You are on page 1of 30

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat yang berjudul Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM) dapat kami selesaikan.
Tugas ini kami buat untuk memenuhi persyaratan dalam menjalankan
Kepaniteraan Klinik di SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat yang kami jalani di
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih kepada dr. Sukma Sahadewa,M.kes selaku pembimbing
dalam penyusunan tugas IKM ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mohon kritik dan saran untuk kesempurnaanya.

Surabaya, September 2014

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................

ii

JUDUL SKENARIO...........................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................
B. Rumusan Masalah ......................................................................
C. Tujuan .........................................................................................

BAB II

2
4
4

ANALISIS KASUS
A. Analisis Secara Epidemiologi ..................................................... 5
B. Kausa dan Alternatif Kausa......................................................... 7
C. Alternatif Penyelesaian Masalah dan Prioritas Pemecahan
Masalah yang dipilih................................................................... 10

BAB III RENCANA PROGRAM


A. Pendekatan Melalui Konsep Kesehatan Masyarakat .................. 12
B. Pendekatan Melalui Pengembangan Organisasi ......................... 15
BAB IV KESIMPULAN/SARAN ................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 32

JUDUL SKENARIO
SANITASI TOTAL BERBASIS MASYARAKAT (STBM)

"Desa Duren adalah salah satu desa di wilayah kecamatan Madurasa kabupaten
Madangkara. Desa tersebut terdiri atas 4 RW (rukun warga) dan 14 RT (rukun
tetangga), dihuni oleh 3809 jiwa dalam 1008 kepala keluarga. Proporsi
pekerjaan penduduk didominasi oleh pekerja swasta, menyusul pekerjaan petani
atau buruh tani dan sedikit yang bekerja di lembaga pemerintahan atau lembaga
formal lainnya. Tingkat pendidikan penduduk dewasa umumnya lulusan SD dan
SMP dan hanya sedikit yang mengenyam pendidikan tinggi. Dalam catatan
Puskesmas Madurasa desa ini hanya memiliki 487 jamban (kakus) dan 3 buah
fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK). Kebiasaan Open Defecation (OD) sudah
menjadi kebiasaan di masyarakat Duren.
Menghadapi keadaan desa ini, dr. Anggie, kepala Puskesmas Madurasa, cukup
resah apalagi angka kesakitan penyakit berbasis saluran alat cerna juga masih
cukup tinggi. Dalam membina kesehatan masyarakat Desa Duren memiliki kepala
desa dengan perangkatnya yang cukup kooperatif dan telah membina 20 kader
kesehatan. Dr.Anggie bertekad untuk meningkatkan perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) dengan mendorong masyarakat memiliki fasilitas yang berkaitan
dengan program tersebut secara swadaya, sehingga tercapai Open Defecation
Free (ODF) sesuai konsep "Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) ".

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Pada tahun 2008 telah diputuskan strategi nasional Sanitasi Total Berbasis

Masyarakat melalui Kepmenkes no.852/menkes.SK/IX/2008. Strategi ini menjadi


acuan bagi petugas kesehatan dan instasi terkait dalam penyusunan perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terkait dengan Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai STBM
adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui
pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Komunitas merupakan
kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial berdasarkan kesamaan
kebutuhan dan nilai-nilai untuk meraih tujuan. Open Defecation Free yang
selanjutnya disebut sebagai ODF adalah kondisi ketika setiap individu dalam
komunitas tidak buang air besar sembarangan. Cuci Tangan Pakai Sabun adalah
perilaku cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.
Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai PAMRT
adalah suatu proses pengolahan, penyimpanan dan pemanfaatan air minum dan air
yang digunakan untuk produksi makanan dan keperluan oral lainnya seperti
berkumur, sikat gigi, persiapan makanan/minuman bayi.
Tantangan yang dihadapi Indonesia terkait dengan masalah air minum,
higiene dan sanitasi masih sangat besar. Hasil studi Indonesia Sanitation Sector
Development Program (ISSDP) tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masih
berperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka.
Berdasarkan studi Basic Human Services (BHS) di Indonesia tahun 2006, perilaku
masyarakat dalam mencuci tangan adalah setelah buang air besar 12%, setelah
membersihkan tinja bayi dan balita 9%, sebelum makan 14%, sebelum memberi
makan bayi 7%, dan sebelum menyiapkan makanan 6 %.
Sementara studi BHS lainnya terhadap perilaku pengelolaan air minum
rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan air minum,

tetapi 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli. Kondisi
tersebut berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di Indonesia. Hal
ini terlihat dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per
seribu penduduk pada semua umur dan 16 provinsi mengalami Kejadian Luar
Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52.
Pemerintah telah memberikan perhatian di bidang higiene dan sanitasi
dengan menetapkan Open Defecation Free dan peningkatan perilaku hidup bersih
dan sehat pada tahun 2009 dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2004 - 2009. Hal ini sejalan dengan komitmen
pemerintah dalam mencapai target Millennium Development Goals (MDGs)
tahun 2015, yaitu meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar secara
berkesinambungan kepada separuh dari proporsi penduduk yang belum
mendapatkan akses.
Banyaknya penyakit berbasis saluran cerna dan kebiasaan open defecation
yang tinggi serta perilaku hidup bersih sehat (PHBS) yang rendah dan tingkat
pendidikan yang rendah serta kepemilikan jamban yang rendah di Desa Duren
Kecamatan Madurasa Kabupaten Madangkara adalah hal yang menarik untuk
dibahas pada makalah ini.
B.

Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebiasaan open defecation (OD) ?
2. Bagaimana cara mengatasi kebiasan open defecation (OD) pada
3.

masyarakat desa Duren ?


Berapa jumlah ideal jamban yang harus dimiliki masyarakat desa

4.

Duren?
Bagaimana kebiasaan open defecation (OD) dapat meningkatkan angka

5.

kesakitan penyakit saluran cerna ?


Bagaimana cara meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
untuk tercapainya open defecation sesuai konsep sanitasi total berbasis
Masyarakat ?

C.

Tujuan
1. Menjelaskan masalah kebiasaan OD

2.
3.

