Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan
keluarnya urine. Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan, antara lain :
masalah medik, sosial maupun ekonomi. Masalah medik berupa iritasi dan kerusakan
kulit di di sekitar prianal akibat urine. Masalah sosial berupa perasaan malu,
mengisolasi diri dari pergaulannya, dan mengurung diri di rumah. Pemakaian pempers
atau perlengkapan lain guna menjaga supaya tidak selalu basah oleh urine, memerlukan
biaya yang tidak sedikit. Pengalaman inkontinensia memiliki dampak nyata pada
kesejahteraan psikologis orang dewasa. Ketakutan akan kehilangan kontrol yang
disaksikan oleh orang lain menyebabkan pasien membatasi aktivitas sosial dan
kemasyarakatan. Orang yang mengalami inkontinensia menunjukan suatu rentang emosi
mencakup peningkatan depresi, iritabilitas, cemas, dan perasaan tidak berdaya.
Prevalensi kelainan ini cukup tinggi, yakni pada wanita lebih 10-40% dan 4-8%
sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya
lebih rendah daripada wanita yaitu kurang lebih separuhnya. Survey yang dilakukan
diberbagai negara Asia didapatkan bahwa prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah
rata-rata 12,2 % (14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). Dikatakan oleh berbagai
penulis bahwa sebenarnya prevalensi yang dilaporkan itu baru 80% dari prevalensi
sesungguhnya karena sebagian dari mereka tidak terdeteksi; hal ini karena pasien
menganggap penyakit yang dialami ini merupakan hal yang wajar atau mereka enggan
menceritakan keadaannya kepada dokter karena takut mendapatkan pemeriksaan yang
berlebihan. Pada lansia, prevalensinya lebih tinggi daripada usia reproduksi, dilaporkan
prevalensi inkontinensia pada lansia wanita sebesar 38% dan pria 19% (Purnomo,
2007). Prevalensi inkontinesia urin di Indonesia belum ada angka yang pasti, dari hasil
beberapa penelitian didapatkan angka kejadian berkisar antara 20% sampai dengan 30%
(Suparman & Rompas, 2008).
Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami
setiap individu pada usia berapapun walaupun kondisi saat ini lebih umum dialami
lansia. Inkontinensia yag berkelanjutan memungkinkan terjadinya kerusakan pada kulit.
Sifat urin yang asam mengiritasi kulit. Pasien yang tidak dapat melakukan mobilisasi
dan sering mengalami inkontinensia berisiko terkena luka dekubitus (Potter & Perry,
2008).
Penatalaksanaan inkontinensia dengan menggunakan tindakan non farmakologis
dapat dilakukan dengan cara menggunakan terapi perilaku, pengaturan makanan dan
minuman, bladder training, penguatan otot panggul. Pasien dengan inkontinensia harus
memperhatikan intake cairan, menghindari makanan dan minuman yang mengandung
kafein dan alkohol. Inkontinensia urin merupakan suatu gejala dan bukan merupakan
suatu penyakit. Karena itu, penanganan kasus inkontinensia urin dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin, tentunya peran perawat juga memberi pengaruh besar
terhadap kesembuhan dan peningkatan kualitas hidup pasien.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1
dan
mampu
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Inkontinensia urine merupakan keluarnya urin yang tidak terkontrol yang
mengakibatkan gangguan hygene dan sosial dan dapat dibuktikan secara objektif.
Inkontinensia ini dapat terjadi dengan derajat yang ringan berupa keluarnya urin hanya
berupa tetes sampai dengan keadaan berat dan sangat mengganggu penderita (Suparman
& Rompas, 2008).
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemmih yang tidak
terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanay sementara. Namun, jika kejadian ini timbul
karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkina besar sifatnya akan
permanen (Smeltzer & Bare, 2003).
2.2 Etiologi
Inkontinensia urin dibagi menjadi inkontinensia akut dan kronik/persisten.
