Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan adalah timbulnya hipertensi
pada wanita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal atau memperberat
hipertensi yang sebelumnya sudah ada. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin yang tinggi di Indonesia. Angka kejadian
hipertensi dalam kehamilan umumnya berkisar antara 7-12%.8
Mortalitas perinatal lebih tinggi pada janin yang lahir dari ibu preeklamsia.
Penyebab-penyebabnya adalah Insufisiensi plasenta, solusio plasenta, dimana
menyebabkan kematian janin dalam rahim dan prematuritas. Pertumbuhan janin
terhambat lebih sering terjadi pada preeklamsia, Di Amerika kematian janin pada
hipertensi dalam kehamilan rata-rata 100 - 125 perhari. Beberapa penelitian tentang
Dopler velosimetri mendapatkan: nilai abnormal pada pemeriksaan dopler velosimetri
arteri Umbilikalis dihubungkan dengan keluaran perinatal yang kurang baik.9
Gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan sering dijumpai (5
15%)1,2 dan termasuk salah satu di antara tiga trias mematikan, bersama dengan
perdarahan dan infeksi, yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas ibu
karena kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan ditemukan pada 146.320 wanita atau
3,7% di antara semua kehamilan yang berakhir dengan kelahiran hidup. 1
Preeklamsi ialah suatu gangguan malfungsi endotel vaskular menyeluruh dan
vasospasme terjadi setelah 20 minggu kehamilan dan dapat terjadi hingga 4 6
minggu postpartum. Secara klinis preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi dan
proteinuria, dengan atau tanpa edema. Insidensi global dari preeklamsia diperkirakan
5 14% dari seluruh kehamilan. Di negara-negara berkembang, insidensi penyakit ini
dilaporkan sekitar 4 18%, sedangkan di Amerika Serikat berkisar antara 2 6%
pada wanita sehat nulipara. Sekitar 10% dari semua kasus preeklamsia terjadi pada
usia kehamilan sebelum 34 minggu.3
1 | Page
Penyebab dari preeklampsia sampai saat ini belum diketahui namun berada
pada uterus gravida. Kenaikan tekanan darah dan tanda-tanda maternal lainnya
hanyalah gambaran sekunder semata- mata yang merupakan refleksi dari suatu
problema intra uterin. Dengan demikian tanda-tanda preeklampsia harus benar-benar
dipandang sebagai konsekuensi dari suatu proses patologis yang lebih fundamental
pada sistim target maternal yang spesifik yaitu sistim arteri, hepar, ginjal dan sistim
koagulasi.10
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai definisi, klasifikasi,
patogenesis dan patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan serta komplikasi dari
preeklampsi dan kematian janin dalam kandungan.
2 | Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi pada wanita hamil merupakan suatu keadaan yang khusus yang perlu
mendapat perhatian oleh karena akibat yang dapat ditimbulkan pada ibu maupun
janin, seperti berat badan yang rendah sampai kematian dapat dialami oleh janin.
Dalam keadaan normal, di awal kehamilan tekanan darah wanita hamil akan
lebih rendah dibandingkan sebelum hamil (saat mulai kehamilan sampai trimester 2),
kemudian akan meningkat kembali pada trimester ketiga, tekanan darah rendah ini
akibat adanya vasodilatasi dan penurunan tekanan darah perifer.
American committee on maternal welfarrel merumuskan batasan hipertensi pada
wanita hamil sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan darah di atas 30/20 mmHg dari nilai sebelum hamil/ nilai
trimester pertama.
2. Nilai tekanan darah absolute lebih dari 140/90 mmHg pada setiap stadium
kehamilan.
