You are on page 1of 18

PORTFOLIO

EFUSI PLEURA

Oleh :
Oleh :
dr. Arfiani Ika Kusumawati

Pembimbing:
dr. A. Ruyani
dr. Hj. Ugun M.

PROGRAM DOKTER INTERNSIP


RSUD BALARAJA
2015 - 2016
1

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh


Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karuniaNya
penyusun dapat menyelesaikan makalah referat yang berjudul Efusi Pleura dengan baik.
Shalawat serta salam tak henti-hentinya mengalir kepada uswatun hasanah, Nabi Muhammad
saw., bereserta keluarga, sahabat,dan semoga kepada kita semua selaku umatnya hingga akhir
zaman, amin.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, maka dari itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah ini. Penyusun merasa masih
banyak kekurangan, karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini akan penyusun terima dengan hati terbuka.

Akhir kata, penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat, bagi pembaca umumnya dan
bagi penyusun khususnya.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh

Jakarta, 15 Januari 2016

Penyusun

STATUS MEDIK
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Jenis Kelamin

: laki-laki

Usia

: 29 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Gembong

Pendidikan terkahir

: tamat SMA

Pekerjaan

: Swasta

Status Pernikahan

: Menikah

ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 bulan SMRS
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu, sesak
dirasakan terus menerus terutama saat menarik napas yang diperberat oleh posisi
tidur dan di peringan dengan posisi duduk, sudah pernah diobati dipuskesmas
namun muncul kembali.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dada kiri seperti ditusuk, tidak menjalar,dan nyeri
terasa hilang timbul. Selain itu pasien juga mengalami batuk berdahak warna hijau
sejak 3 minggu SMRS. Semenjak sakit, pasien merasa mual dan nafsu makan

serta berat badan pasien menurun. Keluhan lain seperti mengi, muntah dan sakit
kepala disangkal.
Selama ini pasien belum pernah mengobati keluhannya tersebut.

c. Riwayat penyakit dahulu


Keluhan seperti ini tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tidak ada riwayat
penyakit jantung, hati, hipertensi, DM, dan asma. Riwayat trauma dada juga
disangkal. Pasien

memiliki alergi ikan laut dan udara dingin.

Pasien tidak

pernah ,minum OAT sebelumnya.


d. Riwayat penyakit keluarga
Dikeluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Tidak
ada yang mengalami batuk lama. Riwayat penyakit jantung, hati, hipertensi, DM,
dan asma disangkal.
e. Riwayat sosial dan kebiasaan
Pasien merokok, 6 batang sehari, minum alkohol namun tidak memakai narkoba.
Pasien biasa mengendarai motor jika pergi kuliah maupun bekerja, dia memakai
helm dan masker. Teman teman bekerja pasien ada yang sedang menderita TB.
III.

Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 62x/menit
FN
: 27x/menit
Suhu
: 36,7c
Tinggi badan
: 162 cm
Berat badan
: 95.5 kg
BMI
:36.39
Kulit

: Warna sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor baik,


keringat +++

Kepala

:Normosefal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah

Wajah

dicabut, tidak ada alopesia


: Ekspresi wajah simetris, tidak ada parese, tidak ada nyeri

Mata

tekan sinus
: Konjungtiva anemis -/- , sklera ikterik -/- , pupil bulat isokor
+/+, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tak langsung
+/+
4

Telinga

: Normotia +/+, nyeri tekan tragus dan anti tragus -/- , serumen

Hidung
Mulut

+/+ minimal
: Deviasi septum -/-, sekret -/-, konka hiperemis -/: Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, tidak ada gigi karies,

