuangan negara merupakan studi tentang
pengaruh-pengaruh dari anggaran penerimaan dan belanja negara terhadap perekonomian,
terutama pengaruh-pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan-tujuan kegiatan ekonomi
seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas harga-harga, distribusi penghasilan yang lebih
merata dan juga peningkatan efisiensi serta penciptaan kesempatan kerja.
Sementara itu, Perundangan-Undangan Republik Indonesia, yang juga menjadi
dasar hukum pengelolaan keuangan negara di Indonesia, memberikan pengertian yang
senada dengan pengertian yang diberikan oleh para pakar keuangan negara. Bab VIII
Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen
mengatur tentang keuangan
negara sebagai aturan hukum tertinggi, menetapkan hal-hal yang bertalian dengan
keuangan negara sebagai berikut:
anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undangundang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang
diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu;
segala pajak untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang;
macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang;
hal keuangan negara diatur dengan undang-undang;
negara memiliki bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung
jawab dan independensinya diatur dengan undang-undang;

untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara


diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri, yang
peraturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diserahkan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuai kewenangannya. Hasil pemeriksaan BPK
akan ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai undangundang.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebagai dasar
hukum di bawah UUD 1945 yang mengatur tentang keuangan negara di Indonesia, dalam
Pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun
berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Dalam penjelasan atas UU No. 17/2003 tersebut, ada empat pendekatan yang
digunakan untuk merumuskan keuangan negara, yaitu:
1. Pendekatan Obyek.
Keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut, yang
meliputi subbidang pengelolaan fiskal, subbidang pengelolaan moneter, dan subbidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
2. Pendekatan Subyek.
Keuangan negara meliputi seluruh obyek sebagaimana yang tersebut di atas (pada
poin 1) yang dimiliki oleh negara, dan dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
3. Pendekatan Proses.
Keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan obyek
sebagaimana tersebut di atas (pada poin 1) mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.
4. Pendekatan Tujuan.
Keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang
berkaitan dengan pemilikan atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas
(pada poin 1) dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Berdasarkan
pengertian-pengertian
di atas, maka keuangan
negara pada
dasarnya berkenaan dengan penerimaan dan pengeluaran negara beserta segala sebab
dan akibat dari penerimaan dan pengeluaran tersebut dalam bentuk hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang.

1.
2.
3.
4.
5.

Dasar hukum Keuangan Negara di antaranya sebagai berikut:


Pasal 23 UUD 1945.
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah.

