You are on page 1of 71

INDONESIA

JURNAL

ANALISIS EKO-EPIDEMIOLOGI STATUS ENDEMISITAS DEMAM


BERDARAH DENGUE (DBD) DI PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN
2011
Ade Devriany
Staf Pengajar Akademi Kebidanan Sandi Karsa Makassar
ABSTRACT
Dengue Fever (DHF) is a major health problem in many countries, particularly in
tropical regions. In Indonesia dengue is found in almost all provinces, including the province of
South Sulawesi. Ecological approach to the epidemiology of dengue in different areas needs to be
done. Eco-epidemiology is the study of ecological effects on human health. This study aims to
determine the relationship of ecological factors in the epidemiology of the status of the endemicity
of dengue in South Sulawesi province in 2011.
This type of study is an observational study with cross sectional design and use of
Geographic Information Systems in visualizing and exploring data spasial.Sampel as many as 24
districts / cities in South Sulawesi province are categorized based on the endemicity status against
dengue. Analysis ofthe data that used was theMann-Whitney test, Chi-square
andlogisticregression.
The results shows that ecological factors whose affect the status of dengue endemicity of
an area is rainfall (p=0.030), population density (p=0.044) and the larva-free rate (LFR)
(p=0.011). altitude of region was ecological factor that are not associated with DHF endemicity
status (p=0.272). The most dominant ecological factors determining the status of dengue
endemicity of an area is a larvae free-rate (LFR) (B=5.273).
This study
id

suggested that the monitoring, prevention, and control of dengue disease can be more quickly and
efficiently with the determination of status based on the endemicity and spread of dengue mosquito
breeding.
Keyword: Dengue Hemorrhagic Fever, ecology, spatial and endemicity
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia karena dapat
menyerang semua golongan umur dan menyebabkan kematian. Sekitar 2,5 milyar penduduk
tinggal di negara endemis dengue dan sebesar 70% populasi berisiko terkena Dengue tinggal di
negara-negara wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat (WHO, 2009).
Penelitian telah menunjukkan bahwa DBD telah ditemukan di seluruh provinsi di
Indonesia. Di Sulawesi Selatan, menurut laporan dari Subdin P2&PL, meskipun menunjukkan
penurunan jumlah penderita, hampir seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan
tergolong wilayah endemis DBD. Terdapat yakni 20 kabupaten/kota pada tahun 2011 yang
tergolong endemis, yang berarti kasus DBD terjadi setiap tahunnya selama tiga tahun berturutturut (Dinkes Provinsi Sulawesi Selatan, 2011).
Pendekatan ekologi terhadap epidemiologi DBD pada keadaan lingkungan yang berbeda
perlu dilakukan. Berbagai penelitian telah menunjukkan faktor ekologi berhubungan erat dengan
epidemiologi DBD. Faktor-faktor ekologi tersebut meliputi faktor-faktor biotik dan abiotik
ekosistem, termasuk di dalamnya adalah vektor, iklim atau musim, topografi serta ekologi manusia
temasuk perilakunya yang berkaitan dengan perkembangan vektor.
Penelitian yang dilakukan Chakravarti dan Kumaria di India (2005) menunjukkan bahwa
curah hujan, suhu, dan kelembapan relatif merupakan faktor iklim yang utama dan penting baik
secara sendiri maupun bersama-sama yang mempengaruhi terjadinya wabah demam dengue.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa variasi suhu yang mempengaruhi variasi efisiensi Ae.
aegypti merupakan salah satu faktor penting variasi kejadian DBD (Sukri et al., 2003).
Survai ekologi di Lao PDR, bulan Juni 2000, menunjukkan bahwa adanya perbedaan
lingkungan, yang diantaranya adalah perbedaan vegetasi dan perbedaan keberadaan predator
vektor, turut mempengaruhi perbedaan parameter entomologi yang berhubungan dengan kejadian
DBD (Tsuda et al., 2002).
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Selatan.Jenis penelitian yang digunakan


adalah observasional dengan menggunakan rancangan studi cross sectional dengan menggunakan
data sekunder.
Populasi dan sampel
Populasi target adalah data eko-epidemiologi DBD pada setiap Kabupaten/Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan. Sampel penelitian adalah 24 Kabupaten/Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan yang dikategorikan berdasarkan status endemis dan non-endemis terhadap DBD pada
tahun 2009-2011.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
beberapa instansi terkait. yaitu Dinas Kesehatan, Badan Metereologi dan Geofisika, Badan Pusat
Statistik dan Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Selatan.Data sekunder yang diperoleh
selanjutnya diolah dengan menggunakan SPSS For Windows 16. Untuk menilai hubungan faktor
ekologi dengan status endemisitas DBD digunakan uji bivariat. Selanjutnya melalui pendekatan
spasial dengan analisis Sistem Informasi Geografis dapat ditentukan status endemisitas DBD yang
dihubungkan dengan lokasi, topografi, penggunaan lahan dan faktor ekologi tersebut.
HASIL
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu provinsi yang berada di pulau sulawesi
dan terletak di Indonesia bagian tengah. Provinsi Sulawesi Selatan merupakan hingga saat ini
masih dikategorikan sebagai provinsi endemis DBD. Dari 24 kabupaten/kota yang ada di Provinsi
Sulawesi Selatan, masih terdapat 20 kabupaten/kota yang tergolong wilayah endemis DBD.
Dari hasil penelitian berdasarkan data sekunder yang diperoleh bahwa secara morfologi
Provinsi Sulawesi Selatan berada pada ketinggian yang berkisar antara 0 3478 m dpl.Wilayah
endemis DBD terlihat menyebar pada berbagai ketinggian wilayah di kabupaten/kota. Terdapat
92,9% wilayah dengan ketinggian yang tergolong rendah berstatus endemis terhadap DBD dan
sebesar 30% wilayah dengan ketinggian yang tergolong tinggi berstatus non-endemis terhadap
DBD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan di Provinsi Sulawesi
Selatan mengalami peningkatan selama tiga tahun. Untuk lebih jelasnya hasil analisis univariat
rata-rata curah hujan tahunan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1. Selanjutnya pada
gambar 1, 2 dan 3 terlihat bahwa curah hujan tertinggi terjadi pada awal dan akhir tahun dan pola
persebaran DBD mengelompok pada bulan dengan jumlah total curah hujan tinggi.
Tabel 1. Hasil analisis univariat faktor ekologi

Variabel
Curah Hujan
2009
2010
2011
2009-2011
Kepadatan Penduduk
2009
2010
2011
2009-2011
Angka Bebas Jentik
(ABJ)
2009
2010
2011
2009-2011
Data Primer

Nilai Min
(mm)

Nilai
Maks
(mm)

Mean
(mm)

Standar Deviasi

24
24
24
72

71,25
79,75
62,83
62,83

286,08
455,5
403,75
455,5

157,66
231,95
265,68
218,43

63,18
110,59
86,82
98,8

24
24
24
72

34,18
35
35
34,18

7235,99
7615,99
7616
7616

557,05
579,92
579,92
572,30

1442,89
1521,18
1521,17
1474,3

20
21
24
65

27,87
30,11
45,63
27,87

92,50
95,30
95,90
95,90

65,79
75,99
81,07
74,72

20,07
14,45
10,58
16,3

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

Gambar 1.
Distribusi kejadian DBD dan curah hujan berdasarkan waktu di Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2009
600
400
mm 200
0
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agus Sept Okt

Nov Des

Bulan
Kasus

Linear (Kasus)

Curah Hujan

Linear (Curah Hujan)

Gambar 2.
Distribusi kejadian DBD dan curah hujan berdasarkan waktu di Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2010
1500
1000
mm

500
0
Jan

Feb Mar Apr

Mei

Jun

Jul Agus Sept Okt Nov Des

Bulan
Kasus

Linear (Kasus)

Curah Hujan

Linear (Curah Hujan)

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

Gambar 3.
Distribusi kejadian DBD dan curah hujan berdasarkan waktu di Provinsi
Sulawesi Selatan tahun 2011
500
400
300
mm 200
100
0
Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Agus Sept Okt Nov Des

Bulan
Kasus

Linear (Kasus)

Curah Hujan

Linear (Curah Hujan)

Analisis bivariat dalam penelitian inimenggunakan uji Mann Whitney dan Chi-Square,
dimana uji tersebut digunakan untuk mengetahui ada tidaknyahubungan variabel bebas dan
variabel terikat.Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan program komputer diperoleh hasil
analisisbivariat pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Hasilanalisisbivariatketinggian wilayahterhadap status endemisitas DBD
Ketinggian
Wilayah
Rendah
Tinggi
Jumlah
Data Primer

Status Endemisitas
Endemis
Non-Endemis
n
%
n
%
13
92,9
1
7,1
7
70
3
30
20
83,3
4
16,7

Jumlah
N
14
10
24

%
100,0
100,0
100,0

0,272

Tabel 3. Hasilanalisisbivariatfaktorekologi yang berpengaruhterhadap status endemisitas


DBD
Status Endemisitas
Variabel
p
Endemis
Non-endemis
Curah Hujan
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL
Mean
Standar Deviasi
Kepadatan Penduduk
Mean
Standar Deviasi
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Mean
Standar Deviasi
Data Primer

347,87
43,99

249,24
84,33

0,030

672,6
165,71

116,5
63,69

0,044

78,9
10,17

91,88
4,04

0,011

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan peningkatan kepadatan penduduk pada seluruh


kabupaten/kota. Pada tahun 2009 Pada tahun 2009 sebesar 557,05 jiwa/km 2, tahun 2010 sebesar
579,92 jiwa/km2 dan pada tahun 2011 sebesar 579,92 jiwa/km 2. Secara keseluruhan dari tahun
2009 sampai dengan tahun 2011, kepadatan penduduk di Sulawesi Selatan sebesar 572,30
jiwa/km2, dengan kepadatan penduduk terendah 34,18 jiwa/km 2 dan kepadatan penduduk tertinggi
7616 jiwa/km2. Lebih jelasnya hasil analisis univariat penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada variabel Angka Bebas Jentik (ABJ), dapat dilihat bahwa rata-rata persentase Angka
Bebas Jentik (ABJ) pada kabupaten/kota mengalami peningkatan yang signifikan, tahun 2009
sebesar 65,79%; tahun 2010 sebesar 75,99% dan tahun 2010 sebesar 81,07%. Secara keseluruhan
rata-rata nilai ABJ di Sulawesi Selatan dari tahun 2009 - 2011 sebesar 74,72%, dengan nilai
terendah 27,87% dan Angka Bebas Jentik (ABJ) tertinggi 95,90%. Lebih jelasnya hasil analisis
univariat penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 4 memperlihatkan bahwa dari nilai eksponen dari persamaan koefisien persamaan
regresi yang terbentuk menunjukkan bahwa angka bebas jentik yang rendah pada suatu wilayah
dapat mengakibatkan wilayah tersebut untuk menjadi endemis sebesar 195 kali lebih besar
dibandingkan dengan wilayah dengan angka bebas jentik yang tinggi ketika kepadatan penduduk
dan curah hujan dikontrol
Tabel 4. Hasil analisis regresi logistik berganda dari faktor ekologi yang berpengaruh
terhadap status endemisitas DBD

Angka Bebas Jentik


Kepadatan Penduduk
Curah Hujan

Wald

Exp (B)

5,273
-0,101
0,952

0,000
0,000
0,000

0,997
0,997
0,992

195,035
0,904
2,591

OR (95% CI)
Lower
Upper
0,000
0,000
1,615E20
0,000
6,644E81

Data Primer
PEMBAHASAN
Faktor ekologi yang berhubungan secara signifikan dengan dengan status endemisitas
DBD berdasarkan hasil analisisbivariat ada 3 (dua) variabel yaitu curah hujan, kepadatan
penduduk dan Angka Bebas Jentik (ABJ).
Hasil analisis menunjukan bahwa ketinggian wilayah tidak berhubungan dengan status
endemisitas DBD (p=0,272). Tidak adanya hubungan yang bermakna antara ketinggian wilayah
dengan status endemisitas, disebabkan karena kasus DBD telah ditemukan diwilayah dengan
ketinggian yang lebih dari 1000 m dari permukaan laut. Pergeseran ekosistem sebagai salah satu
dampak global warming menyebabkanlingkungan pegunungan yang semula dingin berubah
menjadi panas sehingga keadaan ini membuka keran besar bagi pembiakan nyamuk Ae.aegypti
untuk menularkan penyakit DBD (Fitriyani. 2007; Marianne, J. 2001).Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Chowell (2008) yang mengindikasikan bahwa tidak terdapat perbedaan kasus
DBD pada wilayah pesisir maupun pegungungan di Peru, Amerika.
Hasil analisis bivariat menunjukkanbahwa curah hujan berhubungan dengan status
endemisitas DBD (p<0,05), darihasil analisis diperoleh bahwa rata-rata curah hujan pada wilayah
endemis (347,87 mm) lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-endemis (249,24 mm). Di
Malaysia, kenaikan kasus DBD sebesar 120% terjadi pada saat curah hujan > 300mm (Limet al,
2005).
Menurut Souza et al (2010) habitat vektor DBD dipengaruhi oleh musim penghujan dan
tersedianya air dipermukaan. Kasus DBD cenderung meningkat selama musim hujan. Air
merupakan habitat stadium pradewasa nyamuk vektor DBD. Curah hujan dapat membuat

