You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun pada manusia. Miastenia
gravis ditandai oleh bermacam-macam tingkat kelemahan dari otot skelet
(volunter) tubuh. Nama miastenia gravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani
yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat (grave muscle
weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai
90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan
pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa
dikurangi.1,2
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi
sekitar 400 per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun
untuk wanita dan 40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang
disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk
kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata
turun, dan penglihatan kabur atau ganda. 1,2
Terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
reseptor asetilkolin (AchR) serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan
antara konsentrasi, spesifisitas dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik
pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme
dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diteliti lebih
jauh.5
Saat ini telah terdapat banyak terapi miastenia gravis yang berbeda-beda,
mulai dari medikamentosa sampai pada terapi pembedahan. Pada tulisan ini akan
dijabarkan keseluruhan tentang miastenia gravis dan disinggung sedikit mengenai
terapi pada krisis miastenia gravis.

BAB II
MIASTENIA GRAVIS

A. Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.1 Miastenia
gravis merupakan gangguan autoimun yang langka dengan adanya antibodi yang
melawan reseptor postsinaptik nikotinik asetilkolin (ACh) pada neuromuscular
junction.2 Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali.3
Jolly (1895) adalah orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia
gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun
hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934)
menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia
gravis.4
B. Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan
penyakit-penyakit lain seperti tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan
lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin (AChRs) neuromuscular
junction akibat penyakit autoimun.4
Pada penyakit miastenia gravis ditemukan adanya antibodi yang menduduki
AChRs dari motor endplate sehingga tidak dapat menyampaikan pesan pada
serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine
reseptor antibody yang terbukti diproduksi oleh kelenjar timus yang dihasilkan
oleh proses imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan

operatif menyingkirkan timus (timektomi) untuk menangani penyakit miastenia


gravis. Membran postsinaptik dari sinaps itu menjadi atrofik akibat reaksi
imunologik, karena itu penyerapan acetylcholine sangat menurun. Selain itu, jarak
antar membran ujung terminal akson motoneuron dan membran motor endplate
menjadi lebih panjang sehingga cholinesterase mendapat kesempatan yang lebih
besar untuk menghancurkan lebih banyak acetylcholine sehingga potensial aksi
postsinaptik yang dicetuskan menjadi lebih kecil. Dalam hal ini, kontraksi otot
skeletal pertama-tama berlalu secara normal, tetapi kontraksi-kontraksi berikutnya
menjadi semakin lemah dan berakhir pada kelumpuhan total. Setelah istirahat,
kontraksi otot pulih kembali untuk kemudian melemah dan lumpuh lagi.
Kelemahan yang bergelombang seperti itu dikenal sebagai kelemahan miastenik.
Otot-otot yang paling sering dilanda kelemahan mistenik adalah otot-otot okuler
dan otot-otot penelan. Otot-otot anggota gerak dan pernafasan dapat terkena juga
pada tahap lanjut miastenia gravis.2
C. Epidemiologi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka kejadiannya
20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umur
diatas 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan
dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang
lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi
pada usia 60 tahun.10
D. Patofisiologi
Pada miastenia gravis, terdapat pengurangan jumlah AchRs pada motor
endplate dan perataan lipatan pascasinaps. Akibatnya, meskipun jumlah normal
ACh dilepaskan, potensial endplate akan diproduksi lebih sedikit, dan mungkin
jatuh di bawah nilai ambang batas untuk pembentukan potensial aksi. Hasil akhir
dari proses ini adalah transmisi neuromuskuler menjadi tidak efisien.2
Transmisi neuromuskuler yang tidak efisien bersama-sama dengan fenomena
atau proses presinaptik menghasilkan penurunan progresif terhadap jumlah serat

otot yang diaktifkan oleh impuls serabut saraf. Hal ini menjelaskan kelelahan
yang terlihat pada pasien miastenia gravis.2
Pasien menunjukkan gejala setelah jumlah AChRs berkurang menjadi sekitar
30% dari normal. Reseptor kolinergik otot polos dan jantung memiliki
antigenisitas berbeda dari otot rangka dan biasanya tidak terpengaruh oleh
penyakit ini.2
Penurunan jumlah AChRs postsynaptic diyakini disebabkan oleh proses
autoimun dimana antibodi anti-AChR diproduksi dan memblokir reseptor sasaran,
menyebabkan peningkatan pergantian reseptor, dan merusak membran
postsynaptic dengan perantara komplement (complement-mediated).2
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan
sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.5

