You are on page 1of 67

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi
kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita.
Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Dengan
melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan
perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi
tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi (Ranuh dkk,
2008).
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai
penyakit, sehingga bayi dan anak tumbuh dalam keadaan sehat (Hidayat, 2008). Pemberian
imunisasi merupakan tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit infeksi
tertentu seperti tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tubercoluse. atau
seandainya terkenapun, tidak memberikan akibat yang fatal bagi tubuh (Rukiyah & Yulianti,
2010).
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya
imunisasi global yang disebeut dengan Extended Program on Immunization (EPI) cakupan
terus meningkat (Ranuh dkk, 2008). Tanpa imunisasi kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena penyakit campak, sebanyak 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena batuk rejan, satu dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus, dan
dari setiap 200.00 anak, satu akan menderita penyakit polio (Proverawati & Andhini, 2010).
Dari tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program
imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang
diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Ini menempatkan EPI sebagai komponen
penting pelayanan kesehatan. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982
imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun
1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan
beberapa Negara berkembang lainnya (Proverawati & Andhini, 2010).
Di Indonesia, cakupan bayi di imunisasi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari
jumlah sasaran 4.851.942 jiwa bayi, cakupan imunisasi Hepatitis B (HB) usia O bulan atau
kurang dari 7 hari (65,7%), imunisasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) (90,3%), imunisasi
Polio 1 (97,7%), imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus /Hepatitis B (DPT/HB) 1 (96,1%),
1

imunisasi Polio 2 (94,2%), imunisasi DPT/HB 2 (93,0%), imunisasi Polio 3 (92,8%),


imunisasi DPT/HB 3 (91,8%), imunisasi Polio 4 (89,9%), dan imunisasi Campak (89,2%).
Dari data tersebut cakupan yang paling rendah yaitu pada imunisasi campak (89%) (Buletin
data surveilans PD3I & imunisasi, 2009).
Cakupan imunisasi pada bayi di provinsi Sumatera Utara pada tahun 2009
menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran bayi sebanyak 323.846 jiwa, cakupan imunisasi
(HB) usia 0 bulan atau kurang dari 7 hari (48,5%), imunisasi BCG (68,3%), imunisasi Polio 1
(91,2%), imunisai DPT/HB 1 (88,4% ), imunisasi Polio 2 (86,9%), imunisasi DPT/HB 2
(85,6%), imunisasi Polio 3 (85,0%), imunisasi DPT/HB 3 (82,9%), imunisasi Polio 4
(82,0%), dan imunisasi campak (81,6%). Terlihat bahwa cakupan imunisasi yang paling
rendah yaitu imunisasi hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari dan imunisasi
BCG (68,3%), dimana target cakupan untuk setiap imunisasi adalah 100% (Buletin data
surveilans PD3I & imunisasi Provinsi Sumut, 2009).
Data di Desa Pegagan Julu VIII pada September 2012, berdasarkan hasil survey
peneliti bahwa sasaran imunisasi di daerah tersebut sebanyak 22 jiwa bayi, cakupan imunisasi
Bacillus celmette Guerin (BCG) sebanyak 18 jiwa bayi (82%), imunisasi DPT 1 sebanyak 21
jiwa bayi (95%), imunisasi DPT 2 sebanyak 21 jiwa bayi (95%), imunisasi DPT 3 sebanyak
21jiwa bayi (95%), imunisasi Polio 1 sebanyak 18 jiwa bayi (82%), imunisasi polio 2
sebanyak 21 jiwa bayi (95%), imunisasi Polio 3 sebanyak 21 jiwa bayi (95%), imunisasi
Polio 4 sebanyak 20 jiwa bayi (91%),imunisasi hepatitis B sebanyak (68%) dan imunisasi
campak sebanyak 22 jiwa bayi (100%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa seluruh jenis
imunisasi sudah mencapai target cakupan kecuali imunisasi hepatitis B dan cakupan yang
paling rendah adalah pada imunisasi hepatitis B (68%).
Dari data diatas cakupan imunisasi hepatitis B belum memenuhi UCI (Universal
Coverage Imunization) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada
bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010 (Proverawati & Andhini, 2010). Walaupun
sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan
seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu
membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap
karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak diperlukan
untuk bayinya, kurang informasi/ penjelasan dari petugas kesehatan tentang manfaat
imunisasi ,serta hambatan lainnya (Ranuh dkk, 2008).
Data dan uraian diatas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan yang berdampak pada
penurunan angka kesehatan bayi di Puskesmas Sayurmatinggi masih menunjukkan nilai yang
2

masih rendah, salah satu penyebabnya adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi yang masih
kurang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi.
1.2 Tujuan Umum
1.2.1. Mengidentifikasi pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ibu terhadap kelengkapan imunisasi
dasar pada anak di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul. .
1.3 Tujuan Khusus
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan, Sikap, dan Perilaku ibu terhadap kelengkapan imunisasi
dasar pada anak di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul. .
1.3.2 Mengidentifikasi kelengkapan imunisasi dasar pada balita di Desa Aek Lung,
Kecamatan Dolok Sanggul.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Puskesmas
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran ibu untuk membawa balita
imunisasi di Kecamatan Dolok Sanggul.
2. Membantu menentukan dan melakukan intervensi untuk meningkatkan angka imunisasi di
Kecamatan Dolok Sanggul.
3. Dapat meningkatkan angka cakupan imunisasi.
4. Meningkatkan pengetahuan mengenai imunisasi untuk balita.
5. Meningkatkan komunikasi antara Puskesmas dan masyarakat di Kecamatan Dolok
Sanggul.
1.4.2 Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang imunisasi balita di Kecamatan Sanggul.
2. Mengatasi masalah yang dihadapi ibu saat membawa balita imunisasi
3. Meningkatkan komunikasi antara Puskesmas dengan masyarakat di Kecamatan Sanggul.
1.4.3 Bagi Pendidikan
1. Sebagai sarana pendidikan, melatih cara berpikir analitik sistemik dalam menyelesaikan
suatu masalah yang ada di komunitas
2. Menambah pengalaman dalam bersosialisasi dalam masyarakat
3. Meningkatkan wawasan pengetahuan mengenai imunisasi balita

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
3

2.1.1. Definisi Imunisasi


Imunisasi bersal dari kata imun. Kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti
diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu
penyakit. Tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo, 2003).
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan
memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap
penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk
merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan
(misalnya vaksin BCG, DPT, dan Campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio)
(Hidayat, 2008).
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi
penyakit (Ranuh dkk, 2008).
2.1.2. Tujuan Imunisasi
Tujuan dalam pemberian imunisasi, antara lain :
1. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit
tertentu di dunia.
2. Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi
dan anak.
3. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat
penyakit tertentu.
4. Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin didapat eradikasi sesuatu
penyakit dari suatu daerah atau negeri.
5. Mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan
bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari
dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B,
gondongan, cacar air, TBC, dan lain sebagainya.
6. Mencegah terjadinya penyakit tetentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit pada
sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari
dunia seperti pada imunisasi cacar (Maryunani, 2010).
2.1.3. Manfaat imunisasi

Manfaat imunisasi bagi anak dapat mencegah penyakit cacat dan kematian, sedangkan
manfaat bagi keluarga adalah dapat menghilangkan kecemasan dan mencegah biaya
pengobatan yang tinggi bila anak sakit. Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar
lengkap akan terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke
adik dan kakak dan teman-teman disekitarnya. Dan manfaat untuk Negara adalah untuk
memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan Negara (Proverawati & Andhini, 2010).
2.1.4. Macam-macam Imunisasi
Imunitas atau kekebalan, dibagi dalam dua hal, yaitu aktif dan pasif. Aktif adalah bila
tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas, sedangkan pasif adalah apabila
tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerimanya saja.
1. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan
atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri.
Contonya : imunisasi polio atau campak. Imunisasi aktif ini dilakukan dengan vaksin yang
mengandung :
- Kuman-kuman mati (misalnya : vaksin cholera typhoid / typhus abdomi nalis
paratyphus ABC, vaksin vertusis batuk rejan).
- Kuman-kuman hidup diperlemah (misalnya : vaksin BCG terhadap tuberkulosis).
- Virus-virus hidup diperlemah (misalnya : bibit cacar, vaksin poliomyelitis)
- Toxoid (= toksin = racun dari pada kuman yang dinetralisasi: toxoid difteri, toxoid tetanus).
Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per-oral melalui mulut. maka pada
pemberin vaksin tersebut tubuh akan membuat zat-zat anti terhadap penyakit yang
bersangkutan, oleh karena itu dinamakan imunisasi aktif, kadar zat-zat dapat diukur dengan
pemeriksaan darah, dan oleh sebab itu menjadi imun (kebal) terhadap penyakit tersebut.
Pemberian vaksin akan merangsang tubuh membentuk antibodi. Untuk itu dalam imunisasi
aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat dalam setiap vaksinnya, antara lain :
Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba guna
terjadinya semacam infeksi buatan, yang dapat berupa poli sakarida, toxoid, atau virus yang
dilemahkan atau bakteriyang dimatikan.
a. Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan.
b. Preservatif, stabiliser, dan antibiotik yang berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba
sekaligus untuk stabilisasi antigen.
5

c. Adjuvans yang terdiri atas garam aluminium yang berfungsi untuk imunogenitas antigen.
2. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu zat yang
dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia atau binatang
yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang
terinfeksi (Hidayat, 2008).

2.1.5 Jadwal Imunisasi


Pemberian imunisasi pada bayi, tepat pada waktunya merupakan faktor yang sangat
penting untuk kesehatan bayi. Melakukan imunisasi pada bayi merupakan bagian tanggung
jawab orang tua terhadap anaknya. Imunisasi dapat diberikan ketika ada kegiatan posyandu,
pemeriksaan kesehatan pada petugas kesehatan atau pekan imunisasi. Jika bayi sedang sakit
yang disertai panas, menderita kejang-kejang sebelumnya, atau menderita penyakit system
saraf, pemberian imunisasi perlu dipertimbangkan. Kebanyakan dari imunisasi adalah untuk
memberi perlindungan menyeluruh terhadap penyakit-penyakit yang berbahaya dan sering
terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan seorang anak. Walaupun pengalaman sewaktu
mendapatkan vaksinasi atau imunisasi tidak menyenangkan untuk bayi (karena biasanya akan
mendapatkan suntikan), tetapi rasa sakit sementara akibat suntikan bertujuan untuk kesehatan
bayi atau anak dalam jangka waktu yang panjang (Proverawati & Andhini, 2010).

