Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita.
Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Dengan
melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi
tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi (Ranuh dkk,
2008).
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai
penyakit, sehingga bayi dan anak tumbuh dalam keadaan sehat (Hidayat, 2008). Pemberian
imunisasi merupakan tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit infeksi
tertentu seperti tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tubercoluse. atau
seandainya terkenapun, tidak memberikan akibat yang fatal bagi tubuh (Rukiyah & Yulianti,
2010).
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya
imunisasi global yang disebeut dengan Extended Program on Immunization (EPI) cakupan
terus meningkat (Ranuh dkk, 2008). Tanpa imunisasi kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena penyakit campak, sebanyak 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena batuk rejan, satu dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus, dan
dari setiap 200.00 anak, satu akan menderita penyakit polio (Proverawati & Andhini, 2010).
Dari tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program
imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang
diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Ini menempatkan EPI sebagai komponen
penting pelayanan kesehatan. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982
imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun
1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan
beberapa Negara berkembang lainnya (Proverawati & Andhini, 2010).
Di Indonesia, cakupan bayi di imunisasi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari
jumlah sasaran 4.851.942 jiwa bayi, cakupan imunisasi Hepatitis B (HB) usia O bulan atau
kurang dari 7 hari (65,7%), imunisasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) (90,3%), imunisasi
Polio 1 (97,7%), imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus /Hepatitis B (DPT/HB) 1 (96,1%),
1
masih rendah, salah satu penyebabnya adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi yang masih
kurang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi.
1.2 Tujuan Umum
1.2.1. Mengidentifikasi pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ibu terhadap kelengkapan imunisasi
dasar pada anak di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul. .
1.3 Tujuan Khusus
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ibu terhadap kelengkapan imunisasi
dasar pada anak di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul. .
1.3.2 Mengidentifikasi kelengkapan imunisasi dasar pada balita di Desa Aek Lung,
Kecamatan Dolok Sanggul.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran ibu untuk membawa balita
imunisasi di Kecamatan Dolok Sanggul.
2. Membantu menentukan dan melakukan intervensi untuk meningkatkan angka imunisasi di
Kecamatan Dolok Sanggul.
3. Dapat meningkatkan angka cakupan imunisasi.
4. Meningkatkan pengetahuan mengenai imunisasi untuk balita.
5. Meningkatkan komunikasi antara Puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Dolok
Sanggul.
1.4.2 Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang imunisasi balita di Kecamatan Sanggul.
2. Mengatasi masalah yang dihadapi ibu saat membawa balita imunisasi
3. Meningkatkan komunikasi antara Puskesmas dengan masyarakat di Kecamatan Sanggul.
1.4.3 Bagi Pendidikan
1. Sebagai sarana pendidikan, melatih cara berpikir analitik sistemik dalam menyelesaikan
suatu masalah yang ada di komunitas
2. Menambah pengalaman dalam bersosialisasi dalam masyarakat
3. Meningkatkan wawasan pengetahuan mengenai imunisasi balita
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
3
Manfaat imunisasi bagi anak dapat mencegah penyakit cacat dan kematian, sedangkan
manfaat bagi keluarga adalah dapat menghilangkan kecemasan dan mencegah biaya
pengobatan yang tinggi bila anak sakit. Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar
lengkap akan terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke
adik dan kakak dan teman-teman disekitarnya. Dan manfaat untuk Negara adalah untuk
memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan Negara (Proverawati & Andhini, 2010).
2.1.4. Macam-macam Imunisasi
Imunitas atau kekebalan, dibagi dalam dua hal, yaitu aktif dan pasif. Aktif adalah bila
tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas, sedangkan pasif adalah apabila
tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerimanya saja.
1. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan
atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri.
Contonya : imunisasi polio atau campak. Imunisasi aktif ini dilakukan dengan vaksin yang
mengandung :
- Kuman-kuman mati (misalnya : vaksin cholera typhoid / typhus abdomi nalis
paratyphus ABC, vaksin vertusis batuk rejan).
- Kuman-kuman hidup diperlemah (misalnya : vaksin BCG terhadap tuberkulosis).
- Virus-virus hidup diperlemah (misalnya : bibit cacar, vaksin poliomyelitis)
- Toxoid (= toksin = racun dari pada kuman yang dinetralisasi: toxoid difteri, toxoid tetanus).
Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per-oral melalui mulut. maka pada
pemberin vaksin tersebut tubuh akan membuat zat-zat anti terhadap penyakit yang
bersangkutan, oleh karena itu dinamakan imunisasi aktif, kadar zat-zat dapat diukur dengan
pemeriksaan darah, dan oleh sebab itu menjadi imun (kebal) terhadap penyakit tersebut.
Pemberian vaksin akan merangsang tubuh membentuk antibodi. Untuk itu dalam imunisasi
aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat dalam setiap vaksinnya, antara lain :
Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba guna
terjadinya semacam infeksi buatan, yang dapat berupa poli sakarida, toxoid, atau virus yang
dilemahkan atau bakteriyang dimatikan.
a. Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan.
b. Preservatif, stabiliser, dan antibiotik yang berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba
sekaligus untuk stabilisasi antigen.
5
c. Adjuvans yang terdiri atas garam aluminium yang berfungsi untuk imunogenitas antigen.
2. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu zat yang
dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia atau binatang
yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang
terinfeksi (Hidayat, 2008).
Gambar 2 :
Vaksin BCG &
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
tuberkulosis.
Kontra indikasi:
Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin, furunkulosis dan sebagainya.
Mereka yang sedang menderita TBC.
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal lokal
2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula
3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)
8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm
2. Reaksi pada kelenjar
Komplikasi
1. Abses ditempat suntikan
2. Limfadenitis Supurativa
< 5 mm
: Negatif
6 - 9 mm : Meragukan
> 10 mm : Positif
Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG, pada umur 0-l2 bulan,
tetap disetujui.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M.deltoidus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di tempat
lain (bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (tidak tepat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak membantu
struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabi!a diperlukan.
Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena menfaatnya diragukan mengingat (1)
efektivitas perlindungan hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat
(meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri
tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%) walaupun mereka telah mendapat
BCG pada masa kanak -kanak. Saat ini sedang dikembangkan vaksin BCG baru yang
lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan pada pasien
munokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada infeksi
HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu.
10
2. Hepatitis B
Program vaksin hepatitis B (hep-B) segera setelah lahir perlu lebih digalakkan, mengingat
vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk memutuskan rantai transmisi
maternal dari ibu kepada bayinya.
Diskripsi:
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus yang telah diinaktivasikan dan bersifat noninfecious, berasal dari HbsAG yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan.
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B.
Kontra indikasi:
11
Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain, vaksin
ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat
Efek Samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar tempat penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat bayi
berumur 1 bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal interval hepB-2 dan hepB-3
minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2 yaitu
pada umur 3-6 bulan.
Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAG
positif yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu
HbsAG negatif.
Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, hepB-1 harus
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 dan atara umur
3-6 bulan. Apabila semula status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
12
perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat diberikan HBIg
(hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam waktu 24-48 jam
setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I diberikan juga HBIg 0,5 ml.
Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun. apabila
titer pencegahan tercapai (catch-upimmunization).
13
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus.
Kontra indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang mengalami gejalagejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan
untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan, pada tempat
penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan
merancau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.
Jadwal Imunisasi
14
Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTwP
atau DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-6 minggu,
DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3 bulan
dan DTwP atau DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau DTaP-4)
diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTwP
atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Vaksinasi ulangan
Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi
di Indonesia dT tidak ada di pasaran.
DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi
dasar maupun ulangan.
4. Tetanus
Diskripsi:
Vaksin jerap TT (TetanusToksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang
telah dimurnikan dan teradsorbsi kedalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
15
Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi
WUS (Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi.
Gambar 6 : Vaksin TT
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.
Kontra indikasi:
16
Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas, dan
kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.
Jadwal Imunisasi
1. Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi difteria dalam vaksin DTwP atau DTaP
2. Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.
Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoid
sebanyak 5 kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, pada
saat wanita usia subur telah mendapat perlindungan untuk beyi yang akan dilahirkan
terhadap bahaya tetanus neonatorum.
Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
i. Imunisasi DTwP atau DTaP pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan imunitas
selama 1-3 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut, diperkirakan
setara dengan 2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau dewasa.
ii. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5
tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara
dengan 3 dosis toksoid.
iii. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah
akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur dewasa
dihitung setara 5 dosis toksoid.
iv. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah.
3. Dosis vaksin DTP dan TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intrmaskular.
17
5. Polio
Deskripsi:
Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus
poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.
