You are on page 1of 53

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu komplikasi yang dapat terjadi pada kehamilan adalah timbulnya hipertensi
pada wanita yang sebelumnya mempunyai tekanan darah normal atau memperberat
hipertensi yang sebelumnya sudah ada. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas ibu dan janin yang tinggi di Indonesia. Angka kejadian
hipertensi dalam kehamilan umumnya berkisar antara 7-12%.8
Mortalitas perinatal lebih tinggi pada janin yang lahir dari ibu preeklamsia.
Penyebab-penyebabnya adalah Insufisiensi plasenta, solusio plasenta, dimana
menyebabkan kematian janin dalam rahim dan prematuritas. Pertumbuhan janin
terhambat lebih sering terjadi pada preeklamsia, Di Amerika kematian janin pada
hipertensi dalam kehamilan rata-rata 100 - 125 perhari. Beberapa penelitian tentang
Dopler velosimetri mendapatkan: nilai abnormal pada pemeriksaan dopler velosimetri
arteri Umbilikalis dihubungkan dengan keluaran perinatal yang kurang baik.9
Gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan sering dijumpai (5
15%)1,2 dan termasuk salah satu di antara tiga trias mematikan, bersama dengan
perdarahan dan infeksi, yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas ibu
karena kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan ditemukan pada 146.320 wanita atau
3,7% di antara semua kehamilan yang berakhir dengan kelahiran hidup. 1
Preeklamsi ialah suatu gangguan malfungsi endotel vaskular menyeluruh dan
vasospasme terjadi setelah 20 minggu kehamilan dan dapat terjadi hingga 4 6
minggu postpartum. Secara klinis preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi dan
proteinuria, dengan atau tanpa edema. Insidensi global dari preeklamsia diperkirakan
5 14% dari seluruh kehamilan. Di negara-negara berkembang, insidensi penyakit ini
dilaporkan sekitar 4 18%, sedangkan di Amerika Serikat berkisar antara 2 6%
pada wanita sehat nulipara. Sekitar 10% dari semua kasus preeklamsia terjadi pada
usia kehamilan sebelum 34 minggu.3

1 | Page

Penyebab dari preeklampsia sampai saat ini belum diketahui namun berada
pada uterus gravida. Kenaikan tekanan darah dan tanda-tanda maternal lainnya
hanyalah gambaran sekunder semata- mata yang merupakan refleksi dari suatu
problema intra uterin. Dengan demikian tanda-tanda preeklampsia harus benar-benar
dipandang sebagai konsekuensi dari suatu proses patologis yang lebih fundamental
pada sistim target maternal yang spesifik yaitu sistim arteri, hepar, ginjal dan sistim
koagulasi.10
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai definisi, klasifikasi,
patogenesis dan patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan serta komplikasi dari
preeklampsi dan kematian janin dalam kandungan.

2 | Page

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi pada wanita hamil merupakan suatu keadaan yang khusus yang perlu
mendapat perhatian oleh karena akibat yang dapat ditimbulkan pada ibu maupun
janin, seperti berat badan yang rendah sampai kematian dapat dialami oleh janin.
Dalam keadaan normal, di awal kehamilan tekanan darah wanita hamil akan
lebih rendah dibandingkan sebelum hamil (saat mulai kehamilan sampai trimester 2),
kemudian akan meningkat kembali pada trimester ketiga, tekanan darah rendah ini
akibat adanya vasodilatasi dan penurunan tekanan darah perifer.
American committee on maternal welfarrel merumuskan batasan hipertensi pada
wanita hamil sebagai berikut :
1. Peningkatan tekanan darah di atas 30/20 mmHg dari nilai sebelum hamil/ nilai
trimester pertama.
2. Nilai tekanan darah absolute lebih dari 140/90 mmHg pada setiap stadium
kehamilan.
Diagnosis gangguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan dapat
diperhatikan pada tabel di bawah ini: 1

Penjelasan Tambahan
3 | Page

Hipertensi ialah tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg dengan
menggunakan fase V Korotkoff untuk menentukan tekanan diastolik. Pengukuran

tekanan darah dilakukan minimal 2 kali selang 4 jam. 1,2


Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin
per 24 jam atau 30 mg/dL (+1 pada dipstick) secara menetap pada sampel acak

urin. 1,2
Edema. Dahulu edema tungkai dipakai sebagai tanda-tanda preeklamsia, tetapi
sekarang tidak dipakai lagi, kecuali edema generalisata (anasarka). Perlu
dipertimbangkan faktor risiko timbulnya hipertensi dalam kehamilan, bila didapati
edema generalisata atau kenaikan berat badan > 0,57 kg/minggu.2

PRE EKLAMPSIA
Definisi
Pre-eklampsia adalah sindrom spesifik kehamilan berupa berkurangnya perfusi organ
akibat vasospasme dan aktivasi endotel. Pre-eklampsia merupakan salah satu kasus
gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Penyulit kehamilan
yang akut ini dapat terjadi ante, intra, dan post partum.2
Epidemiologi
Ada yang melaporkan angka kejadian sebanyak 6% dari seluruh kehamilan dan 12%
pada kehamilan primigravida. Menurut beberapa data yang ada, frekuensi dilaporkan
sekitar 3-10%. Lebih banyak dijumpai pada primigravida daripada multigravida,
terutama primigravida usia muda.6

Faktor Risiko

4 | Page

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, antara
lain: 4
Risiko yang berhubungan dengan partner laki-lakituk hamil
1. Primigravida
2. Primipara
3. Umur yang ekstrim: terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan
4. Partner laki-laki yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan
mengalami preeklamsia
5. Pemaparan terbatas terhadap sperma
6. Inseminasi donor dan donor oocyte
Risiko yang berhubungan dengan riwayat penyakit terdahulu dan riwayat
penyakit keluarga
1. Riwayat menderita preeklamsia sebelumnya
2. Hipertensi kronis
3. Penyakit ginjal
4. Obesitas
5. Diabetes gestasional, diabetes mellitus tipe 1
Risiko yang berhubungan dengan kehamilan
1. Mola Hidatidosa
2. Kehamilan multipel
3. Infeksi saluran kemih pada kehamilan
4. Hidrops fetalis
5. Makrosomia

Patogenesis
Penyebab hipertensi dalam kehamilan sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Suatu ringkasan tentang patofisiologi preeklamsia dapat dilihat pada gambar berikut:1

5 | Page

Gambar 1: Pathophysiological considerations in the development of hypertensive disorders due to


pregnancy(Adapted from Friedman and Lindheimer, 1999)

Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam kehamilan,


namun tidak ada satu pun teori tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang
sekarang banyak dianut adalah: 2
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabangcabang arteri uterina dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuata yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan bercabang menjadi arteri
spiralis. Dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot
arteri spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis,
sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami dilatasi. Vasodilatasi arteri spiralis memberi dampak penurunan tekanan
6 | Page

darah, penurunan resistensi vaskulae dan peningkatan aliran darah uteroplasenta.


Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses tersebut dinamakan
remodeling arteri spiralis.

Gambar 2: Uterine spiral artery unwinds and becomes a wider, flaccid tube to
accommodate increased blood flow. Uterine spiral artery remains tightly coiled,
diminishing placental blood flow

Pada hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi
tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan terjadi
vasodilatasi. Akibatnya terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga terjadi
hipoksia dan iskemi plasenta.

7 | Page

Gambar 3: Diameter rata-rata arteri spiralis pada kehamilan normal ialah 500 mikron,
sedangkan pada preeklamsia diameternya ialah 200 mikron. Vasodilatasi arteri spiralis
pada kehamilan normal dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke uteroplasenta.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


Hipoksia dan iskemi plasenta akan menghasilkan oksidan/ radikal bebas, di mana
salah satu oksidan penting yang dihasilkan ialah radikal hidroksil, yang sangat toksik
dalam darah, sehingga dulu hipertensi dalam kehamilan disebut toksemia gravidarum.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel yang banyak mengandung banyak asam
lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak, yang akan merusak membran sel,
nukleus dan protein sel endotel. Peroksida lemak akan beredar dalam aliran darah di
seluruh tubuh dan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena terletak langsung berhubungan
dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak
tidak jenuh sangat rentan terhadap radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemak. Terpaparnya sel endotel terhadap peroksida lemak menyebabkan

8 | Page

kerusakan sel endotel, yang awalnya dimulai dari membran sel endotel hingga
seluruh struktur sel endotel, yang disebut Disfungsi Endotel. Akibatnya akan terjadi
perdarahan, nekrosis dan kerusakan organ-organ, antara lain:
a. Gangguan metabolisme prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2), suatu vasodilator kuat.
b. Pada daerah endotel yang mengalami kerusakan terjadi agregasi sel-sel trombosit
untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan
tersebut. Agregasi trombosit tersebut memproduksi tromboksan (TXA2), suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal, kadar bahan vasodilator
(prostasiklin) lebih tinggi dibandingkan vasokonstriktor (tromboksan). Sedangkan
pada preeklamsia, terjadi sebaliknya, yang menyebabkan terjadinya kenaikan
tekanan darah.
c. Peningkatan produksi vasopresor, yaitu endotelin, serta penurunan kadar NO/
Nitric Oxide (vasodilator)
d. Peningkatan permeabilitas kapiler.
e. Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis)
f. Peningkatan faktor koagulasi
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Teori ini terbukti dengan fakta sebagai berikut:
a. Primigravida berisiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika
dibandingkan dengan multigravida.
b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi berisiko lebih besar
Pada wanita hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing. Hal ini dsebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLAG), yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga si ibu tidak
menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta, selain dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer ibu, juga akan
mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.

9 | Page

Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G.


Berkurangnya HLA-G pada desidua daerah plasenta, akan menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua.
4. Teori genetik
Terdapat faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Sebanyak 26%
anak perempuan dari ibu yang mengalami preeklamsia juga akan mengalami
preeklamsia.
5. Teori defisiensi gizi (Teori diet)
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi berperan
dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan dapat mengurangi risiko preeklamsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi.
6. Teori stimulus inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Debris trofoblas ialah sisasisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblas akibat reaksi stres oksidatif, yang
merupakan bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar. Sedangkan pada
preeklamsia, di mana terjadi peningkatan stres oksidatif, maka produksi debris
trofoblas juga meningkat. Demikian halnya juga terjadi pada plasenta besar dan hamil
ganda. Keadaan tersebut menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah
ibumenjadi jauh lebih besar, yang akan mengaktivasi sel endotel, sel-sel
makrofag/granulosit, dan bahkan dapat terjadi reaksi sstemik inflamasi yang
menimbulkan gejala-gejala preeklamsia.

10 | P a g e

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penderita preeklampsia sangat bervariasi dan individual, dari
penderita tanpa gejala klinik sampai penderita dengan gejala klinik yang sangat
progresif, berkembang dengan cepat dan membahayakan nyawa penderita. Kadangkadang sulit untuk menentukan gejala preeklamsia mana yang timbul lebih dahulu.
Pada preeklampsia umumnya perubahan patogenik telah lebih dahulu terjadi
mendahului manifestasi klinik. Secara teoritik, urutan-urutan gejala yang timbul pada
preeklamsia ialah edema atau kenaikan berat badan, hipertensi, dan terakhir
proteinuria, sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan di atas, dapat
dianggap bukan preeklamsia. Dari manifestasi klinis, pre-eklampsia dapat dibagi
menjadi preeklamsia ringan dan preeklamsia berat: 2
1. Preeklamsia Ringan
Pada preeklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subjektif. Disebut
preeklampsia ringan, bila dijumpai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg.
b. Proteinuria kuantitatif 300 mg/24 jam, atau pemeriksaan dipstick 1+.
2. Preeklamsia Berat
Preeklamsia berat ialah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala dan tanda
berikut:
a. Tekanan darah 160/ 110 mmHg yang diukur sebanyak 2 kali dengan interval
minimal 6 jam.
b. Proteinuria 5 gr/ 24 jam atau +3 yang diambil dari 2 sampel urin dengan
c.
d.
e.
f.
g.
h.

interval minimal 4 jam.


Edema paru datau sianosis
Oligouria (< 400 mL/ 24 jam)
Nyeri kepala persisten
Nyeri epigastrium dan/atau terganggunya fungsi liver
Trombositopenia
Oligohidramnion, pertumbuhan janin terhambat atau solusio plasenta.
Namun terdapat referensi lain yang mengemukakan bahwa proteinuria +2 atau

lebih yang menetap atau ekskresi protein urin 24 jam sebesar 2 gram atau lebih, dapat
11 | P a g e

dikategorikan sebagai preeklamsia berat. Proteinuria adalah tanda penting


preeklamsia. Bila tidak terdapat proteinuria, diagnosisnya dipertanyakan.
Preeklamsia berat dibagi menjadi:
a. Preeklamsia berat tanpa impending eclampsia,
b. Preeklamsia berat dengan impending eclampsia.
Disebut Impending eclampsia bila preeklamsia berat disertai gejala-gejala
subjektif, dan merupakan petunjuk bahwa eklamsia akan timbul. Gejala-gejala
subjektif antara lain: nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri
epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan abdomen, dan kenaikan progresif
tekanan darah.
Perbedaan tingkat keparahannya dapat diperhatikan pada tabel berikut ini: 1

Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit preeklamsia
adalah: 1
1. Terminasi kehamilan dengan trauma sekecil mungkin bagi ibu dan janinnya.
2. Lahirnya bayi yang kemudian dapat berkembang.
3. Pemulihan sempurna kesehatan ibu.
Pada setiap kehamilan dengan suatu penyakit, maka selalu dipertanyakan
mengenai 2 unsur, yaitu: sikap terhadap penyakitnya (terapi medikamentosa) dan