2.2.1 Interkontinensia Akut
Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit
akut atau problem iatrogenik/lingkungan yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi
atau problem medikasi dihentikanEtiologinya disingkat dengan DRIP atau DIAPPERS
DIAPPERS (Sudoyono dkk, 2006).
a. Delirium
merupakan gangguan kognitif akut dengan latar belakang dehidrasi, infeksi paru,
gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan
refleks miksi berkurang yang menimbulkan inkontinensia bersifat sementara.
Kejadian inkontinensia akan dapat dihilangkan dengan mengidentifikasi dan
menterapi penyebab delirium.
b. Infeksi traktus urinarius.
Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan meningkatkan kejadian
frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia. Sehingga
mengakibatkan seorang usila tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
Bakteriuria tanpa disertai piuria (infeksi asimptomatik) yang banyak terjadi pada
usila, tidak selalu mengindikasikan adanya infeksi dan bisa saja bukan etiologi
inkontinensia.
c. Atrophic vaginitis.
Jaringan yang teriritasi, tipis dan mudah rusak dapat menyebabkan timbulnya
gejala rasa terbakar di uretra, disuria, infeksi traktus urinarius berulang,
dispareunia, urgensi, stress atau urge incontinence. Gejalanya sangat responsif
terhadap terapi estrogen dosis rendah, yang diberikan baik oral atau topikal.
Gejala akan berkurang dalam beberapa hari hingga 6 minggu, walaupun respon
biokimia intraseluler memakan waktu lebih panjang.
d. Pharmaceutical. Obat-obatan sering dihubungkan dengan inkontinensia pada
usia lanjut. Beberapa golongan obat seperti diuretic, anti kolinergik, psikotropik,
analgesic-narkotik, penghambat adrenergic alfa, agonis adrenergic alfa,
penghambat calsium channel, dan lain-lain dapat menyebabkan inkontinensia.
1) Sedative Hypnotics (benzodiazepines : diazepam, flurazepam)
Sedatif, seperti benzodiazepin dapat berakumulasi dan menyebabkan
confusion dan inkontinensia sekunder, terutama pada usia lanjut. Alkohol
h. Stooli impaction. Impaksi feses akan mengubah posisi kandung kemih dan
menekan syaraf yang mensuplai uretra serta kandung kemih, sehingga akan
dapat menimbulkan kondisi retensi urine dan overflow incontinence.
2.2.2 Interkontinensia Persisten
Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak
berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama. Terdapat empat
tipe inkontinensia urin persisten, yaitu: Fungsional Inkontinensia Urin, Overflow
Inkontinensia Urin (OIU), Stress Inkontinensia Urin (SIU), Urge Inkontinensia
Urin (UIU).
Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada
anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul
akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis.
Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun
kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di
saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau
adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih
bagian bawah bisa karena infeksi.
2.3 Klasifikasi Inkontinensia Urin
2.3.1 Inkontinensia Urge
Penyebab inkontinensia urge adalah kelainan di buli-buli, diantaranya adalah
over aktivitas detrusor dan menurunnya komplians buli-buli. Over aktivitas
detrusor dapat disebabkan oleh kelainan neurologik, kelainan non neurologis,
atau kelainan lain yang belum diketahui.
2.3.2 Inkontiinensia Urine Stress
Hal ini biasanya disebabkan oleh faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu
mempertahankan tekanan intrauretra pada saat tekanan intravesika meningkat
(buli-buli) terisi.
2.3.3
2.3.4
2.3.5
2.4 Patofisiologi
Terjadinya pengisian kandung kencing sehingga meningkatkan tekanan
tekanan didalam kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari
kandung kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar
volume daya tamping. Bila titik daya tamping telah tercapai, biasanya 150-200 ml
urin akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke
lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui
serabut efferent dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi
otot detrusor. Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak
bersama-sama membuka dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter
eksterna dan otot perineal mengikuti dan isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan
kegiatan reflek bisa mengalami interupsi sehingga berkemih ditangguhkan melalui
dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar
kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari system yang komlek ini
mengalami rusak, akan bisa terjadinya inkontinrensia urine. (Bruner and suddart,
2000).