Menjelaskan masalah kepemilikan jamban di Desa Duren


Menjelaskan akibat kebiasaan OD terhadap peningkatan angka

4.
5.

kesakitan penyakit berbasis saluran alat cerna (diare, kecacingan)


Menjelaskan ruang lingkup perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Menjelaskan berbagai fasilitas yang seharusnya dimiliki untuk

6.

menunjang PHBS
Menjelaskan peranan PHBS dalam pengendalian penyakit saluran

7.
8.

pencernaan
Memahami konsep STBM dalam menunjang PHBS
Menyusun perencanaan yang dapat dilaksanakan oleh Puskesmas dalam
mencapai ODE

BAB II
ANALISIS KASUS

A.
1.

Analisis kasus
Analisis Secara Epidemiologi
Open Defecation (OD) merupakan perilaku yang tidak sehat sebagai

penyebab pencemaran lingkungan yang akan berpengaruh terhadap terjadinya


penyakit infeksi (Murwati, 2012). Berdasarkan data WHO pada tahun 2010
diperkirakan sebesar 1,1 miliar orang atau 17% penduduk dunia masih melakukan
open defecation (OD), sedangkan menurut data Direktorat Jendral Cipta Karya
jumlah masyarakat Indonesia yang masih melakukan open defecation (OD)
diperkirakan sebesar 40 juta atau 20% dari total penduduk Indonesia.
Prevalensi penyakit akibat sanitasi buruk di Indonesia adalah penyakit diare
sebesar 72%, kecacingan 0,85%, scabies 23%, trakhoma 0,14%, hepatitis A
0,57%, hepatitis E 0,02% dan malnutrisi 2,5%, sedangkan kasus kematian akibat
sanitasi buruk adalah diare sebesar 46%, kecacingan 0,1 %, scabies 1,1 %,
hepatitis A 1,4% dan hepatitis E 0,04%.
Penyebab penyakit Infeksi yang berhubungan dengan sanitasi buruk adalah
bakteri, virus, parasit dan jamur.9,10 Proses transmisi agent penyebab infeksi
tersebut melalui " 4 F " yaitu Fluids, Fields, Flies dan Fingers, siklus ini dimulai
dari kontaminasi tinja manusia melalui pencemaran air dan tanah, penyebaran
serangga dan tangan kotor yang dipindahkan ke makanan sehingga dikonsumsi
oleh manusia atau fecal - oral transmission.4,6,11,12 Proses penularan penyakit
tersebut dipengaruhi oleh karakteristik penjamu (imunitas, status gizi, status
kesehatan, usia dan jenis kelamin) dan perilaku penjamu (kebersihan diri dan
kebersihan makanan).
Dalam suatu studi disebutkan bahwa meningkatnya sistem pembuangan
tinja efektif mencegah kejadian diare.1 Sebuah di Indonesia menyebutkan bahwa
keluarga yang buang air besar sembarangan (OD) dan tidak mempunyai jamban
berrisiko 1,32 kali anaknya terkena diare akut dan 1,43 kali terjadi kematian pada

anak usia dibawah lima tahun dan sarana jamban berisiko 17,25 kali terkena diare
pada bayi dan balita. Perilaku penjamu dipengaruhi berbagai faktor, berdasar
penelitian berkaitan dengan penggunaan jamban dan perilaku BABS menyebutkan
bahwa pengetahuan dan sikap ibu terhadap perilaku buang air besar (BAB) yang
sehat cukup tinggi (90%) dan 93,7% toilet dipastikan berfungsi dengan baik tetapi
12,2 % keluarga tidak memakai toilet secara teratur.19 Didalam penelitian lain
menunjukkan bahwa perubahan perilaku buang air besar sembarangan tergantung
kesadaran seseorang untuk menggunakan fasilitas, akses jamban dan persepsi
seseorang tentang tinja dan hubungannya dengan penyakit.
Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 1.1 milyar
orang atau 17% penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka, dari data
tersebut diatas sebesar 81% penduduk yang BABS terdapat di 10 negara dan
Indonesia sebagai Negara kedua terbanyak ditemukan masyarakat buang air besar
di area terbuka, yaitu India (58%), Indonesia (5%), China (4,5%), Ethiopia
(4,4%), Pakistan (4,3%), Nigeria (3%), Sudan (1,5%), Nepal (1,3%), Brazil
(1,2%) dan Niger (1,1%).
Di Indonesia, penduduk yang masih buang air besar di area terbuka sebesar
5% merefleksikan 26% total penduduk Indonesia. Hasil Riskesdas 2010
menunjukkan penduduk yang buang air besar di area terbuka sebesar 36,4%
Sedangkan akses sanitasi dasar sebesar 55,5 %.
Pendekatan STBM adalah pendekatan partisipatif untuk merubah perilaku
higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.
Hasil akhir pendekatan ini adalah merubah cara pandang dan perilaku sanitasi
yang memicu terjadinya pembangunan jamban dengan inisiatif masyarakat sendiri
tanpa substdi pihak luar serta menimbulkan kesadaran bahwa kebiasaan BABS
adalah masalah bersama karena berimplikasi kepada semua masyarakat sehingga
pemecahannya juga hares dilakukan dan dipecahkan secara bersama.

2.

Kausa dan Alternatif Kausa

Gambar 1. Fish Bone tentang Kausa dan Alternatif Kausa rendahnya kepemilikan
jamban di desa Duren
A.

Sumber Daya Manusia


Tingkat pendidikan masyarakat desa Duren yang rendah menyebabkan

kurangnya pemahaman masyarakat dalam pentingnya kebersihan dan kesehatan.


Status pekerjaan masyarakat desa duren yang didominasi oleh pekerja swasta,
petani atau buruh tani dengan tingkat ekonomi menengah kebawah yang
menyebabkan rendahnya kemampuan tiap kepala keluarga memiliki jamban.
Kedua faktor diatas dapat memicu perilaku hidup tidak bersih dan sehat
salah satunya adalah open defecation (OD) yang menyebabkan terjadinya
peningkatan angka kesakitan penyakit berbasis saluran alat cerna seperti diare,
cacingan, muntaber, dll pada masyarakat desa Duren.

B.

