You are on page 1of 57

PROGRAM-PROGRAM UTAMA PUSKESMAS

(KIA, TB, DBD, HIV-AIDS, KESEHATAN LINGKUNGAN, UKS)

Oleh :
Elman Dani Firdaus (1018011008)
Citra Saskia Masri (1018011048)
Milani Nur Fadila (1018011078)
Ni Made Dwi Adnyani (1018011083)
Yulia Dewi Asmariati (1018011129)

ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2015
0

I. PENDAHULUAN
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah unit pelaksana teknik
dinas kesehatan kabupaten atau kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja (Kepmenkes

RI No.

128/Menkes/SK/II/2004). Sistem Kesehatan Nasional menyebutkan Puskesmas


adalah pusat pembangunan kesehatan yang berfungsi mengembangkan dan
membina kesehatan masyarakat serta menyelenggarakan pelayanan kesehatan
terdepan dan terdekat dengan masyarakat. Menurut Depkes RI 1991, Puskesmas
merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat dan membina peran serta masyarakat
disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Setiap kegiatan
pokok Puskesmas dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan kesehatan
masyarakat

desa.

Sebuah

puskesmas

mempunyai

tugas

menyampaikan

pertolongan kesehatan dan upaya kesehatan pencegahan kepada keluarga di tiap


rumah di desa-desa melalui petugas puskesmas yang menetap di wilayah kerja
Puskesmas.
Tujuan Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja puskesmas
agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi tingginya dalam rangka
mewujudkan Indonesia Sehat 2012. Oleh karena pelayanan kesehatan di
Puskesmas merupakan bentuk pemerataan dan peningkatan pelayanan kesehatan
untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat maka, pelayanan ini menjadi akan
lebih efektif jika disertai peran serta masyarakat antara lain dengan
menyelenggarakan pos-pos pelayanan terpadu.
Fungsi Puskesmas antara lain sebagai pusat penggerak pembangunan
berwawasan kesehatan, sebagai pusat pemberdayaan masyarakat dan sebagai
pusat pelayanan kesehatan strata I, meliputi pelayanan kesehatan perorangan &
masyarakat. Berdasarkan ketiga fungsi utama puskesmas tersebut dan dengan
memperhatikan tujuan akhirnya maka setiap pelaksanan program kegiatan

pelayanan kesehatan selalu dilaksanakan dengan memperhatikan landasan


strategisnya yaitu :
1. Perikemanusian
2. Pemberdayaan dan kemandirian
3. Adil dan merata
4. Mengutamakan manfaat
Landasan strategis ini akan menjadi nilai-nilai dalam pengembangan setiap
program atau upaya-upaya pelayanan kesehatan yang akan dilaksanakan ditingkat
Puskesmas. Program-program kegiatan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di
Puskesmas dibagi dalam dua kelompok besar yaitu program pokok dan program
pengembangan.
Program pokok pelayanan kesehatan Puskesmas dibuat berdasarkan komitmen
nasional, regional & global serta yang mempunyai daya ungkit untuk peningkatan
derajat kesehatan, yaitu: program pengobatan, upaya promosi kesehatan, KIA/KB,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular, kesehatan
lingkungan, serta usaha perbaikan gizi masyarakat. Program pengembangan
pelayanan

kesehatan

Puskesmas

adalah

beberapa

upaya

kesehatan

pengembangan yang ditetapkan Puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten/kota


sesuai dengan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan puskesmas. Dalam
struktur organisasi puskesmas program pengembangan ini biasa disebut Program
spesifik lokal, yang terdiri dari antara lain: kesehatan sekolah, kesehatan olahraga,
perawatan kesehatan masyarakat, usaha kesehatan kerja, kesehatan gigi dan
mulut, kesehatan jiwa, kesehatan mata, kesehatan usia lanjut, dan pembinaan
pengobatan tradisional.

II. ISI
A. Program-Program Utama Puskesmas
Sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya bahwa program pokok
Puskesmas merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib di laksanakan
karena mempunyai daya ungkit yang besar terhadap peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Puskesmas dalam kedudukannya
sebagai penanggungjawab wilayah dan penyedia pelayanan kesehatan harus
mengoperasikan sejumlah kegiatan pokok yang di wujudkan dalam berbagai
program-program kesehatan Puskesmas. Pelaksanaan program-program kesehatan
ini ditujukan untuk memenuhi tanggung jawab terhadap kesehatan wilayah
kerjanya serta anggota masyarakat secara keseluruhan.
Ada 6 program pokok pelayanan kesehatan di Puskesmas yaitu :
1. Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk pelayanan
kesehatan untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan pada
seseorang pasien dilakukan oleh seorang dokter secara ilmiah berdasarkan
temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan
2. Promosi kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang
diarahkan untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal
melalui kegiatan penyuluhan (induvidu, kelompok maupun masyarakat).
3. Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB
di Puskesmas yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada PUS
(Pasangan Usia Subur) untuk ber-KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan
nifas serta pelayanan bayi dan balita.
4. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular yaitu
program

pelayanan

kesehatan

Puskesmas

untuk

mencegah

dan

mengendalikan penular penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD,


Kusta dll).
5. Kesehatan lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di
puskesmas untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui

upaya sanitasi dasar, pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum


termasuk pengendalian pencemaran lingkungan dengan peningkatan peran
serta masyarakat.
6. Perbaikan gizi masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan,
perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan
pendidikan gizi, penanggulangan kurang energi protein, anemia gizi besi,
gangguan akibat kekurangan yodium (gaky), kurang vitamin A, keadaan
zat gizi lebih, peningkatan survailans gizi, dan perberdayaan usaha
perbaikan gizi keluarga/masyarakat.
Pelaksanaan kegiatan pokok Puskesmas diarahkan kepada keluarga sebagai
satuan masyarakat terkecil atau ditujukan untuk kepentingan kesehatan keluarga
sebagai bagian dari masyarakat wilayah kerjanya. Dalam konteks otonomi daerah
saat ini, puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana
teknis, dituntut memiliki kemampuan managerial dan wawasan jauh ke depan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan
dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan
yang matang dan realisize, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem
evaluasi dan pemantauan yang akurat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut
berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan
pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu.
B. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
1. Pengertian
Pelayanan kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan upaya kesehatan
primer yang terdiri dari pelayanan dan pemeliharaan kesehatan ibu dalam
menjalankan fungsi reproduksi yang berkualitas serta upaya kelangsungan hidup,
perkembangan dan perlindungan bayi, anak di bawah lima tahun (Balita) dan anak
usia prasekolah dalam proses tumbuh kembang. KIA mencakup bidang kesehatan
yang menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu melahirkan, ibu
menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah. Dalam pengertian ini
tercakup pula pendidikan kesehatan kepada masyarakat, pemuka masyarakat serta
4

menambah keterampilan paraji (dukun bayi) serta pembinaan kesehatan anak di


taman kanak-kanak.
Salah satu tujuan program KIA adalah meningkatkan kemandirian keluarga
dalam memelihara kesehatan ibu dan anak. Dalam keluarga, ibu dan anak
merupakan kelompok yang paling rentan dan peka, terhadap berbagai masalah
kesehatan, seperti: kejadian kesakitan (morbiditas) dan gangguan gizi
(malnutrisi), yang seringkali berakhir dengan kecacatan (disability) atau kematian
(mortalitas).
Salah satu unsur yang penting untuk menurunkan angka kematian dan
kesakitan diantara ibu, bayi dan anak adalah memberikan pemeliharaan dalam
waktu hamil yang cukup baik dan dimulai sedini-dininya. Penurunan angka
kematian ibu maternal, bayi dan anak balita serta penurunan angka kelahiran
merupakan sasaran prioritas dalam pembangunan di bidang kesehatan.
Puskesmas melalui pelayanan kesehatan di dalam dan luar gedung, melakukan
seluruh program kesehatan Ibu dan Anak secara menyeluruh, dengan
memperhatikan beberapa indikator cakupan program KIA yang terpadu dengan
beberapa kegiatan lainnya seperti program gizi, imunisasi dan upaya kesehatan
sekolah (UKS). Cakupan program KIA dibagi menjadi;
1. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K4)
2. Cakupan Komplikasi Kebidanan
3. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
4. Cakupan Pelayanan Nifas
5. Cakupan Pelayanan Neonatus dengan Komplikasi
6. Cakupan Kunjungan Bayi
7. Cakupan Imunisasi Bayi (Universal Child Immunization)
8. Cakupan Pelayanan Anak Balita
9. Cakupan Pemberian Makanan Pendamping ASI
10. Cakupan Perawatan Balita Gizi Buruk
11. Cakupan Penjaringan Kesehatan Anak Sekolah Dasar
Setiap cakupan program tersebut merupakan rincian Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD) yang menjadi target khusus pelayanan di tingkat puskesmas, sebagai

Unit

Pelaksana

Teknis

Dinas

(UPTD)

pada

setiap

Dinas

Kesehatan

Kabupaten/Kota.
Pelayanan KIA di puskesmas meliputi antara lain :
a. Pelayanan kesehatan asuhan kebidanan di wilayah Puskesmas
b. Pelayanan kesehatan bagi bayi, balita dan anak pra sekolah
Pelayanan kesehatan asuhan kebidanan di wilayah Puskesmas merupakan
bagian dari pelayanan kesehatan menyeluruh terpadu sebagai salah satu wujud
upaya pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif/ penanganan kedaruratan
kebidanan, yang meliputi pelayanan pemeliharaan ibu hamil, pertolongan
persalinan, perawatan pasca persalinan bagi ibu dan bayi baru lahir, keluarga
berencana, ibu sedang menyusui, serta calon ibu di wilayah kerja.
Pelayanan kesehatan bagi bayi, balita dan anak pra sekolah di Puskesmas
yakni bagian dari pelayanan kesehatan menyeluruh terpadu berupa wujud
kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang meliputi pemeliharaan
kesehatan anak dalam kandungan, pelayanan kesehatan neonatal, pemeriksaan
bayi, manajemen terpadu balita sakit, serta deteksi dan stimulasi dini tumbuh
kembang balita dan anak pra sekolah di wilayah kerja.
2. Tujuan KIA
Tujuan KIA terbagi menjadi 2 bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum KIA adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui
peningkatan derajat kesehatan yang optimal bagi ibu dan keluarganya untuk
menuju Norma Kelurga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya
derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal yang
merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya.
Adapun tujuan khusus dari KIA adalah sebagai berikut :
1. Meningkatnya kemampuan ibu dalam mengatasi kesehatan diri dan
keluarganya dengan menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya
pembinaan kesehatan keluarga, penyelenggaraan posyandu dan sebagainya.

2. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara


mandiri didalam lingkungan keluarga posyandu dan sebagainya.
3. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil,
persalinan, ibu nifas dan ibu menyusui.
4. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, persalinan, ibu nifas,
ibu menyusui, bayi dan anak balita.
5. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah,
terutama melalui peningkatan peran ibu dalam keluarganya.
Berdasarkan Pedoman Kerja Puskesmas Jilid I yang diadakan oleh
Departemen Kesehatan RI tahun 1989/1990, maka dalam mencapai tujuan
kesehatan ibu dan anak, petugas Puskesmas melakukan program kegiatan KIA
yang mencakup hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, ibu melahirkan, ibu menyusui, bayi, anak
balita dan anak prasekolah.
2. Pemberian nasehat tentang makanan guna mencegah gizi buruk karena
kekurangan protein, kalori dan lainnya serta pembagian makanan tambahan,
vitamin dan mineral.
3. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara stimulasinya.
4. Imunisasi Tetanus Toxoid 2 kali pada ibu hamil dan BCG, DPT 3 kali, Polio 3
kali, dan Campak 1 kali pada bayi.
5. Penyuluhan kesehatan meliputi berbagai aspek dalam mencapai tujuan program
KIA.
6. Pelayanan KB kepada semua Pasangan Usia Subur, dengan perhatian khusus
kepada mereka yang dalam keadaan bahaya karena melahirkan anak berkalikali dan golongan ibu risti.
7. Pengobatan bagi ibu, bayi, anak balita dan anak prasekolah untuk macammacam penyakit ringan.
8. Kunjungan ke rumah untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan, memberi penerangan dan pendidikan tentang kesehatan, dan

untuk mengadakan pemantauan pada mereka yang lalai mengunjungi


Puskesmas dan meminta agar mereka datang ke Puskesmas lagi.
9. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan paraji (dukun
bayi).
3. Sasaran
Sasaran pelayanan KIA adalah ibu, bayi, balita, anak usia prasekolah dan
keluarga yang tinggal dan berada di wilayah kerja Pusksmas serta yang
berkunjung ke Puskesmas.
4. Kegiatan
Pelayanan KIA meliputi penyelenggaraan :
a. Pembinaan dan pemantauan kegiatan KIA di wilayah kerja Puskesmas
b. Pelayanan Ante natal
c. Persalinan/ pendampingan persalinan
d. Pelayanan masa nifas pasca persalinan dan bayi baru lahir
e. Pelayanan ibu menyusui
f. Pelayanan gawat darurat kebidanan dan neonatal
g. Pelayanan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang bayi
h. Pelayanan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak balita
i. Pelayanan kesehatan dan pemantauan tumbuh kembang anak usia pra
sekolah di taman kanak-kanak
Adapun wujud kegiatan yang dilakukan untuk program KIA di Puskesmas
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan ibu hamil dan bayi/anak.
2. Penimbangan Berat Badan dan Pengukuran Tinggi Badan bayi, balita dan anak
prasekolah.
3. Pengukuran suhu tubuh pada bayi/anak.
4. Pengisian KMS bumil dan KMS anak.
5. Pemberian imunisasi bagi ibu hamil, bayi dan balita.
6. Pemberian makanan tambahan bergizi (bubur kacang hijau dan susu murni).

7. Penyuluhan gizi baik.


8. Penyuluhan KB.
9. Penyuluhan Kebersihan lingkungan terutama dalam mengatasi penyebaran
nyamuk penyebab DBD.
10. Penyuluhan kepada suami dan anggota keluarga lainnya untuk berperan serta
aktif dalam menunjang kesehatan ibu dan anaknya.
11. Pengobatan bermacam-macam penyakit ringan bagi ibu, bayi, balita, anak
prasekolah dan keluarga.
5. Data Puskesmas Natar
1. Angka kematian neonatal
a. Tahun 2011 tidak terjadi kasus kematian neonatus.
b. Tahun 2012 terjadi 1 kasus kematian neonatus yaitu di desa Bumisari.
c. Tahun 2013 tidak terjadi kasus kematian neonatus.
c. Tahun 2014 tidak terjadi kasus kematian neonatus.
2. Angka kematian bayi
a. Tahun 2011 terdapat 3 kasus kematian bayi yaitu desa Merak Batin 2
kasus dan desa Bumisari 1 kasus. Penyebab kasus kematian bayi adalah
asfiksisa 2 kasus di desa Merak Batin, BBLR 1 kasus di desa Bumisari.
b. Tahun 2012 terdapat 2 kasus kematian bayi yaitu di desa Bumisari.
c. Tahun 2013 terdapat 6 kasus kematian bayi.
d. Tahun 2014 terdapat 7 kasus kematian bayi.
3. Angka kematian balita
a. Tahun 2011 tidak terjadi kasus kematian balita.
b. Tahun 2012 tidak terjadi kasus kematian balita.
c. Tahun 2013 tidak terjadi kasus kematian balita.
c. Tahun 2014 tidak terjadi kasus kematian balita.
4. Angka kematian Ibu
a. Kasus kematian ibu bersalin pada tahun 2011 sebanyak 0 kasus.

b. Kasus kematian ibu bersalin pada tahun 2012 sebanyak 2 kasus.


c. Kasus kematian ibu bersalin pada tahun 2013 sebanyak 0 kasus.
d. Kasus kematian ibu bersalin pada tahun 2014 sebanyak 2 kasus.
5. Indikator KIA (data puskesmas natar)
a. Cakupan Kunjungan Ibu Hamil (K4)
1. Tahun 2011 sebanyak 94,7%
2. Tahun 2012 sebanyak 69,9%
3. Tahun 2013 sebanyak 90,7%
4. Tahun 2014 sebanyak
b. Cakupan Komplikasi Kebidanan
1. Tahun 2011 sebanyak 59 kasus
2. Tahun 2012 sebanyak 107 kasus
3. Tahun 2013 sebanyak 75 kasus
4. Tahun 2014 sebanyak
c. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
1. Tahun 2011: nakes 96,4%, dukun terlatih 0,9%.
2. Tahun 2012: nakes 87,2%, dukun terlatih 0,9%.
3. Tahun 2013: nakes 95,8%, dukun terlatih 0,53%.
4. Tahun 2014:
d. Cakupan Pelayanan Nifas
1. Tahun 2011 sebanyak 95,41%
2. Tahun 2012 sebanyak 99,79%
3. Tahun 2013 sebanyak 97,5%
4. Tahun 2014 sebanyak
e. Cakupan Pelayanan Neonatus dengan Komplikasi
1. Tahun 2011 sebanyak 0%
2. Tahun 2012 sebanyak 0%
3. Tahun 2013 sebanyak 0%
4. Tahun 2014 sebanyak

10

f. Cakupan Imunisasi Bayi (Universal Child Immunization)


NO

ANTIGEN

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

HBO<7 hari
BCG
DPT/HB.1
DPT/HB.2
DPT/HB.3
POLIO 1
POLIO 2
POLIO 3
POLIO 4
CAMPAK

2011
%
60,4
82,0
94,0
96,4
91,4
94,0
96,4
93,0
87,2
85,3

2012
%
60,4
101,5
103,6
107,8
107,4
101,7
104,6
104,6
109,9
108,8

2013
%
100,9
99,6
100,5
99,5
98,7
100,5
100,8
98,9
95,3
93,8

g. Cakupan Pelayanan Anak Balita


Cakupan pelayanan anak balita telah mencapai 89,8% dibawah target
SPM 90%. Untuk cakupan tertinggi tercapai di desa Negara Ratu
113,6% dan terendah di desa Bumisari 44,5%.
h. Cakupan Perawatan Balita Gizi Buruk
Pada tahun 2011-2013 tidak terjadi kasus balita dengan gizi buruk.
i. Cakupan Penjaringan Kesehatan Anak Sekolah Dasar
Di wilayah kerja PKM Natar terdapat 24 SD dengan 1.610 murid
sasaran. Untuk tahun 2013 telah dilakukam penjaringan kesehatan
siswa SD dan setingkat dengan hsil cakupan 1.261 siswa (78,3%).

C. Pencegahan Dan Pemberantasan Penyakit Menular


Menurut Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan (P2M&PL Depkes) Prof Dr dr Umar Fahmi
Achmadi MPH yang juga guru besar ilmu kesehatan lingkungan dan kesehatan
kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ada empat faktor
yang berperan dalam dinamika transmisi penyakit menular. Yaitu sumber

11

penyakit, vektor, barrier (penghalang) antara vektor dengan populasi yang


berisiko serta kekebalan manusia.
Identifikasi, intervensi dan pengelolaan terhadap keempat faktor plus faktor
kelima, yaitu perawatan penderita penyakit menjadi satu kesatuan simpul
manajemen dalam meningkatkan upaya pemberantasan penyakit menular.
Tentunya hal ini menjadi tantangan bagi para pengelola program kesehatan di
daerah (kabupaten/kota) di era desentralisasi.
Kini sedang dikembangkan manajemen P2M&PL ((Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan) terpadu berbasis wilayah. Model ini sedang
dikembangkan Ditjen P2M&PL dan mulai dimasukkan dalam kurikulum
pelatihan para kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Model yang dikembangkan bertujuan memperkuat program pemberantasan
penyakit menular dan penyehatan lingkungan di daerah secara komprehensif.
Yakni berdasarkan data dan informasi tenaga epidemiologi daerah, kerja sama
dengan mitra di luar kesehatan serta kerja sama antarwilayah.
Adapun penyakit Menular dikelompokkan berdasarkan sifat penyebarannya di
dalam masyarakat wilayah tersebut, yaitu :
1) Penyakit Menular yang secara endemik berada di dalam wilayah, yang
pada waktu tertentu dapat menimbulkan wabah, yang dikelompokkan
kedalam Penyakit Menular Potensial Wabah seperti ; Diare, DBD,
Malaria, Filaria.
2) Penyakit menular yang berada di wilayah dengan endemisitas yang cukup
tinggi sehingga jika tidak diawasi dapat menjadi ancaman bagi kesehatan
masyarakat umum. Penyakit Menular Endemik Tinggi seperti ;
Tuberkulosis Paru, Lepra, Patek, Rabies, Antraks.
3) Penyakit-penyakit menular lain yang walaupun endemisitasnya tidak
terlalu tinggi didalam masyarakat, tetapi oleh karena sifat penyebarannya
dianggap sangat membahayakan masyarakat, maka penyakit-penyakit ini
perlu di awasi keberadaannya.