6. PP Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah.

1.2 LINGKUP KEUANGAN NEGARA


Pengertian-pengertian keuangan negara seperti tersebut di atas menjelaskan pula
mengenai lingkup keuangan negara. Lingkup yang paling sempit dari keuangan negara
mencakup semua aktivitas penerimaan, pengeluaran, dan penganggaran negara, seperti
yang dikemukakan oleh Ulbrich. Lingkup yang paling luas dari keuangan negara dapat
disamakan dengan ekonomi sektor publik, yang tidak hanya berkenaan dengan
keuangan saja tetapi juga berkenaan dengan tingkat penggunaan dan alokasi sumber
daya negara, distribusi pendapatan, dan tingkat aktivitas ekonomi, seperti yang
dikemukakan Musgrave.
Lingkup keuangan negara yang dikemukakan oleh Suparmoko dapat dianggap berada
diantara lingkup yang paling sempit dan lingkup yang paling luas. Lingkup keuangan
negara di sini menyangkut 3 hal, yaitu pendapatan dan belanja negara, kekayaan
negara dan uang pihak lain yang dipercayakan kepada negara (dana pensiun, jaminan
kesehatan, hari tua, dan asuransi jiwa). Jadi lingkup keuangan negara dalam pengertian ini
adalah menyangkut APBN, Barang Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara, serta uang
pihak lain (trust fund).
Peraturan perundang-undangan Indonesia menetapkan juga hal-hal yang masuk
dalam lingkup keuangan negara. UUD 1945 menetapkan bahwa lingkup keuangan
negara meliputi lima macam, yaitu APBN, perpajakan, uang, hal keuangan negara, dan
BPK.
Dalam praktik, APBN adalah alat utama dalam pengelolaan fiskal. Perpajakan
merupakan salah satu unsur dari penerimaan negara dari pengelolaan fiskal. Demikian
juga
BPK yang tugas pokoknya
memeriksa
tanggung
jawab mengenai cara
pemerintah mempergunakan uang belanja yang disetujui DPR sangat berkaitan erat dengan
pengelolaan fiskal. Oleh karena itu, APBN, perpajakan, dan BPK dapat disatukan menjadi
unsur pengelolaan fiskal.
Mengenai unsur mata uang, sesuai dengan penjelasan Pasal 23 UUD 1945, hal ini
sangat erat hubungannya dengan Bank Indonesia (Bank Sentral) yang menjadi otoritas
pelaksana kebijakan moneter. Dengan demikian, kita dapat menyebut pengelolaan
peredaran uang ini sebagai pengelolaan moneter.
Mengenai keuangan negara, dalam praktik terakhir ini menjelma menjadi lalu lintas
pembayaran luar negeri dan pasar uang dan modal. Pengawasan dan regulasi atas lalu
lintas pembayaran luar negeri dan sebagian pasar uang (yang dikelola bank) merupakan
bagian dari tanggung jawab pengelolaan moneter Bank Indonesia. Pengawasan dan
regulasi atas pasar uang (yang dikelola oleh non-bank) dan pasar modal, yang juga
sebenarnya merupakan bagian dari tanggung jawab pengelolaan moneter, berada di
tangan kementerian (yang merangkap sebagai pengelola fiskal). Oleh karena itu,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan
penggabungan fungsi pengawasan dan regulasi pasar uang dan pasar modal ke dalam
suatu lembaga tersendiri yang independen dari pemerintah dan bank sentral, yang sering
disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bila hal ini terlaksana, maka penanggung
jawab utama pengelolaan fiskal adalah pemerintah (c.q. Kementerian Keuangan) dan
tanggungjawab pengelolaan moneter akan dilaksanakan oleh Bank Indonesia (berkaitan

dengan peredaran uang dan lalu lintas pembayaran) dan OJK (berkaitan dengan pasar
uang dan pasar modal). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia,
lembaga pengawas jasa keuangan (OJK) tersebut akan dibentuk selambat-lambatnya 31
Desember 2010.
Ada satu unsur lagi dari keuangan negara yang secara implisit merupakan ruang
lingkup keuangan negara berdasarkan Pasal 23 UUD 1945, yaitu kekayaan negara
yang
dipisahkan.
Aspek
pengeluaran
untuk
menjadi kekayaan negara yang
dipisahkan dan aspek penerimaan dari hasil keuntungan dari kekayaan tersebut menjadi
bagian dari APBN. Pengelolaan kekayaannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan Lembaga Keuangan Negara.
Dengan demikian, ruang lingkup keuangan negara menurut Pasal 23 UUD 1945
adalah sejalan dengan yang dinyatakan dalam UUKN, yaitu meliputi pengelolaan fiskal,
pengelolaan moneter, dan pengelolaan kekayaan yang dipisahkan.
Pengelolaan fiskal ditempuh melalui berbagai kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal
adalah
kebijakan
yang
dilakukan
pemerintah
berkaitan
dengan penerimaan
(pendapatan) dan pengeluaran (belanja) pemerintah. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah
stabilisasi ekonomi yang lebih mantap. Maksudnya mampu mempertahankan laju
pertumbuhan ekonomi yang layak tanpa adanya pengangguran di satu pihak atau adanya
ketidakstabilan harga-harga umum (inflasi yang tinggi) di pihak lain. Ragam pengelolaan
fiskal meliputi fungsi- fungsi pengelolaan kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro,
penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan
pengawasan keuangan.
Pengelolaan moneter dilakukan melalui serangkaian kebijakan di bidang moneter.
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah di bidang keuangan
yang berkenaan dengan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. Pemerintah selalu
mengusahakan agar ada keseimbangan dinamis antara jumlah uang yang beredar
dengan barang dan jasa yang tersedia di masyarakat.
Kebijakan
moneter
ini
berkaitan dengan kurs, aktivitas perbankan, investasi modal domestik dan modal asing,
dan sebagainya. Tujuan kebijakan moneter secara umum adalah: (1) untuk menyesuaikan
jumlah uang yang beredar di masyarakat; (2) untuk mengarahkan penggunaan uang dan
kredit sedemikian rupa sehingga nilai rupiah dapat dipertahankan kestabilannya; (3)
mendorong produsen untuk meningkatkan kegiatan produksi melalui penyediaan
kredit dengan suku bunga rendah; (4) menyediakan tingkat lapangan kerja
tertentu;
(5)
mengusahakan
agar kebijakan moneter dapat dilaksanakan tanpa
memberatkan beban keuangan negara dan masyarakat.
Kekayaan negara yang dipisahkan adalah komponen kekayaan negara yang
pengelolaannya diserahkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Lembaga
Keuangan Negara.
Menurut Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dijelaskan bahwa
ruang lingkup Keuangan Negara meliputi:
1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman,
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga,
3. Penerimaan negara,
4. Pengeluaran negara,
5. Penerimaan daerah,

