You are on page 1of 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Lalat
Lalat adalah salah satu insekta ordo diptera yang mempunyai sepasang
sayap berbentuk membran. Saat ini telah ditemukan tidak kurang dari 60.000
sampai 100.000 species lalat. Namun tidak semua species ini perlu diawasi,
karena beberapa diantaranya tidak berbahaya bagi manusia ditinjau dari segi
kesehatan (Depkes RI, 1991).
Menurut Sigit dan Hadi (2006) menjelaskan bahwa: Yang tergolong lalat
pengganggu kesehatan adalah Ordo Diptera, Subordo Cyclorrhapha, dan
anggotanya terdiri atas lebih dari 116.000 spesies lebih di seluruh dunia.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa lalat merupakan
ordo diptera yang termasuk dalam klasifikasi serangga (insecta) pengganggu yang
menyebarkan penyakit dan menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia
dengan spesies yang sangat banyak. Lalat adalah salah satu vektor yang harus
dikendalikan karena dapat pengganggu aktifitas dan kesehatan masyarakat.
Sebagai alat transportasi yang sangat baik dalam penularan penyakit, lalat
sangat menyukai tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk dan kalau malam hari
sering hinggap di semak-semak di luar tempat tinggal, lebih menyukai makanan
yang bersuhu tinggi dari suhu udara sekitar dan sangat membutuhkan air (Widyati
& Yuliarsih, 2002).
Kusnaedi (2006) menyatakan bahwa: Tingginya kehidupan lalat
dikarenakan tingginya kondisi lingkungan yang saniter (filth = jorok ). Hal ini

berarti bahwa lalat merupakan binatang yang senang hidup di lingkungan yang
kotor dan lembab.
2.2 Siklus Hidup Lalat
Depkes (1991) menerangkan bahwa: Lalat adalah insekta yang
mengalami meta-morfosa yang sempurna, dengan stadium telur, larva/tempayak,
kepompong dan stadium dewasa. Hal ini menunjukkan semua lalat mengalami
metamorfosis sempurna dalam perkembangannya (Sigit & Hadi, 2006).
Metamorfosis sempurna yang dialami lalat adalah sebagai berikut:
Stadium telur, stadium larva/tempayak, stadium kepompong dan terakhir stadium
dewasa.

Siklus

ini

bervariasi

bergantung

pada

keadaan

lingkungan

perkembangbiakannya.
Waktu yang dibutuhkan lalat menyelesaikan siklus hidupnya dari sejak
masih telur sampai dengan dewasa antara 12 sampai 30 hari. Menurut Depkes RI
(1991), bahwa: rata-rata perkembangan lalat memerlukan waktu antara 7-22 hari,
tergantung dari suhu dan makanan yang tersedia.

Gambar 2.1 Siklus Hidup Lalat


(sumber: goldcitypestservices.com, 2008)

10

Berdasarkan Depkes (1991) siklus hidup lalat diuraikan sebagai berikut:


1. Telur
Telur diletakkan pada bahan-bahan organik yang lembab (sampah, kotoran
binatang, dan lain-lain) pada tempat yang tidak langsung kena sinar matahari.
Telur berwarna putih dan biasanya menetes setelah 8-30 jam, tergantung dari
suhu sekitarnya.

Gambar 2.2 Telur Lalat


(sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013)
2. Larva/tempayak
Tingkat I : telur yang baru menetes, disebut instar I berukuran panjang 2
mm, berwarna putih, tidak bermata dan kaki, amat aktif dan ganas
terhadap makanan, setelah 1 - 4 hari melepas kulit keluar instar II.
Tingkat II : ukuran besarnya 2 kali instar I, sesudah satu sampai beberapa
hari, kulit mengelupas keluar instar III.
Tingkat III: larva berukuran 12 mm atau lebih, tingkat ini memakan waktu 3
sampai 9 hari.

11

Larva mencari tempat dengan temperatur yang disenangi, dengan


berpindah-pindah tempat, misalnya pada gundukan sampah organik.
Temperatur yang disukai adalah 30 350C.

