You are on page 1of 19

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

PERCOBAAN I DAN II
PENGARUH RUTE PEMBERIAN
DAN
VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT

Disusun oleh:
KELOMPOK 3
Kelas C2 Kamis Pagi
Avi Rahmadiah

1306376995

Ertika Festya

1306480420

Hana Rosanna

1306405465

Putu Dewi Pramesti S

1306405420

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

I.

Judul Percobaan
Percobaan 1 dan 2: Pengaruh Rute Pemberian dan Variasi Biologik Terhadap

Efek Obat

II.

Tujuan Percobaan
1.

Praktikan mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral

2.

dengan dosis yang sesuai pada mencit atau tikus.


Praktikan mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau
tikus akibat pemberian secara oral, intravena, intraperitoneal,
intramuskular, dan sub-kutan.
Praktikan mampu menerangkan terjadinya efek antar hewan coba yang

3.

berkelamin sama dan antar hewan coba jantan dan betina sebagai dasar
pertimbangan percobaan dengan memakai hewan coba.
III.

Tinjauan Pustaka
Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses

kehidupan.

Tujuan

pengobatan

untuk

memberikan

manfaat

maksimal dengan bahaya minimal. Nasib obat di dalam tubuh


mengalami absorbsi, distribusi, pengikatan pada reseptor untuk
sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek, dengan atau tanpa
metabolisme atau biotransformasi, dan diakhiri dengan ekskresi dari
dalam tubuh. Efek yang timbul setelah pemberian obat akan
berbeda

untuk

setiap

individu.

Faktor

yang

menyebabkan

perbedaan respon setelah pemberian obat, antara lain :


a. Umur
Bayi (terutama neonatus) mempunyai metabolisme obat yang
kurang baik karena seluruh organ dan sistem enzimnya belum
sempurna. Pada orang tua, mekanisme obat sudah tidak baik lagi
karena organ sudah banyak yang tidak dapat bekerja lagi secara
sempurna (organ sudah rusak).
b. Berat badan

Pemberian obat dengan dosis yang sama pada individu


dengan berat badan yang berbeda akan menghasilkan perbedaan
konsentrasi obat dalam darah.
c. Jenis kelamin
Berdasarkan penelitian terhadap hewan coba pada jenis
kelamin yang berbeda dalam memberikan respon obat, umumnya
wanita lebih sensitif terhadap obat dibandingkan dengan pria.
d. Spesies yang berbeda
Pada spesies yang berbeda akan memberikan perbedaan juga
terhadap respon obat yang diberikan. Perbedaan ini disebabkan
karena

setiap

spesies

mempunyai

sistem

metabolisme

yang

berbeda dengan spesies yang lain.


e. Faktor genetik (farmakokinetik)
Variasi gen pada spesies yang sama menyebabkan efek obat
akan berbeda dari satu individu ke individu lain.
f. Rute pemberian obat
Kecepatan absorpsi, distribusi, dan metabolisme tergantung
pada cara pemberian obat, apakah secara intravena, intraperitonial,
intramuscular, subkutan, atau oral.
g. Waktu pemberian obat
Obat lebih cepat diabsorpsi sebelum makan daripada sesudah
makan.
h. Faktor emosional
Pada praktikum kali ini, praktikan diminta untuk melakukan
percobaan untuk melihat pengaruh dari faktor rute pemberian obat
dan variasi biologis (spesies yang berbeda dan jenis kelamin)