Gambar 1. Jadwal Imunisasi


Keterangan Jadwal Imunisasi
- BCG
Imunisasi BCG ini diberikan sejak lahir. Apabila usia >3 bulan harus dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu, BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
- Hepatitis B
Imunisais hepatitis B diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan pada usia 1
dan 3 sampai 6 bulan. Interval dosis minimal 4 minggu.
- Polio
Imunisasi polio-0 diberikan pada saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir dirumah
bersalin atau rumah sakit Oral Polio Vaccine (OPV) diberikan pada saat bayi dipulangkan
(untuk menghindari transmisi virus vaksin kebayi lain)
- DPT
Imunisasi diberikan pada usia lebih 6 minggu, secara terpisah atau secara kombinasi
dengan hepatitis B.
- Campak
Imunisasi campak -1 diberikan pada usia 9 bulan (Proverawati & Andhini, 2010).

2.1.5.1. IMUNISASI YANG DIWAJIBKAN (PPI)


Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP, dan campak.

1. BCG (Bacillus Calmette Guerine)

Gambar 2 :
Vaksin BCG &

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap
tuberkulosis.
Kontra indikasi:
Adanya penyakit kulit yang berat/menahun seperti: eksin, furunkulosis dan sebagainya.
Mereka yang sedang menderita TBC.
Reaksi sesudah imunisasi BCG
1. Reaksi normal lokal
2 minggu : indurasi, eritema kemudian menjadi pustula
3 - 4 minggu : pustula pecah menjadi ulkus (tidak perlu pengobatan)
8 - 12 minggu : ulkus menjadi scar diameter 3 - 7 mm
2. Reaksi pada kelenjar

Merupakan respon selular pertahanan tubuh

Kadang terjadi di kelenjar axilla dan supraklavikula

Timbul 2 - 6 bulan sesudah imunisasi


8

Kelenjar berkonsistensi padat, tidak nyeri, demam (-)

Akan mengecil 1 - 3 bulan kemudian tanpa pengobatan

Komplikasi
1. Abses ditempat suntikan

Abses bersifat tenang (cold abses) sehingga

Abses matang aspirasi

tidak perlu terapi

2. Limfadenitis Supurativa

Oleh karena suntikan subkutan atau dosis tinggi

Terjadi 2 - 6 bulan sesudah imunisasi

Bila telah matang di aspirasi

Terapi tuberkulostatika mempercepat pengecilan

Reaksi pada yang pernah tertular TBC


Koch phenomen-Reaksi lokal BCG berjalan cepat (2 - 3 hari sesudah imunisasi),4 - 6
minggu timbul scar.

Imunisasi bayi > 2 bulan, dilakukan tes Tuberkulin (Mantoux):

Untuk menunjukkan apakah pernah kontak dengan kuman TBC

Menyuntikkan 0,1 ml PPD didaerah flexor lengan bawah secara intrakutan

Pembacaan dilakukan setelah 48 - 72 jam penyuntikan

Diukur besarnya diameter indurasi ditempat suntikan

< 5 mm

: Negatif

6 - 9 mm : Meragukan

> 10 mm : Positif

Test Mantoux (-) : Imunisasi


(+) : Pemeriksaan TBC

Meragukan : Ulang 2 minggu

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada dasarnya untuk mencapai
cakupan yang lebih luas, pedoman Depkes perihal imunisasi BCG, pada umur 0-l2 bulan,
tetap disetujui.
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M.deltoidus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M.deltoidus kanan dan tidak di tempat
lain (bokong. paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (tidak tepat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak membantu
struktur otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha
anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabi!a diperlukan.
Vaksin BCG ulang tidak dianjurkan oleh karena menfaatnya diragukan mengingat (1)
efektivitas perlindungan hanya 40%, (2) sekitar 70% kasus Tuberkulosis berat
(meningitis) ternyata mempunyai parut BCG, dan (3) kasus dewasa dengan BTA (bakteri
tahan asam) positif di Indonesia cukup tinggi (23-36%) walaupun mereka telah mendapat
BCG pada masa kanak -kanak. Saat ini sedang dikembangkan vaksin BCG baru yang
lebih efektif.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, mereka tidak diberikan pada pasien
munokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau pada infeksi
HIV).
Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu.

10

2. Hepatitis B
Program vaksin hepatitis B (hep-B) segera setelah lahir perlu lebih digalakkan, mengingat
vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat efektif untuk memutuskan rantai transmisi
maternal dari ibu kepada bayinya.

Gambar 3 : Kemasan Vakin Hepatitis B

Diskripsi:
Vaksin hepatitis B adalah vaksin virus yang telah diinaktivasikan dan bersifat noninfecious, berasal dari HbsAG yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan.

Gambar 4 : Kemasan Vakin Hepatitis B

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis B.

Kontra indikasi:
11

Hipersensitif terhadap komponen vaksi. Sama halnya seperti vaksin-vaksin lain, vaksin
ini tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat

Efek Samping
Reaksi lokal seperti rasa sakit, kemerahan dan pembekakan disekitar tempat penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.

Jadwal imunisasi hepatitis B

Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling


tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi maternal
kurang lebih sebesar 45%.

Hepatitis B-2 diberikan dengan interval 1 bulan dari hep B-1 (saat bayi
berumur 1 bulan). Untuk mendapatkan respons imun optimal interval hepB-2 dan hepB-3
minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka hepB-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepB-2 yaitu
pada umur 3-6 bulan.

Jadwal pemberian hepB-l saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status HbsAG
positif yaitu ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, ibu HbsAG positif atau ibu
HbsAG negatif.

Departemen Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepB-1


monoivalen (uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin kombinasi DTwP/HepB pada
umur 2-3-4 bulan.

Hepatitis B saat bayi lahir

Baru lahir dari ibu dengan status HbsAG yang tidak diketahui, hepB-1 harus
diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada umur 1 dan atara umur
3-6 bulan. Apabila semula status HbaAG ibu tidak diketahui dan ternyata dalam
12

perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAG positif maka dapat diberikan HBIg
(hepatitis B imunoglobulin) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAG-B ibu positif, dalam waktu 24-48 jam
setelah lahir bersamaan dengan vaksin HepB-I diberikan juga HBIg 0,5 ml.

Ulangan vaksinasi hepatitis B

Telah dilakukan suatu penelitian multisenter di Thailand dan Taiwan terhadap


anak dari ibu pengidap hepatitis B yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa
bayi. Pada umur 5 tahun, sejumlah 90,7% diantaranya masih memiliki titer antibodi anti
HBs yang protektif (titer anti HBs>10ug/ml). Mengingat pola epidemiologi hepatitis B di
Indonesia mirip dengan pola epidemiologi di Thailand, maka dapat disimpulkan bahwa
imunisasi ulang (booster) pada usia 5 tahun tidak diperlukan. Idealnya, pada usia ini
dilakukan pemeriksaan anti HBs.

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh


imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan (catch-up vaccination).

Ulangan imunisasi hepatitis B dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun. apabila
titer pencegahan tercapai (catch-upimmunization).

3. DTwP dan DTaP


Diskripsi:
Vaksin jerap DPT (DifteriPertusis Tetanus) adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri
dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktivasi.

13

Gambar 5 : Vaksin DPT

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus.

Cara pemberian dan dosis:

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar


suspensi menjadi homogen.

Disuntikkan secara intramuskuler dengan dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.

Dosis pertama diberikan pada umur 2 bulan, dosis selanjutnya


diberikan dengan interval paling cepat 4 minggu (1 bulan).

Kontra indikasi
Gejala-gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius
keabnormalan pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis. Anak yang mengalami gejalagejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus dihindarkan pada dosis kedua, dan
untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.

Efek Samping
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti: lemas, demam, kemerahan, pada tempat
penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan
merancau yang biasanya terjadi 24 jam setelah imunisasi.

Jadwal Imunisasi

14

Imunisasi DTwP dan DTaP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTwP
atau DTaP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-6 minggu,
DTwP atau DTaP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTwP atau DTaP-2 pada umur 3 bulan
dan DTwP atau DTaP-3 pada umur 4 bulan. Ulangan selanjutnya (DTwP atau DTaP-4)
diberikan satu tahun setelah DTwP atau DTaP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTwP
atau DTaP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

Vaksinasi ulangan

Pada booster umur 5 tahun dianjurkan tetap diberikan vaksin dengan


komponen partusis (DTwP atau DTaP), mengingat kejadian pertusis pada dewasa muda
penularan pada bayi dan anak.

Sejak tahun 1998, DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah.


Ulangan DT-6 diberikan pada usia 12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria
pada umur lebih dari 10 tahun.

Sebaiknya ulangan DT-6 pada umur 12 tahun diberikan dT (adult dose), tetapi
di Indonesia dT tidak ada di pasaran.

Dosis Vaksinasi DTP

DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi
dasar maupun ulangan.

4. Tetanus
Diskripsi:
Vaksin jerap TT (TetanusToksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang
telah dimurnikan dan teradsorbsi kedalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
15

Dipergunakan untuk mencegah tetanus pada bayi yang baru lahir dengan mengimunisasi
WUS (Wanita Usia Subur) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus pada ibu bayi.

Gambar 6 : Vaksin TT

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.

Cara pemberian dan dosis:

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih


dahulu agar suspensi menjadi homogen.

Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2


dosis primer yang disuntikkan secara intra muskular atau subkutan dalam, dengan dosis
pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6
bulan berikutnya. Untuk mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia
subur, maka dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis keempat dan kelima diberikan dengan
interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat. Imunisasi TT dapat
diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.

Kontra indikasi:

16

Gejala-gejala berat karena dosis pertama TT.

Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan. Gejala-gejala seperti lemas, dan
kemerahan pada lokasi suntikan yang bersifat sementara, dan kadang-kadang gejala demam.