6. Pengeluaran daerah,
7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa
uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah,
8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum,
9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah, dan
10. Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi kekayaan yang dikelola oleh
orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di
lingkungan kementerian/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.

1.3 ASAS-ASAS UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


UUKN memberikan asas-asas umum dalam pengelolaan keuangan negara agar tujuan
pengelolaan seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan
pemilikan atau penguasaan obyek keuangan negara dapat memberikan daya dukung
penyelenggaraan pemerintahan yang optimal. Asas- asas yang diatur dalam UU No. 17
Tahun 2003 tersebut adalah:
1. akuntabilitas yang berorientasi pada hasil;
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pengelolaan keuangan Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi Negara, karena pada dasarnya setiap sen uang Negara adalah
uang rakyat, dan akuntabilitas ini harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. profesionalitas;
mengutamakan keahlian dan kompetensi yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan perundang-undangan.
3. proporsionalitas;
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
4. keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang pengelolaan keuangan Negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak-hak pribadi, golongan, dan rahasia Negara.
5. pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
dalam praktiknya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best
practices) diatur dalam UUKN di atas dalam penerapannya didukung dengan asas-asas
umum yang sebelumnya telah dipakai dalam pengelolaan keuangan negara seperti asas
tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas.
Asas-asas umum tersebut diperlukan guna mendukung terwujudnya kepemerintahan
yang baik (good governance) dalam penyelenggaraan negara serta menjamin
terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan negara sebagaimana telah dirumuskan
dalam Bab VI UUD 1945, selain asas-asas yang mendukung kepemerintahan yang
baik
yang
terdapat
dalam
PP 101/2000, yaitu profesionalitas, akuntabilitas,
transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan
dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

