You are on page 1of 80

BAB I

PENDAHULUAN
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
penggambaran dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan
juga kognitif.
Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami
nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu
tersebut. Melzack dan Casey menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan
interaksi dari tiga sistem (dimensi) yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif,
yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem
ini berkontribusi terhadap subyektifitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis
dalam pengalaman nyeri.
Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai
nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri
kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode
waktu tertentu.

Nyeri merupakan alasan yang paling umum bagi pasien-pasien untuk


memasuki tempat perawatan kesehatan dan merupakan alasan yang paling umum
diberikan untuk pengobatan terhadap diri sendiri. Nyeri kronis biasanya lebih
kompleks dan lebih sulit untuk ditangani, diobati, atau dikontrol daripada nyeri
akut.
Nyeri kronik dapat berdampak pada semua area kehidupan seseorang dan
seringkali berasosiasi dengan masalah-masalah lingkungan sosial. Nyeri kronik
dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap keluarga dan rekan-rekan
penderita. Nyeri kronik merupakan situasi yang menurunkan moral, yang
mengkonfrontasi penderita tidak hanya dengan stress yang berasal dari nyeri tetapi
juga dengan banyak kesulitan-kesulitan lain yang menyertai yang mempengaruhi
semua aspek kehidupan.

Nyeri merupakan fenomena yang multidimensional. Dimensi ini meliputi


dimensi fisiologis, sensori, afektif, kognitif, dan perilaku (behaviour), dan sosialkultural yang saling berhubungan, berinteraksi, serta dinamis. Nyeri kronik
merupakan suatu problem kesehatan yang kompleks, kadang dengan etiologi yang
belum jelas, dan sering mendapatkan terapi dengan hasil yang kurang memuaskan
bagi pasien. Diperlukan pengetahuan yang mendalam bagi tenaga kesehatan,
pendekatan multidisiplin keilmuan, serta melibatkan pasien, keluarga, dan
lingkungan untuk dapat menangani pasien nyeri kronik secara optimal.
Nyeri merupakan salah satu gejala penyakit yang paling sering pada lansia.
Pendekatan assessment nyeri dan manajemen nyeri berbeda pada lansia
dibandingkan pada usia yang lebih muda. Nyeri pada lansia sering merupakan
serangkaian penyakit dan problem yang banyak sehingga evaluasi nyeri dan
pengobatannya lebih sulit. Lansia mempunyai insiden yang lebih tinggi terhadap
efek samping obat dan berpotensi lebih besar terhadap komplikasi dan kejadian
tambahan sehubungan dengan banyaknya prosedur terapi. Meskipun demikian,
nyeri dapat ditangani secara efektif pada sebagian besar pasien lansia.
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke
atas. Jumlah manula di Indonesia terus meningkat setiap tahun. Di Amerika dan
beberapa negara berkembang yang lain juga terjadi peningkatan proporsi penduduk
manula dibanding penduduk usia muda. Peningkatan jumlah dan persentase
penduduk manula tersebut memerlukan perhatian khusus terkait dengan masalah
yang timbul pada manula. meskipun penuaan merupakan suatu proses normal.
Lebih dari 85% kelompok manula menderita penyakit kronik. Penyakit
tersebut dapat menimbulkan rasa nyeri. Keluhan nyeri tersebut dapat menyebabkan
disabilitas, penurunan kualitas hidup, serta gangguan psikososial pada manula.
Arthritis merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada manula dan menjadi
penyebab keluhan nyeri tersering. Keadaan lain yang dapat menimbulkan nyeri
kronik pada manula adalah kanker, osteoporosis dengan fraktur kompresi, dan
degenerative disk disease. Peningkatan jumlah manula yang aktif dalam aktifitas
olah raga dan rekreasi akan semakin meningkatkan risiko timbul keluhan nyeri.

Hasil survey sebelumnya yang telah dilakukan oleh Roy dan Thomas (1987)
menunjukkan bahwa hampir 70% dari 205 manula sehat mengeluh nyeri meskipun
aktifitas rekreasinonal tidak berbeda antara kelompok yang mengeluh nyeri dan
kelompok yang tidak mengeluh nyeri. Penilitian lain yang dilakukan oleh LavskyShulan (1985) terhadap 3097 manula terbukti bahwa 22% kelompok tersebut telah
mengalami nyeri punggung bawah dan 15% hingga 42% dari mereka yang
mengeluh nyeri punggung bawah juga mengalami keterbatasan fungsi karena
nyeri.7 Ferrell (1996) menyebutkan bahwa prevalensi nyeri meningkat berdasarkan
usia meskipun pada manula memiliki kecendurangan untuk tidak melaporkan
keluhan tersebut. Sepertiga kasus nyeri pada manula akan berlanjut menjadi
keluhan nyeri kronik. Carcione (2009) menyebutkan bahwa 62% manula akan
mengalami nyeri yang hebat setelah menjalani operasi elektif dan 13% dari jumlah
tersebut tidak puas dengan penanganan nyeri yang diterima.
Penanganan nyeri pada manula perlu pendekatan khusus karena berbagai
faktor. Terdapat dua faktor penting yang membedakan keluhan nyeri pada manula
dibanding kelompok usia muda. Faktor pertama adalah kesulitan seorang manula
untuk menunjuk dan melokalisir nyeri. Faktor kedua adalah perubahan jalur nyeri
itu sendiri. Perubahan struktur dan fungsi dari jalur tersebut menyebabkan seorang
manula memiliki risiko lebih besar terhadap jejas yang lebih besar. Hal ini
disebabkan karena fungsi rasa nyeri sebagai alarm menjadi terganggu. Nyeri yang
tidak membaik akan menimbulkan masalah yang serius pada manula. Masalah
yang dapat timbul meliputi depresi, kecemasan, gangguan fungsi, gangguan tidur,
isolasi sosial, serta penurunan kualitas hidup. Seiring dengan peningkatan jumlah
manula di seluruh dunia maka pengetahuan mengenai pengalaman nyeri serta
faktor lain yang mempengaruhi keunikan proses nyeri pada manula perlu
diperhatikan.
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita
sebagai individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010).
Perawatan ini diperlukan bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi HIV AIDS.

Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut
bahkan hingga hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif
agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch
dan Schipper, 1996). Pemerintah telah memberikan kebijakan perawatan paliatif
di Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 604/MENKES/SK/IX/1989. Terdapat empat subkomite di dalam
Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Kanker yaitu subkomite pencegahan,
subkomite deteksi dini, subkomite

terapi, serta subkomite perawatan paliatif

dan bebas nyeri (Tejawinata, 2012).


Dari data World Health Organization (WHO) diketahui bahwa pada tahun
2008, 7.6 juta penduduk dunia meninggal karena kanker (13% dari seluruh jumlah
kematian) (WHO, 2012). Penyakit kanker di Indonesia menjadi penyebab kematian
ke-4 terbesar untuk penyakit tidak menular. Prevalensi penderita kanker Indonesia
mencapai 4,3 orang per 1000 penduduk. Dengan jumlah penduduk 237.6 juta jiwa
per tahun 2010, penderita kanker di Indonesia diperkirakan 1.02 juta jiwa. Dari
data Departemen Kesehatan Republik Indonesia, diperkirakan bahwa angka
kejadian penyakit kanker di Indonesia adalah 0.1% dari jumlah penduduk dan lebih
dari 50% penderita kanker datang pada stadium lanjut (Statistik Indonesia, 2012).
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi merupakan suatu proses untuk
membantu seseorang mencapai potensi fisik, psikologik, sosial, vokasional dan
edukasional sepenuhnya yang konsisten dengan gangguan/impairement fisiologik
atau anatomiknya, keterbatasan lingkungannya, keinginannya, serta rencana
hidupnya (Palma dan Payne, 2001).
Perawatan paliatif muncul sebagai dua bagian yang penting dalam
penanganan penderita stadium lanjut atau kronis. Keduanya sama-sama memiliki
tujuan

sebagai

perawatan

yang

komprehensif,

multidisiplin,

untuk

mempertahankan fungsi fisik dan kemandirian penderita. Dengan demikian


kualitas hidup penderita dapat diperbaiki dan beban perawatan bagi para keluarga
atau pengasuh penderita dapat dikurangi (Tulaar, 2012).

BAB II
NYERI KRONIK

2.1. DEFINISI
Definisi nyeri yang paling luas diterima adalah yang diambil dari
International Association for the Study of Pain (IASP), yaitu : pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut.
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang
berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada yang
berpendapat lama nyeri kronis adalah berlangsung lebih dari 6 bulan.
Pustaka lain menyebutkan bahwa nyeri didefinisikan sebagai nyeri kronik
jika:
1. berlangsung melampaui waktu yang diperlukan untuk penyembuhan nyeri
akut atau penyembuhan jaringan
2. jika berhubungan dengan proses patologis kronis
3. nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahun
Tabel 2.1. Waktu yang diperlukan untu k penyembuhan normal
Jenis Organ

Waktu Untuk Sembuh

Kulit

3 7 hari

Tulang

6 minggu

Tendon dan ligament

3 bulan

2.2. KLASIFIKASI NYERI KRONIK


Berdasarkan mekanisme patofisiologinya nyeri kronis terbagi menjadi :
1. Nyeri Nosiseptik
Nyeri nosiseptik timbul sebagai akibat dari aktivasi nosiseptor perifer yang
berlokasi pada jaringan yang mengalami kerusakan dan ditransmisikan ke
saraf pusat melalui jalur sensori neural yang berfungsi secara normal.
Nyeri nosiseptik umumnya berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan
somatik atau visceral.

2. Nyeri Neuropatik
Nyeri Neuropatik dihasilkan dari kerusakan atau perubahan strukur dan
fungsi jaringan saraf. Nyeri neuropatik dapat timbul berkaitan dengan
proses somatosensorik yang menyimpang pada saraf tepi atau sistem saraf
pusat
3. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik sering dirujuk sebagai gangguan somatisasi. Penyebabnya
didasari oleh adanya gangguan emosional atau stressor yang sering tidak
disadari pasien. Nyeri psikogenik timbul walaupun tidak ditemukan organ
sumber nyeri yang dapat diidentifikasi.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 10-20% dari populasi dunia menderita nyeri kronik.
Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa 10-11% dari
penduduk mempunyai gejala nyeri kronik di seluruh bagian tubuh yang menetap
sedang 20-25% mengalami nyeri kronik regional dengan perempuan 1,5 kali lebih
banyak dari laki-laki.
2.4. FISIOLOGI NYERI
Pada keadaan normal nyeri bertindak sebagai mekanisme alarm yang
mengindikasikan adanya kerusakan atau potensi kerusakan di dalam tubuh
manusia. Namun pada nyeri kronik terjadi perubahan mekanisme sehingga tidak
selalu mencerminkan proses patologi yang sebenarnya.
Nyeri timbul sebagai respon terhadap stimulasi struktur nosiseptif.
Stimulus dijalarkan melalui sepanjang saraf tepi ke sistem saraf pusat. Sensasi
nyeri dan respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya mekanisme fisiologi reseptor nyeri, struktur anatomi sistem saraf
nyeri, keadaan psikologi, emosional, perilaku, dan motivasi dari masing-masing
individu. Variasi dalam beberapa faktor tersebut dapat memberikan perbedaan
persepsi, derajat, tipe lokasi dan durasi nyeri.
Interaksi yang komplek antara stimulus dari kerusakan jaringan dan
pengalaman subyektif dari nyeri kronis dapat digambarkan dengan proses umum
yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

2.4.1. RESEPTOR
Akhiran saraf aferen di seluruh jaringan tubuh dinamakan reseptor.
Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda. Untuk reseptor nyeri, misalnya
jaringan yang sangat peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi, menunjukkan
kepadatan reseptor nyeri yang sangat tinggi dibandingkan dengan jaringan yang
kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visera.
Jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan,
temperatur, zat-zat kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai stimuli
dan tipe ini dinamakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal paling banyak
berperan dalam proses timbulnya nyeri. Distribusi reseptor ini luas (kulit, otot dan
visera) dan mudah dimodulasi oleh karena sangat sensitif terhadap mediator
kimiawi. Reseptor polimodal lebih sering disebut sebagai nosiseptor,
Sensasi nyeri dimulai dari peristiwa seperti terpotong, terbakar, inflamasi
yang merangsang terminal akhir berkas saraf. Dalam keadaan normal, reseptor
tersebut tidak aktif (sleeping nociceptors). Keadaan patologik mengakibatkan
nosiseptor menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Berkas saraf yang terlibat dalam
peristiwa ini terdiri dari serabut C yang tidak bermyelin dan A-delta, serta neuron
preganglion autonom.
Di samping sebagai penerima impuls, nosiseptor dapat pula berfungsi sebagai
pelepas neuropeptid seperti substansia P dan CGRP (Calcitonin Gene Related
Peptide) paska trauma atau inflamasi. Pelepasan substansi P dan CGRP akan
menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik. Fungsinya untuk mencegah atau
mengurangi efek merugikan dari trauma atau lesi dan mempercepat penyembuhan.
Akan tetapi dalam beberapa keadaan patologik fungsi tersebut sebaliknya
menyebabkan rasa nyeri terutama pada nyeri kronik.

2.4.2. TRANSDUKSI
Transduksi adalah peristiwa perubahan stimulus nyeri menjadi sinyal nyeri
yang terjadi di reseptor nyeri. Stimuli yang datang di reseptor mengubah

permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion terutama Na+. Reseptor


mengubah berbagai stimulasi menjadi impuls listrik yang mampu menimbulkan
potensial aksi di akson untuk dijalarkan ke medula spinalis.

Gambar 2.1. skema specificity theory dan pattern theory.


Dikenal dua macam teori dalam proses transduksi ini, yaitu specificity
theory dan pattern theory. Menurut specificity theory, sensasi nyeri tergantung
akhiran saraf yang terangsang dan reseptor tersebut berbeda-beda untuk setiap
jenis sensasi. Sedangkan pattern theory berpendapat bahwa sensasi nyeri timbul
karena peningkatan frekwensi dan intensitas rangsang yang dialami oleh reseptor
nyeri.
2.4.3. TRANSMISI
Lintasan Perifer
Transmisi merupakan proses penghantaran sinyal nyeri dari reseptor sistem
saraf tepi menuju medula spinalis kemudian melalui jalur tertentu akhirnya sampai
ke otak.
Pada saraf tepi sinyal nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C, A-delta, dan
pada keadaan tertentu serabut A-beta dapat ikut terlibat.
Serabut C peka terhadap rangsang mekanikal, thermal, dan kimiawi, yang
nantinya akan menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan tumpul, berdenyut, sakit-

sakitan, terbakar, atau kesemutan. Sensasi nyeri yang ditransmisikan melalui


serabut C mempunyai onset yang lambat setelah terjadinya stimulus, berlangsung
lama, sulit ditoleransi secara emosional, cenderung diffusely localized, Sensasi ini
dapat disertai dengan respon autonom (berkeringat, berdebar-debar, mual,
peningkatan tekanan darah)

Gambar 2.2 Transmisi sinyal nyeri pada sistem saraf perifer dan pusat

Serabut A-delta, yang mempunyai lapisan myelin menghantarkan nyeri


lebih cepat dari serabut C. Serabut A-delta lebih sensitif terhadap rangsang
mekanikal dengan intensitas tinggi, dan dapat juga menghantarkan rangsang panas,
dingin, atau rangsang lainnya. Sensasi yang dihantarkan dirasakan seperti
menikam, menusuk, dan tajam.
Onset yang dihantarkan lebih cepat, durasinya lebih pendek, lokasi yang dirasakan
jelas, dan tidak berhubungan dengan respon emosi. Sensasi nyeri yang dijalarkan
serabut A-delta biasanya tidak dapat dihambat dengan obat golongan opiat.

Gambar 2.3. Karakteristik serabut aferen dari sistem saraf


Tabel 2.2 Karakteristik aferen primer pada serabut penghantar nyeri

10

Serabut A-beta dapat terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yang tidak
normal. Serabut A-beta (wide dynamic-range neuron) bermyelin dan berdiameter
besar, menghantarkan sinyal lebih cepat dari serabut A-delta dan C. Serabut A-beta
dalam keadaan normal menghantarkan sinyal yang berhubungan dengan getaran,
peregangan, rangsang mekanik dan tidak menghantarkan nyeri.
Namun demikian dalam keadaan nyeri neuropatik dan sensitisasi sentral terjadi
perubahan sehingga stimulus yang normal (tidak berhubungan dengan nyeri) dapat
menghasilkan sensasi nyeri. Terdapat tiga teori yang menjelaskan keterlibatan
serabut A-beta terhadap nyeri. Teori pertama mengatakan bahwa perangsangan
serabut A-beta mengaktifkan sel saraf di medula spinalis yang telah mengalami
sensitisasi sentral. Teori ke dua menjelaskan bahwa serabut A-beta mengalami
sprouting ke dalam lapisan medula spinalis yang normalnya merupakan akhiran
serabut C, sehingga akhirnya menstimulasi neuron yang salah. Teori ke tiga
mengatakan bahwa serabut A-beta yang berada di dekat neuron nosiseptif yang
rusak ikut terpicu secara abnormal. Perubahan dalam fungsi neuron inilah yang
menjadi kunci dalam nyeri yang berkepanjangan.
Lintasan pusat
Serabut saraf A-delta maupun C bersinaps secara langsung maupun melalui
interneuron di lapisan superfisial kornu posterior medula spinalis (substansia
gelatinosa). Beberapa serabut A-delta bersinaps pada lapisan yang lebih dalam,
dimana serabut A-beta berakhir. Interneuron dalam kornu posterior dikenal sebagai
Transmission cells atau sel T. Sel T membuat sambungan lokal di medula spinalis,
baik dengan neuron eferen sebagai bagian dari refleks apinal, maupun dengan
neuron aferen yang berlanjut ke level yang lebih tinggi.
Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dilanjutkan ke
otak oleh neuron proyeksi. Terdapat beberapa jalur utama informasi nosiseptif
menuju otak yaitu:
1. Traktus spinotalamikus
2. Traktus spinoretikular
3. Traktus spinomesenfalik
4. Traktus spinoservikalis

11

Dari semua traktus tersebut di atas yang terpenting dan terbanyak


dipelajari adalah traktus spinotalamikus. Traktus ini dalam perjalanannya ke
talamus mempercabangkan traktus paleospinotalamikus (medial) dan traktus
neospinotalamikus (lateral).
Traktus paleospinotalamikus terutama berasal dari serabut aferen C dan dirilei di
nukleus intralaminaris talami, disini impuls didistribusikan ke korteks bilateral
dan luas dan tidak mempunyai organisasi somatotopik. Oleh karena itu
perangsangan nukleus intralaminaris talami akan menimbulkan rasa nyeri yang
datangnya dari kedua bagian tubuh (kanan dan kid) dan disertai perasaan takut
dan sedih yang merupakan reaksi emosi terhadap nyeri. Impuls nyeri yang
dibawa oleh traktus neospinotalamikus menuju area somatosensori primer
maupun sekunder di korteks serebri yaitu area yang menerima input dari
somaestesi spesifik.
2.4.4. MODULASI DAN KONTROL NYERI
Beberapa mekanisme yang menerangkan mengenai modulasi dan kontrol
nyeri diantaranya adalah teori gate control, opiad endogen, inhibisi segmental di
kornu posterior, dan mekanisme kontrol sentral psikologikal.
Berbagai

intervensi

fisik, kimia,

dan

psikologikal

dikembangkan

berdasarkan pengertian mengenai modulasi nyeri. Sebagai contoh TENS


(Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) dikembangkan berdasarkan teori
gate control.