Gambar 2.3 Larva Lalat


(sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013)
3. Pupa/kepompong
Pada masa ini, jaringan tubuh larva berubah menjadi jaringan tubuh
dewasa. Stadium ini berlangsung 3-9 hari. Temperatur yang disukai 350C.

Gambar 2.4 Pupa Lalat


(sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013)

12

4. Dewasa
Proses pematangan menjadi lalat dewasa kurang lebih 15 jam dan setelah
itu siap untuk mengadakan perkawinan. Seluruh waktu yang diperlukan 7-22
hari, tergantung pada suhu setempat, kelembaban dan makanan yang tersedia.
Umur lalat dewasa dapat mencapai 2-4 minggu.

Gambar 2.5 Lalat Dewasa


(sumber: creatures.ifas.ufl.edu, 2013)
2.3 Pola Hidup Lalat
Pola hidup lalat terbagi menjadi beberapa bagian. Adapun pola hidup lalat
adalah sebagai berikut.
2.3.1 Tempat perindukan/berbiak
Sucipto (2011) menyatakan bahwa : Tempat yang disenangi lalat adalah
tempat yang basah seperti sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan
yang busuk, kotoran yang menumpuk secara kumulatif. Depkes RI (1991)
memaparkan bahwa : Tempat yang disenangi adalah tempat basah, benda-benda
organik, tinja, sampah basah, kotoran binatang, tumbuh-tumbuhan busuk, kotoran
yang menumpuk secara kumulatif (dikandang hewan) sangat disenangi oleh larva
lalat, sedangkan yang tercecer jarang dipakai sebagai tempat berbiak lalat. Secara
umum tempat perindukan bagi lalat adalah tempat yang kotor dan basah.

13

2.3.2 Jarak terbang


Jarak terbang sangat tergantung pada adanya makanan yang tersedia, ratarata 6-9 km, kadang-kadang dapat mencapai 19-20 km dari tempat berbiak atau 712 mil dari tempat perkembangbiakannya. Selain itu ia mampu terbang 4 mil/jam
(Depkes, 1991).
2.3.3 Kebiasaan makan
Lalat memakan makanan yang dimakan oleh manusia sehari-hari, seperti
gula, susu dan makanan lainnya, kotoran manusia serta darah. Bentuk
makanannya cair atau makanan yang basah, sedang makanan yang kering dibasahi
oleh ludahnya terlebih dulu, baru diisap (Depkes, 1991).
Dalam Widyati & Yuliarsih (2002) mengungkapkan bahwa: Lalat lebih
menyukai makanan yang bersuhu tinggi daripada lingkungan sekitarnya.
2.3.4 Tempat istirahat
Dalam memilih tempat istirahat (resting place), lalat lebih menyukai
tempat yang tidak berangin, tetapi sejuk, dan kalau malam hari sering hinggap di
semak-semak di luar tempat tinggal (Widyati & Yuliarsih, 2002).
Lalat beristirahat pada lantai, dinding, langit-langit, jemuran pakaian,
rumput-rumput, kawat listrik dan lain-lain serta sangat disukai tempat-tempat
dengan tepi tajam yang permukaannya vertikal. Tempat istirahat tersebut biasanya
dekat dengan tempat makannya dan tidak lebih dari 4,5 meter di atas permukaan
tanah (Depkes, 1991). Lalat istirahat ditempat dimana ia hinggap dan atau tempat
yang dekat dari tempat hinggapnya.

14

2.3.5 Lama hidup


Pada musim panas, usia lalat berkisar antara 2-4 minggu, sedang pada
musim dingin bisa mencapai 70 hari (Depkes, 1991). Widyati dan Yuliarsih
(2002) menyatakan bahwa: Tanpa air lalat tidak dapat hidup lebih dari 46 jam.
Sehingga lama hidup lalat pada umumnya berkisar antara 2-70 hari.
2.3.6 Temperatur dan kelembaban
Lalat mulai terbang pada temperatur 150C dan aktifitas optimumnya pada
temperatur 210C. Pada temperatur di bawah 7,50C tidak aktif dan di atas 450C
terjadi kematian pada lalat. Sedangkan Kelembaban erat hubungannya dengan
temperatur setempat (Depkes, 1991).
2.3.7 Sinar
Lalat merupakan serangga yang bersifat fototropik, yaitu menyukai sinar.
Pada malam hari tidak aktif, namun bisa aktif dengan adanya sinar buatan. Efek
sinar pada lalat tergantung sepenuhnya pada temperatur dan kelembaban (Depkes,
1991).
Melihat pola hidupnya, lalat merupakan tipe makhluk hidup yang
kompleks dan dapat berkembang biak dengan pesat serta mampu bertahan hidup
dengan relatif lama pada temperatur dan keadaan tertentu.
2.4 Jenis - Jenis Lalat
Sebagai makhluk hidup, tentunya lalat memiliki banyak spesies.
Berdasarkan pembagian spesiesnya, lalat memiliki beberapa spesis yang
terpenting dari sudut kesehatan yaitu : lalat rumah (Musca domestica), lalat