Patofisiologi berdasarkan klasifikasi inkontinensia urin:
1. Inkontinensia stress: kebocoran urin terjadi ketika tekanan intra abdomen
melebihi tekanan uretra (misalnya batuk, mengedan, atau mengangkat beban).
Biasanya pada gejala inkontinensia uretra.
2. Inkontinensia urgensi: ketidak stabilan otot detrusor idiopatik menyebabkan
peningkatan tekanan intravesika dan kebocoran urin.
3. Hiperrefleksia detrusor: hilangnya control kortikal menyebabkan kandung
kemih yang tidak dapat dihambat dengan kontraksi detrusor yang tidak stabil.
Kandung kemih terisi, reflex sakralis dimulai dan kandung kemih melakukan
pengosongan secara spontan.
4. Inkontinensia overflow: kerusakan pada serat eferen dari reflex sakralis
menyebabkan atonia kandung kemih. Kandung kemih terisi oleh urin yang
konstan. Misalnya distensi kandung kemih kronis akibat obstruksi
2.5 WOC (terlampir)
2.6 Manifestasi klinis
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
1) Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau
bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing.
2) Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi kandung kemih.
3) Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak
dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
2.7.1 Laboratorium
Pemeriksaan urinalis, kultur urine dan jika perlu sitologi urine
dipergunakan
untuk
menyingkirkan
kemungkinan
adanya
proses
inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran kemih.
2.7.2
Pemeriksaan lain
2.8.3
2.8.4
2.8.5
2.9 Komplikasi
Infeksi saluran kemih merupakan sumber morbiditas yang menonjol united
states dan juga menonjol dalam perkembangan kegagalan ginjal kronis pad tiap bagian
dari saluran kemih.
Kebanyakan infeksi saluran kemih tidak merupakan komplikasi, keadaannya
tidak simtomasis, spontan, jelas dan sebagian merupakan cukup menonjol yang
mengisyarakatkan pemikiran sebagai suatu masalah kesehatan. Tidak terdapat hal yang
kontroversial dikalangan yang melaksanakan pencegahan pelayanan kesehatan
sehubungan pertanyaan tentang kebutuhan pemeriksaan infeksi asimtomasis, namun
terdapat kesukaran untuk mengidentifikasi kelompok beresiko dimana deteksi dan
pengobatan dari infeksi ini memperlihatkan perbaikan kesehatan seseorang. Wanita
cenderung mudah terserang infeksi saluran kemih bila dibandingkan dengan pria.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
Pada pengkajian data yang perlu di kaji adalah tanggal, jam, tempat pengkajian.
1. Data Subyektif
a. Biodata
Pada biodata yang perlu dikaji adalah nama, umur, agama, pendidikan,
pekerjaan, dan alamat.
Adapun hal hal yang perlu ditanyakan mengenai gejala inkontinensia :
1. Berapa kali inkontinensia terjadi ?
2. Apakah ada kemerahan, lecet, bengkak pada daerah perineal ?
3. Apakah klien mengalami obesitas ?
4. Apakah urine menetes diantara waktu BAK, jika ada berapa banyak ?
5. Apakah inkontinensia terjadi pada saat-saat yang bisa diperkirakan
seperti pada saat batuk, bersin tertawa dan mengangkat benda-benda
berat ?
6. Apakah klien menyadari atau merasakan keinginan akan BAK
sebelum inkontinensia terjadi ?
7. Berapa lama klien mempunyai kesulitan dalam BAK / inkontinensia
urine ?
8. Apakah klien merasakan kandung kemih terasa penuh ?
9. Apakah klien mengalami nyeri saat berkemih ?
10. Apakah masalah ini bertambah parah ?
11. Bagaimana cara klien mengatasi inkontinensia ?
b. Keluhan Utama
Keluhan utama yang dikeluhkan oleh sebagian besar klien dengan
inkontinensia urin berupa nokturia, urgency, disuria, dan oliguri.
c. Riwayat Kesehatan
1. Apakah klien pernah mengalami penyakit yang serupa?
2. Bagaimana riwayat urinasi klien?
3. Apakah klien pernah mengalami trauma tulang belakang atau cedera
genitaurinarius?
