You are on page 1of 47

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika
dan zat adiktif lain (selanjutnya disebut napza) merupakan problema
kompleks yang penatalaksanaannya melibatkan banyak bidang keilmuan
(medik

dan

non-medik).

Penatalaksanaan

seseorang

dengan

ketergantungan napza merupakan suatu proses panjang yang memakan


waktu relatif cukup lama dan melibatkan banyak profesi dan paraprofesi
(onal).
Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga
mempunyai keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif
terbatas (sebagian hanya bekerja di klinik, rumah sakit atau di tempat
praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam
bidang adiksi, tidak adanya jejaring rujukan yang mapan merupakan
beberapa faktor penghambat. Di samping itu, juga cukup banyak
faktorfaktor luar yang mengganggu proses pemulihan pasien, misalnya:
dukungan keluarga dan/atau kelompok sebaya yang tidak selamanya
positif, tawaran pengedar, kepatuhan pasien pada program terapi medik,
dan lain-lainnya. Umumnya faktor - faktor tersebut di luar kendali medik.
Napza terdiri atas berbagai macam zat yang mempunyai efek berbedabeda; berdasarkan pengaruhnya pada tubuh dan perilaku digolongkan
atas:

Depresan seperti: opioida


Sedatif-hipnotik: diazepam
Stimulansia: amfetamin, metamfetamin
Halusinogenik: LSD, mushroom, kanabinoid.

Zat

adiktif

tersebut

mempengaruhi

otak

dan

selanjutnya

menimbulkan perubahan yang berbeda-beda atas perilaku manusia, oleh


karena itu penatalaksanan medisnya juga berbeda- beda tergantung pada
simptomatologinya. Umumnya yang digunakan sebagai pegangan baku,
adalah terapi dan penatalaksanaan medik untuk ketergantungan opioida.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tujuan dari Intervensi dan Penatalaksanaan Penggunaan NAPZA
Umumnya tujuan terapi ketergantungan napza adalah sebagai berikut :
1. Abstinensia atau penghentian total penggunaan napza.
Tujuan terapi ini tergolong sangat ideal, namun sebagian besar
pasien tidak mampu atau tidak bermotivasi untuk mencapai
sasaran ini, terutama pasien-pasien pengguna awal. Usaha pasien
untuk mempertahankan abstinensia tersebut dapat didukung
dengan meminimasi efek-efek yang langsung ataupun tidak
langsung akibat penggunaan napza. Sedangkan sebagian pasien
lain memang telah sungguh-sungguh abstinen terhadap salah satu
napza, tetapi kemudian beralih menggunakan jenis napza yang
lain.
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.
Tujuan utamanya adalah mencegah relaps. Bila pasien pernah
menggunakan satu kali saja setelah abstinensia, maka ia disebut
slip. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia memang telah
dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu
abstinen.

Program

pelatihan

ketrampilan

mencegah

relaps

(relapse prevention program), terapi perilaku kognitif (cognitive


behavior therapy), opiate antagonist maintenance therapy dengan
naltrexone merupakan beberapa alternatif untuk mencapai tujuan
terapi jenis ini.
3. Memperbaiki fungsi psikologi, dan fungsi adaptasi sosial.
Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran
utama. Terapi rumatan metadon, syringe exchange program
merupakan pilihan untuk mencapai tujuan terapi jenis ini. Terapi
medik

ketergantungan

psikofarmakoterapi

dan

napza
terapi

merupakan

perilaku(1).

kombinasi

Meskipun

telah

dipahami bahwa

banyak

faktor yang terlibat dalam

terapi

ketergantungan zat (termasuk faktor problema psikososial yang


sangat kompleks), narnun upaya penyembuhan ketergantungan
napza dalam konteks medik tetap selalu diupayakan.
Seperti diketahui, terapi medik ketergantungan napza terdiri atas
dua fase berikut:
Detoksifikasi
Rumatan (maintenance, pemeliharaan, perawatan).
B. Penatalaksanaan Gangguan Penggunaan NAPZA Pada Kondisi
Non Gawat Darurat
Individu dengan masalah penggunaan NAPZA pada kondisi tidak gawat
darurat perlu menerima intervensi singkat ataupun intervensi psikososial,
tergantung dari derajat penggunaan yang dilakukan indivdu tersebut. Bila
diperlukan, pasien dengan ketergantungan NAPZA tertentu juga dapat
menerima farmakoterapi rumatan ataupun simtomatik.
1. Intervensi Singkat
Intervensi singkat ditujukan untuk mencoba

merubah

penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak pasien berpikir ulang


mengenai pola penggunaan NAPZAnya. Waktu yang dibutuhkan untuk
intervensi biasanya antara 10 menit hingga 1.5 jam. Intervensi singkat
khususnya dapat dipergunakan untuk pelayanan dasar di puskesmas
dan dapat juga digunakan di ruang emergensi, bangsal rumah sakit,
dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain.
Intervensi direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang
seperti dibawah ini:
Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum

ketergantungan
Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang
Ketergantungan nikotin/perokok
Ketergantungan ringan sampai sedang kanabis

Intervensi singkat tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah


ini:

Pasien

psikologis/psikiatrik
Pasien dengan ketergantungan berat
Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah
Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi

yang

kompleks

dengan

isu-isu

masalah

kognitif
Intervensi singkat dapat mengambil berbagai bentuk format
tetapi seringkali termasuk:
asesmen singkat
materi self - help (materi yang membantu pemahaman
NAPZA pada pasien, contoh : leaflet tentang penanganan
overdosis.cara menyuntik yang benar pada program harm

reduction)
informasi tingkat penggunaan yang aman
anjuran untuk mengurangi konsumsi
pengurangan dampak buruk
pencegahan kekambuhan
asesmen untuk kesiapan berubah termasuk wawancara

memotivasi
konseling singkat termasuk pemecahan masalah dan tujuan
follow up
2. Intervensi Psikososial
Intervensi psikologik merupakan komponen penting dalam
pengobatan yang komprehensif. Dapat diberikan konseling baik secara
individu maupun dalam kelompok. Konseling merupakan pendekatan
melalui suatu kolaborasi antara konselor dengan pasien dalam
perencanaan pengobatan yang didiskusikan dan disetujui bersama.
Tidak ada satu pendekatan psikososial yang superior, program
pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien secara
individu dengan mempertimbangkan Ludaya, jender dan komorbiditas
yang ada.
Konseling secara umum harus meliputi:
menghubungkan pasien dengen
dengan kebutuhan

layanan

yang

sesuai

mengantisipasi dan mengembangkan strategi bersama

pasien untuk menghadapi berbagai kesulitan


memberikan intervensi yang spesifik berdasarkan fakta
fokus pada sumberdaya yang positif baik secara internal
maupun eksternal dan berhasil mengatasi masalah maupun

ketidakmampuan pasien
mempertimbangkan secara lebih luas untuk membantu
pasien dalam hal lain seperti makanan, tempat tinggal,

keuangan
bila sesuai, libatkan dukungan lain untuk mengembangkan
kemungkinan perubahan perilaku melalui lingkungan dalam
layanan pengobatan maupun lingkungan luar pengobatan

3. Kelompok mutual lainnya seperti Alcoholic Anonymous, Narcotic


Anonymous,, AI-Anon (keluarga pengguna NAPZA) dengan menerapkan
terapi 12 Langkah akan sangat membantu pasien dalam melakukan
perubahan perilaku.
C. Intervensi Psikososial yang Digunakan Pasien dengan NAPZA
1. Terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT)
merupakan terapi yang paling sering digunakan terhadap pasien
ketergantungan napza. CBT terhadap pasien ketergantungan napza
pasca detoksifikasi dilakukan sebanyak 12-20 sessi seminggu sekali
selama 2 jam didasarkan kepada social learning theories dengan
analisis fungsional dan latihan ketrampilan terhadap pasien-pasien
ketergantungan napza. CBT dapat juga diberikan dalam bentuk terapi
kelompok atau terapi perorangan.
Activating Event (A) adalah suatu kejadian yang mengaktivasi,
stressor yang sangat mempengaruhi individu. Baik langsung maupun
tidak langsung mengenai individu. Hal tersebut sangat diyakini oleh
individu (Belief, B). Karena sangat mempengaruhi pikiran individu dan
keyakinan

tersebut

sehingga

menimbulkan

konsekuensi

(Consequences, C), jika mempengaruhi emosionalnya maka akan


timbul keluhan somatik yang selanjutnya mempengaruhi perilakunya.

Keadaan tersebut akan bersifat feedback terhadap belief, atau


menjadikan penguatan terhadap belief nya. Individu semakin yakin
bahwa keluhan tersebut akibat dari stressor. Konsekuensi juga bisa
langsung mempengaruhi perilakunya yang juga akan berakibat terjadi
penguatan terhadap keyakinannya (belief). Keadaan tersebut di atas
terus menerus dirasakan oleh individu yang akhirnya mempengaruhi
kinerjanya, peran sosialnya, maupun peran kesehariannya.
CBT adalah melakukan pemutusan dari belief dan atau feedback
yang menimbulkan konsekuinsi somatik dan perilaku atau agar supaya
tidak menimbulkan penguatan terhadap keyakinannya. Juga bisa pada
konsekuensi

yang

mempengaruhi

emosionalnya,

sehingga

tidak

menimbulkan keluhan somatik lagi.