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

JURNAL

INDONESIA

genangan air tempat telur nyamuk Ae.aegypti disimpan, dan tempat berkembangnya jentik nyamuk
menjadi dewasa (Chakravarti, A dan Kumaria, R. 2005; Promprou, S. 2005; Wiwanitkit, V. 2006).
Studi di Kota Maracy, Venezuela oleh Barrera (2002) menunjukkan bahwa kepadatan
penduduk berkorelasi positif dengan tingkat endemisitas suatu wilayah (r=0,40; p<0,05). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian ini bahwa terdapat hubungan antara kepadatan penduduk dengan
status endemisitas DBD di Provinsi Sulawesi Selatan (p=0,044). Nilai rata-rata kepadatan
penduduk pada wilayah endemis (672,6 jiwa/km2) lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah nonendemis (116,50 jiwa/km2).
Penyebaran DBD di didaerah perkotaan dengan ciri memiliki penduduk yang padat lebih
intensif daripada di daerah pedesaan. Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya
sangat berdekatan sehingga memudahkan vektor DBD (nyamuk Ae.aegypti) untuk menyebarkan
virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya. Hal ini dipengaruhi oleh jarak
terbang nyamuk yang diperkirakan hanya berkisar antara 50 sampai dengan 100 meter (Ali, M., et
al. 2003).
Hasil analisis menunjukan bahwa kepadatan jentik yang dinyatakan dalam persentase
Angka Bebas Jentik (ABJ) berhubungan dengan status endemisitas DBD (p=0,011). nilai rata-rata
Angka Bebas Jentik (ABJ) pada wilayah endemis (78,9%) lebih rendah dibandingkan dengan
wilayah non-endemis (91,88%).Adanya hubungan yang bermaknaantara Angka Bebas Jentik
(ABJ) dengan status endemisitas, disebabkan tingkat kepadatan jentik yang tinggi sangat berisiko
terhadap penularan DBD, pada prinsipnya makin tinggi populasi nyamuk disuatu wilayah maka
makin besar kemungkinan kontak dengan manusia, sehingga transmisi penyakit DBD pun semakin
meningkat (Depkes, 2005).
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nalole (2010) di Kota Gorontalo
bahwa secara spasial maupun statistik ABJ mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian
DBD. Selanjutnya hal ini didukung oleh penelitian di Mataram oleh Fathi (2004) yang telah
membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara keberadaan kontainer dengan
wabah penyakit DBD. Kepadatan vektor dapat dipengaruhi oleh keberadaan kontainer karena
semakin banyak kontainer, maka akan semakin banyak tempat perindukan nyamuk. Selain itu
populasi nyamuk pun akan bertambah dan risiko terinfeksi DBD pun meningkat dengan waktu
penyebaran yang lebih cepat maka jumlah kasus akan cepat meningkat yang pada akhirnya
menimbulkan KLB.
Peta spasial status endemisitas DBD merupakan hasil pengolahan dan analisis data spasial
dengan SIG yang memberikan gambaran kecenderungan wilayah penyebaran DBD berdasarkan
status endemisitasnya pada 24 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Selatan. Pola spasial penyebaran
DBD yaitu adanya kekhususan pola wilayah yang mendukung penyebaran nyamuk Ae.aegypty dan
penyakit DBD untuk terbentuknya wilayah endemis di Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan
pemetaan yang telah dilakuakn terdapat kecenderungan penyebaran nyamuk Ae.aegypty pada
wilayah dataran rendah dengan kepadatan penduduk tinggi dan ABJ yang rendah. Strategi
penanggulangan berdasarkan karakteristik geografis seperti ini harus lebih diupayakan karena
penanganan berdasarkan karakteristik geografis dapat dilakukan dengan lebih fokus dengan
perpaduan penanganan berdasarkan wilayah administrasi
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah dilakukan penelitian, kami menyimpulkan bahwa curah hujan, kepadatan
penduduk dan Angka Bebas Jentik (ABJ) berhubungan dengan status endemisitas DBD di Provinsi
Sulawesi Selatan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanyahubungan antara ketinggian
wilayah denganstatus endemisitas DBD.
Berdasarkan simpulan dari hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan
bagi instansi terkait agar memberikan perhatian lebih pada aspek pencegahan DBD di wilayah
dengan curah hujan tinggi, kepadatan penduduk yang tinggi yang disertai dengan persentase
Angka Bebas Jentik (ABJ) rendah selain itu, bagi masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan
pada upaya pencegahan penularan DBD dengan memperhatikan pola kejadian penyakit yang erat
kaitannya dengan musim.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., et al. 2003. Use of a Geographic Information System for Defining Spatial Risk for
Dengue Transmission in Bangladesh: Role for Aedes Albopictus in an Urban Outbreak.
American Journal Trop Med Hyg, 69(6):634-40.
Chakravarti, A dan Kumaria, R. 2005. Eco-Epidemiological Analysis of Dengue Infection During
an Outbreak of Dengue Fever, India.Virology Journal, 2(32):2-4.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

Chowell, G. 2008. Spatial and Temporal Dynamics of Dengue Fever in Peru 1994-2006.
Epidemiology Infection, 136(12):1667 1677.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue. Cetakan
kedua. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Fitriyani, 2007. Penentuan Wilayah Rawan Demam Berdarah Dengue Di Indonesia dan Analisis
Pengaruh Pola Hujan terhadap Tingkat Serangan (Studi Kasus: Kabupaten Indramayu).
(Online). http://iirc.ipb.ac.id, diakses pada 8 Oktober 2011.
Lim, T.W., et al. 2005. Rainfall, abudance of Aedes aegypti and Dengue Infection in Selangor,
Malaysia. Southeast Asian Journal Trop. Medical Public Health, 16(4):560-568.
Promprou, S. (2005). Climatic Factors Affecting Dengue Haemorrhagic Fever Incidence in
Southern Thailand. Dengue Buletin, 29(5):3-7.
Sukri, N. C., et al. 2003. Transmisson of Epidemic Dengue Hemmorhagic Fever in Easternmost
Indonesia. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 68(5):63-67.
Souza,et al. (2010). Association betweem Dengue Incidence, Rainfall and Larval Density of Aedes
aegypti in Portugis. Medical Trop Journal,43(2):152.
Tsuda, Y.,et al. 2002. An Ecological Survey of Dengue Vector Mosquitos in Central Lao PDR.
Southeast Asian J Trop Med Public Health,33(1):63-67.
Wiwanitkit, V. 2006. An Observation on Correlation between Rainfall and The Prevalence of
Clinical Cases of Dengue in Thailand. Journal Vector Borne Disease, 43(6):73-76.
World Health Organization (WHO). 2009. Guidelines for Diagnosis, treatment, Prevention and
Control. Geneva: World Health Organization.

FAKTOR - FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI


NOSOKOMIAL DI RSUD BOMBANA KABUPATEN BOMBANA
SULAWESI TENGGARA TAHUN 2012
Ainul Jannah
Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara
ABSTRACT
Nosocomial infections are an important issue for hospital services because it can result
in increased length of treatment, care costs, morbidity and mortality. Nosocomial infections in
Indonesia is also a serious problem especially in the number of patients the hospital a lot when
compared with medical personnel who are still very limited. This study aims to determine the
relationship of factors of infection in hospitals Bombana nsosokomial Southeast Sulawesi province
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

JURNAL

INDONESIA

in 2012. This type of observational study is to design a cross sectional study using questionnaires
and medical records. Sample size of 138. Analysis of the data used is the Chi-square and logistic
regression. The results showed that the incidence of nosocomial infection factors indicate that the
variables age (p = 0.000), length of infusion (p = 0.00), a treatment room (p = 0.00), class
treatment (p = 0.000), ventilation (p = 0.00), bins (p = 0.00). The results of the study showed that
all variables related to the incidence of nosocomial infections. This study suggested that the
monitoring, prevention, and prevention of nosocomial infections can be more quickly and
efficiently in the presence of nosocomial infection control team.
Key words: nosocomial infection, duration of infuse, nursingf hall, nuesing ward, ventilation, and
garbage disposal.
PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial merupakan masalah yang penting bagi pelayanan rumah sakit karena
dapat mengakibatkan meningkatnya lama perawatan, biaya perawatan, angka morbiditas dan
mortalitas pada pelayanan kesehatan di rumah sakit (Abduh 2010), setiap tahunnya diperkirakan
menghabiskan biaya lebih dari $4,5 milyar pertahun dan menyebabkan kematian 19.000 pertahun.
Berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat angka kejadian infeksi nosokomial adalah 2.000.000
pasien yang mengalami infeksi nosokomial pada saat dirawat di rumah sakit. Dengan angka
insiden kerugian yang diakibatkan oleh infeksi nosokomial cukup besar, infeksi ini juga menjadi
penyebab kejadian kurang lebih 150.000 kematian pertahun di Amerika serikat (Handoko, 2003).
Di Indonesia masalah infeksi nosokomial juga merupakan yang cukup serius apalagi di
rumah sakit yang jumlah penderita yang dirawatnya banyak dengan tenaga perawatnya masih
terbatas. Pada tahun 1989 mendapatkan hasil observasi infeksi nosokomial insidensi infeksi
nosokomial 18.46% pada pasien yang dirawat diruang rawat penyakit dalam RSUP M.Jamil
Padang. Pada penelitian ini pada tahun yang sama di RS. Hasan Sadikin Bandung didapatkan
insidensi/prevalensi infeksi nosokomial 17.24% sedangkan di RSUD Dr. Sutomo adalah sebesar
9.85%.
Angka kejadian infeksi nosokomial terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi 3-21%)
atau lebih dari 1,4 juta pasien rawat inap rumah sakit seluruh dunia (Suryadi, 2000). Hasil survey
point prevalensi dari 11 rumah sakit di DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perdalin Jaya dan rumah
sakit penyakit infeksi Prof.Dr.Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 di dapatkan angka infeksi
nosokomial untuk ILO ( Infeksi Luka Operasi) 18.9%, ISK ( Infeksi Saluran Kemih) 15.1%, IADP
(Infeksi Aliran Darah Primer) 26.4%, Pneumonia 24.5% dan infeksi saluran pernapasan 15.1%
serta infeksi lain 32.1%.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI bersama dengan
WHO di Rumah Sakit Propinsi/kabupaten/kota, disimpulkan bahwa komite pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit (KPPIRS) selama ini belum berfungsi optimal sebagaimana
yang diharapkan. Penelitian juga menunjukkan anggota komite belum memahami dengan baik
tugas, kewenangan, tanggung jawab, serta program yang harus dilaksanakan dalam lingkup
pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit. Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh
dunia dengan kejadian terbanyak di Negara miskin dan Negara yang sedang berkembang karena
penyakit - penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama, Suatu penelitian yang dilakukan oleh
WHO menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari
Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan Pasific tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial
dengan Asia Tenggara sebanyak 10%.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Selatan. Jenis
penelitian yang digunakan adalah observasional dengan menggunakan rancangan studi cross
sectional dengan menggunakan data sekunder .
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang dirawat di RSUD Kota Bombana.
Sampel penelitian adalah pasien yang dirawat diruang rawat inap RSUD Kota Bombana.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
beberapa instansi terkait. yaitu Dinas Kesehatan Kab. Bombana, Rumah Sakit Bombana. Data
Primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dengan responden yang terpilih
dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder yang diperoleh selanjutnya diolah dengan

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

menggunakan SPSS For Windows. Untuk menilai hubungan faktor yang berhubungan dengan
kejadian infeksi nosokomial.
HASIL
Rumah Sakit Umum Daerah Bombana terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara, Rumah
Sakit Umum Daerah Bombana adalah Rumah Sakit milik Pemerintah Kabupaten Bombana yang
berada di Kelurahan Poea Kecamatan Rumbia Tengah, Rumah Sakit ini mulai dibangun sejak
tahun 2005 dan diresmikan penggunaanya pada tanggal 9 Februari 2007 sebagai Rumah Sakit
Umum Daerah Bombana Kelas D.
Dari hasil penelitian berdasarkan data sekunder yang diperoleh bahwa Hasil observasi
terhadap 138 responden terhadap lama pemasangan infus menunjukkan bahwa pasien yang
pemasangan Infusnya > 72 jam (risiko tinggi) yaitu sebanyak 32,6%, dan yang lama pemasangan
infusnya < 72 jam (risiko rendah) yaitu sebanyak 67,4%. Hasil penelitian mengenai ruang
perawatan yang ditempati responden, dari 138 responden yang menempati ruang rawat inap
menunjukkan bahwa sebagian besar ruang perawatan pasien tidak digabung (risiko rendah) dengan
penderita penyakit menular lainnya yaitu sebanyak 68,1%, dan yang mengatakan digabung dengan
pasien penyakit menular lainnya sebanyak 31,9%.
Tabel 1. Analisis interaksi variabel ruang perawatan dengan lama perawatan terhadap
Kejadian Infeksi Nosokomial di RSUD Kota Bombana
Infeksi nosokomial
Lama pemasangan
(n=138)
Ruang perawatan
p
Infus
Positif
Negatif
Risiko tinggi

Risiko rendah

Risiko tinggi

36

Risiko rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total

5
41
4
2
6

1
3
3
85
88

0,36

000

Data Primer
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang terpilih sebagai
sampel adalah responden yang dirawat di kelas II sampai VIP (risiko rendah) yaitu sebanyak
65,2%, dan yang dirawat di kelas III atau bangsal sebanyak 34,8% dan menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mengatakan ventilasi dalam ruang perawatan termasuk cukup yaitu
sebanyak 69,6%, dan yang mengatakan ventilasi dalam ruang perawatan kurang sebanyak 30,4%.
Hasil menunjukkan bahwa tempat pembuangan sampah yang dipisahkan antara sampah basah dan
sampah kering (organik dan anorganik) tertutup dan tidak mudah bocor serta setiap hari dilakukan
pengolahan sampah berdasarkan jenisnya, tempat sampah yang memenuhi syarat yaitu sebanyak
67,4%, dan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 32,6%.