15

kandang (Stomoxys calcitrans), lalat hijau (Phenisial), lalat daging (Sarchopaga),


dan lalat kecil (Fannia) (Depkes RI, 1991).
2.4.1 Lalat rumah (Musca domestica)

Gambar 2.6 Lalat Rumah (Musca domestica)


(sumber: Wikipedia, 2013)
Menurut Sucipto (2011) bahwa: Lalat rumah termasuk family Muscidae
sebarannya diseluruh dunia, berukuran sedang dan panjang 6-8 mm, berwarna
hitam keabu-abuan dengan empat garis memanjang gelap pada bagian dorsal
toraks dan satu garis hitam medial pada abdomen dorsal, matanya pada yang
betina mempunyai celah yang lebih lebar sedangkan lalat jantan lebih sempit,
antenanya terdiri dari tiga ruas, bagian mulut atau proboscis lalat disesuaikan
khusus dengan fungsinya untuk menyerap dan menjilat makanan berupa cairan,
sayapnya mempunyai vena 4 yang melengkung tajam ke arah kosta mendekati
vena 3, ketiga pasang kaki lalat ini ujungnya mempunyai sepasang kuku dan
sepasang bantalan disebut pulvilus yang berisi kelenjar rambut.
Pada umumnya siklus hidup dan pola hidup lalat rumah ini sama dengan
siklus dan pola hidup lalat pada umumnya, yakni memerlukan suhu 30oC untuk
hidup dan kelembaban yang tinggi, tertarik pada warna terang sesuai dengan sifat
fototrofiknya, ukurannya yang berkisar 12-13 mm dan seterusnya. Bedanya
dengan lalat jenis lain yakni terletak pada beberapa bentuk tubuhnya dan
kebiasaannya tinggal.

16

2.4.2 Lalat kandang (Stomoxys calcitrans)


Menurut Sucipto (2011) bahwa, lalat kandang: (1). Lalat ini bentuknya
menyerupai lalat rumah tetapi berbeda pada struktur mulutnya yang berfungsi
menusuk dan menghisap darah, (2). Lalat ini merupakan penghisap darah ternak
yang dapat menurunkan produksi susu. Kadang-kadang menyerang manusia
dengan menggigit pada daerah lutut atau kaki bagian bawah, (3) Lalat kandang
dewasa berukuran panjang 5-7 mm, mempunyai bagian mulut (proboscis)
meruncing untuk menusuk dan menghisap darah, (4). Bagian thoraksnya terdapat
garis gelap yang diantaranya berwarna terang, (5). Sayapnya mempunyai vena 4
yang melengkung tidak tajam ke arah kosta mendekati vena 3, (6). Antenanya
terdiri atas tiga ruas, ruas terakhir paling besar, berbentuk silinder dan dilengkapi
dengan arista yang memiliki bulu hanya pada bagian atas.

Gambar 2.7 Lalat Kandang (Stomoxys calcitrans)


(sumber: Wikipedia, 2013)
Siklus hidup dari lalat kandang juga hampir sama dengan siklus hidup lalat
pada umumnya. Yang membedakannya yakni pada lama berlangsungnya siklus,
jarak terbang, serta ada siklus pradewasa (pupa). Dan cenderung menghisap
darah.
Tahap larva berlangsung selama 1-3 minggu, kemudian menjadi pupa dan
akan muncul stadium pradewasa setelah satu minggu atau lebih, dan siklus hidup
berkisar 3-5 minggu pada kondisi optimal. Saat dewasa lalat ini menghisap darah
hewan dan cenderung tetap di luar rumah di tempat yang terpapar sinar matahari
serta termasuk penerbang yang kuat dan bisa melakukan perjalanan jauh dari
tempat perindukan (Sucipto, 2011).