12 | P a g e

sikap terhadap kehamilannya (apakah kehamilan diteruskan sampai aterm atau


diterminasi). 2
Preeklamsia Ringan
Ibu hamil dengan preeklamsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium berupa darah lengkap dan urin lengkap, fungsi hati, fungsi
ginjal.2,4
Tirah baring
Pengurangan aktivitas fisik sepanjang hari akan bermanfaat. Ibu hamil dianjurkan
banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tirah baring total tidak perlu
dilakukan.1,2,4
Pada usia kehamilan di atas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring
menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan
aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Dengan demikian akan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal
akan meningkatkan filtrasi glomerulus dan meningkatkan diuresis. Diuresis
dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan
meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan
memperbaiki kondisi jnin dalam rahim.2,4
Diet
Diet yang diberikan cukup protein; rendah karbohidrat dan lemak; garam
secukupnya; serta roborantia pranatal. 1,2,4
Restriksi garam tidak perlu dilakukan sepanjang fungsi ginjal masih normal. Diet
yang mengandung 2 gr Natrium atau 4 6 gr NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila
konsumsi garam hendak dibatasi, perlu diimbangi dengan konsumsi cairan yang
banyak, berupa susu atau air buah. 2,4
Obat-obatan

13 | P a g e

Ibu hamil dengan preeklamsia ringan tidak diberikan obat diuretik, antihipertensi,
dan sedatif. 2,4
Namun pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklamsia ringan perlu
dirawat di RS, dengan kriteria: 2,4
Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan proteinuria selama 2 minggu,
Muncul satu atau lebih manifestasi klinis preeklamsia berat.
Selama di RS perlu dilakukan evaluasi sistemik yang mencakup: 1
1.
2.
3.
4.

Pemantauan setiap hari untuk mencari temuan-temuan klinis preeklamsia berat


Berat badan saat masuk dan kemudian setiap hari.
Proteinuria saat masuk dan minimal setiap 2 hari.
Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk dengan ukuran manset yang sesuai

setiap 4 jam, kecuali antara tengah malam dan pagi hari.


5. Pemeriksaan darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal dengan frekuensi
berdasarkan keparahan hipertensi.
6. Evaluasi yang sering terhadap ukuran janin dan volume cairan amnion, baik secara
klinis dan USG.
Pada kehamilan preterm (< 37 minggu), bila tekanan darah mencapai
normotensif selama perawatan, persalinan dapat ditunggu hingga aterm. Sedangkan
pada kehamilan aterm (> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset
persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila perlu dengan
mempersingkat kala II. 2,4
Preeklampsia Berat (PEB)
Sikap terhadap Penyakit
Penderita PEB harus segera masuk RS untuk rawat inap dan dianjurkan tirah
baring miring ke kiri. Perawatan yang penting pada PEB ialah pengelolaan cairan
karena penderita preeklamsia dan eklamsia mempunyai risiko tinggi untuk
14 | P a g e

terjadinya edema paru dan oligouria (produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau
< 500 cc/24 jam). Oleh karena itu, monitoring input cairan dan output cairan
menjadi sangat penting. Cairan yang diberikan dapat berupa:
- 5% Ringer-Dextrose atau cairan garam faali umlah tetesan < 125 cc/jam, atau
- Infus Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infus Ringer Laktat (60125 cc/jam) 500 cc.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung, sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam. 2,4
Pengendalian kejang dengan Magnesium Sulfat (MgSO4)
Magnesium Sulfat merupakan obat antikejang yang banyak dipakai di Indonesia
dan sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada
preeklamsia atau eklamsia. 2,4
Pada kasus PEB dan eklamsia, MgSO4 yang diberikan secara parenteral
adalah obat antikejang yang efektif tanpa menimbulkan depresi susunan saraf
pusat baik pada ibu maupun janinnya. Magnesium Sulfat tidak diberikan untuk
mengobati hipertensi. Dosis MgSO4 untuk PEB sama seperti untuk eklamsia.
Karena persalinan dan pelahiran merupakan saat kemungkinan besar terjadinya
kejang, wanita dengan PEB atau eklamsia biasanya diberi MgSO4 selama
persalinan dan selama 24 jam postpartum. Untuk eklamsia yang timbul
postpartum, MgSO4 diberikan selama 24 jam setelah awitan kejang. Biasanya
penderita berhenti kejang setelah pemberian awal MgSO4, dan dalam satu
sampai dua jam akan kembali sadar (oriented).1
Cara Kerja
MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan
serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pemberian MgSO4 akan
menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi

15 | P a g e

competitive inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja MgSO4. 2,4
Farmakologi dan Toksikologi
Magnesium Sulfat yang diberikan secara parenteral dikeluarkan hampir
seluruhnya melalui ekskresi ginjal dan intoksikasi MgSO4 dapat dihindari
dengan memastikan bahwa pengeluaran urin memadai, adanya refleks patela
atau biseps dan tidak ada depresi pernapasan. Kejang eklamsia hampir selalu
dapat dicegah bila kadar magnesium plasma dipertahankan pada 4 7 mEq/L
(4,8 8,4 mg/dL). Dosis terapeutik dan toksik dari MgSO4: 1
- Dosis terapeutik
4 7 mEq/L
- Hilangnya refleks patella 10 mEq/L
- Depresi pernapasan
> 10 mEq/L
- Paralisis dan henti napas > 12 mEq/L
Terapi dengan Kalsium Glukonas, 1 gr intravena, bersama dengan
penghentian terapi MgSO4, biasanya memulihkan depresi pernapasan ringan
hingga sedang. Sayangnya, efek kalsium glukonas mungkin berlangsung
singkat. Untuk depresi pernapasan yang berat dan henti napas, perlu segera
dilakukan intubasi trakea dan ventilasi mekanis untuk menyelamatkan
nyawa.1
Dosis standar awal MgSO4 dapat dengan aman diberikan tanpa
mengetahui fungsi ginjal. Setelah itu, fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan
mengukur bersihan kreatinin, dan bila nilainya 1,3 mg/dL, dapat diberikan
setengah dari dosis rumatan MgSO4 intramuskular. Bila MgSO4 diberikan
secara

infus

kontinu,

kadar

magnesium

serum

digunakan

untuk

menyesuuaikan kecepatan infus. Ion-ion magnesium dalam konsentrasi yang


relatif tinggi (minimal 8 10 mEq/L) akan menekan kontraktilitas
miometrium. Mekanisme inhibisi kontraktilitas uterus tersebut bergantung
pada dosis, sehingga secara klinis tidak tampak efek pada uterus bila MgSO4
diberikan untuk terapi atau profilaksis eklamsia. Magnesium yang diberikan

16 | P a g e

secara parenteral kepada ibu hamil dengan capat menembus plasenta untuk
mencapai keseimbangan di serum janin. Neonatus dapat mengalamai depresi
hanya apabila terjadi hipermagnesemia yang parah saat lahir.1
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa untk memberikan
regimen MgSO4, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 2,4
- Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi, yaitu Kalsium
Glukonas 10% = 1 gr (10% dalam 10 cc) diberikan i.v 3 menit.
- Refleks patella (+) normal.
- Frekuensi pernapasan > 16 x/menit, tidak ada tanda-tanda distres
pernapasan.