Fasilitas
Keterbatasan kepemilikan jamban mengakibatkan masyarakat di desa Duren

mempunyai kebiasaan open defecation (OD), perilaku tersebut dipengaruhi oleh


faktor internal dan eksternal dalam diri seseorang yang saling berinteraksi. Faktor
internal yaitu karakteristik individu (seperti umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, status ekonomi,dan pekerjaan) mempengaruhi pengetahuan dan sikap
seseorang untuk merespon atau menilai suatu kondisi yang sudah menjadi
kebiasaan, semakin tinggi tingkat pengetahuan dan semakin positif sikap terhadap
manfaat dan keuntungan untuk dirinya, maka semakin cepat pula seseorang untuk
merubah perilaku yang buruk menjadi perilaku yang baik.
Faktor eksternal termasuk faktor lingkungan fisik, biologi, sosial dan
budaya yang saling mendukung dan menguatkan keyakinan seseorang untuk
melakukan suatu tindakan dimana seseorang sebaiknya buang air besar.
Faktor lingkungan fisik seperti ketersediaan air bersih, ketersediaan lahan
untuk membangun jamban dan jarak rumah dengan sungai. Faktor lingkungan
sosial dan budaya adalah adanya dukungan sosial, sangsi sosial dan pembinaan
petugas. Faktor biologi adalah keberadaan agent penyebab penyakit seperti virus,
bakteri dan parasit
C.

Material
Salah satu faktor penyebab rendahnya kepemilikan jamban adalah penduduk

terbentur masalah ekonomi sehingga mereka tidak bisa membuat fasilitas jamban
di rumahnya masing-masing dan lebih senang untuk buang air di sungai, sawah,
atau tempat lain. Mereka juga berpikir dengan adanya fasilitas jamban umum
yang dapat digunakan secara berjemaah maka mereka tidak perlu susah payah
membangun jamban sendiri sehingga dapat mengurangi pengeluaran penduduk.
D.

Metode
Selain faktor manusia, faktor metode juga dapat dikategorikan sebagai salah

satu kausa rendahnya kepemilikan jamban pada penduduk desa Turen ini. Metode
yang dimaksud antara lain penyuluhan, koordinasi lintas sektor atau mungkin
kurangnya motivasi dari tenaga kesehatan, seperti yang telah kita ketahui,
sejatinya penyuluhan dapat memberikan kontribusi besar terhadap perubahan

perilaku penduduk ke arah yang lebih baik. Salah satu contohnya dengan adanya
penyuluhan dapat meningkatkan kesadaran penduduk akan betapa pentingnya
kepemilikan jamban pada suatu desa pada umumnya dan dalam rumah pada
khususnya serta efek yang ditimbulkan bagi penduduk serta lingkungan dengan
adanya jamban pada masing masing rumah.
Tidak lupa tenaga kesehatan juga memegang peranan penting dalam
meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Kalau tidak ada atensi dari tenaga
kesehatan yang terkait serta kurangnya motivasi dari tenaga kesehatan tersebut
maka Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.

3.

Alternatif Penyelesaian Masalah dan Prioritas Pemecahan Masalah


yang Dipilih

Kausa

Alternatif kausa

Alternatif Pemecahan

Pemecahan

Masalah

Masalah

KEBIASAAN OPEN DEFECATION

Terpilih
Rendahnya tingkat
pendidikan
Kebiasaan turun
temurun masyarakat

Pekerjaan

SDM
A. Melakukan
penyuluhan tentang
dampak buruk OD
B. Mengadakan

Melakukan

pengobatan gratis

penyuluhan

bagi kesakitan

tentang

akibat OD
C. Melakukan

masyarakat yang

kunjungan banding

kurang di lembaga

ke daerah lain

dampak buruk
OD

pemerintahan
Kurangnya jamban

Fasilitas
A. Sosialisasi

Proposal

pembangunan

pembangunan

jamban
Material

jamban umum

Ketiadaan program
pembangunan
jamban
Kurangnya
pendanaan

A. Proposal
pembangunan

Proposal

jamban

pembangunan

B. Arisan jamban

Kurangnya jumlah

Metode
A. Menambah jumlah

kader kesehatan

kader kesehatan
dari masyarakat

Kurangnya
penyuluhan

desa
B. Merekrut kader dari
desa lain

jamban umum

Menambah
jumlah kader
kesehatan dari
masyarakat
desa

BAB III
RENCANA DAN PROGRAM
A.

Berbagai Pendekatan
Pendekatan STBM adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan

sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. Pendekatan


partisipatif ini mengajak masyarakat untuk mengalisa kondisi sanitasi melalui
proses pemicuan yang menyerang/ menimbulkan rasa ngeri dan malu kepada
masyarakat tentang pencemaran lingkungan akibat BABS.
Tujuan akhir pendekatan ini adalah merubah cara pandang dan perilaku
sanitasi yang memicu terjadinya pembangunan jamban dengan inisiatif
masyarakat sendiri tanpa subsidi dari pihak luar serta menimbulkan kesadaran
bahwa kebiasaan BABS adalah masalah bersama karena dapat berimplikasi
kepada semua masyarakat sehingga pemecahannya juga harus dilakukan dan
dipecahkan secara bersama.
Masyarakat sasaran dalam STBM tidak dipaksa untuk menerapkan kegiatan
program tersebut, akan tetapi program ini berupaya meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam kegiatannya. Tingkat partisipasi masyarakat dalam STBM
dimulai tingkat partisipasi yang terendah sampai tertinggi :
1. Masyarakat hanya menerima informasi; keterlibatan masyarakat hanya
sampai diberi informasi (misalnya melalui pengumuman) dan bagaimana
informasi itu diberikan ditentukan oleh si pemberi informasi (pihak
tertentu).
2. Masyarakat mulai diajak untuk berunding; Pada level ini sudah ada
komunikasi 2 arah, dimana masyarakat mulai diajak untuk diskusi atau
berunding. Dalam tahap ini meskipun sudah dilibatkan dalam suatu
perundingan, pembuat keputusan adalah orang luar atau orang-orang
tertentu.
3. Membuat keputusan secara bersama-sama antara masyarakat dan pihak
luar, pada tahap ini masyarakat telah diajak untuk membuat keputusan
secara bersama-sama untuk kegiatan yang dilaksanakan.
4. Masyarakat mulai mendapatkan wewenang atas kontrol sumber daya dan

keputusan, pada tahap ini masyarakat tidak hanya membuat keputusan,


akan tetapi telah ikut dalam kegiatan kontrol pelaksanaan program.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat terdiri dari 5 pilar :
1. Stop buang air besar sembarangan dengan menggunakan jamban yang
sehat, yaitu
a. Aman ketika tinja tidak mencemari sumber air
b. Aman ketika tinja tidak terjamah lalat (tertutup)
c. Aman ketika orang yang menggunakan jamban
d.

