Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jantung merupakan organ yang paling terpenting dalam sistem sirkulasi.
Pekerjaan jantung adalah memompa darah keseluruh tubuh untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh pada setiap saat, baik saat istirahat maupun saat
bekerja atau menghadapi beban.1 Gagal jantung merupakan tahap akhir dari
seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan
mortalitas pasien jantung.1 Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang
dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung
dalam setahun diperkirakan 2,3-3,7 perseribu penderita pertahun.2 Kejadian gagal
jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya
usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard
mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi
jantung.3
Heart failure atau gagal jantung adalah salah satu penyakit kardiovaskular
yang menjadi masalah serius di Amerika. American Heart Association (AHA)
tahun 2004 melaporkan 5,2 juta penduduk Amerika menderita gagal jantung serta
diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung setiap tahunnya di seluruh
dunia.2
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab tersering terjadinya gagal
jantung di negara barat yaitu sekitar 60-75% kasus. Hipertensi mempunyai
kontribusi untuk terjadinya gagal jantung sebesar 75% yang termasuk didalamnya
bersamaan dengan penyakit jantung koroner. Gagal jantung dengan sebab yang
tidak diketahui sebanyak 20 30% kasus.4
Faktanya saat ini sekitar 50% penderita gagal jantung akan meninggal
dunia dalam waktu 5 tahun sejak diagnosa ditegakkan. Begitu juga dengan resiko
untuk menderita gagal jantung belum bergerak dari 10% untuk kelompok diatas
70 tahun, dan 5% untuk kemlompok usia 60-69 tahun serta sekitar 2 % untuk
kelompok usia 40-59 tahun.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak mampu lagi
untuk memompa darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh, walaupun darah balik masih normal. Dengan kata lain, gagal jantung
adalah ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (forward failure), atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi (backward failure), ataupun kedua-duanya.6 Gagal jantung adalah sindroma
klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang ditandai oleh sesak nafas dan fatique
saat istirahat atau saat aktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung. Pada gagal jantung terjadi keadaan yang mana jantung tidak dapat
menghantarkan curah jantung yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh.7
2.2 Etiologi
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan serta
tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai faktor
risiko independen perkembangan gagal jantung.8 Penyakit jantung koroner
merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal jantung. Perubahan gaya hidup
dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak, dan beberapa faktor yang
mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin meningkat.
8,9
Gambar 2.1
2.3 Patofisiologi
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu11 :
1. Gangguan mekanik
Beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaaan yaitu
seperti beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau konstriksi perikard,
obstruksi pengisian ventrikel, aneurisma ventrikel, disinergi ventrikel, restriksi
endokardial atau miokardial
2. Abnormalitas otot jantung
Dibagi menjadi penyebab primer yaitu kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM,
gagal ginjal kronik, anemia), toksin atau sitostika dan penyebab sekunder seperti
iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif, korpulmonal
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai setelah
adanya index event atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan otot
jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantung yang
berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan
daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi
secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang
tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki
onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan
hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal
ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati
genetik.
Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu
penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai penyebab gagal
jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit
bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah
disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui dengan pasti mengenai
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik, hal yang berpotensi
mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah banyaknya mekanisme
kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas jantung atau penurunan fungsi
jantung yang tampaknya akan mengatur kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam
batas homeostatik/fisiologis, sehingga kemampuan fungsional pasien dapat terjaga
atau hanya menurun sedikit. Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke
gagal jantung yang simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan
neurohormonal akan mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini
dikenal dengan remodelling ventrikel kiri.11
Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 2.1. Gagal
jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan pada
kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas pompa
jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem syaraf
adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka pendek hal
ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik sehingga pasien
tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan mekanisme kompensasi
ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal sekunder pada ventrikel,
dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan dekompensasi jantung.
Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi dari gagal jantung yang
tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.12
Mekanisme neurohormonal
A. Sistem saraf adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan
dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem
saraf simpatis. Aktivasi sistem saraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan darah,
tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat menimbulkan
iskemi jika tidak ada penyaluran O 2 ke miokard. Dalam jangka pendek aktivasi
sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi
maladaptasi. Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin
berhubungan dengan exhaustion phenomenon yang berasal dari aktivasi sistem
adrenergik yang berlangsung lama.1
B. Sistem renin angiotensin aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem reninangiotensin
aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis
ginjal,
memicu
peningkatan
pelepasan
renin
dari
apparatus
angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses renin angiotensin aldosteron ini
dapat tergambar pada Gambar 2.3. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin,
sementara AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel,
natriuresis dan pelepasan bradikinin.1
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.6,7
Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan
gagal
jantung.
Remodeling
ventrikel
kiri
yang
progresif
yang
tinggi
dan
mempengaruhi
struktur
membran
sehingga
jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,
peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih.
Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis.
Hal-hal ini memperburuk gagal jantung.1,13
Gambar 2.2. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respons terhadap
hemodinamik berlebih.14
2.4 Klasifikasi Gagal Jantung
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi
menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal
jantung kronis.2
Pada gagal jantung akut dapat diklasifikasikan lagi baik klinis dan
karakteristik hemodinamik (Forrester) atau berdasarkan sirkulasi perifer dan
auskultasi paru serta berdasarkan kemampuan menjalani aktifitas fisik yang
10
diklasifikasikan oleh New York Heart Association (NYHA). Dapat pula dibagi
berdasarkan dominasi gagal jantung kanan atau kiri yaitu forward (kiri dan kanan
(AHF)), left heart bakward failure (yang dominan gagal jantung kiri), dan right
heart backward failure (berhubungan dengan disfugsi paru dan jantung sebelah
kanan).2
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepatojugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet warm)
- Kelas III (C) : kering dan dingin (dry cold)
- Kelas IV (D) : basah dan dingin (wet cold)
Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA):
a. NYHA kelas I, penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat
lelah, sesak nafas atau berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan
biasa.
b. NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik.
Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik
yang biasa menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan,
jantung berdebar, sesak nafas aatau nyeri dada.
c. NYHA kelas III, penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan
dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan
tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah dapat
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti yang tersebut diatas.
11
d. NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun
tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejalagejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.5
Klasifikasi stadium gagal jantung berdasarkan American College of Cardiology
and The American Heart Association:
a. Tahap A mempunyai resiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung
tetapi tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung.
b. Tahap B adanya struktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak
menimbulkan gejala.
c. Tahap C adanya struktur yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal
jantung.
d. Tahap D yaitu pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi
dengan pengobatan standar.2
Berdasarkan onset terjadinya gagal jantung diklasifikasikan menjadi:
a. Gagal jantung akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat dari gejala atau tanda
akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya sakit
jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau
disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan
dari preload atau afterload, seringkali memerlukan pengobatan segera. Gagal
jantung akut dapat berupa serangan baru tanpa adanya kelainan jantung
sebelumnya atau dekompensasi akut dari gagal jantung jantung kronis.2
b. Gagal jantung kronik
Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang
disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatigue, baik dalam keadaan istirahat
atau latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi dalam keadaan istirahat.2
2.5 Penegakan Diagnosa
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal
jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga
12
riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail. 1 Gejala kardinal
gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah. 1,5 Keluhan
lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya cardiac output pada
gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-cardiac
lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung pada
tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan
semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan
dan akhirnya dialami pada saat istirahat.1,5
Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme
yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan
pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler yang menstimulasi pernafasan pendek dan
dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dyspnea. Faktor lain yang dapat
memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru,
meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma,
anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang. 1,5
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima
jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain
seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria
mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada tabel
berikut : 1,5
Tabel 2.1 Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
13
Penurunan berat badan 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi 120x/menit
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. Pada
pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas
pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing
pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula
tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan.7,15
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.7,15
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
14
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi
tak
terkontrol,
atau
aritmia).