Tenggorok
Leher

tidak ada stomatitis abtosa


:Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
:Bentuk simetris, trakea lurus ditengah,

tidak

teraba

pembesaran tiroid, JVP 5+2 cmH2O, KGB tidak teraba


membesar
Thoraks
Jantung
I: Ictus cordis tidak terlihat
P: Ictus cordis tidak teraba
P: Batas jantung kanan ICS 4 PSL dextra, batas jantung kiri sulit dinilai
A: Bunyi jantung I-II reguler, tidak ada suara gallop dan murmur
Paru depan
I: Pergerakan dada simetris , terdapat bekas punksi di ICS 4 AAL sinistra
P: Vokal fremitus melemah di kiri bawah
P: Redup pada hemitoraks kiri bawah mulai ICS 4
A: Suara napas vesikuler, melemah pada hemitoraks kiri bawah, rhonki -/-,

wheezing -/Paru belakang


I: Pergerakan dada simetris
P: Vokal fremitus melemah di kiri bawah
P: Redup pada hemitoraks kiri bawah
A: Suara napas vesikuler, melemah pada hemitoraks kiri bawah, rhonki -/-,
wheezing -/Abdomen
- Inspeksi
- Palpasi
-

IV.

: Datar
: Supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba

membesar
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus + normal

Ekstrimitas atas

: akral hangat, tidak ada edema dan tidak ada clubbing finger

Ekstrimitas bawah

: akral hangat, tidak ada edema dan tidak ada clubbing finger

Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rontgen thoraks

Interpretasi hasil foto:


1. CTR 50%
2. - Corakan bronkovaskular tidak kasar
- Dinding toraks tidak tampak massa
- Hilus sulit dinilai
- Pulmo: Perselubungan homogen di hemitoraks sinistra inferior dan ada
3.
4.
5.
6.

gambaran infiltrate pada apeks paru dekstra


Sudut costofrenikus kiri tumpul
Diafragma kiri sulit dinilai
Jaringan lunak dan tulang tidak ada kelainan
Kualitas foto baik

Kesan : efusi pleura sinistra dg TB Paru


b. Pemeriksaan laboratorium

PEMERIKSAAN

HASIL

HEMATOLOGI
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Trombosit
Eritrosit
SGOT
SGPT

14.1 g/dL
8.000 /ul
48.3
321.000/ul
5.11juta/ul
61
51

NILAI NORMAL

13-16 gr/dL
5000 10.000/ul
40-48
150.000 450.000/ul
4,5 5,5 juta/ul
<37
<42

V.

Resume
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 bulan yang lalu, sesak dirasakan
terus menerus terutama saat menarik napas yang diperberat oleh posisi tidur dan di
peringan dengan posisi duduk, sudah pernah diobati dipuskesmas namun muncul
kembali.Nyeri dada kiri seperti ditusuk, tidak menjalar, nyeri hilang timbul. Batuk
berdahak warna hijau sejak 3 minggu SMRS, mual (+), nafsu makan dan BB .
Merupakan keluhan pertama, dan dikeluarganya tidak ada yg memiiliki keluhan
serupa. pasien merokok sejak SMP, 6 batang/hari, pernah minum alkohol. Teman
bekerja pasien ada yg menderita TB.
Pemeriksaan paru didapatkan bekas punksi di ICS 4 AAL sinistra, Vokal fremitus
melemah di kiri bawah, Redup pada hemitoraks kiri bawah mulai ICS 4, Suara napas
vesikuler, melemah pada hemitoraks kiri bawah.
Pada pemeriksaan lab didapatkan SGOT/SGPT : 61/51. pada pemeriksaan rontgen
didapatkan kesan efusi pleura pada hemitoraks sinistra dan TB paru.

VI.
VII.

Diagnosis
Efusi pleura dengan TB
Anjuran Pemeriksaan
- Sputum BTA 3x
- Kultur resistensi
- Pemeriksaan sitologi cairan pleura
- Rontgen thoraks ulang post pungsi
Rencana tata laksana
- Pungsi ulang
- Pemberian OAT kategori 1
RHZE : 450/300/1000/1000
- Dexa metason 3x1 amp
- Ambroxol 3 x 1 C
- Paracetamol 3x 1 tablet

VIII.