itu

tidak

jatuh/terpleset (konstruksi kuat)


Aman ketika orang yang menggunakan tidak merasa khawatir diintip

orang lain.
2. Cuci tangan pakai sabun
Tangan merupakan pembawa utama kuman penyakit. Mencuci
tangan dengan air saja tidak cukup, penggunaan sabun selain membantu
singkatnya waktu cuci tangan, dengan menggosok jemari dengan sabun
menghilangkan kuman yang tidak tampak, minyak/lemak/kotoran di
permukaan kulit. Perpaduan kebersihan dan perasaan segar merupakan
hal positif yang didapat setelah menggunakan sabun.
3. Pengelolaan air minum/makanan rumah tangga
Air bersih harus memenuhi syarat kesehatan, syarat fisik air harus
memenuhi syarat antara lain
a. Air tidak berwarna, bening/jernih
b. Air tidak keruh, bebas dari lumpur, sampah, busa, dll
c. Air tidak berasa, tidak asin, tidak rasa asam, tidak payau
d. Air tidak berbau, tidak bau amis, anyir, busuk, belerang, dll
4. Pengelolaan sampah rumah tangga
Sampah harus dikelola dengan baik dan benar, karena bila tidak akan
dapat menjadi tempat perindukan vector berbagai bibit penyakit. Kini
sampah dapat dikelola dengan pendekatan 3R (reduce, reuse dan
recycle). Reduce adalah upaya pengelolaan sampah dengan cara
mengurangi volume sampah itu sendiri. Reuse adalah suatu cara untuk
menggunakan kembali sampah yang ada untuk keperluan yang sama atau
fungsinya sama. Recycle atau daur ulang, adalah pemanfaatan limbah
melalui pengolahan fisik atau kimia untuk menghasilkan produk yang

sama atau produk yang lain.


5. Pengelolaan limbah cair rumah tangga
Limbah cair harus dikelola dengan baik dan benar, karena bila tidak akan
dapat menjadi tempat perindukan vector berbagai bibit penyakit.
Limbah cair harus dibuang pada sarana pengolahan air limbah, yang
dapat dibuat oleh masing-masing rumah tangga, bentuk saluran
pengolahan air limbah dapat berupa sumuran ataupun saluran dengan
ukuran tertentu. Dari ke empat tingkatan partisipasi tersebut, yang
diperlukan dalam STBM adalah tingkat partisipasi tertinggi dimana
masyarakat tidak hanya diberi informasi, tidak hanya diajak berunding
tetapi sudah terlibat dalam proses pembuatan keputusan dan bahkan
sudah mendapatkan wewenang atas kontrol sumber daya masyarakat itu
sendiri serta terhadap keputusan yang mereka buat. Dalam prinsip STBM
telah disebutkan bahwa keputusan bersama dan action bersama dari
masyarakat itu sendiri merupakan kunci utama. Dengan program tersebut
diharapkan terjadi peningkatan pembuangan tinja yang sehat, sehingga
tujuan dari program tersebut yaitu Open Defecation Free dapat tercapai.
B.

Penyuluhan Kesehatan.
Salah satu metode untuk program peningkatan jamban yaitu dengan

dilaksanakannya

Penyuluhan

kesehatan

dimana

merupakan

penambahan

pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui tehnik praktek belajar atau


instruksi dengan tujuan mengubah atau mempengaruhi perilaku manusia secara
individu, kelompok maupun masyarakat untuk dapat lebih mandiri dalam
mencapai tujuan hidup sehat (Depkes, 2002).
Tujuan penyuluhan kesehatan disini adalah meningkatkan pengetahuan dan
pemahaman masyarakat di Wilayah Desa Duren, Kecamatan Madurasa Kabupaten
Madarangka mengenai pentingnya jamban. Sasaran yang dituju untuk penyuluhan
kesehatan mencakup individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat,
penyuluhan kesehatan diutamakan pada keluarga dengan sosial ekonomi rendah
dan keluarga dengan sanitasi lingkungan yang buruk.

Dalam penyuluhan kesehatan ini akan membahas mengenai bagaimana


menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang diantaranya mengenai
apa itu jamban, manfaat dari jamban, kriteria jamban sehat serta dampak bila tidak
terdapat jamban di lingkungan rumah. Diharapkan dengan diberikan penyuluhan
ini masyarakat Desa Duren tersebut mengetahui pentingnya jamban dan
menerapkannya.
C.

Penyediaan Fasilitas Sanitasi


Definisi menurut WHO adalah suatu usaha untuk mengawasi beberapa

faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap manusia yang mempunyai efek
merusak perkembangan fisik, kesehatan, dan kelangsungan hidup. Umumnya
upaya sanitasi meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia
(jamban), pengelolaan sampah (tempat sampah) dan pembuangan air limbah
(SPAL) tetapi khususnya disini hanya akan membahas mengenai pembuangan
kotoran manusia (jamban).
Pembuangan Tinja (Jamban) - Tinja adalah bahan buangan yang dikeluarkan
dari tubuh manusia sebagai sisa dari proses pencernaan (tractus digestifus). Dalam
ilmu kesehatan lingkungan, dari berbagai jenis kotoran manusia, yang lebih
dipentingkan adalah tinja (faeces) dan air seni (urine) karena kedua bahan
buangan ini memiliki karakteristik tersendiri dan dapat menjadi sumber penyebab
timbulnya berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman dan
Suparmin, 2002).
Ditinjau dari sudut kesehatan, kotoran manusia merupakan masalah yang
sangat penting, karena jika pembuangannya tidak baik maka dapat mencemari
lingkungan dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan manusia. Penyebaran
penyakit yang bersumber pada kotoran manusia (faeces) dapat melalui berbagai
macam jalan atau cara.
1.

Pengadaan Jamban Sehat


Jamban adalah suatu fasilitas pembuangan tinja manusia. Jamban

terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa
leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran

dan air untuk membersihkannya. Jamban keluarga adalah suatu fasilitas


pembuangan tinja bagi suatu keluarga Berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan No. 852 Tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat, jamban sehat adalah suatu fasilitas pembuangan tinja
yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Sementara
pengertian kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai
lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang
harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja, air seni dan CO2
Salah satu kegiatan promotif-preventif untuk menanggulangi penyakit
berbasis lingkungan adalah pembangunan jamban keluarga, Upaya yang
perlu diperhatikan untuk mencapai lingkungan yang sehat adalah dengan
cara pembangunan jamban keluarga yang memenuhi syarat kesehatan. 5
Salah satu indikator Indonesia Sehat 2010 adalah cakupan jamban keluarga
minimal 84%.
Idealnya setiap keluarga memiliki jamban yang memenuhi syarat
jamban sehat atau baik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari
kotoran manusia. Syarat jamban sehat/baik meliputi:
1. Tidak mencemari sumber air bersih, untuk ini letak lubang
penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber
air minum. Tetapi kalo keadaan tananhnya berkapur atau tanah liat
yang retak-retak pada musim kemarau, demikian juga bila letak
jamban disebelah atas dari sumber air minum pada tanah yang
miring maka jaraknya lebih dari 15 meter.
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus,
untuk ini tinja harus tertutup rapat misalnya dengan menggunakan
leher angsa atau penutup yang rapat.
3. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk ini maka harus dibuat
dari bahan-bahan yang kuat dan tahan lama.
4. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan
berwarna terang.
5. Cukup penerangan.
6. Lantai kedap air.
7. Luas ruangan cukup, atap tidak terlalu rendah.

8. Ventilasi cukup baik.


9. Tersedianya air dan alat bersih.
Dengan memperhatikan persyaratan tersebut maka terdapat dua jenis atau
metode pembuangan tinja yaitu :
a. pembuangan tinja tanpa air.
b. pembuangan tinja menggunakan air.
a.

Pembuangan tinja tanpa air penggelontor


Yang dimaksud dengan pembuangan tinja tanpa air adalah pembuangan

tin ja tanpa air untk menggelontor, sehingga metode ini tidak perlu
dilengkapi dengan water seal atau lebih sering disebut leher angsa.
Umumnya jenis ini banyak digunakan di daerah pedesaan atau daerah yang
sulit mendapatkan air bersih. (Didik Sarudji, 2004)
Ada beberapa macam yang tergolong dalam jenis pembuangan tinja ini:
1) Kakus sederhana
Jenis ini sering disebut kakus cemplung. Konstruksinya terdiri atas
lubang galian semacam sumuran tetapi dindingnya tidak perlu
kedap air.
2) Kakus kolong
Yaitu tempat pembuangan tinja yang terdiri atas bak berdinding
lapis semen kedap air, ditanam dalam tanah tetapi tidak berfungsi
sebagai septic tank, melainkan hanya untuk melindungi bahaya
kontaminasi terhadap tanah di sekitarnya.
3) Kakus pengurai
Metode pembuangan tinja ini menggunakan bak pengurai (septic
tank) yang kedap air, hanya saja tidak menggunakan air
penggelontor tetapi dalam pengoprasiaannya perlu penambahan air
untuk mengisi agar dalam bak tersebut tidak kekurangan air yang
dimanfaatkan sebagai media penguraian.
4) Kakus kimia
Jenis ini mahal dalam pengoperasiannya, kapasitasnya terbatas, dan
perlu perhaitan khusus terutama bila sudah penuh karena biasanya

yang menjadi masalah adalah cara pengosongannya.


5) Kakus parit
Kakus parit merupakan jenis yang sudah jarang dijumpai
disamping itu tidak dianj urkan lagi.
6) Kakus gantung
Jenis ini merupakan sarana pembuangan kotoran yang terletak
diatas badan air atau kolam.
b.

Pembuangan tinja dengan air penggelontor


Yang dimaksud dengan pembuangan tinja yang menggunakan air

adalah pembuangan tinja yang dalam pengoperasiannya menggunakan air


penggelontor karena air disamping unutuk penggelontor juga untuk mengisi
septic tank oleh sebab itu mode ini dilengkapi dengan septic tank
1) Kontruksi dari septic toilet ini terdiri atas bangunan atau bagian :
a) closet atau sering juga disebut toilet, yaitu tempat untuk berhajat
b) saluran kotoran menuju ke septic tank
c) septic tank
d) saluran air ke sumur resapan
e) sumur resapan.
2) Syarat Jarak Aman antara Septic Tank dengan Sumur Gali dan
Faktor yang Mempengaruhinya
Pada penelitian yang dilakukan oleh Gotaas, dkk dalam Soeparman
(2002), sumber kontaminasi yang berupa tinja manusia yang ditempatkan
dalam lubang yang menembus permukaan air tanah. Sampel positif
organisme coliform didapatkan pada jarak 4 sarnpai 6 m dari sumber
kontaminasi. Daerah kontaminasi melebar ke luar sampai kira-kira 2 m pada
titik yang berjarak sekitar 5 m dari jamban dan menyempit pada kira-kira 11
m. Kontaminasi tidak bergerak melawan arah aliran air tanah. Setelah
beberapa bulan, tanah sekitar jamban akan mengalami penyumbatan
(clogging), dan sampel yang positif dapat diperoleh hanya pada jarak 2-3 m
dari lubang. Dengan kata lain, daerah kontaminasi tanah telah menyempit.
Pola pencemaran secara kimiawi sama bentuknya dengan pencemaran
bakteriologis, hanya jarak jangkaunya lebih jauh.
Dari sudut pandang sanitasi, yang penting diperhatikan adalah jarak