12

1. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue dan disebarkan oleh
nyamuk (vektor) terutama Aedes aegypti, yang menyebabkan gangguan pada
pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga
mengakibatkan manifestasi perdarahan. Menurut WHO (1986), kriteria klinis
demam berdarah Dengue adalah sebagai berikut :
1. Demam akut yang tetap tinggi selama 2-7 hari kemudian tiba-tiba turun secara
drastis
2. Manifestasi perdarahan, uji tourniquet positif, ptekia, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena
3. Pembesaran hati yang nyeri tekan tanpa ikterus
4. Dengan atau tanpa renjatan
Tanda dan Gejala
a. Demam
Demam tinggi secara mendadak disertai facial flushing dan sakit kepala.
Demam ini dapat berlangsung selama 2-7 hari, kadang disertai kejang pada
anak dengan riwayat kejang demam. Pasien kehilangan nafsu makan, muntah,
nyeri epigastrium, nyeri perut di daerah lengkung iga sebelah kanan.
b. Manifestasi perdarahan
Sebab perdarahan adalah adanya trombositopenia dan gangguan trombosit.
Perdarahan ini terjadi di semua organ-organ tubuh, yang ditandai sekurangkurangnya satu dari :
-

Uji Tourniquet (Rumple leede) positif, ptechie, echymosis, dan perdarahan


konjungtiva.

Epistaksis, perdarahan gusi

Hematemesis, melena

Hematuria

c. Hepatomegali

13

Pembesaran hati umumnya dapat ditemukan pada awal penyakit bervariasi


dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm dibawah
lengkung iga kanan.
d. Dengan atau tanpa gejala syok
Pada saat atau beberapa saat setelah suhu turun, antara hari sakit ke 3-7,
terdapat tanda kegagalan sirkulasi seperti kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis di sekitar mulut, pasien menjadi
gelisah, nadi cepat dan lemah, kecil sampai tak teraba.
Syok merupakan tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian serius, oleh
karena bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan
kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk kedalam fase kritis yaitu syok
berat (profound syok), pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak dapat terukur
lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu singkat, pasien dapat meninggal dalam
waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendapat pengantian cairan yang
memadai. Apabila syok tidak dapat segera diatasi dengan baik akan terjadi
asidosis metabolik, perdarahan saluran cerna hebat atau perdarahan lain, hal
ini pertanda prognosa buruk.

e. Trombositopenia
Penurunan jumlah trombosit menjadi < 100.000/mm3 atau kurang dari 1-2
trombosit/ lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan
dilakukan pada 10 lpb, pada umumnya trombositopenia terjadi sebelum ada
peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun.
f. Hemokonsentrasi/ kadar hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada
DBD, merupakan indikator yang peka akan terjadinya perembesan plasma,
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan Ht secara berkala. Pada umumnya
penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit 20 % atau lebih ( misalnya dari 35 % menjadi

14

42 %) mencerminkan peningkatan permeabilitas kepiler dan perembesan


plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh
penggantian cairan atau perdarahan.
Agen Penyebab
Virus Dengue yang menyebabkan penyakit DBD termasuk famili
Flavivirus dan ditemukan empat serotipe: Dengue 1, Dengue 2, Dengue 3 dan
Dengue 4. Ke empat virus ini telah ditemukan di Indonesia. Penelitian di
Indonesia menunjukkan Dengue tipe 3 merupakan serotipe virus yang dominan
menyebabkan kasus yang berat.
Cara Penularan
Vektor utama Dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. tetapi
dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang hidup di kebun. Kedua jenis
nyamuk ini berada di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat ketinggian
lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. Nyamuk Aedes aegypti betina
menghisap darah manusia pada siang hari baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak
waktu yaitusetelah matahari terbit (8.00-12.00) dan sebelum matahari terbenam
(15.00-17.00). Nyamuk beristirahat di semak-semak, tanaman rendah seperti
rerumputan dan juga di benda-benda tergantung di dalam rumah seperti pakaian.
Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit berulang ( multiple biters ) ialah
menggigit beberapa orang bergantian. Keadaan ini sangat membantu nyamuk
dalam memindahkan virus Dengue ke beberapa orang sekaligus sehingga
dilaporkan adanya beberapa penderita DBD dalam satu rumah.
Telur Aedes aegypti berwarna hitam seperti sarang tawon, diletakkan satu
demi satu di permukaan atau sedikit di bawah permukaan air dengan jarak lebih
kurang 2-5 cm dari dinding tempat perindukan. Telur dapat bertahan sampai
berbulan-bulan pada suhu -2 0C sampai +42 0C. Bila kelembaban terlalu rendah,
maka telur akan menetas dalam waktu 4 hari. Dalam keadaan optimal
perkembangan telur sampai menjadi nyamuk dewasa berlangsung sekurangnya
selama 9 hari. Nyamuk betina dewasa yang mulai menghisap darah manusia, 3
hari sesudahya sanggup bertelur sampai 100 telur. Dua puluh empat jam
15

berikutnya nyamuk ini menghisap darah lagi, selanjutnya bertelur lagi. Walaupun
umur nyamuk dewasa betina di alam bebas hanya 25 hari, waktu itu cukup bagi
nyamuk untuk berkembang biak.
Pada saat nyamuk betina menghisap darah pasien DBD, maka bersama
darah, virus masuk ke dalam perut nyamuk. Di perut nyamuk, virus ini
berkembangbiak secara propagatif. Diperlukan waktu 8-10 hari sampai nyamuk
ini dapat menyebarkan DBD kepada orang lain, inilah yang dinamakan masa
tunas ekstrinsik. Virus ini tidak di temukan pada telur nyamuk jadi tidak ada
penularan melalui transovarian (herediter). Jarak terbang umumnya ialah sekitar
100 meter.
Tempat perindukan nyamuk A.aegypti ialah tempat-tempat berisi air bersih
(yang tidak berhubungan dengan tanah) yang berdekatan dengan rumah-rumah
penduduk, biasanya tidak melebihi 500 meter dari rumah.
Adanya vektor berhubungan erat dengan berbagai faktor antara
lain:kebiasaan masyarakat yang menampung air bersih untuk keperluan seharihari, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan penyediaan air bersih yang
langkah.
Kasus DBD cenderung meningkat pada musim hujan, kemungkinan hal ini
disebabkan karena :
1. Perubahan musim mempengaruhi frekuensi gigitan nyamuk, karena pengaruh
musim hujan, puncak gigitan terjadi pada siang dan sore hari.
2. Perubahan musim mempengaruhi sikap manusia terhadap gigitan nyamuk
dengan lebih banyak berdiam di dalam rumah selama musim hujan.
Derajat DBD :
1. Derajat I : demam 2-7 hari terus-menerus + rumple leed (+)
2. Derajat II : I + perdarahan spontan
3. Derajat III : I + II + kegagalan sirkulasi (renjatan)
4. Derajat IV : renjatan dalam dengan nadi tidak teraba, tekanan darah tidak
terukur

16

Cara paling efektif dalam pengendalian vektor adalah penatalaksanaan


lingkungan, yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan
pemantauan aktivitas untuk memodifikasi faktor-faktor lingkungan untuk
mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia - vektor - patogen. The
WHO Expert Committee on Vector Biology and Control mendefinisikan tiga tipe
penatalaksanaan lingkungan :
1. Modifikasi lingkungan, melakukan transformasi fisik jangka panjang dari
habitat vektor.
2. Manipulasi lingkungan, perubahan temporer dari habitat vektor sebagai hasil
dari aktivitas yang direncanakan untuk menghasilkan kondisi yang tidak
disukai dalam perkembangbiakan vektor.
3. Perubahan habitat atau perilaku manusia sebagai upaya untuk mengurangi
kontak manusia - vektor - patogen.
Metode Penatalaksanaan Lingkungan
Metode penatalaksanaan lingkungan untuk mengontrol Ae. aegypti dan
mengurangi interaksi manusia - vektor - patogen termasuk perbaikan suplai dan
penyimpanan air, penanganan sampah padat dan modifikasi habitat larva yang
dibuat manusia.
1. Perbaikan suplai dan penyimpanan air
Rumah tangga yang sering menyimpan air karena suplai air tidak dapat
diandalkan dalam wadah penyimpanan memainkan peranan penting dalam
perkembangan Aedes aegypti terutama di daerah perkotaan. Bila wadah
digunakan untuk menyimpan air maka wadah harus ditutup rapat atau
menggunakan penyaring.
2. Penanganan sampah padat
Pendekatan yang paling umum harus digunakan untuk mengurangi potensi
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di dalam dan di sekitar habitat
manusia
3. Modifikasi habitat larva yang dibuat manusia
Segala sesuatu yang berpotensi menampung air harus dihindari. Kolam atau
akuarium dapat diberikan klorin atau dikembangbiakkan ikan pemangsa larva.

17

Jika memungkinkan rumah rumah harus didesain atau dimodifikasi untuk


mengurangi kemungkinan nyamuk masuk.
Pengendalian Secara Kimiawi
Penyemprotan ruangan adalah penyebaran droplet mikroskopik insektisida
di udara untuk membunuh nyamuk dewasa dan digunakan pada situasi darurat ada
kasus Demam Dengue. Dua bentuk penyemprot ruangan yang umum digunakan
untuk pengendalian Aedes aegypti: fogging thermal dan aerosol volume rendah
ultra (ULV = fogging dingin) dan embun. Fogging thermal dihasilkan dengan alat
dimana insektisida yang dicampur dalam minyak dengan titik nyala tinggi,
disebarkan dengan diinjeksikan ke dalam aliran gas panas berkecepatan tinggi.
Aerosol ULV dan embun mencakup pemakaian kuantiatas kecil konsentrat
insektisida cair. Penyemprotan dari udara sering digunakan bila harus menangani
area yang luas dalam waktu singkat. Larvasida biasanya terbatas digunakan untuk
keperluan rumah tangga pada wadah yang airnya tidak boleh dibuang. Ada 3
macam larvasida: bubuk granul temephos 1%, balok methoprene dan BTI
(Bacillus thuringiensis H-14). Ketiga larvasida ini mempunyai toksisitas mamalia
yang sangat rendah dan aman untuk air minum manusia.
Sejak tahun 1940-an bahan kimia (insektisida) telah dipergunakan untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti. Pada saat terjadi resistensi nyamuk terhadap
DDT awal tahun 1960-an, insektisida organofosfat seperti fenthion ,malathion dan
temephos mulai digunakan untuk pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Insektisida
sebenarnya berbahaya bagi manusia dan hewan, selain terjadi resistensi Aedes
aegypti terhadap insektisida yang umum digunakan di beberapa negara sehingga
pemberantasan nyamuk dengan memodifikasi dan memanipulasi lingkungan
(memusnahkan habitat vektor) penting untuk dilakukan termasuk 3M (menutup,
menguras dan mengubur) (WHO, 1997).
Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan DBD
Partnership dalam pemberantasan DBD dibentuk dalam Kelompok Kerja
Operasional Pemberantasan Demam Berdarah Dengue, yang selanjutnya disingkat
POKJANAL DBD. Kelompok ini bertugas untuk membantu Tim Pembina LKMD