Diagnosis gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan dapat
diperhatikan pada tabel di bawah ini: 1
Penjelasan Tambahan
3 | Page
Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg dengan
menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekanan diastolik. Pengukuran
urin. 1,2
Edema. Dahulu edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsia, tetapi
sekarang tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu
dipertimbangkan faktor risiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapati
edema generalisata atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu.2
PRE EKLAMPSIA
Definisi
Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ
akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Pre-eklampsia merupakan salah satu kasus
gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Penyulit kehamilan
yang akut ini dapat terjadi ante, intra, dan post partum.2
Epidemiologi
Ada yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Menurut beberapa data yang ada, frekuensi dilaporkan
sekitar 3-10%. Lebih banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida,
terutama primigravida usia muda.6
Faktor Risiko
4 | Page
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, antara
lain: 4
Risiko yang berhubungan dengan partner laki-lakituk hamil
1. Primigravida
2. Primipara
3. Umur yang ekstrim: terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan
4. Partner laki-laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklamsia
5. Pemaparan terbatas terhadap sperma
6. Inseminasi donor dan donor oocyte
Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat
penyakit keluarga
1. Riwayat menderita preeklamsia sebelumnya
2. Hipertensi kronis
3. Penyakit ginjal
4. Obesitas
5. Diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe 1
Risiko yang berhubungan dengan kehamilan
1. Mola Hidatidosa
2. Kehamilan multipel
3. Infeksi saluran kemih pada kehamilan
4. Hidrops fetalis
5. Makrosomia
Patogenesis
Penyebab hipertensi dalam kehamilan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Suatu ringkasan tentang patofisiologi preeklamsia dapat dilihat pada gambar berikut:1
5 | Page
Gambar 2: Uterine spiral artery unwinds and becomes a wider, flaccid tube to
accommodate increased blood flow. Uterine spiral artery remains tightly coiled,
diminishing placental blood flow
Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi
tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan terjadi
vasodilatasi. Akibatnya terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga terjadi
hipoksia dan iskemi plasenta.
7 | Page
Gambar 3: Diameter rata-rata arteri spiralis pada kehamilan normal ialah 500 mikron,
sedangkan pada preeklamsia diameternya ialah 200 mikron. Vasodilatasi arteri spiralis
pada kehamilan normal dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.
8 | Page
kerusakan sel endotel, yang awalnya dimulai dari membran sel endotel hingga
seluruh struktur sel endotel, yang disebut Disfungsi Endotel. Akibatnya akan terjadi
perdarahan, nekrosis dan kerusakan organ-organ, antara lain:
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2), suatu vasodilator kuat.
b. Pada daerah endotel yang mengalami kerusakan terjadi agregasi sel-sel trombosit
untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan
tersebut. Agregasi trombosit tersebut memproduksi tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar bahan vasodilator
(prostasiklin) lebih tinggi dibandingkan vasokonstriktor (tromboksan). Sedangkan
pada preeklamsia, terjadi sebaliknya, yang menyebabkan terjadinya kenaikan
tekanan darah.
c. Peningkatan produksi vasopresor, yaitu endotelin, serta penurunan kadar NO/
Nitric Oxide (vasodilator)
d. Peningkatan permeabilitas kapiler.
e. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis)
f. Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Teori ini terbukti dengan fakta sebagai berikut:
a. Primigravida berisiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi berisiko lebih besar
Pada wanita hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini dsebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLAG), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak
menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta, selain dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer ibu, juga akan
mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.
9 | Page
10 | P a g e
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penderita preeklampsia sangat bervariasi dan individual, dari
penderita tanpa gejala klinik sampai penderita dengan gejala klinik yang sangat
progresif, berkembang dengan cepat dan membahayakan nyawa penderita. Kadangkadang sulit untuk menentukan gejala preeklamsia mana yang timbul lebih dahulu.
Pada preeklampsia umumnya perubahan patogenik telah lebih dahulu terjadi
mendahului manifestasi klinik. Secara teoritik, urutan-urutan gejala yang timbul pada
preeklamsia ialah edema atau kenaikan berat badan, hipertensi, dan terakhir
proteinuria, sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di atas, dapat
dianggap bukan preeklamsia. Dari manifestasi klinis, pre-eklampsia dapat dibagi
menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia berat: 2
1. Preeklamsia Ringan
Pada preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subjektif. Disebut
preeklampsia ringan, bila dijumpai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg.
b. Proteinuria kuantitatif 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick 1+.
2. Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat ialah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda
berikut:
a. Tekanan darah 160/ 110 mmHg yang diukur sebanyak 2 kali dengan interval
minimal 6 jam.
b. Proteinuria 5 gr/ 24 jam atau +3 yang diambil dari 2 sampel urin dengan
c.
d.
e.
f.
g.
h.
lebih yang menetap atau ekskresi protein urin 24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dapat
11 | P a g e
Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklamsia
adalah: 1
1. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya.
2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.
3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.
Pada setiap kehamilan dengan suatu penyakit, maka selalu dipertanyakan
mengenai 2 unsur, yaitu: sikap terhadap penyakitnya (terapi medikamentosa) dan
12 | P a g e
13 | P a g e
Ibu hamil dengan preeklamsia ringan tidak diberikan obat diuretik, antihipertensi,
dan sedatif. 2,4
Namun pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklamsia ringan perlu
dirawat di RS, dengan kriteria: 2,4
Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu,
Muncul satu atau lebih manifestasi klinis preeklamsia berat.
Selama di RS perlu dilakukan evaluasi sistemik yang mencakup: 1
1.
2.
3.
4.
terjadinya edema paru dan oligouria (produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau
< 500 cc/24 jam). Oleh karena itu, monitoring input cairan dan output cairan
menjadi sangat penting. Cairan yang diberikan dapat berupa:
- 5% Ringer-Dextrose atau cairan garam faali umlah tetesan < 125 cc/jam, atau
- Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60125 cc/jam) 500 cc.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung, sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam. 2,4
Pengendalian kejang dengan Magnesium Sulfat (MgSO4)
Magnesium Sulfat merupakan obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia
dan sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada
preeklamsia atau eklamsia. 2,4
Pada kasus PEB dan eklamsia, MgSO4 yang diberikan secara parenteral
adalah obat antikejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf
pusat baik pada ibu maupun janinnya. Magnesium Sulfat tidak diberikan untuk
mengobati hipertensi. Dosis MgSO4 untuk PEB sama seperti untuk eklamsia.
Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya
kejang, wanita dengan PEB atau eklamsia biasanya diberi MgSO4 selama
persalinan dan selama 24 jam postpartum. Untuk eklamsia yang timbul
postpartum, MgSO4 diberikan selama 24 jam setelah awitan kejang. Biasanya
penderita berhenti kejang setelah pemberian awal MgSO4, dan dalam satu
sampai dua jam akan kembali sadar (oriented).1
Cara Kerja
MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pemberian MgSO4 akan
menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi
15 | P a g e
competitive inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja MgSO4. 2,4
Farmakologi dan Toksikologi
Magnesium Sulfat yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir
seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi MgSO4 dapat dihindari
dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, adanya refleks patela
atau biseps dan tidak ada depresi pernapasan. Kejang eklamsia hampir selalu
dapat dicegah bila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 7 mEq/L
(4,8 8,4 mg/dL). Dosis terapeutik dan toksik dari MgSO4: 1
- Dosis terapeutik
4 7 mEq/L
- Hilangnya refleks patella 10 mEq/L
- Depresi pernapasan
> 10 mEq/L
- Paralisis dan henti napas > 12 mEq/L
Terapi dengan Kalsium Glukonas, 1 gr intravena, bersama dengan
penghentian terapi MgSO4, biasanya memulihkan depresi pernapasan ringan
hingga sedang. Sayangnya, efek kalsium glukonas mungkin berlangsung
singkat. Untuk depresi pernapasan yang berat dan henti napas, perlu segera
dilakukan intubasi trakea dan ventilasi mekanis untuk menyelamatkan
nyawa.1
Dosis standar awal MgSO4 dapat dengan aman diberikan tanpa
mengetahui fungsi ginjal. Setelah itu, fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan
mengukur bersihan kreatinin, dan bila nilainya 1,3 mg/dL, dapat diberikan
setengah dari dosis rumatan MgSO4 intramuskular. Bila MgSO4 diberikan
secara
infus
kontinu,
kadar
magnesium
serum
digunakan
untuk
16 | P a g e
secara parenteral kepada ibu hamil dengan capat menembus plasenta untuk
mencapai keseimbangan di serum janin. Neonatus dapat mengalamai depresi
hanya apabila terjadi hipermagnesemia yang parah saat lahir.1
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa untk memberikan
regimen MgSO4, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 2,4
- Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi, yaitu Kalsium
Glukonas 10% = 1 gr (10% dalam 10 cc) diberikan i.v 3 menit.