perpindahan maksimum dari bahan pencemar dan kenyataan bahwa arah


perpindahan selalu searah dengan arah aliran air tanah. Dalam penempatan
sumur, harus diingat bahwa air yang berada dalam lingkaran pengaruh
sumur mengalir menuju sumur tersebut. Tidak boleh ada bagian daerah
kontaminasi kimiawi ataupun bakteriologis yang berada dalam jarak
jangkau lingkaran pengaruh sumur (Soeparman, 2002:50).
Tindakan pencegahan pencemaran sumur gali oleh bakteri coliform.
yang harus diperhatikan adalah jarak sumur dengan cubluk (kakus), lubang
galian sampah, lubang galian untuk air limbah (cesspool; seepage pit) dan
sumber-sumber pengotoran lainnya. Jarak ini tergantung pada keadaan tanah
dan kemiringan tanah. Pada umumnya dapat dikatakan jarak yang aman
tidak kurang dari 10 meter dan diusahakan agar letaknya tidak berada di
bawah tempat-tempat sumber pengotoran seperti yang disebutkan di atas
(Entjang, 2000:78). Sedangkan menurut Chandra (2007:46), Sumur harus
berjarak minimal 15 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber pencemaran
seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.
Sedangkan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992
tentang Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air Bersih, bahwa jarak
horizontal sumur ke arah hulu dari aliran air tanah atau sumber pengotoran
(bidang resapan/tangki septic tank) lebih dari 11 meter, sedangkan jarak
sumur untuk komunal terhadap perumahan adalah lebih dari 50 meter.
3) Jarak Aman Lubang Kakus dengan Sumber Air Bersih
Jarak aman antara Lubang Kakus dengan Sumber Air Minum
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :
a) Topografi tanah : Topografi tanah dipengaruhi oleh kondisi
permukaan tanah dan sudut kemiringan tanah.
b) Faktor hidrologi : yang termasuk dalam faktor hidrologi antara
lain Kedalaman air tanah, Arah dan kecepatan aliran tanah,
Lapisan tanah yang berbatu dan berpasir. Pada lapisan jenis ini
diperlukan jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan jarak

yang diperlukan untuk daerah yang lapisan tanahnya terbentuk


dari tanah fiat.
c) Faktor Meteorologi : di daerah yang curah hujannya tinggi,
jarak sumur harus lebih jauh dari kakus.
d) Jenis mikroorganisme : Karakteristik beberapa mikroarganisme
ini antara lain dapat disebutkan bahwa bakteri patogen lebih
tahan pada tanah basah dan lembab. Cacing dapat bertahan
pada tanah yang lembab dan basah selama 5 bulan, sedangkan
pada tanah yang kering dapat bertahan selam 1 bulan.
e) Faktor Kebudayaan : Terdapat kebiasaan masyarakat yang
f)

membuat sumur tanpa dilengkapi dengan dinding sumur.


Frekuensi Pemompaan : Akibat makin banyaknya air sumur
yang diambil untuk keperluan orang banyak, laju aliran tanah
menjadi lebih cepat untuk mengisi kekosongan (Chandra,
2007:126-127).

Pembangunan jamban ini difasilitasi oleh masyarakat dengan dibantu


beberapa pihak terkait. Salah satu kegiatan tersebut adalah Sanitasi Total
Berbasis Lingkungan (STBM), yang merupakan sanitasi total atas prakarsa
masyarakat, kegiatan ini merupakan program sanitasi yang menitikberatkan
pada

masyarakat

akan

pentingnya

sarana

pembuangan

air

besar

(jamban/kakus) untuk kesehatan pribadi dan penyehatan lingkungan.


Pendekatan yang digunakan pada kegiatan STBM adalah dengan pola
pendekatan pemberdayaan masyarakat untuk menganalisis keadaan dan
risiko pencemaran lingkungan yang disebabkan buang air besar di tempat
terbuka dan membangun jamban tanpa subsidi dari luar.
Kegiatan lain adalah Gerakan Seribu Jamban. Program seribu jamban
adalah sebuah program penyediaan sarana sanitasi jamban sehat berbasis
masyarakat serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk stop buang air
besar sembarangan. Program 1000 jamban terdiri atas penyediaan sarana
jamban sehat yang berbasis masyarakat artinya program ini menerapkan
Participatory Higienie and Sanitation Transformation (PHAST) dimana
setiap pelaksanaannya melibatkan penuh masyarakat.

Program lain yang dapat diterapkan adalah Gerakan Seribu Rupiah


untuk Open Defecation Free (ODF). Program ini gencar digalakkan oleh
beberapa kabupaten di Jawa khususnya Jawa Tengah. Sasarannya adalah
keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Dimana mereka
hanya dipungut biaya seribu rupiah saja, dan pemerintah akan memfasilitasi
pembangunan jamban bagi mereka.
Selain itu ada Program Arisan Jamban. Arisan Jamban ini diterapkan di
desa Cikalong, Kabupaten Sumedang yaitu dengan cara membeli Paket
Pembangunan Jamban sesuai harga yang telah ditentukan kemudian
menyicilnya. Uang muka yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan
si pembeli, selanjutnya dicicil sesuai kemampuan si pembelinya juga.
Gerakan ini berasal dari swadaya masyarakat.
Namun demikian, seberapa hebat program yang kita rencanakan tanpa
didukung kerjasama berbagai lintas sektor dan kesadaran masyarakat itu
sendiri maka tingkat keberhasilannya masih jauh dari yang diharapkan,
khususnya di daerah pedesaan. Bappenas mengungkapkan bahwa di masa
lalu banyak investasi besar penyehatan lingkungan terutama jamban
keluarga yang hasilnya tidak memenuhi harapan. Prasarana dan sarana
penyehatan lingkungan yang telah dibangun tidak berfungsi dengan baik
dan tidak ada perhatian masyarakat untuk menjaga kelanjutan pelayanan
prasarana dan sarana.
D.

Pendekatan Melalui Pengembangan Organisasi


Pengembangan

Organisasi

Merupakan

strategi

terencana

dalam

mewujudkan perubahan organisasional, yang memiliki sasaran jelas berdasarkan


diagnosa yang tepat tentang permasalahan yang dihadapi oleh organisasi.
Merupakan kolaborasi antara berbagai pihak yang akan terkena dampak
perubahan yang akan terjadi dengan menekankan cara-cara baru yang diperlukan
untuk meningkatkan kinerja seluruh organisasi dan semua satuan kerja dalam
organisasi dan mengandung nilai humanistik dimana pengembangan potensi
manusia menjadi bagian terpenting.