1.4 KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA


Berdasarkan UUKN, presiden adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Dalam melaksanakan
mandat UUKN, fungsi pemegang kekuasaan umum atas pengelolaan keuangan
negara tersebut dijalankan dalam bentuk:
- selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang
dipisahkan dikuasakan kepada Menteri Keuangan;
- selaku Pengguna Anggaran (PA) /Pengguna Barang (PB) kementerian negara/lembaga
dikuasakan kepada masing-masing menteri/pimpinan lembaga;
- penyerahan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan;
tidak termasuk kewenangan di bidang moneter. Untuk mencapai stabilitas nilai rupiah,
penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.
Menteri Keuangan sebagai pembantu presiden dalam bidang keuangan pada
hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) yang berwenang dan bertanggung jawab
atas pengelolaan aset dan kewajiban negara secara nasional, sedangkan menteri dan
pimpinan lembaga negara pada hakekatnya adalah Chief Operating Officer (COO) yang
berwenang dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai bidang
tugas dan fungsi masing-masing.
Pembagian kewenangan yang jelas dalam pelaksanaan anggaran antara
menteri keuangan dan menteri teknis tersebut diharapkan dapat memberikan jaminan
terlaksananya mekanisme saling uji (check and balance) dalam pelaksanaan pengeluaran
negara dan jaminan atas kejelasan akuntabilitas Menteri Keuangan sebagai Bendahara
Umum Negara dan Menteri Teknis sebagai Pengguna Anggaran. Selain itu, pembagian
kewenangan ini akan memberikan fleksibilitas bagi menteri teknis, sebagai pengguna
anggaran, untuk mengatur penggunaan anggaran kementeriannya secara efisien dan
efektif dalam rangka optimalisasi kinerja kementeriannya untuk menghasilkan output yang
ditetapkan.
Titik berat ruang lingkup keuangan negara sebagaimana yang diatur dalam UU No.
17/2003 tersebut berada pada subbidang pengelolaan fiskal. Pengelolaan moneter,
walaupun dalam ruang lingkup keuangan negara, diselenggarakan oleh Bank
Indonesia, sebagai bank sentral yang independen dari pengaruh pemerintah. Hubungan
pemerintah dengan Bank Indonesia hanyalah berkoordinasi dalam penetapan kebijakan
moneter, yang seringkali dikombinasikan dengan kebijakan fiskal, untuk mencapai
tujuan-tujuan ekonomi.
Pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD) adalah subbidang
keuangan negara yang khusus ada di negara-negara yang pemerintah juga menjalankan
fungsi-fungsi penyediaan barang-barang non-publik, seperti di Indonesia. Pemerintah
melakukan investasi-investasi pada BUMN/BUMD sehingga timbul hak dan kewajiban
negara berkenaan dengan investasi tersebut. Seperti yang diamanatkan dalam UUKN,
pihak yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham adalah Menteri Keuangan. Akan
tetapi, saat ini Menteri Negara BUMN-lah yang memiliki kewenangan tersebut berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001 dan selanjutnya berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 64 Tahun 2001. Dengan belum adanya aturan baru yang merevisi

keppres dan peraturan pemerintah tersebut timbul ketidakselarasan antara UUKN dengan
peraturan-peraturan yang ada berkenaan dengan pengelolaan kekayaan negara yang
dipisahkan.

1.5 MENGAPA KEUANGAN NEGARA HARUS DIKELOLA DENGAN BAIK?


Pengelolaan keuangan negara terkait dengan keberadaan sektor publik yang
diperlukan karena mekanisme pasar secara tunggal tidak dapat menyelenggarakan
semua fungsi ekonomi. Kebijakan publik diperlukan untuk mengarahkan, mengoreksi, dan
melengkapi mekanisme pasar dalam berbagai aspek. Oleh karena itu, pada dasarnya sektor
swasta dan sektor publik saling berkaitan dan saling melengkapi.
Keuangan negara merupakan bagian integral dari ekonomi dan saling berinteraksi
dengan sektor swasta. Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan negara
dewasa ini terutama bagaimana seharusnya pengelolaan tersebut dilakukan agar daya
tahan dan daya saing perekonomian nasional semakin dapat ditingkatkan dengan baik
dalam kegiatan ekonomi yang semakin bersifat global, sehingga kualitas kehidupan
masyarakat Indonesia dapat meningkat sesuai dengan yang diharapkan.
Agar daya saing ekonomi dapat terpelihara, maka pengelolaan keuangan negara
harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi dunia usaha, khususnya sektor swasta,
karena melalui peran sektor swasta yang kuat dan sehat inilah diharapkan kegiatan ekonomi
dapat terus berkembang dalam era persaingan usaha yang semakin ketat, bebas, dan
mengglobal. Agar kondisi tersebut dapat tercipta dengan baik, maka para pengelola
keuangan negara harus memiliki keterampilan yang memadai dan wawasan yang luas.
Keterampilan demikian antara lain dapat diperoleh melalui pelatihan- pelatihan.
Tanpa memiliki keterampilan yang diperlukan, maka pengelolaan keuangan negara tidak
akan melahirkan keadaan yang diharapkan dan akibat lebih jauh lagi adalah para
pengusaha nasional yang tidak akan mempunyai kemampuan bersaing yang handal. Bila
hal ini terus berlanjut, maka para pengusaha nasional tetap akan menjadi tamu di
negaranya sendiri.
Menurut Musgrave, masalah keuangan negara tidak sekedar menyangkut arus uang
yang masuk sebagai penerimaan negara, dan arus uang yang keluar sebagai
pengeluaran negara. Masalah keuangan negara juga menyangkut alokasi sumbersumber ekonomi, distribusi pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain,
keuangan negara mempunyai dampak yang luas pada kegiatan ekonomi masyarakat. Oleh
karena itu, keuangan negara harus dikelola dengan baik dengan alasan-alasan berikut.
1) Mempengaruhi pertumbuhan ekonomi
Hubungan antara keuangan negara dengan kegiatan ekonomi masyarakat sudah
lama diketahui. Dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nation, Adam Smith menyatakan bahwa negara tidak boleh campur tangan
dalam perekonomian karena perekonomian sudah diatur oleh invisible hands, yaitu
mekanisme naik atau turunnya harga sebagai akibat dari hukum penawaran dan
permintaan barang dan jasa.
Misalnya, jika permintaan lebih besar dari penawaran maka tingkat harga akan naik.
Kenaikan harga akan mendorong kenaikan penawaran dan menekan permintaan sehingga
terjadi keseimbangan baru dalam penawaran dan permintaan pada tingkat harga
tertentu. Sebaliknya, jika penawaran lebih besar dari permintaan, harga akan turun.
Turunnya harga akan menyebabkan naiknya permintaan dan menurunkan penawaran
sehingga terjadi keseimbangan baru. Dengan demikian, naik/turunnya harga atau
mekanisme harga bekerja secara otomatis untuk menjaga keseimbangan antara penawaran
dan permintaan atas barang dan jasa.