Ekokardiografi
dapat
Hipokalemia
dapat
terjadi
pada
pemberian
diuretik
tanpa
radionuklide
atau
multigated
ventrikulografi
dapat
15
air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yang
mungkin timbul adalah episode udema paru akut maupun malaise, penurunan
toleransi latihan dan sesak nafas saat aktifitas. Penatalaksaan ditujukan untuk
menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya adalah
untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.15,16,17
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain
adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan
perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat
dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan
pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis antibiotik pada operasi dan
prosedur gigi diperlukan terutama padapenderita dengan penyakit katup primer
maupun pengguna katup prostesis.16,17
Konsep terapi farmakologis saat ini ditujukan terutama pada menurunkan
preload, meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan
kontraktilitas miokard) dan menurunkan afterload. Obat-obat yang biasa
digunakan untuk gagal jantung kronis antara lain: diuretik (loop dan thiazide),
angiotensin converting enzyme inhibitors, blocker (carvedilol, bisoprolol,
metoprolol),
digoxin,
spironolakton,
vasodilator
(hydralazine
/nitrat),
16
Penderita gagal jantung akut datang dengan gambaran klinis dispneu, takikardia
serta cemas, pada kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan hipotensi.
Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), oliguria serta cardiac
output yang rendah menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok kardiogenik biasanya
timbul pada infark miokard luas, aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur otot papilari akut maupun
defek septum ventrikel pasca infark.17
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan.2 Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat
dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan
kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base
excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya
asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk.
Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan
pada kasus yang refrakter.17
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.17
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload
serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta
gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada
dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner.
Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara
dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya
adalah teleransi terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 24 jam.17
17
18
19
BAB III
PRESENTASI KASUS
3.1
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. A
Umur
: 49 tahun
Alamat
: Kuala Bireuen
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Suku
: Aceh
Pekerjaan
: Swasta
Status perkawinan
: Menikah
Tanggal masuk RS
: 26 Mei 2014
ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Sesak napas
Keluhan tambahan
20
Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.
Riwayat Pemakaian Obat
PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 95 x/menit, reguler
Pernafasan
: 28 x /menit
Suhu
: 36,5C
3.4
STATUS INTERNUS
a. Kulit
Warna
: Sawo matang
Turgor
: Cepat kembali
Sianosis
: (-)
Ikterus
: (-)
Oedema
: (-)
Anemia
: (-)
b. Kepala
Rambut
Wajah
Mata
Telinga
: Serumen (-/-)
Hidung
: Sekret (-/-)
21
Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
: Hiperemis (-/-)
Faring
: Hiperemis (-)
c. Leher
Inspeksi
: Simetris
Palpasi
d. Thorax
Inspeksi
Statis
: kesan normal
Dinamis
: kesan normal
Axilla
Palpasi :
Stem Fremitus
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Perkusi :
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Paru Kanan
Stem Fremitus Normal
Stem Fremitus Normal
Stem Fremitus Normal
Paru Kiri
Stem Fremitus Normal
Stem Fremitus Normal
Stem Fremitus Normal
Paru Kanan
Sonor
Sonor
Sonor memendek
Paru Kiri
Sonor
Sonor
Sonor memendek
Paru Kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler mengeras
Paru Kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler mengeras
Auskultasi :