Penggunaan CBT untuk korban NAPZA adalah :
Penyalahgunaan zat diperantarai proses kognitif dan tingkah laku

komplek
Penyalahgunaan zat dan hubungannya dengan proses kognitif

perilaku adalah proses yang dipelajari


Penyalahgunaan zat dan hubungannya dengan proses kognitif
perilaku dapat dimofikasi, terutama dengan CBT

2. Relapse Prevention Training (RPT)


RPT adalah program kendali diri yang didisain untuk mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya, bagaimana
mengantisipasi dan mengatasi problema relaps. RPT adalah suatu
program

psiko-edukasi

ketrampilan

perilaku

yang

dengan

menggabungkan
teknik

intervensi

prosedur

latihan

kognitif.

Prinsip

utamanya adalah berdasarkan social leaming theory. Sebagian ahli


dalam bidang ketergantungan zat telah melakukan sejumlah penelitian
yang berkait dengan perilaku relaps sejak tahun 1985 (Marlatt and
Gordon). Tujuan RPT adalah mendidik seseorang bagaimana mencapai
suatu lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang
tidak sehat.

Pasien dibimbing untuk mengenali high risk situation tertentu


yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat
meningkatkan risiko relaps. Ada beberapa situasi yang tergolong high
risk ; yaitu status emosional yang negatif (35% dari sampel relaps),
konflik interpersonal (16% dari sampel relaps) dan tekanan sosial (20%
dari sampel).
3. Harm Reduction Program
Harm reduction adalah suatu kebijakan atau program yang
ditujukan untuk menurunkan konsekuensi kesehatan, sosial dan
ekonomi yang merugikan akibat penggunaan zat adiktif tanpa
kewajiban abstinensia dari penggunaan zat. Di Indonesia, pendekatan
konsep harm reduction masih kontroversial karena belum dapat
diterima masyarakat luas. Namun transmisi HIV/AIDS, hepatitis dan TB
pulmonum di kalangan IDUs cukup memprihatinkan akhir-akhir ini.
Karakteristik utama prinsip-prinsip harm reduction adalah: pragmatis
(memandang sesuatu berdasarkan azas manfaatnya saja), nilai-nilai
humanistik, hanya berfokus pada masalah harms, penyeimbangan
pengeluaran dan keuntungan, serta memprioritaskan sasaran antara.
4. Terapi Rehabilitasi
Rehabilitasi narkoba

adalah prosedur yang mana

seorang

pecandu obat diberikan perawatan medis atau psikologis untuk


menjauhkan mereka dari narkoba. Pemerintah, untuk mencegah orang
dari mengkonsumsi obat sendiri telah membuat peraturan bahwa
diperlukan resep dari seorang praktisi medis saja bagi orang yang akan
mengambil

obat,

dan

yang

mengambil

secara

ilegal

atau

memberikannya kepada orang lain dapat dikenakan hukuman. Obat


hanya perlu diberikan kepada yang memerlukan. Dalam kebanyakan
kasus ketika orang mulai mengkonsumi obat karena status mentalnya,
mereka akan mendapatkan perawatan psikologis
Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :

Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA

lagi ;
Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;
Pulih kepercayaan dirinya,hilang rasa rendah dirinya;
Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari

dengan baik;
Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam

pergaulan di lingkungannya.
Beberapa Bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada,
antara lain :
a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)
Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik)
terhadap opioid (heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami
keadaan rindu yang sangat kuat (craving, kangen,sugesti)
terhadap efek heroin. Antagonis opiat (Naltrexon HCI,) dapat
mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan rindu
itu. Apabila pasien menggunakan opieat lagi,ia tidak merasakan
efek euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu
perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun motivasi pasien
yang

kuat

sebelum

memutuskan

pemberian

antagonis.

Antagonis opiate diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali


sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena hepatotoksik, perlu
tes fungsi hati secara berkala.
b. Program Metadon
Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk
menggantikan heroin yang dapat diberikan secara oral sehingga
mengurangi komplikasi medik. Program ini masih kontroversial,
di Indonesia program ini masih berupa uji coba di RSKO
c. Program yang berorientasi psikososial
Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada
terapi psikologik (kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika

kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan lain-lain) dan


keterampilan

sosial

keperibadian

dan

yang
sikap

bertujuan
mental

mengembangkan

yang

dewasa,

serta

meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal


Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting
rehabilitasi. Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan.

Psikoterapi

yang

berorientasi

analitik

mengambil

keberhasilan mendatangkan insight sebagai parameter

keberhasilan.
Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps
seperti

Cognitivi

Behaviour

Therapy

Prevention Training
Supportive Expressive Psychotherapy
Psychodrama,art-therapy
adalah

dan

Relaps

psikoterapi

yang

dijalankan secara individual


d. Therapeutic Community
berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang
tinggal dalam sutu tempat. Dipimpin oleh bekas penyalahguna
yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor,setelah
melalui pendidikan dan latihan. Tenaga

profesional hanya

sebagai konsultan saja. Disini penderita dilatih keterampilan


mengelola

waktu

dan

perilakunya

secara

efektif

serta

kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan


memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relap.
Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri
perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan
perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain.
Tiap

anggota

bertanggung

jawab

terhadap

perbuatannya,ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman


bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

e. Program yang berorientasi Sosial


Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan
sosial, sehingga mereka dapat kembali kedalam kehidupan
masyarakat yang normal,termasuk mampu bekerja.

f. Program yang berorientasi kedisiplinan


Program ini menerapkan modifikasi

behavioral

atau

perilaku dengan cara melatih hidup menurut aturan disiplin yang


telah ditetapkan.
g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual
Pesantren dan beberapa pendekatan

agama

lain

melakukan trial and error untuk menyelenggarakan rehabilitasi


ketergantungan NAPZA
Komponen pada rehabilitasi antara lain sebagai berikut:
Menggunakan tenaga peer counselor (mantan pemakai
yang pulih, terpilih dan terlatih) dengan 1-2 orang konselor

professional.
Program dapat bersifat primer atau sekunder, program
berlangsung 3 bulan hingga 2 tahun dengan penekanan

pada proses sosialisasi.


Beberapa TC mensyaratkan pecandu terpisah sama sekali
dari dunia sekitarnya. Tetapi ada juga yang tidak, terapi

yang biasanya dilakukan bersifat konfrontatif.


TC hampir mirip seperti asrama, dimana terdapat jadwal
harian tetap dan anggotanya memelihara dan mengelola
fasilitas tersebut.

D. Penatalaksanaan Umum Kondisi Kegawatdaruratan Penggunaan


NAPZA
a. Tindakan

terfokus

pada

masalah

penyelamatan

hidup

(life

threatening) melalui prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan


menjaga tanda-tanda vital

b. Bila

memungkinkan

hindari

pemberian

obat-obatan,

karena

dikhawatirkan akan ada interaksi dengan zat yang digunakan pasien.


Apabila zat yang digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat
diberikandengan dosis yang adekuat.
c. Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat
penggunaan zat sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa
(terutama dengan pasangannya). Bila pasien tidak sadar perhatikan
alat alat atau barang yang ada pada pasien.
d. Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang
penting

khususnya

bila

berhadapan

dengan

pasien

panik,

kebingungan atau psikotik


e. Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besaran
masalah penggunaan zat pasien berdasar kategori dibawah ini:
Pasien dengan penggunaan zat dalam jumlah banyak dan
tanda-tanda

vital

yang

membahayakan

berkaitan

dengan

kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan disertai dengan gejalagejala halusinasi, waham dan kebingungan akan tetapi kondisi
ini

akan

kembali

normal

setelah

gejala-gejala

intoksikasi

mereda.
Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejalagejala putus zat yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejalagejala kebingungan atau psikotik hal itu merupakan bagian dari
gejala putus zat. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil
dan tidak memperlihatkan gejala putus zat yang jelas tetapi
secara klinis menunjukkan adanya gejala kebingungan seperti
pada kondisi delirium atau demensia. Dalam perjalanannya
mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini
akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia
sudah diterapi dengan adekuat.
Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejalagejala kebingungan atau putus zat secara bermakna, tetapi menunjukkan adanya

halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien menderita
psikosis.
E. Program Pasca Rawat (After Care)
Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna
NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (After care) untuk
memperkecil

kemungkinan

relaps

(kambuh).

Setiap

tempat/panti

rehabilitasi yang baik mempunyai program pasca rawat ini. Program After
Care juga berperan ebagai sarana transisi dari proses terapi dan
rehabilitasi ke lingkungan sosial, dimana mantan pecandu tinggal
bersama dibantu oleh pengawas yang berasal dari tenaga profesional,
biasanya terdiri dari 20 orang pecandu dan mereka bertanggung jawab
memelihara tempat tinggal seperti belanja, memasak, membersihkan
rumah, dan lain - lain. Tujuannya agar timbul rasa tanggung jawab pada
mantan pecandu, disiplin dan mampu bersosialisasi dengan dunia luar.
Program ini belum banyak diterapkan di Indonesia. Jenis perawatan ini
cocok bagi pecandu yang tidak memperoleh banyak kemajuan selama
terapi primer, bagi mereka yang tidak mendapatkan akses ke rumah
sakit/pusat rehabilitasi dan bagi mereka yang belum dapat dipulangkan
ke lingkungan tempat tinggalnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masalah gangguan penggunaan NAPZA adalah penyakit otak yang
menimbulkan dampak fisik, psikologis dan sosial. Gangguan penggunaan
NAPZA tergolong sebagai penyakit kronis kambuhan, dimana untuk
proses pemulihannya memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan
berbagai pendekatan dan latar belakang profesi. Tiap jenis NAPZA
memberikan

efek

yang

khas

pada

tubuh

manusia,

sehingga

penatalaksanaan mediknya pun bervariasi.