17

2.4.3 Lalat hijau (Phenisial)

Gambar 2.8 Lalat Hijau (Phenisial)


(sumber: Wikipedia, 2013)
Menurut Sucipto (2011) bahwa Lalat hijau termasuk kedalam family
Calliphoridae serta terdiri atas banyak jenis, umumnya berukuran dari sedang
sampai besar dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1). Warna hijau, abu-abu, perak
mengkilat atau abdomen gelap, (2). Lalat ini berkembang biak di bahan yang cair
atau semi cair yang berasal dari hewan dan jarang berkembang biak di tempat
kering atau bahan buah-buahan, (3). Jantan berukuran panjang 8 mm, mempunyai
mata merah besar, (4). Lalat ini dilaporkan juga membawa telur cacing Ascaris
lumbriocoides, Trichuris trichiura dan cacing kait pada bagian tubuh luarnya dan
pada lambung lalat.
2.4.4 Lalat daging (Sarchopaga)

Gambar 2.9 Lalat Daging (Sarchopaga)


(sumber: Wikipedia, 2013)
Menurut Sucipto (2011) bahwa Lalat daging termasuk dalam family
Sarcophagidae dengan ciri-ciri sebagai berikut : (1). Berwarna abu-abu tua,
berukuran sedang sampai besar, kira-kira 6-14 mm panjangnya, (2). Lalat ini
mempunyai tiga garis gelap pada bagian dorsal toraks, dan perutnya mempunyai
corak seperti papan catur, (3). Bersifat viviparous dan mengeluarkan larva hidup

18

pada tempat perkembangbiakannya seperti daging, bangkai, kotoran dan sayuran


yang sedang membusuk, (4). Siklus hidup lalat ini berlangsung 2-4 hari.
Lambungnya mengandung telur cacing Ascaris lumbricoides dan cacing cambuk.
2.4.5 Lalat kecil (Fannia)

Gambar 2.10 Lalat Kecil (Fannia), (a) Fannia Canicularis , (b) Fannia Scalaris
(sumber: Wikipedia, 2013)
Lalat Fannia canicularis dan Fannia scalaris dikenal dengan nama Litte
house flies. Lalat ini berkembang biak di tempat kotoran basah hewan piara, orang
atau unggas, atau buah-buahan yang sedang membusuk. Lalat ini lebih menyukai
keadaan sejuk dan lebih lembab dibandingkan jenis-jenis Musca. Lalat ini juga
menghabiskan waktunya lebih banyak di dalam hunian manusia, dan tempat
jantan berkeliling di sekitar lampu-lampu yang menggantung. (Sucipto, 2011).
Pada umumnya segala jenis atau spesies lalat memiliki kecenderungan
pola hidup dan siklus hidup yang hampir sama. Namun pada keadaan-keadaan
tertentu dan tempat-tempat tertentu ada lalat yang mampu bertahan kuat
dibandingkan dengan lalat-lalat yang lainnya. Tapi hal ini tidak mempungkiri
bahwa spesies-spesies lalat yang telah disebutkan diatas merupakan vektor
pembawa penyakit dan merupakan hewan pengganggu yang harus dikendalikan
sehingga perlu diketahui siklus dan pola hidupnya agar mudah untuk
dikendalikan.