Simpulan
S : sesak sejak 1 bln, nyeri dada kiri, batuk berdahak hijau sejak 3 minggu yll,
penurunan nafsu makan dan BB.
O : bekas punksi di ICS 4 AAL sinistra, Vokal fremitus melemah di kiri bawah, Redup
pada hemitoraks kiri bawah mulai ICS 4, Suara napas vesikuler, melemah pada
hemitoraks kiri bawah.
A : efusi pleura dg TB Paru
P:
Supportif : Oksigen nasal kanule 3 lt/menit
7

Causatif : RHZE, dexamethasone, ambroxol, Parasetamol, punksi pleura


Edukatif : Bed rest, Melakukan pola hidup bersih dan sehat, makan makanan
yang bergizi, tinggi kalori dan protein
IX.

Prognosis
Ad vitam
Ad fungsionam
Ad sanationam

: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad malam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Pengertian Efusi Pleura TB
Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB yang dikenal juga dengan
nama pleuritis TB. Peradangan rongga pleura pada umumnya secara klasik berhubungan
dengan infeksi TB paru primer. Berbeda dengan bentuk TB di luar paru, infeksi TB pada
organ tersebut telah terdapat kuman M. TB pada fase basilemia primer.
Proses di pleura terjadi akibat penyebaran atau perluasan proses peradangan melalui pleura
viseral sebagai proses hipersensitiviti tipe lambat. Mekanisme ini berlaku pada beberapa
kasus tetapi data epidemiologi terbaru pleuritis TB mengarahkan mekanisme patogenik lain
pada sebagian besar proporsi kasus. Pada pasien dewasa yang lebih tua kelainan pada pleura
berhubungan dengan reaktivasi TB paru. Efusi pleura harus dicurigai akibat penyebaran
infeksi sebenarnya ke ruang pleura dibandingkan prinsip reaksi imunologi terhadap Ag M.
TB.
2.1.2 Epidemiologi Efusi Pleura TB
Indonesia masih menempati urutan ke-3 setelah India, dan China dengan angka insiden TB
tertinggi di dunia. Di Indonesia setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernafasan
akut pada seluruh kalangan usia. TB sering bermanifestasi ke organ-organ lain. Manifestasi ke
pleura berupa pleuritis atau efusi pleura merupakan salah satu manifestasi TB ekstraparu yang
paling sering terjadi selain limfadenitis TB.

Sekitar 30% infeksi aktif M. TB bermanifestasi ke pleura. Menurut Jing dkk efusi pleura TB
terjadi pada 10% penderita yang tidak diobati, dimana hasil tes tuberkulin positif dan sebagai
komplikasi dari TB paru primer. Menurut Siebert dkk efusi pleura dapat terjadi pada 5%
pasien dengan TB. Biasanya efusi pleura yang disebabkan oleh TB selain bersifat eksudatif
juga bersifat limfositik.
Frekuensi TB sebagai penyebab efusi pleura tergantung kepada prevalensi TB pada populasi
yang diteliti. Penelitian di Spanyol terhadap 642 penderita efusi pleura ditemukan TB menjadi
penyebab terbanyak efusi pleura; insidennya mencapai 25% dari seluruh kasus efusi pleura.
Penelitian di Saudi Arabia terhadap 253 kasus dijumpai 37% disebabkan oleh TB. Di US
insiden efusi pleura yang disebabkan TB diperkirakan mencapai 1.000 kasus. Atau sekitar 35% pasien dengan TB akan mengalami efusi pleura TB. Kelihatannya jumlah ini rendah,
diakibatkan banyak pasien efusi pleura TB cenderung tidak terlaporkan karena sering sekali
kultur M. TB hasilnya negatif. Di UK infeksi TB yang melibatkan pleura < 10% kasus.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Rwanda pada 127 penderita efusi pleura dijumpai
sekitar 86% penyebabnya adalah TB.
Sedangkan efusi pleura pada penderita HIV dengan TB insidennya bisa lebih tinggi.
Penelitian di Carolina Selatan dijumpai insidennya mencapai 11% penderita efusi pleura TB
dengan HIV positif sedangkan pada HIV negatif dijumpai sekitar 6%. Penelitian di Burundi
dan Tanzania ditemukan 60% penderita efusi pleura TB dengan HIV positif. Sedangkan pada
penelitian di Afrika Selatan ditemukan bahwa 38% penderita efusi pleura TB dengan HIV
positif sedangkan pada penderita efusi pleura TB dengan HIV negatif hanya 20%. Indonesia
menempati urutan ke-3 dari antara negara-neara dengan prevalensi TB tertinggi, dimana
penyebab utama efusi pleuranya adalah TB paru (30,26%) dengan umur terbanyak adalah 2130 tahun.

