Professional Documents
Culture Documents
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis dapat dilakukan kepada pasien secara langsung apabila kondisinya
memungkinkan, namun dapat ditanyakan pula pada orang terdekat atau orang yang
mengantar pasien ke dokter. Sesuai dengan kasus, pertanyaan yang diajukan dapat
meliputi identitas diri, keluhan utama, sejak kapan keluhan utama muncul, keluhan
lain yang mungkin dirasakan, riwayat penyakit yang diderita saat ini, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, pengobatan yang sudah dilakukan dan kondisi
sosial ekonomi pasien.
Untuk keluhan sesak nafasnya, perlu ditanyakan: apakah dirasakan terus
menerus, apakah dirasakan makin berat atau makin membaik, apakah aktivitas (saat
berolahraga) memperberat rasa sesak atau memicu terjadinya sesak nafas. Tanyakan
apakah wheezing hilang timbul (jika hilang timbul, ditanyakan timbulnya saat apa),
apakah disertai dengan batuk (jika pasien mengelukan adanya batuk, tanyakan juga
frekuensi, warna dahak yang dikeluarkan, dan juga apakah disertai darah). Tanyakan
juga kemungkinan riwayat paparan alergen seperti memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah, apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar
tidur, apakah sesak karena bau-bauan (parfum, spray pembunuh serangga).3
Tanyakan riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal,
merah, dan berair (konjungtivitis alergi), eksem atopi, batuk yang sering kambuh
(kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di
rumah atau lingkungan kerja. Tanyakan obat yang digunakan pasien, apakah ada beta
blocker, aspirin atau steroid.3
Pemeriksaan Fisik4
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan kesadaran,
pemeriksaan tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan
awal dilakukan untuk menentukan kondisi pasien dan mencari risiko untuk terjadinya
gagal nafas. Episode akut asma bisa bermula dengan simptom yang ringan seperti
dyspnea. Dengan obstruksi saluran pernafasan yang semakin memburuk, respiratory
distress,termasuk retraksi, penggunaan otot abdomen sewaktu ekspirasi, dan tidak bisa
berbicara satu atau dua kata bisa ditemukan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi: tekanan darah, nadi, frekuensi napas,
dan suhu badan. Tanda vital bisa menunjukkan takikardia dan hipertensi. Peak flow
rate haruslah diperiksa sebagai tanda vital pada anak-anak yang kooperatif. Jika tidak
diberi pengobatan, obstruksi saluran nafas yang lama dan usaha untuk bernafas yang
meningkat bisa menyebabkan bradikardia, hipoventilasi, dan cardiorespiratory arrest.
Pada inspeksi dilihat apakah bentuk dada simetris, tertinggal pada gerakan
napas, dan apakah trakea terletak ditengah. Hidung, rongga mulut, hendaknya
diperiksa bila ada sumbatan. Jika diperlukan sputum dapat diperiksa untuk mencari
adanya sel radang terutam eosinofil dan bakteri. Perhatikan apakah ada massa tumor,
edema, peninggian tekanan vena jugularis, dan pembesaran kelenjar getah bening.
Pada palpasi dilakukan perabaan untuk melihat adanya rasa nyeri, tumor/benjolan,
penyempitan/pelebaran sela iga, dan pergerakan thoraks.
Pada pemeriksaan auskultasi, didengarkan apakah ada bunyi patologis. Pada
penderita
asma
akan didapatkan
bunyi
wheezing. Bunyi
wheezing
dapat
dikalsifikasikan menjadi dua yaitu lokal dan merata. Wheezing yang terjadi lokal atau
setempat mungkin disebabkan oleh obstruksi seperti pada karsinoma bronkus dan
benda asing atau stenosis yang menetap, sifat wheezingnya monotonal. Sedangkan
wheezing yang tersebar luas dapat disebabkan oleh bronchitis kronik, emfisema, atau
penyakit paru obstruktif kronik. Wheezing yang sifatnya intermiten (misalnya hanya
pada malam hari/dini hari) mengarah ke asma, sedangkan bila terjadi pada waku
berbaring mungkim edema paru atau aspirasi. Wheezing yang terjadi tiba-tiba dan
lokal mungkin disebabkan oleh benda asing atau edema paru.
Pemeriksaan Penunjang5,6
1. Uji Faal Paru
Uji faal paru dikerjakan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil
provokasi bronkus, menilai hasil pengobatan, dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma ialah PEFR (peak expiratory flow
rate), FEV1 (forced expiratory volume 1 second), FVC (forced vital capasity),
FEV1/FVC. Uji faal paru tidak selalu mudah dilakukan terutama pada anak dibawah
umur 5-6 tahun. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap
kunjungan. Peak flow meter adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan
spirometer memberikan data yang lebih lengkap.
FVC, PEFR, dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya.
Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan
FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi berlebihan yang biasanya gterlihat secara
klinis akan digambarkan sebagai meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas
residu fungsional dan isi residu. Di luar serangan, faal paru tersebut umumnya akan
kembali normal kecuali pada asma yang berat.
Bila
ada
infeksi
mungkin
akan
didapatkan
pula
lekositosis
banyak tuberculosis, tetapi juga karena kalau ada tuberculosis dan tidak diobati,
asmanya pun mungkin sukar dikontrol.
3. Foto Rontgen Toraks
Pemeriksaan ini perlu dilakukan dan pada foto akan tampak corakan paru yang
meningkat. Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik.
Atelektasis juga sering ditemukan. Setiap anak penderita asma yang berkunjung
pertama kalinya perlu dibuat foto rontgen parunya. Foto ini dibuat terutama untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit lain. Foto perlu diulang bila ada
indikasi misalnya dugaan adanya pneumonia atau pneumotoraks. Rontgen foto sinus
paranasalis perlu juga bila asmanya sulit terkontrol.
3. Etiologi6
Rangsangan yang dapat mencetus serangan asma dapat dikelompokkan dalam
tujuh kategori besar: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi,
berhubungan dengan olahraga, dan emosional. Alergen pada asma alergik bergantung
pada respon IgE yang dikontrol oleh limfosit T dan B dan diaktivasi oleh interaksi
antigen dengan ikatan sel mast IgE. Sebagian besar alergen asma tersebar oleh
udara, dan untuk menghasilkan status sensitivitas membutuhkan waktu yang cukup
lama. Setelah terjadi sensitisasi, pasien dapat menampakkan respon yang hebat,
bahkan kontak dalam hitungan menit dapat menghasilkan eksaserbasi signifikan pada
penyakit ini. Asma alergik biasanya musiman, paling banyak ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. Sedangkan yang bukan musiman dapat ditimbulkan dari
alergi terhadap bulu, serpihan kulit binatang, kutu debu, jamur, dan antigen
lingkungan lain yang ada secara kontinyu.
Rangsangan farmakologis juga dapat menyebabkan asma. Obat yang paling
sering berhubungan dengan fase akut asma adalah aspirin (NSAID), zat warna seperti
tartazin, antagonis -adrenergik, dan senyawa sulfit. Tipe yang sensitif aspirin
terutama pada orang dewasa, walaupun terdapat juga pada anak-anak. Terdapat
reaktivitas silang antara aspirin dengan NSAID yang menginhibisi prostaglandin G/H
sintase 1. Pasien dengan sensitivitas terhadap aspirin dapat didesensitisasi dengan
pemberian aspirin harian, sehingga terjadi toleransi silang dengan NSAID lainnya.
Antagonis -adrenergik pada individ dengan asma dapat menghambat saluran
napas dengan meningkatkan reaktivitas saluran napas dan harus dihindari. Bahkan
antagonis -adrenergik selektif beta 1 memiliki kecenderungan tersebut dalam dosis
yang lebih tinggi. Terdapat fakta bahwa penggunaan lokal penghambat beta 1 pada
mata untuk mengobati glaukoma berhubungan dengan memburuknya asma. Senyawa
sulfit, yang digunakan secara luas pada makanan dan industri farmasi sebagai zat
untuk sanitasi dan pengawet, dapat menimbulkan penyumbatan saluran napas bagi
orang yang sensitif. Paparan terjadi karena memakan makanan dan obat-obatan yang
mengandung zat-zat tersebut.
Faktor lingkungan juga diketahui dapat menimbulkan asma. Penyebab asma
dari lingkungan biasanya berkaitan dengan kondisi iklim yang meningkatkan
konsentrasi polutan dan antigen atmosfir. Kondisi ini terdapat pada wilayah indutri
berat dan perkotaan padat dan seringkali nerhubungan dengan perubahan suhu atau
siluasi lain yang menimbulkan udara tidak mengalir. Dalam keadaan ini, walaupun
8
populasi secara umum dapat mengalami gangguan pernapasan, pasien dengan asma
dan penyakit pernapasan yang lain dapat terpengaruh lebih buruk.
Pekerjaan seseorang bisa dihubungkan pula dengan terjadinya asma, sebab
dari hasil laporan diketahui bahwa bbstruksi saluran parnapasan akut dan kronis
berkaitan dengan paparan sejumlah besar senyawa yang digunakan dalam berbagai
macam industri (umumnya senyawa dengan berat molekul tinggi). Senyawa dengan
berat molekul tinggi menimbulkan asma dengan menghasilkan reaksi imunologis,
sedangkan senyawa dengan berat molekul rendah merupakan senyawa yang memiliki
efek konstriktor bronkus.
Infeksi saluran napas merupakan rangsangan yang paling sering menimbulkan
eksaserbasi akut pada asma. Virus saluran napas dan bukan bakteri atau alergi
terhadap mikroorganisme adalah faktor etiologi yang paling utama. Pada anak yang
masih kecil, penyebab infeksi yang paling penting adalah virus pernapasan sinsisial
dan virus parainfluenza. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, Rhinovirus
dan virus influenza merupakan patogen yang dominan.
Kegiatan olahraga dapat pula menimbulkan asma. Biasanya serangan timbul
setelahnya, dan tidak timbul selama olahraga. Semakin tinggi tingkat ventilasi dan
semakin dingin udara menentukan parahnya obstruksi saluran napas. Mekanisme yang
ditimbulkan oleh olahraga dalam menimbulkan obstruksi berhubungan dengan
hiperemia yang dipengaruhi suhu dan kebocoran kapiler pada dinding saluran napas.
Faktor psikologis yang dapat memperburuk atau meringankan asma. Perubahan pada
diameter saluran napas berhubungan dengan aktivitas eferen n.vagus, tetapi mungkin
juga endorfin memiliki peran. Peran faktor psikologis mungkin bervariasi antara satu
pasien dengan yang lain dan antara satu serangan dengan serangan yang lain.
4. Patofisiologi Asma5,6
Seperti telah dikemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya asma, sehingga belum ada patogenesis yang dapat menerangkan semua
penemuan pada penyakit asma. Tampilan fisiologis dan klinis asma berasal dari
interaksi antara jaringan dengan sel radang yang berinfiltrasi pada epitel permukaan
saluran napas, mediator radang, dan sitokin. Sel yang memiliki peranan yang penting
dalam respon radang adalah sel mast, eosinofil, limfosit, dan sel epitel saluran napas.
Sel mast dapat terangsang oleh berbagai pencetusan misalnya alergen, infeksi,
exercise, dan lain-lain.
9
Setiap jenis sel tersebut dapat mengeluarkan mediator dan sitokin untuk
menginisiasi dan mengamplifikasi inflamasi akut dan juga perubahan patologis dalam
jangka panjang. Mediator yang dilepaskan menghasilkan reaksi radang yang cepat
dan hebat dan menimbulkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular, pembentukan
edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport mukosiliaris.
Reaksi cepat tersebut dapat diikuti dengan reaksi yang kronis.
Eosinofil memiliki peran yang penting dalam komponen infiltratif. Interleukin
(IL) 5 menstimulasi pelepasan sel-sel ini ke dalam sirkulasi dan bertahan. Jika telah
teraktivasi, sel-sel ini menjadi sumber kaya leukotrien, dan melepaskan protein
granuler dan radikal bebas derivat oksigen mampu merusak epitel saluran napas,
kemudian masuk ke lumen bronkial dalam bentuk badan Creola. Disamping
menghilangkan fungsi sawar dan sekretori, kerusakan tersebut merangsang
pengeluaranan sitokin kemotaktik, yang menimbulkan peradangan lebih lanjut.
sungkup untuk mengatasi dan mencegah hipoksemia. Oksigen dapat diberikan dalam
dosis tinggi 4-6L/menit pada penderita berat. Inhalasi agonis 2 saat ini merupakan
pilihan pertama. Diberikan salbutamol 2.5-5mg atau terbutalin 2.5-5mg secara
nebulisasi, dapat diulang setiap 20 menit dalam 1 jam. Bila nebulizer tidak tersedia,
inhalasi dapat diberikan dengan mempergunakan inhaler dosis terukur yang diengkapi
dengan spacer (nebuhaler, volumatik) 4-8 semprot perkali dulang sampai 20 menit
dalam 1 jam. Injeksi agonis 2 atau simpatomimetik lainnya, salbutamol, terbutalin,
atau orsiprenalin dapat diberikan 0.5-1ml subkutan diulang setelah 30 menit.
Adrenalin 1/1000, merupakan obat murah dan selalu tersedia dapat diberikan
secara subkutan 0.2-0.5cc, biasanya 0.3cc, dapat diulang sampai 2-3 kali dengan
interbal 30-60 menit. Injeksi agonis 2 dan juga adrenalin diberikan harus dengan
sangat hati-hati. Sebaliknya tidak diberikan pada penderita dengan hipertensi,
hipertiroid, kelainan jantung, dan usia lanjut atau umur lebih dari 40 tahun.
Aminofilin injeksi diberikan dengan dosis 5-6 mg/kg berat badan diencerkan dalam
12
larutan dekstrose 5% sama banyak, diberikan secara intravena sebagai bolus perlahanlahan dalam waktu 10-15 menit, atau dalam infus 100cc dekstrose 5% NaCl 0,9%
dalam waktu 20 menit. Dosis diberikan separuhnya, apabila dalam 12 jam
sebelumnya telah mendapat aminofilin.
Ipratropium bromid dapat digunakan sendiri maupun dalam kombinasi dengan
agonis 2 melalui inhalasi dengan nebulasi, penambahan ini tidak diperlukan bila
respons dengan agonis 2 sudah cukup baik. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi
harus segera diberikan pada penderita asma akut berat. Steroid pilihan adalah yang
bekerja cepat, hidrokortison 200mg intravena atau metilprednison injeksi atau tablet
30-60mg, atau keduanya.
Setelah dilakukan pengobatan awal dengan bronkodilator dan steroid, terhadap
penderita dilakukan pemantauan mengenai klinis setiap 15 menit, setelah 30 menit
dilakukan evaluasi. Apabila tidak terjadi perbaikan sama sekali terhadap terapi awal
atau malah memburuk, maka penderita langsung dirawat inap sebagai status
asmatikus. Penderita yang menunjukan perbaikan namun tidak adekuat, diulang
pemberian bronkodilator dan observasi dilanjutkan selama 60 menit. Bila setelah 60
menit kondisinya menetap atau malah memburuk, langsung dirawat inap. Perbaikan
adekuat bila keadaan klinnis normal. Penderita dengan perbaikan adekuat, diobservasi
lagi selama 60 menit dan kemudian penderita dapat dipulangkan.
6.3
secara inhalasi nebulisasi, penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis 2
sudah memberikan hasil yang baik.
