Professional Documents
Culture Documents
KORUPSI
DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI
YOGYAKARTA
Disusun Oleh :
Nama
No. Mhs
: 4789/H
NIRM
: 91 05 04789
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
2000
PENULISAN HUKUM
Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Guna menyelesaikan pendidikan jenjang stata I pada
Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta
Disusun Oleh :
Nama
No. Mhs
: 4789/H
NIRM
: 91 05 04789
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA
2000
DAFTAR ISI
Halaman Judul.. i
Halaman Pengesahan iv
Halaman Persembahan. v
Kata Pengantar.. vi
Daftar Isi viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.. 1
B. Permasalahan.. 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Metode Penelitian7
E. Sistematika Penulisan. 9
BAB II
PEMBAHASAN
PENUTUP
A. Kesimpulan. 48
B. Saran.. 49
Daftar Pustaka
Lampiran Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A.
yang satu dengan peraturan yang lainnya, sehingga tidak ada pertentangan
diantara peraturan perundangan tersebut. Menurut Soedarto, dalam bukunya
Capita Selekta Hukum Pidana, mengatakan :
Dalam kondifikasi itu dihimpun segala aturan dari badan hukum tertentu yang
disusun secara sistematik, lengkap dan tuntas. Sistematik karena dalam
sistem diantara bagian-bagiannya yang berupa aturan-aturan hukum itu
tidak boleh ada pertentangan satu sama lain. Lengkap dan tuntas karena dari
kepastian hukum di luar kodifikasi itu tidaklah diakui aturan-aturan hukum
yang ditetapkan atau diterapkan oleh hakim hanya apa yang tercakup dalam
KUHP saja.1
KUHP membuka kemungkinan perkembangan hukum pidana di luar
kodifikasi, hal ini dapat ditemui dalam pasal 103 KUHP, : Ketentuan-ketentuan
dalam Bab I sampai Bab VII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang
oleh ketentuan-ketentuan perundang-undangan lainnya diancam pidana, kecuali
oleh undang-undang ditentukan lain .
Dalam perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi ada beberapa
peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, peraturan perundangan
tersebut memuat aturan-aturan hukum baik hukum pidana materiil maupun hukum
pidana formil misalnya:
1. Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
2. Undang-Undang No 11/pnps/1965 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Subversi.
3. Undang-Undang No 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Soedjono D,Pungli Analisa Hukum dan Kriminologi, Sinar Baru, Bandung 1983 hal 45.
10
Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun atau paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
Dengan melihat fenomena-fenomena diatas, seperti kasus yang terjadi di
Bulog (buloggate), Kasus Bank Bali dan sebagainya seperti tersebut di atas.
Untuk menindaklanjuti fenomena tersebut kemudian pemerintah mengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang dirasa sudah tidak efektif lagi, dengan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang dituangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140. Korupsi menurut pasal 2 ketentuan tersebut adalah Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Ancaman pidananya adalah penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), dalam hal-hal tertentu
diancam dengan pidana mati.
Namun kenyataannya sampai sejauh ini, kasus-kasus tindak pidana korupsi
masih tetap saja muncul, bahkan modus operandinya semakin berkembang,
sehingga hukum pun diibaratkan sebagai sarang laba-laba .
11
B.
Permasalahan
Apakah kendala yang timbul dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
melalui peradilan pidana dan bagaimanakah usaha aparat penegak hukum dalam
mengatasi kendala tersebut ?.
C.
Tujuan Penelitian
D.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan sumber data sebagai berikut:
12
1. Sumber Data
Dalam memperoleh data, penyusun membagi dua jenis data yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang berhubungan erat dengan objek penelitian yang didapat
melalui wawancara dengan para responden.
b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian
kepustakaan.
2.
3. Lokasi penelitian
a. Penelitian Lapangan, lokasi penelitian dilakukan di :
1). Polresta Yogyakarta.
2). Kejaksaan Negeri Yogyakarta.
3). Pengadilan Negeri Yogyakarta.
13
b) Penelitian Kepustakaan.
Penelitian keputustakaan, yaitu dilakukan dengan mempelajari buku-buku,
literatur dan tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya dengan obyek
yang akan diteliti.
4. Responden
a. Letda Tegur Wahono sebagai Kasarserse Polresta Yogyakarta
b. Irianti Brotowati, SH sebagai Jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta
c. Permadi Widhiyatno, SH sebagai Hakim di Pengadilan Negeri
Yogyakarta.
