You are on page 1of 11

ABU DZAR AL GHIFARI RADHIYALLAHUANHU

Makam Abu Dzar Al Ghifari (Foto:catatan fahmi hasan)


Abu Dzar adalah salah satu sahabat nabi yang terdahulu memeluk Islam. Ia mendatangi
Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar Al Ghifari
berasal dari suku Ghifar.

Bani Ghifar
Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari
peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok
yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga
sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar
belakang tabiat kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabiat yang jelek, semuanya
terkumpul pada diri Abu Dzar.

Sebelum Masuk Islam


Tidak diketahui pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat
jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari keberadaan
keluarganya.
Abizar yang dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi keseharian. Itu
sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal sebagai perampok besar yang
sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di sekitarnya.
Kendati demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya: Insyaf dan
berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali segala perbuatan jahatnya
itu, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan
amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi.
Ini merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar tak
lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga tak jarang
mendapat tentangan dari masyarakat setempat.

Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Badar,
Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah
dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan
sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu
mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau
berjalan.
Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu
sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan
kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya
(tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Saad 3 / 164)
Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah
amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang
yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang
benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula. HR. Ibnu Saad dalam
Thabaqatnya.
Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya 1 / 162)
Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa
berbagai mala petaka sepeninggalku. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu
sebagai ujian di jalan Allah ?, Rasulullahpun menjawab : Ya, di jalan Allah. Dengan
penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : Selamat datang wahai mala petaka yang Allah
taqdirkan. HR. Abu Nuaim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Pendirian Abu Dzar


Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang
lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi
berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati
(yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu
alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di
pemerintahan.

SALAMAH BIN AL-AKWA RA.


Putranya, Ilyas, menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat singkat.
"Bapakku tak pernah berdusta!" ujarnya singkat. Memang, untuk mendapatkan posisi tinggi
di antara orang-orang saleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang memiliki sifat-sifat
ini. Dan Salamah bin Al-Akwa telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.
Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkenal, juga terbilang
tokoh yang berani, dermawan dan gemar berbuat kebajikan.Dan ketika ia menyerahkan
dirinya menganut agama Islam, diserahkannya secara benar dan sepenuh hati. Termasuk pula
salah satu tokoh Baiatur Ridwan. Pada tahun 6 H, Rasulullah SAW bersama para sahabat
berangkat dari Madinah dengan maksud hendak berziarah ke Ka'bah, tetapi dihalangi oleh
orang-orang Quraisy.
Maka Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka
bahwa tujuan kunjungannya hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk
berperang. Sementara menunggu kembalinya Utsman, tersiar berita bahwa ia telah dibunuh
oleh orang-orang Quraisy. Rasulullah lalu duduk di bawah naungan sebatang pohon
menerima baiat sehidup semati dari shahabatnya seorang demi seorang. "Aku mengangkat
baiat kepada Rasulullah di bawah pohon, dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku
untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu," tutur Salamah. "Tatkala mereka tidak banyak
lagi, Rasulullah bertanya, "Hai Salamah, kenapa kamu tidak ikut baiat?" "Aku telah baiat,
wahai Rasulullah," jawabku. "ulanglah kembali!" titah Nabi.
Maka kuucapkanlah baiat itu kembali. Dan Salamah telah memenuhi isi baiat itu
sebaik-baiknya. Bahkan sebelum diikrarkannya, yakni semenjak mengucapkan "Asyhadu alla
ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah", maksud baiat itu telah
dilaksanakan. "Aku berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, dan bersama Zaid
bin Haritsah sebanyak sembilan kali" kata Salamah.
Salamah terkenal sebagai tokoh paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dan dalam
memanah dan melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan
perang gerilya yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik
pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali untuk berhenti atau istirahat,
maka diserangnya mereka tanpa ampun.
Dengan siasat seperti ini ia mampu seorang diri menghalau tentara yang menyerang
luar Madinah di bawah pimpinan Uyainah bin Hishan Al-Fizari dalam suatu peperangan yang
disebut Perang Dzi Qarad. Ia pergi membuntuti mereka seorang diri, lalu memerangi dan
mengusir mereka dari Madinah, sampai akhirnya datanglah Nabi membawa bala bantuan
yang terdiri dari sahabat-sahabatnya. Pada hari itulah Rasulullah menyatakan kepada para
sahabat, "Tokoh pasukan jalan kaki kita yang terbaik adalah Salamah bin Al Akwa."