Suara Nafas Pokok
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Paru Kanan
Rh (-), Wh (-)
Rh (-), Wh (-)
Rh (+), Wh (-)
Thorak Belakang
22
Paru Kiri
Rh (-), Wh (-)
Rh (-), Wh (-)
Rh (+), Wh (-)
Inspeksi
: Kesan normal
Stem Fremitus
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Paru Kanan
Normal
Normal
Normal
Paru Kiri
Normal
Normal
Normal
Paru Kanan
Sonor
Sonor
Sonor
Paru Kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Paru Kanan
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler mengeras
Paru Kiri
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler mengeras
Perkusi:
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Auskultasi
Suara Nafas Pokok
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Suara Nafas Tambahan
Lapangan Paru Atas
Lapangan Paru Tengah
Lapangan Paru Bawah
Paru Kanan
Rh (-), Wh (-)
Rh (-), Wh (-)
Rh (+), Wh (-)
Paru Kiri
Rh (-), Wh (-)
Rh (-), Wh (-)
Rh (+), Wh (-)
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
: Batas Jantung
Atas
Kiri
Kanan
Auskultasi
e. Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Hepar
: Tidak teraba
Lien
: Tidak teraba
Ginjal
: Ballotement (-)
23
Perkusi
Auskultasi
f. Genitalia
: Tidak diperiksa
g. Anus
: Tidak diperiksa
h. Tulang Belakang
: Kesan normal
i. Kelenjar Limfe
j. Ekstremitas
:
Superior
Kanan
Sianosis
Oedema
Fraktur
3.5
Kiri
Inferior
Kanan
Kiri
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin (26 Mei 2014)
Hb
: 15,6 mg/dl
Ht
: 47%
Leukosit
: 13,1. 103/ul
Trombosit
: 192. 103/ul
Na/K/Cl
: 143/5,3/110 mmol/L
GDS
: 127 mg/dl
EKG
Interpretasi EKG (27 April 2014)
Heart Rate
: 90 x/ menit, reguler
Irama
: Sinus ritme
Axis
: RAD
Gelombang P
: 0,08 detik
Interval PR
: 0,12 detik
Kompleks QRS
: 0,16 detik
Segmen ST
24
Gelombang T
: T inverted (-)
Q patologis
: I, AVL, V5, V6
Kes
an: Abnormal EKG dengan OMI (Old Miokard Infark) lateral
C. Foto Thoraks
25
Kesimpulan : Cardiomegali
Resume
Pasien datang ke RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 26
Mei 2014 pukul 23.00 WIB dengan keluhan sesak napas. Sesak napas dirasakan
sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 2 minggu terakhir. Sesak memberat jika
pasien beraktivitas. Pasien juga mengeluh mudah lelah jika melakukan aktivitas
ringan seperti kekamar mandi. Sesak napas tidak dipengaruhi oleh cuaca atau
debu. Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati sejak 1 minggu yang lalu, mual (+),
muntah (+). Pasien tidur nyaman dengan menggunakan 2 bantal. Pasien mengeluh
sering terbangun pada malam hari karena batuk dan sesak. Penurunan berat badan
5 kg dalam 1 bulan terakhir (70 kg menjadi 65 kg). Riwayat nyeri dada 1 bulan
yang lalu seperti ditimpa beban berat, nyeri dada hilang timbul, nyeri tidak
menjalar ke bahu dan lengan kiri. Riwayat kaki bengkak (+). Pasien selama ini
kontrol ke dokter spesialis jantung, dan dikatakan penyakit jantung.
Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat diabetes melitus disangkal. Tidak
ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama. Pemakaian
Obat untuk jantung tapi pasien lupa nama obat. Pasien perokok aktif selama 35
26
tahun. Pada pemeriksan EKG ditemukan OMI (Old Miokard Infark) lateral. Pada
pemeriksaan didapatkan tekanan darah100/70mmHg, nadi 95x/menit, regular,
pernafasan 28 x /menit, suhu 36,5C, TVJ R+2cmH20, sonor memendek,
vesikuler mengeras, ronki basah halus pada basal paru kiri kanan.
Diagnosa Sementara
1.CHF FC NYHA III e.c CAD
2. Old Miokard Infark lateral
Penatalaksanaan
Bed rest semifowler
Diet Jantung I 1700 kkal/hari
Oksigen 2-4 L/menit
IVFD RL 10 gtt/i
Inj. Furosemide 20 mg/ 12 jam
Aspilet 1 x 80 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Simvastatin 1 x 40 mg
Isosorbide dinitrate 3 x 5 mg
Ramipril 1x 2,5 mg
Bisoprolol 1x 1,25 mg
Total cairan 1600 ml/24 jam
Planning Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium berupa fungsi hati, fungsi ginjal, profil lipid
Anjuran Ketika Pulang
Atur pola makan bergizi seimbang. Konsumsi sayur dan buah, hindari makan
makanan yang berlemak secara berlebihan.
Olahraga teratur, pilih jenis olahraga yang bersifat aerobik, berenang atau
bersepeda sesuai dengan kemampuan.
Berpikir positif dan hindari stres.
Tetap minum obat pulang dengan teratur sampai waktu yang telah ditentukan.