Gambar 1. Patofisiologi Miastenia Gravis


E. Manifestasi Klinik
Miastenia gravis dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas.1 Kelemahan otot ekstraokuler atau ptosis terjadi pada 50% pasien dan
terjadi selama 90% perjalanan penyakit.2 Kira-kira 15% ditemukan kelemahan
ektremitas tanpa disertai dengan gejala kelainan okular. Gejala lainnya kira-kira
20% penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.4
5

Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus okulomotorius,


sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis. Walupun pada miastenia
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua
belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis. Kelemahan otot penderita
semakin lama akan semakin memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar
mulai dari otot okular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas1.
Ptosis miastenia gravis yang ringan dapat diperjelas dengan test Wartenberg,
dengan test tersebut pasien di suruh menatapkan kedua matanya pada sesuatu
yang berada sedikit lebih tinggi dari matanya. Pada ptosis miastenik, kedua
kelopak mata atas akan lebih tinggi dari matanya dan akan menurun 1-2 menit
setelah menjalani test tersebut. Setelah bekerja secara bertenaga ptosis akan
timbul dengan jelas.5

Gambar 2. Peningkatan ptosis sebelah kiri yang semakin berkembang pada pasien
miastenia gravis. (A) awal/permulaan, (C) setelah sekitar 20 detik, (F) setelah 1
menit.2
F. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Kelas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
e. Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Kelas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Kelas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Kelas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Kelas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Kelas V

Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik. Biasanya gejala-gejala


miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi
hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak
lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun.
G. Diagnosis Miastenia Gravis
Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di
kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam
batas normal.1,5
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like
face dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal. Kelemahan otot bulbar
juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Pada pemeriksaan
fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita
seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan
terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia
gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan,
sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan
tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita
harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan,
sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.5
Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.14

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus.


Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.14
Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes
antara lain:
1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan
segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.13
2. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.13
3. Uji Kinin
Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu
benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus,
dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga
injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.13
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh
atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh
bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari9

jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.5
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.5
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.5
H. Pemeriksaan Penunjang1,14
H.1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody.

2) Antistriated muscle (anti-SM) antibody

10

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
3) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
4) Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka
dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor
protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
H.2. Imaging
1) Chest x-ray (foto rontgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ctscan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
2) MRI
Sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf
otak.
H.3. Pendekatan Elektrodiagnostik

11

Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi


neuromuskular melalui 2 teknik :
1) Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
2) Single-fiber Electromyography (SFEMG)
Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter
(variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal
pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari
serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG
mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan jitter dan fiber density yang normal.
I. Penatalaksanaan
I.1. Medikamentosa
a. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara
lambat. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila
diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis),
didahului dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak
segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,
sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan IIA dan
IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro
intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien
12

untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik.8,9
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks
terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih
belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan
kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi
terapi.8,9
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi
sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting
cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.8,9
Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis
tinggi (60-100 mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan
dengan IVIg atau PE, karena prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana
efek PE dan IVIg mulai berkurang. Pemberian kortikosteroid secara oral lebih
dipilih, dan inisiasi pemberian prednisone dapat ditunda sampai pasien telah
diekstubasi bila pasien mununjukkan perbaikan yang cepat setelah pengobatan
dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis, dosis
prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual dikonversi ke alternate-day
dosing. Efek samping paling sering adalah penampakan Chusingoid., katarak, dan
peningkatan berat badan. Infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, dan osteoporosis
merupakan kontraindikasi relatif dalam penggunaan kortikosteroid.8,9
c. Azathioprine10,11,12
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan

13

RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya
digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi
menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi
yang lain.
d. Cyclosporine
Respon terhadap cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis
awal pemberian cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa
nefrotoksisitas dan hipertensi. 10,11,12
Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE
pada pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap
kortikosteroid. Namun, onset kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan.8,9
I.2. Pengobatan Krisis Miastenik
Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni
immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE).
a. Immunoglobulin Intravena (IVIg)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien

14

yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus.10,11
b. Pertukaran Plasma (PE)
Terapi ini paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.10,11
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap
penggantian) biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya
adalah larutan normal salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set
besar, atau tunneled double-lumen central venous catheters.
Komplikasi PE yang biasanya terjadi adalah demam, gejala
hipokalemia (umumnya parestesia), penurunan sementara
tekanan darah, dan takikardia. Efek samping yang lebih serius
namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark miokardial,
dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya terjadi
setelah 2 hari dengan PE. Bila respon yang terjadi tidak adekuat
atau tidak ada respon sama sekali, PE bisa diberikan setelah IVIg
dan IVIg bisa diberikan setelah PE. Beberapa studi menunjukkan
bahwa pemberian PE lebih efektif dibandingkan IVIg pada
penderita krisis miastenik, namun kemungkinan terjadinya
komplikasi juga lebih tinggi pada penggunaan PE, seperti infeksi
dan instabilitas jantung.8,9
I.3. Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik
15

a. Intubasi dan Ventilasi Mekanik


Dua per tiga sampai 90% penderita krisis miastenik memerlukan intubasi dan
ventilasi mekanik. Lebih dari 20% pasien memerlukan intubasi selama evaluasi di
unit gawat darurat, dan hampir 60% diintubasi setelah pasien dirawat di ruang
perawatan intensif. Ketika diintubasi, pernapasan pasien sebaiknya berada di
bawah bantuan ventilator dengan pengaturan volume tidal 8-10 cc/kg BB ideal
dan tekanan 8-15 cmH2O untuk mencegah atelektasis dan meminimalisasi beban
pernapasan.8,9
Penghentian penggunaan ventilator harus diinisiasi setelah pasien
menunjukkan perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari
15mL/kg. Perbaikan pada kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain biasanya
dihubungkan dengan perbaikan kekuatan otot respirasi dan bulbar, dan berguna
sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis. Ventilator pasien sebaiknya ditransisi
ke mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi dengan bantuan tekanan), di
mana pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan pernapasan tersebut dapat
dikurangi secara bertahap hingga mencapai pengaturan minimal.9
Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami krisis
miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang masa
intubasi (> 14 hari): umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg pada postintubasi hari 1-6, dan serum bikarbonat 30 mmol/L. Pasien tanpa faktor risiko
diintubasi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan pasien dengan ketiga faktor
risiko tersebut memiliki masa intubasi yang lebih lama.8,9
b. Ventilasi non-invasif
Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi pada
pasien dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive airway
pressure (BiPAP), tekanan positif diberikan selama kedua fase pernapasan,
sehingga meningkatkan aliran udara dan mengurangi beban pernapasan selama
inspirasi dan mencegah kolaps jalan napas dan atelektasis selama ekspirasi. Pada
pasien yang awalnya mendapat ventilasi non-invasif dan mengalami perburukan
gejala seperti sesak napas, takipneu, atau hiperkapni terus menerus sebaiknya

16

dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Terdapat prediktor


independen kesuksesan ventilasi non-invasif, yaitu serum bikarbonat < 30mmol/L
dan skor APACHE II <6. Prediktor independen kegagalan metode ini adalah
hiperkapnia (pCO2> 45 mmHg).8,9
Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi
penggunaan bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan
kelemahan bulbar, tindakan ini meningkatkan risiko aspirasi, namun pada pasien
yang berhasil dengan tindakan tersebut mengalami lebih sedikit komplikasi
pulmoner.8,9
I.4. Thymektomi
Hiperplasia timus sering terjadi pada pasien miastenia muda, khususnya
perempuan, dengan antibodi terhadap AchR yang positif. Tumor timus, ditemukan
pada 15% pasien miastenia gravis dan pada 32% pasien krisis miastenik,
sebaiknya dilakukan timektomi. Pasien dengan miastenia gravis non-timus dapat
dipertimbangkan untuk melakukan timektomi untuk meningkatkan kemungkinan
terjadinya perbaikan kondisi atau remisi. Sebuah studi retrospektif menemukan
bahwa pasien miastenia gravis yang melakukan timektomi memiliki lebih sedikit
insiden terjadinya krisis miastenia dan episode yang lebih ringan. Krisis miastenik
postoperasi sering ditemukan setelah timektomi; insiden berkisar antara 12-34%.
Krisis postoperasi dihubungkan dengan riwayat krisis miastenik, kelemahan
bulbar yang muncul pada preoperasi, antibodi AChR serum preoperasi > 100
nmol/L, kehilangan darah>1L pada masa intraoperasi.13
J. Prognosis
Walaupun tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total untuk
kasus miastenia gravis, obat-obatan yang telah berkembang memberikan
prognosis yang lebih baik sehingga penderita dapat mnjalani hidup yang relative
mendekati normal. Tanpa pengobatan medis, angka kematian mencapai 25-31%;
dengan pengobatan medis angka kematian hanya 3-4%. Sekitar33% penderita
mengalami remisi spontan dimana semua gejala hilang secara permanen. Secara
umum, hasil pengobatam tergantung pada seberapa cepatkah progresi penyakit