Jadwal Imunisasi
1. Jadwal imunisasi tetanus, sesuai dengan imunisasi difteria dalam vaksin DTwP atau DTaP
2. Perkiraan lama waktu perlindungan antibodi tetanus.
Program imunisasi mengharuskan seorang anak minimal mendapat vaksin tetanus toksoid
sebanyak 5 kali untuk memberikan perlindungan seumur hidup. Dengan demikian, pada
saat wanita usia subur telah mendapat perlindungan untuk beyi yang akan dilahirkan
terhadap bahaya tetanus neonatorum.
Perlindungan tersebut dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut:
i. Imunisasi DTwP atau DTaP pada bayi 3 kali (3 dosis) akan memberikan imunitas
selama 1-3 tahun. Dari 3 dosis toksoid tetanus pada bayi tersebut, diperkirakan
setara dengan 2 dosis toksoid pada anak yang lebih besar atau dewasa.
ii. Ulangan DTP pada umur 18-24 bulan (DTP 4) akan memperpanjang imunitas 5
tahun yaitu sampai dengan umur 6-7 tahun, pada umur dewasa dihitung setara
dengan 3 dosis toksoid.
iii. Dosis toksoid tetanus kelima (DTP/DT 5) bila diberikan pada usia masuk sekolah
akan memperpanjang imunitas 10 tahun lagi yaitu pada sampai umur dewasa
dihitung setara 5 dosis toksoid.
iv. Upaya ETN dengan target sasaran TT 5 kali juga dilakukan pada anak sekolah.
3. Dosis vaksin DTP dan TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intrmaskular.

17

5. Polio
Deskripsi:
Vaksin Oral Polio hidup adalah Vaksin Polio Trivalent yang terdiri dari suspensi virus
poliomyelitis tipe 1,2 dan 3 (strain Sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan
jaringan ginjal kera dan distabilkan dengan sukrosa.

Gambar
7 :8OPV
Gambar
: IPV

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.

Cara pemberian dan dosis:

Diberikan secara oral (melalui mulut), 1 dosis adalah 2


(dua) tetes sebanyak 4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4
minggu.

18

Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes


(dopper) yang baru.

Kontra indikasi:
Pada individu yang menderita immune deficiency tidak ada efek yang berbahaya
yang timbul akibat pemberian polio pada anak yang sedang sakit. Namun jika ada
keraguan, misalnya sedang menderita diare, maka dosis ulangan dapat diberikan setelah
sembuh.

Efek Samping
Pada umumnya tidak terdapat efek samping. Efek samping berupa paralis yang
disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi.
Pada saat ini telah beredar di Indonesia IPV (Inactivated Polio Vaccine) disamping
OPV (Oral Polio Vaccine) yang telah kita kenal selama ini. Vaksin IPV berisi antigen
polio (polio 1,2, dan 3) yang telah mati, sedangkan OPV berisi virus polio hidup. Kedua
vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat diberikan pada
anak sehat, maupun yang menderita imunokompromais. Dapat pula diberikan dalam
waktu bersamaan dengan vaksin DTP.
Jadwal
i. Polio-O diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik polio
maka sesuai pedoman program imunisasi nasional untuk mendapatkan cakupan
imunisasi yang lebih tinggi diperlukan tambahan imunisasi polio yang diberikan
setelah lahir. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat
bayi meninggalkan rumah sakit/ rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena
virus polio vaksin dapat diekskresi melalui tinja. Untuk keperluan ini , IPV dapat
menjadi alternatif.
ii. Untuk imunisasi dasar polio (polio 2,3,4), interval diantaranya tidak kurang dari 4
minggu.

19

iii. Dosis OPV, 2 tetes per-oral sedangkan IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular.
iv. Vaksin polio ulangan diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat
masuk sekolah (5-6 tahun).

6. Campak
Diskripsi:
Vaksin campak merupakan vaksin virus yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari
100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin.

Gambar 9 : Vaksin
Campak

Indikasi:
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit campak.

Cara pemberian dan dosis:

20

Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu


harus dilarutkan dengan pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan
pelarut.

Dosis pemberian 0,5 ml disuntikkan secara subkutan


pada lengan kiri atas, pada usia 9-11 bulan. Dan ulangan (booster) pada usia 6-7 tahun
(kelas 1 SD) setelah catch-up campaign campak pada anak Sekolah Dasar kelas 1 6.

Kontra indikasi:
Individu yang mengidap penyakit Immune deficiency atau individu yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.

Efek Samping
Hingga 15% pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan selama 3 hari
yang dapat terjadi 8 12 hari setelah vaksinasi.
Vaksin campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan, pada
umur 9 bulan.
Hasil penelitian litbangkes Depkes 2000, didapatkan bahwa titer antibodi campak
pada anak usia sekolah 10-12 tahun hanya tinggal 50% diantaranya yang masih
mempunyai antibodi campak diatas ambang pencegahan. Sedangkan 28,3% diantara
kelompok usia 5-7 tahun pernah menderita campak walaupun sudah diimunisasi saat bayi.
Berdasarkan hal tersebut dianjurkan pemberian imunisasi campak ulang pada saat masuk
sekolah dasar (5-6 tahun). Namun apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 1518 bulan, ulangan campak umur 5 tidak diperlukan.

2.1.5.2. IMUNISASI YANG DIANJURKAN


Imunisasi yang dianjurkan kepada bayi/anak namun belum masuk ke dalam program
imunisasi nasional adalah MMR, Hib, tifoid, hepatitis A, varisela dan influenza.

21

7. MMR

Gambar 10 : Vaksin MMR

Virus campak Schwarz hidup dilemahkan dlm embrio ayam

Virus gondong Urabe dibiak dalam telur ayam

Virus rubela Wistar dibiak pada sel deploid manusia

Simpan 2 - 8 C,

Kontra indikasi
Imunodepresi, alergi telur, hamil, pasca imunoglobulin, transfusi darah (tunda 6 12
minggu), alergi neomisin, kanamisin.
1. Vaksin MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara
subkutan.
2. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikan imunisasi lainnya.
3. Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan imunisasi
campak-2 pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan.
Ulangan diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun.
22

8. Haemophilus Influenza tipe b (Hib)

Gambar 11. Vaksin Hib


Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu:
PRP-T dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex)
Jadwal imunisasi
a. Vaksinasi PRP-T diberikan pada umur 2,4 dan 6 bulan.
b. Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan, dosis ketiga (6 bulan) tidak
diperlukan.
c. Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DTwP atau DTaP dalam bentuk
vaksinasi kombinasi.
Dosis
a. Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
b. Tersedia vaksin kombinasi DTwP/Hib atau DTaP/Hib (vaksin kombinasi berisi vaksin
PRP-T) dalam kemasan Prefilled syringe 0,5 ml.
Ulangan
a. Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP pada umur 18 bulan
b. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.

9. Deman Tifoid
23

Gambar 12 : Vaksin Demam Tifoid


Di Indonesia tersedia 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntik (polisakarida) dan oral. Vaksin
capsular Vi polysaccharide diberikan intramuskular atau subkutan pada umur lebih dari 2
tahun, ulangan di lakukan setiap 3 tahun.
Tifoid oral diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan interval
selang sehari (hari 1,3, dan 5). Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral
pada umumnya diperlukan untuk turis yang akan berkunjung ke daerah endemis tifoid.
10. Hepatitis A

Gambar 13 : Vaksin Hepatitis A


Vaksin hepatitis A diberikan pada daerah yang kurang terpajan (under exposure).
Jadwal imunisasi

Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun.

Vaksin kombinasi hepB/hepA tidak diberikan pada bayi kurang dari


12 bulan. Maka vaksin kombinasi diindikasikan pada anak umur lebih dari 12 bulan,
terutama untuk catch-up immunization yaitu mengejar imunisasi hepB sebelumnya atau
vaksin hepB yang tidak lengkap.
24

Dosis pemberian
Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah deltoid.
Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mgr dan hepA 720 ) dalam kemasan prefilled
syringe 0,5 ml intramuskular.

11. Varisela

Gambar 14 : Vaksin Varisela


Kesepakatan Satgas Imunisasi IDAI

Efektif vaksin tidak diragukan lagi, namun cakupan imunisasi tinggi


oleh karena harganya masih mahal sehingga belum terjangkau oleh semua lapisan
masyarakat, maka imunisasi rutin belum dapat terlaksana.

Pada cakupan yang rendah, dapat mengubah epidemiologi penyakit


dari masa anak ke dewasa (pubertas), sehingga akibatnya angka kejadian varisela orang
dewasa akan meningkat dibandingkan anak.

Diketahui bahwa dampak penyakit varisela pada orang dewasa lebih


berat daripada anak, apalagi terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan bayi
menderita sindrom varisela konginetal dengan angka yang tinggi.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka imunisasi varisela


diberikan pada anak yang lebih besar, namun kurang dari 13 tahun.

Jadwal imunisasi

Untuk menghindarkan perubahan penyakit tersebut, pada saat ini


imunisasi varisela direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan.
25

Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela,


vaksinasi dapat mencegah apabila diberikan dalam kurun 72 jam setelah kontak.

Dosis
Dosis 0,5 ml, subkutan, satu kali. Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan
2 kali dengan jarak 4-8 minggu.

12. Vaksin kombinasi

Gambar 15 : DPaT + Hib

Gambar 16 : DPwT + Hib

(Infanrix-Hib ,Tetract-Hib )
Tetract-Hib : kombinasi DPwT+Hib
Infanrix-Hib : kombinasi DPaT+Hib

DPwT/DPaT : dalam vial


Hib dalam PFS (prefilled syringe)

Sebelum disuntikkan, dicampur dengan menyedot DPwT/DPaT ke dalam


Kontra indikasi
Sama dengan komponen masing-masing vaksin.1,20

13. Vaksin Pneumokokus

26

Gambar 17 : Vaksin Pneumokokus

Mencegah IPD (Invasive Pneumococcus Diseases)

Septikemia / bakteremia

Pneumonia

Meningitis

Mencegah Non IPD :

Otitis media

Sinusitis

Konjugasi antigen dengan protein difteria

T cell dependent cell memory (+)

kekebalan bertahan lama

Jadwal : 2, 4, 6, 12 -15 bulan.