Gambar 2.4 . Skema teori gate control


Teori Gate Control

12

Teori modulasi nyeri ini pertama kali dikenalkan oleh Melzack dan Wall
pada tahun 1965. Menurut teori ini derajat nyeri ditentukan oleh keseimbangan
rangsangan dan penghambatan input terhadap sel T di medula spinalis. Sel T
menerima input rangsangan dari aferen nosiseptor C dan A-delta dan input
penghambatan dari aferen sensori non nosiseptor A-beta.
Peningkatan aktivitas aferen sensori non nosiseptor menyebabkan inhibisi
presinaps pada sel T dan kemudian menutup secara efektif jembatan spinal ke
kortek cerebral dan menurunkan sensasi nyeri.
Beberapa modalitas dan intervensi mengontrol nyeri dengan cara
mengaktivasi saraf sensori non nosiseptif yang kemudian menghambat aktivasi sel
penghantar nyeri dan menutup jembatan untuk mentransmisikan nyeri. Sebagai
contoh elektro stimulasi, traksi, kompresi, dan masase kesemuanya dapat
mengaktfkan saraf sensori non nosiseptif yang berdiameter besar, memiliki
ambang yang rendah dan kemudian menghambat transmisi nyeri dengan menutup
jembatan nyeri pada level medula spinalis.

13

Gambar 2.5. Modulasi nyeri pada sistem saraf pusat

Sistem opioid endogen


Persepsi nyeri juga dimodulasi oleh opiad endogen. Peptida ini dikenal
dengan Opio peptin (endorfin). Opio peptin mengontrol nyeri dengan binding
terhadap reseptor opiat pada sistem syaraf. Opio peptin dan reseptor opiat
ditemukan dalam berbagai akhiran saraf perifer dan dalam neuron di beberapa
regio dari sistem saraf. Opio peptin dan reseptor opiad terindentifikasi di beberapa
tempat pada otak termasuk PAGM (Peri Aqueductal Grey Matter) dan nukleus
raphe batang otak dimana struktur tersebut memicu analgesia ketika terstimulasi,
dan di beberapa area pada sitem limbik. Opio peptin juga ditemukan pada

14

konsentrasi yang tinggi dalam lapisan superfisial dari kornu posterior medulas
spinalis dan dalam sistem saraf enterik, dan juga akhiran saraf serabut C.
Opioid dan Opio peptin selalu memiliki aksi inhibisi. Mereka menyebabkan
inhibisi presinap dengan mensupresi influks kalsium kedalam sel dan
menyebabkan inhibisi post sinap dengan mengaktivasi pengeluaran kalium.
Sebagai tambahan Opio peptin secara tidak langsung menginhibisi transmisi nyeri
dengan mempengaruhi pelepasan GABA di dalam PAGM dan nukleus raphe.
Opiat bekerja mengaktifkan neuron proyeksi descenden melalui mekanisme
inhibisi. Opiat juga menunjukkan efek analgesiknya, langsung pada medula
spinalis oleh karena dapat menghambat aktivitas neuron di kornu dorsalis.
Mekanisme kontrol sentral dan psikologikal

Terdapat dua mekanisme kontrol sental utama, yaitu periaqueductal grey


matter (PAG) di otak tengah dan rostral ventromedial system (RVM). Lintasan
PAG dan RVM menerima input dari sistem limbik, hal ini menerangkan bagaimana
faktor emosi dapat mempengaruhi persepsi nyeri.
Terdapat jalur descenden yang membuat koneksi inhibisi pada kornu
posterior medula spinalis. Neurotramsmitter utama pada jalur ini adalah serotonin
(5-HT) dan norepinephrine (noradrenalin). Hal ini menerangkan cara kerja dari
antidepresan dan tramadol dalam menghambat nyeri.

ES pada area yang banyak menghasilkan opio peptin, seperti PAGM dan
nukleus raphe, menginhibisi dengan kuat transmisi nyeri. Stimulasi pada area ini
dapat membebaskan nyeri yang membandel pada

manusia dan meningkatkan

jumlah beta endorfin dalam CSF. Konsentrasi reseptor opiat dan opio peptin dalam
sistim limbik yang berhubungan dalam fenomena emosional juga membuktikan
dan menerangkan pengaruh respon emosional terhadap nyeri .
Pelepasan opio peptin memainkan peran yang penting dalam modulasi dan
kontrol nyeri selama terjadi stres emosional. Level opio peptin di otak dan CSF
meningkat dan ambang rangsang nyeri meningkat. Teori ini juga menerangkan

15

efek pembebasan nyeri dari akupunktur dan pemakaian nyeri sebagai stimulator
(preparat topikal yang menyebabkan sensasi terbakar).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, diketahui pula bahwa banyak
neuron di medula oblongata bagian rostroventral yang bersifat serotonergik,
sedangkan yang di pons berupa noradrenergik. Kedua tipe ini sangat penting
perannya dalam memodulasi impuls nyeri. Apabila kedua jenis neuron ini rusak,
maka kemampuan analgesik dari neuron opiat akan menurun. Demikian pula
halnya dengan pemberian antagonis reseptor serotonin di medula spinalis, akan
sangat mengurangi efek analgesik pemberian morfin supraspinalis. Pemberian
langsung serotonin dan norepinefrin ke medula spinalis akan menyebabkan
analgesia.
2.4.5 PERSEPSI
Nyeri merupakan suatu pengalaman yang kompleks, melibatkan sensori
dan afektif. Korteks area somatosensori primer dan sekunder berkaitan dengan
aspek sensori dan diskriminasi nosisepsi, sedangkan area limbik berkaitan dengan
afektif motivasi. Area kortek cingulate anterior memainkan peran dalam emosi dan
aversive (penolakan) dalam respon terhadap nyeri. Pengaruh korteks inilah yang
menjelaskan peran modulasi bahwa memori dan pembelajaran sangat berpengaruh
dalam persepsi nyeri.

2.5. PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK


Nyeri kronik dapat disebabkan oleh proses patologi di jarigan yang
persisten (contoh pada kanker) atau dapat juga disebabkan oleh nyeri yang
persisten walaupun telah tejadi perbaikan jaringan (yang awalnya cidera) dengan
disertai hilangnya kapasitas fungsional yang berlebihan.
Pada nyeri akut, nyeri berasal dari peningkatan peningkatan aktivitas
nosiseptor yang mencerminkan adanya kerusakan jaringan. Setelah kerusakan
jaringan, mediator inflamasi seperti glutamat, substansi P, kalsitonin dilepaskan
dan menyebabkan peningkatan sensitivitas di area jaringan yang rusak dan

16

sekitarnya. Pada beberapa kasus, nosiseptor tetap dalam keadaan terpicu


(meletup) dan menyebabkan hipersensitivitas dalam kornu posterior medula
spinalis. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan sensitivitas reseptor yang
kemudian menyebabkan peningkatan respon nyeri terhadap rangsang mekanikal,
thermal, atau kimia. Aktivitas nosiseptor yang berkepanjangan dapat
menyebabkan perubahan pada medula spinalis dan pusat yang lebih tinggi di
otak dan berdampak pada peningkatan sensitivitas neuron yang memodulasi
nyeri. Perubahan-perubahan ini dapat memperkuat stimulus periferal yang
masuk walaupun stimulus non nyeri tersebut tidak cukup kuat untuk
menimbulkan nyeri.

Gambar 2.6. Perbedaan proses kimia pada reseptor antara nyeri akut dan kronik.
Nyeri kronis menginduksi banyak faktor yang mempertahankan nyeri dan
menghambat penyembuhan yaitu:
1. Aktivasi menetap dari reseptor AMPA menyebabkan perubahan polaritas
membran dengan pelepasan Mg2+ yang membuka kanal Ca2+ pada
kompleks reseptor NMDA.
2. Ca2+ akan mengaktivasi protein kinase C (PKC) PKC dibutuhkan oleh
Nitric Oxide Synthase (NOS) untuk memproduksi Nitric Oxide (NO).

17

3. NO akan berdifusi ke membran dan merangsang guanil sintase untuk


menutup kanal K+. Hal ini menyebabkan resistensi terhadap opiat karena
endorfin dan enkefalin menghambat nyeri dengan membuka kanal K+.
4. NO juga akan merangsang pelepasan substansi P.
5. Substansi P adalah neurokinin yang bila berikatan dengan reseptor
neurokinin-1 (NK-1) akan memicu ekspresi gen c-fos.
6. Ekspresi gen c-fos menyebabkan remodeling saraf dan heipersensitisasi.

Gambar 2.7. Perbedaan antara perjalanan nyeri akut dan nyeri kronik
Sensitisasi sentral adalah respon berlebihan dari sel saraf nyeri di
susunan saraf pusat terhadap input dari reseptor perifer. Medula spinalis bertugas

18

sebagai penguat atau pengubah dari keadaan jaringan yang sebenarnya. Pada
keadaan ini informasi yang diterima otak dari kornu posterior tidak akurat lagi
dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya di jaringan. Lebih lanjut lagi,
dapat terjadi perubahan penafsiran lokasi bagian tubuh oleh area sensorik primer
otak yang menyebabkan penyimpangan kontrol motorik
Pasien nyeri kronik sering mengalami perubahan kemampuan adaptasi
fisiologi dan nyeri yang menetap tersebut menjadi penyakit yang tersendiri.
Pasien mengalami dekondisioning karena aktifitas fisik yang menurun, frustasi,
depresi, perubahan perilaku, penurunan produktifitas, sikap, dan gaya hidup
yang justru memperberat keluhan nyeri kronik.

Gambar 2.8. Lingkaran setan nyeri kronik


Nyeri berpengaruh dan dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Respon
nyeri bersifat subyektif dan berbeda pada masing-masing individu karena hal
tersebut dimodulasi oleh faktor somatik, sosial, dan psikologikal. Faktor kognitif
dan emosi dapat memberi respon positif maupun negatif terhadap nyeri. Perlu
kita ketahui bahwa selama pembelajaran mengenai pengalaman nyeri beberapa
bagian otak teraktivasi secara simultan dan oleh karena itu tidak hanya terdapat
satu pusat nyeri di otak. Nyeri kronik sering berhubungan dengan gangguan tidur
dan penurunan fungsi. Dalam tahap ini nyeri menjadi penyebab dari perilaku
disfungsi, penderitaan, dan disabilitas.
2.6. PEMERIKSAAN DAN GAMBARAN KLINIS
2.6.1. PEMERIKSAAN

19

Penilaian nyeri kronik meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian


komprehensif mengenai intensitas nyeri, faktor psikososial yang berhubungan
dengan pengalaman nyeri dan faktor-faktor yang mempengaruhi tidur, aktivitas
kehidupan sehari-hari, keadaan keluarga, dan pekerjaan. Keluhan subyektif
mengenai derajat nyeri merupakan bagian yang penting sebagai penilaian awal dan
untuk evaluasi pada kunjungan berikutnya.
Anamnesis
Anamnesis berfokus pada jangka waktu, kronologi, intensitas, lokasi nyeri,
faktor yang memperberat atau memperingan, serta gejala penyerta nyeri. Status
fungsional pasien harus ditetapkan. Reaksi terhadap intervensi diagnostik dan
terapeutik harus diperhatikan, karena hal tersebut bisa menjadi perkiraan respon
pengobatan mendatang.
Riwayat terdahulu mengenai masalah iatrogenik karena prosedur yang
tidak sesuai atau tidak perlu harus digali. Dicari riwayat penyalahgunaan zat kimia
atau perilaku kecanduan karena hal ini merupakan indikator prognosis negatif.
Riwayat sosial, ekonomi, dan kondisi psikologis perlu dicatat karena pasien sering
barhadapan dengan masalah-masalah tersebut.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus lengkap, berfokus pada sistem neurologi dan
muskuloskeletal. Saraf kranialis harus dinilai. Sensasi protopatik (nyeri, suhu,
sentuhan raba) sensasi propioseptik (tekanan dalam, getaran, posisi) dan sensori
kortikal (two point tactile discrimination, extinction phenamenon) harus didata.
Pola anatomis nyeri dan gangguan sensorik sering memberikan petunjuk tingkat
lesi atau dasar organik yang sesuai dengan keluhan. Contohnya hilangnya sensasi
sentuhan ringan pada tangan dan lengan, tapi tetap mampu mengenali benda dan
melakukan gerakan motorik halus (yang membutuhkan masukan sensorik yang
utuh), memberikan perkiraan bahwa pasien berpura-pura sakit atau somatisasi yang
berlebihan.

20

Tabel 2.3. Ringkasan anamnesis pada nyeri kronik


Karena pemeriksaan sistem motorik mungkin terbatas oleh karena nyeri,
penilaian kekuatan, gelondong otot, refleks, dan tonus otot harus dilakukan dengan
cermat karena hal tersebut dapat memberi petunjuk diagnostik yang bernilai.
Gangguan fungsi otonomik, seperti ketidakstabilan vasomotor, dapat dinilai
dengan membandingkan suhu kulit, keringat, perubahan rambut dan kuku di
anggota gerak. Ketidaknormalan ini mungkin merupakan tanda kerja simpatetik
berlebihan yang sedang berlangsung , terutama bila terlokalisir pada daerah nyeri.
Perubahan respon refleks mungkin salah satu tanda paling awal gangguan fungsi
sistem syaraf pusat (SSP), dan pemeriksaan refleks sering merupakan salah satu
bagian pemeriksaan paling obyektif pada pasien nyeri. Teknik-teknik evaluasi
standar ini perlu disertai dengan pemeriksaan fisik khusus (pemeriksaan provokasi)
untuk melakukan penilaian yang lebih tepat. Selanjutnya, pemeriksaan penunjang
dapat dilakukan sesuai dengan indikasi.

21

2.6.2. GAMBARAN KLINIS


The American Medical Association mendefinisikan dan menjabarkan
gambaran nyeri kronik sebagai berikut:
1. Durasi
Menurut literatur lama, istilah nyeri kronik dipakai untuk nyeri yang
berlangsung lebih dari 6 bulan, namun beberapa pendapat terbaru
menyatakan sindrom nyeri kronik dapat didiagnosis lebih awal, 2 sampai
4 minggu setelah onset nyeri. Evaluasi dan penatalaksanaan dini yang
tepat sangat penting.
2. Dramatisasi
Pasien dengan nyeri kronik memperlihatkan perilaku nyeri verbal dan
nonverbal yang tidak lazim. Kata-kata yang digunakan untuk
menggambarkan nyeri kronik penuh emosi, dibuat-buat, dan berlebihan.
Pasien memperlihatkan postur dan perilaku maladaptatif, merintih,
mengerang, terengah-engah atau meringis.
3. Dilema diagnostik
Pasien cenderung memiliki riwayat telah dievaluasi oleh banyak dokter
dan telah menjalani berbagai pemeriksaan penunjang, meskipun dengan
hasil klinis yang samar-samar, inkonsisten, dan tidak akurat.
4. Obat-obatan
Ketergantungan dan penyalahgunaan obat sering menyertai pasien nyeri
kronik. Pasien mendapat resep dan menkonsumsi secara berlebihan
berbagai macam obat.
5. Ketergantungan
Pasien menjadi tergantung terhadap dokter dan membutuhkan perawatan
yang berlebihan. Mereka menjadi tergantung terhadap pasangan hidup
dan keluarga, serta melepas tanggung sosialnya.
6. Depresi
Hasil tes psikologi menunjukkan depresi, hipokondriasis, dan histeria.
Pasien cenderung tidak bahagia, putus asa, ketakutan, mudah
tersinggung, atau bersikap bermusuhan.

