Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Berdasarkan Undang -Undang nomor
36 tahun 2009, kesehatan merupakan salah satu unsur hak asasi manusia yang harus
diperoleh oleh seluruh lapisan masyarakat dan merupakan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita Bangsa Indonesia dengan menggunakan
prinsip non diskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan (Kemenkes, 2010).
Kesehatan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat
tentunya menjadi hal yang sangat penting untuk dapat dicapai. Setiap warga negara
Indonesia memiliki hak yang sama dalam hal kesehatan dan berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Tingginya biaya perawatan kesehatan
tentu saja mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) angka kemiskinan di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 28.280.010 jiwa
atau sebesar 11,25% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2014). Banyak
masyarakat miskin tidak dapat berobat diakibatkan tingginya biaya yang harus mereka
tanggung. Kondisi ini terjadi terutama saat pembiayaan kesehatan harus ditanggung sendiri
(out of pocket) oleh masyarakat. Kenaikan biaya kesehatan seringkali terjadi akibat rumah
sakit menggunakan teknologi canggih dan pola pembayaran tunai. Sebetulnya asuransi
kesehatan di Indonesia bukanlah barang baru, asuransi kesehatan untuk pegawai negeri
sipil merupakan lanjutan dari Restitutie Regeling 1934 dan pada tahun 1985 dimulai
asuransi untuk tenaga kerja (ASTEK) serta tahun 1987 dengan menggerakkan dana
masyarakat melalui DUKM. Pada tahun 1992 diterbitkan tiga buah undang-undang yang
berkaitan dengan asuransi yaitu UU No. 2 Tentang Asuransi, UU No. 3 Tentang
JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) serta UU No. 23 Tentang Kesehatan yang di
dalamnya terkandung pasal 65-66 tentang JPKM (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat). JPKM mengikuti pola managed care di Amerika dengan pembayaran
prepaid berdasarkan kapitasi dan pelayanan yang bersifat komprehensif meliputi preventif,
promotif, kuratif dan rehabilitatif ( , ).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Muninjaya (2004), asuransi kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan risiko
(sakit) dari risiko perorangan menjadi risiko kelompok. Melalui pengalihan risiko individu
menjadi risiko kelompok, beban ekonomi yang harus dipikul oleh masing-masing peserta
asuransi akan lebih ringan tetapi mengandung kepastian karena memperoleh jaminan.
Menurut Azwar yang dikutip Rosnifah (2002) menyatakan asuransi kesehatan adalah suatu
sistem pengelolaan dana yang diperoleh dari kontribusi anggota secara teratur oleh salah
satu bentuk organisasi guna membiayai pelayanan kesehatan yang dibutuhkan anggota.
Menurut Azwar (1996), bentuk asuransi kesehatan terdiri dari tiga pihak (third party) yang
saling berhubungan dan memengaruhi satu sama lain. Asuransi kesehatan sosial
menerapkan prinsip kesehatan adalah sebuah pelayanan sosial, pelayanan kesehatan tidak
boleh diberikan atas dasar status sosial masyarakat sehingga semua lapisan masyarakat
berhak memperoleh jaminan pelayanan kesehatan. Menurut Mehr dan Cammack dalam
Principles of Insurance dalam Subianto (2003), asuransi sosial adalah sarana untuk
menghimpun risiko dengan memindahkannya kepada organisasi yang biasanya adalah
organisasi pemerintah, yang diharuskan undang-undang untuk memberikan manfaat
keuangan atau pelayanan kepada atau atas nama orang-orang yang diasuransikan pada
waktu terjadinya kerugian-kerugian tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
B. Manfaat Asuransi Kesehatan
Ada beberapa manfaat asuransi kesehatan selain mendekatkan akses masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan antara lain :
- Asuransi merubah peristiwa tidak pasti menjadi pasti dan terencana.
- Asuransi membantu mengurangi risiko perorangan ke risiko sekelompok orang dengan
cara perangkuman risiko (risk pooling). Dengan demikian terjadi subsidi silang; yang
muda membantu yang tua, yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang
miskin.