Gambar
7 :8OPV
Gambar
: IPV
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
18
Kontra indikasi:
Pada individu yang menderita immune deficiency tidak ada efek yang berbahaya
yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada
keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah
sembuh.
Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralis yang
disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.
Pada saat ini telah beredar di Indonesia IPV (Inactivated Polio Vaccine) disamping
OPV (Oral Polio Vaccine) yang telah kita kenal selama ini. Vaksin IPV berisi antigen
polio (polio 1,2, dan 3) yang telah mati, sedangkan OPV berisi virus polio hidup. Kedua
vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan pada
anak sehat, maupun yang menderita imunokompromais. Dapat pula diberikan dalam
waktu bersamaan dengan vaksin DTP.
Jadwal
i. Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik polio
maka sesuai pedoman program imunisasi nasional untuk mendapatkan cakupan
imunisasi yang lebih tinggi diperlukan tambahan imunisasi polio yang diberikan
setelah lahir. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat
bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena
virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini , IPV dapat
menjadi alternatif.
ii. Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya tidak kurang dari 4
minggu.
19
iii. Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular.
iv. Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat
masuk sekolah (5-6 tahun).
6. Campak
Diskripsi:
Vaksin campak merupakan vaksin virus yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari
100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.
Gambar 9 : Vaksin
Campak
Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.
20
Kontra indikasi:
Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.
Efek Samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari
yang dapat terjadi 8 12 hari setelah vaksinasi.
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan, pada
umur 9 bulan.
Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi campak
pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang masih
mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan 28,3% diantara
kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat bayi.
Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian imunisasi campak ulang pada saat masuk
sekolah dasar (5-6 tahun). Namun apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 1518 bulan, ulangan campak umur 5 tidak diperlukan.
21
7. MMR
Simpan 2 - 8 C,
Kontra indikasi
Imunodepresi, alergi telur, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah (tunda 6 12
minggu), alergi neomisin, kanamisin.
1. Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara
subkutan.
2. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lainnya.
3. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan imunisasi
campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun.
22
9. Deman Tifoid
23
Dosis pemberian
Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah deltoid.
Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mgr dan hepA 720 ) dalam kemasan prefilled
syringe 0,5 ml intramuskular.
11. Varisela
Jadwal imunisasi
Dosis
Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan
2 kali dengan jarak 4-8 minggu.
(Infanrix-Hib ,Tetract-Hib )
Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib
Infanrix-Hib : kombinasi DPaT+Hib
26
Septikemia / bakteremia
Pneumonia
Meningitis
Otitis media
Sinusitis
misalnya diare atau demam berdarah, badannya sedang memerangi penyakit jika dimasukkan
kuman atau virus lain dalam imunisasi maka tubuhnya akan bekerja sangat berat, sehingga
kekebalan yang terbentuk tidak tinggi
Bayi dikatakan telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap jika bayi atau anak telah
mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap meliputi imunisasi BCG (Bacillus Celmette
Guerin), imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus), imunisasi polio, imunisasi campak, dan
imunisasi hepatitis B (Ranuh dkk, 2008).
2.1.7 Pengetahuan ibu terhadap status imunisasi anak
Pengetahuan merupakan faktor pencetus yang kuat untuk mendorong seseorang
berperilaku. Ketidaktahuan ibu terhadap imunisasi disebabkan karena minimnya informasi
tentang imunisasi pada anak(Ali, 2002). Hasil penelitian Ayubi (2009), menyatakan semakin
tinggi pengetahuan ibu mengenai imunisasi, semakin tinggi peluang anak untuk memperoleh
imunisasi lengkap.
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi
populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi
secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki
sikap yang buruk tentang imunisasi. Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan
komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti
imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan
persoalan pada anak, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan
peningkatan pengetahuan sangat diperlukan (Ali,2002).
2.1.8. JADWAL IMUNISASI TIDAK TERATUR
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi.
Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah
menghasilkan respons imunologi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai
antibodi yang optimal. Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang optimal
karena belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih
dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long immunity)
sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal
imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum selesai.
28
Umur <12 bulan, boleh diberikan kapan saja. Umur >12 bulan,
imunisasi kapan saja namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu
uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0,1 ml
intrakutan
DTwP
atau
Berikan dT pada anak >7 tahun, jangan DTwP atau DTaP apabila
DTaP
Polio oral
Campak
MMR
Hepatitis
berkunjung.