Tabel 2. Analisis interaksi variabel ruang perawatan dengan lama perawatan terhadap
Kejadian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bombana Tahun 2012.
Infeksi nosokomial
Lama pemasangan
(n=138)
Ruang perawatan
p
Infus
Positif
Negatif
Risiko tinggi

Risiko rendah

Risiko tinggi

35

Risiko rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total

6
41
5
1
6

3
7
1
83
84

0,11

000

Data Primer

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

INDONESIA

JURNAL

Tabel 3. Analisis interaksi variabel umur dengan lama perawatan terhadap Kejadian Infeksi
Nosokomial di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bombana Tahun 2012.
Infeksi nosokomial
Lama pemasangan
(n=138)
Umur
p
Infus
Positif
Negatif
Risiko tinggi

Risiko rendah

Risiko tinggi

34

Risiko rendah
Total
Risiko tinggi
Risiko rendah
Total

6
40
6
1
7

12
14
3
74
77

0,00

000

Data Primer
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel
independent (umur responden, lama pemasangan infus, ruang perawatan, kelas perawatan,
ventilasi, tempat sampah) dengan variabel dependen (kejadian infeksi nosokomial). Analisis
dilakukan dengan menggunakan Chi Square Test, selain itu juga dapat dilihat dan dihitung
distribusi responden berdasarkan masing-masing variabel independen terhadap kejadian infeksi
noskomial, guna menjelaskan fenomena-fenomena yang muncul berdasarkan hasil pengolahan
data, dapat kita lihat pada tabel. Analisis multivariat yang dilakukan untuk mengatahui faktor yang
berhubungan terhadap kejadian infeksi nosokomial yaitu dengan menggunakan uji interaksi
terhadap variabel independen.
PEMBAHASAN
Hasil analisis penelitian menyatakan umur merupakan data jumlah umur pasien yang
tercantum dalam rekam medik rawat inap, dimana umur dibawah 12 tahun dan diatas 50 tahun
merupakan faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial. Pada umur dibawah 12 tahun sangat
rentan terhadap penularan penyakit infeksi oleh karena sistem imunnitas yang kurang baik,
banyaknya gerak pada pasien dengan umur dibawah 12 tahun yang dipasangi infus sehingga
terjadinya pleubitis, sedangkan pada umur diatas 50 tahun berhubungan terhadap penurunan
resistensi tubuh terhadap infeksi, kondisi ini lebih diperberat pada fungsi sistem imunnitas tubuh
(immunocompetence), dalam hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi
saat menginjak usia tua maka risiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan
autoimun, atau penyakit kronik (Budiarti, 2007). Dalam hal ini pasien dengan usia diatas 50 tahun
banyak ditemukan yang menjalani perawatan cukup lama, sehingga mengakibatkan decubitus dan
mengakibatkan terjadinya infeksi nosokomial.
Lama pemasangan infus adalah merupakan waktu yang dibutuhkan untuk tindakan
berupa therapi / alat intravascular, melalui vena untuk memasukkan cairan steril obat, pemasangan
infus/kateter, tenaga kesehatan yang melakukan prosedur medis tertentu kurang terampil.
Pengambilan darah atau pemasangan infuse yang tidak dilakukan dengan cermat dan hati-hati
sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dapat menjadi penyebab infeksi nosokomial. Luka dapat
menyebabkan mikroba yang ada di permukaan kulit atau selaput lender tubuh masuk kedalam
darah.
Hal ini disebabkan karena masih banyaknya petugas kesehatan yang kurang profesional
(universal precaution) selain itu masalah biaya juga menjadi salah satu penyebab, dimana pada
penelitian ini ditemukan bahwa ada beberapa responden yang menolak untuk mengganti infusenya
walaupun infuse tersebut telah dipakai > 72 jam karena mereka menganggap penggantian infuse
merupakan pemborosan dan menambah biaya selama perawatan, hal inilah yang kemudian
memicu terjadinya infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial aliran darah relatif mempunyai
morbiditas tinggi, yaitu sekitar 10-20%, kebanyakan infeksi disebabkan oleh kontaminasi dengan
organisme dari kulit pasien atau tangan petugas rumah sakit sewaktu insersi karena kateter infus
langsung berhubungan dengan aliran darah (Sarwono 2003).
Dalam penelitian ini ditemukan beberapa pasien yang dirawat gabung dengan pasien yang
menderita penyakit infeksi, ditemukan contoh kasus seperti pasien yang masuk di rumah sakit
dengan kecelakaan namun tanpa diketahui sebelumnya pasien tersebut menderita penyakit infeksi,
akan tetapi pasien tersebut ditempatkan di ruang perawatan bedah. Dengan ini peneliti
menyimpulkan bahwa dengan adanya rawat gabung penyakit infeksi tersebut, maka akan
mempermudah terjadinya penularan terhadap pasien yang lain yang juga tepat berada diruangan
yang sama. Hal ini ada hubungan antara ruang perawatan dengan kejadian infeksi nosokomial di
RSUD Bombana Sulawesi Tenggara.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

10

JURNAL

INDONESIA

Menurut Iskandar Zukarnaen (2003), bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang di
dapat dirumah sakit, dan infeksi yang terjadi di ruang rawat inap dan lebih mudah di kenali,
sedangkan menurut Syaiful 2007 berdasarkan pengamatan di Amerika Serikat angka kejadian
infeksi nosokomial adalah 2.000.000 pasien yang mengalami infeksi nosokomial pada saat di
rawat di rumah sakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi nosokomial yaitu
kuman, daya tahan tubuh, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu yang lama dan macamnya,
pemakaian immunosupresif, keadaan lingkungan, kebersihan rumah sakit, jumlah pasien
diruangan dan lain-lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Husain
2008 yang mengatakan bahwa ruang perawatan berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial
pada pasien di rumah sakit. Ruang perawatan yang tidak dipisah antara penyakit yang satu dengan
penyakit lainnya memiliki risiko yang besar untuk terjadinya infeksi nosokomial.
Kelas perawatan adalah ruang rawat inap berdasarkan perawatan yang di tempati pasien
untuk perawatan pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Kab.Bombana ada beberapa kelas
perawatan, yaitu: Kelas VIP, kelas satu, kelas dua, kelas tiga, manun diantara ruang kelas yang
paling berisiko adalah kelas tiga dan pasien yang berada di selasar atau jalan, yang membedakan
tiap kelas yang ada adalah sarana yang ada, dan jumlah tempat tidur yang di siapkan di kamar
tersebut serta fasilitas lainnya yang telah disiapkan oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah
Kab.Bombana.
Hasil penelitian diperoleh bahwa besar pasien yang terpilih sebagai sampel adalah pasien
yang dirawat di kelas II sampai VIP (risiko rendah) yaitu sebanyak 65,2%, dan yang dirawat di
kelas III atau bangsal sebanyak 34,8%.. Bila dikaitkan dengan infeksi nosokomial diperoleh bahwa
dari 48 pasien yang dirawat di kelas III (risiko tinggi) sebagian besar mengalami infeksi
nosokomial yaitu sebanyak 85,4%, dan dari 90 pasien yang dirawat di kelas II sampai VIP (risiko
rendah) sebagian besar tidak mengalami infeksi nosokomial yaitu sebanyak 93,3%. Hal ini
diungkapkan pula oleh peneliti lain yaitu Parmono tahun 2003 yang mengatakan bahwa kelas
perawatan pasien berhubungan dengan kejadian infeksi nosokomial pada pasien, dimana kelas
perawatan III lebih berisiko terkena infeksi nosokomial dibandingkan dengan kelas perawatan
lainnya.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial yaitu host, agent,
environment, interaksi terjadi melaui kontak baik langsung maupun tidak langsung antara host,
mikroba/agent, faktor-faktor yang saling mempengaruhi hubungan ini disebut infeksi. Sampah erat
kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai
mikro organisme penyebab penyakit (bakteri pathogen) dan juga binatang serangga sebagai
pemindah/penyebar penyakit (vector). Oleh sebab itu sampah harus dikelola dengan baik sampai
sekecil mungkin tidak mengganggu atau mengancam kesehatan masyarakat. Pengelolaan sampah
yang baik bukan saja untuk kepentingan kesehatan tapi juga untuk keindahan lingkungan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitiann yang dilakukan oleh Handoko (2003) yang mengatakan
bahwa tempat sampah kurang baik memberikan kontribusi dalam penularan penyakit di rumah
sakit sehingga dapat terjadi infeksi nosokomial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah dilakukan penelitian, kami menyimpulkan bahwa umur, lama pemasangn infus,
ruang perawatan, kelas perawatan, ventilasi, tempat sampah berhubungan terhadap kejadian
infeksi nosokomial di RSUD Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Berdasarkan simpulan dari
hasil penelitian ini, beberapa saran yang dapat disampaikan bagi instansi terkait agar memberikan
perhatian lebih Untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial hubungannya dengan lama
pemasangan infus, sebaiknya lebih tenaga medis lebih memperhatikan universal precaution,
setelah dilakukan pemasangan infus diharapkan perawat senantiasa melakukan observasi dan
dilakukan pergantian jarum infus setiap 72 jam kendati tidak ada pleubitis pada pasien rawat inap
di RSUD Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara. Perlunya tambahan ruang rawat inap
(isolasi), secara bertahap ssehingga pasien yang masuk dirawat dengan diagnosa penyakit
infeksius/menular tidak tergabung dalam 1 (satu) ruangan rawat inap dengan pasien yang non
infeksius, guna untuk menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di RSUD Kabupaten
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, dkk. 2010. Perbedaan Jumlah Kuman di Telapak Tangan Antara Sebelum dan Sesudah
Penggunaan Antiseptik Triclosan. Semarang.
Budiarti, L.Y. 2007. Jenis Kuman dan Kontaminan Udara di Ruang Perawatan Sub Bagian
Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Banjarbaru, Jurnal kedokteran Yarsi.
Banjarbaru.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

11

INDONESIA

JURNAL

Breathnach. 2005. Nosocomial Infections, Journal Medicine, Volume 33 No.3


Depkes RI. 2003. Standar Pelayanan Rumah Sakit. Direktorat Jendral Rumah Sakit Umum
Jakarta.
Fauziah, dkk. 2011. Hubungan Penggunaan Antibiotika Pada Terapi Empiris dengan Kepekaan
Bakteri di ICU RSUP Fatmawati. Jakarta.
Ginting, Y. 2001. Pencegahan Infeksi Nosokomial. FK USU. Medan.
Handoko.( 2003). Epidemiologi Kejadian Infeksi Nosokomial. Jakarta.
Husain.
2008.
Rumah
Sakit
Gudang
Penyakit.
Diperoleh
dari
http://cpddokter.com/home/index.php?
option=com_content&task=view&id=388&Itemd=54 pada 23 Desember 2011.
Parmono. (2003). Faktor Yang Berhubungan dengan kejadian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit
Islam Samarinda. Samarinda.
Sulkarnaen, R. 1999. Survailans Epidemiologi Kasus Infeksi Nosokomial. Yogyakarta.
Suryadi, A. 2000. Pengendalian Infeksi Nosokomial di RSUD Dr. Sardjito. Jurnal Gerbang Inovasi.
Syaiful, S. 2007. Pencegahan Infeksi Sistematik Pada Pasien Rawat Inap. Jurnal Media Medika
Indonesia.
WHO. 2004. Prevention of Hospital Acquired Infection, A Practical Guide, 2
http://www.who.int/research/en/emc, diperoleh 19 Januari 2011)

ANALISIS FAKTOR GAYA HIDUP IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN
LAHIR RENDAH (BBLR) DI RSKD IBU DAN ANAK SITI FATIMAH
KOTA MAKASSAR
Andi Tenri Abeng
Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Ibu dan Anak Sitti Fatimah Kota Makassar
ABSTRACT
Infants with low birth weight (LBW) is one of the risk factors that have contributed to
infant mortality especially during perinatal and can seriously impact on the quality of future
generations that will inhibit growth and mental development of children, and is one indicator of
the level of maternal and child health. This study aims to analyze the maternal lifestyle factors
with the incidence of low birth weight (LBW) in The Special Hospital For Maternal and Child Siti
Fatimah Makassar. Prevalence of LBW is 15% all birth in the world and about 3,3-38% in
develop country.
This study is a retrospective study with case-control design with a sample sizes of 201
maternal. Data analysis is the Odds Ratio (OR), Logistic Regression, and stratification analysis.
The results showed that the risk variables on the incidence of LBW was substance abuse (OR =
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

12

INDONESIA

JURNAL

2,64; 95% CI 1,24-5,94), exercise pregnancy (OR = 3,01; 95% CI 1,57-5,82) and complications of
pregnancy (OR = 6,69; 95% CI 2,30- 21,86). While taboo (OR = 0,84; 95% CI 0,41-1,66),
drinking herbal (OR = 1,39; 95% CI 0,66-2,89) and unwanted pregnancy (OR = 1,23; 95% CI
0,52-2,77) are risk but not statistically significant. The results of multivariate analysis showed that
complications of pregnancy are most at risk variables on the incidence of LBW. Advised pregnant
women to keep their health by avoiding exposure to substance abuse and exercise.
Key Words

: Maternal Lifestyle Factors, LBW

PENDAHULUAN
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor risiko yang
mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal (Proverawati, dkk,
2010). Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu indikator dari tingkat kesehatan ibu
dan anak (Depkes RI, 2000; Blake, 2007; Siza, 2008). Masalah bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal (Sitohang,
2004; Dahniar, 2007), serta dapat berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang yaitu
akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan mental anak, serta berpengaruh terhadap
penurunan kecerdasan (Depkes RI, 2000).
Prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di
dunia dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi di negara berkembang dan angka
kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat badan lahir normal (Pantiawati,
2010). Penyebab terjadinya bayi BBLR secara umum bersifat multifaktoral, sehingga kadang
mengalami kesulitan untuk melakukan tindakan pencegahan (Proverawati, dkk, 2010; Ward,
2007). Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) terkait dengan kondisi kesehatan ibu saat
hamil. Berat bayi lahir merupakan cerminan dari komplikasi dan gizi selama hamil serta pelayanan
antenatal yang diterima ibu. (Kusumawati, dkk, 2004).
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi.
Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantanganpantangan terhadap
beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan
pantanganpantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh
wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. (Maas, 2004).
Tidak semua kehamilan disambut dengan baik kelahirannya. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan dari 200 juta kehamilan per tahun, 38% diantaranya merupakan kehamilan
yang tidak diinginkan, hal itu umumnya terjadi karena gagal kontrasepsi dan alasan tertinggi untuk
menghentikan kehamilan adalah alasan psikolosial (Tito, 2003, dalam, Nurjannah, 2011). Pada
beberapa ibu hamil, ada kemungkinan mengalami penyimpangan dalam masa kehamilannya. Ada
beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh ibu hamil (Bandiyah, 2009).
Melihat banyak faktor risiko penyebab terjadinya bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR), maka perlu untuk dilakukan penelitian yang dapat membuktikan faktor risiko yang
sangat berpengaruh terhadap terjadinya bayi dengan berat badan lahir rendah di RSKD Ibu dan
Anak Siti Fatimah Kota Makassar.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar. Jenis penelitian
yang digunakan adalah obsevasional drngan rancangan kasus kontrol (case control study).
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota
Makassar. Sampel sebanyak 201 orang, dimana jumlah kasus adalah 67 sampel dan kontrol adalah
134 sampel yang dipilih secara random sampling melalui teknik purposive sampling, yang telah
memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu yang melahirkan pada usia kehamilan cukup bulan di RSKD
Ibu dan Anak Siti Fatimah dan bersedia mengikuti penelitian ini. Kasus adalah ibu yang
melahirkan berat bayi lahir rendah cukup bulan dan kontrol adalah ibu yang melahirkan berat bayi
lahir normal cukup bulan. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui
besar risiko terhadap kejadian BBLR digunakan analisis Odds Ratio (OR). Analisis multivariat
untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian BBLR digunakan uji
Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding digunakan analisis
stratifikasi.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

13

INDONESIA

JURNAL
HASIL

Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik ibu yang menjadi sampel pada penelitian ini.
Distribusi umur yang paling banyak pada ibu dengan umur 2630 tahun yaitu sebanyak 34,22%
dan paling sedikit pada ibu dengan umur lebih dari 40 tahun yaitu sebanyak 1,49%.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel
Umur
< 20
21 25
26 30
31 35
36 40
> 40
Suku
Makassar
Bugis
Jawa
Toraja
Lain-lain
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Paritas
1
2
3
4
>4
Data Primer

