You are on page 1of 9

MANAJEMEN STRES

KESEHATAN MENTAL DI MASYARAKAT


DALAM MANAJEMEN STRES

KELOMPOK 2
ANGGOTA:1. ALQNA MIFTASYAH
2. ADELA SARI
3. ELBA HABIBURRAHMA
4. ISHMAH AINI RUFAIDAH
5. NIDYA OKDWIANA
6. SANTI
7. WIDYA FUJI ALDINA
TINGKAT : II B
DOSEN

: SRI MARTINI

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
DIV KEPERAWATAN
2016

Di era yang serba modern ini, banyak kemajuan yang tidak dapat dihindari lagi.
Kemajuan dan perkembangan yang terjadi di bidang ekonomi, sains dan teknologi,
bahkan budaya dan tradisi mengalami perubahan yang begitu signifikan. Bila kita
melihat pertumbuhan sektor perekonomian di Indonesia, banyak gedung-gedung
bertingkat didirikan, hampir merata di kota-kota seluruh Indonesia. Hal ini,
menandakan perekonomian di kota Republik Indonesia mulai mengalami kemajuan.
Di segi sains dan teknologi, zaman sekarang sudah mengandalkan penggunaan
IPTEK (Ilmu pengetahuan dan Teknologi). Contohnya, seperti pendaftaran sekolah
dan kuliah telah menggunakan sistim online semua. Hal ini juga menunjukkan
kemajuan di bidang pendidikan. Akan tetapi, kemajuan dan perubahan zaman ini,
tidak semua masyarakat dapat mengikutinya dengan baik dan merasa bahagia.
Ada sebagian masyarakat yang mengalami stress akibat perkembangan dan
kemajuan zaman yang cenderung tidak dapat diikutinya. Hal ini, berdasarkan data
dari Kementerian Kesehatan RI tahun 2011, bahwa populasi orang dewasa
Indonesia yang mencapai 150 juta jiwa, sekitar 11,6 persen atau 17,4 juta jiwa
mengalami gangguan mental emosional atau gangguan kesehatan jiwa berupa
kecemasan dan depresi (Disampaikan dalam seminar dalam rangka hari kesehatan
jiwa sedunia 28 September 2011). Selanjutnya hasil riset yang dilakukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI pada
tahun 2013. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil.
Gangguan jiwa berat terbanyak di Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan
Jawa Tengah. Proporsi RT yang pernah memasang ART gangguan jiwa berat 14,3
persen dan terbanyak pada penduduk yang tinggal dipedesaan (18,2%), serta pada
kelompok penduduk dengan kuintil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi
gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0 persen. Provinsi dengan
prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk tertinggi adalah Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.
Melihat fakta dilapangan, hal ini menjadi sebuah PR besar bagi semua lini
kehidupan, peran serta semua elemen masyarakat untuk menjaga hubungan yang
harmonis antara sesama individu masyarakat dan peran pemerintah untuk
memberikan stabilitas yang menyangkut masalah kenyamanan opinin masyarakat.
Dari paradigma di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak masyarakat yang

mengalami stress akibat dari tekanan kehidupan yang dari hari ke hari beragam
permasalahannya.
Apa itu stress?
Selye mengatakan stress merupakan respon tubuh yang sifatnya non spesifik
terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Apabila individu mengalami gangguan pada
satu atau lebih organ tubuh sehingga individu tidak dapat lagi menjalankan fungsi
pekerjaan dengan baik, maka individu disebut mengalami distress. Akan tetapi,
apabila individu dapat mengatasi tekanan yang datang terhadap dirinya, tanpa ada
keluhan fisik maupun mental, maka individu tidak mengalami stress melainkan
disebut eustress.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stress


Terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi atau penyebab timbulnya
keadaan stress. Penyebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi stress disebut
dengan stressor. Dalam kajian ini, akan dijelaskan stressor yang berasal dari
stressor psikososial. Menurut Dadang Hawari, stressor psikososial diantaranya: 1)
Perkawinan; 2) Problem orang tua; 3) Hubungan interpersonal; 4) Pekerjaan: 5)
Lingkungan hidup; 6) Keuangan; 7) Hukum; 8) Perkembangan; 9) Penyakit fisik atau
cidera; 10) Keluarga; 11) Trauma.
Berdasarkan pendapat Hawari, dapat di ambil sebuah kesimpulan yang menjadi
penyebab seseorang mengalami stress diantaranya: 1) Faktor Fisiologis; 2)
Psikologi; 3) Faktor Sosial dan Budaya.