Hib
Riwayat imunisasi
(bulan)
Rekomendasi
imunisasi
6 11
1 dosis
1x umur 6-11 bulan
Ulangan 1x setelah 2
bulan
Atau 12-15 bulan
12 14
12 14
Berikan
15 59
dosis
interval 2 bulan
Berikan 1 dosis
lengkap
mempunyai
kemungkinan
meninggal
14
kali
dibandingkan balita yang telah diimunisasi. Sedangkan bila anak sama sekali
tidak diimunisasi tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi (Ibrahim,
1991).
30
diperlukan
(Muhammad,
2003).
Banyak
literatur
yang
memanfaatkan
sarana-sarana
kesehatan
pencegahan.
Mereka
31
pancaindra
manusia,
yakni
indera
penglihatan,
pendengaran,
dipelajari
antara
lain
dengan
menyebutkan,
menguraikan,
dapat
menjelaskan,
menyebutkan
contoh,
menyimpulkan,
menggunakan
32
baru
dari
formulasi-formulasi
yang
ada.
Misalnya
dapat
yang
cukup
mengejutkan
bahwa
sebagian
ibu
dengan
tingkat
pendidikan sarjana tidak mengetahui penyakit apa yang dapat dicegah oleh
masing-masing jenis imunisasi yang diberikan kepada mereka (Hanum, P., et
al., 2005).
2) Perilaku
33
dibatasi
sebagai
keadaan
jiwa
untuk
sedangkan
dalam
pengertian
umum
a) Latar Belakang
Latar belakang yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang
kesehatan dibedakan atas: pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma
yang dimiliki dan nilai-nilai yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial
budaya yang berlaku.
c) Sarana
Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting
dalam munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun
positifnya latar belakang, kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki
tetapi jika sarana kesehatan tidak tersedia tentu perilaku kesehatan tidak
akan muncul.
d) Faktor Pencetus
Dalam bidang kesehatan peranan faktor pencetus cukup besar untuk
memunculkan perilaku kesehatan yang diinginkan. Seringkali dijumpai
seseorang baru berperilaku kesehatan tertentu bila sudah ada masalah
kesehatan sebagai pencetus, seperti penyakit kulit.
34
e) Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku berarti individu mulai menerapkan sesuatu yang baru
(inovasi), lain daripada yang sebelumnya.
35
A. KERANGKA KONSEP
B. HIPOTESIS
Adanya pengaruh intervensi pengetahuan dan perilaku ibu dengan cakupan program
imunisasi di desa Waru Timur.
36
Suhu optimum
untuk vaksin mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2C sampai
dengan +8C juga, pada suhu dibawah +2C (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak.
Bila beku dalam suhu -0.5C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak
37
dalam jam, tetapi dalam suhu diatas 8C vaksin hepatitis B bias bertahan sampai tiga puluh
hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai empat belas hari. Dibekukan dalam suhu -5C
sampai dengan -10C vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 sampai dengan dua jam,
tetapi bisa bertahan sampai empat belas hari dalam suhu di atas 8C.
d. Kamar dingin dan kamar beku
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumya berada dipabrik,
distributor pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5-100
m, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu dingin berkisar +2C sampai
dengan +8C, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar
beku berkisar antara -25C sampai dengan -15C, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku,
terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus,
menggunakan dua alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listrik tidak boleh terputus
sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listrik yang secara otomatis akan berfungsi
bila listrik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara
otomatis. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup.
dengan +8C, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk
membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara
-25C sampai dengan -15C, khusus untuk menyimpan vaksin polio dan pembuatan cold pack
(kotak es beku). Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya
berkisar antara +2 sampai dengan +8C dan suhu freezer berkisar -15C sampai dengan
-25C. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai di bawah 0 derajat. Sebaiknya pintu
lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengmbalikan
sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.
Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin.
Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3
cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan
vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik lemari es, biarkan pintu
lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang
kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai
+8C dan suhu freezer-15C, masukkan vaksin sesuai tempatnya.
Gambar 19 : Lemari Es
39
Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool
pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam
lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku.
Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh di letakkan di lemari es atau freezer karena
akan menjadi rapuh, mudah pecah. Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan
atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena mengganggu stabilitas suhu karena
sering di buka.
40
41
j.
jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak
beku)yang didinginkan dalam suhu +2C sampai dengan +8C selama 24 jam, biasanya di
dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam
termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool
pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif).