Perangkuman Risiko
Perangkuman risiko merupakan inti dari asuransi dan terjadi ketika sejumlah individu yang
berisiko sepakat menghimpun risiko untuk mengurangi beban yang harus ditanggung
masing-masing individu. Perangkuman risiko meningkatkan kemungkinan memperoleh
keluaran yang bersifat "moderat" dan menjauhi keluaran-keluaran ekstrem, selain itu
mengurangi biaya risiko yaitu kerugian finansial yang terkait dengan risiko peristiwa
tersebut (Murti B, 2000). Hal ini terjadi karena sebagian besar peristiwa sakit merupakan
peristiwa independen, sehingga berlaku hukum penggandaan probabilitas (Multiplication
Law of Probability), apabila sakit merupakan peristiwa dependen, misalnya penyakit
menular, maka hukum tersebut tidak berlaku. Selanjutnya Murti memberikan contoh,
seseorang berhubungan dengan peristiwa sakit hanya mempunyai 2 (dua) kemungkinan
yaitu sehat atau sakit.
Jika ada 2 orang A dan B, maka mempunyai 4 kemungkinan yaitu :
- A dan B sakit
- A dan B sehat
- A sakit B sehat
- A sehat B sakit.
Jadi jika ada n orang, dengan rumus turunan maka akan menjadi 2 kemungkinan.
Hukum Jumlah Besar
Asuransi membutuhkan peserta dalam jumlah yang besar, agar risiko dapat didistribusikan
secara merata dan luas serta dikurangi secara efektif. Prinsip ini merupakan konsekuensi
hukum jumlah besar, makin banyak peserta, makin besar risiko yang dapat dikurangi.
Menurut para analis di Amerika Serikat, jumlah anggota 50.000 per Health Maintenance
Organization (HMO), dipandang menguntungkan.
Peristiwa Independen
Seperti telah dijelaskan, persitiwa-peristiwa perangkuman risiko diasumsikan bersifat
independen. Pada keadaan peristiwa dependen hukum penggandaan probabilitas tidak
berlaku karena probabilitas orang-orang akan sakit pada waktu yang bersamaan pada
peristiwa dependen lebih besar daripada peristiwa independen. Contohnya: TBC
(dependen) lebih besar kemungkinannya daripada penyakit jantung (independen).
6. Mix-outputs
Mix-outputs yaitu keluaran yang dihasilkan merupakan suatu paket pelayanan sebagai
kerjasama tim yang sifatnya bervariasi antar individu dan sangat tergantung pada jenis
penyakit.
7. Retriksi berkompetisi
Retriksi berkompetisi yaitu adanya pembatasan praktek berkompetisi sehingga mekanisme
pasar tidak sempurna, misalnya : tidak ada pemberian barang atau banting harga dalam
pelayanan kesehatan.
Ciri-ciri di atas perlu dipertimbangkan dalam penentuan premi peserta asuransi,
pencapaian tarif pelayanan, penentuan aksesitas terhadap sarana pelayanan kesehatan,
maupun penentuan jasa pelayanan bagi dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya.
C. Sistem Pelayanan Asuransi Kesehatan
Dengan pendekatan sistem, secara sederhana pelayanan asuransi terdiri dari komponen
masukan, proses, keluaran dan dampak serta dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Komponen masukan terdiri dari :
- Peserta atau masyarakat baik perorangan ataupun keluarga
- Perusahaan asuransi yang disebut badan penyelenggara asuransi (BAPEL)
- Pemberi pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan), dengan
adanya perubahan paradigma ke arah paradigma sehat, maka PPK dirubah pengertiannya
menjadi penyelenggara pemeliharaan kesehatan
- Pemerintah dapat berperan sebagai masukan tetapi juga sebagai faktor yang
mempengaruhi, misalnya membuat peraturan dan/atau kebijakan.
Komponen proses, proses tergambarkan dalam studi kelayakan dan rencana usaha Bapel,
pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi di semua komponen asuransi yang didasarkan
pada data yang akurat.
Komponen keluaran, keluaran dapat berupa pembayaran sebagian atau keseluruhan paketpaket pelayanan kesehatan sesuai dengan transaksi premi yang telah disetujui. Dengan
adanya perubahan ke arah paradigma sehat, maka asuransi diharapkan tidak hanya
berperan pada pelayanan kuratif tetapi juga pramotif, prefentif dan rehabilitatif.