Intervensi medik dalam penatalaksanaan ketergantungan napza juga
mempunyai keterbatasan. Ruang lingkup kerja profesi medis yang relatif
terbatas (sebagian hanya bekerja di klinik, rumah sakit atau di tempat
praktek), kurangnya SDM yang berpengalaman dan profesional dalam
bidang adiksi, tidak adanya jejaring rujukan yang mapan merupakan
beberapa faktor penghambat.
Adapun berbagai Intervensi Psikososial yang Digunakan Pasien dengan
NAPZA
1.
2.
3.
4.

Terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT)


Relapse Prevention Training (RPT)
Harm Reduction Program
Terapi Rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun,

Maria T, SH. 2009. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba

Sejak usia Dini.


Jakarta : Badan Narkotika Nasional

Sedyaningsih, Endang Rahayu. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia
nomor 422/MENKES/SK/III/2010.
Republik Indonesia

Jakarta : Departemen Kesehatan

INTERVENSI PSIKOSOSIAL PADA


PENGGUNA NAPZA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


NURSING CARE PATIENT WITH NAPZA / HIV AIDS
OLEH :
Kelompok 8
RIA DESTISA
PIPIT FADHILLA
MONICA DWISEPTY
DILA YUDITA PUTRI
FILMAFARA ZANDI IBHAR
SORAYA INDAH SARI

0910321008
0910322038
0910322044
0910323052
0910323076
0910323098

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS
2012
Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan hidupnya.
Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu untuk dapat menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan sehat. Sedangkan
seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan keseimbangan diri
dan lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam

kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal positif (Mirzal Tawi,


2008).
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang
bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. masalah
kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai
akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang
dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes, 2011).
Contoh masalah psikososial antara lain: psikotik gelandangan dan
pemasungan, penderita gangguan jiwa, masalah anak: anak jalanan dan
penganiayaan
anak,
masalah
anak
remaja:
tawuran
dan
kenakalan,
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, masalah seksual: penyimpangan
seksual, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual, tindak kekerasan sosial, stress
pasca trauma, pengungsi/ migrasi, masalah usia lanjut yang terisolir, masalah
kesehatan kerja: kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan produktifitas dan stres
di tempat kerja, dan lain-lain: HIV/AIDS (Depkes, 2011).
B. Tujuan Masalah
1. Memahami konsep dasar Psikososial.
2.

Memahami konsep dasar psikososial yang mencakup konsep diri, stres dan
adaptasi.

3. Mengetahui Asuhan Keperawatan pada psikososial.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

PENGERTIAN PSIKOSOSIAL
Manusia adalah makhluk biopsikososial yang unik dan menerapkan system
terbuka serta saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan
keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap individu
untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini disebut dengan
sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila gagal dalam mempertahankan
keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai makhluk social, untuk mencapai
kepuasan dalam kehidupan, mereka harus membina hubungan interpersonal
positif .

B. STATUS EMOSI
Setiap individu mempunyai kebutuhan emosi dasar, termasuk kebutuhan
akan cinta, kepercayaan, otonomi, identitas, harga diri, penghargaan dan rasa
aman. Schultz (1966) Merangkum kebutuhan tersebut sebagai kebutuhan
interpersonal untuk inklusi, control dan afeksi. Bila kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi, akibatnya dapt berupa perasaan atau prilaku yang tidak diharapkan,
seperti ansietas, kemarahan, kesepian dan rasa tidak pasti.
C. KONSEP DIRI
Konsep diri adalah semua perasaan kepercayaan dan nilai yang diketahui
tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi molai mengenal dan
membedakan dirinya dengan orang lain.

Pembentukan konsep diri ini sangat dipengaruhi oleh asuhan orang tua dan
lingkungannya.
a. Komponen konsep diri
1)

Citra diri

adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini
mencakup presepsi dari pasangan tentang ukuran, bentuk, dan fungsi penampilan
tubuh saat ini dan masa lalu.
2)

Ideal diri

Presepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai dengan standar


perilaku. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi.
3)

Harga diri

Harga diri adalah penilaian terhadap hasil yang dicapai dengan analisis, sejauh
mana perilaku memenuhi ideal diri. Jika individu selalu sukses maka cenderung
harga dirinya akan tinggi dan jika mengalami kegagalan cenderung harga diri
menjadi rendah. Harga diperoleh dari diri sendiri dan orang lain.
4)

Peran diri

Peran diri adalah pola sikap, perilaku nilai yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya di masyarakat.

5)

Identitas diri

Identitas diri adalah kesadaran akan dirinya sendiri yang bersumber dari observasi
dan penilaian yang merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan yang utuh.
b.

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri


1)

Tingkat perkembangan dan kematangan

Perkembangan anak seperti perkembangan menta, perlakuan, dan pertumbuhan


anak akan mempengaruhi konsep dirinya.
2)

Budaya

Pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya, dan
lingkungannya. Orang tua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat
pada lingkungannya.
3)

Sumber eksternal dan internal

Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep


diri. Pada sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih
efektif. Sumber eksternal misalnya adanya dukungan dari masyarakat dan ekonomi
yang kuat.
4)

Pengamatan sukses dan gagal

Ada kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian
pula sebaliknya.
5)

Sensor

Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian dan kekuatan.
Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri,
dan kecemasan.
6)

Usia, keadaaan sakit, dan trauma

Usia tua, keadaan sakit akan mempengaruhi persepsi dirinya.


c.

Kriteria kepribadian yang sehat


1) Citra tubuh positif dan akurat

Kesadaran akan diri berdasar atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai
akan kesehatan diri. Termasuk presepsi saat ini dan masa lalu.

2)

Ideal dan realitas

Individu mempunyai ideal diri yang realitas dan mempunyai tujuan hidup yang
dapat dicapai.
3)

Konsep diri yang positif

Konsep diri yang positif menunjukkan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya.
4)

Harga diri tinggi

Seseorang yang akan mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya
sebagai seorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan
apa yang ia inginkan.
5)

Kepuasan penampilan peran

Individu yang mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan


orang lain secara intim dan mendapat kepuasan, dapat memercayai dan terbuka
pada orang lain serta membina hubungan interdependen.
6)

Identitas jelas

individu merasakan keunikan dirinya yang memberiarahkehidupan dalam mencapai


tujuan
D. DEFINISI COPING
Strategi coping merupakan suatu upaya individu untuk menanggulagi stress yang
menekan akibat masalah yang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan
kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya sendiri.
Coping yang efektif untuk dilaksanakan adalah coping yang membantu seseorang
untuk mentoleransi dan menerima situasi menekan dan tidak merisaukan tekanan
yang tidak dapat dikuasainya (lazarus dan folkman).

JENIS-JENIS KOPING YANG KONSTRUKTIF/SEHAT


KOPING KONSTRUKTIF/MERUSAK :
1.Penalaran (Reasoning)
Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi berbagai macam
alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternatif yang
dianggap paling menguntungkan.

2. Objektifitas
Yaitu kemampuan untuk membedakan antara komponen-komponen emosional dan
logis dalam pemikiran, penalaran maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga
meliputi kemampuan untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan
dengan persoalan yang tidak berkaitan.

3. Konsentrasi
Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang
sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiranpikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang
sedang dihadapi.

4. Humor
Yaitu kemampuan untuk melihat segi yang lucu dari persoalan yang sedang
dihadapi, sehingga perspektif persoalan tersebut menjadi lebih luas, terang dan
tidak dirasa sebagai menekan lagi ketika dihadapi dengan humor.
5. Supresi
Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada
sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi
yang lebih konstruktif.
6. Toleransi terhadap Kedwiartian atau Ambiguitas
Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang
bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi ketidak
jelasan tersebut.
7. Empati
Yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari pandangan orang lain. Empati juga
mencakup kemampuan untuk menghayati dan merasakan apa yang dihayati dan
dirasakan oleh orang lain.

KOPING POSITIF ( SEHAT)

1. Antisipasi
Antisipasi berkaitan dengan kesiapan mental individu untuk menerima suatu
perangsang. Ketika individu berhadap dengan konflik-konflik emosional atau pemicu
stres baik dari dalam maupun dari luar, dia mampu mengantisipasi akibat-akibat
dari konflik atau stres tersebut dengan cara menyediakan alternatif respon atau
solusi yang paling sesuai.
2. Afiliasi
Afiliasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berhubungan atau bersatu dengan
orang lain dan bersahabat dengan mereka. Afiliasi membantu individu pada saat
menghadapi konflik baik dari dalam dan luar, dia mampu mencari sumber- sumber
dari orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan.
3. Altruisme
Altruisme merupakan salah satu bentuk koping dengan cara mementingkan
kepentingan orang lain. Konflik-konflik yang memicu timbulnya stres baik dari dalam
maupun dari luar diri dialihkan dengan melakukan pengabdian pada kebutuhan
orang lain.
4. Penegasan diri (self assertion)
Individu berhadapan dengan konflik emosional yang menjadi pemicu stres dengan
cara mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya secara lengsung
tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau memanipulasi orang lain.
5. Pengamatan diri (Self observation)
Pengamatan diri sejajar dengan introspeksi, yaitu individu melakukan pengujian
secara objektif proses-proses kesadaran diri atau mengadakan pengamatan
terhadap tingkah laku, motif, ciri, sifat sendiri, dan seterusnya untuk mendapatkan
pemahaman mengenai diri sendiri yang semakin mendalam.