Reaksi terhadap stress


Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami stress, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Individu yang mengalami stress, akan menunjukkan
reaksi dalam dirinya. Menurut Yusuf dan Nurihsan, gejala stress dapat dilihat dari
gejala fisik maupun psikis. Gejala fisik diantaranya, sakit kepala, sakit lambung,
tekanan darah meninggi, jantung berdebar-debar, insomnia (sulit tidur), mudah lelah,

keluar keringat dingin, kurang selera makan, dan sering buang air kecil. Selanjutnya
gejala psikis diantaranya, cemas, konsentrasi menurun, bersikap apatis (masak
bodoh), pesimis, hilang rasa humor, pendiam, malas beraktivitas, melamun, menjadi
pemarah. Selanjutnya seseorang yang mengalami stress dapat pula dilihat
berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi pada kondisi tubuhnya. Menurut
Dadang Hawari, seseorang yang mengalami stress akan mengalami perubahan
fisiologis. Perubahan yang terjadi merupakan gangguan fungsional dari organ tubuh
individu yang mengalami stress. Keluhan fisik mempengaruhi kondisi mental dan
emosional, sehingga individu yang mengalami stress akan menjadi pemarah,
pemurung, pencemas, dan mengalami gangguan emosional lainnya.
Strategi Menghadapi Stress
Setelah mengetahui faktor yang mempengaruhi stress dan reaksi tubuh (fisik dan
psikologis) terhadap stress. Strategi menghadapi stress harus diketahui oleh setiap
individu manusia. Berdasarkan ulasan dari Dadang Hawari, ringkasan upaya
meningkatkan kekebalan terhadap stress diantaranya:
1. Menjaga pola makan dan istirahat yang cukup.
2. Membiasakan untuk menggerakan badan minimal 2 kali
seminggu (olahraga).
3. Mengurangi atau bahkan meninggalkan rokok dan minuman
keras.
4. Menjalin interaksi sosial yang baik.
5. Mendekatkan diri kepada Tuhan.
Melalui strategi menghadapi stress yang benar, seseorang dapat terhindar dari
keadaan stress yang menjadi distress. Melalui strategi stress, keadaan tekanan
yang dialami dapat menjadi eustress. Dalam arti kata, tekanan yang hadir dari
pelbagai aspek kehidupan, dapat menjadi pencetus semangat untuk menyelesaikan
dan memecahkan pelbagai masalah kehidupan.
http://www.eramuslim.com/pendidikan-keluarga/konsultasipk/manajemen-stress.htm
http://docplayer.info/2717851-Kesehatan-mental-kartika-saridewi.html#show_full_text

Konsultasi kesehatan mental sebenarnya sudah menjadi isu penting sejak


tahun 1960-an. Di beberapa negara, konsultasi kesehatan mental
menaruh perhatian khusus pada perkembangan anak dan dianggap
sebagai strategi intervensi yang cukup efektif dan populer (Green,
Everhart, Gordon, & Gettman, 2006). Orford (1992) menyimpulkan definisi
konsultasi sebagai triadic arrangement yang melibatkan konsultan, yang
berkonsultasi, dan klien. Dalam hal ini, konsultan dalam kesehatan mental
adalah dokter, psikolog/psikiater, dan pekerja sosial terlatih.
Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pelayanan kesehatan mental
masyarakat adalah riil, tapi ketersediaanya jauh dari memadai. WHO
mencatat prevalensi masalah gangguan mental emosional saja di
Indonesia 11,6%, atau lebih dari 17,4 juta warga Indonesia mengalami
gangguan mental emosional, tapi psikolog yang dimiliki oleh bangsa ini
tercatat hanya berjumlah 9.100 orang yang berpusat di ibu kota dan kotakota

besar.

