You are on page 1of 25

Tokoh 1945

Jenderal Soedirman dan


Jenderal Gatot Soebroto

NIM 49-72

JENDERAL SOEDIRMAN
Tempat Lahir: Bodas Karangjati, Purbalingga
Tanggal Lahir: 24 Januari 1916
Jenderal
Besar
Sudirman
merupakan salah satu tokoh
besar yang dilahirkan oleh suatu
revolusi. Saat usianya masih 31
tahun, ia sudah menjadi seorang
jenderal. Meski menderita sakit
paru-paru yang parah, Panglima
Besar
TKR/TNI,
ini
tetap
bergerilya melawan Belanda. Ia
berlatarbelakang seorang guru
HIS Muhammadiyah di Cilacap
dan giat di kepanduan Hizbul
Wathan.

Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara


Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu
tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan
Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan
akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan
Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia
merupakan
pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak
perduli pada keadaan dirinya sendiri demi
mempertahankan Republik Indonesia yang
dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima
sekaligus Jenderal pertama dan termuda

Sudirman merupakan salah satu pejuang dan


pemimpin teladan bangsa ini. Pribadinya teguh pada
prinsip dan keyakinan, selalu mengedepankan
kepentingan masyarakat banyak dan bangsa di atas
kepentingan pribadinya. Ia selalu konsisten dan
konsekuen dalam membela kepentingan tanah air,
bangsa, dan negara. Hal ini boleh dilihat ketika
Agresi Militer II Belanda. Ia yang dalam keadaan
lemah karena sakit tetap bertekad ikut terjun
bergerilya walaupun harus ditandu. Dalam keadaan
sakit, ia memimpin dan memberi semangat pada
prajuritnya untuk melakukan perlawanan terhadap
Belanda. Itulah sebabnya kenapa ia disebutkan
merupakan salah satu tokoh besar yang dilahirkan
oleh revolusi negeri ini.

Sudirman yang dilahirkan di Bodas Karangjati,


Purbalingga, 24 Januari 1916, ini memperoleh
pendidikan formal dari Sekolah Taman Siswa, sebuah
sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi.
Kemudian ia melanjut ke HIK (sekolah guru)
Muhammadiyah, Solo tapi tidak sampai tamat.
Sudirman muda yang terkenal disiplin dan giat di
organisasi Pramuka Hizbul Wathan ini kemudian
menjadi guru di sekolah HIS
Muhammadiyah di Cilacap. Kedisiplinan, jiwa
pendidik dan kepanduan itulah kemudian bekal
pribadinya hingga bisa menjadi pemimpin tertinggi
Angkatan Perang.

Setelah Indonesia merdeka, dalam suatu


pertempuran dengan pasukan Jepang, ia berhasil
merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas. Itulah
jasa pertamanya sebagai tentara pasca kemerdekaan
Indonesia. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
terbentuk, ia kemudian diangkat menjadi Panglima
Divisi V/Banyumas dengan pangkat Kolonel. Dan
melalui Konferensi TKR tanggal 2 Nopember 1945, ia
terpilih menjadi Panglima Besar TKR/Panglima
Angkatan Perang Republik Indonesia. Selanjutnya
pada tanggal 18 Desember 1945, pangkat Jenderal
diberikan padanya lewat pelantikan Presiden. Jadi ia
memperoleh pangkat Jenderal tidak melalui Akademi
Militer atau pendidikan tinggi lainnya sebagaimana
lazimnya, tapi karena prestasinya.

Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan


agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi
Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada
diYogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah
dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada
diYogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat
lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin
yang berfungsi.
pasukan untuk melakukan
perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia
berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang
lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan
lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir
tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi
semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak
merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus
pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi
memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi

Pada tangal 29 Januari


1950, Panglima Besar ini
meninggal dunia di
Magelang dan dimakamkan
di Taman Makampahlawan
Semaki, Yogyakarta. Ia
dinobatkan
sebagaipahlawan Pembela
Kemerdekaan

JENDERAL GATOT SOEBROTO


Tempat Lahir: Banyumas
Tanggal Lahir: 10 Oktober 1909
Dia memiliki keberanian, ketegasan,
tanggung jawab, dan berpantang akan
kesewenangan.
Pengalaman
tidak
manis pernah dialaminya ketika masih
bersekolah di Europeesche Lagere
School (ELS). Karena berkelahi dengan
seorang anak Belanda, dia akhirnya
dikeluarkan dari sekolah tersebut.
Kasus itu sudah cukup menunjukkan
bahwa sejak kecil dirinya sudah
memiliki sifat pemberani dan tegas. Di
kala orang tidak ada yang berani
menantang anak-anak Belanda yang
merasa lebih tinggi derajatnya dari
kaum pribumi, Gatot Subroto dengan