E. HUBUNGAN SOSIAL
Hubungan sosial dapat dibedakan menjadi dua, yaitu proses yang asosiatif dan
disosiatif. Hubungan sosial asosiatif merupakan hubungan yang bersifat positif, artinya
hubungan ini dapat mempererat atau memperkuat jalinan atau solidaritas kelompok.
Adapun hubungan sosial disosiatif merupakan hubungan yang bersifat negatif, artinya
hubungan ini dapat merenggangkan atau menggoyahkan jalinan atau solidaritas
kelompok yang telah terbangun.

Hubungan sosial asosiatif adalah proses interaksi yang cenderung menjalin


kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok. Hubungan sosial
asosiatif memiliki bentuk-bentuk berikut ini.

a. Kerja sama

b. Akomodasi; dapat diartikan sebagai suatu keadaan atau sebagai suatu proses.
Sebagai keadaan, akomodasi adalah suatu bentuk keseimbangan dalam interaksi
antarindividu atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial dan
nilai sosial yang berlaku. n masalah yang terjadi dapat dilakukan.
c. Asimilasi; adalah proses sosial yang timbul apabila ada kelompok masyarakat
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara interaktif
dalam jangka waktu lama.
d. Akulturasi; adalah suatu keadaan diterimanya unsur-unsur budaya asing ke dalam
kebudayaan sendiri.

2. Bentuk-Bentuk Hubungan Disosiatif


a. Persaingan; adalah suatu proses sosial yang dilakukan oleh individu atau kelompok
dalam usahanya mencapai keuntungan tertentu tanpa adanya ancaman atau kekerasan
dari para pelaku.
b. Kontravensi; merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada di antara
persaingan dengan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi adalah sikap mental yang
tersembunyi terhadap orang atau unsur-unsur budaya kelompok lain.
c. Pertentangan/Perselisihan; adalah suatu proses sosial di mana individu atau
kelompok menantang pihak lawan dengan ancaman dan atau kekerasan untuk
mencapai suatu tujuan.

F. KONSEP DIRI REMAJA YANG SEHAT.


Menurut Lautel dan Klatell tahun 1991, Konsep diri mempengaruhi kesehatan
mental dan bahkan perkembangan kepribadian remaja. Untuk membina konsep diri
yang sehat (positif), remaja perlu menilai diri sendiri.
Candles pada tahun 1972 mengemukakan bahwa ramaja yang memiliki
penilaian diri sendiri, menapakkan hidup bahagia karena dapat menerima
keberadaan dirinya sendiri sebagaimana adanya. Mereka dapat menyadari bahwa
mereka bukanlah individu yang sempurna, dan dapat menerima kegagalan dan

memahami kegagalan
kebodohan.

tersebut

sebagai

jalan

untuk

sukses,

bukan

sebagi

Mc Candles mengemukakan konsep diri remaja sebagai berikut :


1.

Tepat dan sama.

Konsep Diri remaja tepat dan sama dengan kenyataan pada diri remaja tersebut,
contohnya adalah remaja merasa dirinya mampu berprestasi di sekolah,
kenyataannya memang dia berpretasi di sekolah, atau seorang remaja laki-laki
mampu memerankan diri dengan baik dalam penampilan dan tugas serta tanggung
jawabnya sebagai seorang lelaki.
2.

Fleksibel.

Konsep Diri remaja yang sehat ditandai oleh fleksibel atau keluwesan remaja dalam
menjalankan peran dalam masyarakat. Contohnya sebagai siswa di sekolah
tugasnya adalah belajar, sedangkan dirumah tugasnya sebagai seorang kakak
mengasuh adik dan membantu keluarga. Remaja ini mudah berubah pendapat, sulit
dipercaya dan tidak tegas dalam menentukan jalan hidupnya.
3.

Kontrol diri.

Konsep diri remaja yang sehat mampu mengatur hidupnya sendiri sesuai standar
tingkah laku dirinya sendiri, bukan di atur oleh orang lain. Remaja ini mudah
menyesuaikan diri dengan standar tingkah laku yang dituntut lingkungan, mudah
memotivasi diri untuk mencapai tujuan hidup.

G.

KONSEP DASAR PERKEMBANGAN KONSEP DIRI


Menurut E.B. Hurlock (dalam Elida Prayitno, 1990) faktor perkambanganperkembangan konsep diri remaja yaitu bentuk tubuh, cacat tubuh, pakaian, nama
dan julukan, inteligensi kecerdasan, taraf aspirasi/cita-cita emosi, jenis atau gengsi
sekolah, status sosial, ekonomi keluarga, teman-teman dan tokoh atau orang yang
berpengaruh.
Apabila berbagai faktor itu cenderung menimbulkan perasaan positif
(bangga, senang), maka muncul lah konsep diri yang positif. Pada masa kanakkanak, seseorang biasanya cenderung menganggap benar apa saja yang dikatakan
oleh orang lain. Jika seorang anak merasa diterima, dihargai, dicintai, maka anak itu
akan menerima, manghargai, dan mencintai dirinya (konsep diri positif). Sebaliknya,
jika seseorang yang berpengaruh disekelilingnya (orang tua, guru, orang dewasa
lainnya, atau teman-temannya) ternyata meremehkan, merendahkannya,

mempermalukan, dan menolaknya, maka pengalaman itu akan disikapi dengan


negatif (memunculkan konsep diri negatif).
Remaja memiliki cita-cita yang tidak realistis akan mengalami kegagalan. Hal
ini mengakibatkan remaja memiliki perasaan tidak mampu dan menyalahkan
lingkungan diluar dirinya. Sebaliknya remaja memiliki cita-cita realistis, akan
memperoleh penghasilan dan ini akan menimbulkan kepercayaan yang akan
memberikan konsep diri yang baik.
Teman sebaya mempengaruhi konsep diri remaja dengan dua cara. Pertama,
konsep diri remaja merupakan cerminan bagaimana teman-temannya menilai
dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri
kepribadian yang diakui oleh kelompoknya. Usaha Guru Untuk Mengembangkan
Konsep Diri
Menuru Mudjiran 2007, usaha guru untuk mengembangkan konsep diri pada siswa
nya yaitu:
1.

Memberikan penguatan dan menciptakan situasi


kesempatan bagi siswa memperoleh penguatan.

2.

Memberi sokongan dan menciptakan situasi yang menyebabkan keputusan atau


kegiatan siswa tersokong dan di setujui.

3.

Selalu berfikir positif tentang penampilan, prestasi belajar dan permasalahan


siswa.

4.

Menciptakan situasi yang memungkinkan siswa merasa


pengalaman belajar yang sukses yaitu belajar dengan siswa aktif.

5.

Menghargai usaha siswa melebihi hasil, bukan memberikan penghargaan dari apa
yang bukan hasil usaha mereka.

6.

Berusaha mengembangkan bakat dan keterampilan para siswa, sehingga mereka


merasa berguna dan berarti.

7.

Suka menyokong
menyalahkan.

8.

Tidak suka bahkan tidak ingin memberikan penilaian sebelum siswanya


memahami dan menguasai berbagai konsep yang di ajarkan. Hubungan sosial guru
dan siswa yang hangat bukan mengkritik, mencela atau menghukum.

9.

Lingkungan sekolah membuat program-program penampilan fisik untuk remaja


pria dan wanita.

dan

memberikan

penghargaan

belajar

bukan

yang

sukses

memberi

melalui

mencela

dan

10. Lingkunga sekolah yang menimbulkan perasaan sukses dalam diri setiap siswa
dengan berbagai cara.
11. Berfikir positif dalam menilai menapilkan fisik dan psikis siswa.

H.

ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan psikososial menurut Tarwoto,


2003 adalah sebagai berikut:
1.

Pengkajian

Pengkajian pada klien dengan gangguan psikososial adalah:


a.

b.

c.

d.

Status emosional
1)

Apakah emosi sesuai perilaku?

2)

Apakah klien dapat mengendalikan emosi?

3)

Bagaimana perasaan klien yang tampil seperti biasanya?

4)

Apakah perasaan hati sekarang merupakan ciri khas klien?

5)

Apa yang klien lakukan jika marah atau sedih?

Konsep diri
1)

Bagaimana klien menilai dirinya sebagai manusia?

2)

Bagaimana orang lain menilai diri klien?

3)

Apakan klien suka akan dirinya?

Cara komunikasi
1)

Apakah klien mudah merespon?

2)

Apakah spontanitas atau hanya jika ditanya?

3)

Bagaimana perilaku non verbal klien dalam berkomunikasi?

4)

Apakah klien menolak untuk memberi respons?

Pola interaksi
1)

Kepada siapa klien mau berinterkasi?

e.

f.

g.

3)

2)

Siapa yang paling penting atau berpengaruh bagi klien?

3)

Bagaimana sifat asli klien: mendominasi atau positif?

Pendidikan dan pekerjaan


1)

Pendidikan terakhir

2)

Keterampilan yang mampu dilakukan

3)

Pekerjaan klien

4)

Status keuangan

Hubungan sosial
1)

Teman dekat klien

2)

Bagaimana klien menggunakan waktu luang?

3)

Apakah klien berkecimpung dalam kelompok masyarakat?