22

7. Disuse
Imobilisasi yang berkepanjangan dan berlebihan menyebabkan nyeri
muskuloskeletal sekunder. Pemakaian splint dan imobilisasi yang tidak
tepat menyebabkan disfungsi muskuler dan deconditioning sehingga
memperburuk keluhan nyeri pasien.
8. Disfungsi
Pasien menjadi menarik diri dari lingkungan pergaulan, diberhentikan
dari pekerjaan, kehilangan aktivitas rekreasional, menjauhkan diri dari
teman dan keluarga, dan terisolasi. Hal tersebut menyebabkan pasien
mengalami masalah fisik, emosi, sosial, dan ekonomi.
Tabel 2.4 . Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

23

2.6.3. PENGUKURAN NYERI


Nyeri merupakan pengalaman sebyektif dan kompleks yang melibatkan
faktor sensori, emosi, psikologi, dan sosial. Saat ini nyeri dapat dimasukkan
sebagai tanda vital ke lima selain respiration rate, tekanan darah, heart rate, dan
suhu tubuh.
Nyeri dapat dinilai menggunakan berbagai alat ukur. Diantaranya dapat
dipakai Self assessment tools dimensi tunggal atau multidimensi. Apabila nyeri
yang diukur dengan sellf assessment tools tersebut tidak sesuai dengan hasil pemer
iksaan fisik, dianjurkan untuk menggunakan behavioral assessmnet. Pada anak
bayi, anak usia dibawah 3 tahun, pasien dengan gangguan kognitif dapan dipakai
skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolalility)
Alat ukur dimensi tunggal yang paling sering dipergunakan untuk evaluasi
nyeri diantaranya Visual Analogue Scale, Numerical Rating Scale, Wong Baker
Faces Scale.

1.

2.

3.
Gambar 2.9. 1. Visual Analogue Scale, 2. Numerical Rating Scale,
3.Wong Baker Faces Scale.

24

Salah satu alat ukur multidimensional adalah McGill Paint Questioner. Self
assessment tools ini yang mengukur berbagai aspek dari nyeri, yaitu sensori
diskriminasi (intensitas, lokasi durasi), dimensi afektif emosional, dan kognitif
evaluatif. Bagian pertama berisi penggambaran bagian depan dan belakang tubuh
manusia yang mendeskripsikan nyeri. Bagian kedua berisi enam kata deskripsi
verbal yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri. Bagian terakhir dari
kwesioner ini menggunakan 20 subkelas pengelompokan sifat nyeri yang
menggambarkan tiga dimensi nyeri yaitu sensori (misalnya tajam, tumpul, lokasi),
afektif (misalnya melelahkan, mengganggu) dan evaluatif.
Alat ukur behavioral menilai masalah sosial, psikologikal (penyimpangan
perilaku, sikap, gaya hidup, kemampuan fungsional tersebut merupakan masalah
fisikal atau psikologikal), pengertian dan penerimaan terhadap situasi yang
dialami, tanda-tanda depresi (iritabel, loyo, kurang konsentrasi, penurunan hasrat),
dan status emosional dan kepribadian premorbid.
Beberapa alat ukur psikobehavioral diantaranya adalah skala status
fungsional (contoh: Sicknes Impact Profil) dan tes psikologi umum (contoh:
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)), Milon Behavioral Health
Inventory (MBHI) dan Zung Depresi Scale).

BAB III
MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF PADA LANSIA
3.1

Nyeri Nosiseptik Pada Manula

Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri Nosiseptik Pada Manula

25

Faktor yang menentukan perbedaan rasa nyeri pada manula dan usia muda
adalah faktor sosial, fungsi kognisi, dan perubahan fisiologi nyeri. Kelompok
manula memiliki kecenderungan untuk tidak mengeluhkan rasa nyeri yang dialami.
Hal ini dapat disebabkan karena anggapan bahwa nyeri yang dialami adalah
konsekuensi dari proses penuaan atau karena rasa takut terhadap konsekuensi nyeri
itu sendiri. Beberapa manula tidak mau menyampaikan keluhan nyeri karena takut
keluhan tersebut menunjukkan tanda penyakit serius seperti kanker. Mereka
beranggapan bahwa ketika mereka tidak mengeluhkan rasa nyeri tersebut maka
mereka tidak akan mendapatkan penyakit kanker tersebut. Keadaan ini membuat
tenaga kesehatan harus serius menghadapi keluhan nyeri pada manula. 11
Penurunan fungsi kognitif pada manula menyebabkan kelompok manula lebih sulit
untuk melaporkan lokasi serta intensitas rasa nyeri yang dialami.
Perubahan Fisiologi Nyeri Nosiseptik Pada Manula
Keluhan nyeri yang sering terjadi pada manula bukan merupakan satu
konsekuensi dari proses penuaan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait
dengan perubahan respon nyeri dengan pertambahan usia menunjukkan hasil yang
berbeda. Sebuah penelitian dengan menggunakan stimulasi listrik dan tooth shock
menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan nyeri pada manula.
Penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda yaitu terjadi perubahan reseptor
nyeri pada manula. Perubahan struktur tersebut diduga menjadi penyebab
presbialgos (ambang nyeri yang meningkat) pada manula. Lewis (2008)
menyatakan bahwa reseptor untuk nyeri tidak mengalami perubahan sehingga
sensasi nyeri tidak berubah dengan pertambahan usia.21 Pernyataan tersebut
didukung oleh berbagai penelitian psikofisik yang menginduksi nyeri dengan
menggunakan panas, elektrik, dan tekanan mekanik.
Pada berbagai penelitian tersebut dilakukan penilaian terhadap ambang nyeri,
reaksi dan toleransi

terhadap rangsangan nyeri yang diberikan berdasarkan

kelompok usia, hasil penelitian terdahulu menujukkan bahwa pertambahan usia


tidak berhubungan dengan perubahan spesifik terhadap nyeri. Hasil penelitian

26

tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang menujukkan bahwa
usia mempengaruhi berbagai perubahan dan respon terhadap nyeri.
Berdasarkan hasil pengkajian anatomi terbukti bahwa nosiseptor akan
mengalami perubahan struktur seiring dengan pertambahan usia. Usia berhubungan
dengan penurunan respon nosiseptor dan serabut C terhadap rangsangan kimiawi.
Penuaan juga disertai perubahan struktur morfologi, sifat elektrofisiologi, serta
neurokimia dari sistem sensorik. Pertambahan usia juga menyebabkan penurunan
sensasi sentuhan dan getar yang berfungsi sebagai oposisi terhadap rangsangan
nosiseptor.
Perubahan Transmisi Nyeri pada Manula
Pada orang lanjut usia terjadi berbagai perubahan struktur dan fungsi sistem
saraf perifer yang berperan pada jalur nyeri. Penyakit lain yang diderita oleh
kelompok manula juga dapat menyebabkan perubahan transmisi nyeri. Terdapat
bukti dengan menggunakan binatang coba bahwa firing rate dari serabut afferent
meningkat dengan bertambahnya usia. Selain itu, produksi enkephalin yang
menurun pada usia tua menyebabkan rasa nyeri cenderung menjadi kronik.
Perubahan Persepsi Nyeri pada Manula
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan hubungan antara
proses penuaan dengan perubahan persepsi dan ambang nyeri. Hasil penelitian
tersebut bervariasi, tetapi sebagian besar menunjukkan hubungan proses penuaan
dengan penurunan sensitifitas terhadap nyeri, akan tetapi belum dapat dijelaskan
dengan detail secara laboratorik. Deaktifasi sistem inhibisi nyeri desenden
dilakukan oleh enzim monoamine oksidase (MAO).
Pada usia manula terjadi peningkatan kadar MAO. Hal ini menyebabkan
peningkatan persepsi nyeri dan kelainan afeksi seperti depresi atau mania pada
manula. Pada manula terjadi penurunan kadar endorphin dan enkephalin serta
reseptor opioid endogen yang berfungsi sebagai penghambat nyeri. Fungsi sistem
inhibisi desenden tidak berfungsi pada manula yang mengalami gangguan fungsi

27

kognisi.3 Beberapa area di otak yang bertanggung jawab pada persepsi nyeri juga
mengalami perubahan seiring dengan penuaan.
Pertambahan usia diyakini mempengaruhi pengalaman nyeri dari
seseorang yang dapat mempengaruhi sensitifitas terhadap rangsangan nyeri.
Beberapa perubahan yang berkaitan dengan usia dalam hal persepsi nyeri terdapat
pada tabel 3.1 berikut:

Tabel 3.1 Perubahan yang berhubungan dengan usia dalam persepsi nyeri
3.2 MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita
sebagai individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010).
Perawatan ini diperlukan bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi HIV AIDS. Sejak penyakit

28

tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut bahkan hingga
hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch dan Schipper,
1996).
World Health Organization (WHO) memberi batasan perawatan paliatif
sebagai perawatan total dan aktif pada penderita dengan penyakit yang tidak
responsif terhadap pengobatan atau kuratif. Perawatan terutama dalam kontrol
nyeri dan keluhan yang lain, masalah psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan
perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas hidup terbaik yang memungkinkan
bagi penderita dan keluarga (Johnston B, 2005; Tulaar 2012; Cheville, 2010). Pada
tahun 2002, WHO memberikan batasan baru untuk perawatan paliatif sebagai
suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita dan keluarga yang
menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara identifikasi dini dan
asesmen serta tatalaksana yang tepat untuk nyeri dan masalah lain, baik fisik,
psikososial dan spiritual (WHO, 2012).
3.2.1 FARMAKOTERAPI
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga
merupakan suatu nyeri neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien
mencapai derajat analgesia yang memuaskan dengan pemberian antidepresan.
Penggunaan obat opioid dalam jangka lama bukanlah jalan keluar yang terbaik
untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.

Konsep analgesia multimodal merupakan pendekatan farmakologi dengan


menggunakan dosis kecil dari beberapa obat berbeda yang saling bersinergi untuk
mencapai perbaikan derajat nyeri yang maksimal dengan efek samping yang
minimal dengan memperhatikan interaksi antar obat dan kondisi pasien.
Dalam penatalaksanaan nyeri nosiseptif dikenal beberapa golongan obat,
antara lain golongan non opioid analgetik dan opioid. WHO membuat suatu acuan
untuk pemakaian obat-obatan yang rasional sesuai dengan derajat nyeri yang

29

dirasakan. Pemakaian pedoman ini terutama untuk menangani masalah nyeri


nosiseptif.
Tabl 3.2 . Penggunaan analgetik menurut tahapan analgetik WHO

Seseorang dicurigai menderita nyeri neuropatik ketika nyeri dikeluhkan


sebagai terbakar, tertembak, tertusuk-tusuk, tajam, diris-iris, atau sensasi yang
aneh. Pada pemeriksaan fisik kadang tidak ditemukan kerusakan jaringan yang
nyata. Analgesik konvensional sering tidak efektif untuk mengatasi nyeri
neuropatik. Obat yang digunakan untuk mengatasi nyeri neuropatik disebut
analgetik adjuvant karena indikasi utama obat ini adalah bukan untuk nyeri
(antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi).

NON OPIOID ANALGESIK


Obat golongan ini umumnya digunakan sebagai analgesia nyeri dengan
derajat ringan sampai sedang. Obat-obatan ini memiliki ceiling effect, yaitu suatu
keadaan/dosis dimana peningkatan dosis lebih lanjut tidak akan lagi menambah
efek analgesianya. Berdasarkan susunan kimiawinya, analgesia golongan ini terdiri
dari salicylates (asam asetilsalisilat), anthranilates (asam mafenamat), arylacetic
acids (diclofenac, indometasin), arylpropionic acids (ibuprofen, ketorolac),

30

pyrazolinone (metamizole), paraamino phenol (paracetamol), acidic enolic


compounds (piroxicam, meloxicam), dan coxib (celexocib)
Paracetamol
Paracetamol mempunyai sifat analgesia dan antipiretik. Obat ini bekerja
secara sentral di hipothalamus, namun mekanisme kerja dari obat ini belum jelas
sepenuhnya. Obat ini mungkin mempunyai aksi pada sistem serotoninergik dan di
perifer berpengaruh pada kemoreseptor yang sensitif terhadap bradikinin. Dosis
lazim 15 mg/kgbb 4 gram/hari peroral atau intravena. Berdasarkan evidence
base, paracetamol efektif pada nyeri kronik, terutama kasus osteoarthritis.
Hepatotoksik merupakan efek samping dari paracetamol, oleh karena itu perlu
kewaspadaan dan penurunan dosis pada pasien dewasa bertubuh kurus, anak-anak,
dan pemakaian bersama alkohol.
NONSTEROIDAL ANTI INFLAMAMTORY DRUGS (NSAIDs)
Golongan obat analgetik ini juga bekerja sebagai antipiretik dan anti
inflamasi dengan menghambat enzim Cyclooxygenase (COX) yang diperlukan
dalam sintesa prostaglandin dan tromboxan. Nyeri yang berasal dari proses
inflamasi memberikan respon yang baik terhadap obat anti inflamasi. Terdapat 2
COX isoform yaitu COX1 dan COX2. NSAIDs tradisional merupakan inhibitor
non selektif COX1 dan COX2 (contoh: diclofenac, indometasin, ibuprofen,
ketorolac, piroxicam), sedangkan generasi yang baru merupakan inhibitor selektif
COX2 (contoh: meloxicam, coxib).

Induksi sentral COX secara luas mengakibatkan hilangnya gairah, selera


makan, nyeri yang dirasakan di seluruh tubuh, perubahan mood, dan gangguan
siklus tidur, oleh karenanya pemberian nonsteroidal anti inflamamtory drugs
(NSAIDs) dapat memberikan manfaat yang memuaskan untuk keadaan tersebut.
Namun demikian, pasien yang mendapatkan terapi jangka panjang dengan obat
golongan ini harus dimonitor mengenai efek samping obat, antara lain berupa
pendarahan gastrointestinal, komplikasi kardiovaskuler, dan ginjal.

31

OPIOID
Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun natural yang
mempunyai aksi kerja pada reseptor opioid di sistem saraf sentral maupun perifer.
Opioid dapat dibedakan menjadi :
-

Opiat: derivat obat dari alkaloid tumbuhan opium, contohnya morfin

Opioid endogen: opioid dalam tubuh manusia, contohnya endorfin

Opioid semi sintetik: contohnya oxycodone

Opioid full sintetik: contohnya fentanyl

Aksi analgetik dari opioid terjadi terutama pada reseptor mu (), namun pada
derajat yang berbeda juga terjadi pada reseptor kappa (k) dan delta (). Golongan
ini bekerja dengan memperkuat jalur analgesia endorfin intrinsik, namun obat ini
juga

berdampak

pada

jalur

dopaminergik

mesolimbik,

sehingga

dapat

menimbulkan ketergantungan.
Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri dengan derajat
sedang sampai berat, dan pasien harus diingatkan mengenai efek samping obat,
khususnya ketika direncanakan akan digunakan dalam jangka panjang. Opioid
dimulai dengan dosis kecil peroral, kemudian dinaikkan sampai mencapai
analgesia yang diinginkan.
Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi, mual, drowsiness,
pruritus, dan depresi pernafasan. Pemberian opioid yang berkepanjangan dapat
menyebabkan imunosupresi, melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal,
yang mengganggu fungsi limfosit.
Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi gonadotrofin dan testosteron
sehingga menimbulkan masalah disfungsi seksual dan keseimbangan mood.
Walaupun jarang, opioid dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan
dosis akan memperberat keluhan nyeri.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid diantaranya
adalah:
-

Opioid hanya diberikan jika modalitas analgetika yang lainnya gagal

32

Riwayat penyalahgunaan obat, kepribadian patologis, kondisi rumah dan


lingkugan yang tidak mendukung harus dipertimbangkan sebagai kontra
indikasi relatif

Persetujuan dan edukasi pasien mengenai

resiko ketergantungan,

penyimpangan kognitif yang mungkin terjadi, dan efek samping.


-

Penggunaan opioid yang bertanggung jawab, baik peresepan, cara pakai,


dosis, dan pengawasannya.

ANALGETIK ADJUVANT
Analgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi primernya bukan
untuk mengatasi nyeri namun memberikan efek analgesia pada kondisi nyeri
tertentu. Analgesik adjuvant diberikan pada pasien dengan tujuan
-

mengelola nyeri yang sukar disembuhkan dengan analgesik lain

untuk menurunkan dosis analgesik lain saat dipakai bersama dengan


analgesik adjuvant sehingga dapat mengurangi efek samping

secara bersamaan mengelola keluhan selain nyeri.

Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant memberikan hasil yang
memuaskan sehingga dipakai sebagai obat lini pertama.
Antidepresan
Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada nyeri
neuropatik karena keefektifannya. Satu dari tiga pasien mengalami perbaikan
derajat nyeri lebih dari 50%.
Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada malam hari) dan bertahap
ditingkatkan (sampai dengan 100 mg) sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien
lanjut usia harus digunakan dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat,
antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien harus diberi penjelasan mengenai
efek samping obat yang mungkin timbul dan onset analgesia yang diharapkan baru
dapat dirasakan dalam beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa pemberian
obat golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami gangguan
jiwa.

33

Antikonvulsan
Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak dapat mentolerir
antidepresi trisiklik, direkomendasikan untuk memakai obat alternatif dengan
menambahkan

analgetik

opioid

bersama

antidepresi

trisiklik

atau

menggantikannya dengan memulai terapi antikonvulsan berupa carbamazepine,


fenintoin, atau gabapentin.
Gabapentin dapat menjadi pilihan utama karena efek samping sedasi dan
confusion lebih rendah.
Antikonvulsan memberikan efek analgesia dengan menstabilkan
membran neuron pada sistem saraf pusat dan perifer. Beberapa antikonvulsan
dilaporkan dapat meningkatkan GABA (Gamma Amino Butyric Acid) di sistem
saraf pusat. Analgetik ini dipertimbangkan dapat diberikan lebih awal pada nyeri
neuropatik yang bersifat seperti diris-menusuk (lancinating) dan nyeri hebat
(paroxysmal).

34

Tabel 3.3. Antidepresan dan antikonvulsan dalam manajemen nyeri kronik


Anksiolitik dan sedative
Benzodiazepin adalah depresan pada sistem saraf pusat dengan diduga
mempunyai efek potensiasi GABA. Beberapa peneliti tidak menyarankan
pemakaian benzodiazepine dalam jangka panjang karena kemungkinan terjadi
penyalahgunaan obat dan penurunan kapasitas fungsional.
Pemakaian berkepanjangan berdampak buruk pada perilaku (menjadi pemarah dan
bermusuhan).
Diazepam dapat diberikan peroral 2-10 mg perhari. Clonazepam 0,5-1 mg
maksimal 20 mg/hari dan Alprazolam 0,25-0,5 mg maksimal 4 mg/hari.

