Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Miastenia gravis adalah salah satu penyakit autoimun pada manusia. Miastenia
gravis ditandai oleh bermacam-macam tingkat kelemahan dari otot skelet
(volunter) tubuh. Nama miastenia gravis berasal dari bahasa Latin dan Yunani
yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat (grave muscle
weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa mencapai
90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit perawatan
pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa
dikurangi.1,2
Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi
kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan
waktu 10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi
sekitar 400 per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun
untuk wanita dan 40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang
disebabkan oleh penyakit tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk
kesulitan bernapas, kesulitan mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata
turun, dan penglihatan kabur atau ganda. 1,2
Terdapat perkembangan dalam pengertian tentang struktur dan fungsi dari
reseptor asetilkolin (AchR) serta interaksinya dengan antibodi AchR. Hubungan
antara konsentrasi, spesifisitas dan fungsi dari antibodi terhadap manifestasi klinik
pada miastenia gravis telah dianalisis dengan sangat hati-hati, dan mekanisme
dimana antibodi AchR mempengaruhi transmisi neuromuskular telah diteliti lebih
jauh.5
Saat ini telah terdapat banyak terapi miastenia gravis yang berbeda-beda,
mulai dari medikamentosa sampai pada terapi pembedahan. Pada tulisan ini akan
dijabarkan keseluruhan tentang miastenia gravis dan disinggung sedikit mengenai
terapi pada krisis miastenia gravis.
BAB II
MIASTENIA GRAVIS
A. Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.1 Miastenia
gravis merupakan gangguan autoimun yang langka dengan adanya antibodi yang
melawan reseptor postsinaptik nikotinik asetilkolin (ACh) pada neuromuscular
junction.2 Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot
akan pulih kembali.3
Jolly (1895) adalah orang yang pertamakali menggunakan istilah miastenia
gravis dan ia juga mengusulkan pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun
hal ini tidak berlanjut. Baru kemudian Remen (1932) dan Walker (1934)
menyatakan bahwa fisostigmin merupakan obat yang baik untuk miastenia
gravis.4
B. Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit autoimun yang berhubungan dengan
penyakit-penyakit lain seperti tirotoksikosis, miksedema, artritis rematoid dan
lupus eritematosus sistemik. Dulu di katakan bahwa IgG autoimun antibodi
merangsang pelepasan thymin, suatu hormon dari kelenjar timus yang mempunyai
kemampuan mengurangi jumlah asetilkolin. Sekarang dikatakan bahwa miastenia
gravis disebabkan oeh kerusakan reseptor asetilkolin (AChRs) neuromuscular
junction akibat penyakit autoimun.4
Pada penyakit miastenia gravis ditemukan adanya antibodi yang menduduki
AChRs dari motor endplate sehingga tidak dapat menyampaikan pesan pada
serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut dikenal sebagai antiacetylcholine
reseptor antibody yang terbukti diproduksi oleh kelenjar timus yang dihasilkan
oleh proses imunologik. Ketepatan konsep itu telah dikonfirmasi oleh tindakan
otot yang diaktifkan oleh impuls serabut saraf. Hal ini menjelaskan kelelahan
yang terlihat pada pasien miastenia gravis.2
Pasien menunjukkan gejala setelah jumlah AChRs berkurang menjadi sekitar
30% dari normal. Reseptor kolinergik otot polos dan jantung memiliki
antigenisitas berbeda dari otot rangka dan biasanya tidak terpengaruh oleh
penyakit ini.2
Penurunan jumlah AChRs postsynaptic diyakini disebabkan oleh proses
autoimun dimana antibodi anti-AChR diproduksi dan memblokir reseptor sasaran,
menyebabkan peningkatan pergantian reseptor, dan merusak membran
postsynaptic dengan perantara komplement (complement-mediated).2
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada
serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan
sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.
Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya
muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.5
Gambar 2. Peningkatan ptosis sebelah kiri yang semakin berkembang pada pasien
miastenia gravis. (A) awal/permulaan, (C) setelah sekitar 20 detik, (F) setelah 1
menit.2
F. Klasifikasi Miastenia Gravis
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:
a. Kelas I
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
b. Kelas II
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
c. Kelas IIa
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
d. Kelas IIb
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan
pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan klas
IIa.
e. Kelas III
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
f. Kelas IIIa
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
g. Kelas IIIb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
h. Kelas IV
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
i. Kelas IVa
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
j. Kelas IVb
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
k. Kelas V
jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh
dibandingkan otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan
saat melakukan fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki
dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.5
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi
cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.5
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak
hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini
merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis.
Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan
terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan
terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada
mata yang melakukan abduksi.5
H. Pemeriksaan Penunjang1,14
H.1. Pemeriksaan Laboratorium
1) Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80%
dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan
miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody.
10
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis.
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita
thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan
usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
3) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antiAChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
4) Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka
dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor
protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien
thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada
pasien muda dengan miastenia gravis.
H.2. Imaging
1) Chest x-ray (foto rontgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum. Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ctscan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.
2) MRI
Sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI dapat
digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf
otak.