Komponen dampak, dampak utama yang paling diharapkan adalah akses masyarakat
terhadap penyelenggara kesehatan, dan pada akhirnya akan meningkatkan status/derajat
kesehatan masyarakat yang ditandai : pertama, mampu hidup lebih lama dengan indikator
umur harapan hidup; kedua, menikmati hidup sehat dengan indikator angka kesakitan;
ketiga, mempunyai kesempatan meningkatkan pengetahuan dengan indikator angka melek
huruf dan tingkat pendidikan serta keempat, hidup sejahtera dengan indikator pendapatan
per kapita.
Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain :
- Pemerintah yang berperan sebagai regulator dan pembuat kebijakan
- Permintaan (demand) masyarakat
- Sosio-ekonomi dan budaya masyarakat.
Untuk lebih jelasnya keseluruhan sistem digambarkan seperti pada bagan di
halaman berikut.
asuransi
yaitu
badan/perusahaan asuransi.
peserta,
penyelenggara
pelayanan
kesehatan
serta
beberapa jenis
asuransi :
Ditinjau dari hubungan ketiga komponen asuransi
a. Asuransi tripartied; apabila ketiga komponen asuransi terpisah satu sama
b. Asuransi bipartied; PPK dapat merupakan milik atau dikontrol oleh perusahaan
asuransi.
Hanya menanggung pelayanan kesehatan biaya tinggi (large loss principle) misal rawat
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat (Kemenkes RI,
2013). Fasilitas kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan bagi pengguna
JKN terdiri atas FKTP dan FKRTL. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah
faskes yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan individu yang bersifat umum untuk
keperluan pengamatan, promotif, prevrntif, mendiagnosis, perawatan atau pelayanan
kesehatan lainnya. (Kemenkes RI, 2014). Prosedur layanan kesehatan dalamJKN yaitu
pelayann bagi pasien dilaksanakan secara berjenjang yang dimulai pelayanan bagi pasien
dilaksanakan secara berjenjang yang dimulai dari FKTP yang diselenggarakan oleh FKTP
tempat peserta terdaftar. Fasilitas kesehatan tingkat pertama peserta JKN terdiri dari
puskesmas, dokter, dokter gigi, klinik pratama dan Rumah Sakit Kelas D Pratama yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Kemenkes RI, 2014b).
Dokter praktek baik dokter umum maupun dokter gigi termasuk fasilitas kesehatan tingkat
pertama pada program JKN dengan melakukan kerja sama dengan BPJS Kesehatan dan
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Pusat kesehatan masyarakat yang
selanjutnya disebut Puskesmas merupakan faskes yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Kemenkes RI, 2014c).
Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan namun dalam kondisi tertentu pada satu
kecamatan dapat didirikan lebih dari satu Puskesmas berdasarkan pertimbangan kebutuhan
pelayanan, jumlah penduduk dan aksesbilitas. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang
diberikan oleh Puskesmas kepada masyarakat, mencakup perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, pencatatan, pelaporan, dan dituangkan dalam suatu sistem.
Klinik merupakan faskes yang melaksanakan layanan kesehatan perorangan dengan
melayani pelayanan medis dasar dan atau spesialistik (Kemenkes RI, 2014d). Berdasarkan
jenis pelayanan, klinik terdiri dari klinik pratama dan utama. Klinik pratama merupakan
klinik yang melaksanakan pelayanan medis dasar baik umum maupun khusus. Klinik dapat
diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. BPJS Kesehatan dalam menetapkan
pilihan fasilitas kesehatan melakukan seleksi, kredensialing dan rekrendensialing dengan
kriteria teknis yang meliputi sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana,
lingkup pelayanan serta komitmen pelayanan (Kemenkes RI, 2013). Kriteria teknis
digunakan untuk penetapan kerjasama dengan BPJS Kesehatan, besaran kapitasi dan
jumlah peserta yang bisa dilayani. Seluruh FKTP milik TNI/ POLRI yang bekerjasama
dengan BPJS Kesehatan, pada masa peralihan dinyatakan sebagai klinik pratama dan
dalam jangka waktu dua tahun harus memenuhi persyaratan sebagai klinik pratama sejak
Permenkes No. 71 Tahun 2013 berlaku, serta FKTP yang bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan dikecualikan dari kewajiban terakreditasi dan harus menyesuaikan dengan
ketentuan dalam jangka waktu lima tahun (Kemenkes RI, 2013).