19

2.5 Penyakit yang Disebabkan oleh Lalat


Sucipto (2011) mengemukakan bahwa: lalat merupakan vektor mekanis
jasad-jasad patogen terutama penyebab penyakit usus, dan bahkan beberapa
spesies khususnya lalat rumah dianggap sebagai vektor thypus abdominalis,
salmonellosis, cholera, disentri tuberculosis, penyakit sapar dan trypanosominasi
serta lalat Chrysops dihubungkan dengan penularan parasit flaria loa loa dan
pasteurella tularensis penyebab tularemia pada manusia dan hewan.
Secara lebih detail Sucipto (2011) menjelaskan beberapa penyakit yang
disebabkan oleh lalat antara lain: (1). Disentri, dengan gejala sakit pada bagian
perut, lemas karena terhambat peredaran darah dan pada kotoran terdapat mucus
dan push, (2). Diare, dengan gejala sakit pada bagian perut, lemas dan pencernaan
terganggu. Disentri dan diare termasuk karena Shigella spp atau diare bisa juga
karena Escherichia coli, (3). Thypoid, gejala sakit pada bagian perut, lemas dan
pencernaan terganggu, penyebabnya adalah Salmonella spp, (4). Cholera, gejala
muntah-muntah, demam, dehydrasi, penyebabnya adalah Vibrio cholera, (5). Pada
beberapa kasus, sebagai vektor penyakit lepra dan yaws (Frambusia atau Patek),
(6). Kasus kecacingan pada manusia dan hewan juga banyak ditularkan oleh lalat
rumah, lalat hijau dan Sarcophaga spp. Misal cacing jarum atau cacing kremi
(Enterobius vermin cularis), cacing giling (Ascaris lumbricoides), cacing kait
(Ancylostoma sp, Necator), cacing pita (Taenia, Dypilidium caninum), cacing
cambuk (Trichuris trichiura), (7). Belatung lalat Musca domestica, Chrysomya
dan Sarcophaga dapat juga menyerang jaringan luka pada manusia dan hewan.
Infestasi ini disebut myasis atau belatungan.
2.6 Pengukuran Tingkat Kepadatan Lalat
Pada lingkungan yang tergolong kotor, sangat banyak dikerumuni lalat.
Untuk meminimalisir pembiakkan lalat perlu diadakan upaya pengendalian lalat.
Sering kali upaya pengendalian terhadap lalat cenderung hanya untuk membunuh
lalat saja yang dalam waktu relatif singkat populasi lalat tersebut akan menurun.
Akan tetapi lalat yang masih tertinggal dapat hidup apabila menemukan tempattempat untuk berkembang biak, dan suatu saat akan mampu membuat suatu
populasi baru sehingga upaya pengendalian akan sia-sia. Oleh karena itu upaya

20

pengendalian lalat seharusnya tidak hanya ditujukan pada populasi lalat dekat
dengan manusia saja, tetapi juga harus pada sumber-sumber tempat berkembang
biaknya lalat.
Berdasarkan Depkes RI (1991) bahwa: Sebelum melakukan
pengendalian, perlu dilakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat dimana data ini
dapat dipakai untuk merencanakan upaya pengendalian, yaitu tentang kapan,
dimana dan bagaimana pengendalian yang akan dilakukan. Selain itu pengukuran
tingkat kepadatan lalat diperlukan untuk menilai keberhasilan pengendalian
sebelum dan sesudah dilakukan penanganan.
Perlunya melakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat adalah bertujuan
untuk mengetahui tentang: (1). Tingkat kepadatan lalat. (b). Sumber-sumber
tempat berkembang biaknya lalat.
Dari sudut pandang peneliti, melakukan pengukuran tingkat kepadatan
lalat sangatlah penting sebagai data dan pertimbangan awal untuk mengambil
langkah apa yang akan dilakukan untuk mengendalikan lalat dan sasaran tempat
yang tepat yang akan ditindaki untuk melakukan pengendalian tersebut. Sebagai
usaha dasar dalam melakukan pengukuran tingkat kepadatan lalat perlu
diperhatikan terlebih dahulu persiapan pengukurannya, waktu pengukuran,
peralatan pengukuran, dan cara pengukurannya.
2.6.1 Persiapan pengukuran
Dalam melakukan penelitian, perlu persiapan yang matang terlebih dahulu.
Dalam persiapan penelitian, yang perlu ditentukan adalah alat yang digunakan dan
lokasi atau tempat pengukuran. Depkes RI (1991) mengemukakan bahwa:
kepadatan lalat dapat diukur dengan menggunakan beberapa alat atau
teknik/cara, namun cara yang paling mudah, murah dan cepat adalah dengan
menggunakan fly grill .