2.1.3 Patogenesis Efusi Pleura TB


Efusi pleura TB adalah efusi pleura yang disebabkan oleh M. TB suatu keadaan dimana
terjadinya akumulasi cairan dalam rongga pleura. Mekanisme terjadinya efusi pleura TB bisa
dengan beberapa cara:
1)

Efusi pleura TB dapat terjadi dengan tanpa dijumpainya kelainan radiologi toraks. Ini
merupakan sekuele dari infeksi primer dimana efusi pleura TB biasanya terjadi 6-12
minggu setelah infeksi primer, pada anak-anak dan orang dewasa muda. Efusi pleura
TB ini diduga akibat pecahnya fokus perkijuan subpleura paru sehingga bahan
9

perkijuan dan kuman M. TB masuk ke rongga pleura dan terjadi interaksi dengan
Limfosit T yang akan menghasilkan suatu reaksi hipersensitiviti tipe lambat. Limfosit
akan melepaskan limfokin yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dari
kapiler pleura terhadap protein yang akan menghasilkan akumulasi cairan pleura.
Cairan efusi umumnya diserap kembali dengan mudah. Namun terkadang bila
terdapat banyak kuman di dalamnya, cairan efusi tersebut dapat menjadi purulen,
2)

sehingga membentuk empiema TB.


Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.
Jarang, keadaan seperti ini bia berlanjut menjadi nanah (empiema).Efusi pleura ini
terjadi akibat proses reaktivasi yang mungkin terjadi jika penderita mengalami imuniti

rendah.
3) Efusi yang terjadi akibat pecahnya kavitas TB dan keluarnya udara ke dalam rongga
pleura. Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan
dinding dada. TB dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).
Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.
2.1.4 Manifestasi Klinis
Kadang-kadang efusi pleura TB asimptomatik jika cairan efusinya masih sedikit dan
sering terdeteksi pada pemeriksaan radiologi yang dilakukan untuk tujuan tertentu.
Namun jika cairan efusi dalam jumlah sedang sampai banyak maka akan memberikan
gejala dan kelainan dari pemeriksaan fisik.
Efusi pleura TB biasanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi berupa gejala
respiratorik, seperti nyeri dada, batuk, sesak nafas. Gejala umum berupa demam,
keringat malam, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, rasa lelah dan lemah
juga bisa dijumpai. Gejala yang paling sering dijumpai adalah batuk (~70%) biasanya
tidak berdahak, nyeri dada (~75%) biasanya nyeri dada pleuritik, demam sekitar 14%
yang subfebris, penurunan berat badan dan malaise.
Walaupun TB merupakan suatu penyakit yang kronis akan tetapi efusi pleura TB
sering manifestasi klinisnya sebagai suatu penyakit yang akut. Sepertiga penderita
efusi pleura TB sebagai suatu penyakit akut yang gejalanya kurang dari 1 minggu.
Pada suatu penelitian terhadap 71 penderita ditemukan 31% mempunyai gejala kurang
dari 1 minggu durasinya dan 62% dengan gejala kurang dari satu bulan. Umur
penderita efusi pleura TB lebih muda daripada penderita TB paru. Pada suatu
penelitian yang dilakukan di Qatar dari 100 orang yang menderita usia rata-rata 31.5
10