Keuangan negara, melalui penerimaan/pendapatan dan pengeluaran/belanja negara


dapat mempengaruhi bekerjanya mekanisme harga. Penerimaan negara yang berasal dari
pungutan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat sehingga mengurangi permintaan
masyarakat. Sebaliknya pengeluaran negara, untuk membeli barang dan jasa dari
masyarakat, akan menambah daya beli masyarakat. Apabila penerimaan negara melebihi
pengeluaran negara, yang berarti APBN surplus, berarti pengurangan daya beli masyarakat
lebih besar dari penambahannya sehingga terjadi ketidakseimbangan antara penawaran
dan permintaan. Sebaliknya, apabila pengeluaran lebih besar dari penerimaannya, yang
berarti APBN defisit, berarti penambahan daya beli masyarakat lebih besar dari
pengurangannya. Apabila permintaan masyarakat atas barang dan jasa melebihi
penawarannya, harga-harga barang dan jasa akan naik atau terjadi inflasi. Namun jika
penawaran lebih besar dari permintaannya maka harga-harga akan turun atau deflasi.
Menurut Boediono (1980), inflasi adalah suatu proses atau kecenderungan kenaikan harga
secara umum dan terus menerus. Deflasi adalah sebaliknya. Baik inflasi maupun
deflasi dapat menganggu kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk mencegah dampak yang
tidak dikehendaki, Adam Smith menganjurkan agar penerimaan negara harus sama
dengan pengeluaran negara, yang berarti APBN suatu negara harus seimbang. Pajak
yang dipungut negara tidak boleh terlalu banyak atau terlalu sedikit, sebatas cukup untuk
membiayai penyelenggaraan tugas dan fungsi negara, berupa:
a. menyelenggarakan pertahanan dan keamanan,
b. menyelenggarakan peradilan, dan
c. menyediakan barang publik.
2) Menjaga stabilitas ekonomi
Pendapat Adam Smith diikuti sampai tahun 1930-an karena pada tahun itu terjadi
peristiwa depresiasi dunia. Pada periode tersebut, meskipun hampir semua negara
menerapkan APBN seimbang, pada kenyataannya terjadi juga ketidakseimbangan antara
penawaran dan permintaan barang dan jasa. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan
jatuhnya perekonomian dan meningkatkan pengangguran. Pada tahun 1936, John
Maynard
Keyness menulis buku yang berjudul The General Theory of Employment,
Interest and Money. Berdasarkan hasil penelitiannya, Keyness berpendapat bahwa
employment
ditentukan oleh permintaan agregat dan penawaran agregat. Permintaan
agregat adalah keseluruhan jumlah uang yang diterima oleh pengusaha
dari
hasil
penjualan barang dan jasa yang diproduksinya. Sebaliknya, penawaran agregat
adalah keseluruhan jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk membeli
faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan barang dan jasa. Apabila
permintaan agregat lebih besar dari penawaran agregat maka pengusaha akan
keuntungan sehingga bias melakukan ekspansi usaha sehingga lapangan kerja akan
bertambah. Sebaliknya, apabila penawaran agregat lebih besar dari permintaan agregat
maka pengusaha akan merugi yang akan memaksa para pengusaha untuk mengurangi
produksi yang berarti juga pengurangan tenaga kerja. Akibatnya, penangguran meningkat.
Menurut Keyness, depresi dunia yang terjadi pada tahun 1930-an disebabkan oleh
penawaran agregat yang lebih besar daripada permintaan agregatnya. Oleh karena itu,
untuk mengatasi pengangguran, pemerintah melalui APBN dapat memperbesar permintaan
agregat agar sama dengan penawaran agregat. Ini berarti APBN tidak lagi harus
seimbang dan dapat juga digunakan sebagai alat untuk mengatasi inflasi dan deflasi, serta
memelihara stabilisasi perekonomian.