- Refleks patella (+) normal.
- Frekuensi pernapasan > 16 x/menit, tidak ada tanda-tanda distres
pernapasan.
17 | P a g e
Efektivitas Klinis
Dari suatu penelitian yang membandingkan antara pemberian regimen
MgSO4 dengan Diazepam dan Fenitoin, didapatkan bahwa persentase
penurunan kejadian kejang berulang dan kematian ibu, lebih besar bila
diberikan terapi dengan regimen MgSO4 dibandingkan dengan Diazepam
maupun Fenitoin. Namun, hasil tersebut tidak bermakna secara statistik.1
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu
obat berikut: Tiopental sodium 100 mg i.v, Sodium amobarbital 250 mg i.v,
Diazepam 10 mg i.v, atau Fenitoin.1,2,4
18 | P a g e
Aktif
(aggressive
management):
kehamilan
segera
diakhiri/diterminasi
19 | P a g e
Penyulit Ibu
- Sistem saraf pusat : perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi
Penyulit janin
IUGR, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distres napas, kematian janin
uterin, kematian neonatal, sepsis, cerebral palsy.
Pencegahan
Berbagai upaya telah digunakan sebagai upaya untuk mencegah preeklamsia, antara
lain: 1,2,4
o Manipulasi diet. Pembatasan asupan garam, suplementasi kalsium (1500 2000
mg/hari), dan konsumsi minyak ikan selama hamil belum terbukti efektif untuk
mencegah preeklamsia.
o Dalam suatu penelitian, aspirin dosis rendah (< 100 mg/hari) secara bermakna
dapat menurunkan kadar tromboksan B2 ibu, tetapi tidak bermanfaat karena
insiden preeklamsia tidak berkurang dibandingkan dengan plasebo.
o Terapi Antioksidan, seperti konsumsi vitamin C dan E, secara bermakna dapat
menurunkan aktivasi sel endotel dan mungkin bermanfaat untuk mencegah
preeklamsia. Namun harus dilakukan penelitian yang lebih besar sebelum
20 | P a g e
Etiologi
21 | P a g e
Menurut Mochtar (2004), lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin dalam
kandungan tidak ditemukan atau belum diketahui penyebabnya dengan pasti.
Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam kandungan,
antara lain.
a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.
b. Preeklampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah.
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular
e. Penyakit saluran kencing
f. Penyakit endokrin: diabetes melitus
g. Malnutrisi
Diagnosis
Anamnesis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat
berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau
kehamilan tidak seperti biasa.
c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa sakit-sakit
seperti mau melahirkan.
Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada
ibu yang kurus.
Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakangerakan janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala
janin.
Auskultasi
22 | P a g e
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar denyut
jantung janin (DJJ)
Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematian Janin Dalam Kandungan
Faktor Ibu
1. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-organ
tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal
ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung dapat mempengaruhi
kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil
adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum
cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum
(Wiknjosastro, 2005).
2. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap ancaman
mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang telah
melahirkan lebih dari 5 kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam
kehamilan seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat
mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002).
3. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh
karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama
periode antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan).
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).
23 | P a g e
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita
hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu
hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik
minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam
kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim,
hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut
jantung janin (Saifuddin, 2002).
4. Penyulit / Penyakit
a. Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam jumlah
besar untuk pembuatan butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat
besi. Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia
dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan
turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima
sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi.
Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah
kematian janin dalam kandungan (Mochtar, 2004). Menurut Manuaba (2003),
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli,
dapat digolongkan sebagai berikut :
- Normal : 11 gr%
- Anemia ringan : 9-10 gr%
- Anemia sedang : 7-8 gr%
- Anemia berat : <7 gr%.