Kasus

Kontrol

Jumlah
%

14
16
23
7
6
1

20,90
23,88
34,22
10,45
8,96
1,49

28
32
46
14
12
2

20,90
23,88
34,22
10,45
8,96
1,49

42
48
69
21
18
3

20,90
23,88
34,22
10,45
8,96
1,49

24
26
7
2
8

35,82
38,81
10,45
2,99
11,94

61
48
7
10
8

45,52
35,82
5,22
7,46
5,97

85
74
14
12
16

42,29
36,82
6,97
5,97
7,96

14
10
36
7

20,90
14,93
53,73
10,45

28
31
62
13

20,90
23,13
46,27
9,70

42
41
98
20

20,90
20,40
48,76
9,95

35
9
12
7
4

52,24
13,43
17,91
10,45
5,97

61
36
20
13
4

45,52
26,87
14,93
9,70
2,99

96
45
32
20
8

47,76
22,39
15,92
9,95
3,98

Distribusi suku ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada suku Bugis yaitu
38,81% dan paling sedikit pada suku Toraja yaitu 2,99%. Sedangkan pada ibu pada kelompok
kontrol paling banyak pada suku Makassar yaitu 45,52% dan paling sedikit pada suku Jawa yaitu
5,22%.
Distribusi tingkat pendidikann ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada ibu
dengan tingkat pendidikan SMA yaitu 53,73% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat
pendidikan perguruan tinggi yaitu 10,45%. Sedangkan pada ibu pada kelompok kontrol paling
banyak pada ibu dengan tingkat pendidikan SMA yaitu 46,27% dan paling sedikit pada ibu dengan
tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu 9,70%.
Distribusi paritas ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada ibu dengan
paritas 1 yaitu 52,24% dan paling sedikit pada ibu dengan paritas >4 yaitu 5,97%. Sedangkan pada
ibu pada kelompok kontrol paling banyak pada ibu dengan dengan paritas 1 yaitu 45,52% dan
paling sedikit pada ibu dengan paritas >4 yaitu 2,99%.
Analisis Bivariat
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa responden dengan penggunaan zat berbahaya dalam
kategori risiko tinggi lebih banyak terjadi pada kelompok kasus (82,09%) dibandingkan pada
kelompok kontrol (63,43%), nilai OR 2,64 (1,24-5,94) dengan p value 0,0067 (p<0,05). Secara
statistik, terdapat hubungan yang antara substance abuse dengan kejadian berat badan lahir rendah
(BBLR).
Tabel 2.

Besar Risiko Kejadian BBLR di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah

Variabel

Kejadian BBLR
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

95% CI

Substance Abuse
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

14

INDONESIA

JURNAL
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Pantangan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Kebiasaan Minum Jamu
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Kehamilan Tidak
Diinginkan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Olahraga Kehamilan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Komplikasi Kehamilan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Data Primer

55
12

82,09
17,91

85
49

63,43
36,57

2,64

1,24-5,94

0,0067

19
48

28,36
71,64

43
91

32,09
67,91

0,84

0,41-1,66

0,5892

18
49

26,89
73,13

28
106

20,90
79,10

1,39

0,66-2,89

0,3422

13
54

19,40
80,60

22
112

16,42
83,58

1,23

0,52-2,77

0,5988

43
24

64,18
35,82

50
84

37,31
62,69

3,01

1,57-5,82

0,0003

16
51

23,88
76,12

6
128

4,48
95,52

6,69

2,30-21,86

0,0000

Responden yang mempunyai pantangan dalam kategori risiko tinggi lebih banyak terjadi
pada kelompok kontrol (32,09%) dibandingkan pada kelompok kasus (28,36), nilai OR 0,84 (0,411,66) dengan p value 0,5892 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan antara pantangan
dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Responden yang mempunyai kebiasaan minum jamu dalam kategori risiko tinggi lebih
banyak pada kelompok kasus (26,87%) dibandingkan pada kelompok kontrol (20,90%), nilai OR
1,39 (0,66-2,89) dengan nilai p value 0,03422 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan
antara kebiasaan meminum jamu dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Responden yang mempunyai kehamilan tidak diinginkan dalam kategori berisiko tinggi
lebih banyak pada kelompok kasus (19,40%) dibandingkan pada kelompok kontrol (16,42%), nilai
OR 1,23 (0,52-2,77) dengan nilai p value 0,5988 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat
hubungan antara kehamilan tidak diinginkan dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Responden yang tidak mempunyai kebiasaan berolahraga pada saat hamil dalam kategori
risiko tinggi pada kelompok kasus (64,18%) dibandingkan pada kelompok kontrol (37,31%), nilai
OR 3,01 (1,57-5,82) dengan nilai p value 0,0003 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan
antara olahraga kehamilan dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Responden yang mempunyai komplikasi kehamilan dalam kategori risiko tinggi pada
kelompok kasus (23,88%) dibandingkan pada kelompok kontrol (4,48%), nilai OR 6,69 (2,3021,86) dengan nilai p value 0,0000 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna
antara komplikasi kehamilan dengan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR).
Analisis Multivariat
Pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) kejadian berat badan
lahir rendah (BBLR) adalah 85,06% (P = 0,8506 dengan nilai y = 1,74) pada kondisi ibu yang
tidak mempunyai kebiasaan berolahraga dan mempunyai komplikasi kehamilan.
Tabel 3. Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian BBLR di
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
95% CI
Variabel
Coef.
S.E
Sig.
Lower
Upper
Olahraga Kehamilan
1,23
0,333
0,000
0,5784
1,8835
Komplikasi Kehamilan
2,08
0,532
0,000
1,0371
3,238
Constant
-1,57
0,389
0,000
-2,086
-1,057
y = 1,74
P = 0,8506
Data Primer
Analisis Stratifikasi
Dari tabel 4, variabel komplikasi kehamilan mempengaruhi hubungan olahraga
kehamilan dengan kejadian BBLR, dimana terjadi peningkatan nilai OR adjust dibandingkan
dengan nilai OR crude. Sehingga variabel komplikasi kehamilan bermakna sebagai variabel
confounding (beda ORa dan M-H combined > 10%) dan tidak ada interaksi (test of homogeneity
dengan p > 0,05).
Tabel 4. Hasil Analisis Faktor Confounding
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

15

INDONESIA

JURNAL

Variabel yang
Diduga
Confounding
Komplikasi
Kehamilan
Data Primer

ORc

M-H
combined

95% CI

Koef.
Confounding
(>10%)

Homogeneity
test
(p<0,05)

6,69
3

9,709

3,121-30,204

45,06%

0,079

PEMBAHASAN
Dalam peneltian ini menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan
mempengaruhi kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu substance abuse, olahraga
kehamilan dan komplikasi kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat ibu yang mengkonsumsi alkohol,
merokok dan menggunakan obat-obatan tetapi ibu terpapar oleh asap rokok dari suami atau orang
yang serumah dengan ibu. Amiruddin (2005) mengatakan bahwa karbonmonoksida dari asap
rokok akan mengikat Hb dalam darah yang menyebabkan distribusi zat makanan dan oksigen yang
disuplai ke janin terganggu. Ibu yang terpapar oleh substance abuse lebih banyak pada ibu yang
melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu 82,09%, dibandingkan dengan ibu
yang melahirkan anak dengan berat badan lahir normal (BBLN) yaitu 63,43%.
Hasil uji statistik menunjukkaan bahwa nilai odds ratio (OR) 2,64 dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,24 5,94.oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka
ibu mempunyai keterpaparan terhadap substance abuse berisiko 2,64 kali lebih besar untuk
melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibandingkan dengn ibu yang tidak mempunyai
keterpaparan terhadap terhadap substance abuse.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Saada (2011) di Rumah Sakit
Umum Provinsi Sulawesi Tenggara bahwa paparan asap rokok berisiko 3,7 kali untuk ibu
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Serta hasil penelitian yang dilakukan
oleh Amiruddin (2005) menunjukkan bahwa suami yang mengisap rokok secara berat, 63,2% akan
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Mekanisme biologis cara menghisap
rokok ini berkaitan dengan tingginya paparan nikotin yang masuk ke dalam darah, selanjutnya
terakumulasi dalam semen suami, sehingga melalui mekanisme kontak seksual kandungan nikotin
semen terakumulasi dalam rahim, sehingga terjadi penghambatan transfer nutrisi dan oksigen.
Dengan demikian, pertumbuhan janin dalam rahim terhambat.
Perbedaan kejadian berat badan lahir rendah (BBLR) dan berat badan lahir normal
(BBLN) pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan pola makan yang telah ada oleh
masing-masing suku bangsa. Ini sangat mempengaruhi pada kondisi ibu serta gizi yang dapat
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan janin. Banyak hal yang menjadi pantangan atau
sebaliknya sangat dianjurkan untuk dilakukan Ibu hamil. Informasi tersebut terkadang sangat
membingungkan, apakah hanya mitos atau fakta . Informasi yang tidak akurat seringkali
menyesatkan, apalagi bila informasi tersebut terus melekat secara turun-temurun sebagai suatu hal
yang wajib dipatuhi.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu mempunyai pantangan lebih banyak pada
ibu yang melahirkan bayi berat badan lahir normal (BBLN) yaitu 32,09%, dibandingkan dengan
ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu 28,36%. Hasil uji
statistik menunjukkaan bahwa nilai odds ratio (OR) 0,84 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95%
yaitu 0,41-1,66. Nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka variabel pantangan merupakan variabel
berisiko untuk ibu melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) tetapi tidak bermakna secara
statistik.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi (2006)
menunjukkan bahwa ibu yang mempunyai pantangan berisiko 3,16 kali lebih besar dibandingkan
dengan ibu yang tidak mempunyai pantangan makanan. Sedangkan penelitian Saada (2011) bahwa
kebiasaan ibu yang buruk berisiko 6,92 kali untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) dibandingkan ibu yang tidak mempunyai kebiasaan yang buruk. Pada penelitian
ini mempunyai risiko jika ibu mempunyai pantangan tetapi tidak bermakna secara statistik. Ini
dimungkinkan karena ibu-ibu yang melahirkan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah sebagian besar
tidak mengikuti pantangan, terutama pantangan makanan.
Kebiasaan meminum jamu merupakan salah satu kebiasaan yang berisiko bagi ibu hamil,
karena efek dari meminum jamu dapat membahayakan tumbuh kembang janin. Efek dapat terjadi
dikarenakan kandungan zat-zat herbal maupun bahan lain yang mungkin tidak aman untuk ibu
hamil. Dari hasil penelitian, ibu yang mempunyai kebiasaan meminum jamu selama masa
kehamilan lebik banyak pada ibu melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

16

JURNAL

INDONESIA

26,89% dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir normal (BBLN)
yaitu 20,90%.
Hasil uji statistik menunjukkaan bahwa nilai odds ratio (OR) 1,39 dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,66-2,89. Nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka ibu yang
mempunyai kebiasaan meminum jamu selama masa kehamilan berisiko 1,39 kali lebih besar
melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibandingkan dengn ibu yang tidak mempunyai
kebiasaan meminum jamu selama masa kehamilan tetapi tidak bermakna secara statistik.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi (2006),
kebiasaan meminum jamu pasa saat ibu hamil mempunyai risiko 1,28 kali lebih besar ibu
melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibandingkan ibu yang tidak mempunyai
kebiasaan meminum jamu pada masa kehamilan. Kebiasaan meminum jamu mempunyai risiko
1,39 tetapi tidak bermakna secara statistik, ini dimungkinkan karena ibu-ibu yang melahirkan di
RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah sebagian besar bersuku Makassar dan Bugis yang tidak terbiasa
meminum jamu.
Kehamilan yang tidak diinginkan merupakan suatu kondisi pasangan yang tidak
menghendaki adanya kehamilan yang merupakan suatu akibat dari perilaku seksuual baik secara
sengaja maupun tidak sengaja. Dari hasil penelitian, ibu dengan kehamilan yang tidak diinginkan
lebih banyak terjadi pada ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu
19,40%, dibandingkan ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir normal (BBLN) yaitu
16,92%.
Hasil uji statistik menunjukkaan bahwa nilai odds ratio (OR) 1,23 dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% yaitu 0,52-2,77. Nilai LL dan UL mencakup nilai 1, maka ibu dengan
kehamilan yang tidak diinginkan berisiko 1,23 kali lebih besar melahirkan bayi berat badan lahir
rendah (BBLR) dibandingkan dengan ibu dengan kehamilan yang diinginkan tetapi tidak
bermakna secara statistik. Ini dimungkinkan karena ibu yang tidak ingin memiliki anak pada saat
tersebut tetap menjaga kesehatan ibu selama masa kehamilan sehingga bayi yang dilahirkan
dengan berat badan normal.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yorita (2009)
menyatakan bahwa ibu dengan kehamilan yang tidak diinginkan mempunyai risiko 3,8 kali
melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibandingkan dengan ibu yang menginginkan
kehamilan.
Manfaat dari olah raga kehamilan adalah untuk meningkatkan stamina ibu sehingga
secara tidak langsung turut pula menjaga kesehatan anak yang akan dilahirkan, meningkatkan
keberhasilan persalinan normal melalui vagina yang berkaitan dengan meningkatnya kebugaran
(jantung dan paru) serta ketahanan fisik yang lebih baik dari si ibu, mampu mengejan lebih lama
tanpa kelelahan pada saat melahirkan, mempercepat kembali ke bentuk badan semula setelah
persalinan. Dari hasil penelitian, ibu yang tidak mempunyai kebiasaan melakukan olahraga pada
masa kehamilan lebih banyak pada ibu melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah (BBLR)
yaitu 64,18% dibandingkan dengan ibu yang melahirkan anak dengan berat badan lahir normal
(BBLN) yaitu 37,31%.
Hasil uji statistik menunjukkaan bahwa nilai odds ratio (OR) 3,01 dengan tingkat
kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,57-5,82. Nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1, maka ibu yang
tidak mempunyai kebiasaan melakukan olahraga pada masa kehamilan berisiko 3,01 kali lebih
besar melahirkan bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dibandingkan dengan ibu yang
mempunyai kebiasaan olahraga pada masa kehamilan dan bermakna secara statistik.
Melakukan olahraga saat hamil diketahui baik untuk kesehatan ibu dan juga berdampak
baik pada janin yang dikandungnya, yaitu meningkatkan kesehatan jantung bayi. Olahraga pada
trimester pertama atau saat plasenta terbentuk akan membantu membentuk pembuluh darah ekstra
sehingga ada kesempatan lebih banyak terjadinya pertukaran nutrisi antara ibu dan bayi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah
dan hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa subtanse abuse, olahraga kehamilan dan
komplikasi kehamilan berisiko terhadap kejadian bayi berat badan lahir rendahh (BBLR), serta
komplikasi kehamilan merupakan variabel confounding hubungan antara olahraga kehamilan
dengan kejadian BBLR. Bagi ibu di saat masa kehamilan sebaiknya melakukan olahraga agar
untuk menjaga kesehatan janin.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Ridwan. 2011. Pendekatan Epidemiologi Genetik Dalam Penanggulangan BBLR (Bayi
Berat Lahir Rendah) Di Indonesia. www.ridwan.amiruddin.wordpress.com.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

