You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Saraf perifer, taut neuromuskular, dan otot rangka merupakan komponen akhir
neuron motorik perifer. Penyakit yang mengenai struktur-struktur ini dapat
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot. Sedangkan secara spesifik, kelemahan
otot terbagi menjadi tiga macam yaitu:
- Penyakit neurologik yang mengenai neuron motorik atas atau bawah. Paralisis
neuron motorik bawah ditandai dengan atrofi otot dan hilangnya refleks tendon
dan secara klinis penyakit ini menyerupai otot primer. Sedangkan paralisis neuron
motorik atas menyebabkan spastisitas dan refleks cepat tanpa atrofi otot yang
signifikan
-Kegagalan transmisi neuromuskuler
- Penyakit yang mengenai otot rangka itu sendiri, antara lain miositis, distrofi
danmiopati. (Chandrasoma dan Taylor, 2005) Salah satu penyakit kelemahan otot
yang sering dijumpai dalam klinis adalah gangguan transmisi neuromuskuler
myasthenia gravis. Myasthenia Gravis adalah penyakit neuromuskuler yang
menggabungkan kelelahan cepat otot volunter dan waktu penyembuhan yang
lama. Myathenia gravis merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh
gangguan transmisi neuromuskuler asetilkolin pada membran post sinaps. Pada
kasus ringan, myasthenia menyebabkan kelemahan otot-otot pada mata dan
menimbulkan ptosis. Sedangkan pada moderate kasus, myasthenia menyebabkan
kesulitan berbicara, mengunyah, menelan, bernafas, dan kelemahan pada anggota
gerak badan. (Hartwig, 2005) Miastenia gravis adalah salah satu penyakit
kelemahan otot yang ditimbulkan oleh reaksi autoimun. Dari penelitian yang telah
dilakukan pada penderita miastenia, ditemukan adanya

defisiensi dari

acetylcholine receptor (AchR) pada neuromuscular junction. Defisiensi ini


disebabkan oleh timbulnya antibodi terhadap AchR. Sehingga, terdapat

perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta
interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi, spesifisitas,
dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis saat ini
telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR
mempengaruhi

transmisi

neuromuskular

telah

diinvestigasi

lebih

jauh.

(Dewabenny, 2008) Myasthenia gravis dapat terjadi pada berbagai usia.


Prevalensi penyakit ini diperkirakan 14 per 100.000 populasi, dengan 36.000
kasus terjadi di Amerika Serikat. Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan
rasio perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua
walaupun lebih rendah daripada yang pertama, terjadi pada laki-laki tua usia
dalam dekade tujuh puluhan atau delapan puluhan. (Hartwig, 2005)
B. Rumusan Masalah Seorang wanita umur 25 tahun datang di RS dengan
keluhan beberapa bulan ini mengeluh kelemahan pada otot, apabila melakukan
kegiatan anggota gerak cepat capai, kelopak mata sulit dibuka, bila melihat cepat
capai dan pandangan menjadi double. Dan semua keluahn tersebut semakin
memberat waktu sore hari. Pada pagi hari, terutama setelah bangun tidur keluhan
tersebut hilang atau berkurang. Dalam beberapa minggu ini keluhan semakin
bertambah, anggota gerak semakin capai dan cepat membaik setelah istirahat, bila
berbicara semakin lemah. Belum mengeluh perasaan tidak enak di dada atau sesak
nafas, tidak ada gangguan sensibilitas dan gerakan abnormal. Tidak ditemukan
juga keluhan ini dalam keluarganya. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
bahwa hasil pemeriksaan elektrolit darah dalam batas normal, hasil pemeriksaan
EMG dengan merangsang salah satu saraf secara terus menerus ditemukan
penurunan reaksi abnormal, dan tes endorphonium positif. Dokter menjelaskan
kelainannya pada motor end plate sehingga diberikan obat prostigmin dan keluhan
berkurang.
1. Bagaimana anatomi, fisiologi neuromuscular junction, fisiologi dan histologi
otot lurik?
2.Bagaimana penegakkan diagnosis dan apa penyakit pasien?
3.Bagaimana patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?