Faktor kultur sosial


1)

Apakah agama dan kebudayaan klien?

2)

Bagaimana tingkat pemahaman klien tentang agama?

Apakah bahasa klien memadai untuk berkomunikasi dengan orang lain?


h.

i.

Pola hidup
1)

Dimana tempat tinggal klien?

2)

Bagaimana tempat tinggal klien?

3)

Dengan siapa klien tinggal?

4)

Apa yang klien lakukan untuk meyenangkan diri?

Keluarga
1)

Apakah klien sudah menikah?

2)

Apakah klien sudah mempunyai anak?

3)

Bagaimana status kesehatan klien dan keluarga?

4)

Masalah apa yang terutama dalam keluarga?

5)
2.

Bagaimana tingkat kecemasaan klien?

Diagnosa

Diagnosa keperawatan pada klien menurut Tarwoto tahun 2003 adalah sebagai
berikut:
a. Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah b.d kesehatan.
b. Gangguan konsep diri: Body Image b.d hilangnya bagian tubuh.
c. Gangguan konsep diri: Perubahan Peran b.d kesehatan.
d. Gangguan konsep diri: Identitas Diri b.d kesehatan.
3.

Intervensi

Intervensi pada klien menurut Tarwoto tahun 2003 adalah:


a.

Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah b.d kesehatan.

Tujuan: Klien menunjukkan harga diri yang positif.


Kriteria Hasil:
1)

Klien tidak merasa malu dengan kondisinya.

2)

Klien merasa percaya diri.

3)

Klien mau berinteraksi dengan orang lain.

Intervensi:
1)
Bina hubungan saling percaya dan menjelaskan semua prosedur dan tujuan
dengan singkat dan jelas.
2)

Kaji penyebab gangguan harga diri rendah.

3)

Berikan dukungan emosi untuk klien/orang terdekat selama tes diagnostik.

4)

Sampaikan hal-hal positif secara mutlak.

5)

Gunakan sentuhan tangan jika diterima.

6)

Libatkan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan support.

7)

Berikan reinforcement yang positif.


b.

Gangguan konsep diri: Body Image b.d hilangnya bagian tubuh.

Tujuan: Gambaran diri klien positif.


Kriteria Hasil:
1)

Klien menyukai anggota tubuhnya.

2)

Klien tidak merasa malu.

3)

Klien mau berinteraksi dengan orang lain.

Intervensi: .
1)

Binalah hubungan saling percaya.

2)

Kajilah penyebab gangguan body image.

3)

Kajilah kemampuan yang dimiliki klien.

4)

Eksplorasi aktivitas baru yang dapat dilakukan.

5)

Berikan dukungan yang positif dan dukungan emosi.

6)

Gunakan sentuhan tangan jika diterima.


c.

Gangguan konsep diri: Perubahan Peran b.d kesehatan.

Tujuan: Klien dapat melakukan perannya.


Kriteria Hasil:
1)

Klien tidak merasa malu dengan kondisinya.

2)

Klien merasa percaya diri.

3)

Klien mau berinteraksi dengan orang lain.

Intervensi:
1)
Bina hubungan saling percaya dan menjelaskan semua prosedur dan tujuan
dengan singkat dan jelas.
2)

Kaji penyebab perubahan peran.

3)

Berikan dukungan emosi untuk klien/orang terdekat selama tes diagnostik.

4)

Sampaikan hal-hal positif secara mutlak.

5)

Gunakan sentuhan tangan jika diterima.

6)

Libatkan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan support.

7)

Berikan reinforcement yang positif.


d.

Gangguan konsep diri: Identitas Diri b.d kesehatan.

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Konsep diri adalah semua perasaan kepercayaan dan nilai yang diketahui
tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam bersosialisasi dengan orang lain.
Konsep diri berkembang secara bertahap saat bayi molai mengenal dan
membedakan dirinya dengan orang lain.
Stress merupakan bagian dari kehidupan yang mempunyai efek positif dan
negatif yang disebabkan karena perubahan lingkungan.
Perubahan
dari
suatu
keadaan
dari
respons
akibat
stressor
disebut adaptasi.Adaptasi sesungguhnya terjadi apabila adanya keseimbangan
antara lingkungan internal dan eksternal. Contoh adaptasi misalnya: optimalnya
semua fungsi tubuh, pertumbuhan normal, normalnya reaksi antara fisik dan emosi,
kemampuan menolerir perubahan situasi.

DAFTAR PUSTAKA

http:///E:/KDM/PSIKOSOSIAL 3.html

http:///E:/KDM/KOPING%20STRES.html

http:///E:/KDM/Konsep%20Dasar%20Psikososial%20_%20RANGK
.http:///E:/KDM/kebutuhan-dasar-manusia-psikososial.html
http://dedeol.blogspot.com/2013/10/makalah-konsep-dasar-psikososial.html

Perkembangan Psikososial
A.Definisi Perkembangan Psikososial
Apa itu perkembangan psikososial?
Perkembangan psikososial adalah perkembangan yang membahas tentang
perkembangan kepribadian manusia khususnya yang berkaitan dengan emosi,
motivasi dan perkembangan kepribadian.

B.Teori Perkembangan Psikososial Pada Masa Kanak-Kanak Pertengahan


1.Peers
Memasuki tahun-tahun untuk sekolah dasar, adalah perubahan yang paling
penting pada perubahan anak. Penelitian memperkirakan persentasi dari
menghabiskan waktu dalam interaksi sosial dengan sesama meningkat sekitar 10
persen pada tahun kedua dan 30 persen pada masa pertengahan dan akhir kanakkanak( Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).
Awalnya, hari-hari biasa di sekolah dasar terhitung sekitar 300 episode
dengan sesamanya. Anak bepindah melalui masa pertengahan dan akhir kanakkanak, ukuran dari group mereka meningkat, dan interaksi sesama menjadi kurang
erat saat dewasa.
Dalam suatu investigasi , diketahui anak-anak berinteraksi dengan temanteman sebaya 10%dari waktu siang mereka pada usia 2 tahun, 20% antara usia 7
dan 11 tahun. Episode bersama teman-teman sebaya berjumlah 299 per hari
sekolah.
Kebanyakan interaksi teman sebaya terjadi diluar rumah (walaupun dekat
dengan rumah), lebih sering terjadi di tempat-tempat pribadi daripada di temapat

umum, dan lebih sering terjadi diantara anak-anak yang sama jenis kelamin
daripada diantara anak-anak yang berbeda jenis kelamin.
2.Peer Status
Mana anak yang akan menjadi populer dengan anak sesamanya dan mana
yang tidak disukai ? ilmu perkembangan mengalamatkan dan memeriksa
pertanyaan yang mirip dari sociometric status, sebuah istilah menggambarkan
tingkat untuk mana anak yang disukai atau yang tidak disukai oleh teman
sebayanya.
Jenis sosimetrc status dinilai berdasarkan anak-anak diminta untuk menilai
berapa banyak teman sekelas mereka yang menyukai atau yang tidak menyukai
mereka. Atau mungkin dinilai berdasarkan anak diminta untuk menunjuk mana
anak yang paling mereka sukai dan yang kurang mereka sukai.

Ilmu perkembangan mengemukakan lima peer status:

Popular Children sering dikelompokkan sebagai sahabat, dan jarang tidak


disukai dalam rekan sebaya mereka.

Average Children menerima jumlah rata-rata dari kedua nominasi positif dan
negatif dari teman sebaya mereka.

Neglected Children kurang dikelompokkan sebagai sahabat tetapi bukan


tidak disukai oleh teman sebaya mereka.

Rejected Children jarang dikelompokkan sebagai seorang sahabat dan sering


tidak disukai oleh teman sebaya mereka.

Controversial Children sering dikelompokkan mrnjadi dua sebagai sahabat


dan menjadi yang paling tidak disukai.

Anak yang populer memiliki kemampuan sosial yang membuat mereka disukai.
Mereka memberi penguatan, pendengar yang baik, mempertahankan komunikasi
yang saling terbuka dengan sebaya, menyenangkan, mengontrol emosi negatif
mereka, bertindak seperti mereka, menunjukkan antusiasme dan perhatian pada
yang lainya, dan self-confident tanpa menjadi sombong.
Anak yang ditolak sering memiliki masalah adaptasi yang serius dibandingkan
anak yang kurang perhatian . suatu study menemukan bahwa di TK anak-anak yang
ditolak teman sebayanya kurang berpartisipasi dalam kelas , lebih berekspresi
menghindari sekolah dan lebih menyendiri dibandingkan anak yang diterima teman
sebaya.

John coie menyediakan tiga alasan mengapa anak agresif yang ditolak mempunyai
masalah dalam hubungan sosial:

Pertama, Penolakan anak laki-laki yang agresif adalah lebih impulsifdan


memiliki masalah mempertahankan perhatian. Sebagai hasilnya,mereka lebih
cenderung untuk mengganggu kegiatan yang sedang berlangsung di kelas
dan dalam bermain kelompok.

Kedua, anak laki-laki yang agresif biasanya emosionalnya lebih reaktif.


Dengan mudahnya mereka menimbulkan kemarahan dan mungkin sulit untuk
meredakan kemarahanya tersebut. Karena itu, mereka cenderung cepat
marah kepada teman sebaya dan menyerang mereka secara verbal dan fisik.

Ketiga, anak yang ditolak memilki sedikit kemampuan sosialnya dalam


berteman dan menjaga hubungan positif teman sebayanya.