17

INDONESIA

JURNAL

Blake, Susan, dkk. 2007. Pregnancy Intentions and Happiness among Pregnant Black Women at
High Risk for Adverse Infant Health Outcomes. Article Persective on Sexual and
Reproductive Health. 39(4): 194-205.
Depkes RI. 2008. Manajemen Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Untuk Bidan Desa: Buku
Panduan. Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat.
Kusumawati, Yuli dan Multazamah. 2004. Hubungan Pendidikan dan Pengetahuan Gizi Ibu dengan
Berat Bayi Lahir di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Jurnal Infokes Vol 8 No 1 Maret
September 2004.
Nurjannah,
Siti.
2011.
Kehamilan
Tidak
Diinginkan
(KTD).
Artikel
http://agupenarembang.blogspot.com.
Pantikawati, Ika. 2010. Asuhan kebidanan I (Kehamilan). Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta.
Rahmadi. 2002. Konsumsi Pangan dan Status Gizi Ibu Hamil di Wilayah Puskesmas Banjar Selatan
Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan. Skripsi Jurusan Gizi Maasyarakat dan
Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sitohang, Nur Asnah. 2004. Asuhan Perawatan pada Bayi Berat Lahir Rendah. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan.
Siza, J.E. 2008. Risk factors associated with low birth weight of neonates among pregnant women
attending a referral hospital in northern Tanzania. Tanzania Journal of Health Research,
Vol. 10, No. 1.
Ward, Corinne, dkk. 2007. Prevalence Of Maternal Smoking And Enviromental Tobacco Smoke
Exposure During Pregnancy And Impact On Birth Weight: Retrospective Study Using
Millennium Cohort. BioMed Central Public Health.
Yorita, E, dkk. 2009. Risiko kejadian Bayi Berat Lahir Rendah pada Kehamilan yang Tidak
Diinginkan di Kabupaten Purworejo. etd.ugm.ac.id.

FAKTOR RISIKO KEJADIAN OBESITAS PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS


(SMA) NEGERI DI KOTA KENDARI
Lymbran Tina
Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Haluoleo Kendari
ABSTRACT
Obesity is a public health problem that needs attention. The objective of the research was
to invesitage the risk factor which could influance the obesity occurrence among Senior High
School Students (SMA) in Kendari year 2012. This was observational analytic research with the
design of a case control study . The case were students with obese whereas the control were
students non- obese. The number of samples was 146 students. Data analysis used were odds ratio
and logistic regression test. The results of the research that the variables which represents the risk
factors of the obesity occurrence in students are (OR = 2.52, 95% CI: 1.27 - 4.96), physical
activity (OR = 2.44, CI 95%: 1,25 - 4.75), diet (OR = 3.70, 95% CI: 1.86 - 7.35), family income
(OR = 5.52, 95% CI: 2.55 - 11.92 ), snack habits (OR = 2.30, 95% CI: 1.19 - 4.48) and the
amount of pocket money (OR = 3.55, 95% CI: 1.78 - 7.06). The food pattern the most influential
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

18

INDONESIA

JURNAL

risk factor toward of obesity occurrence in students (OR: 3,58, p = 0,002). Students are advised to
adjust the balance between food pattern and physical activity to prevent obesity.
Key words: Obesity, risk factor
.
PENDAHULUAN
Indonesia saat ini mengalami permasalahan gizi ganda, yaitu ketika permasalahan gizi
kurang belum terselesaikan, muncul masalah gizi lebih. Tingginya angka kesakitan dan kematian
ibu dan anak balita di Indonesia sangat berkaitan dengan buruknya status gizi, sementara pada
sekelompok masyarakat terutama di kota-kota besar masalah kesehatan masyarakat justru dipicu
dengan adanaya kelebihan gizi (Hadi, 2005). Obesitas mulai menjadi masalah kesehatan di seluruh
dunia, bahkan WHO menyatakan bahwa obesitas merupakan epidemi global, sehingga obesitas
sudah menjadi problem kesehatan yang harus segera ditangani. Saat ini di seluruh dunia terdapat
prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas hingga mencapai tingkat yang
membahayakan. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti Eropa, USA, dan Australia telah
mencapai tingkat epidemi, demikian pula di negara-negara berkembang. Obesitas tidak hanya
terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Prevalensi obesitas di Malaysia,
seperti yang dilaporkan Ismail (1999) mencapai mencapai 6,6 % untuk kelompok umur 7 tahun
dan menjadi 13,8 % pada umur 10 tahun. Menurut Ito Murata (1999), di Cina kurang lebih 10 %
anak sekolah mengalami obesitas pada anak usia 6-18 tahun yakni 5 11 % (Hadi, 2005).
Obesitas secara umum didefinisikan sebagai peningkatan berat badan yang disebabkan
oleh meningkatnya lemak tubuh secara berlebihan. Obesitas sering dihubungkan dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) dimana berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m 2). Anak dengan IMT
persentil (P) 85 di klasifikasikan sebagai berat badan lebih dan IMT P 95 di klasifikasikan
sebagai obesitas.
The National Health and Medical Research Council (NHMRC)
merekomendasikan penggunaan dari The United States Centers for Disease Control and
Prevention BMI percentile charts. Akhir-akhir ini terdapat peningkatan prevalensi obesitas
(Grace, 1995). Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh seberapa besar risiko riwayat keluarga,
aktifitas fisik, tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu,
kebiasaan jajan, dan jumlah uang saku terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA Negeri di Kota
Kendari Tahun 2012.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMKN 1 Kendari, SMAN 1 Kendari dan SMAN 4 Kendari.
Jenis penelitian menggunakan desain case control study.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua siswa SMA Negeri di Kota Kendari. Sampel sebanyak 146 yang
dipilih secara purpossive sampling yang telah memenuhi kriteria yaitu mempunyai indeks massa
tubuh (IMT) 25 untuk sampel kasus dan IMT 18,5 - 24,9 untuk sampel kontrol.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan responden
menggunakan kuesioner. Data karakteristik (Umur, Jenis Kelamin, Asal Sekolah), variabel yang
diteliti (riwayat keluarga, aktifitas fisik, tingkat pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu,
tingkat pengetahuan ibu, kebiasaan jajan, dan jumlah uang saku).
Analisis data
Data dianalisis dengan menggunakan odds rasio dan logistic regresi dengan
menggunakan program SPSS versi 16.
HASIL
Karakteristik sampel
Pada penelitian ini dilakukan matching umur dan jenis kelamin, sehingga frekuensi
responden antara kasus dan kontrol sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden menurut
umur lebih didominasi oleh umur 16 tahun sebesar 28 siswa (38,4%), yang terendah yaitu umur
18 tahun yaitu sebanyak 6 orang (4,1%). Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi karakteristik responden berdasarkan kasus kontrol

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

19

INDONESIA

JURNAL
Kejadian Obesitas pada Siswa
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

Variabel
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur (Tahun)
14
15
16
17
18
Asal Sekolah
SMKN 1 Kendari
SMAN 1 Kendari
SMAN 4 Kendari
Data Primer

Jumlah
n

34
39

46,6
53,4

34
39

46,6
53,4

68
78

46,6
53,4

5
22
28
15
3

6,8
30,3
38,4
20,4
4,1

5
22
28
15
3

6,8
30,3
38,4
20,4
4,1

10
44
56
30
6

6,8
30,3
38,4
20,4
4,1

19
33
21

26,0
45,2
28,8

19
33
21

26,0
45,2
28,8

38
66
42

26,0
45,2
28,8

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata jenis kelamin perempuan proporsinya lebih
besar dibandingkan laki-laki yakni 53,4 %. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa
siswa SMAN 1 Kendari mempunyai proporsi obesitas tertinggi yakni 45,2 %.
Analisis bivariat
Tabel 2 Analisis risiko variabel independen terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA
Negeri di Kota Kendari Tahun 2012 menunjukkan bahwa faktor risiko riwayat keluarga (OR =
2,52, CI 95% : 1,27 4,96), aktivitas fisik (OR = 2,44, CI 95% : 1,25 4,75), pola makan (OR =
3,70, CI 95% : 1,86 7,35), tingkat pendapatan keluarga (OR = 5,52, CI 95% : 2,55 11,92),
kebiasaan jajan (OR = 2,30, CI 95% : 1,19 4,48) dan jumlah uang saku (OR = 3,55, CI 95% :
1,78 7,06) merupakan faktor risiko kejadian obesitas. Tingkat pendidikan ibu OR=0,80 (95%
CI:0,41-1,54) dan tingkat pengetahuan ibu OR=1,24 (95% CI:0,59-2,63) bukan merupakan faktor
risiko kejadian obesitas pada siswa.

Tabel 2. Analisis risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA Negeri di Kota
Kendari Tahun 2012.
Kejadian obesitas pada siswa
Variabel
Riwayat keluarga
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Aktifitas fisik
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Pola makan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Tingkat pendapatan
keluarga
Risiko Tinggi

Kasus

Kontrol

Jumlah

OR
CI 95%

38
35

52,1
47,9

22
51

30,1
69,9

60
86

41,1
58,9

OR 2,51
(1,274,96)

43
30

58,9
41,1

27
46

37,0
63,0

70
76

47,9
52,1

OR 2,44
1,25-4,75

46
27

63,0
37,0

23
50

31,5
68,5

69
77

47,3
52,7

61

83,6

35

47,9

96

65,8

OR=3,7
1,87-7,35

OR=5,52

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

20

INDONESIA

JURNAL

2,5511,92
Risiko Rendah
Tingkat pendidikan ibu

12

16,4

38

52,1

50

34,2

Risiko Tinggi

38

52,1

42

57,5

80

54,8

Risiko Rendah
Tingkat Pengetahuan Ibu

35

47,9

31

42,5

66

45,2

Risiko Tinggi

20

27,4

17

23,3

37

25,3

Risiko Rendah
Jumlah Uang saku

53

72,6

56

76,7

109

74,7

Risiko Tinggi

43

58,9

21

28,8

64

43,8

Risiko Rendah
Kebiasaan Jajan

30

41,1

52

71,2

82

56,2

Risiko Tinggi

42

57,5

27

37,0

69

47,3

Risiko Rendah
Data Primer

31

42,5

46

63,0

77

52,7

OR=0,8
0,42-1,53
OR=1,24
0,58-2,62
OR=3,55
1,78-7,06
OR=3,7
1,87-7,35

Analisis Multivariat
Tabel 3 menunjukkan bahwa pola makan OR = 3,583 (CI 95% p=0,002) merupakan
faktor risiko yang paling berisiko terhadap kejadian obesitas pada siswa. Disarankan kepada siswa
untuk menjaga pola makan sehat dengan aktifitas fisik yang cukup sehingga dapat mencegah
obesitas serta upaya promosi Kesehatan oleh Dinas Kesehatan Kota Kendari, Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan dengan gaya hidup sehat tanpa obesitas.
Tabel 3.
Hasil uji regresi logistik yang paling berpengaruh terhadap kejadian
obesitas pada siswa SMA Negeri di Kota Kendari Tahun 2012.
Variabel Penelitian
Riwayat keluarga
Pola Makan
Aktivitas Fisik
Tingkat pendapatan Keluarga
Jumlah Uang Saku
Data Primer

B
0,822
1,276
1,071
1,335
0,768

S.E
0,408
0,407
0,410
0,444
0,408

Wald
4,052
9,824
6,841
9,030
3,544

Df
1
1
1
1
1

Sig.
0,044
0,002
0,009
0,003
0,060

Exp (B)
2,275
3,583
2,919
3,800
2,155

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terdapat beberapa aspek yang berisiko terhadap kejadian obesitas
pada siswa yaitu riwayat keluarga, aktifitas fisik, pola makan, tingkat pendapatan, kebiasaan jajan
dan jumlah uang saku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola makan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian obesitas pada siswa dimana hasil uji statistik menunjukkan nilai rasio odds
sebesar 2,51 (95% CI: 1.27-4,96). Dengan demikian adanya riwayat keluarga obesitas pada siswa
memiliki risiko 2,51 kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas dibandingkan dengan siswa
dengan tanpa riwayat keluarga obesitas. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup 1 maka
variabel pola makanmerupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Katharina (2009), dimana
dengan menggunakan desain case control disimpulkan bahwa siswa yang memiliki riwayat
keluarga dengan obesitas mempunyai kemungkinan 3,4 menderita obesitas dibandingkan dengan
siswa yang tidak mempunyai riwayat dengan obesitas pada siswa SMA Trisakti Medan. Penelitian
ini pula sejalan dengan yang dilakukan oleh Anto (2010).dimana dengan menggunakandesain
cross sectional study dapat disimpulkan riwayat keluarga berhubungan dengan kejadian obesitas
pada siswa SMP Mamuju Sulbar. Remaja yang mengalami obesitas cenderung memiliki riwayat
obesitas yang berasal dari keluarga. Orang tua yang mengalami obesitas berpeluang besar
mempunya anak dengan obesitas pula. Apalagi didukung dengan pola makan yang memang telah
terbentuk dalam keluarga. Hal ini juga tidak terlepas dari fase awal kehamilan, ibu yang
mengalami kelebihan berat badan memiliki risiko dengan kelahiran bayi yang normal atau lebih.
Bayi akan diberikan makanan terbaik yang dapat memenuhi kebutuhan serat pertumbuhannya
dengan baik.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

