Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau
penggambaran dalam bentuk kerusakan tersebut. Dari definisi tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pengalaman nyeri melibatkan dimensi sensori, emosional dan
juga kognitif.
Nyeri selalu bersifat subyektif, tidak ada dua individu yang mengalami
nyeri yang sama menghasilkan respon atau perasaan yang identik pada individu
tersebut. Melzack dan Casey menyebutkan bahwa pengalaman nyeri merupakan
interaksi dari tiga sistem (dimensi) yang berkaitan dengan stimulasi nosiseptif,
yaitu sensori-diskriminatif, motivasi-afektif, dan kognitif-evaluasi. Ketiga sistem
ini berkontribusi terhadap subyektifitas nyeri dan integralisasi faktor psikologis
dalam pengalaman nyeri.
Berdasarkan perjalanan waktunya, nyeri dapat diklasifikasikan sebagai
nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba sedangkan nyeri
kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang suatu periode
waktu tertentu.
Hasil survey sebelumnya yang telah dilakukan oleh Roy dan Thomas (1987)
menunjukkan bahwa hampir 70% dari 205 manula sehat mengeluh nyeri meskipun
aktifitas rekreasinonal tidak berbeda antara kelompok yang mengeluh nyeri dan
kelompok yang tidak mengeluh nyeri. Penilitian lain yang dilakukan oleh LavskyShulan (1985) terhadap 3097 manula terbukti bahwa 22% kelompok tersebut telah
mengalami nyeri punggung bawah dan 15% hingga 42% dari mereka yang
mengeluh nyeri punggung bawah juga mengalami keterbatasan fungsi karena
nyeri.7 Ferrell (1996) menyebutkan bahwa prevalensi nyeri meningkat berdasarkan
usia meskipun pada manula memiliki kecendurangan untuk tidak melaporkan
keluhan tersebut. Sepertiga kasus nyeri pada manula akan berlanjut menjadi
keluhan nyeri kronik. Carcione (2009) menyebutkan bahwa 62% manula akan
mengalami nyeri yang hebat setelah menjalani operasi elektif dan 13% dari jumlah
tersebut tidak puas dengan penanganan nyeri yang diterima.
Penanganan nyeri pada manula perlu pendekatan khusus karena berbagai
faktor. Terdapat dua faktor penting yang membedakan keluhan nyeri pada manula
dibanding kelompok usia muda. Faktor pertama adalah kesulitan seorang manula
untuk menunjuk dan melokalisir nyeri. Faktor kedua adalah perubahan jalur nyeri
itu sendiri. Perubahan struktur dan fungsi dari jalur tersebut menyebabkan seorang
manula memiliki risiko lebih besar terhadap jejas yang lebih besar. Hal ini
disebabkan karena fungsi rasa nyeri sebagai alarm menjadi terganggu. Nyeri yang
tidak membaik akan menimbulkan masalah yang serius pada manula. Masalah
yang dapat timbul meliputi depresi, kecemasan, gangguan fungsi, gangguan tidur,
isolasi sosial, serta penurunan kualitas hidup. Seiring dengan peningkatan jumlah
manula di seluruh dunia maka pengetahuan mengenai pengalaman nyeri serta
faktor lain yang mempengaruhi keunikan proses nyeri pada manula perlu
diperhatikan.
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita
sebagai individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010).
Perawatan ini diperlukan bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi HIV AIDS.
Sejak penyakit tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut
bahkan hingga hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif
agar mencapai kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch
dan Schipper, 1996). Pemerintah telah memberikan kebijakan perawatan paliatif
di Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 604/MENKES/SK/IX/1989. Terdapat empat subkomite di dalam
Komite Nasional Penanggulangan Penyakit Kanker yaitu subkomite pencegahan,
subkomite deteksi dini, subkomite
sebagai
perawatan
yang
komprehensif,
multidisiplin,
untuk
BAB II
NYERI KRONIK
2.1. DEFINISI
Definisi nyeri yang paling luas diterima adalah yang diambil dari
International Association for the Study of Pain (IASP), yaitu : pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan
jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk
kerusakan tersebut.
Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang
berlangsung lebih lama dari proses penyembuhannya yang normal. Ada yang
berpendapat lama nyeri kronis adalah berlangsung lebih dari 6 bulan.
Pustaka lain menyebutkan bahwa nyeri didefinisikan sebagai nyeri kronik
jika:
1. berlangsung melampaui waktu yang diperlukan untuk penyembuhan nyeri
akut atau penyembuhan jaringan
2. jika berhubungan dengan proses patologis kronis
3. nyeri rekuren dalam interval bulan atau tahun
Tabel 2.1. Waktu yang diperlukan untu k penyembuhan normal
Jenis Organ
Kulit
3 7 hari
Tulang
6 minggu
3 bulan
2. Nyeri Neuropatik
Nyeri Neuropatik dihasilkan dari kerusakan atau perubahan strukur dan
fungsi jaringan saraf. Nyeri neuropatik dapat timbul berkaitan dengan
proses somatosensorik yang menyimpang pada saraf tepi atau sistem saraf
pusat
3. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik sering dirujuk sebagai gangguan somatisasi. Penyebabnya
didasari oleh adanya gangguan emosional atau stressor yang sering tidak
disadari pasien. Nyeri psikogenik timbul walaupun tidak ditemukan organ
sumber nyeri yang dapat diidentifikasi.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan 10-20% dari populasi dunia menderita nyeri kronik.
Penelitian di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan bahwa 10-11% dari
penduduk mempunyai gejala nyeri kronik di seluruh bagian tubuh yang menetap
sedang 20-25% mengalami nyeri kronik regional dengan perempuan 1,5 kali lebih
banyak dari laki-laki.
2.4. FISIOLOGI NYERI
Pada keadaan normal nyeri bertindak sebagai mekanisme alarm yang
mengindikasikan adanya kerusakan atau potensi kerusakan di dalam tubuh
manusia. Namun pada nyeri kronik terjadi perubahan mekanisme sehingga tidak
selalu mencerminkan proses patologi yang sebenarnya.
Nyeri timbul sebagai respon terhadap stimulasi struktur nosiseptif.
Stimulus dijalarkan melalui sepanjang saraf tepi ke sistem saraf pusat. Sensasi
nyeri dan respon individu terhadap nyeri dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya mekanisme fisiologi reseptor nyeri, struktur anatomi sistem saraf
nyeri, keadaan psikologi, emosional, perilaku, dan motivasi dari masing-masing
individu. Variasi dalam beberapa faktor tersebut dapat memberikan perbedaan
persepsi, derajat, tipe lokasi dan durasi nyeri.
Interaksi yang komplek antara stimulus dari kerusakan jaringan dan
pengalaman subyektif dari nyeri kronis dapat digambarkan dengan proses umum
yang dikenal sebagai transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
2.4.1. RESEPTOR
Akhiran saraf aferen di seluruh jaringan tubuh dinamakan reseptor.
Kepadatan reseptor di jaringan tubuh berbeda-beda. Untuk reseptor nyeri, misalnya
jaringan yang sangat peka nyeri seperti kornea dan pulpa gigi, menunjukkan
kepadatan reseptor nyeri yang sangat tinggi dibandingkan dengan jaringan yang
kurang peka nyeri seperti otot dan organ-organ visera.
Jenis reseptor cukup banyak. Ada yang peka terhadap peregangan,
temperatur, zat-zat kimia, akan tetapi ada pula yang peka terhadap berbagai stimuli
dan tipe ini dinamakan reseptor polimodal. Reseptor polimodal paling banyak
berperan dalam proses timbulnya nyeri. Distribusi reseptor ini luas (kulit, otot dan
visera) dan mudah dimodulasi oleh karena sangat sensitif terhadap mediator
kimiawi. Reseptor polimodal lebih sering disebut sebagai nosiseptor,
Sensasi nyeri dimulai dari peristiwa seperti terpotong, terbakar, inflamasi
yang merangsang terminal akhir berkas saraf. Dalam keadaan normal, reseptor
tersebut tidak aktif (sleeping nociceptors). Keadaan patologik mengakibatkan
nosiseptor menjadi sensitif bahkan hipersensitif. Berkas saraf yang terlibat dalam
peristiwa ini terdiri dari serabut C yang tidak bermyelin dan A-delta, serta neuron
preganglion autonom.