18

dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan


pemberantasan penyakit DBD Departemen Kesehatan RI (2006). POKJANAL
DBD dibentuk dengan tujuan melakukan pembinaan operasional terhadap
pelaksanaan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan
pemberantasan penyakit DBD diwilayah kerjanya secara berjenjang dan
berkesinambungan. Disebutkan secara berjenjang dan berkesinambungan, karena
prinsip kerja POKJANAL DBD adalah membina dan mengendalikan aktivitas
POKJANAL

DBD

setingkat

dibawahnya

secara

berjenjang

dan

berkesinambungan, mulai dari tingkat Pusat, tingkat Propinsi, tingkat Kabupaten


dan Kotamadya, sampai tingkat Kecamatan dan akhirnya sampai pada tingkat
pelaksanaan operasional oleh POKJA DBD yang dibentuk di tingkat Desa,
Kelurahan, Dusun, Lingkungan RW-RT. POKJANAL DBD sebagai unsur
pelaksanan teknis yang melakukan pembinaan operasional terhadap berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
Demam Berdarah Dengue, secara organisasi kedudukannya berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Tim Pembina LKMD. Dengan demikian POKJANAL
DBD dibentuk di setiap tingkatan pemerintahan, sebagaimana keberadaan Tim
Pembina LKMD.
Tugas dan fungsi dasar dari Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan data dan informasi keadaan dan perkembangan berbagai kegiatan
POKJANAL DBD di wilayah kerjanya (aktivitas pokok POKJA DBD).
2. Menganalisis masalah dan kebutuhan pembinaan operasional serta menetapkan
alternatif pemecahan masalah yang dihadapi sehubungan dengan cakupan
program dan pencapaian hasil kegiatan POKJANAL DBD di wilayah kerjanya
(aktivitas pokok POKJA DBD).
3. Menyusun rencana tindak lanjut terhadap pilihan alternatif pemecahan masalah
yang dihadapi berdasarkan hasil pemantauan dan dan evaluasi pelaksanaan
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan
penyakit DBD di wilayah kerjanya yang dilakukan sekurang-kurangnya setiap
3 bulan.

19

4. Melakukan pemantauan dan bimbingan teknis pengelolahan program


pemberantasan DBD kepada POKJANAL DBD setingkat dibawahnya,
termasuk terhadap aktivitas POKJANAL DBD di wilayah kerjanya.
5. Menginformasikan masalah yang dihadapi kepada dinas, instansi, atau lembaga
terkait untuk pemecahan masalahnya.
6. Melaporkan hasil pelaksanaan semua kegiatan POKJANAL DBD (aktivitas
pokok POKJANAL DBD) di wilayah kerjanya kepada kepala pemerintahan
daerah dan tembusannya disampaikan kepada POKJANAL DBD pada tingkat
pemerintahan yang setingkat lebih tinggi, sekurang-kurangnya setiap 3 bulan.
Pembinaan operasional oleh POKJANAL DBD menganut prinsip-prinsip
sebagai berikut :
1. Bersifat pembinaan teknis asilitatif, bukan direktif instruksional yang kaku.
2. Uupaya pemecahan masalah atas dasar kebutuhan yang muncul dari bawah.
3. Integrating kewilayahan, artinya wilayah kerja pembinaannya menyeluruh
dalam area administrasi pemerintahan tetapi dengan urutan prioritas garapan
secara berlanjut menurut kebutuhan.
4. Menganut azas keterpaduan dan koordinasi, artinya pembinaan yang dilakukan
atas nama kesatuan tim kerja, bukan hanya instansional tertentu saja.
POKJANAL DBD di setiap tingkatan pemerintahan terdiri dari unsur dinas,
instansi, dan lembaga yang terkait langsung dalam pembinaan operasional
pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD, yaitu unsur kesehatan, Diknas,
Penerangan, Agama, Sosial, Bapeda (Bidang Sosial Budaya), Kantor PMD, Unsur
Sekwilda (Bidang Kejahteraan Sosial), Tim Penggerak PKK, Tim Pembina UKS,
dan lain-lain (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Tatalaksana Pencegahan Peristiwa DBD
Pencegahan penyakit DBD yang terpenting adalah dengan memutuskan
rantai penularan antara host dengan vektor yang menularkan penyakit DBD. Cara
pencegahan yang terbaik adalah dengan melaksanakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan melibatkan peran serta masyarakat. PSN yang

20

dicanangkan dalam rangka pencegahan DBD adalah 3 M ( Menutup, Menguras


dan Mengubur ).
Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk peran serta masyarakat
antara lain :
a) Penyuluhan kesehatan
b) Membersihkan tempat-tempat penampungan air sedikitnya sekali/ minggu
c) Mengubur benda-benda yang dapat menampung air hujan seperti kaleng
bekas, botol, ban bekas, dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi
tempat perindukan nyamuk aedes aegypti.
d) Menutup tempat-tempat penyimpanan air seperti tempayan, drum, dll.
e) Mengganti air pot bunga seminggu sekali
f) Melipat baju-baju yang tergantung
g) Memelihara ikan pemakan jentik ( ikan kepala timah, ikan gupi, dll) pada
kolam hias yang ada di rumah / di lingkungan rumah.
h) Memasukkan larvasida ( abate ) pada pempat penampungan air yang tidak
dapat dikuras / di tutup rapat, 10 gram untuk 100 liter air.
Untuk memberantas nyamuk dewasa dilakukan pengasapan ( fogging ) di
dalam rumah penderita dan di dalam rumah-rumah sekitar rumah penderita
dengan radius sejauh 100 meter, sebanyak 2 kali dengan interval waktu 10
hari.

Tatalaksana Pasien, Kontak, dan Lingkungan


Bila ada kasus DBD harus segera di laporkan ke Dinas Kesehatan Tingkat
II dalam waktu 24 jam. Pasien harus di rawat untuk mencegah timbulnya syok.
Berikan pengobatan simptomatis dan dipantau tekanan darahnya serta di monitor
dan di pantau pula kadar trombosit darahnya.

21

Pada orang-orang yang berada di sekitar pasien perlu di amati sedikitnya


selama 6 hari untuk memastikan apakah tetap sehat atau jatuh sakit.
Pada masyarakat di lingkungan pasien perlu di berikan penyuluhan tentang
penyakit DBD, terutama yang menyangkut cara-cara penularan penyakit dan caracara pencegahannya.
Tatalaksana Waktu KLB
Bila ada KLB DBD, harus segera di lakukan tindakan terhadap pasien dan
masyarakat sekitar pasien. Penyuluhan harus segera diberikan kepada masyarakat
yang tinggal di sekitar rumah pasien. Segera dilakukan pengasapan ( fogging )
massal di desa atau kelurahan dengan prioritas yang insidens ( attack rate) tingi
serta dengan memperhatikan wilayah kesatuan epidemiologis. Abatisasi massal,
gerakan pemberantasan nyamuk melalui 3 M di desa/ kelurahan, sekolah dan
tempat-tempat umum, dan melaksanakan PSN dengan mengikut sertakan
partisipasi masyarakat.
Tindakan Internasional
Karena penyakit DBD termasuk penyakit Wabah, maka harus sampai ke
perwakilan WHO.

22

Alur Pelaporan Kasus DBD

Dinas Kesehatan

Desa

Puskesmas dan
puskesmas Perawatan

Keluarga

Penyelidikan
Epidemiologi

RS/ Unit Pelayanan


Kesehatan

Kasus DBD di Puskesmas Natar


1. Tahun 2011 terdapat 72 kasus DBD
2. Tahun 2012 terdapat 25 kasus DBD
3. Tahun 2013 terdapat 34 kasus DBD
4. Tahun 2014 terdapat 21 kasus DBD
Adapun tindakan yang telah dilakukan yaitu melaksanakan PE
(penyelidikan epidemiologis) oleh petugas surveilans dan bidan desa yang
bersangkutan dengan memberikan penyuluhan 3 M plus dan PJB serta fogging
focus di sekitar rumah penderita DBD.
2. Tuberkulosis Paru
Penyakit tuberkulosis yang selanjutnya disebut penyakit TBC adalah salah
satu penyakit penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri
23

Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat
sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering
menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir
ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan
masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian
penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih
dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China
dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di
dunia. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus
meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap
dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap
empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.
Adapun gejala dari penyakit TBC adalah sebagai berikut :
1. Batuk yang terus - menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala
utama ini harus di anggap sebagai suspek tuberkulosis atau tersangka
penderita TBC dan segera diperiksa dahaknya di laboratorium.
2. Mengeluarkan dahak bercampur darah (hemoptisis), sesak nafas dan nyeri
pada dada.
3. Lemah badan, kehilangan nafsu makan, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam tanpa disertai kegiatan dan meriang lebih dari satu
bulan.
Pada balita diagnostik TBC adalah berdasarkan di bawah ini menurut urutan
prioritas:
1. Adanya riwayat kontak dengan penderita TBC yang menular, terutama
yang tinggal serumah.
2. Adanya suatu gambaran abnormal dari foto rontgen dada di mana
menunjukkan adanya unilateral limfadenopati dan atau bayangan paru
yang mengisyaratkan adanya suatu infiltrat.

24

3. Adanya hasil yang positif dari tes tuberkulin, sedang pada orang dewasa
dengan pemeriksaan sputum (dahak) ditemukan 2 kali basil tahan asam
( BTA ) positif pada pemeriksaan mikroskopik dahak tiga kali ( sewaktu,
pagi, sewaktu)
Agen Penyebab
Penyebab TBC paru adalah kuman Mikobakterium tuberkulosis. Dikenal
ada M. tuberkulosis tipe humanum, tipe bovinum dan tipe avinum.
Sumber Penularan
Sumber penularan adalah pasien TBC paru yang BTA positif. Sumber
penularan TBC usus adalah sapi yang sakit TBC.
Cara Penularan
Cara penularan TBC paru melalui udara pernapasan (aerogen) dengan
menghirup partikel kecil yang mengandung bakteri TBC, sedangkan untuk TBC
usus adalah dengan minum susu sapi yang sakit TBC.

25

Masa Tunas
Masa tunas penyakit TBC paru berkisar antara 4-12 minggu.
Masa Penularan
Masa penularan terus berlangsung selama pasien sputum BTA masih positif.
Pasien meludah di sembarang tempat, kemudian dahak yang mengandung bakteri
TBC tersebut mengering, lalu diterbangkan di udara dan kemudian di hirup oleh
orang lain (aerogen) atau air bone transmission.
Patogenesis infeksi
Infeksi Primer : terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga
sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang mengakibatkan
peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar
limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer
tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadangkadang daya tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC.
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer
adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.
Kekebalan dan Kerentanan

26

Semua orang dapat ditulari penyakit TBC paru. Tiap orang mempunyai resiko
untuk mendapatkan infeksi TBC, tetapi 80-90% tidak menjadi sakit karena
perlindungan sistem kekebalan tubuhnya, dan kuman TBC tidur untuk sementara
( dormant ) dalam tubuh orang tersebut. Sisanya karena kondisi badan kurang baik
dan gencarnya penularan, akan menderita TBC yang ditandai dengan batuk
berdahak lebih dari 3 minggu, mengeluarkan dahak bercampur darah, sesak nafas
dan atau nyeri dada, lemah, kehilangan nafsu makan, demam dan berkeringat
malam. Beberapa faktor predisposisi seseorang terkena TBC :
a)

Ekonomi lemah ( kemiskinan)

b)

Tinggal di daerah kumuh, ventilasi kurang, sinar matahari tak masuk


rumah.

c)

Berat badan rendah ( underneurish)

d)

Penyakit gastrointestinal, penderita penyakit diabetes dan pengidap HIV

e)

Kelompok umur batita dan dewasa muda.