MgSO4 dihentikan bila: 2,4


- Timbul tanda-tanda intoksikasi
- Setelah 24 jam paska persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
Cara Pemberian
Dosis awal regimen MgSO4 biasanya diberikan secara bolus intravena,
sedangkan dosis rumatan dapat diberikan secara infus kontinu maupun
intramuskular dengan injeksi intermiten. 1,2,4
Jadwal dosis MgSO4 untuk PEB ataupun Eklamsia:

17 | P a g e

Efektivitas Klinis
Dari suatu penelitian yang membandingkan antara pemberian regimen
MgSO4 dengan Diazepam dan Fenitoin, didapatkan bahwa persentase
penurunan kejadian kejang berulang dan kematian ibu, lebih besar bila
diberikan terapi dengan regimen MgSO4 dibandingkan dengan Diazepam
maupun Fenitoin. Namun, hasil tersebut tidak bermakna secara statistik.1
Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu
obat berikut: Tiopental sodium 100 mg i.v, Sodium amobarbital 250 mg i.v,
Diazepam 10 mg i.v, atau Fenitoin.1,2,4

Anti hipertensi 2,4


Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP
< 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi.
Antihipertensi lini pertama:
Nifedipin, dengan dosis awal 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit bila
perlu; maksimum 120 mg/24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual
karena efek vasodilatasi sangat cepat, sehingga hanya boleh diberikan per oral.
Antihipertensi lini kedua:
Sodium nitroprusside: 0,25 ug/kgBB/menit/IVFD,
Diazokside: 30-60 mg/5 menit/iv, atau IVFD 10 mg/menit/dititrasi.
Menghindari diuretik dan pembatasan pemberian cairan intravena, kecuali
apabila pengeluaran cairan berlebihan (edema paru, gagal jantung kongestif,
atau edema anasarka). Zat-zat hiperosmotik dihindari. Pemberian diuretik dapat
merugikan, yaitu memperberat hipovolemi, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin
dan menurunkan berat janin. Diuretik yang diberikan ialah Furosemide. 2,4
Glukokortikoid
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Obat ini diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2 x 24 jam. 2,4

18 | P a g e

Sikap terhadap Kehamilan


Ditinjau dari umur kehamilan dan perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat
selama perawatan, maka sikap terhadap kehamilannya dibagi menjadi: 2,4
1.

Aktif

(aggressive

management):

kehamilan

segera

diakhiri/diterminasi

bersamaan dengan pemberian pengobatan medikamentosa.


Indikasi perawatan aktif
Bila didapatkan 1 atau lebih keadaan di bawah ini:
Ibu
- Umur kehamilan 37 minggu
- Adanya tanda-tanda Impending Eclampsia
- Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
- Diduga terjadi solusio plasenta
- Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
- Adanya tanda-tanda fetal distress
- Adanya tanda-tanda IUGR
- NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
- Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
- Adanya tanda-tanda sindrom HELLP, khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat.
2.

Konservatif (ekspektatif): kehamilan tetap dipertahankan bersamaan dengan


pemberian pengobatan medikamentosa. 2,4
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan preterm 37 minggu
tanpa disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik.

19 | P a g e

Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya ialah hanya


observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
MgSO4 dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan,
selambat-lambatnya 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita
boleh dipulangkan bila penderita kembali ke tanda-tanda preeklampsia ringan.
Komplikasi 2,4

Penyulit Ibu
- Sistem saraf pusat : perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi

ensefalopati, edema serebri, edema retina, ablasio retina


- Gastrointestinal-hepatik : subkapsular hematoma hepar
- Ginjal : GGA, nekrosis tubular akut
- Hematologik : DIC, trombositopenia, dan hematoma luka operasi
- Kardiopulmonar : edema paru, cardiac arrest

Penyulit janin
IUGR, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distres napas, kematian janin
uterin, kematian neonatal, sepsis, cerebral palsy.
Pencegahan
Berbagai upaya telah digunakan sebagai upaya untuk mencegah preeklamsia, antara
lain: 1,2,4
o Manipulasi diet. Pembatasan asupan garam, suplementasi kalsium (1500 2000
mg/hari), dan konsumsi minyak ikan selama hamil belum terbukti efektif untuk
mencegah preeklamsia.
o Dalam suatu penelitian, aspirin dosis rendah (< 100 mg/hari) secara bermakna
dapat menurunkan kadar tromboksan B2 ibu, tetapi tidak bermanfaat karena
insiden preeklamsia tidak berkurang dibandingkan dengan plasebo.
o Terapi Antioksidan, seperti konsumsi vitamin C dan E, secara bermakna dapat
menurunkan aktivasi sel endotel dan mungkin bermanfaat untuk mencegah
preeklamsia. Namun harus dilakukan penelitian yang lebih besar sebelum

20 | P a g e

menyimpulkan bahwa terapi antioksidan semacam ini dapat mencegah


preeklamsia.
KEMATIAN JANIN DALAM KANDUNGAN
Definisi
Kematian janin dalam kandungan adalah kematian janin ketika masing-masing berada
dalam rahim yang beratnya 500 gram dan usia kehamilan 20 minggu atau lebih
(Achadiat, 2004).
Kematian janin dalam kandungan adalah kematian hasil konsepsi sebelum
dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan.
Kematian dinilai dengan fakta bahwa sesudah dipisahkan dari ibunya janin tidak
bernafas atau tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti denyut jantung,
pulsasi tali pusat, atau kontraksi otot (Monintja, 2005) Sedangkan menurut WHO,
kematian janin adalah kematian janin pada waktu lahir dengan berat badan <1000
gram. Menurut Wiknjosastro (2005) dalam buku Ilmu Kebidanan, kematian janin
dapat dibagi dalam 4 golongan yaitu :
1. Golongan I : Kematian sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh.
2. Golongan II : Kematian sesudah ibu hamil 20 hingga 28 minggu.
3. Golongan III : Kematian sesudah masa kehamilan lebih 28 minggu (late foetal
death)
4. Golongan IV : Kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di
atas.