Pengembangan

organisasi

merupakan

proses

terencana

untuk

mengembangkan kemampuan organisasi dalam kondisi dan tuntutan lingkungan


yang selalu berubah, sehingga dapat mencapai kinerja yang optimal yang
dilaksanakan oleh seluruh anggota organisasi. Pengembangan Organisasi
merupakan program yang berusaha meningkatkan efektivitas keorganisasian
dengan

mengintegrasikan

keinginan

individu

akan

pertumbuhan

dan

perkembangan dengan tujuan keorganisasian.


Pengembangan organisasi yang kami angkat pada masaah ini adalah :
1.
2.
1.

Desa siaga aktif


Pembentukan Forum Masyarakat desa

Desa Siaga Aktif


Desa Siaga Aktif merupakan pengembangan dari Desa Siaga, yaitu Desa

atau Kelurahan yang Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan


kesehatan dasar yang memberikan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan
Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti,
Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas), atau sarana kesehatan lainnya. Penduduknya mengembangkan
Usaha Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) dan melaksanakan
survailans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan
anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaduratan kesehatan dan penanggulangan
bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Untuk mencapai target Desa Siaga Aktif pada tahun 2015, dilakukanlah
revitalisasi.

Melalui

Peraturan

Menteri

Kesehatan

No.

741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang


Kesehatan di Kabupaten dan Kota dan Keputusan Menteri Kesehatan No
828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal
(SPM) Bidang Kesehatan di kabupaten dan kota, Pemerintah menetapkan bahwa
pada tahun 2015 sebanyak 80% desa telah menjadi Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif.
Komponen desa siaga aktif :

Pelayanan kesehatan dasar.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM dan


mendorong upaya survailans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan
penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan.

a.

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).


Kegiatan Desa Siaga Yang Terkait dengan Pemecahan Masalah
1. Menggerakkan PHBS
Masyarakat desa siaga aktif dicirikan sebagai masyarakat yang dapat
menolong diri sendiri untuk mencegah dan menanggulagi masalah kesehatan,
mengupayakan lingkungan sehat, memanfaatkan pelayanan kesehatan serta
mengembangkan UKBM. Yang dimaksud dengan upaya mencegah : adalah
mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dengan mempraktikkan gaya
hidup sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat termasuk menjaga kebersihan
pribadi, menghindari kebiasaan yang buruk, serta berperan aktif dalam
pembangunan kesehatan masyarakat. (promotif - preventif). Perilaku Hidup
Bersih dan Sehat ini terdiri dari ratusan praktik kehidupan sehari hari, tidak
hanya terbatas pada indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kinerja
program kesehata (Depkes RI, 2007)
Dalam 10 indikator PHBS, salah satunya yakni gunakan jamban yang
sehat, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit berbasis saluran
cerna.
2. Penyehatan Lingkungan
Lingkungan yang bebas polusi, tersedia air bersih, sanitasi lingkungan
memadai, perumahan pemukiman sehat, yaitu :
a. Terpeliharanya kebersihan tempat-tempat umum dan institusi yang ada di
b.

desa, antara lain : pasar, tempat ibadah, perkantoran dan sekolah.


Terpeliharanya kebersihan lingkungan rumah : lantai rumah bersih,

c.
d.

sampah tak berserakan, saluran pembuangan air limbah terawat baik


Membuka jendela setiap hari.
Memiliki kecukupan akses air bersih (untuk minum, masak, mandi dan

e.

cuci) dan sanitasi dasar.


Mempunyai pola pendekatan

pemberdayaan

masyarakat

untuk

pemenuhan sanitasi dasar (ada jamban, mandi cuci di tempat khusus)

3.

Pembentukan Forum Masyarakat Desa


Forum Desa Siaga adalah wadah sekaligus proses bagi masyarakat di

tingkat desa untuk menyalurkan aspirasi dan berpartisipasi menentukan arah,


prioritas, serta merencanakan pembangunan kesehatan di desanya menuju
terbentuknya Desa Siaga. Forum desa siaga kadang disebut sebagai forum
masyarakat desa, kadanga juga disebut musyawarah masyarakat desa.
Optimalisasi peran Forum Komunikasi yaitu aktif memecahkan masalah
kesehatan.
Suatu desa dikatakan mempunyai Forum Masyarakat Desa, bila minimal:
a. Ada facilitator masyarakat desa
Fasilitator masyarakat desa adalah tokoh masyarakat atau tokoh
agama yang telah dilatih tentang penggerakkan dan pemberdayaan
b.

masyarakat di .desa siaga.


Ada Susunan Kepengurusan Desa Siaga dan jejaring promosi
kesehatan desa yang berfungsi sebagai pendorong bergulirnya siklus/
spiral pemecahan masalah-masalah kesehatan di desa dan menyebarluaskan informasi kesehatan. Susunan kepengurusan desa siaga
dihasilkan dari pertemuan tingkat desa. Kepengurusan inilah yang
menjadi motor penggerak kegiatan-kegiatan forum masyarakat desa

dan kegiatankegiatan desa siaga lainnya.


Anggota jejaring promosi kesehatan desa adalah tokoh-tokoh masyarakat
yang diharapkan menjadi agen pembaharu dan merupakan perpanjangan
tangan forum masyarakat desa dalam menyebar-luaskan informasi kesehatan
kepada masyarakat dan lingkungannya.
1) Ada kegiatan penyebar-luasan informasi kesehatan dalam berbagai cara
dan bentuk.
2) Ada kegiatan masyarakat sebagai pelaksanaan siklus/spiral pemecahan
masalah-masalah kesehatan di desa secara berkesinambungan.
Masalah kesehatan yang ditemui sekarang adalah bagaimana cara
meningkatkan kepemilikan jamban di desa Turen. Maka selanjutnya, masalah
ini akan dibawa ke dalam forum untuk bersama-sama dirembuk dengan
sesama kader dan tokoh masyarakat terkait.
Peran serta masyarakat (PSM) dalam bidang kesehatan (pemerintah)
adalah keadaan dimana individu, keluarga maupun masyarakat umum ikut

serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga, ataupun kesehatan


masyarakat lingkungannya.
Peran serta masyarakat (PSM) (D.A. Setyawan, 2008) adalah proses
dimana individu, keluarga dan lembaga masyarakat termasuk swasta:
1) Mengambil tanggung jawab atas kesehatan diri, keluarga, dan masyarakat
2) Mengembangkan kemampuan untuk menyehatkan diri, keluarga, dan
masyarakat
3) Menjadi pelaku perintis kesehatan dan pemimpin yang menggerakkan
kegiatan masyarakat di bidang kesehatan berdasarkan atas kemandirian
dan kebersamaan.
Demi tercapainya pencegahan penyakit yang adekuat maka terdapat tiga
faktor umum yang harus di perhatikan untuk dikendalikan sesuai dengan
gambar dibawah.