Di samping sebagai penerima impuls, nosiseptor dapat pula berfungsi sebagai
pelepas neuropeptid seperti substansia P dan CGRP (Calcitonin Gene Related
Peptide) paska trauma atau inflamasi. Pelepasan substansi P dan CGRP akan
menyebabkan terjadinya inflamasi neurogenik. Fungsinya untuk mencegah atau
mengurangi efek merugikan dari trauma atau lesi dan mempercepat penyembuhan.
Akan tetapi dalam beberapa keadaan patologik fungsi tersebut sebaliknya
menyebabkan rasa nyeri terutama pada nyeri kronik.
2.4.2. TRANSDUKSI
Transduksi adalah peristiwa perubahan stimulus nyeri menjadi sinyal nyeri
yang terjadi di reseptor nyeri. Stimuli yang datang di reseptor mengubah
Gambar 2.2 Transmisi sinyal nyeri pada sistem saraf perifer dan pusat
10
Serabut A-beta dapat terlibat dalam transmisi dan persepsi nyeri yang tidak
normal. Serabut A-beta (wide dynamic-range neuron) bermyelin dan berdiameter
besar, menghantarkan sinyal lebih cepat dari serabut A-delta dan C. Serabut A-beta
dalam keadaan normal menghantarkan sinyal yang berhubungan dengan getaran,
peregangan, rangsang mekanik dan tidak menghantarkan nyeri.
Namun demikian dalam keadaan nyeri neuropatik dan sensitisasi sentral terjadi
perubahan sehingga stimulus yang normal (tidak berhubungan dengan nyeri) dapat
menghasilkan sensasi nyeri. Terdapat tiga teori yang menjelaskan keterlibatan
serabut A-beta terhadap nyeri. Teori pertama mengatakan bahwa perangsangan
serabut A-beta mengaktifkan sel saraf di medula spinalis yang telah mengalami
sensitisasi sentral. Teori ke dua menjelaskan bahwa serabut A-beta mengalami
sprouting ke dalam lapisan medula spinalis yang normalnya merupakan akhiran
serabut C, sehingga akhirnya menstimulasi neuron yang salah. Teori ke tiga
mengatakan bahwa serabut A-beta yang berada di dekat neuron nosiseptif yang
rusak ikut terpicu secara abnormal. Perubahan dalam fungsi neuron inilah yang
menjadi kunci dalam nyeri yang berkepanjangan.
Lintasan pusat
Serabut saraf A-delta maupun C bersinaps secara langsung maupun melalui
interneuron di lapisan superfisial kornu posterior medula spinalis (substansia
gelatinosa). Beberapa serabut A-delta bersinaps pada lapisan yang lebih dalam,
dimana serabut A-beta berakhir. Interneuron dalam kornu posterior dikenal sebagai
Transmission cells atau sel T. Sel T membuat sambungan lokal di medula spinalis,
baik dengan neuron eferen sebagai bagian dari refleks apinal, maupun dengan
neuron aferen yang berlanjut ke level yang lebih tinggi.
Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dilanjutkan ke
otak oleh neuron proyeksi. Terdapat beberapa jalur utama informasi nosiseptif
menuju otak yaitu:
1. Traktus spinotalamikus
2. Traktus spinoretikular
3. Traktus spinomesenfalik
4. Traktus spinoservikalis
11
intervensi
fisik, kimia,
dan
psikologikal
dikembangkan
12
Teori modulasi nyeri ini pertama kali dikenalkan oleh Melzack dan Wall
pada tahun 1965. Menurut teori ini derajat nyeri ditentukan oleh keseimbangan
rangsangan dan penghambatan input terhadap sel T di medula spinalis. Sel T
menerima input rangsangan dari aferen nosiseptor C dan A-delta dan input
penghambatan dari aferen sensori non nosiseptor A-beta.
Peningkatan aktivitas aferen sensori non nosiseptor menyebabkan inhibisi
presinaps pada sel T dan kemudian menutup secara efektif jembatan spinal ke
kortek cerebral dan menurunkan sensasi nyeri.
Beberapa modalitas dan intervensi mengontrol nyeri dengan cara
mengaktivasi saraf sensori non nosiseptif yang kemudian menghambat aktivasi sel
penghantar nyeri dan menutup jembatan untuk mentransmisikan nyeri. Sebagai
contoh elektro stimulasi, traksi, kompresi, dan masase kesemuanya dapat
mengaktfkan saraf sensori non nosiseptif yang berdiameter besar, memiliki
ambang yang rendah dan kemudian menghambat transmisi nyeri dengan menutup
jembatan nyeri pada level medula spinalis.
13
14
konsentrasi yang tinggi dalam lapisan superfisial dari kornu posterior medulas
spinalis dan dalam sistem saraf enterik, dan juga akhiran saraf serabut C.
Opioid dan Opio peptin selalu memiliki aksi inhibisi. Mereka menyebabkan
inhibisi presinap dengan mensupresi influks kalsium kedalam sel dan
menyebabkan inhibisi post sinap dengan mengaktivasi pengeluaran kalium.
Sebagai tambahan Opio peptin secara tidak langsung menginhibisi transmisi nyeri
dengan mempengaruhi pelepasan GABA di dalam PAGM dan nukleus raphe.
Opiat bekerja mengaktifkan neuron proyeksi descenden melalui mekanisme
inhibisi. Opiat juga menunjukkan efek analgesiknya, langsung pada medula
spinalis oleh karena dapat menghambat aktivitas neuron di kornu dorsalis.
Mekanisme kontrol sentral dan psikologikal
ES pada area yang banyak menghasilkan opio peptin, seperti PAGM dan
nukleus raphe, menginhibisi dengan kuat transmisi nyeri. Stimulasi pada area ini
dapat membebaskan nyeri yang membandel pada
jumlah beta endorfin dalam CSF. Konsentrasi reseptor opiat dan opio peptin dalam
sistim limbik yang berhubungan dalam fenomena emosional juga membuktikan
dan menerangkan pengaruh respon emosional terhadap nyeri .
Pelepasan opio peptin memainkan peran yang penting dalam modulasi dan
kontrol nyeri selama terjadi stres emosional. Level opio peptin di otak dan CSF
meningkat dan ambang rangsang nyeri meningkat. Teori ini juga menerangkan
15
efek pembebasan nyeri dari akupunktur dan pemakaian nyeri sebagai stimulator
(preparat topikal yang menyebabkan sensasi terbakar).
Dalam beberapa tahun belakangan ini, diketahui pula bahwa banyak
neuron di medula oblongata bagian rostroventral yang bersifat serotonergik,
sedangkan yang di pons berupa noradrenergik. Kedua tipe ini sangat penting
perannya dalam memodulasi impuls nyeri. Apabila kedua jenis neuron ini rusak,
maka kemampuan analgesik dari neuron opiat akan menurun. Demikian pula
halnya dengan pemberian antagonis reseptor serotonin di medula spinalis, akan
sangat mengurangi efek analgesik pemberian morfin supraspinalis. Pemberian
langsung serotonin dan norepinefrin ke medula spinalis akan menyebabkan
analgesia.
2.4.5 PERSEPSI
Nyeri merupakan suatu pengalaman yang kompleks, melibatkan sensori
dan afektif. Korteks area somatosensori primer dan sekunder berkaitan dengan
aspek sensori dan diskriminasi nosisepsi, sedangkan area limbik berkaitan dengan
afektif motivasi. Area kortek cingulate anterior memainkan peran dalam emosi dan
aversive (penolakan) dalam respon terhadap nyeri. Pengaruh korteks inilah yang
menjelaskan peran modulasi bahwa memori dan pembelajaran sangat berpengaruh
dalam persepsi nyeri.
16
Gambar 2.6. Perbedaan proses kimia pada reseptor antara nyeri akut dan kronik.