Salamah juga tidak pernah merasa kesal dan kecewa kecuali ketika saudaranya yang
bernama Amir bin Al-Akwa tewas di Perang Khaibar. Dalam peperangan itu Amir
memukulkan pedangnya ke salah seorang musyrik. Akan tetapi rupanya pedang yang
digenggamnya hulunya itu melantur dan terbalik sampai menghunjam pada ubun-ubunnya
yang menyebabkan kematiannya.
Beberapa orang berkata, "Kasihan Amir, ia terhalang mendapatkan mati
syahid." Maka pada saat itu, ya hanya sekali itulah dan tidak lebih, Salamah merasa amat
kecewa sekali. Ia menyangka sebagaimana sangkaan para sahabat bahwa saudaranya itu tidak
mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, disebabkan ia telah bunuh diri tanpa
sengaja.
Namun Rasulullah yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang
sebenarnya, yakni ketika Salamah datang bertanya, "Wahai Rasulullah, betulkah pahala Amir
itu gugur? " Maka jawab Rasulullah, "Ia gugur bagai pejuang. Bahkan mendapat dua
macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai surga." Mendengar
jawaban itu rianglah hati Salamah.
Salamah juga terkenal dengan kedermawanannya, hingga ia akan mengabulkan
permintaan orang termasuk jiwanya apapila permintaan itu atas nama Allah. Hal ini rupanya
diketahui oleh orang-orang. Maka jika seseorang ingin tuntutannya berhasil, ia akan berkata
kepadanya, "Kuminta kepada Anda atas nama Allah.".
Tentang hal ini, Salamah pernah berkata, "Jika bukan atas nama Allah, atas nama
siapalagi kita akan memberi?" Sewaktu Utsman ra dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini
merasa bahwa api fitnah telah menyulut kaum Muslimin. Ia seorang yang telah
menghabiskan usianya selama ini berjuang bahu-membahu dengan saudara seagamanya, tak
sudi berperang menghadapi saudara sesamanya.
Benar, seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah tentang keahliannya
dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah pada tempatnya menggunakan keahliannya
itu dalam memerangi atau membunuh orang-orang mukmin. Itulah sebabnya ia mengemasi
barang-barangnya lalu meninggalkan Madinah berangkat menuju Rabdzah, yaitu kampung
yang dipilih oleh Abu Dzar dulu sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya.
Maka di Rabdzah ini Salamah melanjutkan sisa hidupnya. Pada suatu hari di tahun 74 H,
hatinya merasa rindu berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia untuk memenuhi
kerinduannya itu. Ia tinggal di Madinah selama satu dua hari. Dan pada hari ketiga ia pun
wafat. Demikianlah, seolah-olah tanahnya yang tercinta itu memanggil putranya ini untuk
merangkul ke dalam pelukannya dan memberikan ruang baginya di lingkungan sahabatsahabatnya yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang saleh.

ZAID BIN TSABIT SANG PENULIS WAHYU

Zaid bin Tsabit adalah sosok yang patut diteladani. Ia beruntung mengenal hidayah Islam
sejak masih remaja. Sehingga kesempatan mengukir prestasi dalam Islam sanagt terbuka
lebar. Ia memeluk Islam bersama keluarganya pada masa awal Nabi SAW hijrah ke Madinah,
saat itu ia berusia 11 tahun.
Pada waktu terjadinya perang Badar tahun 2 hijriah, Zaid baru menginjak usia 13 tahun. Tapi,
bersama ayahnya mereka bersikukuh ikut berperang. Nabi SAW melarangnya. Karena Zaid
terlalu muda dan tubuhnya juga kecil. Begitu juga ketika perang Uhud, Zaid kembali
meminta izin kepada Nabi SAW agar diperbolehkan ikut berperang. Nabi SAW masih
melarangnya. Tetapi beliau memberi izin dua anak muda yang tubuhnya kekar dan
mempunyai keahlian tertentu Nabi SAW, yakni Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub.
Keduanya berusia limabelas tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru terjun dalam pertempuran
dalam perang Khandaq pada tahun ke 5 hijriah. Setelah itu, ia hampir selalu menyertai
berbagai pertempuran yang dilakukan Nabi SAW.
Ia beranjak dewasa menjadi pemuda yang cerdas dan terpelajar. Karena itu ia mendapat
perhatian secara khusus dari Rasulullah SAW. Nabi memberinya tugas mulia sebagai pencatat
wahyu. Sungguh, Zaid begitu bahagia dipercaya oleh Nabi. Rasulullah SAW juga
memotivasinya agar mempelajari beberapa bahasa asing. Hal itu bukan sesuatu yang sulit
bagi Zaid. Beliau dapat menguasai bahasa lesan dan tulisan asing dalam waktu singkat.
Karena itu, setiap kali Nabi SAW mengirim surat kepada raja-raja di Jazirah Arab dan
sekitarnya, beliau mengandalkan Zaid sebagai sekretaris pribadinya.
Sebenarnya cukup banyak sahabat yang diserahi Nabi SAW untuk menghafal dan menuliskan
wahyu yang turun secara bertahap, terkadang juga berkaitan dengan suatu peristiwa atau
sebagai jawaban dan solusi atas suatu masalah. Tetapi hanya beberapa orang saja yang lebih
menguasai bidangini. Merka yaitu Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Masud, Abdullah bin
Abbas, Ubay bin Kaab dan Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga yang pertama adalah dari sahabat
Muhajirin dan dua yang terakhir dari sahabat Anshar.
Ketika pecah pertempuran Yamamah pada masa Khalifah Abu Bakar, banyak sekali sahabat
yang ahli baca (Qary) dan ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Umar bin
Khattab khawatir semakin sedikit orang yang menguasai Al-Quran. Sebab, di masa
selanjutnya kaum muslimin akan menghadapi banyak pertempuran. Bukan mustahil semakin
banyak hafidz yang gugur dalam perang-perang tersebut.