4.Apakah kelainan yang diderita pasien bersifat progresif?


5.Apakah penyakit pasien bersifat kongenital?
6. Mengapa keluhan yang dialami memberat pada sore hari dan berkurang setelah
istirahat?
7.Akankah di kemudian hari pasien akan mengalami sesak napas? mengapa?
8. Mengapa pemeriksaan penunjangnya dipilih elektrolit darah, tensilon test, dan
EMG? Apakah ada pemeriksaan lain?
9.Bagaimana interpretasi hasil dari EMG ?
10.Apakah pemberian prostigmin memberi prognosis yang baik? Bagaimana
farmakokinetik, farmakodinamik, dan indikasi pengobatan?
11. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosisnya?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Umum Menerapkan konsep-konsep dan prinsip ilmu-ilmu biomedik,
klinik, perilaku, epidemiologi, dan kesehatan masyarakat pada problem klinik
serta

penatalaksanaan

pasien

penyakit

dalam

bidang

muskuloskeletal.

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan
untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan
muskuloskeletal
2. Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan
menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
3. Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan
pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan
perilaku

D. Manfaat Penulisan

1. Sebagai upaya memahami dasar homeostatis tubuh dari tingkat sel hingga
sistem organ tubuh.
2. Sebagai upaya memahami mekanisme gangguan pada penghantaran sel dan
motor end plate
3. Sebagai langkah upaya dalam memahami etiologi dan menifestasi klinis
myasthenia gravis
4. Untuk memahami langkah-langkah dalam penegakan diagnosis, pemeriksaan
penunjang dan pengobatan yang terkait dengan myasthenia gravis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Histologi dan Fisiologi Neurmoscular Junction


Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction. Celah sinaps merupakan jarak antara membran
presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer
dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat
retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi.
Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin
(ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma di bagian terminal, namun dengan
cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yan terdapat di
bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate). Bila suatu impuls
saraf tiba di neuromuscular junction, sekitar 125 kantong asetilkolin akan
dilepaskan dari terminal bub masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi
menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke
bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini mempunyai pengaruh tarikan terhadap
vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan
mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan
berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs)
pada membran post sinaptik. Secara biokimiawi keseluruhan, proses pada
neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: (Ngoerah,
1991; Howard, 2008)

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisis reaksi berikut ini: Asetil-KoA +
Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian diinkorporasikan/ disatukan ke dalam partikel kecil
terikat membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel
tersebut.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate
miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)
dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Jika 2
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.
Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.

5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim

asetilkolinesterase

yang

mengkatalisis

reaksi

berikut:

Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan
jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
(Murray et al, 2003) Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar
dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masingmasing

satu

protein

beta,

delta,

dan

gamma.

Melekatnya

asetilkolin

memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut,


sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa
ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat
otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu
potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot.
(Murray et al, 2003)
B. Histologi dan Fisiologi Otot Lurik Pada penampang membujur, otot serat
lintang (otot lurik) mempunyai garis-garis atau pita-pita melintang secara
bergantian antara gelap terang. Pita yang gelap disebut pita A (anisotrop) yang
tersusun dari filament tebal yang masih disertai sedikit filament tipis yang
overlapping, sedangkan pita yang terang disebut pita I (Isotrop) yang tersusun dari
filament tipis. Di tengah-tengah pita I terdapat satu pita tipis gelap yang disebur
garis Z. Bagian dari serat otot yang dibatasi oleh garis Z yang berurutan disebut
dengan sarkomer. Di tengah-tengah pita A masih terdapat satu garis terang yang
disebut garis H, yang hanya tersusun atas filament tebal saja. Setiap filament tebal
terdiri dari beberapa ratus molekul miosin yang terkemas dalam susunan tertentu.
Miosin adalah suatu protein yang terdiri dari dua subidentik dengan masingmasing berbentuk seperti tongkat golf. Ekor dari miosisn berorientasi kearah
bagian tengah filament, sedangkan kepala globulernya menonjol keluar