tahun, sementara di daerah industri seperti US usia ini cenderung lebih tua sekitar
49.9 tahun.
Efusi pleura TB paling sering unilateral dan biasanya efusi yang terjadi biasanya
ringan sampai sedang dan jarang massif. Pada penelitian yang dilakukan Valdes dkk
pada tahun 1989 sampai 1997 terhadap 254 penderita efusi pleura TB ditemukan
jumlah penderita yang mengalami efusi pleura di sebelah kanan 55,9%, di sebelah kiri
42,5% dan bilateral efusi 1,6% penderita serta 81,5% penderita mengalami efusi
pleura kurang dari dua pertiga hemitoraks.
2.1.5 Diagnosis
Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan radiologi torak, pemeriksaan bakteri tahan asam sputum, cairan pleura
dan jaringan pleura, uji tuberkulin, biopsi pleura dan analisis cairan pleura.
Diagnosis dapat juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan ADA, IFN-, dan PCR
cairan pleura. Hasil darah perifer tidak bermanfaat; kebanyakan pasien tidak
mengalami lekositosis. Sekitar 20% kasus efusi pleura TB menunjukkan gambaran
infiltrat pada foto toraks. Kelainan yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik sangat
tergantung pada banyaknya penumpukan cairan pleura yang terjadi. Pada inspeksi
dada bisa dilihat kelainan berupa bentuk dada yang tidak simetris, penonjolan pada
dada yang terlibat, sela iga melebar, pergerakan tertinggal pada dada yang terlibat.
Pada palpasi sistem fremitus melemah sampai menghilang, perkusi dijumpai redup
pada daerah yang terlibat, dari auskultasi akan dijumpai suara pernafasan vesikuler
melemah sampai menghilang, suara gesekan pleura.
Berdasarkan pemeriksaan radiologis toraks menurut kriteria American Thoracic
Society (ATS), TB paru dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lesi minimal, lesi
sedang, dan lesi luas. Sedangkan efusi pleura TB pada pemeriksaan radiologis toraks
posisi Posterior Anterior (PA) akan menunjukkan gambaran konsolidasi homogen dan
meniskus, dengan sudut kostophrenikus tumpul, pendorongan trakea dan mediastinum
ke sisi yang berlawanan.
Apusan dan Kultur Sputum, Cairan Pleura dan Jaringan Pleura. Diagnosis pasti
dari efusi pleura TB dengan ditemukan basil TB pada sputum, cairan pleura dan
jaringan pleura. Pemeriksaan apusan cairan pleura secara Ziehl- Nielsen (ZN)
11

walaupun cepat dan tidak mahal akan tetapi sensitivitinya rendah sekitar 35%.
Pemeriksaan apusan secara ZN ini memerlukan konsentrasi basil 10.000/ml dan pada
cairan pleura pertumbuhan basil TB biasanya sejumlah kecil. Sedangkan pada kultur
cairan pleura lebih sensitif yaitu 11-50% karena pada kultur diperlukan 10-100 basil
TB. Akan tetapi kultur memerlukan waktu yang lebih lama yaitu sampai 6 minggu
untuk menumbuhkan M.TB.
Biopsi Pleura. Biopsi pleura merupakan suatu tindakan invasif dan memerlukan
suatu pengalaman dan keahlian yang baik karena pada banyak kasus, pemeriksaan
histopatologi dari biopsi spesimen pleura sering negatif dan tidak spesifik. Akan
tetapi, diagnosis histopatologis yang didapat dari biopsi pleura tertutup dengan
dijumpainya jaringan granulomatosa sekitar 60-80%. Sementara pemeriksaan yang
dilakukan oleh A. H. Diacon dkk sensitiviti histologis, kultur dan kombinasi histologis
dengan kultur secara biopsi jarum tertutup mencapai 66%, 48%, 79% dan
pemeriksaann secara torakoskopi sensitivitinya 100, 76%, 100% dan spesifisitinya
100%.
Uji Tuberkulin. Dulu tes ini menjadi pemeriksaan diagnostik yang penting pada
pasien yang diduga efusi pleura TB. Test ini akan memberikan hasil yang positif
setelah mengalami gejala > 8 minggu. Pada penderita dengan status gangguan
kekebalan tubuh dan status gizi buruk, tes ini akan memberikan hasil yang negatif.
Analisis Cairan Pleura. Analisis cairan pleura ini bermanfaat dalam menegakkan
diagnosis efusi pleura TB. Sering kadar protein cairan pleura ini meningkat > 5 g/dl.
Pada pasien kebanyakan hitung jenis sel darah putih cairan pleura mengandung
limfosit > 50%. Pada sebuah penelitian dengan 254 pasien dengan efusi pleura TB,
hanya 17 (6,7%) yang mengandung limfosit < 50% pada cairan pleuranya. Pada
pasien dengan gejala < 2 minggu, hitung jenis sel darah putih menunjukkan PMN
lebih banyak. Pada torakosentesis serial yang dilakukan, hitung jenis lekosit ini
menunjukkan adanya perubahan ke limfosit yang menonjol. Pada efusi pleura TB
kadar LDH cairan pleura > 200 U, kadar glukosa sering menurun.
Analisis kimia lain memberi nilai yang terbatas dalam menegakkan diagnostik efusi
pleura TB. Pada penelitian-penelitian dahulu dijumpai kadar glukosa cairan pleura
yang menurun, namun pada penelitian baru-baru ini menunjukkan kebanyakan pasien
dengan efusi pleura TB mempunyai kadar glukosa diatas 60 mg/dl. Kadar pH cairan
12