Dikeluarkan dari sekolah ELS dia kemudian masuk ke


sekolah Holands Inlandse School (HIS). Dari sana, dia
akhirnya menyelesaikan pendidikan formalnya.
Namun setamat HIS, dia memilih tidak meneruskan
pendidikannya ke sekolah yang lebih tinggi, tetapi
bekerja sebagai pegawai. Pilihannya menjadi
pegawai tersebut ternyata juga tidak memuaskan
jiwanya. Dia kemudian keluar dari pekerjaanya dan
masuk sekolah militer di Magelang pada tahun 1923.
Setelah menyelesaikan pendidikan militer, Gatot pun
menjadi anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda)
hingga akhir pendudukan Belanda di Indonesia.

Tentara yang aktif dalam tiga zaman ini pernah


menjadi Tentara Hindia Belanda (KNIL) pada masa
pendudukan Belanda, anggota Pembela Tanah Air
(Peta) pada masa pendudukan Jepang dan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) setelah kemerdekaan
Indonesia serta turut menumpas PKI pada tahun
1948. Ia juga menjadi penggagas terbentuknya
Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(AKABRI).
Berpendirian
tegas
dan
memiliki
solidaritas yang tinggi, merupakan ciri khas dari
Jenderal Gatot Subroto. Pria lulusan Sekolah Militer
Magelang masa pemerintahan Belanda, ini paling
tidak bisa mentolerir setiap tindak kezaliman, walau
oleh
siapapun
dan
kapanpun.

Ketika Perang Dunia ke II bergolak, pasukan Belanda


berhasil ditaklukkan pasukan Jepang. Indonesia yang
sebelumnya
merupakan
daerah
pendudukan
Belanda beralih jadi kekuasaan pemerintah Kerajaan
Jepang. Pada masa Pendudukan Jepang ini, Gatot
pun langsung mengikuti pendidikan Tentara Pembela
Tanah Air (Peta) di Bogor yakni pendidikan dalam
rangka
perekrutan
tentara
pribumi
oleh
pemerintahan Jepang di Indonesia. Tamat dari
pendidikan Peta, dia diangkat pemerintah Jepang
menjadi komandan kompi di Sumpyuh, Banyumas
dan tidak berapa lama kemudian dinaikkan menjadi
komandan batalyon.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Gatot langsung


masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), tentara
bentukan pemerintah Indonesia sendiri dan
merupakan tentara resmi RI yang dalam
perjalanannya kemudian berganti nama menjadi
Tentara
Nasional
Indonesia
(TNI).
Sejak
kemerdekaan
hingga
pengakuan
kedaulatan
kemerdekaan RI atau pada masa Perang
Kemerdekaan yakni antara tahun 1945-1950, dia
dipercayai memegang beberapa jabatan penting.
Pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi II,
Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer
Daerah
Surakarta
dan
sekitarnya.

Bersamaan di saat dirinya menjabat Gubernur


Militer
Daerah
Surakarta
dan
sekitarnya,
pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Madiun pun bergolak yakni pada bulan September
1948. Pemberontakan yang didalangi oleh Muso itu
akhirnya berhasil diatasi dengan gemilang. Setelah
banyak terjadi peristiwa dalam mempertahankan
kemerdekaan
dari
agresi
militer
Belanda,
pengakuan kedaulatan republik ini pun berhasil
diperoleh. Pasca pengakuan kedaulatan itu, Gatot
Subroto semakin dipercaya mengemban tugas
yang lebih tinggi. Dia diangkat menjadi Panglima
Tentara & Teritorium (T & T) IV I Diponegoro.

Namun karena sesuatu hal pada tahun 1953, dia


sempat mengundurkan diri dari dinas militer.
Namun tiga tahun kemudian dia diaktifkan kembali
sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf
Angkatan Darat (Wakasad). Di kalangan militer, dia
dikenal
sebagai
seorang
pimpinan
yang
mempunyai perhatian besar terhadap pembinaan
perwira muda. Menurutnya, salah satu cara untuk
membina
perwira
muda
adalah
dengan
menyatukan akademi militer setiap angkatan yakni
Angkatan Darat, Laut, dan Udara, menjadi satu
akademi. Gagasan tersebut akhirnya terwujud
dengan
terbentuknya
Akademi
Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).