membentuk jembatan silang antara filament tebal dan tipis. Setiap jembatan silang
memiliki dua tempat penting untuk proses kontraktil, yaitu tempat pengikatan
aktin (actin binding site) dan tempat ATPase miosin (Myosin ATPase site).
(Sherwood, 2001) Filamen tipis terdiri dari tiga protein: aktin, tropomiosin, dan
troponin. Tulang punggung filament tipis dibentuk oleh molekul-molekul aktin
yang menyatu membentuk dua untaian yang saling berjalin dan membelit satu
sama lain. Setiap molekul aktin memiliki tempat pengikatan khusus untuk melekat
dengan jembatan silang miosin. Pengikatan molekul aktin dan miosin di jembatan
silang menghasilkan kontraksi serat otot yang mengonsumsi energi. Dengan
demikian, protein aktin dan miosin disebut dengan protein kontraktil. Saat
relaksasi, aktin tidak bisa berikatan dengan miosin karena dihalangi oleh molekul
tropomiosin dan dan troponin. Tropomiosin adalah protein berbentuk seperti
benang yang terletak di sepanjang yang terletak di sepanjang alur spiral aktin
bersambungan ujung ke ujung. Dan dalam posisi menghambat ini, troponin
distabilisasi oleh troponin, yang akan berikatan dengan ujung-ujung setiap
molekul tropomiosin. Troponin adalah suatu kompleks protein yang terdiri dari
tiga jenis unit polipeptida: polipeptida T berikatan dengan tropomiosin,
polipeptida I mengikat aktin, dan polipeptida C berikatan dengan Ca2+.
Tropomiosin dan triponin sering disebut sebagai protein regulator karena peran
mereka dalam menutupi (mencegah kontraksi) atau memajankan (memungkinkan
kontraksi) tempat-tempat pengikatan untuk interaksi jembatan silang antara aktin
dan miosin. Adapun mekanisme kontraksi otot adalah: (Sherwood, 2001)
- Asetilkolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali
potensial aksi di sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran. Dan
aktivitas

listrik

ini

dibawa

ke

bagian

tengah

otot

oleh

tubulus

- Penyebaran potensial aksi di tubulus T mencetuskan pelepasan simpanan Ca2+


dari

kantung-kantung

lateral

retikulum

sarkoplasmik

didekat

tubulus.

- Ca2+ yang dilepaskan akan berikatan dengan troponin, sehingga kompleks


troponin-tropomiosin secara fisik tergeser ke samping, membuka tempat
pengikatan jembatan silang aktin.

- Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang
miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi
ADP + Pi +energi oleh ATPase miosin
- Pengikatan aktin dan miosin menyebabkan jembatan silang menekuk,
menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke arah
dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filamen tipis akan memperpendek
sarkomer. Dan selama gerakan mengayun kuat tersebut, ADP dan Pi dibebaskan
dari jembatan silang
- Perlekatan ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang dan Ca2+ akan
terdorong masuk kembali ke retikulum sarkoplasmik. Namun, penguraian ATP
dan pengikatan Ca2+ berulang akan mengulangi ikatan jembatan silang ini.
(Sherwood, 2001)
C. Myasthenia Gravis Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat
kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi
reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin
terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan
antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan
Taylor, 2005) Miastenia gravis ditandai dengan kelemahan otot yang secara tipikal
diperberat dengan adanya kontraksi berulang. Pada 90% pasien gejala awal
melibatkan otot olukar yang menyebabkan diplopia dan ptosis. Selain itu, otot
wajah, laring, dan faring juga sering terlibat dalam mistenia gravis. Keterlibatan
ini dapat mengakibatkan regugirtasi melalui hidung ketika berusaha menelan (otot
palatum); bicara hidung yang abnormal; dan tidak dapat menutup mulut (hanging
jaw sign). Otot pernafasan juga dapat terlibat dalam penyakit ini. Keterlibatan ini
ditandai dengan adanya batuk lemah, serangan dispnea, dan ketidakmampuan
pasien untuk membersihkan mukus dari cabang trakheobronkial. (Hartwig, 2005)
Klasifikasi myasthenia gravis yaitu :
1.Myasthenia okuler (I)