Karena itu Umar bin Khattab menemui Abu Bakar dan menawarkan gagasan baru yang
belum pernah ada sebelumnya, membukukan Al-Quran dalam satu mushaf. Tetapi Abu
Bakar menolak tegas. Takut melakukan bidah.
Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW?
Demi Allah, ini adalah perbuatan yang baik! Kata Umar yang lalu menjelaskan duduk
perkara serta kekhawatiran yang sedang menjejali dadanya.
Abu Bakar melihat ada sinar kebenaran dalam usulan Umar. Namun, ia belum berani
mengambil keputusan. Hal ini merupakan masalah krusial. Khalifah pengganti Rasulullah itu
pun shalat istikharah memohon petunjuk. Pada akhirnya Allah tunjukkan piliha terbaik
baginya, yaitu menerima usulan Umar.
Abu Bakar dan Umar bermusyawarah. Mereka memutuskan untuk menyerahkan tugas
tersebut kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid menghadap Abu Bakar dan diberikan tugas
tersebut, reaksinya sama seperti Abu Bakar.
Ia berkata Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak pernah diperbuat Rasulullah
SAW?
Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin
bisa terjadi. Dan hal itu pun diterima dengan baik oleh Zaid.
Keputusan Abu Bakar memilih Zaid bukan pilihan acak, melainkan karena kapabilitasnya
dalam dokumentasi Al-Quran. Satu perkataan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit yang
dikenang sejarah, Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami tidak pernah
meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi SAW untuk menuliskan wahyu,
maka kumpulkanlah ayat-ayat Quran tersebut.
Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk
memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun AlQuran yang engkau perintahkan tersebut! Kata Zaid bin Tsabit.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal Al-Quran dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi
SAW sendiri sering mengecek hafalannya. Namun, ia tidak mau mengandalkan hafalannya
saja. Ia temui setiap sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan. Mengumpulkan catatan
yang terserak pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya. Kemudian
mengkomparasikan satu-ayat dengan yang lain. Setelah itu, zaid menulis ulang Al-Quran
dari awal hingga akhir.
Catatan itu disusun menjadi satu mushaf. Susunan surat dan ayat mengacu kepada bacaan
Rasulullah. Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin Tsabit
sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk
menyelesaikannya.
Al-Quran diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat sabah). Hal ini memang diminta
Nabi SAW sendiri untuk kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-

beda, sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut sudah dianggap
benar. Di masa Nabi SAW hidup dan Islam masih di sekitar jazirah Arab, hal itu tidak jadi
masalah. Tetapi ketika wilayah Islam makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat
lainnya, sementara pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya
Arab, hal itu bisa menimbulkan perpecahan.
Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni
Siprus dan sekitarnya, benih berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan
beberapa sahabat lainnya. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan
usulan untuk menyatukan mushaf dalam satu bacaan/qiraat saja, dan menyebar-luaskannya
sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin meluas saja. Untuk qiraat sabah
(bacaan yang tujuh), biarlah hanya diketahui para ulama dan ahlinya saja.
Khalifah Utsman tidak serta-merta menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam
bidah, sebagaimana yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan
mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya Qiraat Sabah,
akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu Bakar, khalifah Utsman
menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek besar ini, sehingga tersusun kodifikasi
Mushaf Utsmani, yang menjadi cikal bakal dari hampir seluruh Mushaf Al-Quran yang
sekarang beredar di antara kita. Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit
RA. [faris]