Tatalaksana Kasus TBC


1) Pencegahan
Tujuan program pencegahan TBC antara lain:

Menyembuhkan penderita

Mencegah kematian

Mencegah kekambuhan

Menurunkan tingkat penularan

Hal-hal yang dilakukan dalam program pencegahan TBC diantaranya;

Saat batuk seharusnya menutupi mulutnya, dan apabila batuk lebih dari 3
minggu, merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa
kepuskesmas atau ke rumah sakit.

Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.

Membuang ludah di tempat yang tertutup, dan apabila ludahnya


bercampur darah segera dibawa kepuskesmas atau ke rumah sakit.

27

Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan


oleh penderita.

Bayi yang baru lahir dan anak-anak kecil harus diimunisasi dengan vaksin
BCG. Karena vaksin tersebut akan memberikan perlindungan yang amat
bagus.

2) Pemberantasan
Pemberantasan TBC bertujuan untuk untuk memutus mata rantai virulenci
penularan penyakit TBC, dan agar tidak terjadi prevalenci penyakit TB yang
lebih besar.
Pemberantasan TBC meliputi;
1. Pengobatan pada penderita hingga sembuh
2. Perlakuan pada rumah penderita untuk lebih memperhatikan factor
kesehatan lingkungan dengan menambah ventilator sebagai pengganti
udara, genteng kaca supaya sinar matahari dapat masuk, dan faktor higiene
lingkungan yang lain yang lebih baik.
3. Sterilisasi rumah pasca penderita.

3) Pengobatan
Prinsip pengobatan TBC : Obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya
semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan
dalam dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang
digunakan tidak adekuat, kuman TB akan berkembang menjadi kuman kebal.
Pengobatan TB diberikan dalan 2 Tahap yaitu:
1. Tahap intensif
2. Pada tahap intensif penderita mendapat obat (minum obat) setiap hari selama 2
- 3 bulan.

28

3. Tahap lanjutan
4. Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat (minum obat) tiga kali seminggu
selama 4 5 bulan.
Pengobatan TB diberikan berdasarkan kategori-kategorinya, yaitu
1. Kategori -1 (2RHZE/ 4H3R3), diberikan untuk
a. Penderita baru BTA positif
b. Penderita baru BTA negatif/ Rontgen positif yang sakit berat dan ekstra
paru berat.

Pada fase awal ( intensif ) diberikan setiap hari selam 60 hari (2 bulan )
terdiri dari :
1) INH 300 mg, satu tablet
2) Rifampisin 450 mg, satu tablet
3) Pirazinamid 500 mg, 3 tablet
4) Ethambutol 250 mg, 3 tablet

Satu minggu sebelum fase awal/ intensif selesai, dahak di periksa ulang,
bila tetap positif diberikan obat sisipan selama 30 hari (satu bulan).
Satu minggu sebelum selesai pemberian obat sisipan, dilakukan
kembali pemeriksaan dahak.

Bila hasil pemeriksaan BTA positif, berarti kategori -1 gagal, pindah ke


pengobatan kategori -2.
Bila hasil pemeriksaan BTA negatif, lanjutkan pengobatan dengan fase
intermitten diberikan tiga kali dalam seminggu selama 54 kali ( 4 bulan )
terdiri dari :

INH 300 mg, 2 tablet

Rifampisin 450 mg, 1 tablet

Setelah menelan obat selama tiga bulan pada masa intermitten, dilakukan
periksa ulang dahak, bila negatif lanjutkan obatnya.
Bila pada pemeriksaan ulang dahak, hasilnya positif maka harus diganti
pengobatannya dengan kategori-2 ( penderita gagal ).
2. Kategori-2 : (2 HRZES/ HRZE/ 5H3R3Z3)

29

Obat ini diberikan untuk :


a. Penderita kambuh (relaps) dengan BTA positif
b. Gagal ( failure ) BTA positif
c. Lain-ain BTA positif
Pada fase awal (intensif) diberikan setiap hari selama 3 bulan (90) kali
kecuali streptomisin selama 60 hari setiap hari ( 2 bulan ) :

Injeksi streptomisin 750 mg/ hari selama 2 bulan

INH 300 mg, 1 tablet selama 3 bulan

Rifampisin 450 mg, 1 tablet selama 3 bulan

Pirazinamid 500 mg, 3 tablet selama 3 bulan

Ethambutol 250 mg, 3 tablet selama 3 bulan.


Satu minggu sebelum fase awal/ intensif selesai, dilakukan pemeriksaan
ulang dahak, bila negatif lanjutkan pemberian obat fase lanjutan
(intermiten ) 5H3R3E3 obat ini diberikan selama 5 bulan, 3 kali seminggu
(66 kali).

INH 500 mg, 2 tablet

Rifampisin 250 mg, 1 tablet

Ethambutol 1250 mg, 3 tablet ( 500 mg 2 tablet, 250 mg 1 tablet )

3. Kategori -3 (2HRZ/ 4 H3R3)


a. Penderita baru BTA negatif/ Rontgen positif
b. Penderita ekstra paru ringan, maka :
Satu minggu sebelum fase awal intensif selesai dilakukan, periksa
ulang dahak. Bila hasil positif, pindah ke kategori -2. Bila hasil
negatif, lanjutkan ke pengobatan fase lanjutan ( intermiten )
Pada fase awal di berikan setiap hari selama 60 kali (2 bulan)

INH 500 mg, 1 tablet

Rifampisin 450 mg, 1 tablet

Pirazinamide 500 mg, 3 tablet

Dan fase lanjutan (intermiten) diberikan selama 4 bulan 3 kali


seminggu (54 kali)

30

INH 300 mg, 2 tablet

Rifampisin 450 mg, 1 tablet

Program penanggulangan TBC yang efektif terdiri dari 5 kunci utama yang
merupakan rangkaian proses, yang bila dilaksanakan secara komprehensif,
merupakan kunci keberhasilan penanggulangan TBC.
Strategi Penemuan dan Evaluasi
Dengan cara passive promotive case finding artinya penjaringan
tersangka penderita yang dating berkunjung ke unit pelayanan kesehatan dengan
meningkatkan penyuluhan TBC kepada masyarakat. Bila ditemukan penderita
tuberculosis paru dengan sputum dahat BTA +, maka semua orang yang kontak
serumah dengan penderita harus diperiksa. Apabila ada gejala-gejala suspek
(Kecurigaan) TBC maka harus diperiksa dahaknya.
Strategi penemuan dan evaluasi pengobatan penderita TBC dengan
melaksanakan fungsi PRM dan PS (Puskesmas Rujukan mikroskopis dan
Puskesmas Satelit), dimana Puskesmas Satelit membuat fiksasi sediaan untuk di
warnai dan dibaca oleh Puskesmas Rujukan Mikroskopis.
Kunci utama strategi tersebut adalah :
a)

Diagnostik utama dan pemeriksaan sputum BTA

b)

Ketersediaan obat bermutu dan kepastian jumlah dan jaminan distribusi

c)

Pengawasan keteraturan pengobatan dengan pengobatan DOTS

d)

Keseragaman sistem pencatatan dan pelaporan.

31

Kasus TB Paru di Puskesmas Natar:


1. Tahun 2011 terdapat 46 pasien BTA (+)
2. Tahun 2012 terdapat 48 pasien BTA (+)
3. Tahun 2013 terdapat 43 kasus BTA (+)
4. Tahun 2014 terdapat 57 kasus BTA (+)
Angka keberhasilan pengobatan penderita TB paru BTA (+) di puskesmas
Natar tahun 2014 yaitu sebesar 96,5%.

3. Hiv-Aids
3.1 Pengertian HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai

32

CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan
yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol) (KPA,
2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia,
dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup,
yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe,
dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara
kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas
di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
3.2. Pengertian AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk
melindungi diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS
melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya
berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain (Yatim, 2006).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam
sel atau media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam
kondisi AIDS, apalagi tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai
dengan adanya berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur.
Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein, 2006).
3.3. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April
tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda yang meninggal di
RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-parunya. Sampai dengan akhir
tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat (Muninjaya,
1998).

33

Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam akibat


penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna
narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan
kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS
yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban, 2007).
Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16.110 kasus
AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang
tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut,
12.061 penderita adalah laki-laki dengan penyebaran tertinggi melalui hubungan
seks (Depkes RI, 2008).
3.4. Etiologi dan Patogenesis
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab
AIDS. Virus ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri
khas morfologi yang unik dari HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk
silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung 3 gen yang dibutuhkan untuk
replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen tambahan
pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk
gen virus terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya.
Transaktivasi pada HIV sangat efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi
HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi protein struktural virus. Rev
membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus. Protein Nef
menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2005).

34

Gambar 2.1. Struktur anatomi HIV (TeenAIDS, 2008).