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan
air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan
dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin (Mochtar,
2004).
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas
dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya
darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka
terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis,
spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh darah
distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat
laun melepaskan plasenta dari rahim.
Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian
janin (Wiknjosastro, 2005).
d. Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-ciri kekurangan
atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan
mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita diabetes
melarikan bayi yang besar (makrosomia).
Makrosomia dapat terjadi karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang
menghasilkan lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi.
Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia
menimbulkan masalah sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir
(Stridje, 2000).
e. Rhesus Iso-Imunisasi
25 | P a g e
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen rhesus
akan membuat penerima darah membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi darah
rhesus positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel
darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus isoimunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi perlahan- lahan
sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu
dengan sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga pecah
melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan sebagian
dikeluarkan ke kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah merah
yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
f. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun
keparahan setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi
mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul
karena mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada
kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin,
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn, 2001).
g. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dan kematian
janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan.
Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur kehamilan
kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%. Ketuban pecah dini menyebabkan
hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi
atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi
kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi
dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian
kesakitan dan kematian ibu dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
26 | P a g e
h. Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan
kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak
lintang dengan ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan
spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian
janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu
dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit
dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen bawah uterus
melebar serta menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin lama makin tinggi
dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat mengakibatkan kematian janin
(Wiknjosastro, 2005).
Faktor Janin
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
sebab penting terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi
dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah
bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk
morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk
malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara anatomik
mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal. Kejadian
ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau pada kejadian
oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital malformitas, susunan
anatomik maupun bentuknya akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali
melalui pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri,
2005).
2. Infeksi intranatal
27 | P a g e
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari
vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban
pecah dini mempunyai peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis.
Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama
dan seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena
menginhalasi likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena
kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia.
Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang
terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja, 2006).
3. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion,
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya
tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat
menimbulkan lilitan pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan
menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu
terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi
velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi kanalis
servikalis, sehingga saat ketuban pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut
pecah. Kematian janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila
pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu
(Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran pembuluh
darah umblikalis, karena selei Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah
tersebut menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam
28 | P a g e
rahim. Gerakan janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga
dijumpai (Manuaba, 2002).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar
kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat
berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang
berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat menumbung, atau tali pusat
terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul,
makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin
sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin, seringkali
tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai
overlapping cairan ketuban berkurang.
2. Rontgen foto abdomen
a. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling tumpang tindih
(overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi setelah bayi
meninggal beberapa hari dalam kandungan.
b. Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting (hiperpleksi).
c. Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
d. Tampak udema di sekitar tulang kepala
3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen
(Achadiat 2004).
29 | P a g e
BAB III
30 | P a g e
LAPORAN KASUS
STATUS ORANG SAKIT
I. ANAMNESA PRIBADI
Nama
Umur
No MR
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat
Masuk RSUPM
: Nurmasari
: 21 tahun
: 79.50.28
: Tamat SLTP
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Jl. Bejo Dusun XVI
: 1 Juni 2011
Keluhan utama
Telaah
RPT
: (-)
RPO
: (-)
Riwayat Haid
HPHT
TTP
Lama siklus
Lama haid
: 2 November 2010
: 9 Juli 2011
: 28 hari (teratur)
: 6-7 hari
ANC
Periksa hamil pada bidan:
Trimester I
:1X
31 | P a g e
Trimester II
Trimester III
:1X
:1X
Riw. Persalinan :
1. Hamil ini.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS PRESENS
Sens
: Compos Mentis
anemis
: (-)
TD
ikterik
: (-)
HR
: 88 x/i
dyspnoe
: (-)
RR
: 20x/i
sianosis
: (-)
: 36,7 C
oedema
: (-)
: (+)
kelainan fisik
: (-)
B. STATUS GENERALISATA
1. Kepala
Mata
Hidung
Mulut
2. Leher
3. Dada
4. Perut
5. Ekstremitas Superior
6. Ekstremitas Inferior
7. Genitalia
C. STATUS OBSTETRIKUS
Abdomen
: Membesar simetris
TFU
Letak janin
: Kepala
Punggung janin
: Kiri
Turunnya kepala
: 5/5
His
: Tidak ada
DJJ
: 140X/i, reguler
Tanda RUI
: Tidak ada
: Tidak ada
Osborn
: Tidak ada
Krepitasi
: Tidak ada
EBW
(TFU 13) x 155 gr = (26 13) x 155 gr = 13 x 155 gr = 2015 gr (2000 2200 gr)
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil laboratorium 1/6/11
Darah rutin
Hb
: 14,0 gr/dl
Leukosit
: 14.400 / mm3
33 | P a g e
Ht
: 38 %
Trombosit
: 379.000/mm3
KGD ad random
: 72 mg/dL
Elektrolit
Na
: 139 mmol/dL
: 4,1 mmol/dL
Cl
: 114 mmol/dL
SGOT
: 35 U/L
SGPT
: 11 U/L
Ureum
: 47 mg/dL
Creatinin
: 1,10 mg/dL
LFT
RFT
Proteinuria
:+4
E. DIAGNOSA SEMENTARA
PEB + PG + KDR(32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu
F. RENCANA PERSALINAN
Rawat ekspektatif
G. PROGNOSIS
Sedang
H. TERAPI
-
Bed rest
Kateter terpasang
Follow Up
1/6/2011
KU
SP
: Sens : CM
Anemis
: (-)
TD
: 140/60 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 90 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 24 x/i
Sianosis
: (-)
: 36,5 0C
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
SO
: Abdomen
: Membesar Asimetris
Gerak
: (+)
His
: (-)
DJJ
Diagnosis
Terapi
Rencana
: Rawat ekspektatif
2/6/2011
KU
SP
: Sens : CM
Anemis
: (-)
TD
: 150/100 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 92 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 20 x/i
Sianosis
: (-)
Oedem
: (+) Pretibial
Proteinurea
: +3
35 | P a g e
T
SO
: 36,4 0C
: Abdomen
: Membesar Asimetris
Gerak
: (+)
His
: (-)
DJJ
Diagnosis
Terapi
Rencana
: -Rawat ekspektatif
3/6/2011
KU
SP
: Sens : CM
Anemis
: (-)
TD
: 140/90 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 96 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 24 x/i
Sianosis
: (-)
Oedem
: (+) pretibial
Proteinuria
: +3
36 | P a g e
T
SO
: 36,6 0C
: Abdomen
: Membesar Asimetris
Gerak
: (+)
His
: (-)
DJJ
Diagnosis
Terapi
Rencana
: -Rawat ekspektatif
: (-)
SP
: Sens : CM
Anemis
: (-)
TD
: 130/110 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 90 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 22 x/i
Sianosis
: (-)
Oedem
: (+) pretibial
Proteinuria
: +3
37 | P a g e
T
SO
: 36,8 0C
: Abdomen
: Membesar Asimetris
Gerak
: (+)
His
: (-)
DJJ
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg
-Flumucil 2X600mg
- Kateter terpasang menetap
- Awasi VS, his dan DJJ
Rencana
: -Rawat ekspektatif
-Awasi VS, his dan DJJ
: (-)
SP
: Sens : CM
Anemis
: (-)
TD
: 140/90 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 88 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 22 x/i
Sianosis
: (-)
Oedem
: (+) pretibial
Proteinuria
: +3| P a g e
38
T
SO
: 36,5 0C
: Abdomen
: Membesar Asimetris
TFU
Ballotement : (+)
Gerak
: (-)
His
DJJ
: (-) KJDK
EBW
: 2000-2200 gr
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg
Rencana
Anemis
: (-)
TD
: 110/70 mmHg
Ikterik
: (-)
HR
: 88 x/i
Dyspnoe
: (-)
RR
: 20 x/i
Sianosis
: (-)
: 36,6 0C
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
39 | P a g e
SO
: Abdomen
: Membesar Asimetris
Gerak
: (-)
His
: 2X15/10
DJJ
: (-)
PERIKSA DALAM
-
Pembukaan
: 3 cm
Effacement
: 100%
Bagian terbawah
: Kepala
Presentasi
: Vertex
Posisi
: UUK pukul 3
:-
Moulase
:-
Caput
:-
Selaput ketuban
:+
: H-II
Turunnya kepala
: 3/5
Mekonium
:-
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg
Rencana
40 | P a g e
kateter.