Etiologi
21 | P a g e

Menurut Mochtar (2004), lebih dari 50% kasus, etiologi kematian janin dalam
kandungan tidak ditemukan atau belum diketahui penyebabnya dengan pasti.
Beberapa penyebab yang bisa mengakibatkan kematian janin dalam kandungan,
antara lain.
a. Perdarahan : plasenta previa dan solusio plasenta.
b. Preeklampsi dan eklampsia
c. Penyakit-penyakit kelainan darah.
d. Penyakit infeksi dan penyakit menular
e. Penyakit saluran kencing
f. Penyakit endokrin: diabetes melitus
g. Malnutrisi
Diagnosis
Anamnesis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat
berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau
kehamilan tidak seperti biasa.
c. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa sakit-sakit
seperti mau melahirkan.
Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada
ibu yang kurus.
Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakangerakan janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala
janin.
Auskultasi
22 | P a g e

Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar denyut
jantung janin (DJJ)
Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kematian Janin Dalam Kandungan
Faktor Ibu
1. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-organ
tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang ibu. Hal
ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung dapat mempengaruhi
kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang baik untuk seorang ibu hamil
adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum
cukup matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum
(Wiknjosastro, 2005).
2. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap ancaman
mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang telah
melahirkan lebih dari 5 kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi dalam
kehamilan seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat
mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002).
3. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh
karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama
periode antenatal.
a. Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)
b. Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan).
c. Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).
23 | P a g e

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita
hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu
hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik
minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam
kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim,
hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut
jantung janin (Saifuddin, 2002).
4. Penyulit / Penyakit
a. Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam jumlah
besar untuk pembuatan butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak berat zat
besi. Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh. Terjadinya anemia
dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi dalam hati, limpa dan
sumsum tulang. Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan
turun dan bila persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima
sampai bulan keenam kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi.
Bila terjadi anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah
kematian janin dalam kandungan (Mochtar, 2004). Menurut Manuaba (2003),
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sahli,
dapat digolongkan sebagai berikut :
- Normal : 11 gr%
- Anemia ringan : 9-10 gr%
- Anemia sedang : 7-8 gr%
- Anemia berat : <7 gr%.

b. Pre-eklampsi dan eklampsi


24 | P a g e

Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan
air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan darah akan
naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar oksigen jaringan
dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi gawat janin (Mochtar,
2004).
c. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal terlepas
dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat turunnya
darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang intervirale maka
terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini terjadi nekrotis,
spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun pembuluh darah
distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya hematoma yang lambat
laun melepaskan plasenta dari rahim.
Sehingga aliran darah ke janin melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian
janin (Wiknjosastro, 2005).
d. Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-ciri kekurangan
atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang tinggi dan
mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita diabetes
melarikan bayi yang besar (makrosomia).
Makrosomia dapat terjadi karena glukosa dalam aliran darahnya, pancreas yang
menghasilkan lebih banyak insulin untuk menanggulangi kadar gula yang tinggi.
Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia
menimbulkan masalah sewaktu melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir
(Stridje, 2000).
e. Rhesus Iso-Imunisasi
25 | P a g e

Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen rhesus
akan membuat penerima darah membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi darah
rhesus positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel pada sel
darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut rhesus isoimunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi perlahan- lahan
sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi antihresus bertemu
dengan sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti sehingga pecah
melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan sebagian
dikeluarkan ke kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah merah
yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn, 2005).
f. Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun
keparahan setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi
mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul
karena mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada
kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin,
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn, 2001).
g. Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dan kematian
janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan.
Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur kehamilan
kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%. Ketuban pecah dini menyebabkan
hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim, sehingga
memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi selaput ketuban adalah melindungi
atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan dalam rahim sehingga mengurangi
kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten, makin besar kemungkinan infeksi
dalam rahim, persalinan prematuritas dan selanjutnya meningkatkan kejadian
kesakitan dan kematian ibu dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2003).
26 | P a g e

h. Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan
kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada letak
lintang dengan ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi persalinan
spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan kematian
janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya terisi bahu
dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan terjepit
dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen bawah uterus
melebar serta menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin lama makin tinggi
dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat mengakibatkan kematian janin
(Wiknjosastro, 2005).
Faktor Janin
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
sebab penting terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi
dengan kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah
bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Dilihat dari bentuk
morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu deformitas atau bentuk
malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk deformitas secara anatomik
mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan tidak normal. Kejadian
ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik atau pada kejadian
oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital malformitas, susunan
anatomik maupun bentuknya akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali
melalui pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri,
2005).
2. Infeksi intranatal

27 | P a g e

Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari
vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban
pecah dini mempunyai peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis.
Infeksi dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama
dan seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena
menginhalasi likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena
kuman-kuman yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia.
Infeksi intranatal dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang
terdapat dalam vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja, 2006).
3. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion,
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya
tali pusat mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat
menimbulkan lilitan pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan
menimbulkan asfiksia sampai kematian janin dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu
terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi
velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi kanalis
servikalis, sehingga saat ketuban pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut
pecah. Kematian janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila
pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu
(Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran pembuluh
darah umblikalis, karena selei Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh darah
tersebut menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam
28 | P a g e

rahim. Gerakan janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga
dijumpai (Manuaba, 2002).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar
kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat
berbahaya, apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang
berbahaya karena dapat menyebabkan tali pusat menumbung, atau tali pusat
terkemuka. Dapat diperkirakan bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul,
makin erat lilitan tali pusat dan makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin
sehingga dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin, seringkali
tulang-tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai
overlapping cairan ketuban berkurang.
2. Rontgen foto abdomen
a. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling tumpang tindih
(overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi setelah bayi
meninggal beberapa hari dalam kandungan.
b. Tanda Nojosk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting (hiperpleksi).
c. Tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah.
d. Tampak udema di sekitar tulang kepala
3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen
(Achadiat 2004).

29 | P a g e

Penanganan Kematian Janin Dalam Kandungan


1. Penanganan Pasif
a. Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu
b. Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu
2. Penanganan Aktif
a. Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan dilatasi atau
kuretase.
b. Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi persalinan dengan
oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter
foley intra uterus selama 24 jam (Achdiat, 2004)

BAB III
30 | P a g e

LAPORAN KASUS
STATUS ORANG SAKIT
I. ANAMNESA PRIBADI

Nama
Umur
No MR
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Alamat
Masuk RSUPM

: Nurmasari
: 21 tahun
: 79.50.28
: Tamat SLTP
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: Jl. Bejo Dusun XVI
: 1 Juni 2011

Keluhan utama

: Tekanan darah tinggi

Telaah

: Hal ini dialami pasien sejak lebih kurang 1 bulan ini,


riwayat sakit kepala (-), pandangan kabur (-), nyeri ulu
hati (-), mual (-), muntah (-). Riwayat hipertensi
sebelumnya (-).