Gen HIV-ENV memberikan kode pada sebuah protein 160-kilodalton (kD)
yang kemudian membelah menjadi bagian 120-kD(eksternal) dan 41-kD
(transmembranosa). Keduanya merupakan glikosilat, glikoprotein 120 yang
berikatan dengan CD4 dan mempunyai peran yang sangat penting dalam
membantu perlekatan virus dangan sel target (Borucki, 1997).
Setelah virus masuk dalam tubuh maka target utamanya adalah limfosit
CD4 karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Virus
ini mempunyai kemampuan untuk mentransfer informasi genetik mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase.
Limfosit CD4 berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang
progresif (Borucki, 1997).
Setelah infeksi primer, terdapat 4-11 hari masa antara infeksi mukosa dan
viremia permulaan yang dapat dideteksi selama 8-12 minggu. Selama masa ini,
virus tersebar luas ke seluruh tubuh dan mencapai organ limfoid. Pada tahap ini
telah terjadi penurunan jumlah sel-T CD4. Respon imun terhadap HIV terjadi 1
minggu sampai 3 bulan setelah infeksi, viremia plasma menurun, dan level sel
CD4 kembali meningkat namun tidak mampu menyingkirkan infeksi secara
sempurna. Masa laten klinis ini bisa berlangsung selama 10 tahun. Selama masa
ini akan terjadi replikasi virus yang meningkat. Diperkirakan sekitar 10 milyar
partikel HIV dihasilkan dan dihancurkan setiap harinya. Waktu paruh virus dalam
35

plasma adalah sekitar 6 jam, dan siklus hidup virus rata-rata 2,6 hari. Limfosit TCD4 yang terinfeksi memiliki waktu paruh 1,6 hari. Karena cepatnya proliferasi
virus ini dan angka kesalahan reverse transcriptase HIV yang berikatan,
diperkirakan bahwa setiap nukleotida dari genom HIV mungkin bermutasi dalam
basis harian (Brooks, 2005).
Akhirnya pasien akan menderita gejala-gejala konstitusional dan penyakit
klinis yang nyata seperti infeksi oportunistik atau neoplasma. Level virus yang
lebih tinggi dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut.
HIV yang dapat terdeteksi dalam plasma selama tahap infeksi yang lebih lanjut
dan lebih virulin daripada yang ditemukan pada awal infeksi (Brooks, 2005).
Infeksi oportunistik dapat terjadi karena para pengidap HIV terjadi
penurunan daya tahan tubuh sampai pada tingkat yang sangat rendah, sehingga
beberapa jenis mikroorganisme dapat menyerang bagian-bagian tubuh tertentu.
Bahkan mikroorganisme yang selama ini komensal bisa jadi ganas dan
menimbulkan penyakit (Zein, 2006).
3.5. Cara penularan
HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air
susu ibu (KPA, 2007c).
Penularan HIV dapat terjadi melalui berbagai cara, yaitu : kontak seksual,
kontak dengan darah atau sekret yang infeksius, ibu ke anak selama masa
kehamilan, persalinan dan pemberian ASI (Air Susu Ibu). (Zein, 2006)
1. Seksual
Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling dominan dari
semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual dapat terjadi
selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki.
Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vaginal, anal (anus), oral
(mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal
yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV.
2. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.

36

3. Melalui jarum suntik atau alat kesehatan lain yang ditusukkan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau
pada pengguna narkotik suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika
melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
(tidak sengaja) bagi petugas kesehatan.
4. Melalui silet atau pisau, pencukur jenggot secara bergantian hendaknya
dihindarkan karena dapat menularkan virus HIV kecuali benda-benda tersebut
disterilkan sepenuhnya sebelum digunakan.
5. Melalui transplantasi organ pengidap HIV.
6. Penularan dari ibu ke anak
Kebanyakan infeksi HIV pada anak didapat dari ibunya saat ia dikandung,
dilahirkan dan sesudah lahir melalui ASI.
7. Penularan HIV melalui pekerjaan: Pekerja kesehatan dan petugas laboratorium.
Terdapat resiko penularan melalui pekerjaaan yang kecil namun defenitif, yaitu
pekerja kesehatan, petugas laboratorium, dan orang lain yang bekerja dengan
spesimen/bahan terinfeksi HIV, terutama bila menggunakan benda tajam
(Fauci, 2000).
Tidak terdapat bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
baik melalui ciuman maupun pajanan lain misalnya sewaktu bekerja pada
pekerja kesehatan. Selain itu air liur terdapat inhibitor terhadap aktivitas HIV
(Fauci,2000).
Menurut WHO (1996), terdapat beberapa cara dimana HIV tidak dapat
ditularkan antara lain:
1. Kontak fisik
Orang yang berada dalam satu rumah dengan penderita HIV/AIDS, bernapas
dengan udara yang sama, bekerja maupun berada dalam suatu ruangan dengan
pasien tidak akan tertular. Bersalaman, berpelukan maupun mencium pipi,
tangan dan kening penderita HIV/AIDS tidak akan menyebabkan seseorang
tertular.
2. Memakai milik penderita

37

Menggunakan tempat duduk toilet, handuk, peralatan makan maupun peralatan


kerja penderita HIV/AIDS tidak akan menular.
3. Digigit nyamuk maupun serangga dan binatang lainnya.
4. Mendonorkan darah bagi orang yang sehat tidak dapat tertular HIV.
3.6. Gejala Klinis
Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER)
(2008), gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi.
Tapi kadang-kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit
tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak

38

mempunyai gejala infeksi, penderita HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada


orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh,
penderita HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti
pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan gejala yang khas), diare,
berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah
terinfeksi, gejala yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir
pada penyakit yang disebut AIDS.
3.7. Pengobatan
Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan kondisi kesehatan
para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit oportunistik lain yang
berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus menyebabkan
penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transkriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide
reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya
berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus
yang telah berkembang (Djauzi dan Djoerban,2006).
Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula
kemungkinan pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi
HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan
jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun
perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada

39

semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon
imun inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).
3.8. Pencegahan
Menurut Muninjaya (1998), tiga cara untuk pencegahan HIV/AIDS adalah
Puasa (P) seks (abstinensia), artinya tidak (menunda) melakukan hubungan seks,
Setia (S) pada pasangan seks yang sah (be faithful/fidelity), artinya tidak
berganti-ganti pasangan seks, dan penggunaan Kondom (K) pada setiap
melakukan hubungan seks yang beresiko tertular virus AIDS atau penyakit
menular seksual (PMS) lainnya. Ketiga cara tersebut sering disingkat dengan
PSK.
Bagi mereka yang belum melakukan hubungan seks (remaja) perlu
diberikan pendidikan. Selain itu, paket informasi AIDS untuk remaja juga perlu
dilengkapi informasi untuk meningkatkan kewaspadaaan remaja akan berbagai
bentuk rangsangan dan rayuan yang datang dari lingkungan remaja sendiri
(Muninjaya, 1998).
Mencegah lebih baik daripada mengobati karena kita tidak dapat
melakukan tindakan yang langsung kepada si penderita AIDS karena tidak adanya
obat-obatan atau vaksin yang memungkinkan penyembuhan AIDS. Oleh karena
itu kita perlu melakukan pencegahan sejak awal sebelum terinfeksi. Informasi
yang benar tentang AIDS sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak mendapat
berita yang salah agar penderita tidak dibebani dengan perilaku yang tidak masuk
akal (Anita, 2000).
Peranan pendidikan kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku
sehingga perilaku individu, masyarakat maupun kelompok sesuai dengan nilainilai kesehatan. Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai
hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan.
Kemudian perilaku kesehatan akan berpengaruh pada peningkatan indikator
kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan.
(Notoadmodjo, 2007)
Paket komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang masalah AIDS
adalah salah satu cara yang perlu terus dikembangkan secara spesifik di Indonesia

40

khususnya kelompok masyarakat ini. Namun dalam pelaksanaannya masih belum


konsisten (Muninjaya, 1998).
Upaya penanggulangan HIV/AIDS lewat jalur pendidikan mempunyai arti
yang sangat strategis karena besarnya populasi remaja di jalur sekolah dan secara
politis kelompok ini adalah aset dan penerus bangsa. Salah satu kelompok sasaran
remaja yang paling mudah dijangkau adalah remaja di lingkungan sekolah (closed
community) (Muninjaya, 1998).
Keimanan dan ketaqwaan yang lemah serta tertekannya jiwa menyebabkan
remaja berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan hidup dan ingin diterima
dalam lingkungan atau kelompok tertentu. Oleh karena itu diperlukan peningkatan
keimanan dan ketaqwaan melalui ajaran-ajaran agama. (BNN, 2009)
Sebagian

masyarakat

Indonesia

menggangap

bahwa

seks

masih

merupakan hal yang tabu. Termasuk diantaranya dalam pembicaraan, pemberian


informasi dan pendidikan seks. Akibatnya jalur informasi yang benar dan
mendidik sulit dikembangkan (Zulaini, 2000).
Cara-cara mengurangi resiko penularan AIDS antara lain melalui seks
aman yaitu dengan melakukan hubungan seks tanpa melakukan penetrasi penis ke
dalam vagina, anus, ataupun mulut. Bila air mani tidak masuk ke dalam tubuh
pasangan seksual maka resiko penularan akan berkurang. Apabila ingin
melakukan senggama dengan penetrasi maka seks yang aman adalah dengan
menggunakan alat pelindung berupa kondom (Yatim, 2006).
Hindari berganti-ganti pasangan dimana semakin banyak jumlah kontak
seksual seseorang, lebih mungkin terjadinya infeksi. Hindari sexual intercourse
dan lakukan outercourse dimana tidak melakukan penetrasi. Jenis-jenis
outercourse termaksuk masase, saling rangkul, raba, dan saling bersentuhan tubuh
tanpa kontak vaginal, anal, atau oral (Hutapea, 1995).
Bagi pengguna obat-obat terlarang dengan memakai suntik, resiko
penularan akan meningkat. Oleh karena itu perlu mendapat pengetahuan
mengenai beberapa tindakan pencegahan. Pusat rehabilitasi obat dapat
dimanfaatkan untuk menghentikan penggunaan obat tersebut.
Bagi petugas kesehatan, alat-alat yang dianjurkan untuk digunakan sebagai
pencegah antara lain sarung tangan, baju pelindung, jas laboratorium, pelindung

41

muka atau masker, dan pelindung mata. Pilihan alat tersebut sesuai dengan
kebutuhan aktivitas pekerjaan yang dilakukan tenaga kesehatan (Lyons, 1997).
Bagi seorang ibu yang terinfeksi AIDS bisa menularkan virus tersebut
kepada bayinya ketika masih dalam kandungan, melahirkan atau menyusui. ASI
juga dapat menularkan HIV, tetapi bila wanita sudah terinfeksi HIV pada saat
mengandung maka ada kemungkinan si bayi lahir sudah terinfeksi HIV. Maka
dianjurkan agar seorang ibu tetap menyusui anaknya sekalipun HIV +. Bayi yang
tidak diberi ASI beresiko lebih besar tertular penyakit lain atau menjadi kurang
gizi (Yatim, 2006).
Bila ibu yang menderita HIV tersebut mendapat pengobatan selama hamil
maka dapat mengurangi penularan kepada bayinya sebesar 2/3 daripada yang
tidak mendapat pengobatan (MFMER, 2008).
Data Puskesmas Natar
1. HIV
a. Tahun 2011 tidak ada kasus HIV.
b. Tahun 2012 tidak ada kasus HIV.
c. Tahun 2013 tidak ada kasus HIV.
d. Tahun 2014 tidak ada kasus HIV.
2. AIDS
a. Tahun 2011 tidak ada kasus AIDS.
b. Tahun 2012 tidak ada kasus AIDS.
c. Tahun 2013 tidak ada kasus AIDS.
d. Tahun 2014 tidak ada kasus AIDS.