4. Apakah klien pernah mengalami operasi bedah ginjal ?
5. Apakah klien pernah mengalami ISK / BPH ?
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan
penyakit yang diderita klien. Adakah anggota kelurga klien yang menderita
DM.
e. Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan riwayat klien pertama kali
menderita inkontinensia urin hingga saat klien masuk rumah sakit.
2. Data Obyektif
a. Pemeriksaan Umum
KU klien biasanya baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital
9
10
Intervensi
Rasional
1. Kaji faktor penyebab atau faktor 1. Komponen essential dari setiap program
penunjang inkontinensia antara
pelatihan kontinen (yang diarahkan pada
lain : iritan kandung kemih,
diri sendiri atau pada pemberi asuhan)
penurunan kapasitas kandung
meliputi motivasi, pengkajian pola
kemih, overdistensi kandung
berkemih dan dan inkontinen, asupan
11
Intervensi
Rasional
1. Kaji faktor penyebab atau faktor 1. Mengetahui hambatan apa yang dialami
penunjang inkontinensia antara
oleh klien.
lain : hambatan menuju toilet,
defisit sensori/kognitif, defisit
motorik/mobilitas.
2. Kurangi atau hilangkan faktor 2. Hambatan yang ada dapat memperlambat
penunjang jika memungkinkan,
akses menuju toilet dan menyebabkan
antara
lain
:
hambatan
inkontinensia jika klien tidak dapat
lingkungan,
defisit
sensori/
menunda berkemih. Penundaan beberapa
kognitif, defisit motorik/mobilitas.
detik saja untuk berkemih dapat
membedakan antara antara kontinensia
dan inkontinensia.
3. Berikan
faktor
yang 3. Penjelasannya:
meningkatkan kontinensia:
a. dehidrasi dapat mencegah sensasi penuh
a. tingkatkan asupan cairan yang
pada kandung kemih dan dapat
teratur 2000-3000mL/hari.
mengakibatkan penurunan tonus kandung
b. hindari mengkonsumsi jus
kemih. Memberi jarak asupan cairan
tomat dan jeruk karena
akan membantu mendukung pengisian
cenderung membuat urine
dan pengosongan kandung kemih yang
menjadi basa. Konsumsi jus
teratur.
berry guna mengasamkan b. urine yang asam mencegah pertumbuhan
urine.
sebagian besar bakteri penyebab sistitis.
12
13
BAB 4
PEMBAHASAN KASUS
Kasus Semu
Ny. M 45 tahun adalah seorang single mother dengan 2 orang anak laki- laki
masing berusia 8 dan 14 tahun. Ny. M adalah seorang penjahit di sebuah usaha konveksi
di dekat rumahnya. Beberapa minggu yang lalu Ny. M kehilangan pekerjaannya
dikarenakan tempat bekerjanya mengalami kebangkrutan. Untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya Ny. M bekerja seadanya sebagai kuli panggul di pasar. Beberapa hari ini
Ny. M mengeluhkan keadaan dirinya yang tidak dapat mengontrol buang air kecil saat
mengangkat benda berat ataupun saat batuk dan bersin. Hal ini sangat mengganggu
aktivitas sehari harinya, sedangkan Ny. M harus mencari pekerjaan lain yang lebih
baik dari kuli panggul. Keadaan ini mendorong Ny. M untuk datang ke RSUA.
4.1 Pengkajian
Pada pengkajian data yang perlu di kaji adalah tanggal, jam, tempat pengkajian.
4.1.1 Data Subyektif
a. Biodata
Pada biodata yang perlu dikaji adalah :
Nama
: Ny. M
Umur
: 45 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Kuli panggul di pasar
Nama suami : Tn. F (alm)
Umur
:Agama
:Pendidikan
:Pekerjaan
:Alamat
:Adapun hal hal yang perlu ditanyakan mengenai gejala inkontinensia :
1. Berapa kali inkontinensia terjadi ?
- Lebih dari 4 kali per hari
2. Apakah ada kemerahan, lecet, bengkak pada daerah perineal ?
- Ada kemerahan dan lecet di area perineal
3. Apakah klien mengalami obesitas ?
- Ya, BB klien 75kg dan TB klien 157cm sehingga IMT klien adalah
30,4
4. Apakah urine menetes diantara waktu BAK, jika ada berapa banyak ?
- Tidak
5. Apakah inkontinensia terjadi pada saat-saat yang bisa diperkirakan
seperti pada saat batuk, bersin tertawa dan mengangkat benda-benda
berat ?