RPT

: (-)

RPO

: (-)

Riwayat Haid

HPHT
TTP
Lama siklus
Lama haid

: 2 November 2010
: 9 Juli 2011
: 28 hari (teratur)
: 6-7 hari

ANC
Periksa hamil pada bidan:

Trimester I

:1X
31 | P a g e

Trimester II
Trimester III

:1X
:1X

Riw. Persalinan :
1. Hamil ini.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. STATUS PRESENS
Sens

: Compos Mentis

anemis

: (-)

TD

: 160 / 110 mmHg

ikterik

: (-)

HR

: 88 x/i

dyspnoe

: (-)

RR

: 20x/i

sianosis

: (-)

: 36,7 C

oedema

: (-)

tanda-tanda dehidrasi : (-)


R. KPR

: (+)

kelainan fisik

: (-)

B. STATUS GENERALISATA
1. Kepala
Mata

: Conjungtiva palpebra inferior pucat (-), pupil isokor +/+,

reflex cahaya +/+ N, pandangan kabur (-)


Telinga

: Tidak Ada Kelainan

Hidung

: Tidak Ada Kelainan

Mulut

: Tidak Ada Kelainan

2. Leher
3. Dada

: Tidak Ada Kelainan


: Payudara ka/ki membesar asimetris, areola mammae
hiperpigmentasi, nipple tidak terjadi retraksi.

4. Perut

: Membesar asimetris,striae gravidarum (+)


32 | P a g e

5. Ekstremitas Superior
6. Ekstremitas Inferior
7. Genitalia

: Tidak ada kelainan


: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan

C. STATUS OBSTETRIKUS
Abdomen

: Membesar simetris

TFU

: 3 jari atas pusat (26cm)

Letak janin

: Kepala

Punggung janin

: Kiri

Turunnya kepala

: 5/5

His

: Tidak ada

DJJ

: 140X/i, reguler

Tanda RUI

: Tidak ada

Tanda ruptur uteri

: Tidak ada

Osborn

: Tidak ada

Krepitasi

: Tidak ada

EBW

: Dengan rumus Johnson :

(TFU 13) x 155 gr = (26 13) x 155 gr = 13 x 155 gr = 2015 gr (2000 2200 gr)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil laboratorium 1/6/11
Darah rutin
Hb

: 14,0 gr/dl

Leukosit

: 14.400 / mm3

33 | P a g e

Ht

: 38 %

Trombosit

: 379.000/mm3

KGD ad random

: 72 mg/dL

Elektrolit
Na

: 139 mmol/dL

: 4,1 mmol/dL

Cl

: 114 mmol/dL

SGOT

: 35 U/L

SGPT

: 11 U/L

Ureum

: 47 mg/dL

Creatinin

: 1,10 mg/dL

LFT

RFT

Proteinuria

:+4

E. DIAGNOSA SEMENTARA
PEB + PG + KDR(32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu
F. RENCANA PERSALINAN
Rawat ekspektatif
G. PROGNOSIS
Sedang
H. TERAPI
-

Bed rest

Kateter terpasang

MgSO4 loading dose : MgSO4 20%, 20cc (4gr)/ IVbolus perlahan


maintanance dose: MgSO4 40%, 30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i

Nifedipine tab 3X10mg


34 | P a g e

Inj Dexamethason 15mg


Flumucil 2X600mg

Follow Up
1/6/2011
KU

: Tekanan darah tinggi

SP

: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 140/60 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 90 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 24 x/i

Sianosis

: (-)

: 36,5 0C

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3

SO

: Abdomen

: Membesar Asimetris

Gerak

: (+)

His

: (-)

DJJ

: 146 X/I, reguler

Diagnosis

: PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu

Terapi

: - MgSO4 40% , 30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i


-Nifedipine tab 3X10mg
-Flumucil 2X600mg

Rencana

: Rawat ekspektatif

2/6/2011
KU

: Tekanan darah tinggi

SP

: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 150/100 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 92 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 20 x/i

Sianosis

: (-)

Oedem

: (+) Pretibial

Proteinurea

: +3

35 | P a g e

T
SO

: 36,4 0C

: Abdomen

: Membesar Asimetris

Gerak

: (+)

His

: (-)

DJJ

: 152 X/I, reguler

Diagnosis

: PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu

Terapi

: MgSO4 40% , 30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i


-Nifedipine tab 3X10mg
-Flumucil 2X600mg
- Kateter terpasang menetap
- Awasi VS, his dan DJJ

Rencana

: -Rawat ekspektatif

3/6/2011
KU

: Tekanan darah tinggi

SP

: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 140/90 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 96 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 24 x/i

Sianosis

: (-)

Oedem

: (+) pretibial

Proteinuria

: +3

36 | P a g e

T
SO

: 36,6 0C

: Abdomen

: Membesar Asimetris

Gerak

: (+)

His

: (-)

DJJ

: 152 X/I, reguler

Diagnosis

: PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu

Terapi

: - MgSO4 40% , 30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i


-Nifedipine tab 3X10mg
-Flumucil 2X600mg
- Kateter terpasang menetap
- Awasi VS, his dan DJJ

Rencana

: -Rawat ekspektatif

4/6/2011 Pukul 7.30 WIB


KU

: (-)

SP

: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 130/110 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 90 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 22 x/i

Sianosis

: (-)

Oedem

: (+) pretibial

Proteinuria

: +3

37 | P a g e

T
SO

: 36,8 0C

: Abdomen

: Membesar Asimetris

Gerak

: (+)

His

: (-)

DJJ

: 142 X/I, reguler

Diagnosis

: PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + AH + B. Inpartu

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg
-Flumucil 2X600mg
- Kateter terpasang menetap
- Awasi VS, his dan DJJ

Rencana

: -Rawat ekspektatif
-Awasi VS, his dan DJJ

4/6/2011 Pukul 10.45 WIB


KU

: (-)

SP

: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 140/90 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 88 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 22 x/i

Sianosis

: (-)

Oedem

: (+) pretibial

Proteinuria

: +3| P a g e
38

T
SO

: 36,5 0C

: Abdomen

: Membesar Asimetris

TFU

: 3 jari atas pusat (26cm)

Ballotement : (+)
Gerak

: (-)

His

: (+), 1X10/10, ireguler

DJJ

: (-) KJDK

EBW

: 2000-2200 gr

Diagnosis

: KJDK + PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + B. Inpartu

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg

Rencana

: -Terminasi kehamilan secara per vaginam


-AGDA, Elektrolit, KGD ad random

5/6/2011 Pukul 8.30 WIB


KU
SP

: Mules-mules mau melahirkan


: Sens : CM

Anemis

: (-)

TD

: 110/70 mmHg

Ikterik

: (-)

HR

: 88 x/i

Dyspnoe

: (-)

RR

: 20 x/i

Sianosis

: (-)

: 36,6 0C

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3
39 | P a g e

SO

: Abdomen

: Membesar Asimetris

Gerak

: (-)

His

: 2X15/10

DJJ

: (-)

PERIKSA DALAM
-

Pembukaan

: 3 cm

Effacement

: 100%

Bagian terbawah

: Kepala

Presentasi

: Vertex

Posisi

: UUK pukul 3

Tali pusat menumbung

:-

Moulase

:-

Caput

:-

Selaput ketuban

:+

Turunnya bagian terdepan

: H-II

Turunnya kepala

: 3/5

Mekonium

:-

Diagnosis

: KJDK + PEB + PG + KDR (32-34 minggu) + PK + Inpartu

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Nifedipine tab 3X10mg

Rencana

: Augmentasi persalinan dengan oxytocin 5 IU (prosedur biasa)

LAPORAN PERSALINAN (5/6/2011) Pukul 12.30 WIB

40 | P a g e

Ibu dibaringkan di meja ginekologi pada posisi Mc Robert dengan infuse

terpasang dengan baik.