Dasar hukum terbentuknya JKN
Berikut beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi terbentuknya JKN, yaitu:
Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of Human Right
dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 yang terdiri dari 30 pasal. Pasal 25 ayat 1
menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak
atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.
Resolusi WHA ke 58 Thn 2005 di Jenewa: setiap negara perlu mengembangkan UHC
melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin pembiayaan kesehatan yg
berkelanjutan.
Pencapaian Universal Health Coverage (UHC) melalui mekanisme asuransi sosial agar
pembiayaan kesehatan dapat dikendalikan sehingga keterjaminan pembiayaan kesehatan
menjadi pasti dan terus menerus tersedia yang pada gilirannya Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (sesuai Sila ke 5 Panca Sila) dapat terwujud. Pada Pasal 28 H ayat (1) (2)
(3) UUD 45 disebutkan:
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Selanjutnya pada pasal 34 ayat (1), (2), (3) UUD 1945 disebutkan:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
Setiap saat kita sangat berpotensi mengalami risiko antara lain: dapat terjadi sakit berat,
menjadi tua dan pensiun, tidak ada pendapatan-masa hidup bisa panjang. Sementara
dukungan anak/keluarga lain tidak selalu ada dan tidak selalu cukup. Pada umumnya
masyarakat indonesia masih berpikir praktis dan jangka pendek sehingga belum ada
budaya menabung untuk dapat menanggulangi apabila ada musibah sakit
Masyarakat kita umumnya belum insurance minded terutama dalam asuransi
kesehatan. Hal ini mungkin premi asuransi yang ada (komersial) mahal atau memang
belum paham manfaat asuransi.
Dengan demikian untuk menjamin agar semua risiko tersebut dapat teratasi tanpa adanya
hambatan financial maka Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan melalui
mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat nasional, wajib, nirlaba, gotong royong,
ekuitas, dll merupakan jalan keluar untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi dalam
kehidupan kita.
Keuntungan JKN/Asurasi Kesehatan Sosial:
Kenaikan Biaya kesehatan dapat ditekan
Biaya dan Mutu Yankes dapat dikendalikan
Kepesertaannya bersifat wajib bagi seluruh penduduk.
Pembayaran dengan sistem prospektif
Adanya kepastian pembiayaan yankes berkelanjutan
Manfaat Yankes komprehensif (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
Portabilitas nasional: peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang
berkelanjutan meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam
wilayah NKRI.
Perbedaan asuransi Sosial dengan asuransi komersial dapat dilihat dari 3 sisi, yaitu:
1. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib bagi seluruh penduduk, sedangan asuransi
komersial bersifat sukarela.
2. Asuransi sosial bersifat nirlaba atau tidak berorientasi mencari keuntungan (not for
Prinsip kegotongroyongan
Gotongroyong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam hidup bermasyarakat
dan juga merupakan salah satu akar dalam kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong
royong berarti peserta yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang
sehat membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat membantu
yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat wajib untuk seluruh
penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian, melalui prinsip gotong royong jaminan
sosial dapat menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah nirlaba
bukan untuk mencari laba (for profit oriented). Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk
memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat
adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan peserta.
Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip
prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan dana yang berasal dari
iuran peserta dan hasil pengembangannya.
Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimaksudkan untuk memberikan jaminan yang
berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah pekerjaan atau tempat tinggal
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
dilayani Parasuraman dan Beryy dalam Muninjaya (2011) telah melaksanakan penelitian
dan mengidentifikasi lima dimensi dalam menilai mutu pelayanan. Kelima dimensi
karakteristik mutu pelayanan.
1. Bukti langsung (tangibles) bahwa mutu pelayanan kesehatan dapat dirasakan oleh
para penggunanya secara langsung dengan menggunakan inderanya (mata, telinga dan
rasa) untuk menilai mutu layanan kesehatan yang diterima meliputi ketersediaan
sarana dan prasarana, kebersihan dan kenyamanan ruang penerimaan pasien,
ketersediaan sarana komunikasi, tempat parkir, penampilan staf yang rapi, menarik
dan bersih.