42
43
44
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit
berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh
digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawah
ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap maka vaksin tidak boleh
digunakan karena sudah rusak.
5. Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah
dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin
dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early Expire First Out), vaksin yang sudah
lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out).
45
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain studi
Metode yang dilakukan pada kegiatan ini adalah intervensi melalui penyuluhan
kepada para ibu di Posyandu ibu dan anak di Poskesdes Aek Lung Kecamatan Dolok
Sanggul. Dengan melakukan penyuluhan diharapkan para ibu dapat lebih memahami
mengenai imunisasi dan membawa anak-anaknya ke posyandu/Poskesdes untuk melengkapi
imunisasinya.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk
mendapatkan informasi dan data dari responden. Ada tiga bagian kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini yang dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan kepustakaan. Bagian pertama
kuesioner yaitu data demografi yang diisi oleh responden. Kuesioner demografi berisi tentang :
usia, jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan, pekerjaan,riwayat keluarga.
Bagian kedua adalah kuesioner pengetahuan tentang imunisasi dasar, terdiri dari 20
pernyataan dengan menggunakan skala ordinal yang menjawab benar diberi skor 1, salah diberi
skor 0. Jadi nilai tertinggi yang diperoleh adalah 10 dan nilai terendah adalah 0 (nol).Dengan
memakai skala pengukuran Menurut Arikunto (2006), yaitu :
Baik, bila jawaban responden benar 76-100% dari total nilai angket pengetahuan.
Cukup, bila jawaban responden benar 60-75% dari total nilai angket pengetahuan.
Kurang, bila jawaban responden benar < 60% dari total nilai angket pengetahuan.
Data dikumpulkan pada formulir yang telah disediakan dan dikumpulkan dalam satu
tabel induk, kemudian diolah dengan komputer dengan langkah sebagai berikut:
1. Data yang telah dikumpulkan disunting dan terhadapnya dilakukan coding.
2. Setelah di-coding data kemudian dimasukkan ke dalam SPSS versi 12.
3. Melakukan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan menu frequency.
3.5 Presentasi Data
Data yang diperoleh dipresentasikan dengan menggunakan tabel dan grafik.
3.6 Pelaporan Data
Data yang sudah diolah dan dianalisis disusun dalam bentuk makalah diagnosis
komunitas. Satu rangkap makalah akan diberikan kepada puskesmas.
BAB IV
HASIL
4.1
Data Geografi
Desa Saitnihuta terletak di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan dengan luas daerah kurang lebih 800 km2.
Batas-batas wilayah kerja puskesmas Saitnihuta, yaitu:
Sebelah Utara
Sebelah Selatan
Sebelah Barat
: Kecamatan Sijamapolang
Sebelah Timur
: Kecamatan Lintongnihuta
Desa saitnihuta terdiri dari 4 dusun, yaitu Lumban Sonang, Jukkang, Simaragas,
dan Narambean.
4.3
Data Demografi
48
Desa Saitnihuta mempunyai jumlah penduduk 2343 jiwa dengan perincian jumlah
laki-laki 1095 jiwa, perempuan 1124 jiwa, dan terdiri dari 531 KK.
4.4
4.5
Tidak Tamat SD
5,0
Tamat SD
20
50,0
Tamat SMP
10
25,0
49
Tamat SMA
20,0
Total
40
100.0
Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan
Petani
12
30
20
50,0
Guru
2,5
Swasta
17,5
Total
40
100.0
50
Tabel 4.3
Distribusi Umur Responden
Umur Ibu
20 tahun
12,5
20-30 tahun
22
55,0
30 tahun
13
32,5
Total
40
100.0
Tabel 4.3 menunjukkan distribusi umur ibu dan ibu hamil yang digunakan sebagai
responden, dimana ibu yang berumur 20 tahun sebanyak 12,5 %, ibu yang berumur 30
tahun sebanyak 32,5 % dan yang paling dominan pada responden adalah ibu yang berumur
20-30 tahun sebanyak 55 %.
Tabel 4.4
Pengetahuan Responden Tentang Imunisasi (Pre-Intervensi)
Tingkat Pengetahuan
Baik
Cukup
10
25
Kurang
28
70
Total
40
100.0
51
Tabel 4.4 menunjukkan pengetahuan responden tentang pentingnya imunisasi (preintervensi). Responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
sebanyak 2 orang dengan prosentase 5%. Responden yang mempunyai pengetahuan yang
cukup baik tentang imunisasi sebanyak 10 orang dengan prosentase 25 %. Responden yang
mempunyai pengetahuan yang kurang sebanyak 28 orang dengan prosentase sebanyak 70%.
Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa responden lebih banyak yang mempunyai
tingkat pengetahuan yang kurang tentang imunisasi.
Berikut ini adalah tabel mengenai hasil wawancara tentang perilaku ibu bayi dan ibu
hamil dalam mengimunisasikan anak yang dilakukan responden.
Tabel 4.5
Jumlah responden tentang perilaku imunisasi pada anak (pre-intervensi)
Perilaku
Baik
34
85
Buruk
15
Total
40
100
52
Dari hasil wawancara responden tentang perilaku ibu bayi dan ibu hamil dalam
menerapkan program imunisasi kebanyakan dari responden sudah berperilaku baik mau
membawa anak ke posyandu dan mengimunisasikan anaknya dengan jumlah responden yang
perilaku baik sebesar 85 %.
Kemudian setelah dilakukan intervensi pada responden, yaitu berupa penyuluhan,
pembagian leaflet, dan tanya-jawab kepada responden tentang imunisasi didapatkan data
peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu dalam mengimunisasikan anak. Berikut ini adalah
tabel tingkat pengetahuan responden tentang imunisasi (post-intervensi).
Tabel 4.6
Pengetahuan Responden Tentang Imunisasi (Post-Intervensi)
Tingkat Pengetahuan
Baik
16
40,0
Cukup
14
35,0
Kurang
10
25,0
Total
40
100.0
53
Tabel 4.6 menunjukkan pengetahuan responden tentang pentingnya imunisasi (postintervensi). Responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
sebanyak 16 orang dengan prosentase 40%. Responden yang mempunyai pengetahuan yang
cukup baik tentang imunisasi sebanyak 14 orang dengan prosentase 35%. Responden yang
mempunyai pengetahuan yang kurang sebanyak 10 orang dengan prosentase sebanyak
25,0%. Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan
responden, lebih banyak yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
dibandingkan sebelum dilakukan intervensi.
Berikut ini adalah tabel mengenai hasil wawancara tentang perilaku ibu bayi dan ibu
hamil dalam mengimunisasikan anak yang dilakukan responden (post-intervensi).
Tabel 4.7
Jumlah responden tentang perilaku imunisasi pada anak (post-intervensi)
Perilaku
Baik
38
95,0
Buruk
5,0
Total
40
100
54
Dari hasil wawancara responden tentang perilaku ibu bayi dan ibu hamil dalam
menerapkan program imunisasi setelah dilakukan intervensi menunjukkan berkurangnya
perilaku yang buruk dalam mengimunisasikan anaknya dengan jumlah responden yang
perilaku buruk terjadi penurunan dari sebelum intervensi sebanyak 10% setelah dilakukan
intervensi menurun menjadi hanya 5% saja.
Output dari mini proyek ini adalah meningkatnya jumlah balita yang diimunisasi di
Waru Timur. Data ini menunjukkan prosentase balita yang telah mendapat imunisasi tiap
bulan. Data di desa Waru Timur, Kecamatan Waru adalah :
55
Pada diagram diatas tampak bahwa prosentase LIL desa Waru Timur pada bulan
Desember 2012- November 2013 sebanyak 88,5%, bulan Januari 2013-Desember 2013
sebesar 84,5%, sedangakan pada bulan Februari 2013 Januari 2014 sebesar 82,3%.
BAB V
PEMBAHASAN
A.
PEMBAHASAN
Pada mini proyek ini, peneliti akan menguraikan data dan hasil penelitian tentang
mengetahui bagaimana ibu bayi dan ibu hamil menyadari pentingnya imunisasi pada anak,
selain itu tingkat pengetahuan juga dapat mengetahui respon dari suatu keluarga dalam
memberikan imunisasi pada anak.
Prosedur penelitian ini adalah ibu-ibu di posyandu yang memiliki anak balita dibawah
1 tahun dibagikan kuesioner untuk dijawab kemuadian hasil jawaban di skoring untuk
dikategorikan ke dalam tingkat pengetahuan. Kuesioner yang digunakan merupakan
kuesioner yang telah diuji validitasnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bagi ibu
yang tidak dapat membaca maka pengisian kuesioner dipandu oleh dokter intersip atau
petugas yang bersangkutan.