5. Teknik pengumpulan data
Dalam rangka pengumpulan data penelitian, metode pengumpulan data
yang digunakan adalah wawancara, yakni mendapatkan informasi dengan
cara bertanya langsung kepada responden dengan berdasarkan kepada
pedomen wawancara secara terbuka, artinya materi pertanyaan untuk
responden tidak ditentukan terlebih dahulu.
6. Analisis Data
Data yang di peroleh dari lapangan akan diolah dengan cara dikumpulkan
semua data yang ada, kemudian data yang sesuai dengan masalah yang akan
di tulis
keadaan yang berlaku pada obyek penelitian kemudian data tersebut akan
dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu menganalisa data
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti kemudian dipilih
berdasarkan pemikiran yang logis untuk menghindarkan kesalahan dan
14
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan memahami penulisan hukum secara sistematis dibagi
dalam beberapa hal sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan
Berisi uraian mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, cara penelitian serta sistematika penulisan hukum.
Bab II. Pembahasan
Pembahasan, berisi mengenai pengertian, sebab musabab dan unsur unsur
tindak pidana korupsi serta pengaruh korupsi terhadap pembangunan.
Berisi uraian mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh aparat
penegak hukum dalam usaha menegakan hukum pada umumnya dan
hukum dalam tindak pidana korupsi pada khususnya.
Berisi uraian mengenai pengertian penegakan hukum dan usaha-usaha
pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi.
BAB III : Penutup, berisi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan dalam
penelitian serta saran penulis kepada pihak-pihak yang terkait.
Daftar Pustaka
Lampiran
15
BAB II
PEMBAHASAN
Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Rajawali, Jakarta, 1981. hal. 98.
16
2.
Tindak pidana korupsi yang berasal dari pasal-pasal KUHP tetapi oleh
Undang-undang No 3 tahun 1971ditarik menjadi tindak pidana korupsi,
semuanya ada 13 pasal dimuat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-uandang
Tindak Pidana Korupsi.
17
3.
18
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1988, hal. 29
Op.Cit. hal.104.
6
Mubyarto dan Boediono, Ekonomi Pancasila, FE.UGM, Yogyakarta, 1980. Hal.53.
5
19
2.
Sikap mental, merupakan bagian dari iklim sosial, tapi yang secara
langsung menyangkut pelakunya. Sikap mental ini meliputi mentalitas
kepegawaian. Mentalitet kepegawaian ini sering dipengaruhi adanya gaji
yang belum mencukupi, pola konsumsi yang dipengaruhi demonstration
effect, status simbul maupun upeti. Ini semua bisa mempengaruhi
mentalitet kepegawaian dalam hubungannya dengan korupsi.
3.
20
Korupsi merupakan salah satu jenis kejahatan yang memiliki ciri tersendiri
yaitu memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan perekonomian negara.
Menurut pendapat Bambang Poernomo pada dasarnya korupsi dibentuk oleh
perilaku kejahatan yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan umum atau
public service dan hubungan kerja atau public control, yang mendatangkan
sumber keuangan. Oleh karena itu korupsi terjadi melalui kelemahan sistem
kontrol dengan hubungannya dengan memanfaatkan situasi tersebut dari siklus
pertumbuhan negara, perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur
pemerintahan 8 .
Korupsi merupakan tindakan kriminal (kejahatan), masalah kriminalitas
adalah masalah manusia yang berupa suatu kenyataan sosial yang sebab
musababnya kurang dipahami. Perkembangan peningkatan dan penurunan
kualitas maupun kuantitas kriminilitas itu adalah relatif dan interaktif sebab
musababnya. Perkembangan di dalam dan diluar manusia tertentu mempengaruhi
kecenderungan untuk melakukan tindak kriminal.
Aspek-aspek yang terkandung didalam perilaku yang bersifat koruptif pada
umumnya terdapat pada bidang-bidang ekonomi dan sosial, disamping itu dapat
disebutkan pula bahwa penyebab atau faktor yang mempengaruhi timbulnya
perbuatan korupsi disebabkan dari berbagai sumber.