35

Gambar 3.3. Skema tatalaksana famakoterapi pada nyeri kronik

36

Antispastisitas
Baclofen bekerja sebagai agonis pada reseptor GABA. Baclofen juga
mempunyai aksi presinaps dengan menurunkan pelepasan transmitter yang
mengeksitasi nyeri (mungkin termasuk substansia P) dari akhiran saraf aferen.
Obat ini efektif pada kasus neuralgia trigeminal, sindroma nyeri miofascial, dan
nyeri bersifat lancinating dan paroksismal yang disertai spasme otot. Dosis dimulai
5 mg 3 kali sehari. Efek samping obat ini berupa mual, confusio, drawsiness,
dizziness, dan hipotensi. Baclofen tidak dianjurkan untuk dihentikan secara
mendadak karena dapat menimbulkan kejang dan halusinasi.
Steroid
Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi mediator
inflamasi di jaringan, dan menurunkan letupan pada saraf yang cidera. Pada
neoplasma tertentu yang peka terhadap steroid, obat ini mengurangi odem para
tumor, memperkecil ukuran tumor, dan menurunkan tekanan terhadap jaringan
sekitar. Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason, prednison, dan
metilprednisolon.
Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek samping berupa
sindroma cushing, pemambahan berat badan, hipertensi, osteoporosis, miopati,
peningkatan resiko infeksi, hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis
kaput femur.
Analgetik Topikal
Analgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik yang disebabkan
kelainan saraf perifer dan disestesia berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang
minimal bermanfaat pada pasien lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan
mentolerir efek samping obat sistemik. Beberapa obat dari golongan ini diantaranya
krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang mengandung NSAIDs (aspirin,
diklofenak, dan indomethasin).

37

Anestesi lokal
Anestesi lokal bekerja dengan menstabilkan membran neuron, memblok
depolarisasi potensial aksi, dan mesupresi aktifitas listrik abnormal yang
ditimbulkan sel saraf. Semua jenis anestesia lokal tidak dapat diberikan pada
penderita gagal jantung berat dan aritmia. Sediaan golongan ini diantaranya
lidokain dan prokain parenteral maupun sediaan topikal.
Antihipertensi
Clonidine adalah agonis 2 adrenergik dan 1 adrenergik bloker yang dapat
bermanfaat pada bermacam-macam sindroma nyeri neuropatik, migrain, nyeri
paska operasi, nyeri hebat pada neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri
tungkai nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi kerja obat ini berhubungan dengan
inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior medula spinalis. Clonidine
merupakan lini ke dua pada penanganan nyeri kronik, setelah NSAIDs,
antidepresan, atau obat lain gagal.
Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga menyebabkan
vasodilatasi. Obat ini dapat dipakai pada kasus causalgia dan sindroma Raynauds.
Nifedipine diberikan peroral 10-30 mg tiga kali perhari.
Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam penatalaksanaan nyeri
kronik antara lain propranolol, reserpine, phenoxybenzamine, dan prazosin.
3.2.2 REHABILITASI MEDIK DALAM PERAWATAN PALIATIF
3.2.2.1 Managemen Keluhan
Keluhan penderita merupakan suatu proses yang dinamik dengan
intensitas,

kualitas,

frekuensi

dan

derajat

stress

yang

bervariasi.

Penatalaksanaan keluhan tersebut didasarkan pada diagnosis dan riwayat


pengobatan sebelumnya. Beberapa gejala sering ditemukan pada penderita
kanker, terutama stadium lanjut. Kegagalan dalam mendeteksi keluhan tersebut
akan mengganggu upaya rehabilitasi (Twycross, 1996; Olson dan Cristian,
2005; Tulaar, 2012).
Nyeri

38

Tujuan utama pendekatan rehabilitasi dalam penatalaksanaan nyeri kronik


adalah untuk mengurangi nyeri dan mengembalikan kapasitas fungsional
seseorang. Seorang fisiatris memegang peran yang sangat penting dalam menilai,
memanajemen nyeri kronik, dan memimpin tim rehabilitasi. Secara lebih terperinci
goal penatalaksanaan dalam manajemen nyeri kronik adalah sebagai berikut:
1. memelihara dan memaksimalkan fungsi dan aktifitas fisik
2. mengurangi penyalahgunaan dan ketergantungan akibat obat-obatan,
prosedur invasif, dan modalitas pasif lainnya, serta membantu pasien
menjadi lebih aktif dalam menolong dirinya sendiri.
3. mengembalikan derajat aktifitas seperti semula baik di rumah, di tempat
kerja, dan dalam pemanfaatan waktu luang.
4. Menurunkan intensitas nyeri subyektif dan perilaku maladaptasi terhadap
nyeri.
5. Membantu pasien dalam menyelesaikan masalah kerja yang berkaitan
dengan kondisi nyeri.

Gambar 3.4. Pendekatan biopsikososial pada nyeri kronik

Pendekatan biopsikososial merupakan suatu metode penatalaksanaan yang


terbaik. Hal ini didasari bahwa nyeri kronik bukan hanya merupakan masalah

39

anatomis saja akan tetapi pengalaman nyeri juga melibatkan faktor psikologis dan
dipengaruhi lingkungan sosial
TERAPI FISIK
Fisioterapis menggunakan terapi latihan aktif maupun pasif, teknik manual,
traksi, dan modalitas fisik untuk menangani masalah nyeri dan hubungannya
dengan fleksibilitas, kekuatan, endurance, keseimbangan, kontrol neuromuskuler,
postur, serta mobilitas. Terapi fisik dapat membantu membangun kepercayaan diri
pasien, mengurangi ketakutan untuk bergerak dan kekawatiran terhadap cedera
ulang,
Modalitas adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan
respon terapi pada jaringan. Modalitas tersebut antara lain pemakaian panas,
dingin, air, suara, daya listrik, gelombang elektromagnetik (termasuk sinar infra
merah, sinar tampak; shortwave; dan microwave), traksi, manipulasi, dan massage.
Modalitas-modalitas tersebut umumnya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan
sebagai intervensi kuratif primer tunggal dalam penatalaksanaan nyeri kronik.
Pemilihan modalitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan mempunyai
pemahaman mengenai modalitas akan membuat kita dapat membuat pemilihan
yang tepat. Bentuk tubuh mempengaruhi pemilihan modalitas karena jaringan
adiposa subkutan berdampak pada dalamnya penetrasi pada banyak modalitas.
Kondisi komorbid juga sebaiknya dipertimbangkan. Sebagai contoh, baik dingin
maupun panas dapat mengakibatkan efek yang buruk terhadap pasien yang
mengalami insufisiensi arterial yang signifikan. Dingin dapat mengakibatkan efek
yang buruk melalui vasokonstriksi arterial, dan panas dapat menyebabkan
komplikasi melalui peningkatan aktivitas metabolik, yang dapat melampaui
peningkatan potensial pada aliran darah dan menghasilkan iskemia. Umur juga
menjadi faktor dalam pemilihan modalitas.

40

Pada populasi pediatrik, umumnya ultra sonik (US) sebaiknya tidak mendekati
epifise yang masih terbuka. Pada populasi orang lanjut usia, bisa terdapat
komorbiditas yang akan mempengaruhi pemilihan modalitas. Jenis kelamin
juga berperan dalam penggunaan modalitas, karena malformasi janin telah
dilaporkan setelah penggunaan ultra sonik di dekat uterus gravid.
Modalitas Thermal
Bentuk modalitas panas dapat diklasifikasikan menurut kedalaman
penetrasi dan bentuk transfer panas. Kedalaman penetrasi dibagi menjadi
superfisial dan dalam. Panas superfisial meliputi hot packs, heating pads, paraffin
baths, Fluidotherapy, whirlpool baths, dan radiant heat. Agen pemanas dalam
(atau diatermi) meliputi US, shortwave, dan microwave. Mekanisme transfer panas
terdiri dari konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi, dan konversi.
Konduksi adalah penghantaran energi panas antara dua benda dengan kontak
langsung. Konveksi menggunakan gerakan suatu medium (seperti, air, udara,
darah) untuk menghantarkan energi panas, meskipun transfer yang sebenarnya dari
energi panas tetap dilakukan melalui konduksi. Radiasi adalah radiasi panas yang
dipancarkan dari semua benda yang mempunyai suhu permukaan di atas nol
absolut (-273,15C atau 459,67F). Evaporasi melibatkan perubahan bentuk dari
cair menjadi gas, proses yang memerlukan energi panas. Evaporasi sebenarnya
merupakan proses penguapan panas, dan berperan pada modalitas pendingin
seperti vapocoolant sprays. Konversi adalah transformasi energi (seperti, suara,
elektromagnetik) menjadi panas.
Berbagai kondisi yang yang menyebabkan modalitas panas tidak dapat
diberikan adalah diatesis perdarahan, edema akut, jaringan parut yang besar,
gangguan sensasi, keganasan, infeksi, penurunan kognisi atau komunikasi dimana
pelaporan rasa nyeri tidak dapat diberikan
Modalitas dingin pada nyeri kronis diberikan pada kasus nyeri yang
berkaitan dengan spastisitas. Pengaruh terapi dingin pada spastisitas berhubungan
dengan menurunnya aktivitas gamma motor neuron dan selanjutnya berkurangnya
aktivitas serabut aferen serta meningkatnya aktivitas organ tendon golgi.

41

Aplikasi selama 10-30 menit atau lebih lama dapat menurunkan klonus dan tahanan
terhadap regangan pasif.
Hidroterapi
Hidroterapi adalah penggunaan air secara eksternal untuk tatalaksana
disfungsi fisik. Efek terapi didapatkan dengan memanfaatkan sifat air berupa daya
apung, densitas relatif, dan viskositas, suhu, dan agitasi. Daya apung akan
membentuk latihan asistif (saat dilakukan gerakan mengarah ke permukaan air),
dan latihan resistif (saat terjadi gerakan menjauhi permukaan air). Tekanan
hidrostatik membantu sirkulasi dan menurunkan tendensi penumpukan darah pada
bagian bawah tubuh. Densitas relatif memberikan dukungan pada tubuh atau
tungkai dan lengan, sehingga menurunkan stress pada sendi yang menopang berat
badan tubuh. Viskositas air yang rendah, akan membentuk friksi dengan gerakan
berkecepatan rendah. Semakin meningkat kecepatannya, semakin meningkat pula
turbulensi (tekanan positif) dan gaya tarik-menariknya (tekanan negatif). Jika
terdapat friksi yang lebih besar, maka akan membuat gerakan semakin sulit.
Efek termal dari hidroterapi sama dengan efek termal pada aplikasi terapi panas
dan dingin lokal, kecuali efek yang lebih sistemik karena imersi permukaan tubuh
yang lebih luas. Terapi dingin dapat menurunkan detak jantung dan dapat
meningkatkan tekanan darah melalui vasokontriksi perifer. Efek panas dari
hidroterapi dapat menurunkan tekanan darah karena kecendrungan terjadinya
vasodilatasi. Laju nafas dapat meningkat baik oleh terapi panas maupun dingin.
Metode transfer panas ataupun dingin adalah dengan konduksi dan konveksi.
Efek nontermal dari hidroterapi dapat dicapai melalui air yang dipompakan
dari turbin, yang akan mengagitasi air dan membentuk pola masase dan
debridement. Efek fisiologis dari agitasi air ini antara lain adalah meredakan nyeri
dan spasme otot (melalui stimulasi mekanik dari reseptor kulit, yang akan beraksi
sebagai alat atau sebagai stimulasi terhadap syaraf afferent sensoris yang luas,
sehingga akan memblok input nyeri), debridement mekanik, dan memfasilitasi
latihan. Jika hanya menghendaki efek mekanik dari hidroterapi, maka air yang
dibuat pada suhu netral (33-36C) akan diterima dengan baik.

42

Indikasi dari hidroterapi antara lain adalah pada tatalaksana luka dan luka bakar,
mobilisasi otot, setelah gips dilepas, rheumatoid arthritis, dan spasme otot.
Kontraindikasi dan preukasi umum sama dengan terapi panas dan dingin, kecuali
hidroterapi dapat digunakan pada kulit luka terbuka dan terinfeksi selama tong
tempat penyimpanan air disterilisasi.
Laser dingin tenaga rendah (low-power cold laser)
LASER adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission
of Radiation (amplifikasi cahaya yang distimulasi oleh emisi radiasi). Laser dapat
mengeluarkan photon (partikel-partikel energi dari cahaya) yang dapat berinteraksi
dengan molekul biologis untuk menghasilkan reaksi termal atau kimiawi di dalam
tubuh yang diinduksi oleh cahaya. Pada rehabilitasi medis, cold laser yang sering
dipakai dihasilkan oleh gas helium-neon (Laser He-Ne) atau dari semikonduktor
gallium-arsenit (Laser Ga-As).
Efek fisilogis dari cold laser adalah memfasilitasi penyembuhan luka atau
ulkus dengan menstimulasi fibroblast; meningkatkan kekuatan penutupan luka
yang diterapi laser, meningkatkan fagositosis limfosit dengan efek bakterisidal;
meningkatkan akivitas limfosit T dan B; mereduksi edema dengan menurunkan
prostaglandin E2 (PG E2); mereduksi formasi jaringan parut dengan mendorong
terjadinya epitelisasi dengan sedikit materi eksudat dan memperbanyak
pembentukan jaringan kolagen yang teratur; mengurangi nyeri dengan menurunkan
amplitudo potensial aksi dan menurunkan velositas konduksi sensoris; dan
mendorong penyembuhan luka dengan mendorong remodeling kartilago artikuler
dan tulang.
Kontraindikasinya adalah jaringan kanker, stimulasi secara lansung ke
mata (dapat menyebabkan retina terbakar), dan kehamilan pada trimester pertama.
Dosis yang biasa dipakai adalah 0.5-3 J/cm2 untuk kondisi-kondisi yang kronik
sebanyak 3-6 kali tindakan.

43

Elektroterapi
Adalah terapi yang menggunakan arus listrik untuk menstimulasi syaraf
atau otot atau keduanya secara transkutaneus menggunakan elektroda-elektroda
permukaan. Efek fisiologisnya adalah kontraksi kelompok otot yang dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi, melatih otot, meningkatkan kekuatan otot;
meningkatkan sirkulasi dengan meredakan nyeri dan spasme otot melalui efek
pompa otot, mengalirkan polipeptida dan neurotransmitter (seperti -endorphin,
dopamine, enkefalin, polipeptida vaoaktif intestinal, dan serotonin), menghambat
serabut-serabut nyeri melalui serabut syaraf perifer besar tipe A (teori gate
controldan teori central biasing), penyembuhan luka dan osteogenesis (melalui
remodeling dan regenerasi jaringan), dan untuk menghantarkan ion-ion medikasi
melalui kulit (ionthoporesis).
Indikasi klinisnya adalah tatalaksana nyeri kronik, nyeri neurogenik kronik,
dan nyeri sistemik luas), tatalaksana efusi sendi dan edema intersisial (akut dan
kronik), menangani spasme otot, disuse atropi otot, ulkus kulit dan luka; dan
gangguan sirkulasi (insufisiensi vena, gangguan neurovaskuler).
Kontraindikasi umumnya adalah kerusakan sirkulasi (seperti thrombosis
vena atau arteri dan thrombophlebitis), stimulasi pada sinus karotikus, stimulasi
pada area jantung (terutama pasien yang menggunakan pacemakers), kehamilan,
gangguan kejang, fraktur yang baru, perdarahan aktif, dan keganasan. Pemakaian
harus hat-hati karena dapat menyebabkan luka bakar dan tidak boleh digunakan
pada kulit dengan penurunan sensasi.
Traksi tulang belakang
Adalah usaha menarik dengan kekuatan tertentu, yang digunakan pada
vertebra cervical atau lumbal, untuk menghasilkan efek-efek berikut ini: distraksi
sendi vertebrae; mencegah dan menghilangkan adhesi disepanjang dural sleeves,
akar saraf, dan struktur kapsul disekitarnya; mereduksi kompresi dan iritasi pada
akar saraf dan diskus; meningkatkan sirkulasi disepanjang ruang epidural dari
foramen akar saraf; mereduksi nyeri, inflamasi, dan spasme otot. Indikasi klinis
yang paling sering dari traksi tulang belakang adalah untuk meredakan nyeri dan
herniasi diskus, dengan atau tanpa komplikasi kompresi akar saraf.

44

Traksi cervical atau lumbal merupakan kontraindikasi bagi spondilitis


myelopati, keganasan (lesi litik), osteopenia, infeksi tulang belakang (discitis dan
TB), cedera jaringan lunak akut, deformitas vertebra kongenital, hipertensi atau
penyakit kardiovaskuler, dan pada pasien yang tegang dan tidak dapat rileks.
Kontraindikasi lain untuk traksi cervical adalah instabilitas ligament cervical
(contohnya pada rheumatoid arthritis, Down syndrome, atau pasien dengan
hipermobilitas sendi), subluksasi axial dengan penekanan pada medula spinalis,
insufisiensi arteri vertebrobasiler, aterosklerosis arteri karotis atau arteri
vertebralis, dan whiplash injury akut. Kondisi-kondisi tersebut biasanya terlihat
pada pasien lanjut usia, sehingga traksi tulang belakang harus digunakan dengan
pengawasan ketat pada lansia. Pada traksi lumbal, kontraindikasi lainnya (yang
mengarah pada pengunaan harness dada atau perut) termasuk kehamilan, kompresi
cauda equina, aneurisma aorta, ulkus peptida aktif, hiatus hernia, dan hernia-hernia
lainnya, dan penyakit paru restriktif atau gangguan pernafasan lainnya.
Parameter-parameter yang perlu diperhatikan adalah posisi traksi, berat
beban yang hendak digunakan, durasi, dan pemberian kontiyu, atau intermittent.
Yang paling penting, pasien harus merasa nyaman dan traksi tersebut tidak boleh
menyebabkan nyeri yang lebih jelek dari sebelumnya.
Traksi tulang belakang biasanya digunakan dalam konjuksi dengan
modalitas lain, seperti relakasasi, contohnya masase dan pemanasan. Pasien-pasien
yang menerima traksi harus diberikan latihan-latihan reedukasi postural untuk
mempertahankan efek dari traksi. Jika gejala yang dirasakan pasien memburuk
atau tidak ada peningkatan penyembuhan setelah dilakukan traksi dalam 6-8 sesi,
traksi tidak boleh dilanjutkan.
Terapi Latihan
Terapi latihan adalah aktifitas fisik, sikap tubuh, atau pergerakan tubuh secara
menyeluruh yang dilakukan secara sistematik dan terencana dengan tujuan untuk:
1. mencegah atau memperbaiki impairment
2. meningkatkan, mengembalikan, atau memperbaiki fungsi tubuh

45

3. mencegah atau menurunkan faktor resiko suatu penyakit, meningkatkan


kebugaran, status kesehatan secara menyeluruh baik fisik maupun mental.
Latihan mobilitas diberikan untuk memelihara atau mengembalikan
mobilitas dari jaringan lunak (otot, jaringan ikat, dan kulit) dan sendi sehingga
pasien dapat melakukan aktivitas normal. Latihan ini dapt dilakukan secara pasif,
aktif, atau akrif assisted.
Latihan mobilitas diberikan kepada penderita nyeri dengan tujuan :

Mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks.