21

Persiapan pengukuran tebagi atas penyediaan alat dan penentuan lokasi


pengukuran. Dalam penyediaan alat, tinggal memilih salah satu bentuk teknik
pengukuran dan pembuatannya disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam Depkes RI (1991), menjelaskan bahwa sasaran yang diukur
kepadatan lalatnya adalah lokasi yang berdekatan dengan kehidupan manusia
antara lain : (1). Pemukiman penduduk, (2). Tempat-tempat umum (pasar,
terminal kendaraan umum, rumah makan restoran, hotel/losmen dan sebagainya),
(3). Lokasi sekitar tempat pengumpulan sampah sementara yang berdekatan
dengan pemukiman dan lokasi sekitar tempat pembuangan akhir sampah yang
berdekatan dengan pemukiman.
2.6.2 Waktu pengukuran
Menurut Depkes RI (1991), bahwa : Waktu pengukuran kepadatan lalat
hendaknya dapat dilakukan pada : (a). Setiap kali dilakukan pengendalian lalat
(sebelum dan sesudah), (b). Monitoring secara berkala, yang dapat di lakukan
sedikitnya 3 bulan satu kali.
Jadi, waktu pengukuran adalah saat yang tepat dan baik untuk melakukan
pengukuran. Seperti yang telah dijelaskan di atas waktu pengukuran kepadatan
lalat dilakukan sebelum dan sesudah melakukan pengendalian serta dilakukan
secara berkala.
2.6.3 Peralatan pengukuran
Peralatan pengukuran adalah alat yang akan digunakan untuk mengukur
hal yang dimaksud. Dalam penelitian ini alat yang digunakan antara lain fly grill,
counter, termometer, hygrometer, alat tulis menulis, dan waktu/jam/stopwatch

22

Menurut Depkes RI (1991), bahwa: Peralatan yang dipakai untuk


mengukur kepadatan lalat antara lain : fly grill, dan counter untuk menghitung
lalat yang hinggap di fly grill.
2.6.4 Cara pengukuran
Cara pengukuran merupakan hal yang paling penting untuk diketahui dan
dipelajari, sebab melalui cara pengukuran yang baik kita akan memperoleh data
yang akurat. Hasil data yang diperoleh akan menunjukkan apa yang kita ingin
dapatkan.
Cara pengukuran menurut Depkes RI (1991) adalah : Fly grill diletakkan
pada tempat-tempat yang telah ditentukan (berdekatan dengan tempat sampah,
kotoran hewan, kandang dan lain-lain) pada daerah yang akan diukur.
Pengukuran kepadatan lalat dengan mempergunakan fly grill didasarkan
pada sifat lalat, yaitu kecenderungannya hinggap pada tepi-tepi atau tempat yang
bersudut tajam.
Pada fly grill yang telah diletakkan pada tempat yang telah ditentukan,
banyaknya jumlah lalat yang hinggap selama 30 detik, dihitung. Pengukuran ini
dilakukan 10 kali pengukuran atau 10 kali per 30 detik pada setiap lokasi. Lima
perhitungan tertinggi dibuat rata-ratanya dan dicatat dalam kartu pencatatan. Hasil
perhitungan rata-rata ini merupakan petunjuk (indeks) populasi dalam suatu lokasi
tertentu (Depkes RI, 1991).
Hasil rata-rata pengukuran ini, kemudian di interpretasi dengan satuan
block grill. Berdasarkan Depkes RI (1991), interpretasi hasil pengukuran dengan
satuan block grill adalah sebagai berikut.

23

1) 0 2

: tidak menjadi masalah (rendah)

2) 3 5

: perlu dilakukan sebuah pengamanan terhadap tempattempat


berkembang biaknya lalat (sedang)