Dilakukan vulva hygiene dan pengosongan kandung kemih dengan menggunakan

kateter.
Pada his yang adekuat tampak kepala maju mundur di introitus vagina dan

kemudian menetap.
Pada his yang adekuat berikutnya, ibu dipimpin mengedan dan lahir berturut-turut

UUK, UUB, dahi, muka, dagu dan seluruh wajah.


Kemudian terjadi putar paksi luar dengan pegangan kepala ditarik ke bawah untuk
melahirkan bahu depan dan kepala ditarik ke atas untuk melahirkan bahu

belakang.
Dengan sanggah susur lahir bayi perempuan, 1500gr, 40cm, A/S: 0/10, anus (+),

maserasi tingkat 1.
Talipusat diklem di 2 tempat, kemudian digunting di antaranya.
Dilakukan injeksi oxytocin 10 IU/IM
Dengan PTT, plasenta dilahirkan, kesan lengkap.
Evaluasi jalan lahir: tampak laserasi di jalan lahirdilakukan repair dengan

chromic catgut 2,0.


Evaluasi perdarahan, kesan: t.a.a.
Kontraksi uterus: baik.
Kondisi ibu post partum: sesak.

Anjuran: - Konsul penyakit dalam cito.


-Awasi kala IV.
-Cek darah 2 jam post partum.
-Cek AGDA, elektrolit, KGD ad random.
-Cek foto thorax.
-Cek EKG.
Terapi: - O2 2-4L/i
- IVFD RL 20 gtt/i
- Asam mefenamat 3X500mg

41 | P a g e

- B complex 2X1
- Ciprofloxacin 3X500mg
- Nifedipine 3X10mg
- Linoral 3X1
Neonatus
Jenis kelahiran

: Tunggal

Lahir

: Tanggal: 5/6/2011
Jam: 12.30 WIB

Keadaan Lahir

: Lahir mati

APGAR Score

: 0/10

Bantuan pernafasan

: (-)

Jenis Kelamin

: Perempuan

BB

: 1500 gr

PB

: 40 cm

Kelainan bawaan

: (-)

Trauma

: (-)

Konsul

: (-)

Ukuran kepala

: Tdp

Kala IV Tanggal 5 Juni 2011


Jam

13.00

13.30

14.00

14.30

15.00

Nadi

120 x/i

120x/i

120x/i

120x/i

120x/i

TD

150/100

120/80 mmHg

100/80 mmHg 110/90 mmHg 100/80

mmHg

mmHg

RR

40 x/i

36 x/i

40 x/i

40 x/i

40x/i

Kontraksi

Kuat

Kuat

Kuat

Kuat

Kuat

Uterus

42 | P a g e

Perdarahan
Terapi

10cc

-IVFD

10cc

10cc

RL -IVFD RL 20 -IVFD RL 20 -IVFD RL 20 -IVFD RL 20

20 gtt/i

gtt/i

gtt/i

gtt/i

gtt/i

-Asam

-Asam

-Asam

-Asam

-Asam

mefenamat

mefenamat

mefenamat

mefenamat

mefenamat

3X1

3X1

3X1

3X1

3X1

-B complex -B
2X1

complex -B

2X1

2X1

complex -B

complex -B

2X1

2X1

Follow Up Kala Nifas


NH 1 : 5/6/2011 Pukul 13.00
KU

: Sesak napas

SP

: Sens : CM
TD

: 130/90 mmHg

HR

: 100 x/i

RR

: 28 x/i

: 36,9 0C

Anemis

: (-)

Ikterik

: (-)

Dyspnoe

: (+)

Sianosis

: (-)

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3

43 | P a g e

complex

SO

: Abdomen

: Soepel, peristaltik (+) N

TFU

: Setentang pusat

P/V

: 10 cc

Lochia

: (+) rubra

Kontraksi uterus

: Baik

BAK

: (+)

BAB

: (-)

Flatus

: (+)

ASI

: (-)

Diagnosis

: Post PSP a/i KJDK + PEB + Dyspnoe ec ? + NH 1

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1

Rencana

: -Konsul penyakit dalam.


-Cek AGDA, elektrolit, KGD ad random.
-Cek foto thorax.
-Cek EKG.
-Cek darah 2 jam post PSP.

NH 2: 6/5/2011
KU

: sesak napas

SP

: Sens : CM

SO

TD

: 120/90 mmHg

HR

: 120 x/i

RR

: 36 x/i

: 36,4 0C

: Abdomen

Anemis

: (-)

Ikterik

: (-)

Dyspnoe

: (+)

Sianosis

: (-)

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3

: Soepel, peristaltik (+) N

TFU

: 2 jari di bawah pusat

P/V

: (-)
44 | P a g e

Lochia

: (+) rubra

Kontraksi uterus

: Baik

BAK

: (+)

BAB

: (-)

Flatus

: (+)

ASI

: (-)

Diagnosis

: Post PSP a/i KJDK + PEB + Dyspnoe ec pneumonia + NH 2

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1
-Ciprofloxacin 3X500mg
-Nifedipine 3X10mg
-Linoral 3X1

Rencana

: -Cek darah lengkap, RFT, LFT, LDH, D-dimer, HST.


-Penjajakan rawat bersama dengan teman sejawat penyakit dalam.

NH 3: 7/5/2011
KU

: (-)

SP

: Sens : CM

SO

TD

: 120/90 mmHg

HR

: 120 x/i

RR

: 24 x/i

: 36,5 0C

: Abdomen
TFU
P/V

: Soepel, peristaltik (+) N


: 2 jari di bawah pusat

Anemis

: (-)

Ikterik

: (-)

Dyspnoe

: (-)

Sianosis

: (-)

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3

: (-)

45 | P a g e

Lochia

: (+) rubra

Kontraksi uterus

: Baik

BAK

: (+)

BAB

: (+)

Flatus

: (+)

ASI

: (-)

Diagnosis

: Post PSP a/i KJDK + PEB + NH 3

Terapi

: - IVFD RL 20 gtt/i
-Asam mefenamat 3X500mg
-B complex 2X1
-Ciprofloxacin 3X500mg
-Nifedipine 3X10mg
-Linoral 3X1

Hasil lab
Darah lengkap
-Hb
-Leu
-Ht
-Trom
-LDH

: 13,6 gr/dL
: 24.500/mm3
: 39,1 %
: 336.000/mm3
: 684

-Ureum
-Creatinin
-Uric acid

: 27mg/dL
: 0,69 mg/dL
: 7,6 mg/dL

-SGOT
-SGPT
-ALP

: 25 U/L
: 10 U/L
: 116 U/L

RFT

LFT

46 | P a g e

-Bil. Total
-Bil Direct

: 0,44 mg/dL
: 0,13 mg/dL

Na
K
Cl

: 127 mmol/dL
: 3,6 mmol/dL
: 106 mmol/dL

Elektrolit

HST
Masa Protrombin
INR
Masa a.P.T.