Bagaimana supaya anak yang ditolak itu lebih efektif dengan teman sebayanya?
Tujuan program-program pelatihan bagi anak-anak yang diabaikan haruslah untuk
menolong mereka menarik perhatian teman-teman sebaya mereka dengan caracara yang positif dan mempertahankan perhatian dengan mengajukan pertanyaanpertanyaan , mendengarkan dengan cara yang hangat dan bersahabat, dan bila
berbicara mengenai diri sendiri mereka sendiri, bicarakanlah hal-hal yang menarik
minat teman sebaya . mereka juga diajarkan untuk memasuki kelompok secara
lebih efektif.
3.Social Cognition

Seorang anak laki-laki tanpa sengaja menyenggol dan menjatuhkan minuman


ringan seorang teman sebaya. Teman sebaya itu salah menginterpretasikan
senggolan tersebut sebagai permusuhan, yang membuatnya membalas secara
agresif terhadap anak laki-laki itu. Bila senggolan seperti ini seering terjadi, maka
teman-teman sebaya lain akan menganggap anak laki-laki itu agresif karena sering
berprilaku yang tidak tepat.
Kenneth Dogde (1983) berpendapat bahwa anak-anak melampaui lima tahap
dalam memproses informasi tentang dunia sosial mereka:

Membaca kode/sandi isyarat-isyarat sosial.

Menginterpretasikan.

Mencari suatu respon.

Memilih suatu respon yang optimal.

Bertindak.

Dari perspektif kognitif sosial, anak-anak yang tidak dapat menyesuaikan diri
tidak memilki keterampilan kognitif sosial yang memadai untuk berinteraksi secara
efektif dengan orang lain (Kelly & De Armas, 1989; Weisberg,Caplan, & Sivo,
1989).
Anak laki-laki yang tidak mengalami masalah penyesuaian diri dengan teman
sebayanya mengajukan lebih banyak alternatif pemecahan yang lebih tegas dan
matang, memberi pemecahan agresif terhadap masalah yang kurang tegang,
memperlihatkan perencanaan yang lebih dapat menyesuaikan diri, dan
mengevaluasi tanggapan agresif yang secara fisik kurang positif dibandingkan
anak-anak yang mengalami masalah-masalah penyesuaian diri dengan teman
sebaya.

4.Bullying

Penindasan adalah agresi yang disengaja dan terus menerus diarahkan


kepada target atau korban tertentu , biasanya dilakukan kepada mereka yang
lemah, rentan dan tidak terlindung, menarik diri dari lingkungan sosial.
Menurut survei pada hampir enam belas ribu siswa di Amerika Serikat yang
merupakan kelas enam samapai sepuluh adalah pelaku penindasan atau korban
penindasan. Penindasan juga merupakan masalah pada negara maju seperti inggris
dan jepang, seperti di jepang atau korea, penindasan disekolah telah dihubungkan
dengan bunuh diri siswa serta pikiran dan perilaku bunuh diri yang meningkat.
Penindasan meningkat selama masa transisi ke sekolah menengah.
Peningkatan ini bisa mencerminkan kesulitan anak membentuk jaringan sosial
disekolah. Mereka terutama anak laki-laki , menggunakan penindasan penindasan
sebagai cara untuk membangun dominasi dalam kelompok sebaya.
Anak laki-laki cenderung menjadi anak laki-laki yang lain menjadi korban dan
anak perempuan menindas cenderung menjadikan anak perempuan lainya sebagai

target. Semakin bertambahnya usia, kebanyakan anak-anak dapat belajar cara


mencegah penindasan. Korban penindasan cenderung cemas , patuh, dan mudah
menangis atau suka bertengkar dan provokatif.
Anak-anak yang melakukan penindasan cenderung memiliki sedikit teman
dan tinggal didalam lingkungan keluarga yang kasar dan penuh hukuman yang
membuat anak tersebut rentan terhadap hukuman atau penolakan. Kasus
penindasan dikanada terjadi pada anak-anak yang kelebihan berat badan. Dalam
penelitian, ternyata yang menjadi pelaku penindasan adalah dahulunya adalah
korban penindasan.
Anak-anak cemas dan menarik diri dari lingkungan mungkin menjadi korban
karena mereka tidak mengancam pelaku penindasan dan tidak mungkin untuk
membalas jika diganggu, tetapi bila anak-anak yang agresif mungkin terjadi target
penindasan karena perilaku mereka yang mengiritasi pelaku.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa pelaku dan korban penindasan pada
masa remaja mungkin untuk mengalami, depresi dan menciba bunih diri.
Penelitian lain baru-baru ini mengungkapkan bahwa pelaku dan korban memiliki
lebih banyak masalah kesehatan (seperti sakit kepala, pusing, masalah tidur dan
kecemasan).
Pencegahan penindasan olweus, diciptakan oleh dan olweus, program ini
berfokus pada anak umur 5-6 tahun, dengan tujuan mengurangi kesempatan dan
manfaat untuk penindasan. Pegawai sekolah diperintahkan dengan cara-cara untuk
meningkatkan hubungan teman sebaya dan membuat sekolah lebih aman.
Jika pencegahan ini dilakukan dengan benar, dapat mengurangi penindasan
sekitar 30-70 persen. Informasi ini diperoleh dari pusat kekerasan di Universitas
Colarado.
Step to respect merupakan program penindasan yang terdiri dari 3 langkah:

Menetapkan pendekatan sekolah, seperti membuat kebijakan anti


penindasan dan menetapakan konsekuensi untuk pelaku penindasan.

Pelatihan karyawan dan orangtua untuk berhadapan dengan penindasan.


Mengajarkan siswa untuk mengenali, tidak mentolerir dan menangani penindasan.
Informasi diberikan kepada siswa kelas 3 sampai 6. Dan pelatihan keterampilan
untuk guru-guru selama 12-14 minggu, sebuah penelitian baru menemukan bahwa
langkah-langkah step to respect dapat mengurangi penindasan.

Seperti persahabatan orang dewasa, persahabatan anak-anak juga biasanya


ditandai dengan kesamaan. Mereka sering menyebut teman jika memiliki sikap
yang sama, pendidikan yang sama, prestasi yang sejajar.

Williard hartup mempelajari hubungan dan persahabatan dan selama lebih


dari 3 dekade. Dia menyimpulkan bahwa teman-teman dapat menjadi sumber daya
kognitif dan emosional dari masa kecil sampai masa tua. Teman dapat memupuk
harga diri dan rasa kesejahteraan.
Persahabatan anak-anak memiliki 6 fungsi:

Companionship.

Persahabatan membuat anak akrab dengan teman bermain, seseorang yang


bersedia menghabiskan waktu dengan mereka dan bergabung dalam kegiatan
kebersamaan atau kolaboratif.

Stimulation.

Persahabatan membuat
kesenangan dan hiburan.

anak-anak

mempunyai

informasi

yang

menarik,

Physical support.

Persahabatan menyediakan waktu, sumber daya dan bantuan.

Ego support.

Persahabatan
memberikan
harapan,
dorongan
yang
membantu
anak
mempertahankan kesan dirinya sebagai kompeten, individu yang menarik, dan
bermanfaat.

Social comparison.

Persahabatan menyediakan informasi tentang hubungan anak dengan orang lain


dan apakah anak melakukan yang baik.

Affection and intimacy.

Persahabatan memberikan anak sebuah hubungan yang hangat dan dekat, saling
percaya dengan orang lain. Keintiman dalam persahabatan ditandai dengan
berbagai tentang pengalaman pribadi.

Tapi penelitian mengungkapkan bahwa persahabatan intim mungkin tidak muncul


sampai awal masa remaja.
Keuntungan perkembangan terjadi ketika anak-anak memiliki teman yang
secara sosial terampil
dan mendukung. Namun, terkadang dapat juga
menimbulkan konflik diantara persahabatan.
Pada siswa kelas 6 yang tidak memiliki teman terlibat dalam perilaku sosial
yang kurang ( kerjasama, berbagai, membantu orang lain) , memiliki nilai lebih
rendah dan lebih emosional ( depresi ) dibandingkan teman-temannya yang dapat
bersosialisasi.

5.Contemporary Approaches to Ltudent Learning

1.

Contructivist and Direct Instruction Approaches


Pendekatan konstruktivis adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan
pentingnya individu untuk aktif dalam membangun pengetahuan dan pemahaman
dengan bimbingan dari guru.
Dalam tampilan konstruktivis, guru tidak hanya berusaha untuk menuangkan
informasi kedalam pikiran anak-anak. Tetapi, anak-anak harus didorong untuk
mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung, dan berfikir
secara kritis dengan pemantauan yang cermat dan bimbingan yang berarti dari
guru.
Seorang guru dengan filosofi pembelajaran konstruktivis tidak akan menyuruh
anak menghapal informasi tapi akan memberikan mereka kesempatan untuk
membangun pengetahuan bermakna dan memahami materi untuk cara belajar
merekaa.
Sebaliknya, pendekatan instruksi bermakna langsung adalah pendekatan pada
siswa yang ditandai dengan arahan dari guru dan kontrol dari guru dan mempunyai
harapan yang tinggi untuk kemajuan siswa.
Tujuan penting pendekatan instruksi langsung adalah memaksimalkan waktu
belajar siswa. Pendukung dari pendekatan konstruktivis berpendapat bahwa
pendekatan instruksi langsung ternyata membuat anak-anak menjadi pembelajar
yang pasif dan tidak cukup menantang mereka untuk berpikir dengan cara kritis
dan kreatif.
Penggemar instruksi langsung mengatakan bahwa pendekatan konstruktivis
tidak memberikan disiplin ilmu yang cukup, seperti sejarah atau ilmu pengetahuan.