2. Kehandalan (reliability) meliputi kemampuan memberikan pelayanan dengan segera,
terpercaya, akurat, sesuai dengan yang telah dijanjikan dan bersikap simpati kepada
pelanggan.
3. Daya tanggap (responsiveness) yaitu keinginan dan kemampuan dalam memberikan
pelayanan yang tanggap, cepat, tepat waktu dan tidak lama kepada pelanggannya.
4. Jaminan (assurance) yaitu kriteria yang berkaitan dengan pengetahuan, kesopanan
dan kepercayaan pelanggan kepada petugas. Dimensi ini meliputi keramahan,
kompetensi teknis dan keamanan.
Empati (empathy) yaitu kriteria yang berkaitan dengan kepedulian dan perhatian
kepada setiap pelanggan, memahami kebutuhan mereka dan bisa dihubungi
pelanggan yang membutuhkan bantuan.
Terkait dengan dimensi mutu pelayanan terdapat beberapa pendapat dari hasil penelitian.
Hasil penelitian mutu pelayanan di Puskesmas Pamboang Kabupaten Majene Tahun 2012
didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara ketepatan waktu, hubungan antar
manusia, informasi, kenyamanan dengan mutu pelayanan (Halil et al., 2012). Hasil yang
sama didapatkan pada penelitian (Wati et al., 2012) bahwa ada hubungan antara
kenyamanan, informasi, akses dan kompetensi teknis petugas dengan kepuasan pasien di
Rumah Sakit Umum Daya Makasar. Wira (2014) dalam penelitiannya mendapatkan hasil
bahwa persepsi kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati memiliki hubungan yang
bermakna dengan kepuasan pasien rawat inap Rumah Sakit Wangaya Denpasar.
Menurut Hall dan Dorman dalam Pohan (2006), kepuasan pasien dipengaruhi oleh faktor
lingkungan fisik gedung maupun penampilan petugas, kejelasan informasi, perhatian
petugas terhadap masalah psikososial pasien, pengaturan sistem layanan kesehatan untuk
memberi kemudahan pasien, kompentensi petugas dengan konsisten terhadap standar
layanan kesehatan, akses, biaya layanan kesehatan dan kesinambungan layanan kesehatan.
Disebutkan juga bahwa kepuasan pasien dipengaruhi oleh reliability, assurance,
humanitas, responsiveness, tangible, aksesibilitas, empati, sumber biaya, diagnostik dan
karakteristik pasien (Budijanto & Suharmiati, 2007). Dapat disimpulkan bahwa kepuasan
pasien dipengaruhi oleh banyak faktor atau merupakan konsep multi dimensi.
Metode Pengukuran Kepuasan
Pengukuran kepuasaan pasien digunakan sebagai dasar dalam perubahan sistem layanan
kesehatan sehingga perangkat yang digunakan untuk mengukur kepuasan harus dapat
dipercaya dan handal. Menurut Pohan (2006) terdapat indikator untuk mengukur kepuasan
pasien.
1. Kepuasan pasien terhadap akses layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap dan
pengetahuan sejauh mana layanan kesehatan tersedia, kemudahan memperoleh layanan
kesehatan pada saat biasa maupun gawat darurat.
2. Kepuasan pasien terhadap mutu layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap terhadap
kompetensi teknis dokter maupun petugas dalam melayani pasien, perubahan yang
dalami pasien setelah mendapatkan layanan kesehatan.
Kepuasan pasien terhadap proses layanan kesehatan, dinyatakan dengan kepuasan
termasuk hubungan antar manusia dengan tingkat kepercayaan pada dokter, pengertian
tentang diagnosis dan sejauh mana kesulitan untuk memahami penjelasan dokter serta
rencana pengobatan.
3. Kepuasan pasien terhadap sistem layanan kesehatan, dinyatakan oleh sikap melalui
pengamatan terhadap fasilitas fisik, sistem perjanjian dalam hal waktu tunggu, jumlah
dan jenis keluhan yang diterima oleh sistem layanan kesehatan.
