Professional Documents
Culture Documents
PERCOBAAN I DAN II
PENGARUH RUTE PEMBERIAN
DAN
VARIASI BIOLOGIK TERHADAP EFEK OBAT
Disusun oleh:
KELOMPOK 3
Kelas C2 Kamis Pagi
Avi Rahmadiah
1306376995
Ertika Festya
1306480420
Hana Rosanna
1306405465
1306405420
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
I.
Judul Percobaan
Percobaan 1 dan 2: Pengaruh Rute Pemberian dan Variasi Biologik Terhadap
Efek Obat
II.
Tujuan Percobaan
1.
2.
3.
berkelamin sama dan antar hewan coba jantan dan betina sebagai dasar
pertimbangan percobaan dengan memakai hewan coba.
III.
Tinjauan Pustaka
Obat adalah zat kimia yang dapat mempengaruhi proses
kehidupan.
Tujuan
pengobatan
untuk
memberikan
manfaat
untuk
setiap
individu.
Faktor
yang
menyebabkan
setiap
spesies
mempunyai
sistem
metabolisme
yang
Intravena
Penyuntikan dilakukan pada pembuluh darah vena. Melalui
cara intravena ini, obat tidak mengalami absorpsi maka kadar obat
Subkutan
Penyuntikan dilakukan di bawah kulit dan menembus dinding
Intramuskuler
Penyuntikan dilakukan
pada
otot.
Kecepatan
absorbsi
dilatih.
Intramuscular
memiliki
onset
lambat
karena
hati
dan
kandung
kemih.
Hewan
dipegang
pada
terjadi
dan
tidak
tergantung
dari
stimulasi
bedah.
Ketamin
ketamin
menghasilkan
efek
analgetik
yang
memuaskan.
Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat
terikatnya
phencyclidine
pada
reseptor
N-methyl-D-aspartate
ion.
Ketamin
menghambat
aliran
ion
transmembran.
limbik,
dan
kortikal.
Ketamin
menghambat
atau
menghambat
mengurangi
pengaktifan
pelepasan
dari
reseptor
glutamat
di
NMDA
oleh
presinaps
dan
perhitungan
volume
larutan
ketamin
yang
dapat
IV
0,5
IM
0,05
gram)
Tikus (200
1,0
0,1
pemberian
IP
SC
1,0
0,5-1,0
PO
1,0
2,0-5,0
5,0
2,0-5,0
gram)
IV.
Metode
a.
Beberapa ekor mencit dan tikus dengan jenis kelamin jantan dan betina
(sesuai dengan matriks tiap kelompok)
Timbangan hewan
Stop watch
Tissue
Koran
Pinset
10 Kapas alkohol
b.
Cara Kerja
a. Siapkan 2 ekor mencit jantan, 1 ekor mencit betina, 1 ekor tikus jantan dan 1
ekor tikus betina (sesuai matriks kelompok 3). Timbang masing-masing
berat mencit dan tikus yang digunakan.
b. Dengan berat badan yang telah diketahui, hitung dosis dan volume
pemberian larutan ketamin dengan tepat.
c. Berikan larutan ketamin secara oral pada mencit jantan, i.v pada mencit
betina, i.p pada tikus jantan, i.m pada tikust betina, s.k pada mencit jantan
dan catat waktu pemberiannya.
d. Tempatkan hewan dalam wadah pengamatan. Amati dan catat onset dan
durasi hilangnya refleks balik badan (hilangnya kemampuan hewan untuk
membalikkan badan jika ditelentangkan selama 30 detik)
e. Hitung mulai dan lamanya waktu tidur masing-masing kelompok.
Bandingkan hasilnya.
f. Catat hasil pengamatan dan tabelkan sesuai dengan data berikut :
tidur, bila diberi rangsang nyeri tegak = sesuai dengan efek yang
diduga
V.