Membantu gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah.

Memelihara atau memperluas rentang gerak sendi.

Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan lentur
dapat menahan beban lebih baik daripada otot yang kuat tapi kaku)

Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis,
berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena
peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas. Latihan ini
merupakan cara untuk memberi tahu otot bahwa sebentar lagi akan
digunakan.

Membantu

mempertahankan

tingkat

kelenturan,

sehingga

dengan

berjalannya waktu, penderita tidak akan menjadi semakin kaku.


Latihan endurance merupakan latihan yang bertujuan untuk meningkatkan
pemakaian energi dalam otot. Latihan endurance bermanfaat untuk meningkatkan
kemampuan seseorang untuk melakukan aktifitas sehari-hari yang berulang dan
berkepanjangan, serta mencegah dan memperbaiki deconditioning. Gerakan latihan
harus melibatkan kelompok otot-otot besar, dilakukan dengan repitisi yang tinggi
dan beban ringan. Latihan endurance diberikan dengan frekuensi seminggu 3-5 kali
dengan lama latihan 30 menit dengan intensitas 60-80% dari denyut jantung.

46

Gambar 3.5. Manfaat dari latihan aerobik


Pada keadaan nyeri kronik yang berhubungan dengan kelemahan otot,
latihan penguatan dapat diberikan. Latihan penguatan dapat berupa latihan
isotonik, isometrik maupun isokinetik. Latihan penguatan dilakukan dengan
prinsip overload, yaitu beban yang diberikan saat latihan harus melebihi beban
yang dapat menyebabkan kelelahan otot.
Manipulasi
Manipulasi adalah suatu tindakan pasif, gerakan mekanis yang dilakukan
pada sendi tertentu atau pada suatu segmen sendi, untuk mengembalikan lingkup
gerak atau ekstensibilitasnya, dan untuk mengurangi nyeri
Hipotesis yang menerangkan mekanisme manipulasi dalam meredakan nyeri
diantaranya relaksasi mekanis atau relaksasi refleks dari jaringan lunak yang
mengarah pada pemulihan dari lingkup gerak vertebrae, menormalisasi penonjolan
diskus dengan kekuatan menghisap yang diciptakannya atau dengan stretching
ligamentum longitudinal posterior, yang akan mendorong material diskus secara
anterior, menjauhi stuktur-struktur yang peka nyeri, dan mengubah input
proprioseptik yang menuju ke medula spinalis, sehingga menyebabkan pintu
nyeri tertutup.

47

Masase
Merupakan stimulasi sistematik dan mekanis dari jaringan lunak pada
tubuh dengan memberikan tekanan ritmik dan stretching untuk tujuan terapeutik.
Efek fisiologis dari masase dapat berupa efek mekanis (yaitu peningkatan arus
balik vena / venous return dan drainase limfatik, penglepasan adhesi dan
melembutkan jaringan parut, dan menghilangkan sekresi) maupun efek refleksif
(yaitu peningkatan sirkulasi melalui refleks vasodilatasi, relaksasi general dan efek
sedatif, peningkatan perspirasi dan sekresi glandula sebacea, dan mengurangi nyeri
yang mungkin dengan pengendalian gerbang atau mengalirkan opiate endogen
aatau neurotransmitter). Ekstremitas yang terbaring dengan santai juga memiliki
efek-efek fisiologis dan dapat mendorong sensasi dari rasa nyaman yang general.
Kontraindikasinya meliputi segala kondisi inflamasi dari kulit, jaringan
lunak, atau sendi, yang mengarah pada infeksi bakterial (phlebitis, cellulitis,
synovitis, abses, arthritis septis), luka terbuka, luka bakar, penyempitan syaraf
(seperti carpal tunnel syndrome), bursitis, rheumatoid dan gouth arthritis, rheumatic
fibrositis, panniculitis (radang lemak subkutan), arteriosclerosis , thrombosis atau
emboli vena, varicose vena berat, gangguan pembekuan darah (atau sedang
menggunakan antikoagulan), fraktur, dan keganasan.
TERAPI OKUPASI
Okupasi terapi khususnya berfokus pada edukasi pasien mengenai postur
yang sesuai dan ergonomis, aktivitas ekstrimitas yang berkaitan dengan aktivitas
kehidupan sehari hari, dan memfasilitasi seseorang untuk memilih atau kembali
ke pekerjaan yang sesuai. Terapis okupasional harus dilibatkan sejak awal untuk
mengindentifikasi

masalah

pekerjaan

yang

berkaitan

dengan

pekerjaan,

menganalisa dan memberikan saran dalam memodifikasi pekerjaan dan jika perlu
memberikan pelatihan.

48

PSIKOTERAPI
Nyeri yang menetap mempengaruhi komponen emosional
pasien

serta

seringkali

disertai

dengan

depresi

dan/atau

kecemasan. Faktor-faktor psikologis memainkan peranan yang


signifikan terhadap nyeri kronik dan dalam masa transisi nyeri
akut menjadi nyeri kronik, dan bukti neurosains serta bukti klinis
memperlihatkan hubungan yang erat antara nyeri dan status
mood.
Depresi dapat meningkatkan gangguan yang terkait-nyeri
dan menyebabkannya menetap.

Penelitian mengungkapkan

bahwa nyeri dan depresi merupakan komorbid yang sering


dijumpai.

Depresi

yang

meningkat

berhubungan

dengan

peningkatan kelainan yang terkait-nyeri. Prediktor depresi pada


nyeri kronik diantaranya insentisitas nyeri, luas area yang
dikeluhkan, frekuensi nyeri yang dikeluhkan, dan beberapa faktor
yang berhubungan dengan psikososial. Pasien yang mengalami
depresi dapat mengalami derajat nyeri yang lebih tinggi, kurang
aktif, dan mengalami penurunan kapasitas fungsional normal.
Penilaian dan intervensi terapi psikologi difokuskan pada
faktor kognitif dan behavioral yang berhubungan dengan nyeri.
Faktor psikologi yang terlibat dalam perkembangan dan adaptasi
menjadi nyeri kronik diantaranya kecemasan, perasaan tidak bisa
ditolong, sifat menghindar, dan perasaan menganggap nyeri
sebagai bencana. Faktor yang dapat memberikan perbaikan
dalam nyeri kronik diantaranya self efficacy, pain coping strategy,
kesiapan untuk berubah dan dapat menerima keadaan sakitnya.
Penggunaan

modalitas

psikologi

sebagai

tambahan

terhadap intervensi medik dan terapi fisik dapat meningkatkan


efektivitas
psikologi

program
pada

penanganan

nyeri

kronik

nyeri

termasuk

kronik.

Penanganan

edukasi

psikologi,

psikoterapi, biofeedback, dan latihan relaksasi, dan konseling

49

vokasional. Pendekatan perilaku kognitif terhadap nyeri kronik


sangat tergantung pada pelatihan keterampilan dan intervensi
psikoedukasional.

Psikoterapi

secara

kelompok

berhasil

meningkatkan kemampuan pasien dalam rehabilitasi nyeri. Terapi


secara individual dan terapi keluarga merupakan intervensi lain
yang sering digunakan pada pasien nyeri kronik untuk menangani
stres psikososial yang mendasari.
Baru baru ini sebuah argumen yang kuat digunakan untuk
melibatkan anggota keluarga dan orang lain yang signifikan
dalam proses evaluasi dan penanganan.
Teknik psikoterapeutik digunakan dalam mengobati pasien
nyeri kronik meliputi hal-hal:
-

Pengetahuan tentang nyeri

Psikoterapi suportif untuk memberikan semangat pada


pasien menjalani strategi pengobatan.

Terapi perilaku kognitif, yang berfokus pada kognisi pasien


yang maladaptif bersamaan dengan teknik perilaku, seperti
terapi relaksasi dan latihan ketegasan.

Terapi perilaku, berdasarkan pada teori perilaku dan teori


belajar sosial.

Terapi interpersonal, yang berfokus pada kehilangan, peran


transisi dan perselisihan, defisit sosial, dan faktor-faktor
interpersonal lainnya berdampak pada berkembangnya
depresi.

Psikoterapi dinamis, dimana hubungan dengan terapist


memberikan konteks yang sifatnya mengoreksi pengalaman
emosional.

Terapi

keluarga

menunjukkan

dan

fakta

terapi

bahwa

pasangan,

nyeri

kronis

yang

mana

adalah

suatu

masalah mengganggu akan mempengaruhi keseluruhan


keluarga.

50

Terapi kelompok, yang mana dapat bersifat mendidik


dan/atau psikoterapeutik.
Di

dalam

kombinasi

praktek

pendekatan

klinis,

tersebut

psikoterapis
untuk

membedakan

dicocokkan

dengan

kebutuhan pasien.
Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy)
berdasar pada teori bahwa meyakini hal-hal yang irrasional dan
sikap yang menyimpang ke arah diri sendiri, lingkungan, dan
depresi yang menetap.
-

Studi klinis menunjukkan bahwa CBT merupakan metode


pengobatan yang efektif pada depresi ringan dan sedang
serta mengurangi gangguan terkait-nyeri pada kelainan
nyeri.

Tujuan diberikannya CBT adalah untuk mengurangi depresi


dengan cara menantang sikap dan kepercayaan ini.

CBT dapat membantu pasien mengenali bahwa respon


emosional terhadap nyeri sangat dipengaruhi oleh pikiran
dan bahwa mereka dapat melatih mengendalikan gangguan
yang diproduksi oleh suatu peristiwa hidup tak terelakkan
atau penyakit kronis.

Beberapa penyelidik merekomendasikan memberikan CBT


sedini

mungkin

dari

perlangsungan

penyakit

untuk

meningkatkan percaya diri pasien dalam menangani gejala


dan

dalam

kemampuan

mereka

untuk

mengurangi

penggunaan alat bantu kesehatan.


Terapi Perilaku
-

Terapi perilaku menggunakan manajemen kontingensi atau


operant conditioning untuk membantu pasien memodifikasi
nyeri-terkait perilaku.

51

Metode ini dapat juga membantu merehabilitasi nyeri


pasien dengan terus meningkatkan kemampuan fungsional
mereka.

Psikoterapi Interpersonal
Psikoterapi

interpersonal

(IPT/Interpersonal

Therapy),

dikembangkan untuk penatalaksanaan depresi, yang bekerja


dengan asumsi bahwa, karena adanya gejala yang terjadi dalam
konteks sosial, menunjukkan sebuah masalah atau banyak
masalah dalam kehidupan interpersonal pasien dapat membantu
menghilangkan gejala.
-

IPT untuk berfokus pada:


-

Kedukaan (suatu reaksi terhadap kematian orang yang


dicintai)

Peran transisi (menyerah dari peran sosial lama dan


menyesuaikan ke bentuk yang baru)

Peran

perselisihan

(kesukaran

dalam

membangun

hubungan dari harapan yang tidak sesuai)


-

Peran defisit (suatu kekurangan hubungan interpersonal)

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan pada pasien nyeri kronik


yang memiliki gejala dan ketidakmampuan menempatkan
mereka dalam status transisi peran yang tetap akibat
depresi atau kecemasan.

Psikoterapi Psikodinamik
-

Psikoterapi

psikodinamik

psikoterapeutik

yang

meliputi

membagi

semua

dasarnya

intervensi

dalam

teori

psikodinamik mengenai penyebab kerentanan terhadap


masalah psikologis.
-

Bentuk psikoterapi ini paling sering digunakan jangka


panjang dan bertujuan mengurangi gejala dengan segera.

Latihan Relaksasi dan Biofeedback

52

Latihan relaksasi dan biofeedback merupakan metode


penanganan

perilaku

yang

telah

berhasil

digunakan

untuk

menangani banyak sindroma nyeri, termasuk miofasial dan nyeri


yang diatur simpatetik. Beberapa teknik relaksasi bisa pada nyeri
kronik, dua yang paling sering yaitu latihan autogenik dan
relaksasi otot progresif.
Terapi relaksasi dapat dikerjakan oleh berbagai tim disiplin
keilmuan

termasuk

didalamnya

psikolog,

fisioterapis

atau

perawat. Teknik yang digunakan diantaranya latihan respon


relaksasi yang dipandu (penggunaan gambar atau suara sebagai
media

relaksasi),

meditasi,

dan

hipnosis.

Teknik

tersebut

membantu pasien untuk dapat berperan aktif untuk dapat


menolong dirinya sendiri.
Teknik distraksi
Teknik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri ke
stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori bahwa
aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. Saat seseorang menerima input
sensori yang berlebihan maka hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya
impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan). Stimulus yang
menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi endorfin, sehingga
stimulus nyeri yang dirasakan oleh menjadi berkurang. Peredaan nyeri secara
umum berhubungan langsung dengan partisipasi aktif individu, banyaknya
modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimulasi.

Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan
lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja.
Beberapa teknik distraksi antara lain :
-

Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandang an dan gambar termasuk distraksi visual.

Distraksi pendengaran

53

Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung serta


gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan
musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi pada
nada dan irama lagu. Pasien juga diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.
-

Distraksi pernafasan
Pasien bernafas ritmik sambil memandang fokus pada satu objek atau
memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan
hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui
mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati).
Anjurkan pasien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap
gambar yang memberi ketenangan

4.4. TINDAKAN MEDIS INVASIF DAN TERAPI RADIASI


Tindakan invasif merupakan pilihan terakhir apabila penatalaksanaan non
invasif gagal. Tindakan invasif dalam pengelolaan nyeri kronik antara lain:
-

Injeksi sendi dan soft tissue

Blok saraf dengan obat anestesi atau neurolitik dengan phenol atau alkohol
absolut

Tindakan bedah
-

Tindakan bedah saraf


-

Tehnik non destruktif


Memperbaiki dan mengembalikan kondisi fisilogis anatomis bagian
tubuh yang rusak, contohnya antara lain release Carpal Tunel Syndrome,
dekompresi Thoracic Outlet Syndrome

Tehnik destruktif atau interuptif

54

Contohnya neurotomi perifer, cordotomy


-

Tehnik modulatori
Pemasangan implant untuk memasukkan obat analgesik, pemasangan
implant alat stimulasi listrik.

Prosedur bedah muskuloskeletal


Contohnya joint replacement dan eksisi tumor
Terapi radiasi diberikan untuk mengatasi nyeri yang berasal dari jaringan

lokal kanker primer atau metastatiknya. Yang termasuk terapi radiasi antara lain
terapi radiasi lokal, wide field radiation therapy, dan radiofarmakoterapi (iodine131 dan strontium-99).
Mual dan Muntah
Mual adalah keluhan subyektif ditandai dengan perasaan tidak nyaman di
daerah belakang kerongkongan dan epigastrium. Sebaliknya, muntah adalah
refleksi eliminasi isi lambung yang di kontraksikan secara kuat oleh otot abdomen
untuk mengeluarkan substansi toksik. Mekanisme yang mendasari muntah lebih
dipahami daripada mekanisme mual. Kontrol yang baik terhadap kondisi ini
terdapat didalam tubuh, akan menurunkan kecemasan dan perasaan takut,
menurunkan ketergantungan pada caregivers dan dapat melakukan aktifitas sehariharinya dengan lebih baik (Cheville, 2010).
Prevalensi mual dan muntah di suatu perawatan paliatif adalah 40-70%,
sering ditemukan pada penderita yang mendapat kemoterapi dan terapi radiasi.
Mual lebih sering dirasakan daripada muntah. Keluhan mual dan muntah disebut
kronik jika berlangsung lebih dari 1 minggu (Johnston, 2005; Cheville, 2010).
Penyebab mual dan muntah antara lain (Goodwin et al, 2003; Johnston, 2005;
Cheville, 2010);
1. Kegagalan sistem otonom menyebabkan melambatnya pengosongan
lambung. Hal ini sering terjadi pada penderita kanker dengan kondisi
buruk dan status nutrisi yang kurang. Status nutrisi yang kurang akan
mengakibatkan penekanan sistem saraf simpatik,

55

2. Gangguan kardiovaskuler, seperti hipotensi postural, sinkop, dan fixed


heart rate. Hal ini menyebabkan disfungsi otonom,
3. Efek samping obat, seperti analgesik opioid, NSAIDs, antibiotik,
suplemen zat besi, antidepresan tricyclic, dan phenothiazine,
4. Abnormalitas biomekanik, seperti hiperkalemia, hiponatremia, kegagalan
fungsi hati,
5. Metastasis CNS,
6. Peningkatan tekanan intrakranial,
7. Faktor psikologis, seperti ketakutan dan kecemasan.
Assessment terhadap gangguan mual dan muntah meliputi intensitas,
frekuensi, faktor pencetus, dan pengalaman penderita. Anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang meliputi frekuensi, kualitas pergerakan bowel,
imaging dan tes serologi (Cheville, 2010).
Selain mual dan muntah, gangguan pencernaan lain yang bisa
didapatkan pada penderita kanker stadium lanjut adalah konstipasi dan
obstruksi bowel. Beberapa hal yang dapat menyebabkannya adalah
imobilisasi, intake oral yang buruk, dehidrasi, gangguan otonom, obat
analgesik opioid. Obstruksi bowel lebih jarang terjadi dibandingkan
konstipasi tetapi berperan menyebabkan mual yang kronik (Rochman, 1993;
Woodruff, 1993; Goodwin et al, 2003).
Terapi mual adalah farmakologi dan terapi etiologisnya. Sembilan
kelompok obat entiemetik pada perawatan paliatif adalah butyrophenones,
prokinetic

agents,

cannabinoids,

phenothiazines,

antihistamines,

anticholinergics, steroids, 5HT3 receptor antagonists, dan benzodiazepines.