21

JURNAL

INDONESIA

Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) aktifitas fisik terhadap kejadian obesitas pada
siswa diperoleh nilai OR= 2,44 (95% CI: 1,27 - 4,96). Dengan demikian adanya aktifitas fisik
yang kurang memiliki risiko 2,44 kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas pada siswa. Oleh
karena nilai LL dan UL tidak mencakup angka satu maka variabel aktifitas fisik merupakan faktor
risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa. Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor penting
dalam timbulnya obesitas. Obesitas akan timbul apabila masukan energi melebihi penggunaan
energi untuk kepentingan metabolisme dan aktivitas fisik (Haas, 2003). Aktifitas fisik yang baik
akan dapat mencegah penyakit-penyakit seperti hipertensi dan Diabetes tipe II. Penelitian yang
dilakukan oleh Andrea (2003) di India mendapatkan bahwa gaya hidup sehat dengan aktivitas fisik
yang cukup dapat mencegah DM tipe II. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa aktivitas
fisik akan memperbaiki kesehatan jantung, dapat memperbaiki fungsi endotel, respon inflamasi
dan pertumbuhan otot polos pembuluh darah. Disamping itu, aktivitas fisik akan menurunkan
lemak tubuh total dan lemak abdominal. (Tjindi, 2004).
Siswa sekolah menengah atas pada umumnya mempunyai aktivitas yang hampir sama.
Ketika jam sekolah mereka mempunyai aktivitas yang hamper sama mulai dari jam tujuh pagi
hingga jam dua siang. Perbedaan terletak pada waktu dimana siswa tersebut telah pulang sekolah.
Tiap siswa memiliki aktivitas yang berbeda saat di rumah tentunya. Ada siswa yang hanya sibuk
dengan belajar dan nonton serta main game tetapi ada pula siswa yang mengisi kegiatan rumah
dengan kegiatan ektra yang banyak mengeluarkan keringat seperti lari sore, bersepeda, main
footsal, baskel dan lain-lain. Siswa yang aktif dengan kegiatan ektra tersebut tentunya memiliki
risiko yang rendah untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan siswa yang tidak mempunyai
kegiatan ektra. Risiko itu semakin bertambah jika siswa tersebut hanya sibuk dengan makan dan
ngemil di depan TV atau saat main game.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) pola makan terhadap kejadian obesitas pada
siswa diperoleh nilai OR= 3,7 (95% CI: 1,85 7,35). Dengan demikian adanya pola makan risiko
tinggi memiliki risiko 3,77 kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas pada siswa. Oleh karena
nilai LL dan UL tidak mencakup angka satu maka variabel pola makan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian obesitas pada siswa. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Faizah (2009) yang
menyatakan murid sekolah dasar dengan frekuensi makan lebih dari tiga kali per hari mempunya
risiko 3,7 kali mengalami obesitas dibandingkan dengan murid yang hanya memiliki frekuensi
makan kurang dari tiga kali sehari.
Faktor yang menyebabkan terjadinya kegemukan atau obesitas adalah tingginya asupan
gizi seseorang terutama asupan dari makanan yang tinggi kalori/energy dari karbohidrat dan lemak
(Brata, 2002). Pola makan yang cenderung berlebih baik itu dari jumlah dan frekuensinya dpat
menimbulkan obesitas. Dengan mengkonsumsi makanan dengan tinggi karbohidrat serta kolesterol
dan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup, maka akan terjadi penimbunan lemak
berlebih dalam tubuh yang disebut sebagai obesitas. Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR)
tingkat pendapatan terhadap kejadian obesitas pada siswa diperoleh nilai OR= 5,52 (95% CI: 2,55
- 11,92). Dengan demikian adanya tingkat pendapatan keluarga yang tinggi memiliki risiko 5,52
kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas pada siswa. Oleh karena nilai LL dan UL tidak
mencakup angka satu maka variabel tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor risiko terhadap
kejadian obesitas pada siswa.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anto (2010) dimana tingkat
pendapatan berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada anak SMP di Mamuju. Penelitian ini pula
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanty (2007) dimana dengan
menggunakan desain Case control study menhasilkan OR = 1 yang berarti tingkat pendapatan
bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada anak. Peningkatan pendapatan dapat
mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningkatan kemakmuran
dimasyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola
makan dari pola makan tradisional ke pola makan praktis dan siap saji yang dapat menimbulkan
mutu gizi yang tidak seimbang (Hidayati,2006).
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) jumlah uang saku terhadap kejadian obesitas
pada siswa diperoleh nilai OR= 3,55 (95% CI: 1,78 7,06). Dengan demikian adanya tingkat
jumlah uang saku yang tinggi memiliki risiko 3,55 kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas
pada siswa. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup angka satu maka variabel jumlah uang
saku merupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Anto (2010) dimana anak yang memiliki uang jajan berpengaruh
terhadap kejadian oensitas pada siswa SMP 2 Mamuju, Sulbar. Anak dengan jumlah uang saku
yang tinggi akan mudah dan leluasa untuk berbelanja termasuk jajan. Dengan adanya uang jajan
yang tinggi siswa atau remaja kapan saja dengan mudah membeli makanan-makanan yang
mempunya risiko tinggi sebagai penyumbang kalori yang bias menimbulkan obesitas.
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) kebiasaan jajan terhadap
kejadian obesitas pada siswa diperoleh nilai OR= 2,30 (95%CI: 1,19 4,48). Dengan demikian
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

22

JURNAL

INDONESIA

adanya kebiasaan jajan yang tinggi memiliki risiko 2,30 kali lebih besar untuk mengakibatkan
obesitas pada siswa. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai 1 maka variabel kebiasaan
jajan merupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA Negeri di Kota Kendari
Tahun 2012. Pola umum perilaku konsumen terhadap makanan jadi (jajanan) adalah bahwa
semakin tinggi pendapatan semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan jadi dari total
pengeluaran pangan. Sekitar seperlima pengeluaran pangan rumah tangga diperkotaan pada tahun
1996 dialokasikan untuk makanan jadi, sedangkan di pedesaan sekitar seperdelapan dari total
pengeluaran pangan (Budianto, 1998).
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian
obesitas pada siswa diperoleh nilai OR= 0,80 (95% CI: 0,41 1,54). Dengan demikian adanya
tingkat pendidikan yang tinggi memiliki risiko 0,80 kali lebih besar untuk mengakibatkan obesitas
pada siswa. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup angka 1 maka variabel jumlah tingkat
pendidikan ibu bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa.
Tingkat pendidikan orang tua khususnya ibu merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Suhardjo (1996)
mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah
tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan
sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orang tua
yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan
psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orang tua yang tingkat pendidikan rendah.
Hasil penelitian ini menunjukkan nilai Odds Ratio (OR) tingkat pengetahuan ibu terhadap
kejadian obesitas pada siswa diperoleh nilai OR= 1,24 (95% CI: 0,59 2,62). Dengan demikian
adanya tingkat pengetahuan ibu yang cukup memiliki risiko 1,24 kali lebih besar untuk
mengakibatkan obesitas pada siswa. Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai 1 maka variabel
tingkat pengetahuan ibu bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa
SMA Negeri di Kota Kendari Tahun 2012.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijayanty (2007), dimana
dengan menggunakan desain case control study dihasilkan nilai OR = 0,99 yang berarti tingkat
pengetahuan ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada anak. Pengetahuan yang
baik pada ibu tentang obesitas merupakan hal yang dpat mendukung untuk mencegah terjadinya
obesitas pada anak. Tetapi hal tersebut tidaklah manjadi dominan ketika tidak diikuti dengan pola
hidup sehat yang artinya bahwa perilaku menjadi kunci utama. Seorang ibu bisa saja memiliki
pengetahuan yang baik tentang bagaimana mencegah obesitas pada anak tetapi tidak diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari dikeluarga. Hal inilah yang menjadi masalah utama yaitu perilaku
sebagai wujud dari adanya pengetahuan. Berdasarkan analisis multivariat diketahui bahwa variabel
yang peling berpengaruh terhadap kejadian obesitas pada siswa SMA Negeri di Kota Kendari
adalah pola makan dengan nilai (Exp B : 3,585 Sig. 0,002).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah
dan hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa riwayat keluarga, aktifitas fisik, pola
makan, tingkat penadapatan keluarga, jumlah uang saku dan kebiasaan jajan merupakan faktor
risiko terhadap kejadian obesitas pada siswa. Disarankan kepada dinas kesehatan dan pendidikan
untuk melakukan promosi kesehatan yakti gaya hidup tanpa obesitas dengan mengatur pola makan
dan aktifitas fisik yang seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2007. Penilaian Status Gizi pada Remaja. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
Hidayati, (2006). Obesitas Pada Anak.(Online), diuduh 21 Desember 2011. Available from: URL:
HYPERLINK http://www.pediatric.com/.
Katharina, Nelly. 2008. Pengaruh Karakteristik Remaja, Genetik, Pendapatan Keluarga,
Pendidikan Ibu, Pola Makan, dan Aktivitas Fisik Terhadap Kejadian Obesitas di SMU
RK Tri Sakti Medan (Tesis). Medan: USU
Michaud DS. 2001. Physical Activity, Obesity, Height, Ang Risk Of Pancreatic Cancer. JAMA :
Vol. 286.
Proverawati, 2010. Obesitas dan Gangguan Perilaku Makan Pada Remaja. Yogyakarta: Muha
Medica..
Rissanen, 1991. Determinant of Weight Gain and Overweight in Adult Finns, Eur J Clin Nurt,
45:419-430.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

23

INDONESIA

JURNAL

Rumida, 2009. Pengaruh Perilaku Makan dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Obesitas pada
Pelajar SMU Methodist Medan Tahun 2009 (Tesis). Medan: USU.
Tarigan, N. 2007. Persepsi Citra Tubuh dan Kendala Untuk menurunkan Berat Badan pada
Remaja SLTP di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, Jurnal Gizi Sumatra Utara.
Medan: Dinas Kesehatan Sumatra Utara.
Welis, 2003. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Gizi Lebih pada Siswa SLTP Bina Insani
di Kota Bogor, Jawa Barat. . Depok: FKM UI
Wulandari, 2007. Self Regulated Behavior pada Masa Remaja Putri yang Mengalami Obesitas.

ANALISIS KEBERHASILAN TERAPI LINI I DIHIDROARTEMISININ PIPERAKUINE


PADA PENDERITA MALARIA DI PUSKESMAS WONRELI
KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA
Mathelda Aty Sarak
Dinas Koperasi dan UMKM Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku
ABSTRACT
The aim of the research is to analyze some factors related to the success of Line I
Dihidroartemisinin Piperakuin (DHP) therapy in Wonreli Health Center of Southwest Maluku
Regency.
The research was An observational study with cross sectional study design. The
populations were all people in the working area of wonreli Health Center in the Southern Islands
of Southwest Maluku Regency. There samples were all people who visited the Health Center who
positively suffered from falciparum or vivax malaria based on microscopic test and were ready to
be respondents consisting of 384 people they were selected by using exhaustive sampling method.
The data were analyzed by using chi square and logistic regression.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

24

INDONESIA

JURNAL

The results of the research reveal that the prevalence of falciparum malaria is 95,3% in
which 38,54% is the group of children under five and they are dominantly male (54,4%). The
factors related to the success of line I Dihidroartemisinin Piperakuin (DHP) therapy are right
weight dose (p = 0,000), obedience to take medicine (p = 0,000), the number of tablets (p =
0,000), drug dose based on body weight (p = 0,000), and drug dose based on age (p = 0,000),
while side effect, knowledge, and gender which are respectively 0,261, 1,000 and 0,239 are not
related to the success of line I Dihidroartemisinin Piperakuin (DHP) therapy. The variable most
related to the success of Line I DHP therapy is obedience to take medicine with Wald value 7,2.
Key words: therapeutic efficacy, drug compliance, accuracy of dose
PENDAHULUAN
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang tersebar luas di daerah tropis
maupun subtropik, menjadi masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia karena mempengaruhi
angka kesakitan bayi, balita dan ibu melahirkan serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa
(KLB). Menurut WHO setiap tahun sebanyak 600 juta penderita baru malaria dilaporkan dari
seluruh dunia terutama anak-anak dan perempuan hamil, dengan angka kematian lebih dari 3 juta
jiwa dan sebagian besar adalah anak-anak berumur dibawah lima tahun. Sepuluh dari sebelas
negara di Asia Tenggara merupakan daerah endemis malaria.Sekitar 96% dari penduduk yang
berisiko tertular malaria di Asia Tenggara tinggal di Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan
Thailand, dengan Annual Parasite Incidence (API) berkisar antara 1,71 2,21 per seribu penduduk
berisiko (Soedarto,2011).
Untuk mengurangi kasus malaria pemerintah telah membuat rencana pengendalian sejak
tahun 2008 yang meliputi kegiatan sosialisasi dan peningkatan kualitas pengobatan dengan
Artemisinin Combination Therapi di seluruh Indonesia, peningkatan pemeriksaan mikroskopis dan
penemuan penderita secara dini untuk diobati guna memutus mata rantai penularan. Sejalan
dengan itu, Harijanto (2009) mengatakan setelah penderita dicurigai secara klinis menderita
malaria, pemeriksaan laboratorium untuk menemukan parasit harus secepatnya dilakukan.
Pengobatan yang dianjurkan oleh WHO adalah pengobatan yang efektif, radikal,
membunuh semua stadium parasit yang ada dalam tubuh, dengan tujuan penyembuhan klinis,
parasitologik dan memutuskan rantai penularan. Berkembangnya resistensi pengobatan malaria
baik diluar negeri dan didalam negeri, menjadikan penanganan malaria menjadi sulit karena
potensi malaria berat yang dapat mengakibatkan kematian maupun meluasnya atau meningkatnya
kasus-kasus malaria. Sesuai perkembangan resistensi malaria secara global dan nasional, maka
komisi ahli malaria 2008 telah mengambil langkah baru dalam pengobatan malaria di Indonesia
dengan merekomendasikan dua pengobatan baru untuk malaria yaitu Artemether Lumefantrin
untuk sektor pengobatan swasta dan Dihidroartemisinin Piperakuin sebagai terapi lini I yang
kedua untuk pengobatan program Departemen Kesehatan. Kedua obat ini merupakan Fixed Dose
Combination sehingga pemberian lebih mudah dan pasien lebih patuh (Harijanto,2011).
Penelitian perbandingan efikasi Artemether Lumefantrin (AL) dan DihidroartemisininPiperakuin (DHP) yang dilakukan oleh Arinatwe.,dkkl (2009) ditemukan hasil bahwa hampir
semua kegagalan pengobatan disebabkan oleh infeksi baru bukan rekrudesensi. Risiko
rekrudesensi untuk AL adalah 1,0% sedangkan DHP hanya 0,3%. Sementara itu penelitian
perbandingan keamanan dan efikasi DHP dan AL terhadap penderita malaria falciparum tanpa
komplikasi yang dilakukan di Zambia oleh Nambozi.,dkk, 2011 di dapatkan hasil evaluasi pada
hari ke 14 ACPR untuk kedua pengobatan adalah 100%. Evaluasi hari ke 28 persentase pasien
dengan infeksi berulang secara signifikan lebih rendah pada DHP (7,8%) dibanding AL (25,6%).
Penelitian serupa yang dilakukan di Timika menunjukkan bahwa angka kejadian infeksi rekuren
pada hari ke 42 setelah pemberian DHP pada pasien P.falciparum adalah jauh lebih rendah (2,8%)
dibandingkan AAQ (13%), p = 0,01. Hal yang sama didapatkan pada infeksi P.vivax (angka
kekambuhan 6,7% pada kelompok yang diterapi DHP dan 30% pada kelompok AAQ, p < 0,001.
Berdasarkan stratifikasi peta malaria maka provinsi Maluku merupakan wilayah insidens
tinggi yang bila diproyeksikan ke seluruh kabupaten maka Kabupaten Maluku Barat Daya
merupakan wilayah endemis tertinggi dengan Annual Parasit Incidence (API) 22,8 per 1000
penduduk. Tingginya incidence malaria seperti ini memerlukan penatalaksanaan kasus yang baik
dengan kombinasi terapi yang efektif guna mencapai kesembuhan optimal dan memutuskan
rantai penularan.
Keberhasilan terapi Dihidroartemisinin Piperakuin (DHP) dengan angka infeksi ulang
yang relatif rendah membutuhkan kajian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang turut
mempengaruhi keberhasilan terapi ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan keberhasilan terapi lini I DHP untuk lebih meningkatkan keberhasilan
obat ini dalam penanganan malaria dan mencegah resistensi karena penyalahgunaannya.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