KISAH SAHABAT NABI: MU'ADZ BIN JABAL, PELITA ILMU DAN


AMAL

Tatkala Rasulullah mengambil baiat dari orang-orang Anshar pada perjanjian Aqabah
yang kedua, diantara para utusan yang terdiri atas 70 orang itu terdapat seorang anak muda
dengan wajah berseri, pandangan menarik dan gigi putih berkilat serta memikat. Perhatian
dengan sikap dan ketenangannya. Dan jika bicara maka orang yang melihat akan tambah
terpesona karenanya. Nah, itulah dia Mu'adz bin Jabal RA.
Dengan demikian, ia adalah seorang tokoh dari kalangan Anshar yang ikut baiat pada
Perjanjian Aqabah kedua, hingga termasuk Ash-Shabiqul Awwalungolongan yang pertama
masuk Islam. Dan orang yang lebih dulu masuk Islam dengan keimanan serta keyakinannya
seperti demikian, mustahil tidak akan turut bersama Rasulullah dalam setiap perjuangan.
Maka demikianlah halnya Mu'adz. Tetapi kelebihannya yang paling menonjol dan
keitstimewaannnya yang utama ialah fiqih atau keahliannya dalam soal hukum. Keahliannya
dalam fiqih dan ilmu pengetahuan ini mencapai taraf yang menyebabkannya berhak
menerima pujian dari Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Umatku yang paling tahu akan
yang halal dan yang haram ialah Mu'adz bin Jabal."
Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu'adz hampir
sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman,
lebih dulu ditanyainya, "Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai
Mu'adz?"
"Kitabullah," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?"
"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia," jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. "Segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah," sabda beliau.
Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan
kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu'adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih,
mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai "orang
yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram".
Suatu hari, pada masa pemerintahan Khalifah Umar, A'idzullah bin Abdillah masuk
masjid bersama beberapa orang sahabat. Maka ia pun duduk pada suatu majelis yang dihadiri

oleh tiga puluh orang lebih. Masing-masing menyebutkan sebuah hadits yang mereka terima
dari Rasulullah SAW.
Pada halaqah atau lingkaran itu ada seorang anak muda yang amat tampan, hitam
manis warna kulitnya, bersih, baik tutur katanya dan termuda usianya di antara mereka. Jika
pada mereka terdapat keraguan tentang suatu hadits, mereka tanyakan kepada anak muda itu
yang segera memberikan fatwanya.
"Dan ia tak berbicara kecuali bila diminta. Dan tatkala majelis itu berakhir, saya
dekati anak muda itu dan saya tanyakan siapa namanya, ia menjawab, saya adalah Mu'adz bin
Jabal," tutur A'idzullah.
Shahar bin Hausyab tidak ketinggalan memberikan ulasan, katanya, "Bila para
sahabat berbicara, sedang di antara mereka hadir Mu'adz bin Jabal, tentulah mereka akan
sama-sama meminta pendapatnya karena kewibawaannya."
Dan Amirul Mukminin Umar bin Khatab RA sendiri sering meminta pendapat dan
buah pikirannya. Bahkan dalam salah satu peristiwa di mana ia memanfaatkan pendapat dan
keahliannya dalam hukum, Umar pernah berkata, "Kalau tidaklah berkat Mu'adz bin Jabal,
akan celakalah Umar!"
Ia seorang pendiam, tak hendak bicara kecuali atas permintaan hadirin. Dan jika
mereka berbeda pendapat dalam suatu hal, mereka pulangkan kepada Mu'adz untuk
memutuskannya. Maka jika ia telah buka suara, adalah ia sebagaimana dilukiskan oleh salah
seorang yang mengenalnya: "Seolah-olah dari mulutnya keluar cahaya dan mutiara."
Dan kedudukan yang tinggi di bidang pengetahuan ini, serta penghormatan kaum
Muslimin kepadanya, baik selagi Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat,
dicapai Mu'adz sewaktu ia masih muda. Ia meninggal dunia di masa pemerintahan Umar,
sedang usianya belum 33 tahun!
Mu'adz adalah seorang yang murah tangan, lapang hati dan tinggi budi. Tidak sesuatu
pun yang diminta kepadanya, kecuali akan diberinya secara berlimpah dan dengan hati yang
ikhlas. Sungguh kemurahan Mu'adz telah menghabiskan semua hartanya.
Ketika Rasulullah SAW wafat, Mu'adz masih berada di Yaman, yakni semenjak ia
dikirim Nabi ke sana untuk membimbing kaum Muslimin dan mengajari mereka tentang
seluk-seluk Agama.
Di masa pemerintahan Abu Bakar, Mu'adz kembali ke Yaman. Umar tahu bahwa
Mu'adz telah menjadi seorang yang kaya raya, maka ia mengusulkan kepada Khalifah Abu
Bakar agar kekayaan Mu'adz itu dibagi dua. Tanpa menunggu jawaban Abu Bakar, Umar
segera pergi ke rumah Mu'adz dan mengemukakan masalah tersebut.
Mu'adz adalah seorang yang bersih tangan dan suci hati. Dan seandainya sekarang ia
telah menjadi kaya raya, maka kekayaan itu diperolehnya secara halal, tidak pernah
diperolehnya dengan berbuat dosa. Bahkan juga tak hendak menerima barang yang syubhat.