terhadap efek obat. Rute pemberian obat ada beberapa macam,


yaitu:
1. Enteral (oral, bukal, sublingual, atau rektal, atau lewat selang
nasogastrik) : absorbsi terutama melalui usus halus, tetapi
juga melalui mukosa mulut, mukosa lambung, usus besar,
atau rektum.
2. Parenteral (intravena (IV), subkutan (SC), intramuskular (IM),
intradermal, intraartikular, intrarektal, epidural)
3. Topikal (salep, krim, jelly untuk dipakai di kulit, obat mata,
obat telinga, inhalasi hidung, transdermal)
Berikut penjelasan mengenai rute pemberian obat enteral dan
parenteral yang akan dilakukan pada percobaan, yaitu:
A. Enteral
Oral
Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum
dilakukan karena mudah, murah, dan aman. Kerugiannya adalah
banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, obat
dapat mengiritasi saluran cerna, dan tidak dapat diberikan pada
pasien yang koma. Pemberian per oral akan memberikan onset
paling lambat karena melalui saluran cerna dan lambat di absorbsi
oleh tubuh.
Cara pemberian pada mencit dan tikus : diberikan dengan alat
suntik yang dilengkapi dengan jarum atau kanula berujung tumpul
atau berbentuk bola. Jarum atau kanula dimasukkan ke dalam mulut
perlahan lahan, diluncurkan melalui tepi lnangit langit ke
belakang sampai oesofagus.
B. Parenteral
Teknik ini menggunakan tusukan pada kulit sehingga memiliki
resiko terjadinya infeksi, nyeri, dan iritasi lokal. Teknik ini meliputi:

Intravena
Penyuntikan dilakukan pada pembuluh darah vena. Melalui

cara intravena ini, obat tidak mengalami absorpsi maka kadar obat

dalam darah diperoleh secara tepat, cepat, dan dapat disesuaikan


langsung dengan respon penderita. Berguna untuk situasi darurat
dan pada pasien yang tidak sadar. Obat yang tidak larut tidak dapat
diberikan secara intravena. Onset pada pemberian secara intravena
paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi dan dibawa
oleh darah dalam pembuluh.
Pemberian pada mencit : penyuntikkan dilakukan pada vena
ekor (ada 4 vena pada ekor). Letakkan hewan pada wadah tertutup
sedemikian rupa sehingga mencit tak leluasa untuk bergerak
gerak dengan ekor menjulur keluar. Hangatkan ekor dengan
mencelupkan ke dalam air hangat (40 o-50o). Pegang ujung ekor
dengan tangan satu dan suntik dengan tangan yang lain. Pemberian
pada tikus : pada tikus yang tidak dianastesi, penyuntikan dapat
dilakukan pada ekor seperti pada mencit, pada vena penis (khusus
untuk tikus jantan), atau vena di permukaan dorsal kaki. Pada tikus
yang dianastesi, penyuntikan dapat dilakukan pada vena femoralis.

Subkutan
Penyuntikan dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding

kapiler untuk memasuki aliran darah. Absorbsi dapat diatur dengan


formulasi obat. Pemberian dengan cara ini, akan menghasilkan
onset yang lambat karena membutuhkan waktu untuk diabsorpsi
dalam tubuh. Pada tikus dan mencit dilakukan di bawah kulit pada
daerah tengkuk.

Intramuskuler
Penyuntikan dilakukan

pada

otot.

Kecepatan

absorbsi

tergantung pada formulasi obat (preparat yang larut dalam minyak


diabsorbsi

dengan lambat, sedangkan yang larut dalam air

diabsorbsi dengan cepat). Dapat diberikan oleh pasien-pasien yang


sudah

dilatih.

Intramuscular

memiliki

onset

lambat

karena

membutuhkan waktu untuk diabsorpsi dalam tubuh. Untuk mencit


dan tikus dilakukan pada otot gluteus maksimus atau bisep femoris
atau semi tendinosus paha belakang.
Intraperitoneal

Penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan


bawah, yaitu di antara kandung kemih dan hati. Cara ini hanya
dilakukan untuk pemberian obat untuk hewan uji karena memiliki
resiko infeksi yang sangat besar. Intraperitoneal akan memberikan
efek yang cepat karena pada daerah tersebut banyak terdapat
pembuluh darah.
Untuk semua hewan percobaan, penyuntikan dilakukan pada
perut sebelah kanan garis tengah, jangan terlalu tinggi agar tidak
mengenai

hati

dan

kandung

kemih.

Hewan

dipegang

pada

punggung supaya kulit abdomen menjadi tegang. Pada saat


penyuntikkan posisi kepala lebih rendah dari abdomen. Suntikan
jarum membentuk sudut 10o menembus kulit dan otot masuk ke
rongga peritoneal.

Gambar 1. Rute Pemberian Obat secara Intramuskular, Intravena dan


Subkutan.