Berbagai penyebab dan faktor yang mempengaruhi terjadinya korupsi itu
antara lain dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas sebagai berikut :
21
10
22
23
24
25
maka akan banyak koruptor-koruptor yang muncul dan itu akan sangat
meresahkan masyarakat.
Masyarakat memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam
pembangunan, jelaslah bahwa banyak yang masih kita rubah kalau kita hendak
mengatasi penyakit sosial yang parah seperti krisis otoriter, kemacetan
administrasi dan korupsi menyeluruh yang sekarang mengganas dalam
masyarakat kita. Sebagian besar kalangan masyarakat mengkhawatirkan
perkembangan korupsi di Indonesia, yang apabila dibiarkan terus-menerus terjadi,
lama-kelamaan perbuatan korupsi bisa membudaya. Membudaya artinya
mempengaruhi penilaian normatif dari pihak masyarakat terhadap perbuatan
korupsi itu sendiri. Apa yang dulu dianggap salah, sekarang dianggap sebagai hal
yang lumrah. Apa yang membahayakan masyarakat dalam proses sosial dapat
disebut sebagai kejahatan menurut masyarakat (The social nature of crime) .
Pertumbuhan
dari
keanekaragaman
perilaku
kejahatan
berdasarkan
pengertian masyarakat ini terdiri dari perilaku yang bersifat kodrat dan memiliki
pola kejahatan dari konflik kepentingan yang terjadi di dalam masyarakat.
Perilaku kejahatan menurut pengertian masyarakat dan melalui suatu penilaian,
dibentuk perumusan hukum yang berisikan norma perilaku sebagai pencerminan
nilai-nilai fundamental dan sangsi hukum guna mengendalikan sekaligus
melindungi masyarakat dari kejahatan. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam
penanggulangan kejahatan khususnya korupsi.
Menurut B. Soedarto sebab musabab terjadi korupsi yaitu kurangnya gaji
atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari yang
26
27
Undang-Undang No. 3
Tahun 1971
Undang-Undang No. 31
Tahun 1999
- Melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu
badan.
- perbuatan ini besifat
melawan hukum disini
diartikan secara fomal
dan material.
- perbuatan ini secara
langsung
atau
tidak
lansung
merugikan
keuangan negara atau
patut
disangka
oleh
sipembuat
merugikan
keuangan negara atau
perekonomian negara
- bahwa perbuatan harus
dibuktikan adanya secara
obyektif
- Melakukan perbuatan
melawan hukum atau
melakuan
perbuatan
memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu
korporasi.
- merugikan keuangan
negara
atau
perekonomian negara
Menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada
padanya.
Ibid.,hal. 24.
28
Undang-Undang No. 3
Tahun 1971
- Melakukan
tindak
pidana korupsi seperti
yang dimaksud pasal 1
sub a s/d e dan ayat (2),
dihukum
dengan
hukuman penjara seumur
hidup
atau
penjara
selama-lamanya 20 tahun
dan/atau denda setinggitingginya Rp 30 juta
- Perampasan barangbarang tetap maupun
tidak tetap berwujud
maupun tidak bewujud.
Undang-Undang No. 31
Tahun 1999
Setiap orang yang secara
melawan
hukum
melakukan
perbuatan
memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu
korporasi,
dipidana
dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4
tahundan paling lama 20
tahun dan denda paling
sedikit Rp 200 juta dan
paling banyak Rp 1
milyar.
- Hukuman pidana mati
apabila perbuatan korupsi
itu dilakukan dalam
keadaan tertentu
Dengan
tujuan
menguntungkan
diri
sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi,
dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup
atau
pidana
penjara
paling singkat 1 tahunn
dan paling lama 20 tahun
dan atau denda paling
sedikit Rp 50 juta dan
paling banyak Rp 1
milyar
- Pengembalian kerugian
keuangan
atau
perekonomian
negara
tidak
menghapuskan
dipidananya
pelaku
tindak pidana.
29
2.
Bentuk delik korupsi merupakan delik formal, berarti bahwa delik korupsi
dalam UU Nomor 3 Tahun 1971 merumuskan unsur-unsurnya serta bentuk
akibat nyata dari perbuatan tidak disyaratkan untuk selesainya delik,
sedangkan peraturan sebelumnya merumuskan delik korupsi sebagai delik
materiil.
3.
4.
UU Nomor 3 Tahun 1971 dapat memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai
arti tindak pidana korupsi, sehingga peraturan ini dapat berlaku lebih efektif dan
efisien.