14
15
batuk
Urin involunter
Inkontinensia stress
Masalah Keperawatan
Inkontinensia stress
DS:
Klien merasa terganggu
dan
cemas
dengan
kondisinya
ansietas
inkontinensia
Penegeluaran urin
involunter
Mengganggu aktivitas
16
ansietas
inkontinensia
Penegeluaran urin
involunter
Meninggalkan sisa di
area perianal
Risiko gangguan
integritas kulit
4.2 Diagnosa
a. Inkontinensia stress berhubungan dengan peningkatan tekanan
intraabdomen dan otot panggul yang lemah, sekunder akibat obesitas.
b. Ansietas berhungan dengan perubahan lingkungan yang aktual dalam status
sosialekonomi sekunder akibat pekerjaan baru.
c. Kerusakan integritas kulit : lecet dan kemerahan pada area perineal
berhubungan dengan kelembapan area perineal.
4.3 Intervensi dan Rasional
4.3.1 Inkontinensia stress berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen
dan otot panggul yang lemah, sekunder akibat obesitas.
Tujuan : Inkontinensia berhenti atau berkurang.
Kriteria hasil :
- Klien melaporkan berkurangnya atau hilangnya inkontinensia
stress.
- klien dapat menjelaskan penyebab inkontinensia dan rasional
terapi.
Intervensi
Rasional
1. Tentukan
faktor
penunjang 1. Pada inkontinensia stress, otot dasar
inkontinensia antara lain : kelahiran
panggul ( pubokoksigeus) dan otot levator
anak, obesitas, penuaan, dll. Pada
ani telah melemah atau meregang akibat
kasus Ny. M faktor penunjang yang
kelahiran anak, obesitas, penuaan, dll.
ditemukan adalah obesitas dengan
IMT : 30,4
2. Ajarkan latian otot dasar panggul
2. Latihan otot dasar panggul menguatkan
dan mengencangkan otot dasar panggul.
Hasil studi telah menunjukkan bahwa
latian otot panggul meningkatkan atau
sepenuhnya mengendalikan inkontinensia
stress (Dougherty,1998).
4.3.2
17
Rasional
1. Untuk mengetahui kondisi klien dan
sebagai
langkah
awal
sebelum
mengambil keputusan.
2. Tanda tanda vital adalah indikator
kondisi yang dialami klien.
3. Untuk mengetahui penyebab ansietas
klien.
4. Pengobatan medis untuk mengurangi
ansietas klien.
18
19
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemmih yang tidak
terkendali atau terjadi di luar keinginan. Jika inkontinensia terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanay sementara. Namun, jika kejadian ini timbul
karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkina besar sifatnya akan
permanen (Smeltzer & Bare, 2003).
Inkontinensia urine merupakan keluarnya urin yang tidak terkontrol yang
mengakibatkan gangguan hygene dan sosial dan dapat dibuktikan secara objektif.
Inkontinensia ini dapat terjadi dengan derajat yang ringan berupa keluarnya urin hanya
berupa tetes sampai dengan keadaan berat dan sangat mengganggu penderita (Suparman
& Rompas, 2008).
Beberapa klasifikasi inkontinensia urine, diantaranya Inkontinensia Urge,
Inkontiinensia Urine Stress, Inkontinensia Paradoksa (overflow), Inkontinensia Urine
Fungsional, Inkontinensia Total.
Asuhan keperawatan pada klien dengan inkontinensia urin disesuaikan
berdasarkan etiloginya sehingga diharapkan akan lebih maksimal.
5.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini kita menjadi lebih mngerti tanda &
gejala dari inkontinensia urin. Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kami
mengharapkan masukan agar akan lebih baik lagi kedepannya.
20