Pada percobaan, praktikan menggunakan ketamine sebagai


obat yang akan diuji efeknya. Ketamin adalahrapid acting non
barbiturat general anesthethic yang termasuk ke dalam golongan
fenil sikloheksilamin dan merupakan obat yang menghasilkan
anestesi disosiasi. Anestesi disosiasi menyerupai kondisi kataleptik
dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang lambat.
Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar.
Refleks refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks
batuk, dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh
dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi
tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu sering kali

terjadi

dan

tidak

tergantung

dari

stimulasi

bedah.

Ketamin

mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1 2


mg/kg BB intravena, 3 5 mg/kg BB intramuskular. Pada dosis
subanestesi,

ketamin

menghasilkan

efek

analgetik

yang

memuaskan.
Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat
terikatnya

phencyclidine

pada

reseptor

N-methyl-D-aspartate

(NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di


saluran

ion.

Ketamin

menghambat

aliran

ion

transmembran.

Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis


endogen dari reseptor ini adalah neurotransmitter eksitatori seperti
asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor
mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron.
Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal,
talamik,

limbik,

dan

kortikal.

Ketamin

menghambat

atau

menginterfensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari


sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap
stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori.
Ketamin
glutamat,

menghambat
mengurangi

pengaktifan
pelepasan

dari

reseptor

glutamat

di

NMDA

oleh

presinaps

dan

meningkatkan efek dari neurotransmitter inhibisi GABA. Ketamin


juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta, dan kappa opioid. Efek
analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini
di sentral dan spinal.
Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya
pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas dopamin.
Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euphoria,
adiksi, dan psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga
disebabkan oleh efek agonis pada reseptor adrenergik dan , efek
antagonis pada reseptor muskarinik di sistem saraf pusat, dan efek
agonis pada reseptor .

Gambar 2. Rumus Bangun Ketamin

Pada percobaan kali ini, akan dilihat pengaruh variasi biologis


dari spesies mencit dan tikus serta jenis kelamin jantan atau betina
dari mencit dan tikus yang digunakan. Sebelum pemberian ketamin
dilakukan,

perhitungan

volume

larutan

ketamin

yang

dapat

diberikan pada hewan coba terlebih dahulu dihitung dan disesuaikan


dengan volume maksimum sesuai jalur pemberian.

Volume maksimum (ml) sesuai jalur


Hewan
Mencit (20-30

IV
0,5

IM
0,05

gram)
Tikus (200

1,0

0,1

pemberian
IP
SC
1,0
0,5-1,0

PO
1,0

2,0-5,0

5,0

2,0-5,0

gram)

Tabel 1. Volume maksimum larutan obat yang dapat diberikan


pada mencit dan tikus (Ritchel, 1974)

IV.

Metode

a.

Alat dan Bahan

Beberapa ekor mencit dan tikus dengan jenis kelamin jantan dan betina
(sesuai dengan matriks tiap kelompok)

Alat suntik, sonde

Larutan Ketamin konsentrasi 0,5%, 5%, dan 10%

Timbangan hewan

Wadah tempat pengamatan

Stop watch

Tissue

Koran

Pinset

10 Kapas alkohol
b.

Cara Kerja
a. Siapkan 2 ekor mencit jantan, 1 ekor mencit betina, 1 ekor tikus jantan dan 1
ekor tikus betina (sesuai matriks kelompok 3). Timbang masing-masing
berat mencit dan tikus yang digunakan.
b. Dengan berat badan yang telah diketahui, hitung dosis dan volume
pemberian larutan ketamin dengan tepat.
c. Berikan larutan ketamin secara oral pada mencit jantan, i.v pada mencit
betina, i.p pada tikus jantan, i.m pada tikust betina, s.k pada mencit jantan
dan catat waktu pemberiannya.
d. Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati dan catat onset dan
durasi hilangnya refleks balik badan (hilangnya kemampuan hewan untuk
membalikkan badan jika ditelentangkan selama 30 detik)
e. Hitung mulai dan lamanya waktu tidur masing-masing kelompok.
Bandingkan hasilnya.
f. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :

mati = sangat peka

tidur, bila diberi rangsang nyeri tidak tegak = peka

tidur, bila diberi rangsang nyeri tegak = sesuai dengan efek yang
diduga

tidak tidur, tetapi mengalami ataksia = resisten

tidak mengalami perubahan = sangat resisten

V.

