Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1.
diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan
leher (Fachruddin, 2007).
Abses terjadi sebagai akumulasi dari pus dalam suatu rongga
patalogis yang dapat terjadi dibagian tubuh manapun sebagai reaksi
pertahanan tubuh terhadap benda asing. Infeksi pada area leher dalam
tidak selalu menyebabkan abses. Pada kasus-kasus dimana infeksi
jaringan lunak tidak terlokalisir dimana eksudat menyebar keantara celah
interstitial jaringan ikat (Surarso, 2011).
2.2.
normal dalam tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah
steril dari tubuh baik secara perluasan langsung, maupun melalui laserasi
atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian
tubuh tertentu maka kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi
berdasarkan lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan
oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun
fakultatif anaerob (Pulungan, 2011).
Sumber infeksi paling sering pada infeksi leher dalam berasal dari
infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada
di atas mylohyoid
Pemeriksaan Penunjang
Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan
drainase
dan
pembedahan.
John
dan
kawan-kawan
2.5.
Prinsip Penatalaksanaan
Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang
algoritma
untuk
menegakkan
diagnosis
dan
Edema paru
Mediastinitis
Perikarditis
Aspirasi
Sepsis
B. Komplikasi pembedahan:
Kerusakan dari struktur neurovascular
Infeksi pada luka
Keracunan darah
Luka parut
Aspirasi
2.7.
Ruang Lingkup
Infeksi di dalam ruang (potensial) leher dalam meliputi abses yang
Abses Peritonsil
Definisi
Abses peritonsil (Quinsy) adalah kumpulan nanah/pus dalam ruang
peritonsil, diantara kapsul fibrous tonsil dengan muskulus konstriktor
faringeal superior, biasanya pada bagian kutub atas (Cowan, 1997;
Dingra, 2007).
Etiologi
terbentuknya nanah merupakan tanda dan gejala yang klasik dari abses
peritonsil (Galioto, 2008).
Tanda Dan Gejala
Abses peritonsil biasanya didahului oleh nyeri tenggorok selama 23 hari yang secara perlahan-lahan menjadi lebih berat dan biasanya
unilateral. Abses peritonsil bilateral pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi
(Fachruddin, 2007).
Dapat terjadi nyeri alih pada telinga dan pembengkakan pada leher
akibat limfadenopati infektif.
Gejala klinis abses peritonsil terdiri dari:
Demam tinggi, suhu tubuh bisa mencapai 39-40C atau lebih
Lemah
Menggigil
Sakit kepala
Muntah
Nyeri tenggorok yang berat, biasanya unilateral. Nyeri dapat
menjalar ke telinga dan sudut mandibula. Nyeri bertambah sesuai
dengan perluasan timbunan nanah.
Nyeri menelan (odinofagia) dan sulit menelan (disfagia). Penderita
tidak dapat menelan air ludahnya sendiri.
Hipersalivasi dan air ludah menetes dari sudut mulut.
Suara tidak jelas seperti mengulum makanan, yang dikenal dengan
sebutan hot potato voice.
Mulut berbau (fetor ex ore).
Sukar membuka mulut (trismus).
Nyeri bila menggerakkan kepala ke lateral akibat infiltrasi ke
jaringan leher di regio tonsil (Dingra, 2007; Surarso, 2011).
Tanda-tanda Klinis
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring karena trismus.
Orofaring terlihat asimetris. Palatum mole tampak membengkak dan
radiologi
yang
dapat
membantu
menegakkan
atas
mempunyai
lateral
nervus
dari
palatina
konka
media.
anterior,
Ganglion
media
dan
sfenopalatina
posterior
yang
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan cairan infus untuk
mencegah dehidrasi (Dhingra, 2007; Fachruddin, 2007).
Pemilihan antibiotik sangat tergantung kepada hasil biakan dan uji
kepekaan dari pus yang didapat melalui tindakan aspirasi. Antibiotik
sebagai pilihan digunakan golongan penicillin tetapi karena munculnya
bakteri yang memproduksi beta-laktamase maka pilihan antibiotik telah
berubah. Beberapa penelitian melaporkan lebih dari 50% hasil kultur
didapati kuman anerob yang memproduksi beta-laktamase, hal inilah yang
membuat banyak para dokter menggunakan antibiotik spektrum luas
sebagai first line therapy (Galioto, 2008).
Manfaat pemberian steroid pada pengobatan abses peritonsil
belum diteliti lebih lanjut meskipun steroid banyak dipakai untuk
mengurangi edema dan inflamasi pada penyakit THT lainnya (Galioto,
2008).