17

dan keefektifan pengobatan. Sekitar 46% penderita miastenia gravis mengalami


gagal nafas, komplikasi yang mengancam nyawa dari krisis miastenik, pneumonia
dan atelektasis. Prosedur timektomi dihubungkan dengan tercapainya remisi pada
85% kasus dan 35% pasien mengalami remisi komplit.13

BAB III
RESUME

18

Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Miastenia
gravis merupakan gangguan autoimun yang langka dengan adanya antibodi yang
melawan reseptor postsinaptik nikotinik asetilkolin (ACh) pada neuromuscular
junction.
Pada penyakit miastenia gravis ditemukan adanya antiacetylcholine reseptor
antibody yang menduduki AChRs dari motor endplate sehingga tidak dapat
menyampaikan pesan pada serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut
diproduksi oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.
Miastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas I,
II, IIa, IIb, III, IIIa, IIIb, IV, IVa, IVb, dan V. Pemeriksaan fisik yang cermat harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Selain
pemeriksaan fisik, juga dapat dilakukan uji, antara lain uji tensilon, uji prostignin,
dan uji kinin. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pastinya adalah
pemeriksaan laboratorium (Anti-asetilkolin reseptor antibodi, Antistriated muscle
(anti-SM) antibody, Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies,
Antistriational antibodies), imaging (Chest x-ray dan MRI), dan pendekatan
elektrodiagnostik (Repetitive Nerve Stimulation dan Single-fiber
Electromyography).
Penatalaksanaan medikamentosa dapat menggunakan antikoliesterase,
kortikosteroid, azathioprine dan cyclosporine. Pengobatan krisis miastenik dengan
pemberian Immunoglobulin Intravena dan pertukaran plasma. Manajemen
respirasi pada krisis miastenik antara lain dengan intubasi dan ventilasi mekanik
dan ventilasi non-invasif. Pilihan tatalaksana lainnya yaitu thymektomi.
Tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total, namun obatobatan memberikan prognosis yang lebih baik sehingga penderita dapat menjalani
hidup yang relatif mendekati normal.
DAFTAR PUSTAKA

19

Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.

Sha, AK; Faan; Fana. 2014. Myasthenia Gravis. Diunduh dari (http://
emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#aw2aab6b2b1aa

Frotscher, M., M. Baehr. 2012. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi,


Fisiologi, Tanda dan Gejala, Ed. 4. EGC. Jakarta.

Harsono, 2005. Buku Ajar Neurologi Klinik PERDOSSI. Yogyakarta:Gadjah


Mada University Press.

Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit ed. 6 vol.2. EGC. Jakarta.

Sidharta Priguna. 2008. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta:


Dian Rakyat.

Jaretzki A 3rd, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. 2000. Myasthenia gravis:
recommendations for clinical research standards. Task Force of the Medical
Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America.
Neurology. 55(1):16-23.

Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist.


2011;1(1):16-22.

Goldenberg WD, Kulkarni R. Emergent Management of Myasthenia Gravis.


Medscape 2011. [cited: March 25th, 2012]. Available from: http://emedicine.
medscape.com/article/793136-overview.

10 James F. H. 2008. Epidemilogy and Pathophysiology. Dalam: Jr.M.D,


penyunting. Myasthenia Gravis A Manual For Health Care Provider. Edisi
ke1. Amerika.
11 John C. Keesey, MD. 2004. Clinical Evaluation and Management of
Myasthenia Gravis. Dalam: Wiley, penyunting. Muscle and Nerve. Edisi ke
-29. USA: Department of Neurology, UCLA School of Medicine, Los
Angeles. California, USA.
12 Skeie G. O, Apostolsk S. 2010. Guidelines for treatment of autoimmune
neuromuscular transmission disorders.

20

13 Howard JF. Myasthenia Gravis, a Summary. NINDS 2011. [cited: March


22nd, 2012]. Available from: http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_
gravis/ detail_myasthenia_gravis.htm.
14 Ngoerah, I. G. N. G, 1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga
University Press.
15 Bianca MC, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and
Future. The Journal of Clinical Investigation. 2006:116(11);2843-2854.

21

You might also like