pleura yang rendah dapat kita curigai suatu efusi pleura TB. Kadar CRP cairan pleura
lebih tinggi pada efusi pleura TB dibandingkan dengan efusi pleura eksudatif lainnya.
Adenosin Deaminase (ADA). ADA pertama sekali ditemukan tahun 1970 sebagai
penanda kanker paru dan pada tahun 1978 Piras dkk menemukan ADA sebagai
penanda efusi pleura TB.ADA merupakan enzim yang mengkatalis perubahan
adenosine menjadi inosin. ADA merupakan suatu enzim Limfosit T yang dominan,
dan aktivitas plasmanya tinggi pada penyakit dimana imuniti seluler dirangsang. Ada
beberapa isomer ADA dimana yang menonjol adalah ADA 1 dan ADA 2. Dimana
ADA 1 ditemukan pada semua sel dan ADA 2 mencerminkan aktivitas dari monosit
atau makrofag. Penderita efusi pleura TB lebih dominan ADA 2. Gambaran yang
menunjukkan peningkatan kadar ADA bermanfaat dalam menentukan diagnosis efusi
pleura TB. Beberapa peneliti menggunakan berbagai tingkat cut-off untuk ADA efusi
pleura TB antara 30-70 U/l. Pada kadar ADA cairan pleura yang lebih tinggi
cenderung pasien efusi pleura TB. Pada studi metaanalisis yang meninjau 40 artikel
menyatakan bahwa ADA mempunyai nilai spesifisiti dan sensitivitinya mencapai 92%
dalam menegakkan diagnosis efusi pleura TB.
Kebanyakan pasien dengan efusi pleura TB mempunyai kadar ADA > 40 U/l. Pada
pasien dengan gangguan kekebalan tubuh dengan efusi pleura TB kadar ini lebih
tinggi lagi. Efusi pleura limfositik yang bukan disebabkan oleh TB biasanya
mengandung kadar ADA < 40 U/l. Namun penggunaan ini juga tergantung pada
prevalensi TB. Pada populasi dengan prevalensi efusi pleura TB yang rendah
spesifisiti ADA dapat sangat rendah.Sehingga pada daerah dengan prevalensi rendah
kemungkinan tinggi nilai positif palsu yang mana dapat menimbulkan penanganan
yang berlebihan dan keterlambatan diagnosis penyakit lain seperti kanker.
Interferon gamma (IFN-). Tes lain yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis
efusi pleura TB adalah pemeriksaan kadar IFN- cairan pleura.IFN- merupakan suatu
regulator imun yang penting dimana dapat berfungsi sebagai antivirus dan sitotoksik.
IFN- diproduksi oleh limfosit T CD4+ dari pasien-pasien dengan efusi pleura TB
Produksi IFN- muncul sebagai mekanisme pertahanan yang bermanfaat.
IFN- membantu polymyristate acetate merangsang produksi hidrogen peroksida
dalam makrofag, dimana ini memfasilitasi aktifitas eliminasi parasit intraselular.
Limfokin ini juga menghambat pertumbuhan mikobakteria dalam monosit manusia.
13