3) 6 20

: populasinya padat dan perlu pengamanan terhadap tempat-tempat


berkembang

biaknya

lalat

dan

tindakan

pengendaliannya

(tinggi/padat)
4) 21 keatas : populasinya sangat padat dan perlu diadakan pengamanan
terhadap tempat-tempat berkembang biaknya lalat dan tindakan
pengendalian lalat (sangat tinggi/sangat padat)
2.7 Tinjauan Umum tentang Fly Grill
Menurut Depkes RI (1991), bahwa: Fly grill dapat dibuat dari bilah-bilah
kayu yang lebarnya 2 cm dan tebalnya 1 cm dengan panjang masing-masing 80
cm, sebanyak 16 - 24 buah. Bilah-bilah tersebut hendaknya dicat putih. Bilahbilah yang telah disiapkan, dibentuk berjajar dengan jarak 1 - 2 cm pada kerangka
kayu yang telah disiapkan dan sebaiknya pemasangan bilah pada kerangkanya
mempergunakan paku sekrup sehingga dapat dibongkar pasang setelah dipakai.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa fly grill adalah alat
yang digunakan untuk mengukur tingkat kepadatan lalat di lokasi pengukuran
yang terbuat dari bilah-bilah dengan ukuran 80 cm x 2 cm. Bilah-bilah ini dibuat
berjejer dengan spasi 1-2 cm sebanyak 16-24 deret. Fly grill yang digunakan
dibuat dengan teknik tertentu.
Fitri (2012) menjelaskan bahwa: Cara pembuatan fly grill adalah sebagai
berikut. (1) Mengukur dan memotong balok kayu masing-masing dengan panjang
80 cm, (2). Mengukur dan memahat balok kayu dengan jarak 2 cm. (3).
Menghaluskan kayu dengan ampelas, dan membersihkannya dengan kain lap
sampai bersih, (4). Memotong ban dengan panjang 80 cm, (5). Menghubungkan 2
bilah kayu dengan ban yang telah dipotong dengan jarak 2 cm yang disambung
dengan paku sampai bilah kayu terakhir, (6) Melakukan hal yang sama hingga
keempat sisi fly grill tertutup dengan ban pada kedua sisinya, (7). Melakukan uji
fungsi fly grill .

24

Pembuatan fly grill yang dilakukan peneliti dalam menghadirkan alat


adalah dibuat dengan cara yang sama seperti yang terurai diatas. Namun kali ini
peneliti lebih menambahkan pada proses pengecetan atau pemberian warna.
Setelah alat telah terangkai dengan baik maka peneliti akan membuat fly grill
yang baru lagi hingga jumlahnya sesuai yang dibutuhkan peneliti. Fly grill yang
telah terangkai rapi akan dicat dengan cat warna. Jumlah cat warna yang
digunakan sesuai dengan jumlah fly grill yang telah berhasil dirangkai agar
masing-masing fly grill akan dicat dengan warna yang berbeda.
Adapun ilustrasi bentuk fly grill, digambarkan di bawah ini.

Gambar 2.11 Fly grill


(sumber: Depkes RI, 1991)

25

2.8

Kerangka Berpikir

2.8.1 Kerangka teori


LALAT

Pasar Ikan /Tempat


Pelelangan Ikan
(TPI)
Tempat yang disukai

Tempat
basah

Benda
organik

Tumbuhan/Benda
busuk

Sampah
basah

Makanan
(Ikan)

Pengukuran tingkat
kepadatan lalat
menggunakan fly
grill

< 2 ekor lalat


per block grill

Belum
Berpotensi
menyebarkan
penyakit

Warna Fly
Grill
- Biru
- Hitam
- Putih
- Kuning
- Merah
- Coklat
- Warna asli
kayu
Perbedaan
Jumlah
Kepadatan Lalat
tiap fly grill
Gambar 2.12 Kerangka Teori

2 ekor lalat
per block grill

Berpotensi
menyebarkan
penyakit

Mempengaruhi
derajat
kesehatan

26

2.8.2 Kerangka konsep


Warna Fly Grill
Suhu
- Biru
- Hitam
- Putih
- Kuning

Kepadatan lalat

Jumlah
kepadatan lalat

- Merah
- Coklat
- Warna asli
kayu

Kelembaban

Gambar 2.13 Kerangka Konsep


Keterangan :

: Variabel bebas (Independent)

: Variabel terikat (Dependent)

: Tidak diteliti

: Output

2.9 Hipotesis Penelitian


Hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat Pengaruh Variasi Warna
Fly Grill Terhadap Kepadatan Lalat.

You might also like