Hasil Pengamatan
Perhitungan Dosis ketamin:
Dosis (mg) = Dosis Ketamin (mg/kgBB) x Berat
Konsentrasi larutan ketamin yang disediakan: 0,5%, 5%, dan

10%
Rumus volume ketamin yang diberikan:
Volume Larutan Ketamin (ml) =

Dosis (mg)
Konsentrasi larutan Ketamin(

mg
)
ml

Pemberian oral
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit jantan = 23.7 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0237 kg = 1.0665 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara oral pada mencit = 1 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.0665 mg
=0.2133 ml=0.21 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intravena (IV)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit betina = 27.5 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0275 kg = 1.2375 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara intravena pada mencit = 0.5 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.2375 mg
=0.2475 ml=0.25 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intraperitoneal (IP)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat tikus jantan = 133.5 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.1335 kg = 6.0075 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara intraperitoneal pada tikus = 2
5 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
6.0075 mg
=1.2015 ml=1.20 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intramuskular (IM)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat tikus betina = 130.0 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.13 kg = 5.8500 mg

Volume maksimal yang dapat diberikan secara intramuskular pada tikus = 0.1

ml
Larutan ketamin yang digunakan = 10% = 100 mg/ml
5.8500 mg
=0.0585 ml=0.06 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
100 mg/ml
Pemberian subkutan (SC)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit jantan = 24.8 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0248 kg = 1.1160 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara subkutan pada mencit = 0.5 1
ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.1160 mg
=0.2232ml=0.22 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml

Hasil Pengamatan

Keterangan:
O = onset
D = durasi
J = jenis hewan uji dan jenis kelamin hewan
M = mencit ; T = tikus
= jantan ; = betina
= menit; = detik

VI.

Pembahasan
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan untuk mengetahui

pengaruh perbedaan cara pemberian obat terhadap efek obat serta melihat variasi
biologis terhadap efek obat tersebut. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan cara
pemberian obat terhadap efek obat, maka obat diberikan kepada hewan percobaan
secara per oral (PO), intravena (IV), intraperitonial (IP), intramuskular (IM), dan
subkutan (SK).
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologik terhadap efek obat maka
dilakukdan perbandingan efek obat terhadap hewan coba berdasarkan jenis kelamin
(jantan dan betina) dan variasi biologik antar spesies (membandingkan efek obat
secara keseluruhan antara kedua spesies hewan coba, yakni pada mencit dan tikus).
Praktikan terlebih dahulu harus menghitung dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan, baik kepada mencit maupun tikus. Dosis ketamin untuk mencit dan
tikus berbeda-beda, yakni tergantung dari berat badan tikus dan mencit serta volume
maksimal obat yang dapat diberikan melalui rute/jalur pemberian obat yang berbedabeda.
a. Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat
Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat berkaitan dengan onset dan durasi
yang ditimbulkan oleh obat. Waktu onset dicatat sejak obat diberikan sampai timbul
efek obat dan waktu durasi dicatat sejak obat menimbulkan efek sampai efek obatnya
hilang. Lalu diamati efek yang timbul, yaitu hilangnya refleks balik badan dan
kemudian hilangnya kesadaran.
Berdasarkan hasil pengamatan dari enam kelompok pada praktikum
farmakologi hari Kamis pagi didapatkan hasil sebagai berikut:
1

Pada tikus jantan, berdasarkan data dari setiap kelompok dicatat pemberian
secara intravena (IV) memberikan onset yang paling cepat. Kemudian diikuti
intraperitonial (IP), intramuscular (IM), dan per oral (PO). Sedangkan rute
yang memberikan durasi paling cepat adalah rute per oral (PO) yang kemudian
diikuti oleh rute intramuskular (IM), intravena (IV), dan intraperitonial (IP).
Pada pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu
onset dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus jantan memang
benar tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan
dalam penyuntikkan obat oleh praktikan.