2.1.6. Status Imunisasi


Sesuai dengan program organisasi kesehatan dunia WHO (Badan Kesehatan Dunia),
pemerintah mewajibkan lima jenis imunisasi bagi anak-anak, yang disebut Program
Pengembangan Imunisasi (PPI), dalam pemberian imunisasi kondisi bayi atau anak harus
dalam keadaan sehat. Imunisasi diberikan dengan memasukkan virus, bakteri, atau bagian
dari bakteri kedalam tubuh, dan kemudian menimbulkan antibodi (kekebalan). Untuk
membentuk kekebalan yang tinggi, anak harus dalam kondisi fit. Anak yang sedang sakit,
27

misalnya diare atau demam berdarah, badannya sedang memerangi penyakit jika dimasukkan
kuman atau virus lain dalam imunisasi maka tubuhnya akan bekerja sangat berat, sehingga
kekebalan yang terbentuk tidak tinggi
Bayi dikatakan telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap jika bayi atau anak telah
mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap meliputi imunisasi BCG (Bacillus Celmette
Guerin), imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus), imunisasi polio, imunisasi campak, dan
imunisasi hepatitis B (Ranuh dkk, 2008).
2.1.7 Pengetahuan ibu terhadap status imunisasi anak
Pengetahuan merupakan faktor pencetus yang kuat untuk mendorong seseorang
berperilaku. Ketidaktahuan ibu terhadap imunisasi disebabkan karena minimnya informasi
tentang imunisasi pada anak(Ali, 2002). Hasil penelitian Ayubi (2009), menyatakan semakin
tinggi pengetahuan ibu mengenai imunisasi, semakin tinggi peluang anak untuk memperoleh
imunisasi lengkap.
Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi
populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi
secara benar disebabkan orang tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki
sikap yang buruk tentang imunisasi. Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang- orang yang memiliki pengetahuan dan
komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti
imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan
persoalan pada anak, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat dan
peningkatan pengetahuan sangat diperlukan (Ali,2002).
2.1.8. JADWAL IMUNISASI TIDAK TERATUR
Pada keadaan tertentu imunisasi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang
sudah disepakati. Keadaan ini tidak merupakan hambatan untuk melanjutkan imunisasi.
Vaksin yang sudah diterima oleh anak tidak menjadi hilang manfaatnya tetapi tetap sudah
menghasilkan respons imunologi sebagaimana yang diharapkan tetapi belum mempunyai
antibodi yang optimal. Dengan perkataan lain anak belum mempunyai antibodi yang optimal
karena belum mendapat imunisasi lengkap, sehingga kadar antibodi yang dihasilkan masih
dibawah kadar ambang perlindungan untuk kurun waktu yang panjang (life long immunity)
sebagaimana bila imunisasinya lengkap. Dengan demikian kita harus menyelesaikan jadwal
imunisasi dengan melanjutkan imunisasi yang belum selesai.
28

Tabel 1 : Rekomendasi jadwal untuk vaksinasi yang tidak teratur.


BCG

Umur <12 bulan, boleh diberikan kapan saja. Umur >12 bulan,
imunisasi kapan saja namun sebaiknya dilakukan terlebih dahulu
uji tuberkulin apabila negatif berikan BCG dengan dosis 0,1 ml
intrakutan

DTwP

Bila dimulai dengan DTwp boleh dilanjutkan dengan DTaP.

atau

Berikan dT pada anak >7 tahun, jangan DTwP atau DTaP apabila

DTaP

vaksin tersedia. Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari


awal, tetapi lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak
peduli berapapun jarak waktu /interval keterlambatan dari
pemberian sebelumnya. Bila belum pernah imunisasi dasar usia
<12 bulan, imunisasi diberikan sesuai imunitas dasar baik jumlah
maupun intervalnya. Bila pemberian ke-4 sebelum ulang tahun ke4, maka pemberian ke-5 secepatnya 6 bulan sesudahnya. Bila
pemberian ke-4 setelah umur 4 tahun, maka pemberian ke-5 tidak
perlu lagi

Polio oral

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal tetapi


lanjutkan dan lengkapi imunisasi seperti jadwal, tidak perduli
berapapun jarak wawktu/interval keterlambatan dari pemberian
sebelumnya.

Campak

Umur antara 9-12 bulan, berikan kapan saja saat bertemu


Umur anak 1 tahun/lebih, berikan MMR

MMR

Bila sampai dengan umur 12 bulan belum dapat vaksin campak,


MMR bisa diberikan kapan saja setelah berumur 1 tahun

Hepatitis

Bila terlambat, jangan mengulang pemberian dari awal, tetapi

lanjutkan dan lengakapi imunisasi seperti jadwal, tidak peduli


berapapun jarak/interval dan pemberian sebelumnya. Anak dan
remaja yang belum pernah imunisasi hepatitis B pada masa bayi,
bisa mendapatkan serial imunisasi hepatitis B kapan saja saat
29

berkunjung.
Hib

Usia saat ini

Riwayat imunisasi

(bulan)

Rekomendasi
imunisasi

6 11

1 dosis
1x umur 6-11 bulan
Ulangan 1x setelah 2
bulan
Atau 12-15 bulan

12 14

2 dosis sebelum umur 12


bulan
Berikan 1 dosis

12 14

1 dosis sebelum umur 12


bulan

Berikan

Jadwal tidak lengkap

15 59

dosis

interval 2 bulan

Berikan 1 dosis

1. Bahaya Tidak Diimunisasi


Kalau anak tidak diberikan imunisasi dasar lengkap, maka tubuhnya
tidak mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tersebut. Bila
kuman berbahaya yang masuk cukup banyak maka tubuhnya tidak mampu
melawan kuman tersebut sehingga bisa menyebabkan sakit berat, cacat atau
meninggal (Soedjatmiko, 2008). Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak
atau 5 % pada balita di Indonesia adalah penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I), seperti TBC, dipteri, pertusis (penyakit pernapasan),
campak, tetanus, polio dan hepatitis B (Susanto, 2007). Balita yang tidak
diimunisasi

lengkap

mempunyai

kemungkinan

meninggal

14

kali

dibandingkan balita yang telah diimunisasi. Sedangkan bila anak sama sekali
tidak diimunisasi tentu tingkat kekebalannya lebih rendah lagi (Ibrahim,
1991).
30

Menurut penelitian yang dilakukan Kartono, et al., (2008) seorang anak


dengan status imunisasi DPT dan DT yang tidak lengkap mempunyai risiko
menderita difteri 46,403 kali dibandingkan seorang anak dengan status
imunisasi DPT dan DT lengkap.

2. Peran Orang Tua Dalam Imunisasi


Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah
menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa
anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang tua tidak
mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk
tentang imunisasi. Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang
sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang-orang yang memiliki
pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu
program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius
dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak dan
remaja, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat
sangat

diperlukan

(Muhammad,

2003).

Banyak

literatur

yang

menghubungkan antara faktor orang tua dengan penggunaaan sarana


kesehatan baik itu untuk tindakan pencegahan atau pengobatan penyakit,
namun hanya sedikit penelitian yang secara khusus mencari hubungan
antara pengetahuan orang tua dengan imunisasi anak.
Cakupan imunisasi yang rendah merupakan persoalan yang kompleks.
Bukan hanya karena faktor biaya, karena ternyata vaksin gratis ternyata juga
tidak menjadi jaminan bagi suksesnya imunisasi. Pada hasil penelitian Becher
(1995) yang dikutip oleh Muhammad (2003) mendapatkan bahwa ibuibu
yang yang anaknya jarang terserang penyakit adalah mereka yang lebih
sering

memanfaatkan

sarana-sarana

kesehatan

pencegahan.

Mereka

mengaku bahwa dengan memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap sarana


pencegahan dan melakukan usaha pencegahan yang teratur, anak mereka
dapat terhindar dari sakit.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Imunisasi Anak

31

Menurut Sulistyowati (2005), adapun faktor yang berperan dalam model


untuk memprediksi cakupan imunisasi dasar lengkap yaitu tingkat pendidikan
ibu, dan status kerja ibu.
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui

pancaindra

manusia,

yakni

indera

penglihatan,

pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh


melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang
tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Effendy dan Hayati,
2005) yaitu:
a) Tahu (Know)
Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya,

termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh


bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Untuk mengukur apakah orang tahu atau tidak tentang apa
yang

dipelajari

antara

lain

dengan

menyebutkan,

menguraikan,

mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya


b) Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara
benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan
materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap obyek
harus

dapat

menjelaskan,

menyebutkan

contoh,

menyimpulkan,

meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.


c) Aplikasi (Application)
Diartikan sebagai kemampuan

menggunakan

materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini

32

dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,


prinsip, dan sebagainya pada konsep atau situasi lain.
d) Analisis (analisys)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu obyek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu
struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitanya satu sama lain.
Analisis ini dapat dilihat dari penggunaan penggunaan kata-kata kerja,
dapat menggambarkan, dan sebagainya.
e) Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan
yang

baru

dari

formulasi-formulasi

yang

ada.

Misalnya

dapat

menyusun, merencanakan, meringkas dan sebagainya terhadap suatu


rumusan-rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuanuntuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-penilaian
itu berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri atau yang telah
ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subyek
penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui disesuaikan
dengan tingkat-tingkat dalam kawasan kognitif (Notoadmodjo, 2003)
Pengetahuan ibu tentang manfaat dan cara pemberian imunisasi
berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu. Walaupun demikian didapatkan
hasil

yang

cukup

mengejutkan

bahwa

sebagian

ibu

dengan

tingkat

pendidikan sarjana tidak mengetahui penyakit apa yang dapat dicegah oleh
masing-masing jenis imunisasi yang diberikan kepada mereka (Hanum, P., et
al., 2005).