E. KESEHATAN LINGKUNGAN

42

Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang


sehat yang mendukung tumbuh kembang anak dan remaja, memenuhi kebutuhan
dasar untuk hidup sehat dan memungkinkan untuk interaksi sosial serta
melindungi masyarakat dari ancaman bahaya yang berasal dari lingkungan
sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang
optimal.
Untuk menilai keadaan lingkungan dan upaya yang dilakukan untuk
menciptakan lingkungan sehat telah dipilih empat indikator, yaitu persentase
keluarga yang memiliki akses air bersih, presentase rumah sehat, keluarga dengan
kepemilikan sarana sanitasi dasar, Tempat Umum dan Pengolahan Makanan
(TUPM) .
Beberapa upaya untuk memperkecil resiko turunnya kualitas lingkungan
telah dilaksanakan oleh berbagai instansi terkait seperti pembangunan sarana
sanitasi

dasar, pemantauan

dan penataan

lingkungan,

pengukuran dan

pengendalian kualitas lingkungan.


Pembangunan sarana sanitasi dasar bagi masyarakat yang berkaitan
langsung dengan masalah kesehatan meliputi penyediaan air bersih, jamban sehat,
perumahan sehat yang biasanya ditangani secara lintas sektor. Sedangkan
dijajaran Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang kegiatan yang dilaksanakan
meliputi pemantauan kualitas air minum, pemantauan sanitasi rumah sakit,
pembinaan dan pemantauan sanitasi tempat-tempat umum (Hotel, Terminal),
tempat pengolahan makanan, tempat pengolahan pestisida dan sebagainya.
Lingkungan yang diharapkan adalah yang kondusif bagi terwujudnya
keadaan sehat fisik, mental, sosial dan spiritual. Lingkungan tersebut mencakup
unsur fisik, biologis dan psikologis. Berbagai aspek lingkungan yang
membutuhkan perhatian adalah tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang
memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, dan lingkungan yang
memungkinkan kecukupan ruang gerak untuk interaksi psikososial yang positif
antar anggota keluarga maupun anggota masyarakat. Lingkungan yang kondusif
juga diperlukan untuk mendorong kehidupan keluarga yang saling asah, asih dan
asuh untuk menciptakan ketahanan keluarga dari pengaruh negatif modernisasi.
Beberapa masalah lingkungan biologis yang perlu di antisipasi adalah pembukaan

43

lahan baru, pemukiman pengungsi dan urbanisasi yang erat kaitannya dengan
penyebaran penyakit melalui vektor, perubahan kualitas udara karena polusi dan
paparan terhadap bahan berbahaya lainnya. Peningkatan mutu lingkungan
mensyaratkan kerjasama dan perencanaan lintas sektor bahkan lintas negara yang
berwawasan kesehatan.
Sasaran yang akan dicapai oleh program ini adalah :
1. Tersusunya kebijakan dan konsep peningkatan kualitas lingkungan di tingkat
lokal, regional dan nasional dengan kesepakatan lintas sektoral tentang
tanggung jawab perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
2. Terselenggaranya upaya peningkatan lingkungan fisik, sosial dan budaya
masyarakat dengan memaksimalkan potensi sumber daya secara mandiri
3. Meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat untuk memelihara
lingkungan sehat
4. Meningkatnya cakupan keluaran yang mempunyai akses terhadap air bersih
yang mempunyai kualitas bakteriologis dan sanitasi lingkungan di perkotaan
dan pedesaan
5. Tercapainya pemukiman dan lingkungan perumahan yang memenuhi syarat
kesehatan di pedesaan dan perkotaan termasuk penanganan daerah kumuh
6. Terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempat-tempat umum termasuk saran
dan cara pengelolaannya
7. Terpenuhinya lingkungan sekolah dengan ruang yang memadai dan kondusif
untuk menciptakan interaksi sosial dan mendukung perilaku hidup sehat
8. Terpenuhinya persyaratan kesehatan di tempat kerja, perkantoran dan industri
termasuk bebas radiasi
9. Terpenuhinya persyaratan kesehatan di seluruh rumah sakit dan saran
pelayanan kesehatan lain termasuk pengelolaan limbah
10. Terlaksananya pengolahan limbah industri dan polusi udara oleh industri
maupaun saran transportasi
11. Menurunnya tingkat paparan pestisida dan insektisida di lingkungan kerja
pertanian dan industri serta pengawasan terhadap produk-produknya untuk
keamanan konsumen.

44

Sarana Kesehatan Lingkungan (Persediaan Air Bersih, Jamban, Tempat


Sampah dan Pengelolaan Air Limbah)
Pembuangan kotoran baik sampah, air limbah dan tinja yang tidak
memenuhi syarat kesehatan dapat menyebabkan rendahnya kualitas air, serta
dapat menimbulkan penyakit menular di masyarakat. Jamban, tempat sampah,
pengelolaan limbah dan persediaaan air bersih merupakan sarana lingkungan
pemukiman (PLP).
Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) adalah suatu bangunan yang
digunakan untuk membuang air buangan dari kamar mandi, tempt cuci, dan dapur.
SPAL yang sehat hendaknya memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak dengan sumber air bersih minimal
10 meter)
2. Tidak menimbulkan genangan air yang dapat dipergunakan untuk sarang
nyamuk (diberi tutup yang cukup rapat)
3. Tidak menimbulkan bau (diberi ttutup yang cukup rapat)
4. Tidak menimbulkan becek atau pandangan yang tidak menyenangkan (tidak
bocor sampai meluap).
Sanitasi merupakan faktor penting dalam menciptakan lingkungan yang sehat.
Banyaknya penyakit ditularkan karena tidak dilakukan cara-cara penanganan
sanitasi yang benar. Upaya peningkatan kualitas air bersih akan berdampak positif
apabila diikuti upaya perbaikan sanitasi. Upaya sanitasi meliputi pembangunan,
perbaikan dan penggunaan sarana sanitasi, yaitu pembuangan kotoran manusia
(jamban), pembuangan air limbah (SPAL) dan pembuangan sampah di lingkungan
rumah kita.
Dari perkembangan pelaksanaan program penyehatan lingkungan selama ini
terdapat kemajuan yang diperoleh, seperti peningkatan cakupan pelayanan
penyehatan lingkungan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Namun masih terdapat beberapa permasalahan yang
dihadapai pada penyediaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, yaitu :
1. Kurang efektif dan efisiennya investasi yang telah dilakukan pada
pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan

45

2. Air hanya dipandang sebagai benda social


3. Keterbatasan kemampuan pemerintah
4. Belum tersedianya kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur
pemanfaatan potensi tersembunyi yang ada dalam masyarakat
5. Penyehatan lingkungan belum menjadi perhatian dan prioritas
6. Estimasi dalam hal penganggaran sangat jauh dari yang diharapkan.
Data Puskesmas Natar tahun 2013
a. Presentasi Rumah Sehat:
1. Natar: 41,27%
2. Merak Batin: 40,72%
3. Negara Ratu: 54,75%
4. Rejosari: 31,75%
5. Bumi Sari: 51,59%
SPM: 70%
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa presentase rumah sehat di PKM Natar
tahun 2013 tidak ada yang mencapai target SPM. Cakupan tertinggi di
desa Negara Ratu dan terendah di desa Rejosari.
b. Akses air minum yang layak:
Seluruh penduduk cakupan Puskesmas Natar memiliki akses air minum dari
sumur gali terlindungi.
c. Penyelenggaraan air minum

Natar: 3 buah

Begara Ratu: 2 buah

Bumi Sari: 4 buah

Dari 10 penyelenggara air minum tersebut pada tahun 2013 ini belum ada
yang diambil sampel untuk diperiksa.
d. Jenis sanitasi yang layak
Jenis sanitasi yang paling banyak dipakai adalah jenis leher angsa.

46

e. Persentase tempat-tempat umum memenuhi syarat

Tempat-tempat umum yang memenuhi syarat kesehatan: 75%

Institusi terbina: 100%

f. Pengawasan tempat-tempat umum


Tempat-tempat umum yang diperiksa meliputi sarana pendidikan, sarana
kesehatan, dan hotel.

Jumlah tempat-tempat umum 33, diawasi 33, sehat 33.

Presentasi cakupan: 100%.

g. Pembinaan tempat-tempat ibadah (Target 100%)

Sarana ibadah meliputi masjid dan mushola, gereja, pura, vihara.

Jumlah tempat ibadah 27, dibina 27.

Persentasi cakupan: 100%.

h. Pembinaan institusi (Target 100%)

Pembinaan institusi meliputi sarana kesehatan puskesmas, pustu,


poskesdes, dan sarana kesehatan lain dan institusi pendidikan meliputi TK,
SD, SMP, dan SLTA.

Jumlah arana kesehatan 8, dibina 8, persentase cakupan 100%.

Jumlah sarana pendidikan 24, dibina 24, persentase cakupan 100%.

i. Persentase tempat pengelolaan makanan memenuhi syarat, dibina, dan diuji


petik

Pengawasan tempat pengolahan makanan meliputi usaha jasa boga, rumah


makan/restoran, depot air minum, dan makanan jajanan.

Jumlah tempat pengolahan makanan 44, dibina 44, di uji petik 0.

F. USAHA KESEHATAN SEKOLAH (UKS)


47

1. Pendahuluan
Definisi UKS
Depdiknas, 2006:
Segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan anak usia
sekolah pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan mulai dari Taman
Kanak-kanak sampai Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah
Kejuruan/Madrasah Aliyah.
Enjtang 2000:
Usaha kesehatan masyarakat yang ditujukan kepada masyarakat sekolah,
yaitu: anak didik, guru dan karyawan sekolah lainnya.
Ananto 2006:
Upaya pendidikan dan kesehatan yang dilaksanakan secara terpadu, sadar,
berencana, terarah dan bertanggung jawab dalam menanamkan,
menumbuhkan, mengembangkan dan membimbing untuk menghayati,
menyenangi dan melaksanakan prinsip hidup sehat dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari.