Efek yang ditimbulkan oleh tikus jantan pada mayoritas rute adalah resisten,
karena tikus hanya mengalami ataksia yang ditandai dengan hilangnya
keseimbangan tikus sehingga mempengaruhi refleks balik badannya.
2

Pada tikus betina, berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan, onset yang
paling cepat adalah melalui rute pemberian inmuskular (IM) dan berikutnya
diikuti oleh rute intravena (IV), intraperitonial (IP), dan subkutan (SC). Dan
yang memberikan onset yang paling lama adalah rute per oral (PO). Pada
pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu onset
dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus betina memang benar
tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan
dalam penyuntikkan.
Rute yang memberikan durasi paling cepat adalah rute intramuskulat (IM)
yang kemudian diikuti oleh rute intraperitonial (IP), per oral (PO), subkutan
(SC), dan intravena (IV).
Tikus betina lebih cenderung memberikan efek sesuai yang diduga, setelah
pemberian obat dibandingkan tikus jantan yang cenderung resisten, walaupun
ada pula data yang menyatakan tikus berina memberikan hasil yang resisten.

Pada mencit jantan, onset yang paling cepat ditimbulkan pada rute pemberiaan
secara per oral (PO). Kemudian diikuti dengan onset pada pemberiaan secara
intraperitonial (IP), dan intramuskular (IM). Durasi obat yang paling lama,
ditemukan pada pemberiaan secara intraperitonial (IP). Durasi obat paling
cepat didapatkan pada pemberian secara intramuskular (IM).
Pada pemberian secara intravena (IV), mencit jantan mengalami emboli yang
diduga karena kesalahan penyuntikkan sehingga onset dan durasi obat tidak
dapat ditentukan. Hal yang sama ditemukan pada rute subkutan (SC). Pada
rute SC onset dan durasi tidak dapat ditentukan karena terlihat bahwa tikus
betina tidak menimbulkan efek apapun.
Efek yang ditimbulkan oleh mencit jantan pada mayoritas rute adalah sesuai
dengan efek yang diduga, karena tikus tidur namun tetap bisa memberikan
respon apabila diberi rangsangan.

Pada mencit betina, hasil yang diperoleh dari percobaan ternyata onset yang
paling cepat adalah melalui subkutan (SC), yang kemudian diikuti pemberian
secara intramuskular (IM) dan intraperitonial (IP). Rute yang memberikan

durasi paling cepat adalah intamuskular (IM) yang diikuti oleh subkutan (SC)
dan intraperitonial (IP).
Pada rute intravena (IV) dan per oral (PO), onset dan durasi tidak dapat
ditentukan karena terlihat bahwa mencit betina tidak menimbulkan efek
apapun.
Mencit betina lebih cenderung memberikan efek resisten setelah pemberian
obat dikarenakan mencit tidak tidur namun mengalami ataksia.
Dari data yang didapatkan, percobaan memberikan hasil yang sangat
bervariasi sehingga sulit untuk disimpulkan secara keseluruhan rute pemberian obat
mana yang memberikan onset paling cepat dan durasi paling lama. Namun, jika
dilihat secara keseluruhan data yang ada maka praktikan menyimpulkan bahwa rute
pemberian intraperitonial memberikan onset yang paling cepat baik terhadap tikus
mauun mencit yang berjenis kelamin jantan ataupun wanita. Hal tersebut dikarenakan
penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara
kandung kemih dan hati, yang mana pada daerah terbut terdapat banya pembuluh
darah sehingga kemungkinan efek akan timbul dengan cepat. Sedangkan pemberian
obat secara intramuskular (IM) dan subkutan (SC) waktu onsetnya lebih lambat dari
intraperitoneal (IP) karena terdapat barrier jaringan lemak dan membutuhkan waktu
untuk diabsorpsi ke dalam tubuh.
Pemberiaan secara intravena (IV) pada tikus jantan dan bentina pada
kenyataanya memberikan onset yang lebih cepat dibanding rute intraperitonial, namun
dikarenakan data yang ada kurang mendukung karena penyuntikkan secara IV pada
mencit jantan dan betina mengalami kesalahan atau beberapa hewan coba
memperlihatkan efek resisten, praktikan tidak dapat menyimpulkan bahwa rute IV
memberikan onset yang paling cepat.
Pemberian obat secara per oral pada mayoritas hewan coba memberikan waktu
onset yang paling lambat karena harus melalui saluran cerna dan lambat diabsorpsi
oleh tubuh serta harus mengalami fase distribusi, metabolisme dan ekskresi sebelum
menimbulkan efek. Walaupun memang ada data yang memberikan hasil bahwa rute
PO memberikan onset yang cepat, hal tersebut dapat dikarenakan dosis ketamin yang
diberikan secara peroral tidak seluruhnya masuk ke dalam rongga mulut dengan
kanula. Sehingga onset yang terbentuk tidak sesuai yang diharapkan.