Cara pemberian obat bisa per enteral apabila per oral tidak memungkinkan
(Cheville, 2010).
Anoreksia dan Kakeksia
a. Definisi
Anoreksia dideskripsikan sebagai kekurangan atau hilangnya nafsu
makan yang mengakibatkan berkurangnya intake oral dan penurunan berat
badan. Kakeksia merupakan kondisi disfungsi metabolik yang ditandai
oleh berkurangnya lemak dan jaringan otot secara progresif, dan diinduksi

56

oleh starvasi. Organ vital yang terpengaruh akibat kakeksia dan anoreksia
adalah otot skeletal, otot pernafasan, otot jantung dan otot halus.
Anoreksia dan kakeksia merupakan masalah penting dalam penyakit
stadium lanjut karena berhubungan dengan peningkatan resiko kegagalan
terapi, efek samping dan mortalitas. Selain itu, kakeksia menjadi penyebab
utama kematian pada 25% penderita kanker.
b. Diagnosis
Gambaran klinis kakeksia adalah edema, berkurangnya masa otot
(lingkar lengan mengecil), berkurangnya lapisan lemak kulit, kulit kering,
bersisik dan berkurangnya hipersensitifitas kulit.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan menurunnya kadar serum
albumin, kadar serum ferritin darah (Haryodo HS, 1996; Cheville, 2010).
c. Epidemiologi
Prevalensi kakeksia tergantung pada derajat keparahan penyakit.
Pada Congestive Heart Failure (CHF) sebesar 16%-36%, COPD sebesar
27%-33% dan ESRD sebesar 30%-60%. Pada penderita kanker stadium
IV, prevalensinya meningkat hingga 86% dalam 1-2 minggu akhir
hidupnya (Cheville, 2010).
d. Penyebab
Aktifitas fisik telah dikenal fisiatris berperan penting dalam
menginduksi dan progresifitas kakeksia. Beberapa penyebab kakeksia
yang berkerja bersamaan yaitu (Rochman, 1993; Cheville, 2010);
1. Asupan makanan yang berkurang
Merupakan penyebab paling penting disebabkan berkurangnya nafsu
makan (anoreksia) yang terjadi 80% pada penderita kanker terminal.
Gangguan pencernaan karena gangguan pengecapan pada lidah,
gangguan pembauan, gangguan peristaltik lambung, pada kanker
mulut, faring, esophagus, lambung dan kolon menyebabkan makanan
sulit dikunyah, ditelan dan dikunyah. Faktor psikologis berupa depresi
dan cemas menyebabkan penurunan nafsu makan. Sedangkan perasaan
takut menyebabkan jumlah makanan yang dimakan berkurang.
2. Pengeluaran makanan yang meningkat
Disebabkan karena perdarahan saluran cerna, diare dan konsumsi
nutrisi oleh sel kanker.

57

3. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein dan peningkatan
metabolisme karena keganasan kanker itu sendiri yang tidak
berhubungan dengan stadium,
4. Efek dari pengobatan
Disebabkan karena operasi, radioterapi (mual, muntah, berkurangnya
nafsu makan, enteritis) dan kemoterapi (mual, muntah, berkurangnya
nafsu makan,stomatitis, esofagitis dan enteritis).
e. Patofisiologi
Mekanisme proses ketidakseimbangan antara intake oral dan
muscle wasting pada penderita dengan tumor ataupun penyakit lain, masih
belum dipahami dengan baik. Tumor mempengaruhi proinflamatory
cytokine sehingga mengaktifkan sel inflamasi yang akan beredar sistemik
dan menginduksi Hepatic Acute Phase Protein Response (APPR).
Selain itu, tumor juga mengeluarkan 2 macam faktor pro kakeksia, yaitu
Proteolysis-Inducing Factor (PIF) dan Lipid-Mobilizing Factor (LMF)
(Cheville, 2010).
f. Penatalaksanaan
Pendekatan nutrisional saat ini tidak lagi dititik beratkan sejak
konseling diet dan nutrisi total parenteral gagal dalam penatalaksanaan
kakeksia, tidak memperbaiki kualitas hidup dan tampilan fungsional.
Pemberian nutrisi pada penderita kanker secara individual dan
disesuaikan setiap waktu dengan kebutuhannya dan dikoordinasikan
dengan semua rencana terapi lainnya sejak awal. Penatalaksanaan yang
dapat diberikan adalah penambah nafsu makan, pendekatan upstream,
pendekatan downstream, serta stimulasi anabolisme protein otot.
Suplemen nutrisi hanya sedikit membantu, kecuali pemberian obat
thalidomide. Pemberian latihan konservatif dengan ataupun tanpa
farmakologi kini diindikasikan untuk beberapa penderita. Apabila
saluran cerna masih baik, maka pemberian makan diusahakan melalui
enteral disesuaikan dengan kondisi penderita secara oral biasa,
nasogastric tube ataupun gastrotomi dan jejunostomi. Total parenteral
nutrition memainkan peran penting pada pemberian nutrisi penderita

58

kanker stadium lanjut dan diindikasikan bila saluran cerna tidak dapat
bekerja dengan baik (Rochman, 1993; Haryodo HS, 1996; Cheville,
2010).
Penderita diberikan makanan yang merupakan kesenangannya
asalkan bukan kontra indikasi, serta mengatur menu yang bervariasi agar
penderita tidak cepat bosan. Selain menu makanan sehari-hari perlu juga
memberikan makanan suplemen dan makanan yang diberikan sedapat
mungkin bersifat tinggi protein dan tinggi kalori (Rochman, 1993).

Sesak Nafas
a. Definisi
Sesak nafas didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman pada saat
bernafas dan kesulitan bernafas. Sesak nafas mengganggu performa
fungsional dan aktifitas fisik, oleh karena itu hal ini menjadi target penting
terapi oleh fisiatris (Cheville, 2010).
b. Epidemiologi
National Hospice Study menyatakan bahwa 70% dari 1.754
penderita pernah mengalami sesak nafas dalam 6 minggu terakhir
hidupnya.
Lebih dari 28% penderita merasakan sesak yang sedang hingga berat.
Dalam penelitian kohort tentang kanker, telah ditemukan kejadian sesak
nafas sebesar 24% hingga 60% pada penderita keganasan ekstra thorakal
(Cheville, 2010).
c. Patofisiologi
Mekanisme regulasi pernafasan yang berperan dalam sesak nafas
adalah melalui interaksi komplek antara pernafasan abnormal dan persepsi
terhadap abnormalitas tersebut di susunan saraf pusat. Regulasi kontrol
pernafasan tergantung dari interaksi antara pusat pernafasan di susunan
saraf pusat, kemoreseptor dan input afferent dari otot-otot pernafasan
(Cheville, 2010). Gambar dibawah ini mengilustrasikan interaksi dari
beberapa komponen tersebut.

59

d. Penyebab
Abnormalitas yang terjadi pada sistem kardiopulmoner baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan sesak nafas.
Tumor di parenkim paru, pleura ataupun sistem limfatik paru dapat
menurunkan kapasitas oksidatif secara signifikan. Kanker menyebar dari
tumor intra thorakal atau dari metastasis. Tumor juga dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas. Selain itu, adanya ascites dan distensi heptik dapat
menghambat pergerakan diafragma.
Kakeksia yang berhungan dengan

muscle

wasting

dapat

pula

meningkatkan kebutuhan kapasitas maksimal otot untuk bernafas dan


menyebabkan kelelahan otot (Cheville, 2010).
e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Keluhan dan tanda yang menjadi perhatian adalah adanya nyeri dada,
demam, batuk, kakeksia, distensi abdomen dan pleuritis. Keluhan yang
berhubungan dengan sesak nafas seperti nyeri dan kecemasan akan
berkaitan pula dengan intensitas, sehingga penting menjadi target terapi.
Tes diagnostik yang dapat membantu adalah foto x ray thoraks,
electrocardiography, echocardiography, tes fungsi paru, analisa gas darah,
serum elektrolit dan darah lengkap. CT Scan Abdominal dan Chest dapat
menunjukkan penjalaran tumor dalam cavitas di tubuh (Cheville, 2010).
f. Penatalaksanaan
Terapi simptomatik diberikan sejalan dengan managemen spesifik
terhadap sesak nafas. Pemberian kemoterapi dapat mengurangi sesak nafas
pada penderita kanker yang memiliki keluhan sesak akibat efek tumor.
Radiasi, termasuk brachytherapy juga cepat mengurangi tumor lokal yang
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas. Drainase pleura, efusi
perikardiak, atau ascites abdomen mengurangi sesak nafas secara
signifikan. Jika terdapat kemungkinan pneumonia maka diberikan
antibiotik empirik. Konsultasi ke bagian paru diperlukan untuk
memperjelas

kecurigaan

obstruksi

atau

penyempitan

dengan

bronchoscopic dan penatalaksanaan lesi intralumen dengan bronchoscope

60

rigid, balloon dilatation, lasers, electrocautery, stents, argon plasma


coagulation, dan cryoprobes (Cheville, 2010).
Managemen simptomatik diberikan berdasarkan 3 prinsip yaitu
oksigen, farmakologi dan terapi suportif. Sasaran rehabilitasi pernafasan
pada

penderita

dengan

hambatan

dan

disabilitas

adalah

untuk

menggunakan fungsi paru yang tersisa seefisien mungkin, meringankan


sesak nafas sehingga meningkatkan kualitas hidup. Diskusi dengan
penderita dan keluarga untuk menemukan modifikasi gaya hidup yang
sesuai, mengurangi atau tidak lagi melakukan aktifitas fisik tertentu dan
penataan rumah yang disesuaikan dengan kondisi penderita seperti
memindahkan kamar tidur penderita ke lantai bawah, menambah toilet
dekat kamar tidur (Soebadi, 2000).
Fisioterapi pada penanganan paliatif sesak terutama ditujukan pada
mobilisasi sekret dan mencegah atau mengurangi muscle fatique.
Penumpukan sekret seringkali mengakibatkan sesak pada penderita. Untuk
membantu evakuasi sekret, fisioterapi dada berupa perkusi dada dan
postural drainage, terlebih lagi pada fase terminal dimana didapatkan
kelemahan umum. Pada keadaan sekret berlebih, usaha mengurangi sekret
dengan antikolinergik merupakan tindakan paliatif yang lebih efektif,
misalnya dengan ipratropium bromide (Margono, 2000).
Efisiensi pernafasan akan lebih baik apabila penderita duduk,
berbaring setengah duduk atau bahkan sedikit membungkuk kedepan
dengan bertumpu diatas suatu meja atau tumpukan bantal, yang
memungkinkan penggunaan otot bantu nafas lebih efektif. Demikian pula
dianjurkan perubahan posisi berbaring sebagai tindakan preventif
timbulnya edema paru karena pengaruh gravitasi (Margono, 2000).
Hiccups dan Batuk
a. Definisi
Hiccup atau singulatus adalah kontraksi involunter berulang pada
satu sisi atau kedua diafragma dan otot interkostal diakhiri dengan
pergerakan mendadak penutupan glottis menghasilkan suara hic.

61

Sebaliknya, batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk


mencegah masuknya materi asing ke dalam saluran respirasi (Cheville,
2010). Hiccup dan batuk yang tidak terkontrol dapat mengurangi
semangat penderita dan mengganggu tidur, mempengaruhi status hidrasi
dan nutrisi.
b. Epidemiologi
Prevalensi hiccup pada populasi penyakit stadium lanjut belum
dapat dijelaskan. Review sistematik kejadian batuk pada penyakit lanjut di
24 penelitian menunjukkan prevalensi batuk sebesar 28% diantara 12.000
penderita. Pada 289 kasus non-small cell kanker paru, batuk muncul pada
60% penderita dan prevalensinya meningkat hingga 80% sebelum
meninggal (Cheville, 2010).
c. Patofisiologi
Fisiologi terjadinya hiccup belum diketahui, kemungkinan
berkaitan dengan hiccup reflex arc yang terdiri dari impuls afferent yang
ditransmisikan melalui nervus phrenicus atau vagus atau ganglia simpatik.
Sinyal efferent ditransmisikan melalui nervus phrenicus ke glottis,
diafragma, dan otot pernafasan accessory.
Kemungkinan pusat hiccup berada di cervical cord antara C3 dan C5
serta susunan saraf pusat yang lebih tinggi. Trigger hiccup adalah iritasi,
inflamasi, distensi viscera, primary esophagus, liver, dan lambung.
Hiccup yang terus menerus berhubungan dengan faktor toksik dan
metabolik seperti uremia, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia,
ethanol, dan beberapa obat kemoterapi,
Batuk juga melalui arkus refleks menghasilkan respiratory flow
rates yang cukup tinggi untuk melepas mukus dan substansi asing dari
saluran nafas. Reflek batuk terdiri dari serabut afferent dalam nervus
vagus, trigeminal, dan phrenicus. Serabut ini membawa impuls ke reseptor
nociceptive batuk Ad- dan C-fibers di laring, epitel respirasi, membran
timpani,

esophagus,

pericardium

dan

mukosa

sinus.

Ad-fibers

menyampaikan impuls yang didapat dari stimuli mekanik, sedangkan Cfibers menyampaikan impuls dari stimuli kemikal. Inflammatory
neuromodulators seperti prostaglandin, mempengaruhi receptor thresholds

62

untuk depolarisasi. Impuls melalui medulla menuju pusat batuk. Impuls


efferent berjalan melalui nervus vagus, phrenicus, dan nervus spinal ke
glottis dan otot respirasi.
Batuk terjadi karena 3 fase, yaitu fase inspirasi inisial, fase compressive
dan fase expulsive (Cheville, 2010).
d. Penyebab
Hiccup secara teori disebabkan distensi lambung berlebihan.
Penyebab lain dalam konteks paliatif adalah iritasi esophagus, ileus, dan
metastasis peridiaphragmatic metastasis. Batuk sering terjadi sekunder
karena efek lokal dari penyakit. Tumor mengiritasi daerah sekitarnya
seperti pada thoraks, abdomen dan struktur neurologis. Penderita dengan
penyakit kanker dan non kanker yang sering batuk, dan beresiko terjadi
aspirasi, memerlukan evaluasi klinik lebih lanjut. Upper airway cough
syndrome karena gangguan rhinosinus, asma, dan gastroesofageal refluks
merupakan kondisi tersering penyebab batuk pada populasi umum dan
penderita paliatif (Cheville, 2010).
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan hiccup melalui pendekatan nonfarmakologis
seperti maneuver respirasi sederhana (menahan nafas, rebreathing into a
bag, kompresi diafragma), stimulasi nasal dan faringeal (menekan hidung,
inhalation of a stimulant, traction lidah), stimulasi vagal (ocular
compression, carotid massage), terapi psikiatrik (behavioral therapy),
gastric distension relief (berpuasa, menggunakan NG tube, lavage), dan
injeksi anastetik nervus phrenicus. Namun efikasi dari penggunaan terapi
ini belum dikaji ketat dalam suatu percobaan klinik (Gray, 1996; Cheville,
2010).
Gangguan Hidrasi dan Nutrisi
Suport hidrasi dan nutrisi sangat penting bagi penderita dan keluarga
untuk kelangsungan hidup penderita. Ketersediaan Artificial Nutrition and
Hydration (ANH) masih menjadi perdebatan karena terapi intervensi ini

63

disatu sisi ditolak keberadaannya tetapi sebenarnya merupakan pelayanan


dasar yang harus diberikan (Cheville, 2010).
a. Epidemiologi
Data prevalensi kehilangan berat badan dan dehidrasi sangat
bervariasi tergantung dari stadium penyakit. Penurunan berat badan
dikaitkan kondisi morbiditas dan berkurangnya survival penderita kanker.
Deteksi penurunan berat badan pada penderita dengan edema anasarka
sangat sulit dikerjakan. Namun, telah dilaporkan bahwa hampir semua
penderita kanker mengalami penurunan berat badan signifikan hingga
pada saat mereka meninggal (Cheville, 2010).
b. Penyebab
Kondisi dehidrasi sering terjadi pada penderita dengan penyakit
terminal. Hal ini disebabkan karena hiponatremi, hipernatremi, atau
dehidrasi isotonik. Dehidrasi hiponatremia timbul karena kehilangan
sodium dari cairan yang dikeluarkan tubuh terutama berasal dari air
dibandingkan makanan. Kondisi yang sering menjadi penyebabnya
adalah anoreksia, nausea, dan vomiting. Selain itu, overuse diuretic, saltwasting renal conditions, third spacing, dan insufisiensi adrenal juga
berperan (Rochman, 1993; Cheville, 2010).
Dehidrasi hipertonik terjadi pada saat kehilangan air lebih besar
daripada kehilangan sodium. Penyebab terbanyak adalah karena demam,
pengeluaran air melalui paru, kulit, dan intake oral yang tidak tercukupi.
Diduga penderita dengan penyakit lanjut mayoritas mengalami dehidrasi
eunatremik (Cheville, 2010).
c. Assessmen
Assessmen klinik untuk dehidrasi hendaknya meliputi skrining
perubahan status mental, rasa haus, intake oral/parenteral, output urine
dan fluid loss.
Penderita dapat mengeluhkan rasa haus maupun tidak, penurunan nafsu
makan, nyeri pada saat makan, tersedak atau batuk pada saat menelan.