Nyeri kronis menginduksi banyak faktor yang mempertahankan nyeri dan
menghambat penyembuhan yaitu:
1. Aktivasi menetap dari reseptor AMPA menyebabkan perubahan polaritas
membran dengan pelepasan Mg2+ yang membuka kanal Ca2+ pada
kompleks reseptor NMDA.
2. Ca2+ akan mengaktivasi protein kinase C (PKC) PKC dibutuhkan oleh
Nitric Oxide Synthase (NOS) untuk memproduksi Nitric Oxide (NO).
17
Gambar 2.7. Perbedaan antara perjalanan nyeri akut dan nyeri kronik
Sensitisasi sentral adalah respon berlebihan dari sel saraf nyeri di
susunan saraf pusat terhadap input dari reseptor perifer. Medula spinalis bertugas
18
sebagai penguat atau pengubah dari keadaan jaringan yang sebenarnya. Pada
keadaan ini informasi yang diterima otak dari kornu posterior tidak akurat lagi
dan tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya di jaringan. Lebih lanjut lagi,
dapat terjadi perubahan penafsiran lokasi bagian tubuh oleh area sensorik primer
otak yang menyebabkan penyimpangan kontrol motorik
Pasien nyeri kronik sering mengalami perubahan kemampuan adaptasi
fisiologi dan nyeri yang menetap tersebut menjadi penyakit yang tersendiri.
Pasien mengalami dekondisioning karena aktifitas fisik yang menurun, frustasi,
depresi, perubahan perilaku, penurunan produktifitas, sikap, dan gaya hidup
yang justru memperberat keluhan nyeri kronik.
19
20
21
22
7. Disuse
Imobilisasi yang berkepanjangan dan berlebihan menyebabkan nyeri
muskuloskeletal sekunder. Pemakaian splint dan imobilisasi yang tidak
tepat menyebabkan disfungsi muskuler dan deconditioning sehingga
memperburuk keluhan nyeri pasien.
8. Disfungsi
Pasien menjadi menarik diri dari lingkungan pergaulan, diberhentikan
dari pekerjaan, kehilangan aktivitas rekreasional, menjauhkan diri dari
teman dan keluarga, dan terisolasi. Hal tersebut menyebabkan pasien
mengalami masalah fisik, emosi, sosial, dan ekonomi.
Tabel 2.4 . Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
23
1.
2.
3.
Gambar 2.9. 1. Visual Analogue Scale, 2. Numerical Rating Scale,
3.Wong Baker Faces Scale.
24
Salah satu alat ukur multidimensional adalah McGill Paint Questioner. Self
assessment tools ini yang mengukur berbagai aspek dari nyeri, yaitu sensori
diskriminasi (intensitas, lokasi durasi), dimensi afektif emosional, dan kognitif
evaluatif. Bagian pertama berisi penggambaran bagian depan dan belakang tubuh
manusia yang mendeskripsikan nyeri. Bagian kedua berisi enam kata deskripsi
verbal yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri. Bagian terakhir dari
kwesioner ini menggunakan 20 subkelas pengelompokan sifat nyeri yang
menggambarkan tiga dimensi nyeri yaitu sensori (misalnya tajam, tumpul, lokasi),
afektif (misalnya melelahkan, mengganggu) dan evaluatif.
Alat ukur behavioral menilai masalah sosial, psikologikal (penyimpangan
perilaku, sikap, gaya hidup, kemampuan fungsional tersebut merupakan masalah
fisikal atau psikologikal), pengertian dan penerimaan terhadap situasi yang
dialami, tanda-tanda depresi (iritabel, loyo, kurang konsentrasi, penurunan hasrat),
dan status emosional dan kepribadian premorbid.
Beberapa alat ukur psikobehavioral diantaranya adalah skala status
fungsional (contoh: Sicknes Impact Profil) dan tes psikologi umum (contoh:
Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)), Milon Behavioral Health
Inventory (MBHI) dan Zung Depresi Scale).
BAB III
MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF PADA LANSIA
3.1
25
Faktor yang menentukan perbedaan rasa nyeri pada manula dan usia muda
adalah faktor sosial, fungsi kognisi, dan perubahan fisiologi nyeri. Kelompok
manula memiliki kecenderungan untuk tidak mengeluhkan rasa nyeri yang dialami.
Hal ini dapat disebabkan karena anggapan bahwa nyeri yang dialami adalah
konsekuensi dari proses penuaan atau karena rasa takut terhadap konsekuensi nyeri
itu sendiri. Beberapa manula tidak mau menyampaikan keluhan nyeri karena takut
keluhan tersebut menunjukkan tanda penyakit serius seperti kanker. Mereka
beranggapan bahwa ketika mereka tidak mengeluhkan rasa nyeri tersebut maka
mereka tidak akan mendapatkan penyakit kanker tersebut. Keadaan ini membuat
tenaga kesehatan harus serius menghadapi keluhan nyeri pada manula. 11
Penurunan fungsi kognitif pada manula menyebabkan kelompok manula lebih sulit
untuk melaporkan lokasi serta intensitas rasa nyeri yang dialami.
Perubahan Fisiologi Nyeri Nosiseptik Pada Manula
Keluhan nyeri yang sering terjadi pada manula bukan merupakan satu
konsekuensi dari proses penuaan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait
dengan perubahan respon nyeri dengan pertambahan usia menunjukkan hasil yang
berbeda. Sebuah penelitian dengan menggunakan stimulasi listrik dan tooth shock
menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan nyeri pada manula.
Penelitian lain menunjukkan hasil yang berbeda yaitu terjadi perubahan reseptor
nyeri pada manula. Perubahan struktur tersebut diduga menjadi penyebab
presbialgos (ambang nyeri yang meningkat) pada manula. Lewis (2008)
menyatakan bahwa reseptor untuk nyeri tidak mengalami perubahan sehingga
sensasi nyeri tidak berubah dengan pertambahan usia.21 Pernyataan tersebut
didukung oleh berbagai penelitian psikofisik yang menginduksi nyeri dengan
menggunakan panas, elektrik, dan tekanan mekanik.
Pada berbagai penelitian tersebut dilakukan penilaian terhadap ambang nyeri,
reaksi dan toleransi
26
tersebut bertolak belakang dengan hasil penelitian lain yang menujukkan bahwa
usia mempengaruhi berbagai perubahan dan respon terhadap nyeri.
Berdasarkan hasil pengkajian anatomi terbukti bahwa nosiseptor akan
mengalami perubahan struktur seiring dengan pertambahan usia. Usia berhubungan
dengan penurunan respon nosiseptor dan serabut C terhadap rangsangan kimiawi.
Penuaan juga disertai perubahan struktur morfologi, sifat elektrofisiologi, serta
neurokimia dari sistem sensorik. Pertambahan usia juga menyebabkan penurunan
sensasi sentuhan dan getar yang berfungsi sebagai oposisi terhadap rangsangan
nosiseptor.
Perubahan Transmisi Nyeri pada Manula
Pada orang lanjut usia terjadi berbagai perubahan struktur dan fungsi sistem
saraf perifer yang berperan pada jalur nyeri. Penyakit lain yang diderita oleh
kelompok manula juga dapat menyebabkan perubahan transmisi nyeri. Terdapat
bukti dengan menggunakan binatang coba bahwa firing rate dari serabut afferent
meningkat dengan bertambahnya usia. Selain itu, produksi enkephalin yang
menurun pada usia tua menyebabkan rasa nyeri cenderung menjadi kronik.
Perubahan Persepsi Nyeri pada Manula
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan hubungan antara
proses penuaan dengan perubahan persepsi dan ambang nyeri. Hasil penelitian
tersebut bervariasi, tetapi sebagian besar menunjukkan hubungan proses penuaan
dengan penurunan sensitifitas terhadap nyeri, akan tetapi belum dapat dijelaskan
dengan detail secara laboratorik. Deaktifasi sistem inhibisi nyeri desenden
dilakukan oleh enzim monoamine oksidase (MAO).