Pada his yang adekuat tampak kepala maju mundur di introitus vagina dan
kemudian menetap.
Pada his yang adekuat berikutnya, ibu dipimpin mengedan dan lahir berturut-turut
belakang.
Dengan sanggah susur lahir bayi perempuan, 1500gr, 40cm, A/S: 0/10, anus (+),
maserasi tingkat 1.
Talipusat diklem di 2 tempat, kemudian digunting di antaranya.
Dilakukan injeksi oxytocin 10 IU/IM
Dengan PTT, plasenta dilahirkan, kesan lengkap.
Evaluasi jalan lahir: tampak laserasi di jalan lahirdilakukan repair dengan
41 | P a g e
- B complex 2X1
- Ciprofloxacin 3X500mg
- Nifedipine 3X10mg
- Linoral 3X1
Neonatus
Jenis kelahiran
: Tunggal
Lahir
: Tanggal: 5/6/2011
Jam: 12.30 WIB
Keadaan Lahir
: Lahir mati
APGAR Score
: 0/10
Bantuan pernafasan
: (-)
Jenis Kelamin
: Perempuan
BB
: 1500 gr
PB
: 40 cm
Kelainan bawaan
: (-)
Trauma
: (-)
Konsul
: (-)
Ukuran kepala
: Tdp
13.00
13.30
14.00
14.30
15.00
Nadi
120 x/i
120x/i
120x/i
120x/i
120x/i
TD
150/100
120/80 mmHg
mmHg
mmHg
RR
40 x/i
36 x/i
40 x/i
40 x/i
40x/i
Kontraksi
Kuat
Kuat
Kuat
Kuat
Kuat
Uterus
42 | P a g e
Perdarahan
Terapi
10cc
-IVFD
10cc
10cc
20 gtt/i
gtt/i
gtt/i
gtt/i
gtt/i
-Asam
-Asam
-Asam
-Asam
-Asam
mefenamat
mefenamat
mefenamat
mefenamat
mefenamat
3X1
3X1
3X1
3X1
3X1
-B complex -B
2X1
complex -B
2X1
2X1
complex -B
complex -B
2X1
2X1
: Sesak napas
SP
: Sens : CM
TD
: 130/90 mmHg
HR
: 100 x/i
RR
: 28 x/i
: 36,9 0C
Anemis
: (-)
Ikterik
: (-)
Dyspnoe
: (+)
Sianosis
: (-)
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
43 | P a g e
complex
SO
: Abdomen
TFU
: Setentang pusat
P/V
: 10 cc
Lochia
: (+) rubra
Kontraksi uterus
: Baik
BAK
: (+)
BAB
: (-)
Flatus
: (+)
ASI
: (-)
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1
Rencana
NH 2: 6/5/2011
KU
: sesak napas
SP
: Sens : CM
SO
TD
: 120/90 mmHg
HR
: 120 x/i
RR
: 36 x/i
: 36,4 0C
: Abdomen
Anemis
: (-)
Ikterik
: (-)
Dyspnoe
: (+)
Sianosis
: (-)
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
TFU
P/V
: (-)
44 | P a g e
Lochia
: (+) rubra
Kontraksi uterus
: Baik
BAK
: (+)
BAB
: (-)
Flatus
: (+)
ASI
: (-)
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1
-Ciprofloxacin 3X500mg
-Nifedipine 3X10mg
-Linoral 3X1
Rencana
NH 3: 7/5/2011
KU
: (-)
SP
: Sens : CM
SO
TD
: 120/90 mmHg
HR
: 120 x/i
RR
: 24 x/i
: 36,5 0C
: Abdomen
TFU
P/V
Anemis
: (-)
Ikterik
: (-)
Dyspnoe
: (-)
Sianosis
: (-)
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
: (-)
45 | P a g e
Lochia
: (+) rubra
Kontraksi uterus
: Baik
BAK
: (+)
BAB
: (+)
Flatus
: (+)
ASI
: (-)
Diagnosis
Terapi
: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1
-Ciprofloxacin 3X500mg
-Nifedipine 3X10mg
-Linoral 3X1
Hasil lab
Darah lengkap
-Hb
-Leu
-Ht
-Trom
-LDH
: 13,6 gr/dL
: 24.500/mm3
: 39,1 %
: 336.000/mm3
: 684
-Ureum
-Creatinin
-Uric acid
: 27mg/dL
: 0,69 mg/dL
: 7,6 mg/dL
-SGOT
-SGPT
-ALP
: 25 U/L
: 10 U/L
: 116 U/L
RFT
LFT
46 | P a g e
-Bil. Total
-Bil Direct
: 0,44 mg/dL
: 0,13 mg/dL
Na
K
Cl
: 127 mmol/dL
: 3,6 mmol/dL
: 106 mmol/dL
Elektrolit
HST
Masa Protrombin
INR
Masa a.P.T.