Hasil Pengamatan
Perhitungan Dosis ketamin:
Dosis (mg) = Dosis Ketamin (mg/kgBB) x Berat
Konsentrasi larutan ketamin yang disediakan: 0,5%, 5%, dan
10%
Rumus volume ketamin yang diberikan:
Volume Larutan Ketamin (ml) =
Dosis (mg)
Konsentrasi larutan Ketamin(
mg
)
ml
Pemberian oral
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit jantan = 23.7 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0237 kg = 1.0665 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara oral pada mencit = 1 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.0665 mg
=0.2133 ml=0.21 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intravena (IV)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit betina = 27.5 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0275 kg = 1.2375 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara intravena pada mencit = 0.5 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.2375 mg
=0.2475 ml=0.25 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intraperitoneal (IP)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat tikus jantan = 133.5 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.1335 kg = 6.0075 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara intraperitoneal pada tikus = 2
5 ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
6.0075 mg
=1.2015 ml=1.20 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Pemberian intramuskular (IM)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat tikus betina = 130.0 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.13 kg = 5.8500 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara intramuskular pada tikus = 0.1
ml
Larutan ketamin yang digunakan = 10% = 100 mg/ml
5.8500 mg
=0.0585 ml=0.06 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
100 mg/ml
Pemberian subkutan (SC)
Dosis ketamin = 45 mg/kg BB
Berat mencit jantan = 24.8 g
Dosis yang diberikan = 45 mg/kg BB x 0.0248 kg = 1.1160 mg
Volume maksimal yang dapat diberikan secara subkutan pada mencit = 0.5 1
ml
Larutan ketamin yang digunakan = 0.5% = 5 mg/ml
1.1160 mg
=0.2232ml=0.22 ml
Volume larutan ketamin yang diberikan =
5 mg/ml
Hasil Pengamatan
Keterangan:
O = onset
D = durasi
J = jenis hewan uji dan jenis kelamin hewan
M = mencit ; T = tikus
= jantan ; = betina
= menit; = detik
VI.
Pembahasan
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan untuk mengetahui
pengaruh perbedaan cara pemberian obat terhadap efek obat serta melihat variasi
biologis terhadap efek obat tersebut. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan cara
pemberian obat terhadap efek obat, maka obat diberikan kepada hewan percobaan
secara per oral (PO), intravena (IV), intraperitonial (IP), intramuskular (IM), dan
subkutan (SK).
Untuk mengetahui pengaruh variasi biologik terhadap efek obat maka
dilakukdan perbandingan efek obat terhadap hewan coba berdasarkan jenis kelamin
(jantan dan betina) dan variasi biologik antar spesies (membandingkan efek obat
secara keseluruhan antara kedua spesies hewan coba, yakni pada mencit dan tikus).
Praktikan terlebih dahulu harus menghitung dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan, baik kepada mencit maupun tikus. Dosis ketamin untuk mencit dan
tikus berbeda-beda, yakni tergantung dari berat badan tikus dan mencit serta volume
maksimal obat yang dapat diberikan melalui rute/jalur pemberian obat yang berbedabeda.
a. Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat
Pengaruh rute pemberian terhadap efek obat berkaitan dengan onset dan durasi
yang ditimbulkan oleh obat. Waktu onset dicatat sejak obat diberikan sampai timbul
efek obat dan waktu durasi dicatat sejak obat menimbulkan efek sampai efek obatnya
hilang. Lalu diamati efek yang timbul, yaitu hilangnya refleks balik badan dan
kemudian hilangnya kesadaran.
Berdasarkan hasil pengamatan dari enam kelompok pada praktikum
farmakologi hari Kamis pagi didapatkan hasil sebagai berikut:
1
Pada tikus jantan, berdasarkan data dari setiap kelompok dicatat pemberian
secara intravena (IV) memberikan onset yang paling cepat. Kemudian diikuti
intraperitonial (IP), intramuscular (IM), dan per oral (PO). Sedangkan rute
yang memberikan durasi paling cepat adalah rute per oral (PO) yang kemudian
diikuti oleh rute intramuskular (IM), intravena (IV), dan intraperitonial (IP).
Pada pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu
onset dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus jantan memang
benar tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan
dalam penyuntikkan obat oleh praktikan.