2. Myasthenia umum (II)


a. Myasthenia umum derajat ringan (II A): progesivitasnya lambat, tidak terjadi
krisis, dan respon terhadap obat baik.
b. Myasthenia umum derajat sedang (II B) : terjadi kelemahan pada otot skeletal
dan bulber, tidak terjadi krisis, tetapi respon terhadap obat kurang memuaskan.
3. Myasthenia fulminasi akut (III) : gejala memberat dengan sangat cepat, terjadi
krisis pernafasan, respon terhadap obat sangat buruk, sering ditemukan adanya
timoma, mortalitas tinggi.
4. Myasthenia berat yang sedang berkembang lamban (IV) : klinis seperti
golongan III, tetapi memerlukan waktu lebih dari dua tahun untuk beralih dari
golongan I atau II.Diagnosis klinis miastenia gravis dapat dipastikan dengan uji
terapeutik, EMG, dan uji serologik.
a. Endrofonium (Tensilon) test, yaitu tes dengan pemberian obat antikolinesterase
kerja singkat yang menghasilkan perbaiakn segera pada kelemahan otot bila
diberikan secara intravena.
b. Uji Kinin, merupakan uji dimana diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200
mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet).
Pada miastenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar
gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
c. EMG (Elektromiografi), alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang
timbul pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita
miastenia gravis terlihat penurunan progresif amplitudo potensial aksi otot ketika
pasien melakukan kontraksi volunter berulang.
d. Pemeriksaan serum untuk antibodi reseptor asetilkolin, merupakan uji yang
sangat baik karena bersifat spesifik terdapat pada 80% pasien miastenia gravis.
Uji yang positif bersifat diagnostik untuk penyakit miastenia gravis. Dan titer
antibodi yang tinggi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit. (Chandrasoma
dan Taylor, 2005)

D. Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome


Sindrom miastenik merupakan sindrom paraneoplastik yang berkaitan dengan
kanker, terutama karsinoma sel kecil paru. Sindrom miastenik sangat jarang
terjadi pada pasien tanpa kanker. Sindrom miastenik terjadi akibat kelainan
pelepasan asetilkolin oleh ujung saraf pada lempeng akhir motorik yang
disebabkan oleh autoantibodi pada saluran kalsium di terminal saraf motorik.
Sindrom ini secara klinis ditandai dengan kelemahan otot yang sama dengan
mistenia gravis, yaitu mengenai otot mata. Namun kelemahan otot tidak
diperberat oleh usaha. Selain itu, pada elektromiografi menunjukkan peningkatan
progresif amplitudo potensial aksi pada kontraksi berulang (efek yang berlawanan
dengan mistenia gravis). (Chandrasoma dan Taylor, 2005)
E. Pengobatan Myasthenia Gravis
1. Terapi jangka pendek untuk Intervensi keadaan akut
a. Plasma Exchange, efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang
akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan
tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien yang kesulitan
menjalani periode postoperative.
b. Intravenous Immunoglobulin, merupakan produk dimana 99% merupakan IgG
adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan
secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi
IVIG diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody
tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak
terdapat penurunan dari titer antibodi.
c. Intravenous Methylprednisolone (IVMp),
2. Pengobatan Farmakologi jangka panjang

a. Kortikosteroid, memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun.


Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T helper dan pada
fase proliferasi dari sel B. Dan pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan
mengalami penurunan dari titer antibodinya. Tapi, obat ini diindikasikan pada
penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di
kontrol dengan antikolinesterase.
b. Azathioprine, biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi
c. Cyclosporine, berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel
T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi
antibodi
d. Cyclophosphamide, merupakan suatu alkilating agent yang berefek pada
proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis
imunoglobulin. Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi
antibodi dibandingkan obat lainnya.
3. Timektomi (terapi bedah) Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah
tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat
yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen
dari pasien.

BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus di skenario, disebutkan bahwa pasien mengalami kelemahan otot.
Kelemahan otot ini tergolong dalam kelemahan pada LMN (lower motor neuron)
yang melanda segenap bagian perifer susunan neuromuskular. Susunan
neuromuskuler ini tersusun oleh motoneuron yang membentuk inti motorik saraf
kranial dan inti motorik di kornu anterior medula spinalis, motor end plate, serta

otot skeletal di bagian efektornya. Karena dalam skenario disebutkan bahwa


penderita mengalami gangguan pada motor end plate, maka kemungkinan besar
kelainan yang diderita berawal dari abnormalitas neuromuscular junction. Selain
itu, dari berbagai pemeriksaan fisik yang telah dilakukan dan pemeriksaan
penunjang (seperti EMG dan endorphonium test) maka dapat disimpulkan bahwa
pasien menderita miastenia gravis. Miastenia gravis merupakan gangguan
neuromuskular junction yang disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin
(Ach) untuk berikatan dengan reseptornya di permukaan membran sel otot.
Kelainan ini disebabkan oleh terbentuknya antibodi berupa IgG yang nantinya
akan berikatan secara inhibitor kompetitif pada reseptor asetilkolin (AchR).
Adanya antibodi yang terikat ini nantinya akan menyebabkan lisis fokal yang
ditandai dengan rusaknya reseptor. Reseptor yang rusak akan mempercepat proses
turn over dan mengurangi jumlahnya pada permukaan membran sel. Mekanisme
pembentukan antibodi terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti. Namun,
mekanisme ini tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks
imun). Selain itu, antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta.
Sehingga, kelainan miastenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu
yang menderita miastenia gravis. Pada miastenia gravis, gangguan yang terjadi
terletak pada bagian membran post sinaptik. Gangguan ini menyebabkan
asetilkolin tidak akan berikatan dengan reseptor sehingga asetilkolin akan terlihat
berenang didalam celah sinaptik. Kondisi asetilkolin bebas ini akan
memudahkan asetilkolin dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase. Sehingga,
jumlah asetilkolin yang terikat reseptor akan semakin sedikit dan hal ini
menimbulkan depolarisasi membran sel otot yang sifatnya tidak sekuat normal.
Depolarisasi berjenjang sel otot akan semakin menurun jumlahnya sehingga
nantinya

akan

bermanifes

pada

kelemahan

otot

dalam

kontraksi.

Kelainan miastenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter. Pada


awalnya gejala ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil seperti
otot-otot penggerak bola mata. Dan seringkali kelainan ini menyerang otot yang
dipersarafi nervvus kranial. Pada skenario, penderita mengalami keluhan berupa
kelopak mata sulit dibuka serta bila melihat cepat capai dan tampak double. Hal

ini disebabkan oleh kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis
okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di
bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam menutup bola mata yang dipersarafi n.
VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh n. III berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata. Selain itu, kelemahan akibat
gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot volunter tubuh.
Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada kesulitan
menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai dengan
kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan otototot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila
mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).
Keluhan pada miastenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan
membaik setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan
perangsangan yang timbul. Miastenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes
pada otot volunter/ otot skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada persarafan
somatik yang timbul oleh adanya rangsangan eksitatorik di otak. Pada keadaan
istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin
berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada saat memulai aktivitas
(rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya masih
dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan depolarisasi
membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak akan
terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait
pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif
lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya,
keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario,
penderita belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal
ini, penderita masih belum mengalami gangguan pernafasan yang nantinya dapat
menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka penderita
sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat
mungkin. Dalam miastenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal

karena tidak terjadi kenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini
biasanya timbul bila terjadi kerusakan otot sedangkan pada miastenia, tidak
timbul kerusakan otot melainkan gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga,
otot pada pasien miastenia tampak normal. Akan tetapi, bila otot pasien yang
mengalami kelemahan tidak digunakan, lama kelamaan akan timbul disuse
atrophy. Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada
myathenia gravis dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin
tidak dapat diterima oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi
telah menduduki reseptor itu. Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam
gelembung presinaptik tidak dapat dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik
karena membran presinaptiknya terganggu oleh adanya antibodi pada kanal
kalsium.