Pada usia manula terjadi peningkatan kadar MAO. Hal ini menyebabkan
peningkatan persepsi nyeri dan kelainan afeksi seperti depresi atau mania pada
manula. Pada manula terjadi penurunan kadar endorphin dan enkephalin serta
reseptor opioid endogen yang berfungsi sebagai penghambat nyeri. Fungsi sistem
inhibisi desenden tidak berfungsi pada manula yang mengalami gangguan fungsi
27
kognisi.3 Beberapa area di otak yang bertanggung jawab pada persepsi nyeri juga
mengalami perubahan seiring dengan penuaan.
Pertambahan usia diyakini mempengaruhi pengalaman nyeri dari
seseorang yang dapat mempengaruhi sensitifitas terhadap rangsangan nyeri.
Beberapa perubahan yang berkaitan dengan usia dalam hal persepsi nyeri terdapat
pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Perubahan yang berhubungan dengan usia dalam persepsi nyeri
3.2 MANAJEMEN NYERI DALAM PERAWATAN PALIATIF
Perawatan paliatif merupakan pelayanan kesehatan kepada penderita
sebagai individu seutuhnya yang bersifat holistik dan terintegrasi (Cheville, 2010).
Perawatan ini diperlukan bagi penderita dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan seperti kanker dan penyakit infeksi HIV AIDS. Sejak penyakit
28
tersebut didiagnosis dan muncul gejala, sampai pada stadium lanjut bahkan hingga
hari terakhir hidupnya, penderita memerlukan perawatan paliatif agar mencapai
kualitas hidup yang terbaik bagi penderita serta keluarganya (Clinch dan Schipper,
1996).
World Health Organization (WHO) memberi batasan perawatan paliatif
sebagai perawatan total dan aktif pada penderita dengan penyakit yang tidak
responsif terhadap pengobatan atau kuratif. Perawatan terutama dalam kontrol
nyeri dan keluhan yang lain, masalah psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan
perawatan paliatif adalah pencapaian kualitas hidup terbaik yang memungkinkan
bagi penderita dan keluarga (Johnston B, 2005; Tulaar 2012; Cheville, 2010). Pada
tahun 2002, WHO memberikan batasan baru untuk perawatan paliatif sebagai
suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup penderita dan keluarga yang
menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui
pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara identifikasi dini dan
asesmen serta tatalaksana yang tepat untuk nyeri dan masalah lain, baik fisik,
psikososial dan spiritual (WHO, 2012).
3.2.1 FARMAKOTERAPI
Dalam menentukan terapi medikamentosa yang paling dapat juga
merupakan suatu nyeri neuropatik. Dalam beberapa kasus nyeri tertentu, pasien
mencapai derajat analgesia yang memuaskan dengan pemberian antidepresan.
Penggunaan obat opioid dalam jangka lama bukanlah jalan keluar yang terbaik
untuk pengelolaan semua jenis sindom nyeri.
29
30
31
OPIOID
Istilah opioid digunakan untuk semua obat sistetis maupun natural yang
mempunyai aksi kerja pada reseptor opioid di sistem saraf sentral maupun perifer.
Opioid dapat dibedakan menjadi :
-
Aksi analgetik dari opioid terjadi terutama pada reseptor mu (), namun pada
derajat yang berbeda juga terjadi pada reseptor kappa (k) dan delta (). Golongan
ini bekerja dengan memperkuat jalur analgesia endorfin intrinsik, namun obat ini
juga
berdampak
pada
jalur
dopaminergik
mesolimbik,
sehingga
dapat
menimbulkan ketergantungan.
Peresepan opioid ditujukan pada penatalaksanaan nyeri dengan derajat
sedang sampai berat, dan pasien harus diingatkan mengenai efek samping obat,
khususnya ketika direncanakan akan digunakan dalam jangka panjang. Opioid
dimulai dengan dosis kecil peroral, kemudian dinaikkan sampai mencapai
analgesia yang diinginkan.
Efek samping yang sering dijumpai berupa konstipasi, mual, drowsiness,
pruritus, dan depresi pernafasan. Pemberian opioid yang berkepanjangan dapat
menyebabkan imunosupresi, melalui stimulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal,
yang mengganggu fungsi limfosit.
Penggunaan jangka panjang juga menekan produksi gonadotrofin dan testosteron
sehingga menimbulkan masalah disfungsi seksual dan keseimbangan mood.
Walaupun jarang, opioid dapat menginduksi hiperalgesia sehingga penambahan
dosis akan memperberat keluhan nyeri.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum pemberian opioid diantaranya
adalah:
-
32
resiko ketergantungan,
ANALGETIK ADJUVANT
Analgesik adjuvant adalah obat-obatan yang indikasi primernya bukan
untuk mengatasi nyeri namun memberikan efek analgesia pada kondisi nyeri
tertentu. Analgesik adjuvant diberikan pada pasien dengan tujuan
-
Pada beberapa kondisi klinis tertentu, analgesik adjuvant memberikan hasil yang
memuaskan sehingga dipakai sebagai obat lini pertama.
Antidepresan
Antidepresan trisiklik merupakan pilihan lini pertama pada nyeri
neuropatik karena keefektifannya. Satu dari tiga pasien mengalami perbaikan
derajat nyeri lebih dari 50%.
Amitriptyline dimulai dari dosis rendah (10-25 mg pada malam hari) dan bertahap
ditingkatkan (sampai dengan 100 mg) sesuai toleransi pasien. Namun pada pasien
lanjut usia harus digunakan dengan hati-hati karena efek sedasinya yang kuat,
antikolonergik, dan hipotensi ortostatik. Pasien harus diberi penjelasan mengenai
efek samping obat yang mungkin timbul dan onset analgesia yang diharapkan baru
dapat dirasakan dalam beberapa minggu. Pasien harus mengerti bahwa pemberian
obat golongan ini bukan karena dokter menganggap mereka mengalami gangguan
jiwa.
33
Antikonvulsan
Bagi pasien yang tidak berespon memuaskan atau tidak dapat mentolerir
antidepresi trisiklik, direkomendasikan untuk memakai obat alternatif dengan
menambahkan
analgetik
opioid
bersama
antidepresi
trisiklik
atau
34
35
36
Antispastisitas
Baclofen bekerja sebagai agonis pada reseptor GABA. Baclofen juga
mempunyai aksi presinaps dengan menurunkan pelepasan transmitter yang
mengeksitasi nyeri (mungkin termasuk substansia P) dari akhiran saraf aferen.
Obat ini efektif pada kasus neuralgia trigeminal, sindroma nyeri miofascial, dan
nyeri bersifat lancinating dan paroksismal yang disertai spasme otot. Dosis dimulai
5 mg 3 kali sehari. Efek samping obat ini berupa mual, confusio, drawsiness,
dizziness, dan hipotensi. Baclofen tidak dianjurkan untuk dihentikan secara
mendadak karena dapat menimbulkan kejang dan halusinasi.
Steroid
Steroid memiliki anti inflamasi, mengurangi konsentrasi mediator
inflamasi di jaringan, dan menurunkan letupan pada saraf yang cidera. Pada
neoplasma tertentu yang peka terhadap steroid, obat ini mengurangi odem para
tumor, memperkecil ukuran tumor, dan menurunkan tekanan terhadap jaringan
sekitar. Obat yang dapat dipergunakan diantaranya deksametason, prednison, dan
metilprednisolon.
Pemakaian steroid jangka panjang memberikan efek samping berupa
sindroma cushing, pemambahan berat badan, hipertensi, osteoporosis, miopati,
peningkatan resiko infeksi, hiperglikemia, peptic ulcer, dan avaskuler nekrosis
kaput femur.
Analgetik Topikal
Analgetik ini dapat dipakai pada kasus nyeri neuropatik yang disebabkan
kelainan saraf perifer dan disestesia berkepanjangan. Absorbsi sistemik yang
minimal bermanfaat pada pasien lansia dengan penyakit komorbid dan kesulitan
mentolerir efek samping obat sistemik. Beberapa obat dari golongan ini diantaranya
krim capsaicin, lidokain, prilokain, dan krim yang mengandung NSAIDs (aspirin,
diklofenak, dan indomethasin).