Beberapa ahli dalam psikologi pendidikan percaya bahwa guru yang efektif
menggunakan pendekatan konstruktivis dan pembelajaran langsung bersamaan
daripada hanya melakukan salah satunya secara ekslusif.
2.

Accountability
Sejak tahun 1990, publik AS dan pemerintah disetiap tingkatan menuntut
meningkatkan dari sekolah. Salah satu hasilnya adalah penyebaran tes negara
untuk mengukur apa yang telah maupun belum dipelajari siswa. Pendekatan ini
menjadi hukum.
Pendukung berpendapat bahwa pengujian standar diseluruh negara bagian akan
memiliki sejumlah efek positif. Ini termasuk prestasi siswa yang lebih banyak
ditingkatkan dalam mata pelajaran yang diuji agar sesuai dengan harapan.
Kritikus berpendapat bahwa undang-undang NCLB melakukan lebih banyak hal
yang berbahaya daripada hal yang baik. Kritik satu menyatakan menggunakan tes
tunggal sebagai indikator tunggal kemajuan siswa dan kompetensi menyajikan
pandangan yang sangat sempit dari kemampuan siswa.
Kritik ini mirip dengan yang ditujukan pada tes IQ, dimana psikolog dan
pendidikan menekankan bahwa sejumlah langkah harus digunakan, termasuk uji
kuis, proyek, pengamatan kelas, dan sebagainya.
Dan dari pasal 9 bahwa beberapa orang khawatir bahwa di era kebijakan NCLB
akan ada pengabaian siswa yang berbakat dalam upaya untuk meningkatkan
tingkat pencapaian siswa yang tidak melakukanya dengan baik. Pertimbangan juga
bahwa masing-masing negara diperbolehkan untuk memiliki kriteria yang berbeda
untuk menentukan nilai kelulusan atau tidak pada tes untuk dimasukkan NCLB.
Sebuah analis data NCLB menunjukan bahwa hampir setiap siswa kelas empat di
Mississippi tahu cara membaca tetapi hanya setengah dari siswa massachusetts
yang melakukannya. Jelas, standar Mississippi untuk lulus tes membaca jauh
dibawah orang-orang dari massachusetts.
Dalam analisis terakhir dibeberapa negara, banyak negara telah mengambil
rute aman dan tetap standar untuk prestasi dalam sekolah di mereka, tampaknya
kemungkinan negara untuk menetapkan standar mereka sendiri mungkin telah
menurunkan standar prestasi.
Pertimbangkan juga bahwa salah satu tujuan NCLB adalah untuk menutup
kesenjangan prestasi etnis yang mencirikan prestasi rendah oleh mahasiswa
ameriak dan afrika latin dan prestasi yang lebih tinggi dengan siswa asia amerika
dan amerika latin. Namun, ahli terkemuka linda sayang hammond baru-baru ini
menyimpulkan bahwa NCLB telah gagal mencapai tujuan ini.

Dia mengkritik NCLB dengan penilaian yang tidak tepat dalam pembelajaran bahasa
inggris untuk siswa dengan kebutuhan khusus, insentif yang kuat untuk
mengecualikan siswa berprestasi rendah dari sekolah untuk mencapai target skor
tes, dan kekurangan guru berkualifikasi tinggi disekolah kebutuhan terus meninggi .
Meskipun menuai kritik, departemen pendidikan AS berkomitmen untuk
menerapkan NCLB dan sekolah membuat akomodasi un tuk memenuhi persyaratan
hukum. Memang, pendidikan yang paling mendukung pentingnya harapan dan
standar yang tinggi untuk keunggulan siswa dan guru.

6.

Socioeconomic Status and Ethnicity

1.The Education of Student From Low-Income Backgrounds


Banyak anak-anak dalam masalah kemiskinan mencoba mengatasi
penghalang dalam proses pembelajaran. Mereka mempunyai orangtua yang tidak
berasal dari standar edukasi yang tinggi, yang tidak pandai membaca dan tidak
memiliki cukup uang untuk membayar barang-barang dan pelatihan untuk
pendidikan, seperti buku, perjalanan kekebun binatang dan museum.
Anak-anak tersebut mungkin kekurangan gizi dan tinggal diarea dimana
tindak kejahatan terjadi. Dibandingkan dengan sekolah dari area berpendapatan
tinggi, sekolah dari berpendapatan rendah lebih banyak memiliki siswa yang
mempunyai nilai prestasi tes yang rendah, tingkat kelulusan yang rendah dan
presentasi kecil untuk melanjutkan ke universitas.
Mereka memiliki banyak guru yang berumur muda dan memiliki pengalaman
sedikit, mereka lebih memiliki semangat yang tinggi untuk belajar. Sedikit seolah
berpendapatan rendah menepatkan murid-murid yang belajar dilingkungan yang
kondusif (yang layak).
Kebanyakan gedung-gedung sekolah dan ruangan kelas sudah tua, mudah
hancur, itu adalah contoh dari kondisi yang tidak menyenangkan yang diobservasi
oleh jonathan kozol (2005) pada banyak sekolah termasuk di south bronk dikota
new york, seperti yang dijelaskan pada bagian awal chapter ini untuk bacaan lebih
lanjut mengenai sekolah dan anak-anaka dari keluarga kurang mampu, lihatlah
selingan diversity in life, span development interlude.

2.Ethnicity in Schools

Lebih dari sepertiga siswa afrika, amerika dan hampir sepertiga dari siswa
latin bersekolah di 47 sekolah besar diamerika dibandingkan 5% dari siswa kulit
putih dan 22% dari siswa dalam kota masih tersisa adalah kekurangan dana dan
tidak memeberikan kesempatan yang cukup bagi anak untuk belajar secara efektif
(Healy,2009) .
Bahkan diluar sekolah dalam kota pemisahan sekolah (Gollnick dan
Dagu,2009;Nieto dan Pertanda,2008) hampir sepertiga dari semua mahasiswa dan
afrika latin mengobati sekolah dimana 90% atau lebih dari murid-murid adalah dari
group (kelompok) minoritas (Banks,2008) .
Antropolog dari amerika john ogbu (1989) mengusulkan bahwa siswa etnis
minoritas ditempatkan dalam posisi lebih rendah dan ekspoitasi anak. Dalam sistem
pendidikan amerika, berikut ini beberapa strategis untuk meningkatkan hubungan
diantara siswa beragam etnis:
1.

Turn the class into a jigsaw classroom.

Jigsaw anonson mengembangkan konsep dari ruang kelas jigsaw dimana muridmurid berasal dari latar belakang budaya yang berbeda ditempatkan pada
kelompok untuk bekerja sama dimana mereka harus menyusun beberapa bagian
berbeda dan sebuah proyek untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

2.

Encourage students to have positive contact with diverse other students.

Dengan siswa yang berbeda mereka harus melihat satu sama lain sebagai individu
bukan bagian dari kelompok tertentu ( kelompok yang homogen ).

3.

Reduce bias.

Mengurangi bias dengan cara mengubah pandangan anak-anak yang berasal dari
beragam etnis dan kelompok budaya, memilih bahan permainan dan aktivitas
diruangan kelas yang meningkatkan pengertian mengenai budaya, membantu siswa
melawan stereotipe dan bekerja sama dengan orang tua untuk mengurangi
pandangan bias dan prasangka dirumah.

4.

View the school and community as a team.

James corner mengatakan pendekatan tim merupakan cara terbaik untuk mengajar
anak-nak.

3 aspek penting dalam dari corner projek untuk perubahan adalah:

Penguasaan dan managemen tim yang berkembang

Sesuai dengan rencana-rencana sekolah, strategi, assesment, dan perkembangan


perencanaan karyawan.

Kesehatan mental atau dukungan tim sekolah

Program orang tua

Lomer percaya bahwa keseluruhan bagian sekolah harus saling bekerja sama.

5.

Be a competent cultural mediator.

Guru-guru harus dapat berperan sebagai mediator budaya dengan cara menjadi
lebih peka terhadap bias-bias pada interaksi dalam, lebih mempelajari mengenai
kelompok etnis yang berbeda, lebih peka terhadap perilaku etnis anaka-anak
melihat siswa dengan sudut pandang yang positif dan berfikir positif mengenai
orang tua agar terlibat sebagai partner guru dalam mengajar anak.

7.Cross-Cultural Comparisons of Achievement

Anak-anak di Amerika lebih berprestasi daripada teman-teman mereka di


berbagai negara lain. Namun, hubungan keterampilan yang rendah dari anak-anak
di Amerika pada bidang matematika dan ilmu pengetahuan dalam perbandingan
dengan teman-teman mereka dari beberapa negara lainnya, terutama negaranegara di Asia, telah dipublikasikan secara besar-besaran dalam beberapa dekade
belakangan ini.

Pada tahun 2003, siswa-siswa kelas empat di lima negara ( Singapore,


Chinese Taipe, Japan, Hong Kong dan Inggris) mempunyai nilai matematika yang
lebih tinggi daripada siswa-siswa Amerika. Pada perbandingan ilmu pengetahuan,
siswa-siswa kelas empat dari 11 negara (nilai yang tertinggi dari Singapore, Hong
Kong, Japan, dan Chinese Taipe) mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan teman-teman mereka dari Amerika.