: 13,0 detik
: 1,04 detik
: 56,7 detik
NH 4: 8/5/2011
KU
: (-)
SP
: Sens : CM
SO
TD
: 130/80 mmHg
HR
: 98 x/i
RR
: 24 x/i
: 37,0 0C
: Abdomen
TFU
P/V
: (-)
Lochia
: (+) rubra
Kontraksi uterus
: Baik
BAK
: (+)
BAB
: (-)
Anemis
: (-)
Ikterik
: (-)
Dyspnoe
: (-)
Sianosis
: (-)
Oedem
: (-)
Proteinuria
: +3
47 | P a g e
Flatus
: (+)
ASI
: (-)
Diagnosis
Terapi
Pasien PAPS
BAB IV
ANALISA MASALAH
KASUS
Ny. N merupakan primigravida.
TEORI
Dilaporkan angka kejadian sebanyak 6%
dari seluruh kehamilan dan 12% pada
kehamilan
beberapa
primigravida.
data
yang
Menurut
ada,
frekuensi
berat
ialah
preeklamsia
RSUPM TD: 160 / 110 mmHg, dan dengan salah satu atau lebih gejala dan
proteinuria: + 4, sehingga pasien tanda berikut:
48 | P a g e
Berdasarkan
obstetrikus
hasil
pada
antikejang
Sulfat
yang
merupakan
banyak
obat
dipakai
di
maintanance dose: MgSO4 40%, Indonesia dan sampai saat ini tetap
30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i
maksimum
120
Nifedipin
tidak
boleh
sublingual
karena
efek
mg/24
jam.
diberikan
vasodilatasi
Pemberian
glukokortikoid
untuk
49 | P a g e
pre-eklampsi
terjadi
spasme
WIB, DJJ tidak dijumpai, diduga pembuluh darah disertai dengan retensi
kematian janin dalam kandungan.
gangguan
pertumbuhan
oksitosin.
Untuk
oksitosin
50 | P a g e
BAB V
PERMASALAHAN
1. Mengapa setelah dirawat dan diterapi, pada pasien preeklampsia berat ini tetap
terjadi kematian janin dalam kandungan?
51 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cunningham FG, et al. Bab 24: Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam:
Obstetri Williams 21st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. p.62584.
2.
3.
Lim KH and Rivlin ME. Preeclampsia. Medscape 2011 (cited 2011 April 22).
Available from: http://www.emedicine.com.
4.
5.
Yenicesu GI, et al., 2009. HELLP Syndrome. Cumhuriyet Tp Derg 31: 182-188.
6.
52 | P a g e
7.
Haram K, et al., 2009. The HELLP Syndrome: Clinical Issues and Management.
BMC Pregnancy and Childbirth 9 (8).
8.
9.
10. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, etal. Hypertensive Disorders in
Pregnancy. William Obstetrics . Ed. 20th. Conecticut : Appleton & Lange 1997 :
693 744.
53 | P a g e