37
Anestesi lokal
Anestesi lokal bekerja dengan menstabilkan membran neuron, memblok
depolarisasi potensial aksi, dan mesupresi aktifitas listrik abnormal yang
ditimbulkan sel saraf. Semua jenis anestesia lokal tidak dapat diberikan pada
penderita gagal jantung berat dan aritmia. Sediaan golongan ini diantaranya
lidokain dan prokain parenteral maupun sediaan topikal.
Antihipertensi
Clonidine adalah agonis 2 adrenergik dan 1 adrenergik bloker yang dapat
bermanfaat pada bermacam-macam sindroma nyeri neuropatik, migrain, nyeri
paska operasi, nyeri hebat pada neuropati diabetes, neuralgia post herpestika, nyeri
tungkai nokturnal, causalgia, dan kanker. Aksi kerja obat ini berhubungan dengan
inhibisi letupan lintasan nosiseptor pada kornu posterior medula spinalis. Clonidine
merupakan lini ke dua pada penanganan nyeri kronik, setelah NSAIDs,
antidepresan, atau obat lain gagal.
Nifedipine bekerja dengan memblok kanal kalsium sehingga menyebabkan
vasodilatasi. Obat ini dapat dipakai pada kasus causalgia dan sindroma Raynauds.
Nifedipine diberikan peroral 10-30 mg tiga kali perhari.
Obat antihipertensi lain yang dapat dipakai dalam penatalaksanaan nyeri
kronik antara lain propranolol, reserpine, phenoxybenzamine, dan prazosin.
3.2.2 REHABILITASI MEDIK DALAM PERAWATAN PALIATIF
3.2.2.1 Managemen Keluhan
Keluhan penderita merupakan suatu proses yang dinamik dengan
intensitas,
kualitas,
frekuensi
dan
derajat
stress
yang
bervariasi.
38
39
anatomis saja akan tetapi pengalaman nyeri juga melibatkan faktor psikologis dan
dipengaruhi lingkungan sosial
TERAPI FISIK
Fisioterapis menggunakan terapi latihan aktif maupun pasif, teknik manual,
traksi, dan modalitas fisik untuk menangani masalah nyeri dan hubungannya
dengan fleksibilitas, kekuatan, endurance, keseimbangan, kontrol neuromuskuler,
postur, serta mobilitas. Terapi fisik dapat membantu membangun kepercayaan diri
pasien, mengurangi ketakutan untuk bergerak dan kekawatiran terhadap cedera
ulang,
Modalitas adalah agen-agen fisik yang digunakan untuk menghasilkan
respon terapi pada jaringan. Modalitas tersebut antara lain pemakaian panas,
dingin, air, suara, daya listrik, gelombang elektromagnetik (termasuk sinar infra
merah, sinar tampak; shortwave; dan microwave), traksi, manipulasi, dan massage.
Modalitas-modalitas tersebut umumnya digunakan sebagai terapi tambahan, bukan
sebagai intervensi kuratif primer tunggal dalam penatalaksanaan nyeri kronik.
Pemilihan modalitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan mempunyai
pemahaman mengenai modalitas akan membuat kita dapat membuat pemilihan
yang tepat. Bentuk tubuh mempengaruhi pemilihan modalitas karena jaringan
adiposa subkutan berdampak pada dalamnya penetrasi pada banyak modalitas.
Kondisi komorbid juga sebaiknya dipertimbangkan. Sebagai contoh, baik dingin
maupun panas dapat mengakibatkan efek yang buruk terhadap pasien yang
mengalami insufisiensi arterial yang signifikan. Dingin dapat mengakibatkan efek
yang buruk melalui vasokonstriksi arterial, dan panas dapat menyebabkan
komplikasi melalui peningkatan aktivitas metabolik, yang dapat melampaui
peningkatan potensial pada aliran darah dan menghasilkan iskemia. Umur juga
menjadi faktor dalam pemilihan modalitas.
40
Pada populasi pediatrik, umumnya ultra sonik (US) sebaiknya tidak mendekati
epifise yang masih terbuka. Pada populasi orang lanjut usia, bisa terdapat
komorbiditas yang akan mempengaruhi pemilihan modalitas. Jenis kelamin
juga berperan dalam penggunaan modalitas, karena malformasi janin telah
dilaporkan setelah penggunaan ultra sonik di dekat uterus gravid.
Modalitas Thermal
Bentuk modalitas panas dapat diklasifikasikan menurut kedalaman
penetrasi dan bentuk transfer panas. Kedalaman penetrasi dibagi menjadi
superfisial dan dalam. Panas superfisial meliputi hot packs, heating pads, paraffin
baths, Fluidotherapy, whirlpool baths, dan radiant heat. Agen pemanas dalam
(atau diatermi) meliputi US, shortwave, dan microwave. Mekanisme transfer panas
terdiri dari konduksi, konveksi, radiasi, evaporasi, dan konversi.
Konduksi adalah penghantaran energi panas antara dua benda dengan kontak
langsung. Konveksi menggunakan gerakan suatu medium (seperti, air, udara,
darah) untuk menghantarkan energi panas, meskipun transfer yang sebenarnya dari
energi panas tetap dilakukan melalui konduksi. Radiasi adalah radiasi panas yang
dipancarkan dari semua benda yang mempunyai suhu permukaan di atas nol
absolut (-273,15C atau 459,67F). Evaporasi melibatkan perubahan bentuk dari
cair menjadi gas, proses yang memerlukan energi panas. Evaporasi sebenarnya
merupakan proses penguapan panas, dan berperan pada modalitas pendingin
seperti vapocoolant sprays. Konversi adalah transformasi energi (seperti, suara,
elektromagnetik) menjadi panas.
Berbagai kondisi yang yang menyebabkan modalitas panas tidak dapat
diberikan adalah diatesis perdarahan, edema akut, jaringan parut yang besar,
gangguan sensasi, keganasan, infeksi, penurunan kognisi atau komunikasi dimana
pelaporan rasa nyeri tidak dapat diberikan
Modalitas dingin pada nyeri kronis diberikan pada kasus nyeri yang
berkaitan dengan spastisitas. Pengaruh terapi dingin pada spastisitas berhubungan
dengan menurunnya aktivitas gamma motor neuron dan selanjutnya berkurangnya
aktivitas serabut aferen serta meningkatnya aktivitas organ tendon golgi.
41
Aplikasi selama 10-30 menit atau lebih lama dapat menurunkan klonus dan tahanan
terhadap regangan pasif.
Hidroterapi
Hidroterapi adalah penggunaan air secara eksternal untuk tatalaksana
disfungsi fisik. Efek terapi didapatkan dengan memanfaatkan sifat air berupa daya
apung, densitas relatif, dan viskositas, suhu, dan agitasi. Daya apung akan
membentuk latihan asistif (saat dilakukan gerakan mengarah ke permukaan air),
dan latihan resistif (saat terjadi gerakan menjauhi permukaan air). Tekanan
hidrostatik membantu sirkulasi dan menurunkan tendensi penumpukan darah pada
bagian bawah tubuh. Densitas relatif memberikan dukungan pada tubuh atau
tungkai dan lengan, sehingga menurunkan stress pada sendi yang menopang berat
badan tubuh. Viskositas air yang rendah, akan membentuk friksi dengan gerakan
berkecepatan rendah. Semakin meningkat kecepatannya, semakin meningkat pula
turbulensi (tekanan positif) dan gaya tarik-menariknya (tekanan negatif). Jika
terdapat friksi yang lebih besar, maka akan membuat gerakan semakin sulit.
Efek termal dari hidroterapi sama dengan efek termal pada aplikasi terapi panas
dan dingin lokal, kecuali efek yang lebih sistemik karena imersi permukaan tubuh
yang lebih luas. Terapi dingin dapat menurunkan detak jantung dan dapat
meningkatkan tekanan darah melalui vasokontriksi perifer. Efek panas dari
hidroterapi dapat menurunkan tekanan darah karena kecendrungan terjadinya
vasodilatasi. Laju nafas dapat meningkat baik oleh terapi panas maupun dingin.
Metode transfer panas ataupun dingin adalah dengan konduksi dan konveksi.