Harold Stevenson dan rekan-rekannya telah menyelesaikan lima


perbandingan crosscultural dari siswa-siswa di Amerika, China, Taiwan dan Jepang.
Pada penelitian ini, siswa Asia secara konsisten lebih terampil dari siswa Amerika
pada bidang matematika. Dan, semakin lama siswa-siswa berada di sekolah, maka
semakin lebar jurang pemisah antara siswa Asia dan Amerikaperbedaan yang
paling rendah adalah pada kelas satu, dan perbedaan paling tinggi adalah pada
kelas sebelas.

Untuk lebih mengetahui penyebab-penyebab dari perbedaan yang besar dari


crosscultural tersebut, Stevenson dan rekan-rekannya menghabiskan banyak
waktu untuk mengobservasi di dalam ruangan kelas, seperti melakukan interview
dan survey terhadap para guru, siswa dan orang tua. Mereka menemukan bahwa
guru-guru Asia menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk mengajarkan
matematika dibandingkan guru Amerika.

Sebagai contoh, lebih dari seperempat waktu belajar-mengajar di dalam kelas


pada tingkat pertama dihabiskan dengan mengajarkan matematika di negara
Jepang, dibandingkan dengan sepersepuluh waktu yang dihabiskan oleh negara
Amerika untuk mengajarkan matematika pada siswa tingkat pertama. Selain itu,
siswa Asia berada di sekolah dalam rentang waktu 240 hari per tahun, sedangkan
siswa Amerika hanya 178 hari.

Perbedaan-perbedaan yang lainnya juga ditemukan pada orang tua Asia dan
Amerika. Orang tua Amerika sepertinya lebih percaya bahwa prestasi matematika
anak-anak mereka merupakan kemampuan bawaan lahir, sedangkan orang tua Asia
lebih mengatakan bahwa prestasi matematika anak-anak mereka merupakan hasil
dari usaha dan latihan.

Sehubungan dengan perbedaan-perbedaan pada orang tua Asia dan Amerika


terdapat penjelasan mengenai usaha dan kemampuan, Carol Dweck (2006)
menggambarkan pentingnya mindset anak-anak. Ia menyimpulkan bahwa setiap
individu memilki satu dari dua mindset:
1. fixed mindset, dimana mereka percaya bahwa kualitas mereka telah terukir pada
batu dan tidak dapat diubah.
2. growth mindset, dimana mereka percaya bahwa kualitas mereka dapat berubah
dan meningkat sesuai dengan usaha mereka.

Dweck (2006) berargumen bahwa mindset individu dipengaruhi


apakah mereka akan menjadi optimis atau pesimis, apa yang akan menjadi tujuan
mereka dan seberapa keras mereka akan bekerja keras untuk mencapai tujuan
mereka, dan prestasi mereka. Dweck mengatakan bahwa mindset telah mulai untuk
diasah pada masa anak-anak ketika anak-anak berinteraksi dengan orang tua, guru,
dan pelatih, yang didalam diri mereka telah ada fixed mindset atau growth mindset.

Selain itu, pada penelitian Stevensons, orang tua Amerika juga memiliki
ekspektasi yang rendah terhadap pendidikan dan prestasi anak-anak mereka
daripada orang tua Asia. Menurut pandangan Stevensons, perubahan yang sangat
dibutuhkan dalam dunia pendidikan di Amerika adalah semakin tingginya
ekspektasi terhadap prestasi.

Ahli yang lainnya, seperti Phylis Blumenfeld, Jacquelynne Eccles dan Joyce
Epstein berkesimpulan bahwa semakin tinggi standart ekspektasi terhadap prestasi
begitu pula dengan perhatian guru terhadap setiap individu anak-anak,
mengikutsertakan anak-anak dalam pembelajaran tugas yang bermakna dan
menarik, dan hubungan yang positif antara sekolah dengan keluarga siswa,
merupakan aspek-aspek utama dalam meningkatkan prestasi akademik anak-anak
di Amerika.

8.Hubungan Saudara Sekandung

Saudara kandung yang lebih tua memiliki peranan penting yang telah
ditentukan secara culturalnya hal ini disebutkan dalam komunitas pastoral dan
agricultural. Orang-orang tua mengajarkan anak kandung mereka yang lebih tua
untuk mengajari adik-adiknya mencari kayui bakar , mengembala ternak dan

bercocok tanam. Saudara sekandung diajarkan untuk menghormati yang lebih tua
(Cicirelly,1994a).
Sering kali pengajaran muncul secara spontan ketika saudara yang lebih tua
mengasuh yang lebih muda. Dalam masyarakat industrialis,saudara kandung
cenderung berjumlah kcil dan jarak antar saudara yang lebih jauh,memudahkan
orang tuanya untuk mengejar karier atau ketertarikan yang lain dan memfokuskan
lebih banyak sumber daya serta perhatian kepada tiap anak (Cicirelly,1994a).

9.Anak Dalam Kelompok sebaya

Pada masa prasekolah anak-anak bermain dengan teman sebayanya


namun ketika masa sekolah anak-anak tidak lagi bermain dengan teman sebayanya
yang artinya berkelompok . Anak yang bermain bersama biasanya memiliki status
social ekonomi usia yang sama,walaupun kelompok bermain dilingkungan
rumahnya terdiri dari berbagai tingkatan usia (Hartup,1992).
Pada dasarnya anak perempuan biasanya lebih dewasa dibandingkan
dengan anak laki-laki dan anak laki-laki berbicara dan bermain dengan anak
perempuan,atau sebaliknya,dilakukan dengan cara yang berbeda (Hibbard &
Bhrmester,1998).

10.Pengaruh Positif dan Negatif Relasi Teman Sebaya

Kelompok sebaya juga memiliki efek negative.efek tersbut biasanya terdapat


dalam pergaulan dalm teman sebaya yang pengutil,mulai menggunakan obat
terlarang dan bertingkah laku antisocial lainnya. Anak remaja sangat rentan
terhadap tekanan untuk meniru, dan tekanan ini dapat mengubah anak bandel
menjadi seorang kriminal (Hartup,1992).
Kelompok sebaya cenderung terdiri dari satu jenis kelamin,memungkinkan
anak laki-laki dan perempuan belajar prilaku yang sesuai dengan gendernya.
Prasangka yang ditimbulkannya adalah sikap memusuhi aggota kelompok
lain,terutama rasial atau etnis.

11.Agresi dan Mengganggu

Hostile Agression (Agresi yang bertujuan menyakiti targetnya) menggantikan


instrumental aggression (agresi yang bertujuan mendapatkan tujuan), yang
merupakan cirri khas periode prasekolah (Coie & Dodge, 1998). Overt aggression
(kekuatan fisik atau ancaman verbal) semakin berkurang dibandingkan relational
atau social aggression.

12.Agresi dan Pemrosesan Informasi Sosial

Anak dapat bertindak secara agresif salah satunya di akibatkan karena


adanya kesalahan pada saat proses social yaitu lingkungan social apa yang mereka
perhatian dan bagaimana mereka menginterprestasikan apa yang mereka rasakan
(Crick dan Dodge, 1994, 1995).

Hostile agression adalah agresi yang bertujuan menyakiti targetnya.


Instrumental agression adalah agresi yang bertujuan untuk mendapatkan
tujuan.

Aggressor memandang kekuatan dan paksaan


mendapatkan apa yang mereka inginkan.

sebagai

cara

efektif

untuk

Dalam terminology pembelajaran social, mereka agresif karena mereka berharap


mendapatkan imbalan, maka keyakinan mereka akan efektivitas agresi menjadi
dikuatkan (Crick & Dodge, 1996).

3.Apakah Kekerasan di Televisi Mengarahkan Anak kepada Agresi?

Anak-anak, terutama yang orang tuanya menggunakan disiplin yang kejam,


lebih rentan terhadap pengaruh kekerasan di televisi ketimbang orang dewasa (Coie
& Dodge 1998).
Pada saat anak menonton kekerasan di televisi, mereka mungkin menyerap
nilai yang digambarkan dan menjadi memandang agresi sebagai perilaku yang

dapat diterima. Semakin besar posisi televisi, semakin besar efek merusak yang
tampak.
anak usia 8-12 tahun tampaknya sangat mudah terpengaruh (Eron &
Huesmann, 1986). Dalam studi lanjutan, jumlah jam menonton televisi pada usia 8
tahun, dan kecenderungan terhadap tayangan aksi pada anak laki-laki,
memprediksi tingkat keparahan serangan kriminal pada usia 30 tahun.

Masa ini terjadi pada umur 6 - 7 tahun sampai kurang lebih 12 13 tahun.
Periode ini dimulai setelah anak melewati masa degil, di mana proses
sosialisasi telah dapat berlangsung lebih efektif, dan menjadi matang untuk
memasuki sekolah.

Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok, Belajar setia kawan, Belajar


tidak bergantung pada orang dewasa, Belajar bekerja sama, Mempelajari
perilaku yang dapat diterima oleh lingkungannya, Belajar menrima tanggung
jawab, Belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), Mempelajari
olah raga dan permainan kelompok Belajar keadilan dan demokrasi.

Referensi

Santrock,J.W.2009.Life Span Development(12th Ed).New York:McGraw-Hill


Book co.

Papalia & Olds.2004.Human Development.New York:McGraw-Hill Book Co.


http://11018rika.blogspot.com/2012/03/perkembangan-psikososial.html

You might also like