Dari studi yang telah dilakukan Villena dkk yang mengukur kadar IFN- cairan pleura
dari 595 pasien, dimana 82 kasus penyebabnya adalah TB, dan dilaporkan bahwa
level cut-off 3.7 IU/ml; dengan nilai sensitiviti 98% dan spesifisiti

98% dalam

menegakkan diagnosis efusi pleura TB.Valdes dkk juga melaporkan pada penelitian
yang dilakukan terhadap 145 pasien menunjukkan bahwa 74% dengan efusi pleura
TB mempunyai kadar IFN- > 200 pg/ml.50 Pada penelitian lain dijumpai pasienpasien dengan empiema sering sekali kadar IFN- cairan pleura ini meningkat. Pada
penelitian yang dilakukan Ekanita di Jakarta didapati peningkatan kadar IFN- yang
cukup bermakna pada pasien efusi pleura TB dimana kadarnya rata-rata 1,63 0,59
IU/ml. Greco dkk meninjau kembali semua studi dari tahun 1978 - November 2000.
Studi ini mengikutsertakan 4.738 pasien dimana kadar ADA cairan pleura diukur dan
1.189 pasien dengan kadar IFN- yang diukur. Penelitian ini melaporkan bahwa nilai
sensitiviti dan spesifisiti untuk ADA adalah 93% dan untuk IFN- adalah 96%.
Polymerase Chain Reaction (PCR). Ini merupakan tehnik amplifikasi DNA yang
dengan cepat mendeteksi M. TB. Dewasa ini telah dikembangkan beberapa metode
untuk amplifikasi asam nukleat in vitro. Dimana tujuan utama dari teknik ini adalah
untuk memperbaiki sensitiviti uji yang berdasarkan pada asam nukleat dan untuk
menyederhanakan prosedur kerjanya melalui automatisasi dan bentuk deteksi nonisotopik.
PCR ini merupakan salah satu tehnik pemeriksaan yang digunakan dalam penegakan
diagnosis efusi pleura TB karena metode konvensional masih rendah sensitivitinya.
Sensitiviti PCR pada efusi pleura TB berkisar 20-81% dan spesitifiti nya berkisar 78100%.
Penelitian yang dilakukan di Spanyol menunjukkan bahwa PCR mempunyai
sensitiviti 81% dan spesifisiti 98%. Penelitian Babu dkk di India tahun 1997 terhadap
20 penderita efusi pleura TB, PCR mempunyai sensitiviti 70% dan spesifisiti 100%.
Penelitian yang dilakukan Bambang dkk terhadap 62 pasien yang diduga efusi pleura
TB pada tahun 2004 dijumpai sensitiviti PCR 53,19% dan spesifisiti 93,33%. Pada
tahun 2006 Amni melakukan penelitian mengenai pemeriksaan PCR dalam
menegakkan diagnosis efusi pleura TB terhadap 20 orang penderita efusi pleura TB
yang ada di Medan; dimana disimpulkan bahwa PCR mempunyai nilai sensitiviti
71,4% dan 100%.
14