H.3. Pendekatan Elektrodiagnostik
11
untuk menyadari bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat
yang diminum, sehingga dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari
krisis kolinergik.8,9
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah
untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks
terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih
belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat berlangsung hingga 18 bulan,
dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon terhadap pengobatan
kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi
terapi.8,9
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi
sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting
cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam
memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.8,9
Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis
tinggi (60-100 mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan
dengan IVIg atau PE, karena prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana
efek PE dan IVIg mulai berkurang. Pemberian kortikosteroid secara oral lebih
dipilih, dan inisiasi pemberian prednisone dapat ditunda sampai pasien telah
diekstubasi bila pasien mununjukkan perbaikan yang cepat setelah pengobatan
dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah menunjukkan perbaikan klinis, dosis
prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual dikonversi ke alternate-day
dosing. Efek samping paling sering adalah penampakan Chusingoid., katarak, dan
peningkatan berat badan. Infeksi, diabetes yang tidak terkontrol, dan osteoporosis
merupakan kontraindikasi relatif dalam penggunaan kortikosteroid.8,9
c. Azathioprine10,11,12
Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog dari purin
yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan
13
RNA. Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan
baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya
digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi
menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi.
Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3
mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis
optimal tercapai. Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat imunomodulasi
yang lain.
d. Cyclosporine
Respon terhadap cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine. Dosis
awal pemberian cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga
dosis. Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari
sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada
produksi antibodi. Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa
nefrotoksisitas dan hipertensi. 10,11,12
Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE
pada pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap
kortikosteroid. Namun, onset kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan.8,9
I.2. Pengobatan Krisis Miastenik
Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni
immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE).
a. Immunoglobulin Intravena (IVIg)
Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Berdasarkan pengalaman dan
beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG,
sehingga banyak pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi
awal untuk pasien dalam kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien
14
yang juga menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang
cepat dengan durasi yang hanya beberapa minggu. Dosis standar IVIG adalah 400
mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.
IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level antiasetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan
pemasangan infus.10,11
b. Pertukaran Plasma (PE)
Terapi ini paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.10,11
Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap
penggantian) biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya
adalah larutan normal salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set
besar, atau tunneled double-lumen central venous catheters.
Komplikasi PE yang biasanya terjadi adalah demam, gejala
hipokalemia (umumnya parestesia), penurunan sementara
tekanan darah, dan takikardia. Efek samping yang lebih serius
namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark miokardial,
dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya terjadi
setelah 2 hari dengan PE. Bila respon yang terjadi tidak adekuat
atau tidak ada respon sama sekali, PE bisa diberikan setelah IVIg
dan IVIg bisa diberikan setelah PE. Beberapa studi menunjukkan
bahwa pemberian PE lebih efektif dibandingkan IVIg pada
penderita krisis miastenik, namun kemungkinan terjadinya
komplikasi juga lebih tinggi pada penggunaan PE, seperti infeksi
dan instabilitas jantung.8,9
I.3. Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik
15
16
17
BAB III
RESUME
18
Miastenia gravis (MG) adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Miastenia
gravis merupakan gangguan autoimun yang langka dengan adanya antibodi yang
melawan reseptor postsinaptik nikotinik asetilkolin (ACh) pada neuromuscular
junction.
Pada penyakit miastenia gravis ditemukan adanya antiacetylcholine reseptor
antibody yang menduduki AChRs dari motor endplate sehingga tidak dapat
menyampaikan pesan pada serabut-serabut otot skeletal. Antibodi tersebut
diproduksi oleh kelenjar timus yang dihasilkan oleh proses imunologik.
Miastenia gravis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, yaitu kelas I,
II, IIa, IIb, III, IIIa, IIIb, IV, IVa, IVb, dan V. Pemeriksaan fisik yang cermat harus
dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu miastenia gravis. Selain
pemeriksaan fisik, juga dapat dilakukan uji, antara lain uji tensilon, uji prostignin,
dan uji kinin. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pastinya adalah
pemeriksaan laboratorium (Anti-asetilkolin reseptor antibodi, Antistriated muscle
(anti-SM) antibody, Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies,
Antistriational antibodies), imaging (Chest x-ray dan MRI), dan pendekatan
elektrodiagnostik (Repetitive Nerve Stimulation dan Single-fiber
Electromyography).
Penatalaksanaan medikamentosa dapat menggunakan antikoliesterase,
kortikosteroid, azathioprine dan cyclosporine. Pengobatan krisis miastenik dengan
pemberian Immunoglobulin Intravena dan pertukaran plasma. Manajemen
respirasi pada krisis miastenik antara lain dengan intubasi dan ventilasi mekanik
dan ventilasi non-invasif. Pilihan tatalaksana lainnya yaitu thymektomi.
Tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total, namun obatobatan memberikan prognosis yang lebih baik sehingga penderita dapat menjalani
hidup yang relatif mendekati normal.
DAFTAR PUSTAKA
19
Mardjono, M., 2004. Neurologi Klinis Dasar 9th ed. Dian Rakyat, Jakarta.
Sha, AK; Faan; Fana. 2014. Myasthenia Gravis. Diunduh dari (http://
emedicine.medscape.com/article/1171206-overview#aw2aab6b2b1aa
Jaretzki A 3rd, Barohn RJ, Ernstoff RM, et al. 2000. Myasthenia gravis:
recommendations for clinical research standards. Task Force of the Medical
Scientific Advisory Board of the Myasthenia Gravis Foundation of America.
Neurology. 55(1):16-23.
20
21