30
sejarah
perkembangan
peraturan
pidana
yang
menyangkut
pemberantasan tindak pidana korupsi ternyata terbukti adanya hubungan yang erat
antara korupsi dengan jabatan publik yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana
korupsi. Dengan perkataan lain bahwa membicarakan tindak pidana korupsi tidak
bisa lepas dari kekuasaan publik yang melekat pada pelaku. Dari ungkapan ini
jelas seseorang yang tidak ada pada lingkungan publik atau berkaitan dengan
lingkungan kekuasaan tidaklah mungkin melakukan tindak pidana korupsi.
31
sesuai dengan yang dimaksud oleh pasal 2 juncto pasal 284 ayat (2) KUHAP,
ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi adalah ketentuan-ketentuan seperti yang terdapat dalam KUHAP dengan
catatan jika tidak di tentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971.
Dalam pasal 3 juncto pasal 1 angka 2 KUHAP dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan penyidikan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP juncto UndangUndang Nomor 3 tahun 1971 untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya.
Jadi dalam hal ini tindakan penyidikan adalah merupakan persiapan atau
dasar untuk melakukan penuntutan. Perbuatan menyidik atau mengusut adalah
merupakan usaha atau tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang
apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan tindak pidana, dan
bagaimana sifat perbuatan atau tindak pidana tersebut.
Suatu penyidikan atau pengusutan akan diakhiri dengan suatu kesimpulan,
bahwa atas perkara tersebut akan diadakan penuntutan atau tidak. Penyidik yang
telah mengatahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan
penyidikan yang diperlukan.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa
yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal tersebut kepada
penuntut umum. Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
32
sebagaimana dimaksud dalam pasal yang menyebutkan bahwa berita acara dibuat
untuk setiap tindakan tentang:
a. pemeriksaan tersangka,
b. penangkapan,
c. penahanan,
d. pengeledahan,
e. pemasukan rumah,
f. penyitaan barang,
g. pemeriksaan surat,
h. pemeriksaan saksi,
i. pemeriksaan tempat kejadian,
j. pelaksanaan ketetapan dan keputusan hakim,
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981.
Setelah berita acara dibuat, penyidik menyerahkan berkas perkara, yang
dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas,
b. dalam hal sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab
atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Apabila penuntut umum merasa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang
lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut
kepada penyidik disertai petunjuk untuk selanjutnya dilengkapi sesuai pasal 138
ayat (2) KUHAP.
33
34
umum adalah menerima berkas perkara dari penyidik membuat surat dakwaan,
melakukan penuntutan terhadap terdakwa dimuka pengadilan dan melaksanakan
keputusan hakim dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Penegakan
hukum
dalam
suatu
masyarakat
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal.181.
mempunyai
35
kecenderungan-kecenderungan
sendiri
yang
disebabkan
oleh
stuktur
36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar Singkat, Liberty Yogyakarta, 1986,
hal. 130.
37
Goldstein, Criminal Justice, Duxbury Press, 1986; hal. 72. Dikutip oleh Muladi dalam
Masalah Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang disajikan pada diskusi panel para
Hakim Pengadilan Tinggi dan Negeri, tahun 1995 di Bandung.
38
pengertian pegawai negeri yang luas dalam pasal 1 (2) UU No. 31 Tahun 1999
yang mengatur tentang pegawai negeri dari pada ketentuan pasal 92 KUHP.
Kedua, kualitas sumber daya manusia aparat penegak hukum itu sendiri
yakni Polisi, Jaksa dan Hakim. Dalam melaksanakan tugasnya seringkali
menghadapi godaan-godaan dari tersangka atau terdakwa dengan upaya
membagikan atau memberikan sebagian harta hasil korupsi tersebut kepada aparat
penegak hukum. Namun dilingkungan instansi pemerintah budaya komisi, kolusi
atau pemberian hadiah-hadiah kepada para pejabat dianggap sebagai sesuatu yang
wajar, sekalipun dalam pasal 418 KUHP dan pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999
dilarang dengan ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling
lama lima tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling
banyak dua ratus lima puluh juta rupiah.