berbenturan

Pada

perkembangannya,

dengan

kompetensi

logika

psikolog

pelayanan

yang

publik

sebenarnya

ini

lebih

dipersiapkan untuk pelayanan private oleh kurikulum pendidikan psikologi


di universitas. Psikolog hanya mampu melayani pasien maksimal 6 orang
dalam satu hari pelayanan di puskesmas, sementara dokter dapat
melayani 80 orang pasien dalam waktu yang sama. Hal ini tentu saja
membuat layanan psikologi menjadi high cost.
Minimnya keberadaan tenaga psikolog di pusat pelayanan kesehatan
masyarakat (puskesmas) di daerah menjadikan semakin terbatasnya
jangkauan layanan psikologi terutama psikologi klinis untuk kesehatan
mental di masyarakat. Kondisi ini menyebabkan semakin banyaknya
pasien gangguan jiwa yang harus dirujuk pengobatannya ke rumah sakit
jiwa daerah.
Di

Aceh

sendiri,

kesehatan

mental

menjadi

topik

paling

populer

pascatsunami Desember 2004 silam yang lalu disertai perdamaian antara


RI dan GAM pada tahun 2005. Dampak psikologis pada survivor tsunami
dan tragedi konflikyang dialami daerah ini lebih dari seperempat abad

mengundang perhatian dunia di kemudian hari. Bantuan-bantuan datang


dengan segala bentuk, termasuk program psikososial yang pada intinya
ingin berkontribusi pada perbaikan Aceh yang terus bergulir hingga kini.
Begitu juga halnya dengan studi-studi ilmiah yang dilakukan banyak
akademisi, praktisi dan mahasiswa yang ingin mendapatkan pembelajaran
(lesson learned) dari Aceh. Tulisan ini merupakan salah satu pemikiran
sederhana mengenai konsultasi psikologi terkait kesehatan mental di
Aceh.
Psikologi

adalah

terminologi yang kemudian cukup dikenal di Aceh meskipun kiprah dan


implementasinya

belum

sepenuhnya

dipahami

oleh

masyarakat.

Pascakonflik dan tsunami, peran psikologi yang paling menonjol adalah


program psikososial dan konseling (dalam tulisan ini lebih lanjut akan
disebut konsultasi psikologi). Beberapa kota besar seperti Jakarta, Bogor,
Yogyakarta dan Surabaya telah menempatkan tenaga psikologi maupun
psikolog di puskesmas untuk program kesehatan menyeluruh, tidak hanya
berfokus pada kesehatan jiwa.
Tidak terkecuali di Aceh, program studi Psikologi yang berada di bawah
naungan Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, juga melakukan
terobosan pada tahun 2008 dengan menempatkan tenaga psikologi di
puskesmas. Terobosan ini menemui berbagai kendala di lapangan hingga
pada akhir tahun 2011 konsultasi psikologi di puskesmas terpaksa
dihentikan. Beberapa kendala yang muncul antara lain kurangnya tenaga

psikolog (terutama bidang psikologi klinis), belum jelas tugas dan fungsi
psikolog dalam pelayanan puskesmas di Aceh, serta penempatan psikolog
di puskesmas belum diimplementasikan oleh regulasi daerah meskipun
dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2006 telah tertuang butir tentang
kesehatan jiwa oleh psikolog klinis.
Dalam pendekatan psikologi klinis, treatment diberikan kepada seseorang
atau kelompok yang mengalami gangguan atau yang memiliki masalah,
dan klien menerima treatment tersebut. Kenyataannya, sering kali sulit
untuk

memastikan

siapa

yang

memerlukan

terapi

atau

bantuan

psikologis. Pada masyarakat Aceh, perilaku mencari bantuan profesional


untuk gangguan mental masih minim. Akan tetapi, kesadaran akan
pentingnya sehat jiwa cukup baik. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya
beberapa permintaan tes minat bakat, kemampuan intelektual, dan
kepribadian pada lembaga-lembaga penyedia layanan psikologi. Tidak
terkecuali di pusat kesehatan (rumah sakit dan puskesmas).
Ginsberg (2001) mengidentifikasi dan menjelaskan sedikitnya enam fungsi
pusat kesehatan mental masyarakat, yaitu melakukan:
1. Manajemen

kasus;

menghubungkan

adalah

klien

proses

untuk

penilaian

layanan

yang

kebutuhan
tepat,

klien,

koordinasi

penyediaan pelayanan, dan pemantauan efektivitasnya.