Sejak lahirnya teori Keyness, tugas dan fungsi negara menjadi lebih penting karena
tidak sekedar menyelenggarakan pertahanan dan keamanan, menyelenggarakan
peradilan dan menyediakan barang publik semata namun juga menjadi kestabilan
perekonomian
sehingga kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera dapat
terpelihara.
3) Merealokasi sumber-sumber ekonomi
Pendapat Keyness kemudian dikembangkan lagi oleh Richard Musgrave. Dalam
bukunya yang berjudul The Theory of Public Finance, Musgrave menyatakan bahwa
tugas dan fungsi negara meliputi: realokasi sumber-sumber daya ekonomi, redistribusi
pendapatan, dan stabilisasi. Realokasi sumber- sumber ekonomi menurut Musgrave
adalah memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang terbatas secara maksimal. Di
Indonesia, sepanjang tidak ditentukan lain oleh peraturan perundangan berlaku, pada
hakekatnya sumber- sumber daya ekonomi dimiliki masyarakat. Apabila sumber daya yang
ada di masyarakat tersebut tidak terdistribusikan secara maksimal akibatnya akan
menimbulkan ketidakseimbangan dalam perkonomian negara. Oleh karena itu negara,
melalui kebijakan fiskal yang persuasif, dapat mendorong penggunaan sumber daya
ekonomi secara maksimal.
4) Mendorong Redistribusi Pendapatan
Melalui kebijakan fiskal dalam APBN, negara dapat mendorong terjadinya redistribusi
pendapatan agar tidak terjadi senjang antara golongan masyarakat kaya dan golongan
masyarakat miskin secara mencolok. Sumber daya ekonomi berupa faktor-faktor
produksi secara natural tidaklah terdistribusi secara merata di masyarakat. Akibatnya,
sebagian masyarakat yang menguasai lebih banyak faktor produksi akan lebih
diuntungkan
dari
kegiatan perekonomian yang ada. Untuk menciptakan keadilan,
pemerintah dapat mengenakan pajak yang lebih banyak kepada kelompok masyarakat
yang lebih mampu dan mengalokasikannya dalam bentuk pengeluaran/belanja negara
yang berpihak kepada masyarakat yang kurang mampu (pro poor). Oleh karena itu,
pengelolaan APBN tidak hanya menyangkut pada jumlah penerimaan dan jumlah
pengeluaran saja, tetapi harus memperhatikan juga rincian dari penerimaan dan
pengeluaran negara.

Sumber Referensi:
Modul Pengelolaan Keuangan Negara. Sampurna Budi Utama: 2008.

You might also like