64

Nyeri pada rongga mulut mungkin berkaitan dengan adanya jamur,


osteoradionecrosis (pada penderita kanker kepala dan leher), mukositis,
osseus metastasis ke tulang facial, infeksi herpes zoster dan neuropathic
pain syndrome (Cheville, 2010).
Pemeriksaan fisik menunjukkan penurunan turgor kulit, mulut
kering dan postural hipotensi. Pemeriksaan laboratoris untuk menilai
hematokrit, serum sodium, blood urea nitrogen, dan creatinine. Selain itu
pemeriksaan

urine

untuk

menilai

osmolaritas

juga

diperlukan.

Pemeriksaan imaging mungkin diperlukan untuk konfirmasi keganasan


yang berhubungan dengan GI tract (Cheville, 2010).
d. Penatalaksanaan
Tidak ada evidence yang menunjang penggunaan suplemen hidrasi
(Cheville, 2010).
Limfedema
a. Definisi
Limfedema merupakan disfungsi sistem limfatik karena akumulasi
cairan tinggi protein yg abnormal (Fife et al, 2012).
b. Penyebab
Limfedema primer karena perkembangan sistem limfatik yang
abnormal, dijumpai sejak lahir, remaja dan dewasa muda.
Penyebab sekunder meliputi kerusakan sistem limfatik karena faktor
ekstrinsik atau obstruksi. Keganasan tersering menyebabkan limfedema
adalah

kanker

payudara,

melanoma,

keganasan

ginekologi

dan

lymphoma.
Di negara berkembang limfedema banyak terjadi pada penderita setelah
terapi kanker payudara terutama dengan tindakan full axillary dissection
(mengambil semua lymph nodes dibawah vena axillaris) (Fife et al,
2012).
c. Assessmen
Secara klinis ditandai dengan bengkak pada ekstremitas atau bagian
tubuh yang lain, seperti wajah, thoraks dan abdomen, perubahan kulit dan

65

subkutan. Penetapan diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik, yaitu


pengukuran lingkar lengan menggunakan Gulick II tape, dari styloid ulna
interval 4cm sampai 4cm dibawah axilla sisi lengan yang edema dan
kontralateral. Index cairan di dalam jaringan diukur dengan metode
Tissue Dielectric Constant (TDC) (Fife et al, 2012).
Limfedema terdiri dari 3 stase, yaitu (Andrews et al, 2010);
1. Volume cairan pada lengan berkurang dengan elevasi dan
penggunakan kompresi eksternal,
2. Terjadi reaksi inflamasi menghasilkan fibrosis subkutan dan
pengerasan

jaringan.

Tidak

berkurang

dengan

elevasi

dan

compression garments,
3. Fibrosis kutan dan perubahan hiperplastik verrucous pada kulit yang
jarang tampak pada ekstremitas atas.
d. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah memperbaiki atau mengurangi
edema, beratnya keluhan dan menghambat progresifitas. Terapi
limfedema meliputi (Gray, 1996; Andrews et al, 2010; Vargo et al, 2010;
Fife et al, 2012);
1. Medik: Diuretik, Antibiotik, Benzopyrones,
2. Rehabilitasi: terapi yang dikenal adalah Complete Decongestive
Therapy (CDT) terdiri dari Manual Lymph Drainage (MLD),
kompresi (compression bandage, compression garment), elevasi,
latihan decongestive dan perawatan kulit.
Gentle exercise 5-10 kali pada pagi dan sore hari, kontraksi isometrik
aktif dan latihan luas gerak sendi baik aktif maupun pasif,
3. Vasopneumatic
Compression
Therapy:
berupa
Pneumatic
Compression Devices (PCD) (unit kompresor udara yang ditempatkan
pada pakaian, secara sekuens memberikan tekanan naik turun pada
kulit menghasilkan efek terapi),
4. Bedah: Excisional Debulking dan Recontruction of Lymphatics.
Imobilisasi

66

Pada saat penderita hanya mempu berbaring di tempat tidur, tetap


diberikan latihan luas gerak sendi aktif dan pasif untuk mencegah kontraktur
dan nyeri serta meningkatkan sirkulasi (Tulaar, 2012; Halar dan Bell, 2010).
Kunci terhadap pencegahan timbulnya komplikasi tersebut adalah mobilisasi
penderita secara dini, bila mungkin dengan latihan aktifitas/pergerakan
anggota gerak di tempat tidur baik secara aktif maupun pasif, serta pergantian
posisi secara teratur dan berkala (Gray, 1996; Halar dan Bell, 2010).
Latihan (Exercise) Dalam Perawatan Paliatif
Latihan memberikan keuntungan pada penderita dengan penyakit
lanjut sehingga penurunan status fungsional penderita dapat dikurangi.
Beberapa alasan pentingnya latihan dalam hal ini adalah memperbaiki keluhan
penderita seperti sesak nafas dan kelelahan. Pada suatu penelitian control trial
terhadap aerobic conditioning 55% sampai 70% VO2max penderita kanker
yang menerima kemoterapi, menunjukkan keuntungan latihan yang signifikan
tidak hanya mengurangi gejala tetapi juga memperbaiki kondisi psikologis dan
meningkatkan kualitas hidup. Beberapa penelitian kohort juga menunjukkan
hubungan antara exercise dan peningkatan mood pada beberapa stadium
penyakit (Cheville, 2010).
Penderita stadium lanjut memerlukan dukungan dan pendampingan
dalam melakukan latihan. Pendekatan kreatif latihan pada penderita kanker
menghindari waktu yang lama dan aktifitas yang berat.
Ketika penderita diidentifikasi memiliki keterbatasan waktu dalam melakukan
latihan maka diberikan program latihan di rumah (Cheville, 2010; Vargo,
2010).
Penelitian pada kanker payudara dan populasi kanker lain yang sedang
atau setelah terapi kanker telah secara konsisten menunjukkan perbaikan
gejala setelah diberikan regimen latihan.
Regimen latihan dengan kecepatan sesuai kemampuan penderita memberikan
perbaikan waktu berjalan 12 menit (Esperitu, 2009; Tulaar, 2012).
Rehabilitasi untuk disfungsi kardiopulmoner pada penderita kanker
menggunakan protokol untuk rehabilitasi jantung dan paru. Pengkondisian

67

aerobik yang meningkat bertahap (incremental) dengan suplemen oksigen


seperlunya mengurangi toleransi exersional (Espiritu, 2009; Tulaar 2012).
Penderita tetap diberikan latihan luas gerak sendi aktif dan pasif untuk
mencegah kontraktur dan nyeri serta meningkatkan sirkulasi. Aktifitas untuk
meningkatkan lingkup gerak sendi (ROM) sangat penting pada rehabilitasi
kontraktur jaringan pasca pembedahan dan pasca radiasi. Peregangan
mencegah, mengatasi dan membalikkan kontraktur akibat radiasi.
Umumnya penderita diberikan rangkaian aktivitas ROM active-assisted yang
mentargetkan semua kelompok otot yang terancam, dengan perhatian pada
bidang gerak yang terbatas, dan peregangan dilakukan perlahan sambil
menahan regangan selama 3-5 hitungan, dilakukan sekurangnya dua kali
sehari (Tulaar, 2012; Gray, 1996).
Terapi Okupasional
Seseorang dengan diagnosis kanker mengetahui bahwa dirinya telah
mengidap kanker dan akan menjalani sejumlah prosedur medis. Dimana hal
ini cepat atau lambat akan mempengaruhi perawatan diri, pekerjaan, harapan,
kebiasaan serta kegiatan di waktu luangnya (Tigges, 1996; Mahajudin dan
Yuwana, 2000). Mereka menjadi takut akan hari esok yang akan dihadapi,
bimbang antara obyektifitas dan logika, serta antara irasionalitas dan
emosional.
Tujuan pertama terapi okupasional adalah mengangkat level fungsi
penderita dan membantu caregivers dalam meningkatkan level independensi
penderita. Karena situasinya urgen, maka terapis okupasional berperan sejak
dari awal assessment dan kunjungan pertama. Tiga hal penting yang harus
diperhatikan adalah (Tigges, 1996; Mahajudin dan Yuwana, 2000; Meier dan
Brawly, 2011);
1. Penderita menyadari bahwa dirinya dapat berubah dari kondisi sekarang
yang disfungsi menjadi fungsional,
2. Caregivers primer menyadari bahwa perannya dalam membantu penderita
secara spesifik adalah memfasilitasi penderita dan anggota keluarga yang
lain dalam mengurangi rasa takut dan kekhawatiran yang tidak diperlukan,
3. Terapis, penderita dan caregivers primer saling membangun kepercayaan
satu sama lain.

68

Prinsip terapi okupasional adalah memberikan pilihan baru dan atau


mengganti alternatif, serta kontrol untuk meningkatkan independensi dan atau
interdependensi dalam perawatan diri, pekerjaan dan kegiatan waktu luang.
Semua kegiatan tersebut harus dinegosiasikan dulu dengan penderita dan
anggota keluarganya. Cara melaksanakan suatu kegiatan misalnya dengan
memecah rangkaian kegiatan, menyederhanakan prosedur dari suatu kegiatan,
menemukan alternatif cara melakukannya, menggunakan alat bantu. Akan
dapat merubah seseorang dari ketergantungan pada bantuan orang lain
menjadi individu yang lebih mandiri dan produktif (Tigges, 1996).
Intervensi terapi okupasi yang bisa diberikan adalah (Tigges, 1996);
1. Merekomendasikan tempat tidur rumah sakit yang baik dan matras atau
alat bantu lain,
2. Memberikan terapi nyeri neuromuskular sesuai dengan diagnosis primer
maupun sekundernya. Nyeri diberikan Transcutaneous electrical Nerve
Stimulation ditunjang dengan aktifitas bertahap dan atau posisioning,
3. Mengajarkan proper bed posisioning dan latihan luas gerak sendi untuk
mencegah kontraktur, mempertahankan mobilitas sendi dan fleksibilitas
otot,
4. Mengurangi kontraktur otot menggunakan splint,
5. Mengajarkan cara transfer yang tepat dan aman dari tempat tidur ke kursi
roda, cane ataupun walker,
6. Meresepkan kursi roda yang tepat sesuai dengan kebutuhan penderita,
meluputi tipe, ukuran, tempat duduk yang nyaman untuk memberikan
postur yang tepat dan melindungi kulit,
7. Mengajarkan cara mobilisasi dengan kursi roda, masuk dan keluar rumah,
transfer ke mobil dan akses di komunitas,
8. Mengembangkan kegiatan okupasional secara rutin dan fasilitasi kekuatan
neuromuskular dan endurance,
9. Mengajarkan dan memonitor teknik dan prosedur konservasi energi,
10. Mengajarkan modifikasi cara menggunakan satu tangan dalam
mengenakan dan melepas pakaian, termasuk penggunaan alat bantu,
11. Merekomendasikan peralatan mandi, alat transfer dalam kamar mandi,
pegangan pada tembok atau bar, shower tangan, toilet yang mudah diraih
serta alat bantu maupun peralatan yang tepat dan aman bagi penderita.

69

Keberhasilan terapi bukan diukur dari kesembuhan penderita, karena


mereka akan memburuk seiring dengan perjalanan penyakitnya dan menuju
pada kematian. Beberapa kriteria proses keberhasilan meliputi (Tigges, 1996);
1. Kemampuan fungsional penderita meningkat,
2. Keluarga dan caregivers primer telah diberikan instruksi dan petunjuk
penting untuk membantu dan mendukung penderita,
3. Penderita diberikan kesempatan untuk menentukan dan menyesuaikan
keinginan dan tujuan hidupnya,
4. Penderita merasa lebih baik, bebas dari nyeri dan keluhan, merasa kuat
dan tegar dalam menjalani hidup walaupun tidak sesuai dengan
harapannya, serta berperan aktif bersama dengan anggota tim perawatan
paliatif.

Terapi Wicara
Perawatan paliatif juga meliputi terapi terhadap gangguan komunikasi
dan ganggguan menelan. Penyakit keganasan lokal mengakibatkan gangguan
berkomunikasi jika mengenai lidah, faring dan laring. Tujuan terapi wicara
diberikan untuk sedapat mungkin mempertahankan komunikasi, menjamin
penderita menggunakan seluruh modalitas komunikasi termasuk isyarat tangan
dan menulis, mengajarkan caregivers merubah strategi komunikasi untuk
mengoptimalkan komunikasi di rumah, menyediakan konseling bagi keluarga
penderita berkaitan dengan perubahan komunikasi yang terjadi. Gangguan
komunikasi berupa disartria dan disfonia adalah masalah komunikasi verbal
utama. Pemeriksaan spesifik dilakukan pada tiap level vocal tract; volume
respirasi, fungsi laring untuk fonasi, dan fungsi velar untuk resonansi.
Komunikasi non verbal yang dinilai meliputi kontak mata, isyarat tangan dan
ekspresi wajah (Clark, 1996).
Gangguan wicara yang dapat terjadi akibat kanker sangat bervariasi
mulai gangguan artikulasi yang ringan, disartria, disfonia yang sifatnya perifer
sampai gangguan bahasa seperti afasia motorik, afasia sensorik, dispraksia
yang sifatnya sentral (Soebadi, 2000).

70

Dokter spesialis rehabilitasi medik bersama terapis wicara dapat


merancang berbagai strategi untuk mempertahankan komunikasi, baik verbal
maupun non verbal. Agar komunikasi yang maksimal dapat terwujud, semua
modalitas komunikasi yang ada pada penderita termasuk bahasa tubuh, isyarat
dan tulisan dapat dipergunakan (Clark, 1996; Soebadi, 2000).
Gangguan bahasa akibat tumor di daerah pusat berbahasa di belahan
otak yang dominan (afasia sensorik) dapat menyebabkan penderita sulit
mengerti bahasa verbal maupun tulisan, sehingga komunikasi dengan penderita
memerlukan bantuan isyarat bersama bahasa verbal. Kesulitan mengungkapkan
maksud baik verbal maupun tulis (afasia motorik), dapat dibantu dengan
pertanyaan yang membutuhkan jawaban ya atau tidak dari penderita, isyarat
dan peraga komunikasi (Soebadi, 2000).
Meskipun kemampuan berbicara terjadi penurunan, pemberian terapi
wicara bertujuan mempertahankan pemahaman, memaksimalkan potensi bicara,
mengidentifikasi masalah komunikasi dan memonitor kemampuan berbicara.
Komponen yang mempengaruhi komunikasi diantaranya sebagai berikut (Clark,
1996);
1. Artikulasi
Penderita hendaknya memahami posisi lidah dan bibir untuk menghasilkan
suara. Kejelasan akan membaik dengan merubah kecepatan bicara,
penekanan dan jeda.
Konservasi energi dikerjakan menggunakan frase dan kalimat pendek.
Penderita dapat beristirahat saat lelah atau ketika pemahamannya mulai
menurun. Rigiditas otot dikompensasi dengan berlatih mensuarakan huruf
vokal aa-ee-oo menggunakan otot-otot wajah, bibir dan lidah secara
benar.
2. Gigi palsu
Sejalan dengan progresifitas penyakit, penderita yang mengalami
penurunan berat badan, tonus otot wajah, gigi palsu dapat berubah dan
terlepas sehingga mempengaruhi kemampuan bicara dan makan.
Gigi palsu diperbaiki posisinya dengan fiksasi dan melapisi gigi sehingga
dapat digunakan jangka lama,
3. Pernafasan

71

Beberapa penderita mengalami penurunan fungsi paru. Deep breathing


exercise menggunakan pernafasan diafragma membantu mencegah
pengeluaran nafas pada akhir frase. Jika pernafasan yang pendek dan cepat
diperlukan, hendaknya dikombinasikan dengan penggunaan kalimat yang
pendek atau frase,
4. Fonasi
Gangguan fonasi berhubungan dengan pernafasan yang buruk. Suara
menjadi sulit untuk memulai, lemah, seperti meniup, berat atau intermiten,
suara monoton, dan pitch level rendah pada percakapan. Latihan fonasi
diperlukan untuk koordinasi pernafasan dan tumpuan suara.
Penderita yang mengalami kesulitan dalam mempertahankan suara
sepanjang kalimat yang diucapkannya, diberikan audio tapes untuk
meningkatkan

kewaspadaan

terhadap

apa

yang

didengarnya

atau

laryngograph yang menunjukkan suara secara visual.