Efek yang ditimbulkan oleh tikus jantan pada mayoritas rute adalah resisten,
karena tikus hanya mengalami ataksia yang ditandai dengan hilangnya
keseimbangan tikus sehingga mempengaruhi refleks balik badannya.
2
Pada tikus betina, berdasarkan hasil yang diperoleh dari percobaan, onset yang
paling cepat adalah melalui rute pemberian inmuskular (IM) dan berikutnya
diikuti oleh rute intravena (IV), intraperitonial (IP), dan subkutan (SC). Dan
yang memberikan onset yang paling lama adalah rute per oral (PO). Pada
pemberian obat secara subkutan (SC), tidak dapat ditentukan data waktu onset
dan durasi karena paktikan meragukan apakah tikus betina memang benar
tidak menimbulkan efek pada pemberian subkutan atau terjadi kesalahan
dalam penyuntikkan.
Rute yang memberikan durasi paling cepat adalah rute intramuskulat (IM)
yang kemudian diikuti oleh rute intraperitonial (IP), per oral (PO), subkutan
(SC), dan intravena (IV).
Tikus betina lebih cenderung memberikan efek sesuai yang diduga, setelah
pemberian obat dibandingkan tikus jantan yang cenderung resisten, walaupun
ada pula data yang menyatakan tikus berina memberikan hasil yang resisten.
Pada mencit jantan, onset yang paling cepat ditimbulkan pada rute pemberiaan
secara per oral (PO). Kemudian diikuti dengan onset pada pemberiaan secara
intraperitonial (IP), dan intramuskular (IM). Durasi obat yang paling lama,
ditemukan pada pemberiaan secara intraperitonial (IP). Durasi obat paling
cepat didapatkan pada pemberian secara intramuskular (IM).
Pada pemberian secara intravena (IV), mencit jantan mengalami emboli yang
diduga karena kesalahan penyuntikkan sehingga onset dan durasi obat tidak
dapat ditentukan. Hal yang sama ditemukan pada rute subkutan (SC). Pada
rute SC onset dan durasi tidak dapat ditentukan karena terlihat bahwa tikus
betina tidak menimbulkan efek apapun.
Efek yang ditimbulkan oleh mencit jantan pada mayoritas rute adalah sesuai
dengan efek yang diduga, karena tikus tidur namun tetap bisa memberikan
respon apabila diberi rangsangan.
Pada mencit betina, hasil yang diperoleh dari percobaan ternyata onset yang
paling cepat adalah melalui subkutan (SC), yang kemudian diikuti pemberian
secara intramuskular (IM) dan intraperitonial (IP). Rute yang memberikan
durasi paling cepat adalah intamuskular (IM) yang diikuti oleh subkutan (SC)
dan intraperitonial (IP).
Pada rute intravena (IV) dan per oral (PO), onset dan durasi tidak dapat
ditentukan karena terlihat bahwa mencit betina tidak menimbulkan efek
apapun.
Mencit betina lebih cenderung memberikan efek resisten setelah pemberian
obat dikarenakan mencit tidak tidur namun mengalami ataksia.
Dari data yang didapatkan, percobaan memberikan hasil yang sangat
bervariasi sehingga sulit untuk disimpulkan secara keseluruhan rute pemberian obat
mana yang memberikan onset paling cepat dan durasi paling lama. Namun, jika
dilihat secara keseluruhan data yang ada maka praktikan menyimpulkan bahwa rute
pemberian intraperitonial memberikan onset yang paling cepat baik terhadap tikus
mauun mencit yang berjenis kelamin jantan ataupun wanita. Hal tersebut dikarenakan
penyuntikan dilakukan pada rongga perut sebelah kanan bawah, yaitu di antara
kandung kemih dan hati, yang mana pada daerah terbut terdapat banya pembuluh
darah sehingga kemungkinan efek akan timbul dengan cepat. Sedangkan pemberian
obat secara intramuskular (IM) dan subkutan (SC) waktu onsetnya lebih lambat dari
intraperitoneal (IP) karena terdapat barrier jaringan lemak dan membutuhkan waktu
untuk diabsorpsi ke dalam tubuh.