2) Perilaku
33

Pengertian perilaku dapat

dibatasi

sebagai

keadaan

jiwa

untuk

berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi


dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik. Perilaku juga
diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya,
reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi 2, yakni dalam bentuk pasif
(tanpa tindakan nyata atau konkrit), dan dalam bentuk aktif (dengan tindakan
konkrit),

sedangkan

dalam

pengertian

umum

perilaku adalah segala

perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup (Soekidjo


Notoatmodjo, 1987:1). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2005), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang dalam bidang kesehatan yaitu:

a) Latar Belakang
Latar belakang yang mempengaruhi perilaku seseorang dalam bidang
kesehatan dibedakan atas: pendidikan, pekerjaan, penghasilan, norma-norma
yang dimiliki dan nilai-nilai yang ada pada dirinya, serta keadaan sosial
budaya yang berlaku.

b) Kepercayaan dan Kesiapan Mental


Perilaku seseorang dalam bidang kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan
orang tersebut terhadap kesehatan serta kesiapan mental yang dipunyai.
Kepercayaan tersebut setidak-tidaknya menjadi manfaat yang akan diperoleh,
kerugian yang didapat, hambatan yang diterima serta kepercayaan bahwa
dirinya dapat diserang penyakit.

c) Sarana
Tersedia atau tidaknya sarana yang dimanfaatkan adalah hal yang penting
dalam munculnya perilaku seseorang di bidang kesehatan, betapapun
positifnya latar belakang, kepercayaannya dan kesiapan mental yang dimiliki
tetapi jika sarana kesehatan tidak tersedia tentu perilaku kesehatan tidak
akan muncul.

d) Faktor Pencetus
Dalam bidang kesehatan peranan faktor pencetus cukup besar untuk
memunculkan perilaku kesehatan yang diinginkan. Seringkali dijumpai
seseorang baru berperilaku kesehatan tertentu bila sudah ada masalah
kesehatan sebagai pencetus, seperti penyakit kulit.
34

e) Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku berarti individu mulai menerapkan sesuatu yang baru
(inovasi), lain daripada yang sebelumnya.

35

A. KERANGKA KONSEP

B. HIPOTESIS

Adanya pengaruh intervensi pengetahuan dan perilaku ibu dengan cakupan program
imunisasi di desa Waru Timur.

2.1.9. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI VAKSIN


Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Syarat-syarat penyimpanan
dan transportasi vaksin harus diperhatikan untuk menjamin potensinya ketika diberikan
kepada seorang anak.
a. Rantai vaksin

36

Adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan menggunakan


berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari pabrik sampai
diberikan kepada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di kamar
dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya alatalat untuk mengukur dan mempertahankan suhu. Dampak perubahan suhu pada vaksin hidup
dan mati berbeda. Untuk itu harus diketahui suhu optimum untuk setiap vaksin sesuai
petunjuk penyimpanan dari pabrik masing-masing.

b. Suhu optimum untuk vaksin hidup


Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2C sampai dengan +8C,
diatas suhu +8C vaksin hidup akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan dua hari, vaksin
BCG dan campak yang belum dilarutkan mati dalam tujuh hari. Vaksin hidup potensinya
masih tetap baik pada suhu kurang dari 2C sampai dengan beku. Vaksin oral polio yang
belum dibuka lebih bertahan lama (2 tahun) bila disimpan pada suhu -25C sampai dengan
-15C, namun hanya bertahan enam bulan pada suhu +2C sampai dengan +8C. Vaksin BCG
dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25C sampai dengan -15C, umur
vaksin tidak lebih lama dari suhu +2C sampai dengan +8C, yaitu BCG tetap satu tahun dan
campak tetap dua tahun. Oleh karena itu vaksin BCG dan campak yang belum dilarutkan
tidak perlu disimpan di suhu -25C sampai dengan -15C atau didalam freezer.
c.

Suhu optimum
untuk vaksin mati Vaksin mati (inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2C sampai

dengan +8C juga, pada suhu dibawah +2C (beku) vaksin mati (inaktif) akan cepat rusak.
Bila beku dalam suhu -0.5C vaksin hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak
37

dalam jam, tetapi dalam suhu diatas 8C vaksin hepatitis B bias bertahan sampai tiga puluh
hari, DPT-hepatitis B kombinasi sampai empat belas hari. Dibekukan dalam suhu -5C
sampai dengan -10C vaksin DPT, DT dan TT akan rusak dalam 1,5 sampai dengan dua jam,
tetapi bisa bertahan sampai empat belas hari dalam suhu di atas 8C.
d. Kamar dingin dan kamar beku
Kamar dingin (cold room) dan kamar beku (freeze room) umumya berada dipabrik,
distributor pusat, Dinas Kesehatan Provinsi, berupa ruang yang besar dengan kapasitas 5-100
m, untuk menyimpan vaksin dalam jumlah yang besar. Suhu dingin berkisar +2C sampai
dengan +8C, terutama untuk menyimpan vaksin-vaksin yang tidak boleh beku. Suhu kamar
beku berkisar antara -25C sampai dengan -15C, untuk menyimpan vaksin yang boleh beku,
terutama vaksin polio. Kamar dingin dan kamar beku harus beroperasi terus menerus,
menggunakan dua alat pendingin yang bekerja bergantian. Aliran listrik tidak boleh terputus
sehingga harus dihubungkan dengan pembangkit listrik yang secara otomatis akan berfungsi
bila listrik mati. Suhu ruangan harus dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara
otomatis. Pintu tidak boleh sering dibuka tutup.

Gambar 18 : Cold Room and Freezer Room

e. Lemari es dan freezer


Setiap lemari es sebaiknya mempunyai satu stop kontak tersendiri. Jarak lemari es dengan
dinding belakang 10-15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara harus baik. Lemari es tidak
boleh terkena sinar matahari langsung. Suhu didalam lemari es harus berkisar +2C sampai
38

dengan +8C, digunakan untuk menyimpan vaksin-vaksin hidup maupun mati, dan untuk
membuat cool pack (kotak dingin cair). Sedangkan suhu di dalam freezer berkisar antara
-25C sampai dengan -15C, khusus untuk menyimpan vaksin polio dan pembuatan cold pack
(kotak es beku). Termostat di dalam lemari es harus diatur sedemikian rupa sehingga suhunya
berkisar antara +2 sampai dengan +8C dan suhu freezer berkisar -15C sampai dengan
-25C. Di dalam lemari es lebih baik bila dilengkapi freeze watch atau freeze tag pada rak ke3, untuk memantau apakah suhunya pernah mencapai di bawah 0 derajat. Sebaiknya pintu
lemari es hanya dibuka dua kali sehari, yaitu ketika mengambil vaksin dan mengmbalikan
sisa vaksin, sambil mencatat suhu lemari es.
Lemari es dengan pintu membuka ke atas lebih dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
Karet-karet pintu harus diperiksa kerapatannya, untuk menghindari keluarnya udara dingin.
Bila pada dinding lemari es telah terdapat bunga es, atau di freezer telah mencapai tebal 2-3
cm harus segera dilakukan pencairan (defrost). Sebelum melakukan pencairan, pindahkan
vaksin ke cool box atau lemari es yang lain. Cabut kontak listrik lemari es, biarkan pintu
lemari es dan freezer terbuka selama 24 jam, kemudian dibersihkan. Setelah bersih, pasang
kembali kontak listerik, tunggu sampai suhu stabil. Setelah suhu lemari sedikitnya mencapai
+8C dan suhu freezer-15C, masukkan vaksin sesuai tempatnya.

Gambar 19 : Lemari Es

f. Susunan vaksin di dalam lemari es


Karena vaksin hidup dan vaksin inaktif mempunyai daya tahan berbeda terhadap suhu
dingin, maka kita harus mengenali bagian yang paling dingin dari lemari es. Letakkan vaksin
hidup dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati jauh dari bagian yang
paling dingin. Di antara kotak-kotak vaksin beri jarak selebar jari tangan (sekitar 2 cm) agar
udara dingin bias menyebar merata ke semua kotak vaksin.

39

Bagian paling bawah tidak untuk menyimpan vaksin tetapi khusus untuk meletakkan cool
pack, untuk mempertahankan suhu bila listerik mati. Pelarut vaksin jangan disimpan di dalam
lemari es atau freezer, karena akan mengurangi ruang untuk vaksin, dan akan pecah bila beku.
Penetes (dropper) vaksin polio juga tidak boleh di letakkan di lemari es atau freezer karena
akan menjadi rapuh, mudah pecah. Tidak boleh menyimpan makanan, minuman, obat-obatan
atau benda-benda lain di dalam lemari es vaksin, karena mengganggu stabilitas suhu karena
sering di buka.

Gambar 20 : Susunan Vaksin

g. Lemari es dengan pintu membuka ke depan


Bagian yang paling dingin lemari es ini adalah di bagian paling atas (freezer). Di dalam
freezer disimpan cold pack, sedangkan rak tepat di bawah freezer untuk meletakkan vaksinvaksin hidup, karena tidak mati pada suhu rendah. Rak yang lebih jauh dari freezer (rak ke 2
dan 3) untuk meletakkan vaksin-vaksin mati (inaktif), agar tidak terlalu dekat freezer, untuk
menghindari rusak karena beku. Thermometer Dial atau Muller diletakkan pada rak ke-2,
freeze watch atau freeze tag pada rak ke 3.

40

Gambar 21 : Lemari Es dengan pintu membuka di depan

h. Lemari es dengan pintu membuka ke atas


Bagian yang paling dingin dalam lemari es ini adalah bagian tengah (evaporator) yang
membujur dari depan ke belakang. Oleh karena itu vaksin hidup diletakkan di kanan-kiri
bagian yang paling dingin (evaporator). Vaksin mati diletakkan dipinggir, jauh dari
evaporator. Beri jarak antara kotak-kotak vaksin selebar jari tangan (sekitar 2 cm). Letakkan
termometer Dial atau Muller atau freeze watch/freeze tag dekat vaksin mati.

Gambar 22 : Lemari Es dengan pintu membuka ke atas

41

i. Wadah pembawa vaksin


Untuk membawa vaksin dalam jumlah sedikit dan jarak tidak terlalu jauh dapat
menggunakan cold box (kotak dingin) atau vaccine carrier (termos). Cold box berukuran
lebih besar, dengan ukuran 40-70 liter, dengan penyekat suhu dari poliuretan, selain untuk
transportasi dapat pula untuk menyimpan vaksin sementara. Untuk mempertahankan suhu
vaksin di dalam kotak dingin atau termos dimasukkan cold pack atau cool pack.