Terdapat beberapa metode yang dipergunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan
(Kotler, 2002).
1. Sistem keluhan dan saran dengan penyediaan kotak saran, hotline service, dan lain-lain
kualitas layanan terhadap kesetiaan pasien di Teheran Iran menunjukkan patient loyalty
dapat berupa membicarakan hal yang positif tentang faskes dari mulut kemulut, kemauan
untuk merekomendasikan faskes tersebut kepada teman sampai kemauan menggunakan
faskes itu kembali sangat dipengaruhi oleh kepuasannya terhadap mutu layanan faskes
yang ditunjukkan dengan empat dimensi mutu yaitu kehandalan, komunikasi, empati, bukti
fisik dan biaya (Arab et al., 2012). Hasil penelitian di India menunjukkan, bahwa kepuasan
pasien diantaranya ditentukan oleh kualitas layanan yang diberikan oleh provider, sikap,
perilaku tenaga kesehatan dan biaya yang dikeluarkan. Keterlibatan provider dalam
pelayanan kesehatan sering dikaitkan atau berujung pada kepuasan pasien, sehingga
kepuasan pasien ini akan mempengaruhi loyalitasnya pada provider tersebut yaitu berupa
merekomendasikan provider pada koleganya, kepatuhan dan mau menggunakan kembali
pelayanan bahkan untuk tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau lebih mahal (Naidu,
2009). Terdapat pula hasil penelitian, bahwa terdapat hubungan antara kepuasan dan minat
kunjungan ulang pasien ke Puskesmas di Kota Bekasi yang bermakna secara statistik
(Prastiwi & Ayubi, 2008). Kepuasan pasien merupakan hal yang penting dalam era
persaingan di dunia kesehatan saat ini, dimana pasien yang merasakan kepuasan akan
membuat mereka loyal untuk tetap memakai jasa layanan di faskes tersebut dan pelanggan
yang setia tentunya akan membuat faskes mampu bersaing dan bertahan.
Pekerja Penerima Upah terdiri atas:
a. Pegawai Negeri Sipil;
b. Anggota TNI;
c. Anggota Polri;
d. Pejabat Negara;
e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;
f. pegawai swasta; dan
g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima Upah
Anggota keluarga bagi pekerja penerima upah meliputi:
1. istri atau suami yang sah dari Peserta; dan
2. anak kandung, anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan kriteria:
a. tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; dan
b. belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun
yang masih melanjutkan pendidikan formal.
Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat juga mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain.
Pekerja Bukan Penerima Upah terdiri atas:
a. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
Bukan Pekerja terdiri atas:
a. investor;
b. Pemberi Kerja;
c. penerima pensiun;
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan; dan
f. bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu
membayar iuran
Iuran Jaminan Kesehatan sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta,
Pemberi Kerja dan/atau Pemerintah untuk program Jaminan Kesehatan ( Perpres No. 12
tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan) bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan dibayar oleh
Pemerintah. Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja.
Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan peserta bukan
pekerja dibayar oleh Peserta yang bersangkutan. Besarnya iuran jaminan kesehatan
ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Setiap peserta wajib membayar iuran yg besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu
jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah & PBI).
Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan:
BPJS Kesehatan membayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan
Kapitasi.
Sedangkan untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan BPJS membayaran cara
INA CBGs. (sistem paket)
Jika disuatu daerah tidak memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi , BPJS
Kesehatan diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain yang
lebih berhasil guna.
7. Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri
Sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba
Pembiayaan Pelayanan Dokter Keluarga
Menyelenggarakan pelayanan dokter keluarga tentu memerlukan ketersediaan dana yang
cukup. Tidak hanya untuk pengadaan sarana dan prasarana medis dan nonmedis yang
diperlukan (investment cost) tetapi juga untuk membiayai pelayanan dokter keluarga yang
diselenggarakan (operational cost). Mekanisme pembiayaan yang sering ditemukan pada
pelayanan kesehatan ada dua macam yaitu:
1. Pembiayaan secara tunai (fee for service) yang artinya setiap kali pasien datang ke
dokter keluarga maka akan membayar biaya pelayanan.