Efek nontermal dari hidroterapi dapat dicapai melalui air yang dipompakan
dari turbin, yang akan mengagitasi air dan membentuk pola masase dan
debridement. Efek fisiologis dari agitasi air ini antara lain adalah meredakan nyeri
dan spasme otot (melalui stimulasi mekanik dari reseptor kulit, yang akan beraksi
sebagai alat atau sebagai stimulasi terhadap syaraf afferent sensoris yang luas,
sehingga akan memblok input nyeri), debridement mekanik, dan memfasilitasi
latihan. Jika hanya menghendaki efek mekanik dari hidroterapi, maka air yang
dibuat pada suhu netral (33-36C) akan diterima dengan baik.
42
Indikasi dari hidroterapi antara lain adalah pada tatalaksana luka dan luka bakar,
mobilisasi otot, setelah gips dilepas, rheumatoid arthritis, dan spasme otot.
Kontraindikasi dan preukasi umum sama dengan terapi panas dan dingin, kecuali
hidroterapi dapat digunakan pada kulit luka terbuka dan terinfeksi selama tong
tempat penyimpanan air disterilisasi.
Laser dingin tenaga rendah (low-power cold laser)
LASER adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission
of Radiation (amplifikasi cahaya yang distimulasi oleh emisi radiasi). Laser dapat
mengeluarkan photon (partikel-partikel energi dari cahaya) yang dapat berinteraksi
dengan molekul biologis untuk menghasilkan reaksi termal atau kimiawi di dalam
tubuh yang diinduksi oleh cahaya. Pada rehabilitasi medis, cold laser yang sering
dipakai dihasilkan oleh gas helium-neon (Laser He-Ne) atau dari semikonduktor
gallium-arsenit (Laser Ga-As).
Efek fisilogis dari cold laser adalah memfasilitasi penyembuhan luka atau
ulkus dengan menstimulasi fibroblast; meningkatkan kekuatan penutupan luka
yang diterapi laser, meningkatkan fagositosis limfosit dengan efek bakterisidal;
meningkatkan akivitas limfosit T dan B; mereduksi edema dengan menurunkan
prostaglandin E2 (PG E2); mereduksi formasi jaringan parut dengan mendorong
terjadinya epitelisasi dengan sedikit materi eksudat dan memperbanyak
pembentukan jaringan kolagen yang teratur; mengurangi nyeri dengan menurunkan
amplitudo potensial aksi dan menurunkan velositas konduksi sensoris; dan
mendorong penyembuhan luka dengan mendorong remodeling kartilago artikuler
dan tulang.
Kontraindikasinya adalah jaringan kanker, stimulasi secara lansung ke
mata (dapat menyebabkan retina terbakar), dan kehamilan pada trimester pertama.
Dosis yang biasa dipakai adalah 0.5-3 J/cm2 untuk kondisi-kondisi yang kronik
sebanyak 3-6 kali tindakan.
43
Elektroterapi
Adalah terapi yang menggunakan arus listrik untuk menstimulasi syaraf
atau otot atau keduanya secara transkutaneus menggunakan elektroda-elektroda
permukaan. Efek fisiologisnya adalah kontraksi kelompok otot yang dapat
meningkatkan lingkup gerak sendi, melatih otot, meningkatkan kekuatan otot;
meningkatkan sirkulasi dengan meredakan nyeri dan spasme otot melalui efek
pompa otot, mengalirkan polipeptida dan neurotransmitter (seperti -endorphin,
dopamine, enkefalin, polipeptida vaoaktif intestinal, dan serotonin), menghambat
serabut-serabut nyeri melalui serabut syaraf perifer besar tipe A (teori gate
controldan teori central biasing), penyembuhan luka dan osteogenesis (melalui
remodeling dan regenerasi jaringan), dan untuk menghantarkan ion-ion medikasi
melalui kulit (ionthoporesis).
Indikasi klinisnya adalah tatalaksana nyeri kronik, nyeri neurogenik kronik,
dan nyeri sistemik luas), tatalaksana efusi sendi dan edema intersisial (akut dan
kronik), menangani spasme otot, disuse atropi otot, ulkus kulit dan luka; dan
gangguan sirkulasi (insufisiensi vena, gangguan neurovaskuler).
Kontraindikasi umumnya adalah kerusakan sirkulasi (seperti thrombosis
vena atau arteri dan thrombophlebitis), stimulasi pada sinus karotikus, stimulasi
pada area jantung (terutama pasien yang menggunakan pacemakers), kehamilan,
gangguan kejang, fraktur yang baru, perdarahan aktif, dan keganasan. Pemakaian
harus hat-hati karena dapat menyebabkan luka bakar dan tidak boleh digunakan
pada kulit dengan penurunan sensasi.
Traksi tulang belakang
Adalah usaha menarik dengan kekuatan tertentu, yang digunakan pada
vertebra cervical atau lumbal, untuk menghasilkan efek-efek berikut ini: distraksi
sendi vertebrae; mencegah dan menghilangkan adhesi disepanjang dural sleeves,
akar saraf, dan struktur kapsul disekitarnya; mereduksi kompresi dan iritasi pada
akar saraf dan diskus; meningkatkan sirkulasi disepanjang ruang epidural dari
foramen akar saraf; mereduksi nyeri, inflamasi, dan spasme otot. Indikasi klinis
yang paling sering dari traksi tulang belakang adalah untuk meredakan nyeri dan
herniasi diskus, dengan atau tanpa komplikasi kompresi akar saraf.
44
45
Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan lentur
dapat menahan beban lebih baik daripada otot yang kuat tapi kaku)
Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis,
berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena
peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas. Latihan ini
merupakan cara untuk memberi tahu otot bahwa sebentar lagi akan
digunakan.
Membantu
mempertahankan
tingkat
kelenturan,
sehingga
dengan
46
47
Masase
Merupakan stimulasi sistematik dan mekanis dari jaringan lunak pada
tubuh dengan memberikan tekanan ritmik dan stretching untuk tujuan terapeutik.
Efek fisiologis dari masase dapat berupa efek mekanis (yaitu peningkatan arus
balik vena / venous return dan drainase limfatik, penglepasan adhesi dan
melembutkan jaringan parut, dan menghilangkan sekresi) maupun efek refleksif
(yaitu peningkatan sirkulasi melalui refleks vasodilatasi, relaksasi general dan efek
sedatif, peningkatan perspirasi dan sekresi glandula sebacea, dan mengurangi nyeri
yang mungkin dengan pengendalian gerbang atau mengalirkan opiate endogen
aatau neurotransmitter). Ekstremitas yang terbaring dengan santai juga memiliki
efek-efek fisiologis dan dapat mendorong sensasi dari rasa nyaman yang general.
Kontraindikasinya meliputi segala kondisi inflamasi dari kulit, jaringan
lunak, atau sendi, yang mengarah pada infeksi bakterial (phlebitis, cellulitis,
synovitis, abses, arthritis septis), luka terbuka, luka bakar, penyempitan syaraf
(seperti carpal tunnel syndrome), bursitis, rheumatoid dan gouth arthritis, rheumatic
fibrositis, panniculitis (radang lemak subkutan), arteriosclerosis , thrombosis atau
emboli vena, varicose vena berat, gangguan pembekuan darah (atau sedang
menggunakan antikoagulan), fraktur, dan keganasan.
TERAPI OKUPASI
Okupasi terapi khususnya berfokus pada edukasi pasien mengenai postur
yang sesuai dan ergonomis, aktivitas ekstrimitas yang berkaitan dengan aktivitas
kehidupan sehari hari, dan memfasilitasi seseorang untuk memilih atau kembali
ke pekerjaan yang sesuai. Terapis okupasional harus dilibatkan sejak awal untuk
mengindentifikasi
masalah
pekerjaan
yang
berkaitan
dengan
pekerjaan,
menganalisa dan memberikan saran dalam memodifikasi pekerjaan dan jika perlu
memberikan pelatihan.
48
PSIKOTERAPI
Nyeri yang menetap mempengaruhi komponen emosional
pasien
serta
seringkali
disertai
dengan
depresi
dan/atau
Penelitian mengungkapkan
Depresi
yang
meningkat
berhubungan
dengan
modalitas
psikologi
sebagai
tambahan
program
pada
penanganan
nyeri
kronik
nyeri
termasuk
kronik.