2.1.5 Tatalaksana

a) aspirasi cairan pleura


cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang atau dengan
pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD).
Cairan yang dikeluarkan pada setiap pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml
untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak.
Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara tiba-tiba dapat menimbulkan
refleks vagal, berupa batuk-batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.
Penulis lain menganjurkan pengambilan tidak lebih dari 1500 ml dengan selang waktu
sekitar 20 30 menit. Namun demikian, pengambilan cairan sebanyak 34 liter pada
penderita efusi pleura berulang kadang kala tidak menimbulkan komplikasi apapun.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat laun namun aman dan
sempurna. Pemasangan WSD dapat dilakukan sebagai berikut: tempat untuk
memasukkan selang toraks biasanya diruang sela iga 7, 8 atau 9 linea aksilaris media
atauruang sela iga 2 atau 3 lineamedioklavikularis. Setelah dibersihkan dan dianastesi,
dilakukan sayatan transversal selebar kurang lebih 2 cm sampai subkutis. Kemudian
dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang. Jaringan subkutis dibebaskan secara
tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura parietalis. Selang dan trokar
dimasukkan kedalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik. Pancaran cairan
diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks. Setelah posisi benar, selang dijepit
dengan klem dan luka kulit dijahit dengan serta dibebat dengan kassa dan plester.
Selanjutnya selang dihubungkan dengan dengan botol penampung cairan pleura.
Ujung selang sebaiknya diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar
udara dari luar tidak dapat masuk kedalam rongga pleura. WSD perlu diawasi setiap
hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang, maka cairan mungkin sudah
habis dan jaringan paru sudah mengembang. Untuk memastikan hal ini, dapat
dilakukan pembuatan foto toraks. Selang toraks dapat dicabut jika prosuksi cairan
kurang dari 100 ml dan jaringan paru telah mengembang, ditandai dengan
terdengarnya kembali suara napas dan terlihat pengembangan paru pada foto toraks.
Selang dicabut pada waktu ekspirasi maksimum.
Indikasi pemasangan WSD:
- Hemotoraks, efusi pleura
- Pneumotoraks > 25 %
- Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
15

Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan WSD:


-

Infeksi pada tempat pemasangan


Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

b) Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan pleura parietalis,
dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga pleura
sehingga terjadi keadaan pleuritis obliteratif. Pleurodesis merupakan penanganan
terpilih pada efusi keganasan. Bahan kimia yang lazim digunakan adalah sitostatika
seperti kedtiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin dan
doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat
sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu 7-10 hari;
pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang murah
dan mudah didapatkan adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD harus
dipasang dan paru sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan
kedalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan kedalam rongga pleura
melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal, kemudian ditambah
dengan larutan garam faal 1030 ml untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2%
untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh obat ini. Analgesik narkotik yang
diberikan 11.5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna juga untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan posisi
penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata diseluruh bagian rongga
pleura. Apabila dalam waktu 24-48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat
dicabut.
c) Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi pleura
keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan
pembedahan menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi
duktus toraksikus dan pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama
dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau keganasan lain pada

16

kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dimana cairan pleura tetap terbentuk setelah
dilakukan pleurodesis.
Penderita TB paru atau dugaan TB dengan efusi dapat diterapi dengan OAT. Dosis
OAT yang sering digunakan adalah :
Obat

R
H
Z
E
S*

Dosis

Dosis yang dianjurkan Dosis

Dosis (mg)/kgBB/hari

(mg/kgBB

(mg/kgBB/hari )
Harian Intermitten

<40

40-60

>60

300
300
750
750
Sesuai

450
300
1000
1000
750

600
300
1500
1500
1000

/hari)
8 12
4-6
20-30
15-20
15-18

10
5
25
15
15

10
10
35
30
15

maks/hari
(mg)
600
300
1000

BB
* Pasien berusia >60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis >500 mg/hari

DAFTAR PUSTAKA
1. Halim, Hadi. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam : Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 - 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009
2. Isbaniyah, Fattiyah. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di
Indonesia. Sandoz : Jakarta . 2011
3. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrisons Principles Of Internal Medicine Vol II. 16 th Ed.
2005. Mcgraw-Hill: New York
17

4.

Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of Medicine,


Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of South

Carolina, Charleston, South Carolina 29425


5. Yunus, faisal. Pulmonologi klinik. FKUI: jakarta, 1992
6. Mansjoer, arif. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. FKUI: jakartaa, 2001

18

You might also like