: 13,0 detik
: 1,04 detik
: 56,7 detik

NH 4: 8/5/2011
KU

: (-)

SP

: Sens : CM

SO

TD

: 130/80 mmHg

HR

: 98 x/i

RR

: 24 x/i

: 37,0 0C

: Abdomen

: Soepel, peristaltik (+) N

TFU

: 2 jari di bawah pusat

P/V

: (-)

Lochia

: (+) rubra

Kontraksi uterus

: Baik

BAK

: (+)

BAB

: (-)

Anemis

: (-)

Ikterik

: (-)

Dyspnoe

: (-)

Sianosis

: (-)

Oedem

: (-)

Proteinuria

: +3

47 | P a g e

Flatus

: (+)

ASI

: (-)

Diagnosis

: Post PSP a/i KJDK + PEB + NH 4

Terapi

: -Asam mefenamoat 3X500mg


-B complex 2X1
-Ciprofloxacin 3X500mg
-Linoral 3X1

Pasien PAPS

BAB IV
ANALISA MASALAH

KASUS
Ny. N merupakan primigravida.

TEORI
Dilaporkan angka kejadian sebanyak 6%
dari seluruh kehamilan dan 12% pada
kehamilan
beberapa

primigravida.
data

yang

Menurut

ada,

frekuensi

dilaporkan sekitar 3-10%. Lebih banyak


dijumpai pada primigravida daripada
multigravida, terutama primigravida usia
muda.6
Pada saat pasien datang ke IGD Preeklamsia

berat

ialah

preeklamsia

RSUPM TD: 160 / 110 mmHg, dan dengan salah satu atau lebih gejala dan
proteinuria: + 4, sehingga pasien tanda berikut:

48 | P a g e

didiagnosa dengan preeklamsia berat.

i. Tekanan darah 160/ 110 mmHg


yang diukur sebanyak 2 kali dengan
interval minimal 6 jam.
j. Proteinuria 5 gr/ 24 jam atau +3
yang diambil dari 2 sampel urin

Berdasarkan
obstetrikus

hasil
pada

dengan interval minimal 4 jam.


pemeriksaan Sekitar 10% dari semua kasus
pasien

ini, preeklamsia terjadi pada usia kehamilan

diperkirakan usia kehamilan 32-34 sebelum 34 minggu.3


minggu.
MgSO4 loading dose : MgSO4 20%, Magnesium
20cc (4gr)/ IVbolus perlahan

antikejang

Sulfat
yang

merupakan

banyak

obat

dipakai

di

maintanance dose: MgSO4 40%, Indonesia dan sampai saat ini tetap
30cc (12gr) + IVFD RL 14gtt/i

menjadi pilihan pertama untuk antikejang


pada preeklamsia atau eklamsia. 2,4

Nifedipine tab 3X10mg

Nifedipin, dengan dosis awal 10-20 mg


per oral, diulangi setelah 30 menit bila
perlu;

maksimum

120

Nifedipin

tidak

boleh

sublingual

karena

efek

mg/24

jam.

diberikan
vasodilatasi

sangat cepat, sehingga hanya boleh


diberikan per oral.

Inj Dexamethason 15mg

Pemberian

glukokortikoid

untuk

pematangan paru janin tidak merugikan


ibu. Obat ini diberikan pada kehamilan
32-34 minggu, 2 x 24 jam. 2,4

49 | P a g e

Pada rawatan hari ke-4 pukul 10.45 Pada

pre-eklampsi

terjadi

spasme

WIB, DJJ tidak dijumpai, diduga pembuluh darah disertai dengan retensi
kematian janin dalam kandungan.

garam dan air. Jika semua arteriola dalam


tubuh mengalami spasme, maka tekanan
darah akan naik, sebagai usaha untuk
mengatasi kenaikan tekanan perifer agar
oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka
aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan

gangguan

pertumbuhan

janin dan karena kekurangan oksigen


terjadi gawat janin
Dilakukan terminasi kehamilan secara Untuk rahim yang usia lebih dari 12
per vaginam ketika sudah ada tanda- minggu, dilakukan induksi persalinan
tanda inpartu, dengan augmentasi dengan
persalinan dengan oxytocin 5 IU.

oksitosin.

Untuk

oksitosin

diperlukan pembukaan serviks dengan


pemasangan kateter foley intra uterus
selama 24 jam

50 | P a g e

BAB V
PERMASALAHAN

1. Mengapa setelah dirawat dan diterapi, pada pasien preeklampsia berat ini tetap
terjadi kematian janin dalam kandungan?

51 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

1.

Cunningham FG, et al. Bab 24: Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam:
Obstetri Williams 21st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. p.62584.

2.

Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Prawirohardjo S, ed. Ilmu


Kebidanan. Ed.4. Cet.2. Jakarta: P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2009. hal. 530-61.

3.

Lim KH and Rivlin ME. Preeclampsia. Medscape 2011 (cited 2011 April 22).
Available from: http://www.emedicine.com.

4.

Himpunan Kedokteran Feto Maternal. Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam


Kehamilan di Indonesia. Ed.2. POGI; 2005.

5.

Yenicesu GI, et al., 2009. HELLP Syndrome. Cumhuriyet Tp Derg 31: 182-188.

6.

Roeshadi, R. Haryono. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka


Kematian Ibu pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Fakultas
Kedokteran Sumatera Utara. USU digital library; Medan. 2006.

52 | P a g e

7.

Haram K, et al., 2009. The HELLP Syndrome: Clinical Issues and Management.
BMC Pregnancy and Childbirth 9 (8).

8.

Angsar MD, Hipertensi Dalam Kehamilan ; Kuliah Dasar, Lab/UPF Obstetri


dan Ginekologi FK UNAIR / RSUD Dr. Soetomo Surabaya, edisi I 1995.

9.

Roberts JM, Pregnancy-Related Hypertension ; in Maternal Fetal Medicine


4th Ed, editor Creasy RK and Resnik R, WB. Saunders Co., 1999, p 833 872.

10. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, etal. Hypertensive Disorders in
Pregnancy. William Obstetrics . Ed. 20th. Conecticut : Appleton & Lange 1997 :
693 744.

53 | P a g e

You might also like