A. Pejamu
Pejamu dalam penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan OD hampir
mencangkup seluruh lapisan masyarakat tanpa ada batasan umur dan jenis
kelamin, hal ini sangat bergantung terhadap pengetahuan dan kesadaran akan
akibat OD. Maka dalam hal ini diperlukan meningkatan pemahaman
masyarakat terhadap masalah OD dengan cara pemicuan.
B. Agent
Etiologi maupun vector berperan sangat penting dalam program
pencegahan ini, penyakit yang di sebabkan oleh OD berbasis pada penyakit
saluran cerna, saluran pernapasan dan penyakit kulit. Penyakit berbasis
saluran cerna seperti diare, thypoid, hepatitis A dan keracunan memiliki
vector utama yaitu lalat, kecoa dan tikus yang di sebabkan oleh bakteri

Salmonela typhi, E. coli, hepatitis virus A dan berbagai penyebab keracunan.


Maka dilakukan pencegahan berupa pengendalian vector dan peningkatan
PHBS agar tercapainya pencegahan yang adekuat.
C. Environment
Faktor lingkungan fisik, biologi, sosial dan budaya yang saling
mendukung dan menguatkan keyakinan seseorang untuk melakukan suatu
tindakan dimana seseorang sebaiknya buang air besar. Faktor lingkungan fisik
seperti ketersediaan air bersih, ketersediaan lahan untuk membangun jamban
dan jarak rumah dengan sungai. Faktor lingkungan sosial dan budaya adalah
adanya dukungan sosial, sanksi sosial dan pembinaan petugas. Faktor biologi
adalah keberadaan agent penyebab penyakit seperti virus, bakteri dan parasit.
Dari analisa diatas maka diperlukan pada dasarnya adalah peningkatan PHBS
dan pengadaan fasilitas.

BAB IV
KESIMPULAN/SARAN
Kesimpulan
Perlunya penyuluhan tentang peningkatan kepemilikan jamban di Desa
Duren

Kecamatan

Madurasa

Kabupaten

Madangkara

dan

peningkatan

pemahaman masyarakat tentang pentingnya jamban untuk kehidupan sehari-hari


merupakan salah satu upaya pendekatan untuk meningkatkan perilaku hidup
bersih dan sehat di masyarakat.
Selain itu diperlukan peran aktif masyarakat dalam pengadaan kepemilikan
jamban melalui pengembangan organisasi contohnya dengan adanya Desa Siaga
Aktif. Dimana hasil akhir pendekatan tersebut adalah terciptanya masyarakat yang
sadar akan pentingnya hidup sehat. Dengan demikian angka kesakitan dan
kematian penyakit saluran cerna yang disebabkan oleh kebiasaan open defecation
yang tinggi dapat ditekan.
Saran
1. Perubahan perilaku hygiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat
setempat yang menimbulkan kesadaran bahwa kebiasaan open defecation
2.

adalah masalah bersama dan harus dipecahkan bersama-sama.


Pengembangan organisasi yang efektif untuk mengembangkan usaha
kesehatan bersumber daya masyarakat dan berbasis masyarakat sehingga
masyarakat mampu menerapkan hidup bersih dan sehat.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Chandra, B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku

2.

Kedokteran EGC.
Depkes RI, 2004. Pencegahan dan Penang-gulangan Penyakit Demam

3.

Berdarah Dengue, World Health Organization dan Depkes RI. Jakarta.


Depkes RI, 2002. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Pusat Promosi

4.

Kesehatan Depkes RI, Jakarta.


Dinas Kesehatan Kabupaten karawang. 2012. Perilaku Hidup Bersih dan
sehat

(.jpg).http://promkesdinkeskarawan.com/wp-

5.

content/uploads/2014/05/1Ophbs-150x150.jpg diakses 13 Agustus 2014


Entjang, I. 2000. Ilmu kesehatan Masyarakat. Bandung: Penerbit PT. Citra

6.

Aditya Bakti
Kemendagri. 2011. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor

140/1508/SJ

tentang

PEDOMAN

PELAKSANAAN

PEMBENTUKAN KELOMPOK KERJA OPERASIONAL DAN FORUM


DESA DAN KELURAHAN SIAGA AKTIF. Jakarta : Kementrian Dalam
7.

Negeri.
Kemenkes. 2010. Pusat Promosi Kesehatan. Pedoman Umum Pengembangan

8.

Desa Siaga dan Kelurahan Aktif. Jakarta : Kementrian Kesehatan.


Kemenkes. 2011. Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes Desa dan Kelurahan

9.

Siaga Aktif. Jakarta : Kementrian Kesehatan


Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2014. Kurikulum dan Modul Pelatihan Wirausaha
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Jakarta Kementerian Kesehatan

RI.
10. Masli, Jonneri. 2010. Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Pengadaan
Jamban Keluarga dalam Berita Kedokteran Masyarakat Vol. 26, No. 3,
September 2010 halaman 145.
11. Murwati. 2012. Faktor Host Dan Lingkungan Yang Mempengaruhi Perilaku
Buang Air Besar Sembarangan. Semarang: Universitas Diponegoro
Semarang
12. Notoatmodjo. 2010. Kesehatan Masyarakat llmu dan Seni. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
13. Ridley John.
Erlangga.Jakarta.

2010.

Kesehatan

dan

Keselamatan

Kerja.

Penerbit

14. Sarudji Didik. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Penerbit Media
Ilmu. Sidoarjo.
15. Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja & Limbah Cair (Suatu
Pengantar). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
16. Yuwono Budi. 2008. 40 Juta Masyarakat Indonesia Masih Buang Air Besar
Di Tempat Terbuka. Jakarta: Direktorat Jendral Cipta Karya, Kementrian
Pekerjaan Umum

You might also like