2. Pembiayaan melalui asuransi kesehatan (health insurance) yang artinyasetiap kali
pasien datang ke dokter keluarga tidak perlu membayar secara tunai karena
pembayaran tersebut telah ditanggung oleh pihak ketiga yaitu badan asuransi.
Bentuk Pembiayaan Pelayanan pada Dokter Keluarga
Menurut Azwar (1996) bentuk pembiayaan atau pembayaran yang dilakukan oleh badan
asuransi kepada penyedia pelayanan kesehatan memiliki banyak jenis. Bentuk yang paling
lama dikenal adalah pembiayaan/pembayaran atas dasar tagihan (reimbursement).
Pembayaran ini dilakukan oleh badan asuransi kepada penyedia pelayanan kesehatan
sesuai tagihan yang diberikan. Dalam perjalanannya, pembayaran ini menimbulkan banyak
masalah baik dari segi administrasi maupun penyalahgunaan pelayanan. Keadaan ini tentu
akan memberatkan badan asuransi dan berdampak pada kenaikan premi peserta asuransi,
hal ini dapat memicu biaya kesehatan akan terus meningkat.
Mengatasi masalah tersebut, badan asuransi mulai memperkenalkan bentuk pembayaran
pra-upaya (pre-payment). Pembayaran pra-upaya adalah sistem pembayaran oleh badan
asuransi kepada penyedia pelayanan kesehatan yang besar biayanya dihitung di muka dan
penyedia pelayanan menerima besar biaya tersebut tanpa memerhatikan biaya ril yang
dikeluarkan oleh penyedia pelayanan untuk pelayanan yang diberikan. Pembiayaan praupaya saat ini digunakan adalah
1. Sistem kapitasi (capitation system)
Sistem kapitasi adalah sistem pembayaran di muka yang dilakukan badan asuransi kepada
penyedia pelayanan kesehatan berdasarkan kesepakatan harga yang dihitung untuk setiap
peserta untuk jangka waktu tertentu. Dengan sistem pembayaran kapitasi, besar biaya yang
dibayar oleh badan asuransi kepada penyedia pelayanan kesehatan tidak ditentukan oleh
frekwensi penggunaan pelayanan kesehatan oleh peserta melainkan ditentukan oleh jumlah
peserta dan kesepakatan jangka waktu jaminan.
2. Sistem paket (packet system)
Sistem paket adalah sistem pembayaran di muka yang dilakukan badan asuransi kepada
penyedia pelayanan kesehatan berdasarkan kesepakatan harga yang dihitung untuk suatu
paket pelayanan kesehatan tertentu. Dengan sistem pembayaran paket, besar biaya yang
dibayar oleh badan asuransi kepada penyedia pelayanan kesehatan tidak ditentukan oleh
jenis pelayanan kesehatan yang diberikan melainkan paket pelayanan kesehatan yang
dimanfaatkan.
3. Sistem anggaran (budget system)
Sistem anggaran adalah sitem pembayaran di muka yang dilakukan oleh badan asuransi
kepada penyedia pelayanan kesehatan berdasarkan kesepakatan harga, sesuai dengan besar
anggaran yang diajukan penyedia pelayanan kesehatan. Pembayaran dengan sistem
anggran besarnya biaya yang dibayar oleh badan asuransi kepada penyedia pelayanan
kesehatan tidak ditentukan oleh jenis pelayanan yang diberikan melainkan berdasarkan
besar anggran yang telah disepakati.
PT. Askes masih menerapkan fee for services dalam sistem pembayarannya pada penyedia
pelayanan kesehatan menjelang tahun 1980-an. Awal tahun 1980-an, PT. Askes
menerapkan konsep kapitasi (capitation) bagi rawat jalan tingkat pertama dan tarif paket
bagi perawatan rumah sakit. Tahun 1987, konsep kapitasi diterapkan di seluruh Indonesia
bagi pelayanan rawat jalan tingkat pertama. Sistem pembayaran kapitasi menitikberatkan
PPK sebagai penanggung risiko. Demikian pula tarif paket rawat inap dan tarif rawat jalan
tingkat lanjutan diterapkan di seluruh rumah sakit di Indonesia. Sejak tahun 1987, PT.
Askes menerapkan standar obat dan plafon harga (DPHO) bagi peserta Askes sosial
(Sulastomo, 2000).