B. Operatif
Ada 3 prosedur operasi untuk pengobatan abses peritonsil, yaitu
aspirasi jarum, insisi dan drainase serta tonsilektomi.
a) Aspirasi jarum/ Pungsi
Bila telah terbentuk abses, dilakukan aspirasi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan pus. Aspirasi
abses merupakan gold standard untuk menegakkan abses
peritonsil (Fachruddin, 2007).
b) Insisi dan drainase
Insisi dilakukan pada daerah yang menonjol (berfluktuasi),
biasanya pada bagian depan pilar anterior, batas antara 1/3
bagian atas dan tengah tonsil atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas
terakhir pada sisi yang sakit (Ballenger, 1997; Fachruddin,
2007).
c) Tonsilektomi
Setelah dilakukan insisi dan drainase kemudian pasien
dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-
meluas
masuk
ke
mediastinum
sehingga
terjadi
2.9.
Abses Retrofaring
Abses
retrofaring
adalah
suatu
peradangan
yang
disertai
saluran
nafas
atas
yang
menyebabkan
limfadenitis
retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang
ikan
atau
tindakan
medis,
seperti
adenoidektomi,
intubasi
akibat
penggunaan
instrumen
(intubasi
endotrakea,
secara
bersamaan.
Beberapa
organisme
yang
dapat
Gejala
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan
penunjang foto rontgen lateral jaringan lunak leher. Pada kasus-kasus ini,
radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan peningkatan bayangan
jaringan lunak yang jelas antara saluran udara faring dan korpus vertebra
servikalis. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke arah depan. Jika
terdapat keraguan mengenai radiografi, maka dapat dipertegas dengan
radiografi penelanan barium (Adam 1997; Kahn JH, 2010).
Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi,
untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral.
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah komplikasi.
B. Tindakan bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal
atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan
tanda-tanda obstruksi saluran napas atas (Fachruddin, 2007; Khan
JH, 2010).
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang
parafaring, ruang vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan napas
sampai asfiksia. Bila pecah spontan, dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi dan abses paru. Infeksi itu sendiri seperti sepsis dan kematian
(Fachruddin, 2007; Khan 2012).
2.10. Abses Parafaring
Abses parafaring dapat terjadi setelah infeksi faring, tonsil, adenoid,
gigi, parotis, atau kelenjar limfatik. Pada banyak kasus abses parafaring
merupakan perluasan dari infeksi leher dalam yang berdekatan seperti;
abses
peritonsil,
abses
submandibula,
abses
retrofaring
maupun
3. Penjalaran
infeksi
dan
ruang
peritonsil,
retrofaring
atau
tumpul
eksplorasi
dilanjutkan
dari
batas
anterior
m.
m.
sternokleidomastoideus
(cara
Mosher)
(Bailey,
2006;
Fachruddin, 2007).
Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan
memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus m.
konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi
intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda
(Bailey, 2006; Fachruddin, 2007).
Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen
atau langsung ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat
mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung
karotis mencapai mediastinum. Komplikasi yang paling berbahaya dari
infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah
sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat
terjadi perdarahan masif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis
interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan
awal yang kecil (perdarahan tersamar) (Adam, 1997; Fachruddin, 2007).
2.11. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang
submaksila dan submental. Muskulus milohiod memisahkan ruang
sublingual dengan ruang submental dan submaksila. Ruang sublingual
dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Didalam ruang
sublingual terdapat kelenjar liur sublingual beserta duktusnya (Bailey,
2006).
Abses submandibula dan angina ludovici (Ludwigs angina) dapat
terjadi karena adanya infeksi yang bersumber dari gigi, dasar mulut,
ditemukan
Eubacterium
kuman
anaerob
Peptostreptococus
dan
Bacteroides
yang
jarang
melaninogenesis,
adalah
kuman
beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan
pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit
gigi, mengorek atau mencabut gigi (Bailey, 2006; Surarso, 2010).
Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus
diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam
anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi
dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda
(Surarso, 2010).
2.12. Angina Ludovici/Ludwigs Angina
Ludwigs angina mula-mula di deskripsikan oleh Wilhelm Frederick
von Ludwig pada 1836. Ludwigs angina atau angina ludovici ialah infeksi
ruang submandibula berupa selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid dengan tanda khas berupa pembengkakan, tidak
membentuk abses, sehingga keras pada perabaan submandibula (Adam,
1997; Fachruddin, 2007).
Etiologi
Penyebab angina ludovici adalah trauma bagian dalam mulut,
infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar,
tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada ekstraksi gigi, angina vincent,
erysipelas wajah, otitis media dan eksterna serta ulkus pada bibir dan
hidung. Jika infeksi berasal dari gigi, organism pembentuk gas tipe
anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya
disebabkan oleh streptokokus (Adam, 1997).
m.
sternokleidomastoideus,
m.
trapezius,
m.
bagian
posterolateral
ruang
retrofaring
dan
demikian
karena
berisi
jaringan
ikat
longgar
sehingga
dan resisten terhadap penyebaran infeksi. Ruangan ini berada mulai dari
dasar tengkorak hingga ke medistinum dan menerima kontribusi dari
seluruh tiga lapisan fascia profunda dan dapat menjadi tempat infeksi
sekunder yang menyebar langsung dari ruang-ruang lain di leher (Bailey,
2006).