Adanya kecenderungan dari oknum-oknum instansi pemerintah untuk
menyelesaikan secara administratif tindak pidana yang terjadi di lingkungannya
demi alasan-alasan yang tidak jelas dan seringkali menimbulkan kesan
menghalang-halangi penyidikan. Tindakan semacam ini merupakan tindak pidana
sui generis sebagaimana diatur dalam pasal 21 UU No. 31 Tahun 1999 yang
menegaskan bahwa barang siapa dengan sengaja manghalangi, mempersulit,
secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
muka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan atau denda
setinggi-tingginya enam ratus juta rupiah.
39
tersangka/terdakwa
yang
berstatus
sebagai
Penyelenggara
Negara
40
kekuatan
menghadapi jenis tindak pidana ini karena ada dua alasan utama yaitu : 17
a. Kedudukan ekonomi atau politik yang kuat dari pelaku (the hight economic
or political status of there perpetrators). Menurut ketua umum Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarno Putri; proses hukum
terhadap warga negara biasa harus sama dengan para bekas pejabat termasuk
1
ST. Harum Pudjiarto RS, Politik Hukum UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UAJY,
1994 hal 6.
41
lainnya
adalah
apabila
law
enforcement
lemah,
maka
pemberantasan tindak pidana korupsi pada gilirannya juga akan lemah. Lemahnya
penegakkan hukum ini dikarenakan minimnya fasilitas aparatur penegak hukum
itu sendiri, sehingga dari keadaan yang demikian ini aparat menggunakan
kesempatan untuk menciptakan korupsi dengan mengadakan pungutan-pungutan
liar atau dengan penghentian penyelidikan, penuntutan yang ditawarkan kepada
tersangka dengan imbalan sejumlah uang tertentu.
Sebenarnya undang-undang anti korupsi itu sudah cukup baik, namun
pelaksanaannya yang payah, sering terjadi justru oknum pejabat menutup-nutupi
korupsi itu karena dia sendiri terlibat. Masalah lainnya yang timbul dalam usaha
menegakan hukum tindak pidana korupsi disebabkan karena :
a. Karena persoalan korupsi itu memang ruwet.
b. Karena sulitnya menemukan bukti
c. Adanya kekuatan-kekuatan yang justru menghalangi pembersihan itu.
18
42
yang
dihadapi
di
lingkungan
Kepolisian adalah diterimanya laporan tindak pidana korupsi yang sudah lampau
atau waktu terjadinya tindak pidana korupsi pada umumnya baru terungkap
setelah dalam tenggang waktu yang lama. Kendala seperti ini sangat menyulitkan
pengumpulan bukti-bukti yang sudah lama hilang atau sudah dimusnahkan,
disamping itu saksi atau tersangka telah pindah ketempat lain sehingga
memperlambat
proses19.
Dalam
berbagai
upaya,
pelaku
korupsi
telah
Data diperoleh dari hasil wawancara dengan Letda Teguh Wahono, Kasatserse Polresta
Yogyakarta.
0
Data diperoleh dari hasil wawancara dengan Irianti Brotowati, SH, salah satu dari jaksa di
Kejaksaan Negeri Yogyakarta.
43
tidak
secara
langsung
berkaitan
dengan
dengan
Masyarakat
terbentuknya
(LSM)
dan
beberapa
meningkatnya
Lembaga
kesadaran
44
dihadapi dalam upaya penegakan hukum juga disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat teknis hukum dan diluar teknis hukum.
a.
Non Yuridis
Upaya
penegakan
hukum
dalam
pemberantasan
korupsi
ternyata
45
keterangan
yang
diberikan
dipersidangan
tersebut
46
dengan sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri atau hal-hal yang ia ketahui
berkenaan dengan suatu perkara pidana . 21
Dalam RUU ini terdapat pasal yang mengatur tentang perlindungan
saksi dalam tindak pidana-tindak pidana yang dilakukan dengan
kekerasan, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana
psikotropika, tindak pidana yang pelakunya adalah pejabat atau penguasa
dan tindak pidana yang merupakan pelanggaran berat terhadap HAM. Hak
perlindungan saksi ini dimaksudkan agar saksi dapat memberikan
keterangan tanpa adanya ancaman atau tekanan dari pihak-pihak yang
merasa akan dirugikan oleh keterangan saksi tersebut.
b. Saksi ahli menerangkan sesuai dengan pengetahuannya atau keahliannya
dan dalam perkara tindak pidana korupsi diperlukan untuk bukti dalam
menghitung kerugian negara. Sering terjadi problematik antara pendekatan
hukum dengan perhitungan kerugian negara. Dalam pandangan jaksa
penuntut umum apabila sudah terbukti memenuhi unsur dan delik telah
dinyatakan selesai, sekalipun kemudian kerugian negara dikembalikan.