Penanganan

miastenia

gravis

dapat

dilakukan

dengan

terapi

farmakologik berupa pemberian obat imunosupresif, kortikosteroid ataupun obat


antikolinesterase. Selain itu, dapat pula dilakukan operasi pengangkatan timus
karean sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami hiperplasia kelenjar
timus (timoma). Obat antikolinesterase memiliki spektrum kerja dalam
menghambat efek kerja enzim asetilkolinesterase (enzim yang terlibat dalam
penguraian asetilkolin/ Ach). Obat ini akan secara efektif meningkatkan
konsentrasi Ach pada motor end plate dan memperpanjang masa kerjanya. Telah
diketahui bahwa kerusakan reseptor karena antibodi bersifat reversibel, sehingga
terjadi pengurangan jumlah reseptor dalam satu permukaan membran sel otot.
Namun, dengan penggunaan obat antikolinesterase, Ach akan tidak langsung
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterae. Sehingga, Ach yang berada dalam celah
sinaps akan memiliki waktu paruh panjang dalam menemukan reseptor yang sehat
(tidak terikat antibodi) dan nantinya menimbulkan pembukaan saluran Na-K.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pada penderita myasthenia gravis sesudah
mendapat pengobatan antikolinesterase yaitu krisis miastenik yang timbul karena
underdose obat antiasetilkolinesterase sehingga gejala-gejala lebih memburuk,
biasanya terjadi karena gangguan resorpsi obat antiasetilkolinesterase atau karena
infeksi berat. Selain itu, dapat juga terjadi krisis kolinergik yang timbul karena

obat antikolinesterase yang merusak sinaps sehingga asetilkolin tidak dapat


bekerja lagi sebagai neurotransmiter.

BAB IV
PENUTUPAN
Kesimpulan
1. Penderita dalam skenario menderita miastenia gravis dan belum mengalami
krisis miastenik sehingga prognosisnya baik bila diberikan penaganan terpeutik
yang
tepat.
2. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus
dan
disertai
dengan
kelelahan
saat
beraktivitas
3. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
nantinya
akan
melawan
reseptor
asetilkolin
B.
Saran
1. Hendaknya dilakukan terapi awal berupa pemberian obat-obat farmakologik
berupa obat antikolienesterase seperti prostigmin atau neostigmin. Selain itu,
kortikosteroid atau obat imunosupresif juga dapat diberikan tetapi harus dalam
kadar
tepat
mengingat
efek
samping
yang
ditimbulkan.
2. Diharapkan pasien memperbanyak istirahat namun juga tidak boleh dilakukan
penghentian aktivitas total karena nantinya dapat menimbulkan disuse atrofi.
DAFTAR
PUSTAKA
Admin. 2007. Miastenia Gravis. http://medlinux.blogspot.com/2007/10/miasteniagravis-myasthenia-gravis.html
(20
November
2008)
Burns, Dennis K. Vinay Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal, Dalam : Stanley
L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.
Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 870-871
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny.
2008.
Miastenia
Gravis.
http://dewabenny.com/2008/07/12/miastenia-gravis/ (20 November 2008)
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland . Edisi 29.
Jakarta:EGC
Hartwig, Mary S. 2005. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta:
Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC,
hal:
1148-1151
Howard,
J.F.
2008.
Myasthenia
Gravis,
a
Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia
gravis/detail_myasthenia
gravis.htm
(20
November
2008)
Mubarak,
Husnul.
2008.
Miastenia
Gravis.
http://cetrione.blogspot.com/2008/06/miastenia-gravis.html (20 November 2008)

Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, hal : 791-794
Ngoerah, I. G. N. G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University
Press,
hal:
301-305
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 207-221

You might also like