Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
defisiensi dari
perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari AchR serta
interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan antara konsentrasi, spesifisitas,
dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik pada miastenia gravis saat ini
telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme dimana antibodi AchR
mempengaruhi
transmisi
neuromuskular
telah
diinvestigasi
lebih
jauh.
penatalaksanaan
pasien
penyakit
dalam
bidang
muskuloskeletal.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan
untuk memahami etiologi, patofisiologi, dan patogenesis mengenai gangguan
muskuloskeletal
2. Menangani suatu permasalahan klinis secara mandiri dengan kemampuan
menetapkan diagnosis klinik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
3. Mampu menjelaskan secara rasional dan ilmiah dalam menentukan penanganan
pasien baik klinik, epidemiologis, farmakologis, fisiologis, dan perubahan
perilaku
D. Manfaat Penulisan
1. Sebagai upaya memahami dasar homeostatis tubuh dari tingkat sel hingga
sistem organ tubuh.
2. Sebagai upaya memahami mekanisme gangguan pada penghantaran sel dan
motor end plate
3. Sebagai langkah upaya dalam memahami etiologi dan menifestasi klinis
myasthenia gravis
4. Untuk memahami langkah-langkah dalam penegakan diagnosis, pemeriksaan
penunjang dan pengobatan yang terkait dengan myasthenia gravis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan
enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisis reaksi berikut ini: Asetil-KoA +
Kolin Asetilkolin + KoA
2. Asetilkolin kemudian diinkorporasikan/ disatukan ke dalam partikel kecil
terikat membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel
tersebut.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap
berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel
dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar
10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)
akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate
miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang
sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari
ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial
dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke
dalam rongga sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps
ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang
menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR)
dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Jika 2
molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan
menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate.
Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di
dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf
sehingga timbul kontraksi otot.
5. Jika saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh
enzim
asetilkolinesterase
yang
mengkatalisis
reaksi
berikut:
Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin Enzim yang penting ini terdapat dengan
jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif
di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
(Murray et al, 2003) Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar
dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin.
Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masingmasing
satu
protein
beta,
delta,
dan
gamma.
Melekatnya
asetilkolin
membentuk jembatan silang antara filament tebal dan tipis. Setiap jembatan silang
memiliki dua tempat penting untuk proses kontraktil, yaitu tempat pengikatan
aktin (actin binding site) dan tempat ATPase miosin (Myosin ATPase site).
(Sherwood, 2001) Filamen tipis terdiri dari tiga protein: aktin, tropomiosin, dan
troponin. Tulang punggung filament tipis dibentuk oleh molekul-molekul aktin
yang menyatu membentuk dua untaian yang saling berjalin dan membelit satu
sama lain. Setiap molekul aktin memiliki tempat pengikatan khusus untuk melekat
dengan jembatan silang miosin. Pengikatan molekul aktin dan miosin di jembatan
silang menghasilkan kontraksi serat otot yang mengonsumsi energi. Dengan
demikian, protein aktin dan miosin disebut dengan protein kontraktil. Saat
relaksasi, aktin tidak bisa berikatan dengan miosin karena dihalangi oleh molekul
tropomiosin dan dan troponin. Tropomiosin adalah protein berbentuk seperti
benang yang terletak di sepanjang yang terletak di sepanjang alur spiral aktin
bersambungan ujung ke ujung. Dan dalam posisi menghambat ini, troponin
distabilisasi oleh troponin, yang akan berikatan dengan ujung-ujung setiap
molekul tropomiosin. Troponin adalah suatu kompleks protein yang terdiri dari
tiga jenis unit polipeptida: polipeptida T berikatan dengan tropomiosin,
polipeptida I mengikat aktin, dan polipeptida C berikatan dengan Ca2+.