UKS sendiri, adalah strategi penting untuk meningkatkan kesehatan anak usia
prasekolah (TK) dan sekolah. Sekolah adalah kelompok masyarakat yang
terorganisir dimana informasi dapat lebih mudah disebarkan. Sesuai usia murid di
tiap tingkatan pendidikan, dapat ditanamkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS). Upaya UKS dilakukan lewat Tri Program UKS, yaitu Pendidikan
Kesehatan, Pelayanan Kesehatan dan Pembinaan Lingkungan Kehidupan Sekolah
Sehat.
UKS memiliki daya ungkit yang tinggi untuk rnenumbuhkan kesadaran hidup
sehat dan meningkatkan derajat kesehatan peserta didik. UKS dapat pula
dimanfaatkan untuk menjadi perpanjangan tangan bagi program-program
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

48

Lingkungan (PP dan PL), pengobatan, promosi kesehatan, dan berbagai upaya
kesehatan lain.
Pelaksanaan UKS bertitik berat pada kegiatan promotif dan preventif.
Dukungan upaya kuratif dan rehabilitatif tentu diberikan oleh tenaga kesehatan
yang terlibat dalam UKS. UKS dapat didukung atau dibina oleh Puskesmas. Agar
berhasil, pelaksanaan UKS juga harus memperhatikan perkembangan fisik dan
psikologis murid sesuai usia dan tingkat pendidikan. Setiap tingkatan pendidikan
memiliki kemampuan penyerapan, jenis masalah kesehatan, dan jenis perilaku
yang harus dibentuk. Untuk anak usia TK/RA dan SD/MI, PHBS dimulai dengan
membentuk kebiasaan menggosok gigi dengan benar, mencuci tangan, serta
membersihkan kuku dan rambut. Pada tingkat SMP/MT dan SMA/MA murid
remaja antara lain berisiko terhadap penyalahgunaan Napza, kehamilan yang tidak
diingini, abortus yang tidak aman, penyakit menular seksual, stress, dan trauma,
Murid usia remaja perlu dibina agar manjalankan hidup sehat lewat pendidikan
ketrampilan kehidupan sehari-hari (life-skill education). Usaha kesehatan di
sekolah bukanlah ranah kerja Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen
Kesehatan saja, tetapi merupakan upaya terpadu lintas program dan lintas sektor.
Diperlukan kerjasama berbagi' program dan sektor terkait untuk meningkatkan
derajat

kesehatan

serta

membentuk

PHBS

pada

anak

usia

sekolah.

Keberhasilannya dapat juga ditentukan oleh dukungan Departemen Pendidikan


Nosional, Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri. LSM, swasta dan
dunia usaha juga tentu saja dapat berperan sesuai bidang masing-masing.
Anak merupakan komponen dari keluarga yang mempunyai organ reproduksi
berkembang sejalan dengan perkembangan jasmani dan lingkungannya.
Pembinaan kesehatan Anak Usia Sekolah diselenggarakan, baik di sekolah
maupun di luar sekolah dan dalam keluarganya. Di sekolah dilaksanakan melalui
program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Di luar sekolah dilakukan melalui
pendekatan keluarga dan lingkungan (pondok pesantren, Dasa wisma, dll).
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah upaya terpadu lintas program dan
lintas sektoral dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan serta membentuk
prilaku hidup sehat anak usia sekolah yang berada di sekolah dan perguruan
agama.
49

Anak usia sekolah adalah anak berusia 7-21 tahun, yang sesuai program
tumbuh kembangnya di bagi menjadi 3 sub kelompok, yakni :
a. Pra remaja ( 7-9 tahun)
b. Remaja ( 10-19 tahun)
c. Dewasa muda ( 20-21 tahun)
2. Tujuan
Tujuan Umum
-

Meningkatnya derajat kesehatan peserta didik, sehingga memungkinkan


pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam rangka
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

Tujuan Khusus
a. Memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melaksanakan
prinsip hidup sehat serta berpartisipasi aktif dalam usaha meningkatkan
kesehatan di sekolah, perguruan agama, di rumah tangga maupun
lingkungan masyarakat.
b. Memiliki daya hayat dan tangkal terhadap pengaruh buruk narkotika,
alkohol, rokok dan bahan berbahaya lain.
c. Terciptanya lingkungan kehidupan sehat di sekolah

3. Sasaran
Sasaran UKS adalah pendidikan formal dan non-formal pada setiap jalur dan
jenis pendidikan mulai dari tingkat pra sekolah sampai Sekolah Menengah
Atas termasuk perguruan agama beserta lingkungannya. Sasaran Pembinaan
UKS: peserta didik, pembina teknis (guru dan petugas kesehatan), pembina
non teknis (pengelola pendidikan dan karyawan sekolah), sarana dan
prasarana pendidikan kesehatan dan pelayanan kesehatan, lingkungan
(lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat)
Depdiknas 2006.
4. Ruang Lingkup

50

Ruang Lingkup UKS tercermin dalam tri program UKS (trias UKS) yang
meliputi :
1. Pendidikan Kesehatan
a) Intrakurikuler : pelaksanaan jam pelajaran sesuai ketentuan mulai dari
sekolah dasar hingga sekolah menengah
b) Ekstrakurikuler : kegiatan di luar jam pembelajaran biasa ( termasuk
pada waktu libur) yang dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah,
dengan tujuan antara lain untuk memperluas pengetahuan dan
keterampilan peserta didik, serta melengkapi upaya pembinaan manusia
seutuhnya.
Kegiatan ini berupa :
- Kegiatan oleh peserta didik, guru, OSIS
Kerja bakti sosial
Dokter kecil, PMR, piket sekolah
Pramuka
Lomba yang ada hubungannya dengan kesehatan
- Bimbingan hidup sehat
- Penyuluhan kesehatan dan latihan keterampilan untuk pelayanan
kesehatan.

2. Pelayanan kesehatan
a) Promotif : penyuluhan kesehatan dan latihan keterampilan dalam rangka
pelayanan kesehatan
b) Preventif : peningkatan daya tahan tubuh, pemutusan rantai penularan,
penghentian proses penyakit tahap dini, upaya mencegah penyakit dan
melaksanakan upaya kebersihan lingkungan ( pencegahan)
c) Kuratif dan Rehabilitatif : pengobatan dan upaya mencegah komplikasi
dan kecacatan, meningkatkan kemampuan yang cedera atau cacat agar
dapat berfungsi optimal
3. Pembinaan lingkungan kehidupan sekolah sehat
a) Bina lingkungan fisik

51

b) Bina lingkungan mental sosial sehingga tercipta hubungan kekeluargan


yang akrab
c) Bina pendidikan meliputi budi pekerti agar terbentuk kedisiplinan.
5. Pola dasar
a. Keterpaduan fungsional
Pelayanan kesehatan dalam rangka UKS merupakan upaya terpadu antara
kegiatan pokok kesehatan sekolah dengan kegiatan pokok sebagai berikut :
a)

Perbaikan gizi

b)

Kesehatan lingkungan

c)

Pencegahanan dan pemberantasan penyakit

d)

Penyuluhan kesehatan

e)

Pengobatan

f)

Pelayanan kesehatan gigi dan mulut

g)

Kesehatan jiwa

h)

Kesehatan reproduksi

i)

Laboratorium sederhana

j)

Pencatatan pelaporan

Keterpaduan fungsional antar kegiatan pokok terkait dalam pelayanan


kesehatan UKS mencakup : keterpaduan fungsional teknik/ intervensi dan
keterpaduan kegiatan pendukung.
b. Intervensi
Sesuai masalah kesehatan di sekolah masing-masing kegiatan pokok
melaksanakan intervensi pokok yang mempunyai kegiatan utama sebagai
berikut :
a)

Intervensi perorangan

b)

Intervensi lingkungan

c)

Intervensi perilaku

c. Jangkauan
Puskesmas perlu menjangkau semua sekolah dalam wilayah kerjanya
dengan suatu standar pelayanan tertentu. Standar tertesebut ditetapkan

52

secara berjenjang sesuai dengan kemampuan Puskesmas. Pelayanan UKS


oleh puskesmas untuk Sekolah Tingkat Dasar dan Perguruan Agama
mengacu pada standar pelayanan sebagai berikut :
(i)

Standar minimal
Paket minimal yang terdiri dari :
- penyuluhan kesehatan
- Imunisasi pada ana SD kelas I (DT) dan anak kelas II dan III (TT)
- Pembinaan lingkungan sekolah sehat

(ii)

Pelayanan Standar
Paket standar yang terdiri dari paket minimal ditambah :
- Kader kesehatan sekolah (dokter kecil/ KKR)
- P3K dan P3P
- Penjaringan penyakit
- Pemeriksaan kesehatan periodik setiap 6 bulan :BB, TB, Visus, Hb
- UKGS tahap II
- Pengawasan terhadap warung sekolah.

(iii) Standar optimal


Paket optimal ditambah :
- Konseling kesehatan remaja
- UKGS tahap III
- Kebun sekolah
- Dana sehat
(iv) Standar Paripurna
Paket optimal ditambah :
- Memantau kesegaran jasmani.
d. Mutu penyelenggaraan pelayanan
Mutu penyelenggaraan pelayanan kesehatan dipandang dari 2 sudut :
a) mutu pelayanan kesehatan disekolah : kemandirian sekolah dan
kelengkapan kegiatan utama yang dilaksanakan
b) Pola penyelenggaraan dalam wilayah kerja puskesmas : proporsi
sekolah dengan pelayanan standar.
e. Pembinaan

53

Pembinaan mencakup aspek manajemen dan KIE


f. Pengembangan
Pengembangan pelayanan kesehatan dalam rangka UKS mencakup
pengembangan jaringan pelayanan kesehatan yang mengaitkan pelayanan
kesehatan di sekolah dengan daerah tangkapan, yaitu kelompok 10
keluarga maupun keluarga itu sendiri, dengan sasaran utama ibu dan
peserta didik.
g. Pelaksana pelayanan Kesehatan
Pelaksana pelayanan kesehatan dalam rangka UKS :
a) Guru yang ditunjuk dan diserahkan wewenang untuk kegiatan
pelayanan kesehatan di sekolah
b) Tenaga teknik puskesmas
c) Orang tua peserta didik
Dalam melaksanakan program UKS perlu di lakukan langkah-langkah
sebagai berikut :
a) pembentukan tim pembina
b) penyusunan rencana kegiatan UKS
c) Pelaksanaan Trias UKS
d) Evaluasi dan pelaporan
6. Bentuk Pelayanan Kesehatan
a) Pelayanan kesehatan di sekolah tingkat dasar
b) Pelayanan kesehatan di sekolah tingkat lanjutan
c) Pelayanan kesehatan anak usia sekolah di Pondok Pesantren
d) Usaha kesehatan gigi sekolah (UKGS)
Data Puskesmas Natar
1. Cakupan penjaringan kesehatan siswa SD dan setingkat
Di wilayah kerja PKM Natar terdapat 24 SD dengan 1.610 murid sasaran.
Untuk tahun 2013 telah dilakukan penjaringan kesehatan siswa SD dan
setingkat dengan hasil cakupan 1.261 siswa (78,3%).

54

2. Pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada anak SD dan setingkat


Untuk pelaanan kesehatan gigi dan mulut pada anak SD dan setingkat,
tahun 2013 telah dilakukan pelayanan terhadap 1.610 siswa dari 1.610
murid sasaran (100%).

55

DAFTAR PUSTAKA

Andri Sanityoso. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid I Edisi IV.
Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2004. Pedoman Kerja Puskesmas.
Dr. R. Soehadi dkk. 1995. Pedoman Praktis Pelaksanaan Kerja di Puskesmas.
Podorejo, Magelang.
Trihono, 2002. Pedoman Manajemen Puskesmas. Proyek Kesehatan Keluarga dan
Gizi, Departemen Kesehatan.
www.depkes-ri.com
www.medicine.com

56

You might also like