Penanganan
edukasi
psikologi,
49
Psikoterapi
secara
kelompok
berhasil
Terapi
keluarga
menunjukkan
dan
fakta
terapi
bahwa
pasangan,
nyeri
kronis
yang
mana
adalah
suatu
50
dalam
kombinasi
praktek
pendekatan
klinis,
tersebut
psikoterapis
untuk
membedakan
dicocokkan
dengan
kebutuhan pasien.
Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif (CBT/Cognitive behavioral therapy)
berdasar pada teori bahwa meyakini hal-hal yang irrasional dan
sikap yang menyimpang ke arah diri sendiri, lingkungan, dan
depresi yang menetap.
-
mungkin
dari
perlangsungan
penyakit
untuk
dalam
kemampuan
mereka
untuk
mengurangi
51
Psikoterapi Interpersonal
Psikoterapi
interpersonal
(IPT/Interpersonal
Therapy),
Peran
perselisihan
(kesukaran
dalam
membangun
Psikoterapi Psikodinamik
-
Psikoterapi
psikodinamik
psikoterapeutik
yang
meliputi
membagi
semua
dasarnya
intervensi
dalam
teori
52
perilaku
yang
telah
berhasil
digunakan
untuk
termasuk
didalamnya
psikolog,
fisioterapis
atau
relaksasi),
meditasi,
dan
hipnosis.
Teknik
tersebut
Oleh karena itu, stimulasi penglihatan, pendengaran dan sentuhan mungkin akan
lebih efektif dalam menurunkan nyeri dibanding stimulasi satu indera saja.
Beberapa teknik distraksi antara lain :
-
Distraksi visual
Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandang an dan gambar termasuk distraksi visual.
Distraksi pendengaran
53
Distraksi pernafasan
Pasien bernafas ritmik sambil memandang fokus pada satu objek atau
memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan
hitungan satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas melalui
mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai empat (dalam hati).
Anjurkan pasien untuk berkosentrasi pada sensasi pernafasan dan terhadap
gambar yang memberi ketenangan
Blok saraf dengan obat anestesi atau neurolitik dengan phenol atau alkohol
absolut
Tindakan bedah
-
54
Tehnik modulatori
Pemasangan implant untuk memasukkan obat analgesik, pemasangan
implant alat stimulasi listrik.
lokal kanker primer atau metastatiknya. Yang termasuk terapi radiasi antara lain
terapi radiasi lokal, wide field radiation therapy, dan radiofarmakoterapi (iodine131 dan strontium-99).
Mual dan Muntah
Mual adalah keluhan subyektif ditandai dengan perasaan tidak nyaman di
daerah belakang kerongkongan dan epigastrium. Sebaliknya, muntah adalah
refleksi eliminasi isi lambung yang di kontraksikan secara kuat oleh otot abdomen
untuk mengeluarkan substansi toksik. Mekanisme yang mendasari muntah lebih
dipahami daripada mekanisme mual. Kontrol yang baik terhadap kondisi ini
terdapat didalam tubuh, akan menurunkan kecemasan dan perasaan takut,
menurunkan ketergantungan pada caregivers dan dapat melakukan aktifitas sehariharinya dengan lebih baik (Cheville, 2010).
Prevalensi mual dan muntah di suatu perawatan paliatif adalah 40-70%,
sering ditemukan pada penderita yang mendapat kemoterapi dan terapi radiasi.
Mual lebih sering dirasakan daripada muntah. Keluhan mual dan muntah disebut
kronik jika berlangsung lebih dari 1 minggu (Johnston, 2005; Cheville, 2010).
Penyebab mual dan muntah antara lain (Goodwin et al, 2003; Johnston, 2005;
Cheville, 2010);
1. Kegagalan sistem otonom menyebabkan melambatnya pengosongan
lambung. Hal ini sering terjadi pada penderita kanker dengan kondisi
buruk dan status nutrisi yang kurang. Status nutrisi yang kurang akan
mengakibatkan penekanan sistem saraf simpatik,
55
agents,
cannabinoids,
phenothiazines,
antihistamines,
56
oleh starvasi. Organ vital yang terpengaruh akibat kakeksia dan anoreksia
adalah otot skeletal, otot pernafasan, otot jantung dan otot halus.
Anoreksia dan kakeksia merupakan masalah penting dalam penyakit
stadium lanjut karena berhubungan dengan peningkatan resiko kegagalan
terapi, efek samping dan mortalitas. Selain itu, kakeksia menjadi penyebab
utama kematian pada 25% penderita kanker.
b. Diagnosis
Gambaran klinis kakeksia adalah edema, berkurangnya masa otot
(lingkar lengan mengecil), berkurangnya lapisan lemak kulit, kulit kering,
bersisik dan berkurangnya hipersensitifitas kulit.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan menurunnya kadar serum
albumin, kadar serum ferritin darah (Haryodo HS, 1996; Cheville, 2010).
c. Epidemiologi
Prevalensi kakeksia tergantung pada derajat keparahan penyakit.
Pada Congestive Heart Failure (CHF) sebesar 16%-36%, COPD sebesar
27%-33% dan ESRD sebesar 30%-60%. Pada penderita kanker stadium
IV, prevalensinya meningkat hingga 86% dalam 1-2 minggu akhir
hidupnya (Cheville, 2010).
d. Penyebab
Aktifitas fisik telah dikenal fisiatris berperan penting dalam
menginduksi dan progresifitas kakeksia. Beberapa penyebab kakeksia
yang berkerja bersamaan yaitu (Rochman, 1993; Cheville, 2010);
1. Asupan makanan yang berkurang
Merupakan penyebab paling penting disebabkan berkurangnya nafsu
makan (anoreksia) yang terjadi 80% pada penderita kanker terminal.
Gangguan pencernaan karena gangguan pengecapan pada lidah,
gangguan pembauan, gangguan peristaltik lambung, pada kanker
mulut, faring, esophagus, lambung dan kolon menyebabkan makanan
sulit dikunyah, ditelan dan dikunyah. Faktor psikologis berupa depresi
dan cemas menyebabkan penurunan nafsu makan. Sedangkan perasaan
takut menyebabkan jumlah makanan yang dimakan berkurang.
2. Pengeluaran makanan yang meningkat
Disebabkan karena perdarahan saluran cerna, diare dan konsumsi
nutrisi oleh sel kanker.
57
3. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein dan peningkatan
metabolisme karena keganasan kanker itu sendiri yang tidak
berhubungan dengan stadium,
4. Efek dari pengobatan
Disebabkan karena operasi, radioterapi (mual, muntah, berkurangnya
nafsu makan, enteritis) dan kemoterapi (mual, muntah, berkurangnya
nafsu makan,stomatitis, esofagitis dan enteritis).
e. Patofisiologi
Mekanisme proses ketidakseimbangan antara intake oral dan
muscle wasting pada penderita dengan tumor ataupun penyakit lain, masih
belum dipahami dengan baik. Tumor mempengaruhi proinflamatory
cytokine sehingga mengaktifkan sel inflamasi yang akan beredar sistemik
dan menginduksi Hepatic Acute Phase Protein Response (APPR).
Selain itu, tumor juga mengeluarkan 2 macam faktor pro kakeksia, yaitu
Proteolysis-Inducing Factor (PIF) dan Lipid-Mobilizing Factor (LMF)
(Cheville, 2010).
f. Penatalaksanaan
Pendekatan nutrisional saat ini tidak lagi dititik beratkan sejak
konseling diet dan nutrisi total parenteral gagal dalam penatalaksanaan
kakeksia, tidak memperbaiki kualitas hidup dan tampilan fungsional.
Pemberian nutrisi pada penderita kanker secara individual dan
disesuaikan setiap waktu dengan kebutuhannya dan dikoordinasikan
dengan semua rencana terapi lainnya sejak awal. Penatalaksanaan yang
dapat diberikan adalah penambah nafsu makan, pendekatan upstream,
pendekatan downstream, serta stimulasi anabolisme protein otot.