2. Jasa untuk anak dan remaja; bertujuan untuk meningkatkan fungsi
keseluruhan klien anak dan remaja.
3. Informasi dan program pendidikan; merupakan kegiatan mendidik
warga masyarakat, termasuk anggota keluarga penderita penyakit
mental dan profesional lain yang terlibat di masyarakat tentang
pencegahan masalah dan pengobatan penyakit mental.
4. Program jangka panjang peduli masyarakat; merupakan pelayanan
bagi orang dengan penyakit mental secara berkelanjutan dengan
mengunjungi

rumah

mereka,

pemantauan

obat-obatan,

mengoordinasikan layanan yang diperlukan lainnya.

dan

5. Program hari perawatan; memberikan kegiatan sehari-hari bagi


orang dengan penyakit mental, termasuk pengejaran rekreasi
seperti permainan/game atau kerajinan, layanan kesehatan, dan
program pendidikan.
6. Program terapi alkohol dan obat lain; memberikan pengobatan,
termasuk konseling individu dan kelompok. Sering kali staf dalam
unit ini bekerja sama dengan fasilitas rawat inap lain untuk
memberikan klien jenis perawatan yang mereka butuhkan.
Menurut Harri Minas (2011), ada dua alasan mengapa psikolog diharapkan
dapat menjadi bagian integral dari sistem kesehatan masyarakat:
pertama, karena jumlah psikolog yang banyak di Indonesia, maka akan
menjadi kekuatan yang signifikan untuk memajukan kesehatan mental di
Indonesia jika dapat diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan; kedua,
karena kompetensi psikolog yang luas, mulai dari terapi individu hingga
intervensi komunitas. Hal ini juga menekankan bahwa upaya mewujudkan
kesehatan mental masyarakat bukan hanya tanggung jawab psikolog
klinis, tapi peran psikolog industri/organisasi, sosial, pendidikan dan
lainnya sangat diperlukan.
Dilihat

dari

pandangan

sosiokultual,

lingkungan

sosiokultural

dan

interaksinya dengan individu atau sekelompok individu dapat menjadi


penyebab munculnya gangguan mental. Hal ini dikarenakan harapan
sosial kepada individu untuk mengikuti kondisi yang berlaku misalnya
norma sosial, dan lainnya tidak dapat dipenuhi. Banyak perubahan dalam
tatanan masyarakat sekarang ini menyebabkan munculnya gejala-gejala
gangguan emosional seperti kecemasan, kepanikan, mudah tersulut
emosi, reaktif, cepat tersinggung, dan mudah putus asa. Kondisi ini
membutuhkan

suatu

pendekatan

psikologis

dalam

penanganannya.

Layanan psikologis seharusnya dapat diakses oleh masyarakat dari


kalangan manapun di layanan kesehatan primer seperti puskesmas.
Langkah ini telah diprakarsai oleh Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah
Mada, dengan melakukan pilot study penempatan psikolog di puskesmas

sejak tahun 2004 di puskesmas-puskesmas di bawah Dinas Kesehatan


Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap
pelayanan yang dilakukan oleh psikolog di puskesmas; masyarakat,
profesi lain maupun dinas kesehatan sendiri merasakan manfaat yang
signifikan dan kemajuan dalam hal penanganan kesehatan mental di
masyarakat. Sebagai salah satu tolok ukurnya, permintaan penempatan
psikolog di Kabupaten Sleman terus meningkat, dari yang semula 6
psikolog untuk 6 puskesmas pada tahun 2004, meningkat menjadi 24
psikolog di 24 puskesmas pada tahun 2008, dan saat ini puskesmas di
wilayah Kota Yogyakarta juga menerapkan hal serupa.
- See more at: http://warta.unsyiah.ac.id/index.php/pengabdianriset/item/100-layanan-kesehatan-mental-bagi-masyarakat-sebuahparadigma-induksi-marty-mawarpury-m-psi-maya-khairani-mpsi#sthash.kZwuz5Fc.dpuf

You might also like