Jaksa Penuntut Umum berpendapat tetap terbukti kerugian negara.
Pengembalian kerugian negara dinilai sebagai hal yang meringankan
hukuman. Akan tetapi sering terjadi ahli berpendapat setelah kerugioan
negara dibayar kembali maka tidak ada lagi kerugian negara, sehingga hal
ini dapat membebaskan terdakwa sebab salah satu unsur tidak terbukti.
Naskah RUU Tentang Perlindungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana ini diterbitkan oleh
ICW bekerjasama dengan YLBHI dan Program Pidana FH UI, WWW.hukumonline.com.
47
KUHAP
lebih
banyak
memberi
perhatian
kepada
48
korupsi di
49
50
51
b.
tanggung jawab aparat pemerintah pada umumnya dan aparat penegak hukum
pada khususnya, akan tetapi masyarakat harus berperan seta secara aktif dalam
usaha menanggulangi tindak pidana korupsi agar hasilnya sesuai dengan yang
diharapkan.
BAB III
22
Ilham Gunawan. Postur korupsi di Indonesia, Angkasa, Bandung, 1990 hal. 97-98.
52
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penegakkan hukum adalah suatu proses yang sudah ditentukan dalam
norma-norma hukum positif, dimana dalam proses tersebut harus dilalui tahapantahapan agar penegakkan hukum dapat menghasilkan keadilan dan kepastian
hukum. Oleh karena itu dari pembahasan Kendala Penegakkan Hukum Tindak
Pidana Korupsi di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Yogyakarta, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, kendala utama penegakkan hukum tindak pidana korupsi di PN
Yogyakarta adalah minimnya fasilitas dan gaji yang diterima oleh aparat penegak
hukum di lingkungan wilayah hukum Yogyakarta membuat moral dan mentalitas
materilistis mereka menjadi turun.
Kendala kedua adalah diterimanya laporan tindak pidana korupsi yang
sudah lampau atau waktu terjadinya tindak pidana korupsi pada umumnya baru
terungkap setelah dalam tenggang waktu yang lama. Kendala seperti ini sangat
menyulitkan pengumpulan bukti-bukti yang sudah lama hilang atau sudah
dimusnahkan, disamping itu saksi atau tersangka telah pindah ketempat lain
sehingga memperlambat proses.
Kendala ketiga adalah tidak diprosesnya pelaku tindak pidana korupsi
karena sipelaku adalah atasannya atau masyarakat yang mempunyai golongan
sosial tinggi (ewuh pakewuh).
53
B. Saran
Dari beberapa kesimpulan tersebut diatas, maka dapat diambil saran-saran
sebagai berikut :
1.
2.
54
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana Dan Acara Pidana, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986.
--------------, Korupsi Di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, PT.
Gramedia, Jakarta, 1986.
Bambang Purnomo, Potensi Kejahatan Korupsi Di Indonesia, PT Bina
Aksara, Jakarta, 1983.
Ilham Gunawan, Postur Korupsi Di Indonesia, Angkasa, Bandung, 1990.
Kartini Kartono, Patologi Sosial, PT. Rajawali, Jakarta, 1981.
Mubyarto dan Budiyono, Ekonomi Pancasila, FE UGM, Yogyakarta,
1980.
Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Soedarto, B., Capita Selekta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1981.
Soedjono, D., Analisa Hukum Dan Kriminologi, Sinar Baru, Bandung,
1983.
ST. Harum Pudjiarto RS, Politik Hukum UU Pemberatasan Tindak
Pidana Korupsi, UAJY, Yogyakarta, 1994.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar Singkat,
Liberty, Yogyakkarta, 1986.
Syeid Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta, 1983.
------------------------Muladi, Makalah : Masalah Penegakan Hukum Pidana Korupsi, disajikan
pada diskusi panel para Hakim PT dan PN, Bandung, 1995.
ICW, YLBHI dan Program Pidana FH UI, Naskah : RUU Tentang
Perlingdungan Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana, 2000.
55