Tropomiosin dan triponin sering disebut sebagai protein regulator karena peran
mereka dalam menutupi (mencegah kontraksi) atau memajankan (memungkinkan
kontraksi) tempat-tempat pengikatan untuk interaksi jembatan silang antara aktin
dan miosin. Adapun mekanisme kontraksi otot adalah: (Sherwood, 2001)
- Asetilkolin yang dikeluarkan dari ujung terminal neuron motorik mengawali
potensial aksi di sel otot yang merambat ke seluruh permukaan membran. Dan
aktivitas
listrik
ini
dibawa
ke
bagian
tengah
otot
oleh
tubulus
kantung-kantung
lateral
retikulum
sarkoplasmik
didekat
tubulus.
- Bagian aktin yang telah terpajan tersebut berikatan dengan jembatan silang
miosin, yang sebelumnya telah mendapat energi dari penguraian ATP menjadi
ADP + Pi +energi oleh ATPase miosin
- Pengikatan aktin dan miosin menyebabkan jembatan silang menekuk,
menghasilkan suatu gerakan mengayun kuat yang menarik filamen tipis ke arah
dalam. Pergeseran ke arah dalam dari semua filamen tipis akan memperpendek
sarkomer. Dan selama gerakan mengayun kuat tersebut, ADP dan Pi dibebaskan
dari jembatan silang
- Perlekatan ATP baru memungkinkan terlepasnya jembatan silang dan Ca2+ akan
terdorong masuk kembali ke retikulum sarkoplasmik. Namun, penguraian ATP
dan pengikatan Ca2+ berulang akan mengulangi ikatan jembatan silang ini.
(Sherwood, 2001)
C. Myasthenia Gravis Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat
kegagalan transmisi neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi
reseptor asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor asetilkolin
terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini merupakan
antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. (Chandrasoma dan
Taylor, 2005) Miastenia gravis ditandai dengan kelemahan otot yang secara tipikal
diperberat dengan adanya kontraksi berulang. Pada 90% pasien gejala awal
melibatkan otot olukar yang menyebabkan diplopia dan ptosis. Selain itu, otot
wajah, laring, dan faring juga sering terlibat dalam mistenia gravis. Keterlibatan
ini dapat mengakibatkan regugirtasi melalui hidung ketika berusaha menelan (otot
palatum); bicara hidung yang abnormal; dan tidak dapat menutup mulut (hanging
jaw sign). Otot pernafasan juga dapat terlibat dalam penyakit ini. Keterlibatan ini
ditandai dengan adanya batuk lemah, serangan dispnea, dan ketidakmampuan
pasien untuk membersihkan mukus dari cabang trakheobronkial. (Hartwig, 2005)
Klasifikasi myasthenia gravis yaitu :
1.Myasthenia okuler (I)
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam kasus di skenario, disebutkan bahwa pasien mengalami kelemahan otot.
Kelemahan otot ini tergolong dalam kelemahan pada LMN (lower motor neuron)
yang melanda segenap bagian perifer susunan neuromuskular. Susunan
neuromuskuler ini tersusun oleh motoneuron yang membentuk inti motorik saraf
kranial dan inti motorik di kornu anterior medula spinalis, motor end plate, serta
akan
bermanifes
pada
kelemahan
otot
dalam
kontraksi.
ini disebabkan oleh kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis
okuli yang berjalan melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di
bawah kulit kelopak, yang berfungsi dalam menutup bola mata yang dipersarafi n.
VII. Sedangkan m. levator palpebra yang dipersarafi oleh n. III berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atau membuka mata. Selain itu, kelemahan akibat
gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di berbagai otot volunter tubuh.
Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan bermanifes pada kesulitan
menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair ditandai dengan
kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan otototot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila
mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).
Keluhan pada miastenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan
membaik setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan
perangsangan yang timbul. Miastenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes
pada otot volunter/ otot skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada persarafan
somatik yang timbul oleh adanya rangsangan eksitatorik di otak. Pada keadaan
istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan yang timbul sehingga produksi asetilkolin
berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel. Dan pada saat memulai aktivitas
(rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan dengan reseptornya masih
dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan depolarisasi
membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak akan
terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait
pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.
Miastenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif
lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya,
keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario,
penderita belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal
ini, penderita masih belum mengalami gangguan pernafasan yang nantinya dapat
menimbulkan krisis miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka penderita
sudah berada dalam kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat
mungkin. Dalam miastenia gravis, pemeriksaan darah menunjukkan hasil normal
karena tidak terjadi kenaikan kadar kreatin kinase. Kadar kreatin kinase ini
biasanya timbul bila terjadi kerusakan otot sedangkan pada miastenia, tidak
timbul kerusakan otot melainkan gangguan pada neurotransmiternya. Sehingga,
otot pada pasien miastenia tampak normal. Akan tetapi, bila otot pasien yang
mengalami kelemahan tidak digunakan, lama kelamaan akan timbul disuse
atrophy. Sebenarnya, gangguan pada neurotransmiter dapat ditemukan pada
myathenia gravis dan sindrom Eaton-Lambert. Pada myasthenia gravis, asetilkolin
tidak dapat diterima oleh reseptor pada membran postsinaptik karena antibodi
telah menduduki reseptor itu. Pada sindrom Eaton-Lambert, asetilkolin di dalam
gelembung presinaptik tidak dapat dituangkan (eksositosis) di celah sinaptik
karena membran presinaptiknya terganggu oleh adanya antibodi pada kanal
kalsium.
Penanganan
miastenia
gravis
dapat
dilakukan
dengan
terapi
BAB IV
PENUTUPAN
Kesimpulan
1. Penderita dalam skenario menderita miastenia gravis dan belum mengalami
krisis miastenik sehingga prognosisnya baik bila diberikan penaganan terpeutik
yang
tepat.
2. Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara
terus-menerus
dan
disertai
dengan
kelelahan
saat
beraktivitas
3. Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B
nantinya
akan
melawan
reseptor
asetilkolin
B.
Saran
1. Hendaknya dilakukan terapi awal berupa pemberian obat-obat farmakologik
berupa obat antikolienesterase seperti prostigmin atau neostigmin. Selain itu,
kortikosteroid atau obat imunosupresif juga dapat diberikan tetapi harus dalam
kadar
tepat
mengingat
efek
samping
yang
ditimbulkan.
2. Diharapkan pasien memperbanyak istirahat namun juga tidak boleh dilakukan
penghentian aktivitas total karena nantinya dapat menimbulkan disuse atrofi.
DAFTAR
PUSTAKA
Admin. 2007. Miastenia Gravis. http://medlinux.blogspot.com/2007/10/miasteniagravis-myasthenia-gravis.html
(20
November
2008)
Burns, Dennis K. Vinay Kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal, Dalam : Stanley
L.Robbins, Vinay Kumar, Ramzi S. Cotran. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.
Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedoketeran EGC, Hal: 870-871
Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 869-871
Dewabenny.
2008.
Miastenia
Gravis.
http://dewabenny.com/2008/07/12/miastenia-gravis/ (20 November 2008)
Dorland, W.A.Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland . Edisi 29.
Jakarta:EGC
Hartwig, Mary S. 2005. Gangguan Neurologis dengan Simtomatologi
Generalisata. dalam: Sylvia Anderson Price dan Lorraine McCarty Wilson.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Volume 2. Jakarta:
Penerbit
Buku
Kedokteran
EGC,
hal:
1148-1151
Howard,
J.F.
2008.
Myasthenia
Gravis,
a
Summary.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia
gravis/detail_myasthenia
gravis.htm
(20
November
2008)
Mubarak,
Husnul.
2008.
Miastenia
Gravis.
http://cetrione.blogspot.com/2008/06/miastenia-gravis.html (20 November 2008)
Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, hal : 791-794
Ngoerah, I. G. N. G. 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University
Press,
hal:
301-305
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 207-221