Kesimpulan

dari

segi

onset

berdasarkan

praktikum

adalah

onset

IP>IM>IV>SC>PO. Sedangkan berdasarkan teori, onset obat akan didapatkan dari


yang paling cepat ke yang paling lama yaitu IV>IP>IM>SC>PO. Seharusnya suntikan
intravena (IV) memberikan efek paling cepat karena kadar obat langsung terdistribusi
dan dibawa oleh darah dalam pembuluh darah. Namun pada praktikum yang
dilakukan, beberapa data onset rute IV tidak dapat diamati karena respon hewan coba
adalah resisten atau tidak timbul efek apapun. Hal ini mungkin disebabkan kesalahan
prosedur penyuntikan intravena (IV), yakni penyuntikan tidak langsung tepat pada
pembuluh darah vena, sehingga dosis obat yang dimasukkan berkurang dan efek obat
yang seharusnya timbul tidak tercapai. Selain itu, pada suntikan intravena (IV),
praktikan mengalami kesulitan karena sulit mencari dan mendapatkan pembuluh vena
yang tepat dalam ekor tikus maupun mencit.
Bila praktikan membahas mengenai durasi kerja obat dari yang paling cepat ke
yang paling lama, hasil yang ditunjukkan pada tikus jantan adalah PO>IM>IV>IP, SC
memberikan efek resisten atau terjadi kesalahan penyuntikkan; tikus betina adalah
IM>IP>PO>SC>IV; mencit jantan adalah IM>PO>IP, pada IV dan SC memberikan
efek resisten atau terjadi kesalahn penyuntikkan; mencit betina adalah IM>SC>IP,
pada IV dan PO memberikan efek resisten atau terjadi keslahan penyuntikka. Dari
data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian secara intraperitoneal (IP)
memberikan durasi kerja obat yang paling lama.
b. Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat.
Pengaruh variasi biologik terhadap efek obat didapatkan dengan spesies
berbeda (mencit dan tikus) serta jenis kelamin hewan coba berbeda (jantan dan
betina), sehingga praktikan mengamati pengaruh variasi biologik antar jenis kelamin
dan pengaruh variasi biologik antar spesies.
Berdasarkan Jenis Kelamin
Percobaaan ini ingin membandingkan kecepatan munculnya efek obat antara
tikus jantan dan tikus betina, serta mencit jantan dan betina. Berdasarkan data yang
didapatkan, tikus betina lebih peka dibanding tikus jantan karena efek obat terlihat
dan lebih cepat muncul, walaupun terdapat efek resisten pada rute PO dan SC.
Sedangkan pada tikus jantan efek dapat terlihat hanya pada pemberian rute IV.
Selanjutnya praktikan membandingkan efek obat pada mencit jantan dan mencit
betina. Mayoritas mencit jantan memberikan efek sesuai dengan yang diduga,