Gatot Subroto akhirnya meninggal dunia di


Jakarta pada tanggal 11 Juni 1962, pada usia 55
tahun. Sang Jenderal ini dimakamkan di desa
Sidomulyo, kecamatan Ungaran Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah. Atas jasa-jasanya yang
begitu besar bagi negara, seminggu setelah
kematiannya, Jenderal Gatot Subroto dinobatkan
sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang
dikuatkan dengan SK Presiden RI No.222 Tahun
1962, tgl 18 Juni 1962.

Burhanuddin Mohammad Diah


Tempat Lahir: Kutaraja, Banda Aceh
Tanggal Lahir: 17 April 1917
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin
berangkat ke Jakarta dan belajar di
Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah
Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E.
Douwes Dekker. Burhanuddin memilih
jurusan jurnalistik, namun ia banyak
belajar tentang dunia kewartawanan
dari pribadi Douwes Dekker.

Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan


dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama
bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia
kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai
tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta
Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan
karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin
kemudian mendirikan usahanya sendiri, bulanan
Pertjatoeran Doenia.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah
bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan
Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha
merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang
menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah
menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat
Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya
malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga
percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan
pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.

Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian


Merdeka. Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak
menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah
memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun
belakangan ia lebih banyak menangani PT Masa Merdeka,
penerbit Harian "Merdeka".
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak
sebagai Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan
Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas
desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar
mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan
koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai
sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional proSoekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak
pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17
Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat
untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru, memutuskan untuk mengubah
sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat
Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian "Merdeka"
-- bersama Harian "Indonesia Raya" -- dikenal sebagai satu-

Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M.


Diah diangkat menjadi duta besar untuk
Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana
kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke
Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama.
Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto
menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah
diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian
anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah
hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat
yang dulunya merupakan rumah orangtua
Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya
adalah sebagai Presiden Direktur PT Masa
Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel

Burhanuddin Mohammad Diah


Tempat Lahir: Sukoharjo, Jawa tengah
Tanggal Lahir: 22 Januari 1903
Pahlawan nasional yang merupakan
pencetus sekaligus arsitek UUD 1945
ini dikenal dengan nama Prof. Mr.
Soepomo. Ia adalah seorang ahli
hukum pada generasi pertama yang
sudah ada ketika Indonesia merdeka.
Dalam biografi Soepomo, semasa
hidupnya hingga akhir hayatnya ia
juga berturut serta berperan dalam
pembentukan adanya sistem nasional.
Nama Soepomo sering terdengar saat
menempuh pendidikan di sekolah
dasar maupun menengah.

Pada tahun 1917 pahlawan Soepomo beruntung memiliki


keluarga dari keluarga priyayi, sehingga ia memiliki
kesempatan untuk bisa menjajaki pendidikan di ELS yaitu
sekolah yang setingkat dengan sekolah dasar di daerah
Boyolali. Kemudian di tahun 1920 Soepomo melanjutkan
pendidikannya di MULO di kota Solo. Setelah itu meneruskan
pendidikan hukumnya di Bataviasche Rechtsschool di Batavia
dan lulus pada tahun 1923. Kemudian ia ditunjuk oleh
kolonial Belanda sebagai pegawai negeri pemerintahannya
yang di bantu oleh ketua dari pengadilan negeri Sragen
tahun 1977. Kemudian di antara tahun 1924 hingga 1927,
beliau mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
studinya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda yang
dibimbing oleh Cornelis van Vollenhoven. Ia adalah seorang
professor hukum arsitek yang dikenal sebagai tokoh ilmu
hukum adat Indonesia dan seorang ahli hukum di bidang
hukum internasional, yaitu salah satu konseptor Liga Bangsa
Indonesia.

Pada tahun 1927 dalam biografi Soepomo juga


dijelaskan bahwa ia pernah menyandang gelar
sebagai doctor dengan judul disertasinya yaitu
Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het
Gewest Soerakarta (Reorganisasi Sistem Agraria
di Wilayah Surakarta). Dalam disertasinya,
Soepomo bukan hanya mengupas adanya sistem
agraria tradisional saja akan tetapi juga meneliti
hukum-hukum kolonial yang terkait dengan
pertahanan di daerah Surakarta. Dengan
menggunakan bahasa belanda yang ditulis
secara
halus
dan
tidak
langsung
dan
menggunakan
argument
kolonialnya,
kritik
Soepomo atas wacana-wacana kolonial yaitu
tentang proses transisi agrarian di letakkan
dalam disertasinya tersebut.
Soepomo meninggal di usia muda akibat sakit

TERIMA KASIH

You might also like