27
: dubia ad malam
: dubia ad malam
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 26
Mei 2014 pukul 23.00 WIB dengan keluhan sesak napas. Sesak napas dirasakan
28
sejak 1 bulan yang lalu dan memberat 2 minggu terakhir. Sesak memberat jika
pasien beraktivitas. Pasien juga mengeluh cepat lelah jika melakukan aktivitas
sehari-hari seperti kekamar mandi. Pasien tidur harus menggunakan 2 bantal
lebih. Pasien mengeluh sering terbangun pada malam hari karena batuk dan sesak.
Keluhan utama pasien adalah sesak nafas, terutama memberat ketika pasien
beraktivitas berat. Sesak adalah kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas.
Penyebab sesak kronik antara lain gagal jantung, penyakit paru, efusi pleura dan
asma. Kunci untuk menentukan etiologi sesak adalah
identifikasi factor
mekanisme
kompensasi
yang
ada
sudah
dipakai
untuk
mempertahankan curah jantung selama istirahat. Bila cardiac output tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhanmetabolisme tubuh, maka jantung akan memakai
mekanisme kompensasi. Mekanisme kompensasi ini sebenarnya sudah dan selalu
dipakai untuk mengatasi beban kerja ataupun selama sakit. Bila mekanisme ini
sudah dipakai secara maksimal maka akan timbul gejala akibat dari sistem
kompensasi yang tidak berjalan, yaitu dyspnea de effort. Orthopneau dapat dilihat
dengan banyaknya bantal yang digunakan oleh penderita. Ortopnea adalah sesak
yang terjadi pada posisi tidur datar dan membaik dengan posisi duduk. Jumlah
bantal yang digunakan saat tidur dapat menjadi indicator adanya Ortopnea. Pada
waktu berbaring maka aliran balik vena sistemik ke jantung kanan meningkat,
menyebabkan aliran darah ke paru meningkat dan pada akhirnya menyebabkan
sesak nafas. Sesak nafas juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada
posisi berbaring. Gejala ini dapat diremui pada pasien gagal jantung kiri atau
penyakit katup mitral, namun pasien dengan penyakit paru obstruktif atau
serangan asma juga tidak dapat tidur dengan posisi datar. Dispnea nokturnal
paroksismal (paroxymal nocturnal dyspnea, PND) atau mendadak terbangun
karena dyspnea. Umumnya terjadi 2 jam hingga 4 jam setelah tidur dan disertai
diaphoresis, batuk kadang-kadang wheezing. Secara gradual akan berkurang
29
(dalam 10 sampai 20 menit) setelah posisi duduk. PND merupakan tanda klasik
dari edema paru interstisial dan sering kali disebabkan oleh gagal jantung.18
Keluhan nyeri dada yang dialami pasien nyeri dada atipikal adapun yang
gejala sifat nyeri dada angina meliputi : Lokasi: substernal, retrosternal, dan
prekordial, sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas dan terpelintir, faktor pencetus: latihan fisik,
stress. Kejadian ini berhubungan dengan adanya penyempitan arteri koronaria
oleh plak ateroma dan trombus yang terbentuk akibat rupturnya plak ateroma.