Gambar 23 : Wadah pembawa vaksin

j.

Cold pack dan cool pack


Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15C sampai dengan -25C selama 24

jam, biasanya di dalam wadah plastik berwarna putih. Cool pack berisi air dingin (tidak
beku)yang didinginkan dalam suhu +2C sampai dengan +8C selama 24 jam, biasanya di
dalam wadah plastik berwarna merah atau biru. Cold pack (beku) dimasukkan ke dalam
termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa vaksin hidup sedangkan cool
pack (cair) untuk membawa vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif).

42

Gambar 24 : Cold Pack and Cool Pack

k. Menilai kualitas vaksin


Vaksin hidup akan mati pada suhu di atas batas tertentu, dan vaksin mati akan rusak di
bawah suhu tertentu.
1. Kualitas rantai vaksin dan tanggal kadaluwarsa
Untuk mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpanan dan transportasi vaksin harus
memenuhi syarat rantai vaksin yang baik, antara lain : disimpan di dalam lemari es atau
freezer dalam suhu tertentu, transportasi vaksin di dalam kotak dingin atau termos yang
tertutup rapat, tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari langsung, belum melewati
tanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM (vaccine vial monitor) atau freeze watch/tag
belum melampaui batas suhu tertentu.
2. VVM (vaccine vial monitor)
Untuk menilai apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu di atas batas yang dibolehkan,
dengan membandingkan warna kotak segi empat dengan warna lingkaran di sekitarnya. Bila
warna kotak segi empat lebih muda daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM
A atau B) maka vaksin belum terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan. Vaksin dengan
kondisi VVM B harus segera dipergunakan. Bila warna kotak segi empat sama atau lebih
gelap daripada lingkaran dan sekitarnya (disebut kondisi VVM C atau D) maka vaksin sudah
terpapar suhu di atas batas yang diperkenankan, tidak boleh diberikan pada pasien.

43

Gambar 25 : Vaksin Vial Monitor

3. Freeze watch dan freeze tag


Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin pernah terpapar suhu dibawah 0C. Bila dalam
freeze watch terdapat warna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda
silang (X), bearti vaksin pernah terpapar suhu di bawah 0C yang dapat merusak vaksin mati.
Vaksin-vaksin tersebut tidak boleh diberikan kepada pasien.

Gambar 26 : Freeze watch and freeze Tag

4. Warna dan kejernihan vaksin


Warna dan kejernihan beberapa vaksin dapat menjadi indikator praktis untuk menilai
stabilitas vaksin. Vaksin polio harus berwarna kuning oranye. Bila warnanya berubah menjadi
pucat atau kemerahan berarti pHnya telah berubah, sehingga tidak stabil dan tidak boleh
diberikan kepada pasien.

44

Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit
berkabut. Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh
digunakan karena sudah rusak. Untuk meyakinkan dapat dilakukan uji kocok seperti dibawah
ini. Bila vaksin setelah dikocok tetap menggumpal atau mengendap maka vaksin tidak boleh
digunakan karena sudah rusak.
5. Pemilihan vaksin
Vaksin yang harus segera dipergunakan adalah : vaksin yang belum dibuka tetapi telah
dibawa ke lapangan, sisa vaksin telah dibuka (dipergunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin
dengan tanggal kadaluarsa sudah dekat (EEFO = Early Expire First Out), vaksin yang sudah
lama tersimpan dikeluarkan segera (FIFO = First In First Out).

45

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain studi
Metode yang dilakukan pada kegiatan ini adalah intervensi melalui penyuluhan
kepada para ibu di Posyandu ibu dan anak di Poskesdes Aek Lung Kecamatan Dolok
Sanggul. Dengan melakukan penyuluhan diharapkan para ibu dapat lebih memahami
mengenai imunisasi dan membawa anak-anaknya ke posyandu/Poskesdes untuk melengkapi
imunisasinya.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk
mendapatkan informasi dan data dari responden. Ada tiga bagian kuesioner yang digunakan
dalam penelitian ini yang dibuat oleh peneliti berdasarkan tinjauan kepustakaan. Bagian pertama
kuesioner yaitu data demografi yang diisi oleh responden. Kuesioner demografi berisi tentang :
usia, jenis kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan, pekerjaan,riwayat keluarga.
Bagian kedua adalah kuesioner pengetahuan tentang imunisasi dasar, terdiri dari 20
pernyataan dengan menggunakan skala ordinal yang menjawab benar diberi skor 1, salah diberi
skor 0. Jadi nilai tertinggi yang diperoleh adalah 10 dan nilai terendah adalah 0 (nol).Dengan
memakai skala pengukuran Menurut Arikunto (2006), yaitu :
Baik, bila jawaban responden benar 76-100% dari total nilai angket pengetahuan.
Cukup, bila jawaban responden benar 60-75% dari total nilai angket pengetahuan.
Kurang, bila jawaban responden benar < 60% dari total nilai angket pengetahuan.

3.3 Pelaksanaan Pengumpulan Data


Pertama-tama disiapkan tema penyuluhan yang hendak dilakukan, lalu sesuai dengan
jadwal Posyandu Ibu Anak, maka dilakukan kunjungan ke dusun yang dituju. Kemudian
dilakukan kegiatan Posyandu Ibu Anak berupa pendaftaran, penimbangan berat badan,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan, dan setelah itu dilakukan penyuluhan.
Sebelum dilakukan penyuluhan, para ibu dikumpulkan lalu diberikan kuesioner yang
berisikan pertanyaan seputar pengetahuan tentang imunisasi dasar. Lalu kuesioner
dikumpulkan.
Setelah itu dilakukan penyuluhan tentang imunisasi dasar, dan para ibu diperbolehkan
untuk berkonsultasi ataupun bertanya apabila ada hal yang dirasa kurang jelas. Kemudian
setelah itu dibagikan kembali kuesioner mengenai imunisasi dasar untuk menilai tingkat
pengetahuan ibu setelah dilakukan penyuluhan.
3.4 Analisis Data
46

Data dikumpulkan pada formulir yang telah disediakan dan dikumpulkan dalam satu
tabel induk, kemudian diolah dengan komputer dengan langkah sebagai berikut:
1. Data yang telah dikumpulkan disunting dan terhadapnya dilakukan coding.
2. Setelah di-coding data kemudian dimasukkan ke dalam SPSS versi 12.
3. Melakukan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan menu frequency.
3.5 Presentasi Data
Data yang diperoleh dipresentasikan dengan menggunakan tabel dan grafik.
3.6 Pelaporan Data
Data yang sudah diolah dan dianalisis disusun dalam bentuk makalah diagnosis
komunitas. Satu rangkap makalah akan diberikan kepada puskesmas.

BAB IV
HASIL
4.1

Profil Komunitas Umum


47

Puskesmas merupakan suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang


merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Puskesmas mempunyai
wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah
kerjanya. Fungsi Puskesmas adalah menggerakkan pembangunan berwawasan
kesehatan, memberdayakan kesehatan dan memberdayakan keluarga serta memberikan
pelayanan tingkat pertama.
Puskesmas Saitnihuta telah melaksanakan upaya kesehatan wajib yaitu:
1. Upaya Promosi Kesehatan
2. Upaya Kesehatan Lingkungan
3. Upaya Kesehatan Ibu dan Anak Serta Keluarga Berencana
4. Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
5. Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6. Upaya Pengobatan
7. Upaya Pencatatan dan Pelaporan
Serta upaya kesehatan pengembangan yaitu:
1. Upaya Kesehatan Sekolah (UKS)
2. Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
3. Upaya BPJS Kesehatan
4.2

Data Geografi
Desa Saitnihuta terletak di Kecamatan Dolok Sanggul Kabupaten Humbang
Hasundutan dengan luas daerah kurang lebih 800 km2.
Batas-batas wilayah kerja puskesmas Saitnihuta, yaitu:
Sebelah Utara

: Kecamatan Dolok Sanggul

Sebelah Selatan

: Kabupaten Tapanuli Utara

Sebelah Barat

: Kecamatan Sijamapolang

Sebelah Timur

: Kecamatan Lintongnihuta

Desa saitnihuta terdiri dari 4 dusun, yaitu Lumban Sonang, Jukkang, Simaragas,
dan Narambean.
4.3

Data Demografi

48

Desa Saitnihuta mempunyai jumlah penduduk 2343 jiwa dengan perincian jumlah
laki-laki 1095 jiwa, perempuan 1124 jiwa, dan terdiri dari 531 KK.
4.4

Sumber Daya Kesehatan yang ada


Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan kesehatan, perlu dilibatkan peran
serta masyarakat sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan kesehatan tersebut.
Berbagai upaya dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya
masyarakat. baik itu penggalangan dana, pemanfaatan sumber daya manusia,
pemanfaatan sumber daya alam termasuk teknologi tepat guna dalam bidang kesehatan.
Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) adalah kegiatan Posyandu (Pos
Pelayanan Terpadu), Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) dan Desa Siaga.

4.5

Sarana Pelayanan Kesehatan yang ada


Puskesmas Saitnihuta adalah puskesmas rawat jalan atau non perawatan.
Puskesmas Saitnihuta merupakan peningkatan dari puskesmas pembantu, yang menjadi
induk. Puskesmas Saitnihuta membawahi 1 Puskesmas pembantu yang beralokasi di
Desa Pakkat, dan membawahi 8 Poskesdes.

4.6 DATA HASIL INTERVENSI


Pada penelitian ini dilakukan pada 40 responden yang merupkan wakil dari ibu bayi dan
ibu hamil, Desa Waru Timur, kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan, Madura. Penelitian
dilakukan dengan cara penyebaran kuesioner dan wawancara terhadap 40 responden, adapun
informasi yang diambil dalam penelitian ini adalah berupa pendidikan dan pekerjaan dari
responden dan informasi tentang pengetahuan dan perilaku pada ibu bayi dan ibu hamil
tentang imunisasi pada anak.
Berikut ini merupakan distribusi responden berdasarkan pendidikan yang ditunjukkan
pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan

Tidak Tamat SD

5,0

Tamat SD

20

50,0

Tamat SMP

10

25,0

49

Tamat SMA

20,0

Total

40

100.0

Tabel 4.1 menjelaskan mengenai distribusi responden berdasarkan pendidikan.