25

INDONESIA

JURNAL

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Wonreli Kabupaten Maluku Barat
Daya. Jenis penelitian yang digunakan adalah observational dengan menggunakan desain cross
sectional study.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas Wonreli Kecamatan
Pulau-pulau Terselatan Kabupaten Maluku Barat Daya. Sampel adalah semua masyarakat yang
berkunjung ke Puskesmas Wonreli yang dinyatakan positif plasmodium falciparum atau positif
plasmodium vivax dalam pemeriksaan mikroskopis dan bersedia untuk menjadi objek penelitian.
Jumlah sampel sebanyak 384 orang yang diambil secara exhaustive sampling yang telah
memenuhi kriteria inklusi yaitu infeksi tunggal P.falciparum atau P.vivax, berasal dari lokasi
penelitian dan tidak dalam keadaan hamil.
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan petugas lapangan terlatih menggunakan
kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang karakteristik umum (nama,umur, jenis
kelamin, pekerjaan dan berat badan), regimen antimalaria yang dipakai untuk pengobatan serta
tanggal dan hasil follow- up pemeriksaan darah tetes tebal setelah pengobatan selama 3 hari untuk
malaria falciparum atau 14 hari untuk malaria vivax, serta pertanyaan tentang variabel penelitian
yang terdiri dari ketepatan dosis, kepatuhan terapi, jumlah tablet, efek samping, dan
pengetahuan.Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Wonreli serta Dinas Kesehatan setempat.
Analisis data
Data karakteristik responden dan data faktor-faktor yang berhubungan dengan
keberhasilan terapi lini I dihidroartemisinin piperakuin diolah menggunakan SPSS for windows
17. Untuk menilai hubungan faktor ketepatan dosis, kepatuhan terapi, jumlah tablet, efek samping,
pengetahuan, dan dosis obat berdasarkan umur maupun berat badan digunakan uji chi square dan
regersi logistic. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang paling
berhubungan dengan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui interaksi antar variabel
bebas dalam memberikan kontribusi terhadap keberhasilan pengobatan.
HASIL
Karakteristik sampel
Tabel 1 memperlihatkan karakteristik penderita malaria yang menjadi sampel penelitian
berdasarkan umur dan jenis kelamin.. Sebagian penderita malaria adalah usia anak-anak dengan
rincian 0 11 bulan 7,8%; 1 4 tahun 30,7%; 5 9 tahun 16,4% dan
10 14 tahun 8,1%.
Berdasarkan jenis kelamin, 54,17% responden adalah laki-laki.

Tabel 1. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin di


Puskesmas Wonreli Tahun 2012.
Umur

Jenis Kelamin
Perempuan
%
n
%
7,2
15
8,5
30,3
55
31,3
17,8
26
14,8
9,1
12
6,8
35,6
68
38,6
100,0
176
100,0

Total

Laki-Laki
0 11 bln
1 4 thn
5 9 thn
10 14 thn
15 thn
Jumlah
Data Primer

n
15
63
37
19
74
208

n
30
118
63
31
142
384

%
7,8
30,7
16,4
8,1
37,0
100,0

Tabel 2 menunujukkan bahwa bila didistribusikan menurut pendidikan dan pekerjaan


maka 34,4% responden belum bersekolah dan 69,3% belum bekerja, hal ini disebabkan karena
sebagian besar responden adalah balita dan anak usia sekolah.
Analisis bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel
independen dengan dependen penelitian (hasil terapi lini I DHP). Uji chi square menunjukkan
bahwa faktor faktor yang berhubungan dengan keberhasilan terapi lini I dihidroartemisinin
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

26

INDONESIA

JURNAL

piperakuin adalah ketepatan dosis (p = 0,000); kepatuhan terapi (p = 0,000); jumlah tablet (p =
0,000); dosis berdasarkan berat badan (p = 0,000) dan dosis berdasarkan umur (p = 0,000)
sedangkan faktor efek samping obat, pengetahuan dan jenis kelamin tidak berhubungan dengan
keberhasilan terapi malaria dengan nilai p masing-masing 0,261; 1,000; dan 0,663.
Tabel 2. Distribusi Responden Penelitian Berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan di
Wilayah Kerja Puskesmas Wonreli Tahun 2012
Pendidikan
Belum sekolah
TK
SD
SMTP
SLTA
PT
Jumlah
Data Primer

n
132
45
56
23
79
49
384

%
34,4
11,7
14,6
6,0
20,6
12,8
100,0

Pekerjaan
Belum bekerja
Nelayan
Petani
PNS/TNI/Polri
Wiraswasta

266
5
45
60
8

%
69,3
1,3
11,7
15,6
2,1

Jumlah

384

100,0

Analisis multivariate
Untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan keberhasilan terapi,
dilakukan analisis multivariat melalui uji regresi logistic. Variabel yang memenuhi syarat untuk
ikut di uji adalah variabel yang mempunyai nilai p < 0,25, dengan demikian maka variabel yang
diuji adalah ketepatan dosis, kepatuhan terapi, jumlah tablet, dosis berdasarkan berat badan dan
dosis berdasarkan umur.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Hasil Uji Chi Square di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonreli Tahun 2012
Variabel Penelitian
X2
Ketepatan dosis
Kepatuhan terapi
Jumlah tablet
Efek Samping
Pengetahuan
Dosis obat menurut berat
badan
Dosis obat menurut umur
Jenis kelamin
Data Primer

84,483
115,676
113,093
1,841
0,011
74,505
18,072
0,239

Hasil Uji Chi Square


p
0,000
0,000
0,000
0,261
1,000
0,000
0,000
0,663

0,469
0,549
0,543
0,440
0,217

Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 5 variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan
dalam uji multivariat, maka variabel yang berhubungan dengan keberhasilan terapi malaria adalah
kepatuhan minum obat (p = 0,007) dan jumlah tablet (p = 0,042). Dari kedua variabel ini yang
paling berhubungan dengan keberhasilan terapi adalah kepatuhan minum obat dengan nilai p =
0,007 dan nilai Wald 7,214.
Tabel 4. Distribusi Variabel Berdasarkan Hasil Uji Multivariat di Wilayah Kerja Puskesmas
Wonreli Tahun 2012
Variabel
Ketepatan dosis
Kepatuhan minum obat
Jumlah tablet
Dosis berdasarkan berat
badan
Dosis berdasarkan umur
Constant
Data Primer

,453
1,589
1,207
,010

Wald
,446
7,214
4,121
,000

Sig.
,505
,007
,042
,988

,561
-6,548

2,146
59,832

,143
,000

PEMBAHASAN

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

27

JURNAL

INDONESIA

Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa aspek yang secara signifikan
mempengaruhi keberhasilan terapi Lini I dihidroartemisinin piperakuin yaitu ketepatan dosis,
kepatuhan terapi, jumlah tablet, dosis berdasarkan umur dan dosis berdasarkan berat badan.
Ketepatan dosis merupakan faktor penting dalam mencapai keberhasilan terapi malaria.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Wuryanto di Kabupaten Banjarnegara
(2010) yang menemukan bahwa ada pengaruh membagi dosis obat dengan keberhasilan terapi.
Ketepatan dosis juga dapat dicapai ketika obat yang digunakan tidak memberikan reaksi negatif
yang kuat sehingga secara psikologis akan menimbulkan ketakutan penderita untuk melanjutkan
penggunaannya. Terapi DHP sesuai hasil penelitian yang dilakukan di Zambia ditemukan DHP
aman dan berkhasiat baik dalam pengobatan malaria dan potensial digunakan sebagai baris
pertama alternatif pengobatan dengan ACPR adalah 100%. Salah satu strategi mencapai ketepatan
dosis pengobatan sebaiknya dimulai dengan melaksanakan protokol pengobatan yang benar, baik
yang diberikan berdasarkan berat badan maupun berdasarkan umur. Pengobatan yang diberikan
harus mengikuti paradigma pengobatan dan harus merupakan pengobatan radikal.
Secara teoritis, kepatuhan pasien merupakan faktor penting yang menentukkan
keberhasilan pengobatan. Diagnosa yang tepat, pemilihan obat serta pemberian obat yang benar
dari tenaga kesehatan ternyata belum cukup untuk menjamin keberhasilan suatu terapi jika tidak
dibarengi dengan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Kepatuhan merupakan fenomena
multidimensi yang ditentukan oleh lima dimensi yang saling terkait yaitu faktor pasien, faktor
terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan dan faktor sosial ekonomi. Penelitian Chuma
dkk., (2010) di Kenya menemukan bahwa ketidakpatuhan pengobatan merupakan salah satu
penghalang pengobatan yang efektif. Searah dengan penelitian yang telah dilaksanakan
sebelumnya maka pada penelitian ini juga didapatkan kesimpulan yang sama bahwa kepatuhan
berhubungan dengan keberhasilan terapi pada penderita malaria di wilayah kerja Puskesmas
Wonreli dengan nilai p = 0,000. Kepatuhan pasien juga merupakan salah satu bentuk upaya
pencegahan resistensi obat selain faktor selektif dalam memilih obat dan memperbaiki peresepan.
Pendekatan ini terbukti berhasil di Amerika Utara dan Eropa dalam memerangi resistensi
antibiotik. Selain kepatuhan pasien maka harus ditingkatkan pula kepatuhan petugas dalam
penggunaan OAM secara selektif dan terarah dengan memperbaiki diagnosa malaria khususnya
dengan pemeriksaan mikroskopik sehingga terapi OAM pada kasus yang bukan malaria dapat
dikurangi dan kemungkinan parasit terpajan pada kadar obat dibawah level dapat ikurangi.
Pendekatan lain adalah dengan follow up pasien secara ketat dan pengobatan ulang jika
diperlukan.
Secara teoritis banyaknya jumlah tablet yang harus dikonsumsi seringkali menjadi
penghambat kepatuhan penderita terhadap dosis pengobatan. Secara psikologis dengan melihat
jumlah obat yang banyak dengan bentuk tablet atau kapsul yang berukuran besar sudah
menimbulkan kekuatiran pasien untuk minum obat. Untuk terapi DHP bila pengobatan diberikan
berdasarkan umur maka penderita diatas 15 tahun harus mengkonsumsi obat antara 3 sampai
dengan 4 tablet sekali minum, bahkan bila dosis berdasarkan berat badan maka penderita bertubuh
besar harus menelan tablet lebih dari 4 sekaligus. Namun untuk mencapai keberhasilan terapi
maka ketepatan dosis dan kepatuhan terapi harus dilaksanakan. Sesuai hasil penelitian Nambozi
dkk.,(2011) DHP berkhasiat, aman dan ditoleransi baik dalam pengobatan malaria maka yang
terpenting adalah memberikan penjelasan yang akurat kepada penderita sehingga tidak ada rasa
takut dalam mengkonsumsi obat tersebut. Seringkali jumlah tablet yang diterima dari petugas
kesehatan cukup sesuai dosis namun penderita sendiri yang bertindak mengurangi jumlah tablet di
rumah yang berdampak pada kegagalan pengobatan atau ketidaksembuhan akibat dosis obat sudah
tidak tepat. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa penderita yang minum obat dengan jumlah
tablet yang cukup mempunyai peluang 18,8 kali untuk sembuh dibanding penderita yang minum
obat dengan jumlah tablet yang kurang.
Berat badan dikaitkan dengan pemberian dosis obat menunjukkan hubungan yang
bermakna dengan keberhasilan terapi (p = 0,000). Dalam terapi malaria pemberian dosis obat
dapat berdasarkan berat badan selain pemberian berdasarkan kategori umur. Untuk mencapai
ketepatan dosis obat sebaiknya pemberian obat didasarkan pada berat badan karena berkaitan
dengan struktur dan volume tubuh. Berdasarkan penelitian ini pemberian obat yang sesuai berat
badan berpeluang 10,4 kali untuk sembuh dibandingkan pemberian yang tidak sesuai berat badan,
dimana ditemukan 91,9% penderita mengalami kesembuhan.
Sebagaimana berat badan maka umur dikaitkan dikaitkan dengan pemberian dosis obat
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan keberhasilan terapi malaria (p =
0,000).Berdasarkan penelitian ini pemberian obat sesuai umur berpeluang 3,34 kali untuk sembuh
disbanding pemberian yang tidak sesuai umur. Walaupun demikian penelitian ini menjelaskan
bahwa peluang untuk sembuh lebih besar ketika pemberian oba didasarkan pada berat badan,
dimana pemberian sesuai berat badan badan berpeluang 10,4 kali (91,9%) untuk sembuh
sedangkan pemberian berdasarkan umur berpeluang 3,34 kali (87,2%) untuk sembuh.
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