Berdasarkan data hasil penelitian sebelum dilakukan intervensi, di desa Waru Timur di
dapatkan data hanya 5% ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik selebihnya 70 %
tingkat pengetahuan ibu
berperilaku baik mau membawa anak ke posyandu dan mengimunisasikan anaknya dengan
jumlah responden yang perilaku baik sebesar 85 %. Hal ini menandakan, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tentang imunisasi di kalangan masyarakat setempat. Beberapa
ibu membawa anaknya ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi tanpa tahu manfaat dan
efek samping dari imunisasi itu sendiri.
Kegiatan intervensi yang dilakukan selama penelitian adalah edukasi setiap posyandu,
menyebar leaflet, dan melatih kader posyandu. Tentu saja hal ini tidak mungkin dilakukan
sekali atau dua kali. Setelah dilakukan intervensi pada responden, yaitu berupa penyuluhan,
pembagian leaflet, dan tanya-jawab kepada responden tentang imunisasi didapatkan bahwa
terjadi peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu dalam mengimunisasikan anak. Persentase
responden post intervensi yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
meningkat menjadi 40%. Sedangkan jumlah responden yang perilaku baik meningkat
menjadi sebesar 95 %. Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa terjadi peningkatan
pengetahuan yang baik tentang imunisasi dibandingkan sebelum dilakukan intervensi,
walaupun hanya sebanyak 40% dari jumlah keseluruhan responden. Kondisi tersebut karena
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kendala-kendala yang dialami saat proses mini
proyek berlangsung. Kendala tersebut antara lain :
1.
57
berjalan kurang maksimal karena sebagian besar orang lebih menguasai bahasa daerah
mereka dibandingkan bahasa Indonesia.
2.
Keterbatasan tim
Karena terbatasnya tim mini proyek, maka penelitian tidak dapat dilakukan secara
cepat. Hal ini tentu saja berpengaruh dalam keberhasilan mini proyek.
3.
4.
2013 Januari 2014 sebesar 82,3%. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa desa Waru Timur sudah mencapai target LIL, sehingga bisa dikategorikan dalam desa
UCI (Universal Child Immunization).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Cakupan imunisasi dasar yang lengkap masih jarang dijumpai walaupun sudah
diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan
seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu
membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang
lengkap karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak
diperlukan untuk bayinya, kurang informasi/ penjelasan dari petugas kesehatan
tentang manfaat imunisasi ,serta hambatan lainnya.
Berdasarkan distribusi frekuensi kuesioner pre test, dapat dilihat bahwa mayoritas
pengetahuan responden tentang imunisasi adalah kurang yaitu sebanyak 11 orang
(78,6%), kemudian hanya 3 orang (3,8%) berpengetahuan cukup dan tidak ada
berpengetahuan baik. Hal ini menunjukkan responden tidak mendapat cukup informasi
mengenai imunisasi dari berbagai sumber di sekitarnya, seperti paramedis dan media
informasi lainnya
59
Setelah dilakukan intervensi terlihat yang menempati posisi teratas adalah responden
dengan tingkat pengetahuan baik sama dengan pengetahuan cukup yaitu sebanyak 6
orang (42,8%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 2
orang (14,4%). Dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pengetahuan responden
setelah dilakukan penyuluhan mengalami peningkatan.
Peserta posyandu ibu anak ternyata antusias dengan kegiatan penyuluhan dan diskusi
yang dilakukan, hal ini tampak dari banyaknya pertanyaan yang diajukan saat sesi
tanya jawab berlangsung.
6.2 Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta.
Gupte, Suraj. (2004). Panduan Perawatan Anak, Jakarta.
Hidayat Aziz Alimul, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1, Jakarta: Salemba
Medika.
Hidayat Aziz Alimul, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika.
Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta: CV. Trans Info.
61
Proverawati, Atikah & Citra Setyo Andhini. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi, Yogyakarta:
Nuha Offset.
Rukiyah, Ay & Lia Yulianti. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, Jakarta:
Salemba Medika.
Ranuh, I.G.N., dkk. (2008). Pedoman imunisasi di Indonesia, Edisi ketiga Tahun 2008.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sudjana. M. A. (2002). Metoda Statistika. Edisi 6. Bandung : PT. Tarsito Bandung.