Responden yang mempunyai riwayat yang tidak tamat SD sebanyak 2 orang dengan
prosentase 5%, tamat SD 20 orang (50%), tamat SMP 10 orang (25,0%), tamat SMA
sebanyak 8 orang (20%). Responden dengan tingkat pendidikan SD dan paling dominan.
Faktor pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan responden terhadap pentingnya
imunisasi, sehingga akan mempengaruhi respon ibu dalam memberikan imunisasi yang
lengkap terhadap anaknya. Data yang kedua adalah distribusi responden berdasarkan
pekerjaan yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.

Tabel 4.2
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan

Petani

12

30

Ibu Rumah Tangga

20

50,0

Guru

2,5

Swasta

17,5

Total

40

100.0

Tabel 4.2 menunjukkan distribusi responden berdasarkan pekerjaan. Responden dengan


pekerjaan petani sebanyak 12 orang (30%), ibu rumah tangga sebanyak 20 orang (50%), guru
sebanyak 1 orang (2,5%), swasta sebanyak 7 orang (17,5%) dan lain-lain (0%). Responden
dengan jenis pekerjaan paling dominan adalah ibu rumah tangga dengan prosentase 50%,
sedangkan responden dengan jenis pekerjaan paling sedikit adalah guru.

50

Tabel 4.3
Distribusi Umur Responden
Umur Ibu

20 tahun

12,5

20-30 tahun

22

55,0

30 tahun

13

32,5

Total

40

100.0

Tabel 4.3 menunjukkan distribusi umur ibu dan ibu hamil yang digunakan sebagai
responden, dimana ibu yang berumur 20 tahun sebanyak 12,5 %, ibu yang berumur 30
tahun sebanyak 32,5 % dan yang paling dominan pada responden adalah ibu yang berumur
20-30 tahun sebanyak 55 %.

Tabel 4.4
Pengetahuan Responden Tentang Imunisasi (Pre-Intervensi)
Tingkat Pengetahuan

Baik

Cukup

10

25

Kurang

28

70

Total

40

100.0

51

Tabel 4.4 menunjukkan pengetahuan responden tentang pentingnya imunisasi (preintervensi). Responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
sebanyak 2 orang dengan prosentase 5%. Responden yang mempunyai pengetahuan yang
cukup baik tentang imunisasi sebanyak 10 orang dengan prosentase 25 %. Responden yang
mempunyai pengetahuan yang kurang sebanyak 28 orang dengan prosentase sebanyak 70%.
Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa responden lebih banyak yang mempunyai
tingkat pengetahuan yang kurang tentang imunisasi.
Berikut ini adalah tabel mengenai hasil wawancara tentang perilaku ibu bayi dan ibu
hamil dalam mengimunisasikan anak yang dilakukan responden.

Tabel 4.5
Jumlah responden tentang perilaku imunisasi pada anak (pre-intervensi)
Perilaku

Baik

34

85

Buruk

15

Total

40

100

52

Dari hasil wawancara responden tentang perilaku ibu bayi dan ibu hamil dalam
menerapkan program imunisasi kebanyakan dari responden sudah berperilaku baik mau
membawa anak ke posyandu dan mengimunisasikan anaknya dengan jumlah responden yang
perilaku baik sebesar 85 %.
Kemudian setelah dilakukan intervensi pada responden, yaitu berupa penyuluhan,
pembagian leaflet, dan tanya-jawab kepada responden tentang imunisasi didapatkan data
peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu dalam mengimunisasikan anak. Berikut ini adalah
tabel tingkat pengetahuan responden tentang imunisasi (post-intervensi).

Tabel 4.6
Pengetahuan Responden Tentang Imunisasi (Post-Intervensi)
Tingkat Pengetahuan

Baik

16

40,0

Cukup

14

35,0

Kurang

10

25,0

Total

40

100.0

53

Tabel 4.6 menunjukkan pengetahuan responden tentang pentingnya imunisasi (postintervensi). Responden yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
sebanyak 16 orang dengan prosentase 40%. Responden yang mempunyai pengetahuan yang
cukup baik tentang imunisasi sebanyak 14 orang dengan prosentase 35%. Responden yang
mempunyai pengetahuan yang kurang sebanyak 10 orang dengan prosentase sebanyak
25,0%. Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa terjadi peningkatan pengetahuan
responden, lebih banyak yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
dibandingkan sebelum dilakukan intervensi.
Berikut ini adalah tabel mengenai hasil wawancara tentang perilaku ibu bayi dan ibu
hamil dalam mengimunisasikan anak yang dilakukan responden (post-intervensi).

Tabel 4.7
Jumlah responden tentang perilaku imunisasi pada anak (post-intervensi)
Perilaku

Baik

38

95,0

Buruk

5,0

Total

40

100

54

Dari hasil wawancara responden tentang perilaku ibu bayi dan ibu hamil dalam
menerapkan program imunisasi setelah dilakukan intervensi menunjukkan berkurangnya
perilaku yang buruk dalam mengimunisasikan anaknya dengan jumlah responden yang
perilaku buruk terjadi penurunan dari sebelum intervensi sebanyak 10% setelah dilakukan
intervensi menurun menjadi hanya 5% saja.
Output dari mini proyek ini adalah meningkatnya jumlah balita yang diimunisasi di
Waru Timur. Data ini menunjukkan prosentase balita yang telah mendapat imunisasi tiap
bulan. Data di desa Waru Timur, Kecamatan Waru adalah :

55

Pada diagram diatas tampak bahwa prosentase LIL desa Waru Timur pada bulan
Desember 2012- November 2013 sebanyak 88,5%, bulan Januari 2013-Desember 2013
sebesar 84,5%, sedangakan pada bulan Februari 2013 Januari 2014 sebesar 82,3%.

BAB V
PEMBAHASAN
A.

PEMBAHASAN
Pada mini proyek ini, peneliti akan menguraikan data dan hasil penelitian tentang

peningkatan pengetahuan sehingga tercipta perubahan perilaku masyarakat terhadap


imunisasi. Penilaian terhadap perilaku tidak mudah dilakukan karena membutuhkan
penelitian yang sifatnya berkelanjutan. Perilaku merupakan bentuk suatu hal yang bukan
hanya dari pengetahuan saja, melainkan banyak hal seperti adat, kebiasaan, pola pikir,
pengalaman dan lain-lain. Sedangkan pengetahuan itu sendiri merupakan hal yang dapat
dipelajari dan dimodifikasi.
Hasil penelitian ini diperoleh dari data yang berupa kuesioner tentang tingkat
pengetahuan ibu. Peneliti menggunakan metode ini karena tingkat pengetahuan merupakan
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Tingkat pengetahuan tentang
imunisasi pada ibu bayi dan ibu hamil di masyarakat merupakan salah satu tolak ukur untuk
56

mengetahui bagaimana ibu bayi dan ibu hamil menyadari pentingnya imunisasi pada anak,
selain itu tingkat pengetahuan juga dapat mengetahui respon dari suatu keluarga dalam
memberikan imunisasi pada anak.
Prosedur penelitian ini adalah ibu-ibu di posyandu yang memiliki anak balita dibawah
1 tahun dibagikan kuesioner untuk dijawab kemuadian hasil jawaban di skoring untuk
dikategorikan ke dalam tingkat pengetahuan. Kuesioner yang digunakan merupakan
kuesioner yang telah diuji validitasnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Bagi ibu
yang tidak dapat membaca maka pengisian kuesioner dipandu oleh dokter intersip atau
petugas yang bersangkutan.
Berdasarkan data hasil penelitian sebelum dilakukan intervensi, di desa Waru Timur di
dapatkan data hanya 5% ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan baik selebihnya 70 %
tingkat pengetahuan ibu

kurang dan 25% cukup. Tingkat perilaku responden sudah

berperilaku baik mau membawa anak ke posyandu dan mengimunisasikan anaknya dengan
jumlah responden yang perilaku baik sebesar 85 %. Hal ini menandakan, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tentang imunisasi di kalangan masyarakat setempat. Beberapa
ibu membawa anaknya ke posyandu untuk mendapatkan imunisasi tanpa tahu manfaat dan
efek samping dari imunisasi itu sendiri.
Kegiatan intervensi yang dilakukan selama penelitian adalah edukasi setiap posyandu,
menyebar leaflet, dan melatih kader posyandu. Tentu saja hal ini tidak mungkin dilakukan
sekali atau dua kali. Setelah dilakukan intervensi pada responden, yaitu berupa penyuluhan,
pembagian leaflet, dan tanya-jawab kepada responden tentang imunisasi didapatkan bahwa
terjadi peningkatan pengetahuan dan perilaku ibu dalam mengimunisasikan anak. Persentase
responden post intervensi yang mempunyai tingkat pengetahuan yang baik tentang imunisasi
meningkat menjadi 40%. Sedangkan jumlah responden yang perilaku baik meningkat
menjadi sebesar 95 %. Hasil pengambilan data ini didapatkan bahwa terjadi peningkatan
pengetahuan yang baik tentang imunisasi dibandingkan sebelum dilakukan intervensi,
walaupun hanya sebanyak 40% dari jumlah keseluruhan responden. Kondisi tersebut karena
dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk kendala-kendala yang dialami saat proses mini
proyek berlangsung. Kendala tersebut antara lain :
1.

Perbedaan bahasa dan budaya


Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang sangat penting dalam menyampaikan
sesuatu. Keterbatasan dalam penggunaan bahasa daerah membuat penelitian ini

57

berjalan kurang maksimal karena sebagian besar orang lebih menguasai bahasa daerah
mereka dibandingkan bahasa Indonesia.
2.

Keterbatasan tim
Karena terbatasnya tim mini proyek, maka penelitian tidak dapat dilakukan secara
cepat. Hal ini tentu saja berpengaruh dalam keberhasilan mini proyek.

3.

Keterbatasan waktu penelitian


Waktu penelitian kurang ideal karena outcome yang diinginkan adalah desa UCI.
Hasil yang diperoleh seharusnya dihitung selama satu tahun. Maka harus dilakukan
secara berkesinambungan.

4.