Perkembangan cepat infark miokard dari nekrosis otot jantung disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen yang disebabkan oleh
karena perfusi yang tidak adekuat, menyebabkan kadar oksigen ke jaringan
miokard menurun dan dapat pula menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis,
biokimia dan elektrikal miokard.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya peningkatan tekanan vena
jugularis R+2 cmH2O, vena jugularis dapat menggambarkan tekanan atrium kanan
dan vena sentral. Suara nafas pasien di basal paru kanan dan kiri vesikuler
mengeras, dan terdapat suara nafas tambahan yaitu rhonki basah halus di basal
paru kanan dan kiri. Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan
paru adalah ciri khas dari gagal jantung. Dengan terjadinya edema interstisial,
maka pergerakan alveoli akan terganggu sehingga proses pertukaran udara juga
akan terganggu.18
Hasil pemeriksaan penunjang foto Thorax didapatkan CTR > 50%, hal ini
menunjukkan gambaran kardiomegali. Kongesti paru yang berasal dari
peningkatan tekanan hidrostatik mengakibatkan terjadinya edema interstisial.18
Berdasarkan gambaran Elektrokardiogram (EKG) pasien menunjukkan
hasil abnormal EKG yaitu Q patologis pada sadapan I, AVL, V5, V6. Berdasarkan
hasil tersebut menunjukkan suatu gambaran infark miokard yang sudah lama
dengan Q patologis berlokasi pada daerah lateral jantung. Umumnya untuk
gambaran infark miokard akut terdapat gambaran iskemia, injuri dan nekrosis
yang timbul menurut urutan tertentu sesuai perubahan-perubahan pada miokard
yang disebut evolusi EKG.19
30
Gelombang Q, elevasi ST
Arteri koroner
(sandapan)
Anteroseptal
V1 dan V2
Anterior
V3 dan V4
(LAD)
Left anterior descending
31
Lateral
Anteriorekstensif
(LAD)
Left circumflex (LC)
Left anterior descending
V5 dan V6
I, aVL, V1-V6
(LAD),
High-lateral
Posterior
I, aVL, V5 dan V6
V7-V9 (V1 dan V2)
Left
circumflex
(LC)
Left circumflex (LC)
Left
circumflex
(LC)
Posterior Left Ventricular
Inferior
Artery (PL)
Posterior
Right ventrikel
V2R-V4R
Artery (PDA)
Right
coronary
descending
artery
(RCA)
Gambar 7. Lokasi area infark
Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung mensyaratkan
minimal dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor.
Kriteria mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada
tabel 2.1 dibawah.1,5 Pada pasien didapatkan adanya criteria mayor berupa dispnea
nokturnal paroksismal atau ortopnea, peningkatan tekanan vena jugular, pada hasil
rontgen thoraks didapatkan adanya kardiomegali, dan kriteria minor berupa
Dyspnea on ordinary exertion, batuk pada malam hari. Berdasarkan criteria
Framingham pasien memiliki 3 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, maka
diagnosis pasien adalah gagal jantung.
32
33
Mengatasi nyeri dada pada kasus ini sesuai dengan teori yang ada yaitu
dengan pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk meningkatkan suplai oksigen.
Pemberian nitrat oral atau intravena untuk angina digunakan untuk nyeri infark.
Pada kasus diatas diberikan ISDN sublingual 5 mg, diulang 3x selang 5 menit.
Isosorbitdinitrate tersebut merupakan golongan nitrat dimana mempunyai manfaat
untuk dilatasi arteri koroner, dilatasi vena sehingga dapat menurunkan preload,
mengurangi nyeri angina dan meningkatkan aliran darah koroner. Tetapi nitrat
tidak boleh diberikan pada pasien tekanan darah <90 mmhg atau penurunan
tekanan darah
34
RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwalds Heart Disease. Philadelphia:
Saunders; 2007. p. 561-80.
2. Necel. Gagal Jantung. Ilmu Penyakit Dalam Universitas Mulawarman. 2009
Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B,
Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004.
h. 262-264.
3. Hardiman
A.
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Pedoman
35
13. Lee TH. Practice Guidelines for Heart Failure Management. In: Dec
GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
14. Daulat. Gagal Jantung Akut. In: Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
p.1586-96.
15. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. In: Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
2009. p.1596-601.
16. McMurray J.J.V. 2012. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Acute and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal
2012:33:1787-847.
17. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta. Balai penerbit FKUI.
2012.
18. Alwi I. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke lima. Jakarta; FKUI. 2010.
19. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J., Boersma E. ESC Guidelines for
the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
Without persistent ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2011; P.
32: 2999-3054.
20. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E. ESC Guidelines for
the Management of Acute Coronary Syndromes in Patients Presenting
Without persistent ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2011; 32:
2999-3054.
21.
Steg G., James SK., Atas D., Badano LP., Lundqvist., Borger MA.. ESC
Guidelines for the Management of Acute Myocardial Infarction in Patients
Presenting with ST-segment Elevation. European Heart Journal. 2012.
P.33:2569-2619.
36