Oleh sebab itu, usul Umar ditolaknya dan alasan yang dikemukakannya
dipatahkannya dengan alasan pula. Umar berpaling meninggalkannya. Pagi-pagi keesokan
harinya Mu'adz pergi ke rumah Umar. Ketika sampai di sana, Mu'adz merangkul dan
memeluk Umar, sementara air mata mengalir mendahului kata-katanya. "Malam tadi saya
bermimpi masuk kolam yang penuh dengan air, hingga saya cemas akan tenggelam.
Untunglah anda datang, hai Umar, dan menyelamatkan saya!"
Kemudian bersama-sama mereka datang kepada Abu Bakar, dan Mu'adz meminta
kepada khalifah untuk mengambil seperdua hartanya. "Tidak satu pun yang akan kuambil
darimu," ujar Abu Bakar.
"Sekarang harta itu telah halal dan jadi harta yang baik," kata Umar menghadapkan
pembicaraannya kepada Mu'adz.
Andai diketahuinya bahwa Mu'adz memperoleh harta itu dari jalan yang tidak sah,
maka tidak satu dirham pun Abu Bakar yang saleh itu akan menyisakan baginya. Namun
Umar tidak pula berbuat salah dengan melemparkan tuduhan atau menaruh dugaan yang
bukan-bukan terhadap Mu'adz.
Hanya saja masa itu adalah masa gemilang, penuh dengan tokoh-tokoh utama yang
berpacu mencapai puncak keutamaan. Di antara mereka ada yang berjalan secara santai, tak
ubah bagi burung yang terbang berputar-putar, ada yang berlari cepat, dan ada pula yang
berlari lambat, namun semua berada dalam kafilah yang sama menuju kepada kebaikan.
Mu'adz pindah ke Syria (Suriah), di mana ia tinggal bersama penduduk dan orang
yang berkunjung ke sana sebagi guru dan ahli hukum. Dan tatkala Abu Ubaidah bin Jarrah
amir atau gubernur militer di sana serta shahabat karib Mu'adzmeninggal dunia, ia diangkat
oleh Amirul Mukminin Umar sebagai penggantinya di Syria.
Tetapi hanya beberapa bulan saja ia memegang jabatan itu, Mu'adz dipanggil Allah
untuk
menghadap-Nya
dalam
keadaan
tunduk
dan
menyerahkan
diri.
Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda, "Hai Mu'adz! Demi Allah, aku sungguh sayang
kepadamu. Maka jangan lupa setiap habis shalat mengucapkan: 'Ya Allah, bantulah aku untuk
selalu ingat dan syukur serta beribadat dengan ikhlas kepada-Mu."
Mu'adz mengerti dan memahami ajaran tersebut dan telah menerapkannya secara
tepat.
Pada suatu pagi Rasulullah bertemu dengan Mu'adz, maka beliau bertanya, "Bagaimana
keadaanmu di pagi hari ini, hai Mu'adz?"
"Di pagi hari ini aku benar-benar telah beriman, ya Rasulullah," jawabnya.
"Setiap kebenaran ada hakikatnya," kata Nabi pula, "maka apakah hakikat keimananmu?"
"Setiap berada di pagi hari, aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan
setiap berada di waktu sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada
satu langkah pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan
langkah lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil melihat

buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati kesenangan surga.
Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka."
Maka sabda Rasulullah SAW, "Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang
teguhlah jangan dilepaskan!"
Menjelang akhir hayatnya, Mu'adz berdoa, "Ya Allah, sesungguhnya selama ini aku
takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa
aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air sungai atau menanam kayu-kayuan,
tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat,
serta untuk menambah ilmu pengetahuan, keimanan dan ketaatan."
Lalu diulurkanlah tangannya seolah-olah hendak bersalaman dengan maut, dan dalam
keberangkatannya ke alam gaib, ia masih sempat berujar, "Selamat datang wahai maut.
Kekasih tiba di saat diperlukan..." Dan nyawa Mu'adz pun melayanglah menghadap Allah.

You might also like