Keengganan masyarakat dalam mengikuti program


Adanya masyarakat yang masih enggan mengikuti posyandu karena lebih memilih
melakukan kegiatan di rumah seperti memasak, berjualan dan lain-lain. Karena
beberapa posyandu kurang mendapatkan perhatian dari warga setempat, maka
kegiatan mini proyek pun agak sulit didapatkan.
Sebaik apapun program yang dijalankan apabila masih ada kesalah pahaman maka
tingkat kegagalan pun akan tinggi. Prosentase ini memiliki angka yang rendah, akan tetapi
dapat sangat beragam. Kendala yang masih beredar di kalangan masyarakat antara lain
sebelum 40 hari dilarang keluar rumah,vaksin haram, imunisasi membuat sakit, anak panas
ringan tidak boleh diimunisasi, banyak keluarga yang repot dengan pekerjaannya dan takut
anak menderita penyakit lain jika diimunisasi. Keadaan ini sangat erat melekat dibenak
masyarakat dan harus diluruskan karena dapat membuat program imunisasi gagal. Prosentase
di masyarakat memang kecil tapi hal ini dapat menyebar kepada orang lain karena
kepercayaan warga desa lebih kuat dibandingkan dengan pola pikir dan pengetahuan.
Setelah intervensi dilakukan maka dilihat indikator outcome berupa desa UCI
(Universal Child Immunization) dimana LIL (Lima Imunisasi Dasar Lengkap) harus
mencapai target. Indikator mini proyek ini adalah desa UCI yaitu desa diamana bayi telah
mendapat Lima Imunisasi Dasar Lengkap yang dihitung dalam satu tahun. Pada tahun 2013
target bayi LIL adalah 80% dilihat dari prosentase imunisasi campak. Data follow up pada
prosentase LIL desa Waru Timur pada bulan Desember 2012- November 2013 sebanyak
88,5%, bulan Januari 2013-Desember 2013 sebesar 84,5%, sedangakan pada bulan Februari
58

2013 Januari 2014 sebesar 82,3%. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa desa Waru Timur sudah mencapai target LIL, sehingga bisa dikategorikan dalam desa
UCI (Universal Child Immunization).

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Cakupan imunisasi dasar yang lengkap masih jarang dijumpai walaupun sudah
diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan
seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu
membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang
lengkap karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak
diperlukan untuk bayinya, kurang informasi/ penjelasan dari petugas kesehatan
tentang manfaat imunisasi ,serta hambatan lainnya.

Berdasarkan distribusi frekuensi kuesioner pre test, dapat dilihat bahwa mayoritas
pengetahuan responden tentang imunisasi adalah kurang yaitu sebanyak 11 orang
(78,6%), kemudian hanya 3 orang (3,8%) berpengetahuan cukup dan tidak ada
berpengetahuan baik. Hal ini menunjukkan responden tidak mendapat cukup informasi

mengenai imunisasi dari berbagai sumber di sekitarnya, seperti paramedis dan media
informasi lainnya
59

Setelah dilakukan intervensi terlihat yang menempati posisi teratas adalah responden
dengan tingkat pengetahuan baik sama dengan pengetahuan cukup yaitu sebanyak 6
orang (42,8%), sedangkan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 2
orang (14,4%). Dapat diambil kesimpulan bahwa tingkat pengetahuan responden
setelah dilakukan penyuluhan mengalami peningkatan.

Peserta posyandu ibu anak ternyata antusias dengan kegiatan penyuluhan dan diskusi
yang dilakukan, hal ini tampak dari banyaknya pertanyaan yang diajukan saat sesi
tanya jawab berlangsung.

6.2 Saran

Kepada Dinas Kesehatan, agar semakin memperhatikan kondisi kesehatan balita di


wilayah kerjanya, dan merancang berbagai program untuk kesehatan balita yang
berguna.

Kepada pihak Puskesmas Sumbul, agar semakin rutin melaksanakan kegiatan


Posyandu ibu anak disertai dengan kegiatan penyuluhan kesehatan mengenai berbagai
penyakit balita ataupun ibu hamil lainnya.

Kepada pihak Puskesmas Pembantu agar aktif menginformasikan kegiatan-kegiatan


posyandu lainnya kepada masyarakat sekitar agar semakin banyak yang hadir dan
mengikuti kegiatan posyandu.

Kepada pihak yang selanjutnya akan melakukan kegiatan penelitian mengenai


imunisasi, disarankan agar turut menilai sikap dan perilaku peserta mengenai
imunisasi.

Kepada pihak masyarakat

60

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka
Cipta.
Gupte, Suraj. (2004). Panduan Perawatan Anak, Jakarta.
Hidayat Aziz Alimul, A. (2005). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1, Jakarta: Salemba
Medika.
Hidayat Aziz Alimul, A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan
Kebidanan, Jakarta: Salemba Medika.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Ilmu Keperawatan. Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika.
Maryunani, Anik. (2010). Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, Jakarta: CV. Trans Info.

61

Proverawati, Atikah & Citra Setyo Andhini. (2010). Imunisasi dan Vaksinasi, Yogyakarta:
Nuha Offset.
Rukiyah, Ay & Lia Yulianti. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita, Jakarta:
Salemba Medika.
Ranuh, I.G.N., dkk. (2008). Pedoman imunisasi di Indonesia, Edisi ketiga Tahun 2008.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Sudjana. M. A. (2002). Metoda Statistika. Edisi 6. Bandung : PT. Tarsito Bandung.
Puskesmas Sayurmatinggi. (2010). Laporan Tahunan Hasil Imunisasi Bayi, Sayurmatinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/info-umum-kesehatan/buletin surveilans-pd3i-danimunisasi.html (data surveilands dibuka tanggal 27 maret 2011
Metawati, Polmaria (2010)Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Pada Balita Di Klinik Bersalin
Nurhalma Tembung
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19172/5/Abstract.pdf
Maryani, Ike (2009) Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak petuhan ibu terhadap
pelaksanaan Imunisasi pada balita di desa Blumbang Kecamatan Tawangmangu Kabupaten
Karang Anyar http://etd.eprints.ums.ac.id/4488
Ali, Muhammad (2002) Pengetahuan, Sikap dan perilaku Ibu bekerja dan tidak bekerja
tentang imunisasi
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19172/5/Abstract.pdf

KUESIONER PENELITIAN

MENINGKATKAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU MASYARAKAT


TENTANG KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR LENGKAP DI DESA AEK LUNG
PUSKESMAS SAITNIHUTA

Data Responden :
Nama responden (Orangtua) :
62

Nama anak

:
Usia anak :

Alamat

Pekerjaan

Pendidikan terakhir

Jumlah anak

Pengetahuan Responden
1. Apa manfaat imunisasi pada anak anda ?
a. Upaya pengobatan terhadap penyakit infeksi
b. Upaya pencegahan terhadap penyakit tertentu
c. Upaya untuk meningkatkan berat badan anak
d. Upaya meningkatkan gizi pada anak
e. Tidak tahu
2. Penyakit apa yang dapat dicegah dengan imunisasi ?
a. Diare
b. Demam berdarah
c. Campak
d. Infeksi telinga
e. Tidak tahu
3. Berapa jenis imunisasi dasar lengkap yang didapat di posyandu ?
a. 5
b. 3
c. 7
d. 4
e. Tidak tahu
4. Berikut ini salah satu yang termasuk cara pemberian imunisasi ?

63

a. Diteteskan ke mulut
b. Diteteskan ke telinga
c. Disuntikkan ke pembuluh darah
d. Disuntikkan di betis
e. Tidak tahu
5. Kapan seharusnya anak anda pertama kali di imunisasi ?
a. Usia 2 tahun
b. Usia sekolah
c. Sejak sakit
d. Sejak lahir
e. Tidak tahu
6. Imunisasi apakah yang pemberiannya diteteskan melalui mulut ?
a. BCG
b. Polio
c. Hepatitis B
d. DPT
e. Tidak tahu
7. Penyakit apakah yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG ?
a. Polio
b. Hepatitis B
c. TBC
d. Campak
e. Tidak tahu
8. Berapa kali imunisasi Polio diberikan ?
a. 2
b. 3
c. 4
64

d. 1
e. Tidak tahu
9. Kapan imunisasi campak mulai diberikan ?
a. Sejak lahir
b. Usia sekolah
c. Usia 9 bulan
d. Usia 1 tahun
e. Tidak tahu
10. Apakah imunisasi yang sudah terlewatkan dapat diberikan ?
a. Tidak bisa
b. Tidak mungkin
c. Bisa
d. Bisa, asalkan anaknya sudah sekolah
e. Tidak tahu

Sikap Responden
11. Apakah ibu setuju dengan adanya program imunisasi dasar lengkap?
a. Setuju
b. Tidak setuju
12. Apakah ibu setuju apabila anak anda diimunisasi ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
13. Apakah ibu setuju bahwa imunisasi itu sangat penting untuk kesehatan anak ?
a. Setuju
b. Tidak setuju
14. Apakah ibu setuju bahwa manfaat imunisasi yang didapat jauh lebih besar
dibandingkan kerugiannya (efek samping) ?

65

a. Setuju
b. Tidak setuju
15. Apakah ibu setuju kalau imunisasi Polio dapat mencegah penyakit polio ?
a. Setuju
b. Tidak setuju

Perilaku Responden
16. Apakah anak ibu sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap?
a. Sudah
b. Belum
Bila belum, berikan alasannya...
17. Pada umur berapa anak ibu mendapat imunisasi BCG ?
a. Segera setelah lahir
b. Sebelum berumur 2 bulan
c. Setelah berumur 2 bulan
d. Setelah terkena penyakit TBC
e. Tidak mendapatkan imunisasi BCG
18. Apakah ibu tetap membawa anak ibu untuk di imunisasi apabila anak ibu sedang diare
?
a. Tetap
b. Tidak
c. Menunda
Berikan alasannya...
19. Bagaiman tindakan ibu pada anak yang tidak mendapatkan imunisasi ?
a. Mengajak orangtuanya agar anaknya diimunisasi
b. Hanya menyarankan

66

c. Tidak berbuat apa-apa


20. Apakah ibu masih tetap membawa imunisasi (booster) anak ibu setelah anak ibu
sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap ?
a. Iya
b. Tidak
c. Ragu-ragu
Berikan alasannya...

67

You might also like