Pemberiaan secara intravena (IV) pada tikus jantan dan bentina pada
kenyataanya memberikan onset yang lebih cepat dibanding rute intraperitonial, namun
dikarenakan data yang ada kurang mendukung karena penyuntikkan secara IV pada
mencit jantan dan betina mengalami kesalahan atau beberapa hewan coba
memperlihatkan efek resisten, praktikan tidak dapat menyimpulkan bahwa rute IV
memberikan onset yang paling cepat.
Pemberian obat secara per oral pada mayoritas hewan coba memberikan waktu
onset yang paling lambat karena harus melalui saluran cerna dan lambat diabsorpsi
oleh tubuh serta harus mengalami fase distribusi, metabolisme dan ekskresi sebelum
menimbulkan efek. Walaupun memang ada data yang memberikan hasil bahwa rute
PO memberikan onset yang cepat, hal tersebut dapat dikarenakan dosis ketamin yang
diberikan secara peroral tidak seluruhnya masuk ke dalam rongga mulut dengan
kanula. Sehingga onset yang terbentuk tidak sesuai yang diharapkan.
Kesimpulan
dari
segi
onset
berdasarkan
praktikum
adalah
onset
Kesimpulan
Efek obat dipengaruhi oleh cara pemberian obat. Berdasarkan teori, onset obat
lebih cepat tercapai pada pemberian IV>IP>IM>SC>PO. Berdasarkan hasil
praktikum onset obat lebih cepat tercapai pada rute IP>IM>IV>SC>PO.
Berdasarkan percobaan, durasi obat yang paling lama diperoleh adalah rute
pemberian obat secara intraperitoneal (IP).
Faktor kesalahan yang terjadi karena tempat penyuntikan yang kurang tepat
dan ada obat yang terbuang ketika proses penyuntikan terutama pada
penyuntikan intravena (IV).
Berdasarkan teori mengenai spesies, mencit lebih peka dari pada tikus. Hasil
percobaan juga menunjukkan hal yang sama. Namun tidak menutup
kemungkinan pula adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik dari
hewan coba yang digunakan.
Berdasarkan teori mengenai jenis kelamin, jenis kelamin betina lebih peka
daripada jantan. Berdasarkan percobaan, jenis kelamin betina dan jantan
memberikan kepakaan yang sama, hal ini terlihat dari percobaan pada tikus,
memberikan hasik jenis kelamin betina lebih peka dibanding jantan, namun
pada mencit jenis kelamin jantan lebih peka dibanding betina. Hal ini tidak
menutup kemungkinan adanya pengaruh faktor kesalahan dan kondisi fisik
dari hewan coba yang digunakan.
Available
at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23306/4/Chapter%20II.pdf
[Accessed 26 Apr. 2016].
Bachtiar, A., Saputri, F., dan Sari, S. 2016. Buku Penuntun Praktikum
Farmakologi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
Drajat, M.T. (1986). Kumpulan Kuliah Anestesiologi. Jakarta: Aksara Medisina,
Salemba. (hal 99-102)
Ganiswara, S.G. (1995). Farmakologi dan Terapi edisi keempat. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : Gaya Baru.
Kuntarti.
(n.d.).
[online]
Available
at:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/kuntarti/material/pengantarfarmakologi.p
df [Accessed 26 Apr. 2016].
Neill, J., & Kulkarni, J. (2011). Biological basis of sex differences in
psychopharmacology.Heidelberg: Springer.
Sinaga,
E.
(n.d.).
[online]
Available
http://ernawatisinaga.blog.unas.ac.id/files/2012/12/farmakologi-kul1.pdf
[Accessed 26 Apr. 2016].
at:
Soldin, O., Chung, S., & Mattison, D. (2011). Sex Differences in Drug Disposition.
Journal Of Biomedicine And Biotechnology, 2011, 1-14.
Staf Pengajar Bagian Anesteiologi dan Terapi Intensif FK UI Jakarta. (1989).
Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FK UI. Jakarta. (hal.
67-69)
Wanamaker, B., & Massey, K. (2014). Applied pharmacology for veterinary
technicians.St. Louis, MO: Saunders/Elsevier.