sedangkan mayoritas mencit betina memberikan efek resisten. Sehingga dapat


disimpulkan bahwa mencit jantan lebih peka terhapad pemberian obat dibanding
mencit betina.
Dari hasil tersebut, jenis kelamin betina dan jantan memberikan respon peka
terhadap obat yang sama. Terlihat bahwa pada tikus, jenis kelamin betina lebih peka
dibanding jantan, namun pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding
betina. Namun berdasarkan teori, jenis kelamin betina seharusnya lebih peka
dibanding jenis kelamin jantan karena wanita lebih sensitif terhadap obat
dibandingkan pria.
Berdasarkan Spesies
Pengamatan dilakukan antar spesies hewan percobaan, yaitu antara tikus dan
mencit. Pada percobaan ini umumnya efek obat lebih cepat muncul pada mencit
daripada tikus. Ini terlihat pada berbagai rute pemberiaan baik IP, IV, IM, PO dan SC
mencit memberikan onset waktu yang lebih cepat dibandingkan tikus. Hal ini
menunjukan mencit lebih peka dari tikus untuk pemberian ketamin dengan efek
anestesi yang lebih besar dari tikus. Perlu diingat pula bahwa kondisi fisik hewan
coba juga mempengaruhi kepekaan terhadap obat yang diberikan.
Faktor Kesalahan
Kesalahan-kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan, antara lain
kurang terampilnya praktikan dalam melakukan penyuntikan, dosis obat yang
disuntikkan tidak sesuai atau kurang karena ada obat yang terbuang ketika menyuntik,
tempat penyuntikkan yang kurang tepat juga mempengaruhi absorpsi obat.
Pengamatan dan pencatatan data yang tidak lengkap, kurangnya waktu ataupun
manajemen waktu yang kurang baik oleh praktikan juga dapat menjadi faktor
kesalahan dalam praktikum kali ini. Kondisi hewan coba juga sangat mempengaruhi
terkait dengan kepekaan obat yang diberikan karena cukup banyak hewan coba yang
memberikan efek resisten.
VII.

Kesimpulan

Efek obat dipengaruhi oleh cara pemberian obat. Berdasarkan teori, onset obat
lebih cepat tercapai pada pemberian IV>IP>IM>SC>PO. Berdasarkan hasil
praktikum onset obat lebih cepat tercapai pada rute IP>IM>IV>SC>PO.

Berdasarkan percobaan, durasi obat yang paling lama diperoleh adalah rute
pemberian obat secara intraperitoneal (IP).

Faktor kesalahan yang terjadi karena tempat penyuntikan yang kurang tepat
dan ada obat yang terbuang ketika proses penyuntikan terutama pada
penyuntikan intravena (IV).

Berdasarkan teori mengenai spesies, mencit lebih peka dari pada tikus. Hasil
percobaan juga menunjukkan hal yang sama. Namun tidak menutup
kemungkinan pula adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik dari
hewan coba yang digunakan.

Berdasarkan teori mengenai jenis kelamin, jenis kelamin betina lebih peka
daripada jantan. Berdasarkan percobaan, jenis kelamin betina dan jantan
memberikan kepakaan yang sama, hal ini terlihat dari percobaan pada tikus,
memberikan hasik jenis kelamin betina lebih peka dibanding jantan, namun
pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding betina. Hal ini tidak
menutup kemungkinan adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik
dari hewan coba yang digunakan.

VIII. Daftar Pustaka


Anon,(n.d.).[online]

Available

at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23306/4/Chapter%20II.pdf
[Accessed 26 Apr. 2016].
Bachtiar, A., Saputri, F., dan Sari, S. 2016. Buku Penuntun Praktikum
Farmakologi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Drajat, M.T. (1986). Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina,
Salemba. (hal 99-102)
Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi edisi keempat. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Gaya Baru.
Kuntarti.
(n.d.).
[online]
Available
at:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/pengantarfarmakologi.p
df [Accessed 26 Apr. 2016].
Neill, J., & Kulkarni, J. (2011). Biological basis of sex differences in
psychopharmacology.Heidelberg: Springer.
Sinaga,
E.
(n.d.).
[online]

Available

http://ernawatisinaga.blog.unas.ac.id/files/2012/12/farmakologi-kul1.pdf
[Accessed 26 Apr. 2016].

at:

Soldin, O., Chung, S., & Mattison, D. (2011). Sex Differences in Drug Disposition.
Journal Of Biomedicine And Biotechnology, 2011, 1-14.
Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta. (1989).
Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FK UI. Jakarta. (hal.
67-69)
Wanamaker, B., & Massey, K. (2014). Applied pharmacology for veterinary
technicians.St. Louis, MO: Saunders/Elsevier.

You might also like