Puskesmas Sayurmatinggi. (2010). Laporan Tahunan Hasil Imunisasi Bayi, Sayurmatinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/info-umum-kesehatan/buletin surveilans-pd3i-danimunisasi.html (data surveilands dibuka tanggal 27 maret 2011
Metawati, Polmaria (2010)Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Pada Balita Di Klinik Bersalin
Nurhalma Tembung
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19172/5/Abstract.pdf
Maryani, Ike (2009) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak petuhan ibu terhadap
pelaksanaan Imunisasi pada balita di desa Blumbang Kecamatan Tawangmangu Kabupaten
Karang Anyar http://etd.eprints.ums.ac.id/4488
Ali, Muhammad (2002) Pengetahuan, Sikap dan perilaku Ibu bekerja dan tidak bekerja
tentang imunisasi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19172/5/Abstract.pdf
KUESIONER PENELITIAN
Data Responden :
Nama responden (Orangtua) :
62
Nama anak
:
Usia anak :
Alamat
Pekerjaan
Pendidikan terakhir
Jumlah anak
Pengetahuan Responden
1. Apa manfaat imunisasi pada anak anda ?
a. Upaya pengobatan terhadap penyakit infeksi
b. Upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu
c. Upaya untuk meningkatkan berat badan anak
d. Upaya meningkatkan gizi pada anak
e. Tidak tahu
2. Penyakit apa yang dapat dicegah dengan imunisasi ?
a. Diare
b. Demam berdarah
c. Campak
d. Infeksi telinga
e. Tidak tahu
3. Berapa jenis imunisasi dasar lengkap yang didapat di posyandu ?
a. 5
b. 3
c. 7
d. 4
e. Tidak tahu
4. Berikut ini salah satu yang termasuk cara pemberian imunisasi ?
63
a. Diteteskan ke mulut
b. Diteteskan ke telinga
c. Disuntikkan ke pembuluh darah
d. Disuntikkan di betis
e. Tidak tahu
5. Kapan seharusnya anak anda pertama kali di imunisasi ?
a. Usia 2 tahun
b. Usia sekolah
c. Sejak sakit
d. Sejak lahir
e. Tidak tahu
6. Imunisasi apakah yang pemberiannya diteteskan melalui mulut ?
a. BCG
b. Polio
c. Hepatitis B
d. DPT
e. Tidak tahu
7. Penyakit apakah yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG ?
a. Polio
b. Hepatitis B
c. TBC
d. Campak
e. Tidak tahu
8. Berapa kali imunisasi Polio diberikan ?
a. 2
b. 3
c. 4
64
d. 1
e. Tidak tahu
9. Kapan imunisasi campak mulai diberikan ?
a. Sejak lahir
b. Usia sekolah
c. Usia 9 bulan
d. Usia 1 tahun
e. Tidak tahu
10. Apakah imunisasi yang sudah terlewatkan dapat diberikan ?
a. Tidak bisa
b. Tidak mungkin
c. Bisa
d. Bisa, asalkan anaknya sudah sekolah
e. Tidak tahu
Sikap Responden
11. Apakah ibu setuju dengan adanya program imunisasi dasar lengkap?
a. Setuju
b. Tidak setuju
12. Apakah ibu setuju apabila anak anda diimunisasi ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
13. Apakah ibu setuju bahwa imunisasi itu sangat penting untuk kesehatan anak ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
14. Apakah ibu setuju bahwa manfaat imunisasi yang didapat jauh lebih besar
dibandingkan kerugiannya (efek samping) ?
65
a. Setuju
b. Tidak setuju
15. Apakah ibu setuju kalau imunisasi Polio dapat mencegah penyakit polio ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
Perilaku Responden
16. Apakah anak ibu sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap?
a. Sudah
b. Belum
Bila belum, berikan alasannya...
17. Pada umur berapa anak ibu mendapat imunisasi BCG ?
a. Segera setelah lahir
b. Sebelum berumur 2 bulan
c. Setelah berumur 2 bulan
d. Setelah terkena penyakit TBC
e. Tidak mendapatkan imunisasi BCG
18. Apakah ibu tetap membawa anak ibu untuk di imunisasi apabila anak ibu sedang diare
?
a. Tetap
b. Tidak
c. Menunda
Berikan alasannya...
19. Bagaiman tindakan ibu pada anak yang tidak mendapatkan imunisasi ?
a. Mengajak orangtuanya agar anaknya diimunisasi
b. Hanya menyarankan
66
67