Suplemen nutrisi hanya sedikit membantu, kecuali pemberian obat
thalidomide. Pemberian latihan konservatif dengan ataupun tanpa
farmakologi kini diindikasikan untuk beberapa penderita. Apabila
saluran cerna masih baik, maka pemberian makan diusahakan melalui
enteral disesuaikan dengan kondisi penderita secara oral biasa,
nasogastric tube ataupun gastrotomi dan jejunostomi. Total parenteral
nutrition memainkan peran penting pada pemberian nutrisi penderita
58
kanker stadium lanjut dan diindikasikan bila saluran cerna tidak dapat
bekerja dengan baik (Rochman, 1993; Haryodo HS, 1996; Cheville,
2010).
Penderita diberikan makanan yang merupakan kesenangannya
asalkan bukan kontra indikasi, serta mengatur menu yang bervariasi agar
penderita tidak cepat bosan. Selain menu makanan sehari-hari perlu juga
memberikan makanan suplemen dan makanan yang diberikan sedapat
mungkin bersifat tinggi protein dan tinggi kalori (Rochman, 1993).
Sesak Nafas
a. Definisi
Sesak nafas didefinisikan sebagai perasaan tidak nyaman pada saat
bernafas dan kesulitan bernafas. Sesak nafas mengganggu performa
fungsional dan aktifitas fisik, oleh karena itu hal ini menjadi target penting
terapi oleh fisiatris (Cheville, 2010).
b. Epidemiologi
National Hospice Study menyatakan bahwa 70% dari 1.754
penderita pernah mengalami sesak nafas dalam 6 minggu terakhir
hidupnya.
Lebih dari 28% penderita merasakan sesak yang sedang hingga berat.
Dalam penelitian kohort tentang kanker, telah ditemukan kejadian sesak
nafas sebesar 24% hingga 60% pada penderita keganasan ekstra thorakal
(Cheville, 2010).
c. Patofisiologi
Mekanisme regulasi pernafasan yang berperan dalam sesak nafas
adalah melalui interaksi komplek antara pernafasan abnormal dan persepsi
terhadap abnormalitas tersebut di susunan saraf pusat. Regulasi kontrol
pernafasan tergantung dari interaksi antara pusat pernafasan di susunan
saraf pusat, kemoreseptor dan input afferent dari otot-otot pernafasan
(Cheville, 2010). Gambar dibawah ini mengilustrasikan interaksi dari
beberapa komponen tersebut.
59
d. Penyebab
Abnormalitas yang terjadi pada sistem kardiopulmoner baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan sesak nafas.
Tumor di parenkim paru, pleura ataupun sistem limfatik paru dapat
menurunkan kapasitas oksidatif secara signifikan. Kanker menyebar dari
tumor intra thorakal atau dari metastasis. Tumor juga dapat menyebabkan
obstruksi saluran nafas. Selain itu, adanya ascites dan distensi heptik dapat
menghambat pergerakan diafragma.
Kakeksia yang berhungan dengan
muscle
wasting
dapat
pula
kecurigaan
obstruksi
atau
penyempitan
dengan
60
penderita
dengan
hambatan
dan
disabilitas
adalah
untuk
61
esophagus,
pericardium
dan
mukosa
sinus.
Ad-fibers
menyampaikan impuls yang didapat dari stimuli mekanik, sedangkan Cfibers menyampaikan impuls dari stimuli kemikal. Inflammatory
neuromodulators seperti prostaglandin, mempengaruhi receptor thresholds
62
63
64
urine
untuk
menilai
osmolaritas
juga
diperlukan.
kanker
payudara,
melanoma,
keganasan
ginekologi
dan
lymphoma.
Di negara berkembang limfedema banyak terjadi pada penderita setelah
terapi kanker payudara terutama dengan tindakan full axillary dissection
(mengambil semua lymph nodes dibawah vena axillaris) (Fife et al,
2012).
c. Assessmen
Secara klinis ditandai dengan bengkak pada ekstremitas atau bagian
tubuh yang lain, seperti wajah, thoraks dan abdomen, perubahan kulit dan
65
jaringan.
Tidak
berkurang
dengan
elevasi
dan
compression garments,
3. Fibrosis kutan dan perubahan hiperplastik verrucous pada kulit yang
jarang tampak pada ekstremitas atas.
d. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah memperbaiki atau mengurangi
edema, beratnya keluhan dan menghambat progresifitas. Terapi
limfedema meliputi (Gray, 1996; Andrews et al, 2010; Vargo et al, 2010;
Fife et al, 2012);
1. Medik: Diuretik, Antibiotik, Benzopyrones,
2. Rehabilitasi: terapi yang dikenal adalah Complete Decongestive
Therapy (CDT) terdiri dari Manual Lymph Drainage (MLD),
kompresi (compression bandage, compression garment), elevasi,
latihan decongestive dan perawatan kulit.
Gentle exercise 5-10 kali pada pagi dan sore hari, kontraksi isometrik
aktif dan latihan luas gerak sendi baik aktif maupun pasif,
3. Vasopneumatic
Compression
Therapy:
berupa
Pneumatic
Compression Devices (PCD) (unit kompresor udara yang ditempatkan
pada pakaian, secara sekuens memberikan tekanan naik turun pada
kulit menghasilkan efek terapi),
4. Bedah: Excisional Debulking dan Recontruction of Lymphatics.
Imobilisasi
66
67
68
69
Terapi Wicara
Perawatan paliatif juga meliputi terapi terhadap gangguan komunikasi
dan ganggguan menelan. Penyakit keganasan lokal mengakibatkan gangguan
berkomunikasi jika mengenai lidah, faring dan laring. Tujuan terapi wicara
diberikan untuk sedapat mungkin mempertahankan komunikasi, menjamin
penderita menggunakan seluruh modalitas komunikasi termasuk isyarat tangan
dan menulis, mengajarkan caregivers merubah strategi komunikasi untuk
mengoptimalkan komunikasi di rumah, menyediakan konseling bagi keluarga
penderita berkaitan dengan perubahan komunikasi yang terjadi. Gangguan
komunikasi berupa disartria dan disfonia adalah masalah komunikasi verbal
utama. Pemeriksaan spesifik dilakukan pada tiap level vocal tract; volume
respirasi, fungsi laring untuk fonasi, dan fungsi velar untuk resonansi.
Komunikasi non verbal yang dinilai meliputi kontak mata, isyarat tangan dan
ekspresi wajah (Clark, 1996).
Gangguan wicara yang dapat terjadi akibat kanker sangat bervariasi
mulai gangguan artikulasi yang ringan, disartria, disfonia yang sifatnya perifer
sampai gangguan bahasa seperti afasia motorik, afasia sensorik, dispraksia
yang sifatnya sentral (Soebadi, 2000).
70
71
kewaspadaan
terhadap
apa
yang
didengarnya
atau
72
musik
(rekaman
atau
langsung),
improvisasi
dan
73
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
74
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Lenz FA, Casey KL, Willis WD. The human pain system
experimental and clinical perspectives. Cambridge: Cambridge University
Press; 2010.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
75
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Fife CE, Davey S, Maus EA, Guilliod R dan Mayrovitz HN, 2012.
A Randomized Controlled Trial Comparing Two Types Of Pneumatic
Compression For Breast Cancer-Related Lymphedema Treatment In The
Home. Support Care Cancer. DOI 10.1007/s00520-012-1455-2.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
76
43.
Meier DE dan Brawly OW, 2011. Palliative Care and The Quality of
Life.
J
of
Clinical
Oncology.
Doi/10.1200/JCO.2011.35.9729,
http://jco.ascopubs.org.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
77
53.
54.
55.
56.
57.
58.
59.
60.
61.
62.
63.
64.
65.
78
66.
67.
68.
69.
70.
Leong IY, Farrell MJ, Helme RD, Gibsons SJ. The Relationship
Between Medical Comorbidity and Self-Rated Pain, Mood Disturbance, and
Function in Older People With Chronic Pain.2007. Journal of Gerontology
64:5. Pp : 550-555
71.
72.
73.
74.
75.
76.
77.
Bonica JJ. The Management of Pain 2nd ed.1990. Lea & Febiger.
Pennsylvania. PP:28-72
78.
79.
80.
81.
82.
79
83.
80