Ruang suprahioid
Ruang yang berada di atas tulang hioid antara lain adalah ruang
submandibular, ruang parafaring, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang
temporal dan ruang parotis. Ruang submandibular dibatasi di anterior dan
lateral oleh mandibula, bagian superior oleh mukosa lingual dan di
postero-inferior oleh hioid serta lapisan superfisial fascia servikalis
profunda dibagian inferior (Bailey, 2006).
Ruang parafaring, disebut juga ruang faringomaksila, ruang
perifaring atau ruang faring lateral. Digambarkan berbentuk corong terbalik
dengan dasarnya berada di dasar tengkorak dan apeksnya di hioid. Ruang
parafaring berhubungan dengan beberapa ruang leher dalam termasuk
submandibular, retrofaringeal, ruang parotis dan ruang mastikator. Hal ini
memiliki implikasi klinis penting dalam penyebaran infeksi di ruang-ruang
leher (Ballenger, 1997).
Ruang parafaring kemudian dibagi oleh prosessus styloid menjadi
kompartemen anterior, muskuler, atau prestyloid serta kompartemen
posterior neuro vaskuler atau poststyloid. Ruang prestyloid berisi lemak,
otot, kelenjar limfe, dan jaringan konektif serta dibatasi oleh fossa tonsilar
dimedial dan pterygoid medial disebelah lateral (Ballenger, 1997).
Ruang poststyloid berisi carotid sheath dan saraf kranialis IX, X, XII.
Aponeurosis stylopharingeal zuckerkandel dan testus dibentuk oleh
perpotongan antara fascia alar, buccoparyngeal dan stylomuscular fascia
yang bertindak sebagai penghalang penyebaran infeksi dari kompartemen
prestyloid ke poststyloid (Bailey, 2006).
Ruang peritonsil dibentuk oleh kapsul dari tonsil palatina di medial,
oleh otot konstriktor faring superior di sisi lateral dan pilar anterior tonsil di
superior serta pilar posterior tonsil di inferior. Ruang ini mengandung
jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan palatum mole yang
menjelaskan mengapa mayoritas abses peritonsil berlokasi di pole
posterior dari tonsil (Ballenger, 1997).
Ruang mastikator dibentuk oleh lapisan superfisial dari fascia
servikalis profunda dan membungkus masseter dibagian lateral dan m.
pterigoid di medial. Ruang mastikator berhubungan langsung dengan
ruang temporal di bagian superior di bawah zigoma (Raharjo SP,2013).
Ruang temporal dibatasi di lateral oleh lapisan superfisial fasia
servikalis yang melekat ke zigoma dan temporal ridge serta batas
medialnya adalah periosteum tulang temporal. Ruang ini dibagi menjadi
ruang superfisial dan profunda oleh m. Temporalis (Bailey, 2006).
Ruang parotid, selain berisi kelenjar parotis juga kelenjar limfe
parotis, n. fasialis dan vena fasialis posterior. Lapisan pembungkus
memiliki bagian paling lemah di permukaan supero-medial menyebabkan
adanya hubungan langsung ruangan ini dengan ruang parafaring
(Ballenger, 1997; Surarso, 2011).
Ruang infrahioid
Ruang potensial yang ada di bawah tulang hioid adalah ruang
visceral anterior. Area ini dibungkus oleh lapisan media dari fasia
servikalis profunda dan mengandung kelenjar tiroid, esofagus dan trakea.
Ruang potensial ini mulai dari kartilago tiroid hingga ke anterior dari
mediastinum superior dan arkus aorta (Ballenger, 1997; Surarso, 2011)
2.13. Kekerapan
Lee dan kawan-kawan (2007) melaporkan 158 kasus infeksi leher
dalam dari tahun 1995-2004. Ditemukan 89 penderita laki-laki dan 69
penderita perempuan. Usia penderita mulai dari 1-89 tahun dengan nilai
umur rata-rata 35,4 tahun.
Yang dan kawan-kawan (2008) pada 100 kasus infeksi leher dalam
yang
dilakukan
April
2001
sampai
Oktober
2006
mendapatkan
perbandingan laki-laki dan perempuan 3:2. Usia 1-88 tahun dengan nilai
rata-rata usia 49,2 tahun. Lokasi abses lebih dari satu ruang potensial
Etiologi
Umur
Jenis Kelamin
Keluhan Utama
Gejala Klinis
Lokasi
Mikrobiologi
Radiologi
Peritonsil
Retrofaring
Parafaring
Submandibula
Komplikasi
Tanpa Komplikasi
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan