Salah satu hal penting untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal adalah
dengan memperhatikan kesehatan wanita, khususnya kesehatan reproduksi karena
hal
tersebut
berdampak luas,
menyangkut
berbagai
aspek
kehidupan, serta
merupakan parameter kemampuan negara dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan terhadap masyarakat (Pratiwi, 2013). Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan reproduksi merupakan suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial secara utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi, serta prosesnya (Romauli, 2009: 1). Salah satu masalah kesehatan reproduksi wanita adalah mioma uteri dengan insiden yang terus meningkat. Jumlah kejadian penyakit ini di Indonesia menempati urutan kedua setelah kanker serviks (Pratiwi, 2013). Di Indonesia, mioma uteri di temukan 3,39% - 12,9% pada semua penderita ginekologi yang di rawat di RSUD (Aftisari, 2014) Mioma uteri merupakan tumor jinak otot rahim, disertai jaringan ikatnya, sehingga dapat dalam bentuk padat karena jaringan ikatnya dominan dan lunak karena otot rahimnya dominan (Marmi, 2011: 210). Mioma uteri terjadi pada 20-25% perempuan diusia reproduktif, tetapi oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti. Insidennya 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna (Winkjosastro, 2011: 274). Kebanyakan mioma tidak menimbulkan gejala. Sehingga tidak memerlukan penanganan. Tetapi masalah dapat timbul jika terjadi perdarahan abnormal uterus yang
berlebihan sehingga mengakibatkan anemia, penekanan pada kandung kemih yang
menyebabkan sering berkemih dan urgensi, serta potensial untuk terjadinya sistisis, penekanan pada rektum menyebabkan konstipasi dan nyeri jika tumor berdegenerasi atau jika terjadi torsi dari mioma bertangkai (Price, 2006: 1923).