5. Prosodi
Percakapan menjadi cepat dan makin cepat hingga tidak dapat dikontrol
dan dipahami. Metronome atau pace board membantu silabel bicara,
percakapan lebih perlahan jelas,
6. Tension
Jika otot-otot bicara mengalami hipertonik maka tension meningkat.
Penderita hendaknya berkonsentrasi, santai untuk mengurangi spastisitas,
7. Kelelahan
Penderita dan keluarga hendaknya menyadari bahwa kemampuan berbicara
akan menurun ketika penderita lelah, seperti saat sore hari atau ketika
kebutuhan berkomunikasi meningkat. Komunikasi hendaknya dilakukan
dalam waktu yang singkat dan penderita maupun pendengar dapat menahan
emosi akibat gangguan komunikasi yang terjadi,
8. Kondisi umum
Penderita diberi kebebasan berkomunikasi, tidak disela percapakannya dan
tidak memotong kalimat yang sedang diucapkan. Suara yang dikeluarkan
lawan bicara hendaknya tidak terlalu keras, tidak terlalu cepat.
Alat bantu komunikasi non elektronik yang diperlukan antara lain;
papan tulis, tulisan bergambar, E Tran Frame untuk penderita yang tidak dapat
berbicara dan menulis berupa kode alfabet berwarna digunakan dengan cara

72

eye pointing. Alat bantu komunikasi elektronik misalnya speech synthesizers,


movable microphone, communicator, memowriter, head set amplifier, telepon,
handphone. Penderita dengan gangguan visual berkomunikasi dengan radio,
audiotapes, talking books (Clark, 1996).
Gangguan pada proses menelan dan mengunyah diberikan program
untuk memaksimalkan fungsi yang ada dan antisipasi kemunduran fungsi
menelan dan menentukan apakah penderita dapat menelan dengan aman.
Program yang diberikan dengan cara mencari posisi terbaik makanan dalam
mulut, menentukan konsistensi makanan dan minuman yang paling sesuai,
memberikan petunjuk untuk posisi tubuh dan kepala ketika makan dan minum
dan mengajarkan teknik menelan (Clark, 1996; Soebadi, 2000).
Terapi Rekreasi
Terapi paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita,
dengan rekreasi akan membantu penderita dalam menghadapai penyakit dan
pengobatan yang dijalani dengan lebih tenang dan santai. Sehingga secara
mental bisa menerima diagnosis penyakit dan memiliki dukungan emosional.
Selain itu dengan rekreasi, termasuk seni merupakan cara untuk menyalurkan
ekspresi yang dapat mengurangi stress (Munro, 1996).
Terapi musik adalah suatu metode terapi menggunakan musik sebagai
strategi intervensi managemen keluhan dan perawatan penderita yang
bertujuan untuk memberi dukungan psikologis dan spiritual. Pemberian terapi
musik bervariasi tergatung dari kebutuhan penderita, meliputi modalitas
mendengarkan

musik

(rekaman

atau

langsung),

improvisasi

dan

mengekspresikan musik, menggunakan musik tradisional dan komunikasi


verbal. Terapi ini diharapkan melengkapi dan menunjang terapi medis
(Munro, 1996).
Indikasi terapi musik meliputi depresi, masalah nyeri kompleks, mual
dan muntah persisten, kecemasan dan ketakutan, insomnia, ketegangan fisik
yang ekstrim, disorientasi, afasia, keterbatasan bahasa dan budaya, serta
kesulitasn dalam intervensi dan perawatan medis. Musik yang diberikan
mencakup inti dari relaksasi, ekspresi, serta komunikasi. Dalam perawatan

73

paliatif, terapis maupun caregivers hendaknya memahami kondisi penderita


yang sedang menderita, membutuhkan pendampingan dan menghadapi
kematian (Munro, 1996; Twycross,1996).

DAFTAR PUSTAKA
1.

Stanos S, Tybursky M, Harden R. Chronic pain. In: Braddom RL.


Physical medicine and rehabilitation. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2011.p. 935-70.

2.

Walsh N, Dumitru D, Schoenfield L. Treatment of the patient with


chronic pain. In: Delisa JA. Physical medicine and rehabilitation principles and
practice. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005.p. 493530.

3.

Tan JC. Practical manual of physical medicine and rehabilitation.


New York: Mosby Inc; 1998. p. 607-44.

4.

Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets. Philadelphia:


Mosby Elsevier; 2009.

5.

Marcus DA, Cope DK, Deodhar A. An atlas of investigation and


management chronic pain. Oxford: Clinical Publishing; 2009.

6.

Serpell M, Basler M, Chaudhari M. Handbook of pain management.


London: Springer; 2009.

7.

Whitten CE, Dinovan M, Cristobal K. Treating chronic pain new


knowledge more choices. The Permanente Journal. 2005; 9(4): 9-18.

8.

Carr DB. Physical rehabilitation in managing pain. Pain Clinical


Updates. 1997; 5(3): 14-21.

9.

Winterowd C, Beck AT, Gruener D. Cognitive therapy with chronic


pain patients. New York: Springer Publishing Company; 2003. p.3-57.

10.

Vadivelu N, Urman RD, Hines RL. Essentials of pain management.


New York: Springer; 2011. p.31-74.

11.

Lynch ME, Craig KD, Peng PW. Clinical pain management a


practical guide. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2011.

12.

Buschmann H, Christoph T, Friderichs E. Analgesics from


chemistry and pharmacology to clinical application. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.p. 13-121.

74

13.

Kisner C, Colby L. Therapeutic exercise foundations and


techniquea. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002.

14.

Ramamurthy, Alanmanou, Rogers. Decision making in pain


management. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006.p. 2-23.

15.

Gallagher RM, Verma S. Biopsychosocial factors in pain medicine.


In: Wallace MS, Staat PS. Pain medicine and management just the facts. New
York: McGraw-Hill; 2005.p. 244-54.

16.

National Cancer Institute. Pain control support for people with


cancer. New York: Nova Science Publishers Inc; 2009.p. 5-47.

17.

Hadjistavropoulos T, Craig KD. Pain psychological perspectives.


London: Lawrence Erlbaum Associates Publisher; 2004.p. 13-58

18.

Jay Gw. Practical guide to chronic pain syndromes. New York:


Informa Healthcare USA Inc; 2010.p. 327-397.

19.

Geoffrey T, Aslam H. Spinal mechanisms of chronic pain. AJPM.


2006; 17: 27-43.

20.

Lenz FA, Casey KL, Willis WD. The human pain system
experimental and clinical perspectives. Cambridge: Cambridge University
Press; 2010.

21.

Helme RD. Drug treatment of neuropathic pain. Australian


Presciber. 2006; 29(3): 72-5.

22.

Curatolo M, Nielsen LA, Felix SP. Central hypersensitivity in


chronic pain mechanisms and clinical implications. Phys Med Rehabil Clin N
Am. 2006; 7: 287302.

23.

Schatman ME, Campbell A. Chronic pain management guidelines


for multidisciplinary program development. New York: Informa Healthcare
USA Inc; 2007.

24.

Wilson PR, Watson P, Haythornthwaite J. Clinical pain management


chronic pain. London: Hodder and Stoughton Limited; 2008.

25.

Stannard C, Kalso E, Ballantyne J. Evidence based chronic pain


management. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2010.

26.

Ajemian I, 1996. The Interdisiplinary Team. In: Doyle D, Hanks G


dan MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of Palliative Medicine. New York:
Oxford University Press, pp 18-27.

27.

Andrews KL, Oderich GS, Bjarnason H, Gamble G, strick DM dan


Yacyshyn VJ, 2010. Vascular Disease. In: Delisa J (Ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins, pp 1197-1201.

28.

Boediwarsono, 1996. Pengelolaan Nyeri Kanker. In: Kelompok


perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri. Tim Penanggulangan Penyakit Kanker FK
UNAIR-RSUD Dr.Soetomo. Surabaya

75

29.

Cheville A, 2010. Palliative Care Symptom Management. In: Delisa


J (Ed). Physical Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. 5th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, pp 1905-1927.

30.

Clark SD, 1996. Speech Therapy. In: Doyle D, Hanks G dan


MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of Palliative Medicine. New York:
Oxford University Press, pp 549-554.

31.

Clinch JJ dan Schipper H, 1996. Quality of Life Assessment in


Palliative Care. In: Doyle D, Hanks G dan MacDonald N (Ed). Oxford
Textbook of Palliative Medicine. New York: Oxford University Press, pp 61-64.

32.

Ernawati S, 2012. Home Care Paliatif. In: Pertemuan Ilmiah


Tahunan paliatif Nasional Ke V Kanker-HIV-AIDS-Degeneratif; Vol.15. No.1.
Surabaya: Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD dr.Soetomo,
pp 165-170.

33.

Espiritu NG, 2009. Therapeutic Exercise In Cancer. In: Stubblefield


MD dan ODell MW (Ed). Cancer Rehabilitation Principles and Practice.
New York: Demos Medical Publishing, p 803.

34.

Fife CE, Davey S, Maus EA, Guilliod R dan Mayrovitz HN, 2012.
A Randomized Controlled Trial Comparing Two Types Of Pneumatic
Compression For Breast Cancer-Related Lymphedema Treatment In The
Home. Support Care Cancer. DOI 10.1007/s00520-012-1455-2.

35.

Goodwin DM, Higginson IJ, Myers K, Douglas HR dan Normand


CE, 2003. Effectiveness of Palliative Care in Improving Pain, Symptom
Control, and Quality of Life. J Pain Symptom Management; 25(3):202-212.

36.

Gray R, 1996. Physiotherapy. In: Doyle D, Hanks G dan


MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of Palliative Medicine. New York:
Oxford University Press, pp 530-535.

37.

Halar EM dan Bell KR, 2010. Physical Activity: Physiological and


Functional Impairements and Their Treatment. In: Delisa J (Ed). Physical
Medicine and Rehabilitation, Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins, pp 1249-1255.

38.

Haryodo HS, 1996. Nutrisi Pada Perawatan Paliatif. In: Tejawinata


S, Soebadi RD dan Adi S (Ed). Majalah Paliatif Kanker. Vol.2.No.1. Surabaya:
Kelompok Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD Dr.Soetomo/FK UNAIR,
pp 65-70.

39.

Johnston B, 2005. Introduction to Palliative Care. In: Lugton J dan


McIntyre R (Ed). Palliative Care: The Nursing Role. China: Elsevier, pp 1-4.

40.

MacDonald N, 1996. Interface between Oncology and Palliative


Medicine. In: Doyle D, Hanks G dan MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of
Palliative Medicine. New York: Oxford University Press, pp 16-17.

41.

Mahajudin M dan Yuwana TA, 2000. Aspek Psikososial Perawatan


Penderita Kanker Terminal. In: Kongres Nasional Perdana Masyarakat Paliatif

76

Indonesia. Care with Competence and Compassion. Surabaya: Kelompok


Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD Dr.Sortomo/FK UNAIR, pp 113118.
42.

Margono B, 2000. Penanganan Paliatif Simptom Respiratorik Pada


Penderita Kanker serta Kemoterapi Paliatif. In: Kongres Nasional Perdana
Masyarakat Paliatif Indonesia. Care with Competence and Compassion.
Surabaya: Kelompok Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD
Dr.Sortomo/FK UNAIR, p 85.

43.

Meier DE dan Brawly OW, 2011. Palliative Care and The Quality of
Life.
J
of
Clinical
Oncology.
Doi/10.1200/JCO.2011.35.9729,
http://jco.ascopubs.org.

44.

Munro PS, 1996. Music Therapy. In: Doyle D, Hanks G dan


MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of Palliative Medicine. New York:
Oxford University Press, pp 555-559.

45.

Olson E dan Cristian A, 2005. The Role of Rehabilitation Medicine


and Palliative Care in The Treatment of Patients with End-Stage Disease. J
Phys Med Rehabil Clin N Am; Feb 16(1):285-305

46.

Palma JS dan Payne R, 2001. Palliative Care and Rehabilitation. J


American Cancer Society; 92(4):1049-1052.

47.

Perhimpunan Dokter Spesialis Rehabilitasi Medik Indonesia


(PERDOSRI), 1998. Perawatan Nyeri Paliatif. In: Soebadi RD, Rochman F dan
Nuhonni S (Ed).

48.

Rochman F, 1993. Perawatan Paliatif Kanker Kolorektal. In: Dutch


Foundation. Post Graduate Courses in Indonesia School of Medicine
Airlangga University Dr.Soetomo Hospital VIII Oncology. Surabaya: School of
MedicineAirlangga University, pp 167-181.

49.

Soebadi RD, 1996. Terapi Paliatif Selain Nyeri. In: Tejawinata S,


Soebadi RD dan Adi S (Ed). Majalah Paliatif Kanker. Vol.2.No.1. Surabaya:
Kelompok Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD Dr.Soetomo/FK UNAIR,
pp 56-64.

50.

Soebadi RD, 2000. Peran Rehabilitasi Medik dalam Perawatan


Paliatif dan Bebas Nyeri. In: Kongres Nasional Perdana Masyarakat Paliatif
Indonesia. Care with Competence and Compassion. Surabaya: Kelompok
Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD Dr.Sortomo/FK UNAIR, pp 51-61.

51.

Statistik Indonesia, 2012. Statistik Penderita Kanker di Indonesia.


[cited on 24th Nov 2012]. Available from URL: www.deherba.com/statistikpenderita-kanker-di-indonesia.html.

52.

Subagyo, 2012. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation for


Cancer Pain Management. In: Pertemuan Ilmiah Tahunan paliatif Nasional Ke
V Kanker-HIV-AIDS-Degeneratif; Vol.15. No.1. Surabaya: Pusat
Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD dr.Soetomo, pp 79-82.

77

53.

Tejawinata S dan Indriyani W, 2012. Perawatan Paliatif di RSUD


Dr.Soetomo. In: Tejawinata S dan Razak A (Ed). Surabaya Kota Paliatif Citra
dan Pesonanya. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR, pp 12-35

54.

Tejawinata S, 2012. Perawatan Paliatif di Indonesia Masa Lampau,


Kini dan Hari Depan. In: Pertemuan Ilmiah Tahunan paliatif Nasional Ke V
Kanker-HIV-AIDS-Degeneratif; Vol.15. No.1. Surabaya: Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri RSUD dr.Soetomo, pp 1-3.

55.

Tigges KN, 1996. Occupational Therapy. In: Doyle D, Hanks G dan


MacDonald N (Ed). Oxford Textbook of Palliative Medicine. New York:
Oxford University Press, pp 535-543.

56.

Tulaar A, 2012. Basic Principles of Medical Rehabilitation in


Palliative Care. In: Pertemuan Ilmiah Tahunan paliatif Nasional Ke V KankerHIV-AIDS-Degeneratif; Vol.15. No.1. Surabaya: Pusat Pengembangan Paliatif
dan Bebas Nyeri RSUD dr.Soetomo, pp 32-41.

57.

Twycross R, 1996. Introducing Palliative Care. New York: Radcliffe


Medical Press Inc, p 2,17-61.

58.

Vargo MM, Riutta JC dan Franklin DJ, 2010. Rehabilitation for


Patients with Cancer Diagnosis. In: In: Delisa J (Ed). Physical Medicine and
Rehabilitation, Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins, pp 1163-1165, 1159-1160.

59.

Woodruff R, 1993. Palliative Medicine Palliative Care Total


Suffering. Australia: Asperula Pty, pp 3-19.

60.

World Health Organization (WHO), 1996. Cancer Pain Relief With


a Guide to Opioid Availability. 2nd ed. Geneva: Office of Publication WHO, pp
3-7.

61.

World Health Organization (WHO), 2012. Cancer Mortality and


Morbidity. In: Global health Observatory. [cited on 24th Nov 2012]. Available
from URL: www:who.int/gho/ncd/mortality_morbidity/cancer/en/index.html.

62.

World Health Organization (WHO), 2012. WHO Definition of


Palliative Care. In: Cancer. [cited on 26th August 2012]. Available from URL:
http://www.who.int/cancer/palliative/definition/en/.

63.

Hardywinoto, Setiabudi T. Panduan Gerontologi. Tinjauan dari


Berbagai Aspek. 1999. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hal:9-11

64.

Timiras PS. Physiological Basis of Aging and Geriatrics. Fourth


edition. 2007. Informa Healthcare. California. PP: 336-338

65.

Tollison CD, Satterthwaite JR, Tollison JW. Practical Pain


Management 3rded.2002. Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia. Pp:209301

78

66.

Kaplan PE, Tanner ED. Musculoskeletal Pain and Disability. 1989.


Appleton & Lange. California. PP: 317-328

67.

Roy R, Thomas MR. Elderly Persons With and Without Pain: A


Comparative Study. 1987.Clin J Pain. 3:102-106

68.

Lavsky-Shulan M. Prevalence and Functional Correlates of Low


Back Pain in The Elderly: The Lowa 65+ Rural Health Study. 1985. J Am
Geriatr Soc: 33:23-28

69.

Ferrell BR, Ferrell BA. Pain in The Elderly. Seatle,1996. IASP


Press

70.

Leong IY, Farrell MJ, Helme RD, Gibsons SJ. The Relationship
Between Medical Comorbidity and Self-Rated Pain, Mood Disturbance, and
Function in Older People With Chronic Pain.2007. Journal of Gerontology
64:5. Pp : 550-555

71.

Corcione A. Day Surgery in the Elderly: Pain as Fifth Vital


Parameter. 2009.BMC Geriatrics 10:102

72.

Lewis CB. Aging. The Health-care Challenge.1996. FA Davis.


Philadelphia. Pp:109-111)

73.

Gibson SJ, Farrel M. A Review of Age Differences in the


Neurophysiology of Nociception and the Perceptual Experience of Pain. 2004.
Clinical Journal of Pain 20:4. Pp 227-239

74.

Tallis R, Fillit H, Brocklehurst JC. Brocklehursts Textbook Of


Geriatric Medicine and Gerontology 5thed. 1998. Churchill Livingstone.
London. Pp:1423-1428

75.

Tollison CD, Satterthwaite JR, Tollison JW. Practical Pain


Management 3rd ed.2007. Lippincott William.Philadelphia.

76.

Michlovitz SL. Thermal Agent in Rehabilitation. 3 rd ed. 1996.FA


Davis. Philadelphia.pp 30 31

77.

Bonica JJ. The Management of Pain 2nd ed.1990. Lea & Febiger.
Pennsylvania. PP:28-72

78.

Felsenthal G, Garrison SJ, Steinberg FU. Rehabilitation of The


Aging And Elderly Patient. 1994.Williams & Wilkins. Maryland. Pp : 303-313

79.

Calandese F, Caroleo S, Amantea B, Santagelo E.(2009).


Postoperative Pain Kontrol in the Elderly.2009. BMC Geriatrics 10:54

80.

Harkins SW, Kwentus J, Price DD. Pain and Suffering in The


Elderly. In The Management of Pain 2nded. 1990.Pennsylvania. Pp :552-556

81.

Lewis CB, Bottomley JM. Geriatric Rehabilitatioh. A Clinical


Approach 3thed. 2008. Prentice Hall. New Jrsey. Pp: 39

82.

McDougall JJ. Pain and OA. 2006. J Musculoskelet Neuronal


Interact; 6(4):385-386

79

83.

Edward RR, Fillingim RB, Ness TJ. Age-related differences in


endogenous pain modulation: a comparison of diffuse noxious inhibitory
kontrols in healthy older and younger adults. 2003. Pain 101:1. Pp 155-165.

80

You might also like