6.4
Penatalaksanaan Lain8
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan elektrolit
serum, dan penilaian adanya asidosis metabolik. Ringer laktat dapat diberikan sebagai
terapi awal untuk rehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolik diberikan natrium
bikarbonat. Mukolitik dan ekspetorans dapat diberikan, walaupun manfaatnya
diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan napas berat, ekspektoran seperti obat
batuk hitan dan gliseril guaikolat dapat diberikan. Demikian juga mukolitik
bromeksin maupun N-asetilsistein.
Antibiotik diberikan kalau jelas ada tanda-tanda infeksi seperti demam,
sputum purulen dengan neutrofil leukositosis. Obat-oabatan sedatif merupakan
indikasi kontra, kecuali di ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak
terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat, malahan dapat menyebabkan
pengerikan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
6.5
menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200400ug/hari budesonide (100-200ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12
tahun, 400-600ug/hari budesonid (200-300ug/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting -2 Agonist) atau
ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane
Receptor (ALTR).
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400ug/haribudesonid
(>200ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan>600ug/hari
budesonid (>300ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12tahun atau tetap
dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan
LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu
dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas
hidupnya.
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan
14
(zafirlukas)
pernah dilaporkan
adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya
ketotifen dansetirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan
asma tiperinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan
kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan
karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal
atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
15
yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada pada konsentrasi yang cukup untuk
merangsang asma dalam waktu yang lama.
8. Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma
letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
entuk dada brung dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Pada asma
kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.9
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung
lama
dapat
berubah
menjadi
bronkiektasis
dan
bila
ada
infeksi
terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat
dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak
dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagak jantung,
bahkan kematian.1
9. Prognosis5
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. sebagian besar
asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma
episodic jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang
menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. Dua puluh persen asma episodic sering
sudah tidak timbul pada masa akil baliq, 60% tetap sebagai asma episodic sering dan
sisanya sebagai asma episodic jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang
dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodic jarang. Secara
keseluruhan dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai dengan umur 21
tahun asmanya sudah menghilang. Prognosis buruk jika anak dibawa terlambat saat
terjadi serangan asma berat.
17
Kesimpulan
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan
bronkus oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luas
saluran napas bagian bawah. Rangsangan yang dapat mencetus serangan asma antara
lain: alergenik, farmakologik, lingkungan, pekerjaan, infeksi, berhubungan dengan
olahraga, dan emosional. Patofisiologi asma terkait dengan terjadinya proses radang
yang kemudian dengan cepat menimbulkan konstriksi bronkus, kongesti vaskular,
pembentukan edema, meningkatkan produksi mukus, dan menghambat transport
mukosiliaris.. Penatalaksanaan asma ditujukan untuk meredakan penyempitan jalan
napas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke
keadaan normal secepatnya, dan untuk mencegah kekambuhan.
Daftar Pustaka
1. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, et al. Harrisons principle of internal
medicine. 2nd Ed. USA: McGraw-Hill; 2012.
2. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta: EGC;
2000.
3. Rengganis I. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkial, November 2008. Majalah
kedokteran indonesia. Volume 58. No. 11.
4. Setiati S, Purnamasari D, Rinaldi I, Ranitya R, Pitoyo CW. Lima puluh masalah
kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Edisi 1. Jakarta; FKUI; 2008.h.202-5.
5. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Ilmu kesehatan anak. Edisi 11. Jakarta;
Infomedika; 2007.h.1198-228.
6. Sundaru H, Sukamto. Buku ajar ilmu penyakit dalam: asma bronkial. Jilid I. Ed 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h404-14.
7. Supriyanto B. Tatalaksana serangan asma pada anak. Dalam: Departemen ilmu
kesehatan anak FKUI. Edisi 1. Jakarta; Balai penerbit FKUI; 2004.h.60-9.
8. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan medik: pedoman penatalksanaan
praktis. Jakarta: Binarupa Aksara;2000.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 2004.
18