28

INDONESIA

JURNAL

Hasil uji statistik multivariat terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap


keberhasilan terapi lini I DHP diperoleh hasil bahwa kepatuhan merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam keberhasilan pengobatan dengan nilai Wald 7,2.. Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun dosis obat yang diminum tepat dan jumlah tablet cukup tapi jika pasien tidak teratur
(patuh) terhadap protocol pengobatan maka keberhasilan terapi atau kesembuhan optimal tidak
akan dicapai.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa keberhasilan terapi malaria sangat ditentukan oleh faktor
kepatuhan penderita terhadap terapi yang diberikan selain faktor ketepatan dosis, jumlah tablet,
pemberian dosis obat berdasarkan berat badan serta pemberian dosis obat berdasarkan umur.
Upaya pencapaian keberhasilan terapi harus dilakukan melalui penjelasan tepat tentang dosis obat,
aturan pemakaian, dan akibat atau risiko dari ketidakpatuhan terapi serta pemeriksaan ulang darah
(follow up) harus dijadikan program wajib bagi setiap penderita malaria setelah mengkonsumsi
obat.
DAFTAR PUSTAKA
Adjuk,M; Agnamey,P; Babiker,A; Bormana,S. 2002. Amodiaquine-Artesunate Versus for
Uncomplicated Plasmodium Falciparum Malaria In African Children : A Randomised,
Multicentre Trial. www malariajournal com.
Badan POM RI. 2006.Info POM : Kepatuhan Pasien Faktor Penting Keberhasilan Terapi.
Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria Di Indonesia.Jakarta.
Djatmiko, Wahyu. 2010. Uji Efikasi Terapi Kombinasi Artesunate Amodiaquine Pada Malaria
Falciparum Tanpa Komplikasi di Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.
http://eprints undip.ac.id.
Harijanto, P.N. 2010. Malaria dari Molekular ke Klinis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mazigo, D.Humphery, Obasy Emanuel, Mauka Wilhelmus, Manyiri Paulina, Zinga Maria, Kweka
Eliningaya J., dkk 2010. Knowledge,Attitudes, and Practices about Malaria and Its
Control In Rural Northwest Tanzania. Research Article, Volume 2010.
Song, Jianpong. 2011. Randomized Trials of Artemisinin Piperaquine, Dihydroartemisinin
Piperaquine Phospate and Artemether Lumefantrine for the Treatment of Mulri Drug
Resistant Falciparum Malaria in Cambodia Thailand Border Area. Dalam
www.malariajournal.com.
Wuryanto, Arie. 2011. Beberapa Faktor Risiko Kepatuhan Berobat Penderita Malaria Vivax
(Studi Kasus di Kab.Banjarnegara). Dalam www.eprints.undip.ac.id. 16 November.
Zongo,Issaka; Dorsey,Grant; Rouamba, Noel; Halidou,Tinto. 2007. Artemether Lumefantrine
Versus Amodiaquine Plus Sulfadoxine Pyrimethamine for Uncomplicated Falciparum
Malaria in Burkina Faso : A Randpmised Non Inferiority Trial. Dalam www.
Malariajournal com.
ANALISIS MODEL PENCEGAHAN PENYAKIT HIPERTENSI
DI RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
Muhammad Azwar
Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Veteran Republik Indonesia, Makassar
ABSTRACT
Increased globalization in all fields, the development of technology and industry has
brought many changes in behavior and lifestyle, and environmental situations, for example:
changing of food consumption patterns, reduced physical activity and increasing environmental
pollution. This study aims to determine the relationship between knowledge, attitudes, action on
the model of hypertension in the department of disease prevention in DR. Wahidin Sudirohusodo
Hospital. The study design was cross sectional study. The sample size in this study with total of
253 outpatients who serve as the respondent by way of sampling Accidental sampling. Analyze
data using statistical tests Bivariate Fisher's exact and chi square and multivariate logistic
regression. The results showed the attitude of the model of primary prevention (p = 0.031),
secondary (p = 0.040), tertiary (p = 0.031), and measures of primary prevention model (p =
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

29

INDONESIA

JURNAL

0.029), secondary (p = 0.008) associated with incident hypertension. While knowledge on the
model of primary prevention (p = 0.276), secondary (p = 0.815), tertiary (p = 0.737) and tertiary
prevention measures in the model (p = 0.510) not associated with incident hypertension. The
results of multivariate logistic regression test showed that the action on secondary prevention
model is the most influential factors on the incidence of hypertension (Wald = 6072, p = 0.014).
The study is expected as a way to observe the social life of people with hypertension. They need
help, assistance, support from families of patients, adequate knowledge and understanding so that
they can avoid the complications of the disease and can live healthy and productive.
Keywords: Model Prevention, Disease Hypertension
PENDAHULUAN
Meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, adanya perkembangan teknologi dan
industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya hidup masyarakat, serta situasi
lingkungan, misalnya: perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya aktivitas fisik dan
meningkatnya polusi lingkungan. (Amiruddin, dkk 2007). Perubahan pola hidup oleh masyrakat
tanpa disadari telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan semakin
meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular seperti: hipertensi, penyakit jantung, tumor,
diabetes dan gagal ginjal. Penyakit hipertensi disebut sebagai the silent disease, juga merupakan
the silent killer, karena hipertensi tidak memperlihatkan tanda-tanda atau gejala di tingkat awal
tetapi dapat berujung pada kematian (Susanto, 2005). Penderita hipertensi biasanya tidak sadar
tentang penyakitnya sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Penyakit hipertensi tergolong
dalam klasifikasi penyakit subakut dan kronik yang memerlukan penanganan rutin dan kesadaran
dari penderitanya. (Ardiansyah 2010). Hasil survei pada tahun 2000 menunjukkan bahwa
kewaspadaan terhadap hipertensi (awareness) adalah 88%, sedikit menurun dibandingkan dengan
tahun 1993, yaitu 88,7% (Kurniawan, 2009).
Faktor risiko hipertensi meliputi faktor genetik yang tidak dapat dikontrol seperti:
keturunan, jenis kelamin, dan umur, dan faktor lain yang dapat dikontrol seperti: kegemukan,
kurang olah raga, merokok, alkohol, garam dan stres (Setiawan, 2006). Monitoring hipertensi
sangat penting untuk deteksi dini guna menghindari terjadinya komplikasi yang dapat berujung
pada kecacatan atau keparahan bahkan kematian. Hipertensi yang tinggi dan tidak terkontrol akan
menyebabkan berbagai komplikasi artherosclerotic dan komplikasi lainnya. Data menunjukkan
bahwa penderita hipertensi yang tidak diterapi 50% akan meninggal karena penyakit jantung
koroner dan gagal jantung, 33% karena stroke dan 10 15% karena gagal ginjal. Secara umum,
komplikasi vaskuler hipertensi dapat dibagi menjadi 2, yaitu hypertensive dan left venticel
hypertrophy (Sigarlaki, 2000).
Kelompok masyarakat di negara maju merupakan risiko tertinggi untuk mendapatkan
stroke, terutama bagi penderita yang tidak terkontrol dan tidak diobati. Banyak negara sampai
dengan 30% orang dewasa menderita tekanan darah tinggi, kemudian 50-60% kondisinya baik jika
mereka melakukan aktivitas fisik, menjaga berat badan agar tidak gemuk, dan makan sayur dan
buah. (Kodim, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh dari SubDin P2PL DinKes Propinsi Sulawesi Selatan
bahwa pada tahun 2008 jumlah kejadian hipertensi pada usia 45 tahun di unit rawat jalan
mencapai 31,33%, tahun 2009 menurun menjadi 20%, dan tahun 2010 meningkat mencapai
48,67% (DinKes SulSel, 2010). Model kerangka konsep pencegahan yang digunakn yaitu,
pencegahan primer, terdiri dari ;pengetahuan, sikap, dan tindakan, pencegahan, pencegahan
sekunder terdiri dari; pengetahuan, sikap, dan tindakan, dan pencegahan tersier, terdiri dari;
pengetahuan,sikap, dan tindakan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran gambar 1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, tindakan pada
model pencegahan penyakit hipertensi di RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini akan di lakukan RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jenis
penelitian yang digunakan adalah observasional dengan rancangan cross sectional study.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang datang memeriksakan diri di
RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2011. Sampel dalam penelitian ini adalah
sebanyak 253 pasien rawat jalan yang di pilih secara Accidental sampling, setiap individu yang
ditemui berobat di RSUP DR dijadikan sebagai sampel dan memenuhi kriteria.
Metode Pengumpulan Data
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

30

INDONESIA

JURNAL

Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara langsung dengan


responden berpedoman pada kuesioner yang telah tersedia berdasarkan daftar variabel penelitian
yang telah disusun.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan SPSS. Dilakukan analisis univariat untuk mengetahui
karakteristik responden. Analisis Bivariat untuk melihat hubungan variabel yang meliputi variabel
independen dan variabel dependen. Analisis multivariat untuk mengetahui varibael yang paling
berpengaruh pada model pencegahan hipertensi.
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo yang
menjadi sampel pada penelitian ini. Berdasarkan distribusi jenis kelamin yang paling banyak
terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 60,5% dan paling sedikit adalah laki-laki
yaitu sebanyak 39,5%.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Sampel di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Variabel
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Tidak Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
PT
Pekerjaan
Ibu Rumah Tangga
PNS
Pegawai Swasta
Pedagang
Jumlah
Data Primer

100
153

39.5
60.5

22
14
60
24
133

8.7
5.5
23.7
9.5
52.6

62
33
75
83
253

24.5
13.0
29.6
32.8
100,0

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan yang paling banyak terdapat pada
tingkat pendidikan PT yaitu sebanyak 52,6% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat
pendidikan SD yaitu sebanyak 5,5%. Distribusi berdasarkan pekerjaan responden yang paling
banyak pedagang yaitu 32,8% dan paling sedikit pada respoden yang memiliki pekerjaan sebagai
ibu rumah tangga yaitu 24,9%.

Analisis Bivariat
Pada tabel 2 hasil penelitian pengetahuan responden pada model pencegahan primer
responden paling banyak menderita hipertensi yaitu 76 orang (82,6%). Sedangkan dari 161 orang
responden memiliki tingkat pengetahuan cukup paling banyak menderita hipertensi yaitu 141
orang (87.6%). Hasil analisis uji statistik (Chi-Square) nilai p lebih besar 0.276 (p > 0,05), dengan
demikian maka Ho diterima yang berarti bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan
pada model pencegahan primer dengan penyakit hipertensi.
Tabel 2. Hubungan Tingkat Pengetahuan, sikap, dan tindakan pada Model Pencegahan
Primer, Sekunder, dan Tersier dengan Penyakit Hipertensi di RSUP. DR. Wahidin
Sudirohusodo
Penyakit Hipertensi
p
Jumlah
Positif
Negatif
n
%
n
%
N
%
Tingkat Pengetahuan
Pencegahan Primer
0.350
Kurang
76
82.6
16
17.4
92
100,0
Cukup
141
87.6
20
12.4
161
100,0
Pencegahan Sekunder
0.858
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

31

INDONESIA

JURNAL
Kurang
Cukup
Pencegahan Tersier
Kurang
Cukup
Sikap Responden
Pencegahan Primer

116
101

85.3
86.3

20
16

14.7
13.7

136
117

100,0
100,0

114
103

85.1
86.6

20
16

14.9
13.4

134
119

100,0
100,0

0,857

Negatif

193

87.7

27

12.3

220

100,0

Positif
Jumlah
Pencegahan Sekunder
Negatif
Positif
Pencegahan Tersier
Negatif
Positif
Tindakan Responden
Pencegahan Primer

24
217

72.7
85.8

9
36

27.3
14.2

33
253

100,0
100,0

177
40

88.1
76.9

24
12

11.9
23.1

201
52

100,0
100,0

0.047/
0.129

102
115

91.1
81.6

10
26

8.9
18.4

112
141

100,0
100,0

0.045/
0.135

Tidak Baik

83

92.2

7.8

90

100,0

Baik
Pencegahan Sekunder

134

82.2

29

17.8

163

100,0

Tidak Baik

141

90.4

15

9.6

156

100,0

76

78.4

21

21.6

97

100,0

151
66

84.8
88.0

27
9

15.2
12.0

178
75

100,0
100,0

Baik
Pencegahan Tersier
Tidak Baik
Baik
Data Primer

0,031/
0.145

0.038/
0.137
0.010/
0.167
0.561

Hasil penelitian sikap responden pada model pencegahan primer menunjukkan bahwa
dari 220 responden yang memiliki sikap negatif pada model pencegahan primer paling banyak
menderita hipertensi yaitu 193 orang (87.7%). Sedangkan dari 33 orang responden memiliki sikap
positif paling banyak menderita hipertensi yaitu 24 orang (72.7%). Hasil analisis uji statistik
(Fishers Exact) nilai p sebesar 0.031 (p < 0,05), dengan demikian maka Ho ditolak yang berarti
bahwa ada hubungan antara sikap responden pada model pencegahan primer dengan penyakit
hipertensi. Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai 0.145 ini berarti
hubungan lemah antara variabel sikap responden pada model pencegahan primer dengan penyakit
hipertensi atau kontribusi sikap pada model pencegahan primer dengan penyakit hipertensi adalah
sebesar 14,5% atau hubungannya lemah.
Hasil penelitian stindakan responden pada model pencegahan sekunder menunjukkan
menunjukkan bahwa dari 156 responden yang memiliki tindakan yang tidak baik pada model
pencegahan sekunder paling banyak menderita hipertensi yaitu 141 orang (90.4%). Sedangkan dari
97 orang responden yang memiliki tindakan baik paling banyak yang menderita hipertensi 76
orang (78.4%). Hasil analisis uji statistik (Chi-Square) nilai p sebesar 0.010 (p < 0,05), dengan
demikian maka Ho ditolak yang berarti bahwa ada hubungan antara tindakan responden pada
model pencegahan sekunder dengan penyakit hipertensi.
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai 0.167 ini berarti
hubungan lemah antara variabel tindakan responden pada model pencegahan sekunder dengan
penyakit hipertensi, atau kontribusi tindakan pada model pencegahan sekunder dengan penyakit
hipertensi adalah sebesar 16,7% atau hubungannya lemah
Analisis Multivariat
Pada tabel 3 variabel yang secara statistik bermakna berdasarkan hasil analisis dengan uji
regresi logistik, variabel yang paling berpengaruh terhadap penyakit hipertensi adalah tindakan
pada model pencegahan sekunder dengan nilai wald 6.072 (p = 0.014).
Tabel 3. Model Regresi Berganda Logistik Analisis Model Pencegahan Penyakit Hipertensi
di RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Variabel

Wald

Sig,

Exp(B)

95% CI
Lower
upper

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

32

INDONESIA

JURNAL
Sikap primer
Sikap sekunder
Sikap tersier
Tindakan primer
Tindakan sekunder
Constant
Data Primer

-0.809
-0.477
-0.634
-1.089
-0.966
0.87

2.904
1.268
2.356
5.438
6.072
0.297

0.088
0.260
0.125
0.020
0.014
0.586

0.445
0.620
0.531
0.337
0.381
1.333

0.176
0.270
0.236
0.135
0.176

1.129
1.424
1.192
0.841
0.821

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini terlihat bahwa ada beberapa aspek yang memiliki hubungan pada
model pencegahan hipertensi.
Pengetahuan, sikap, dan tindakan merupakan bagian dari teori perilaku. Perilaku dipandang
dari sudut biologis dan secara sosial merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan, dengan kata lain perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari
manusia itu sendiri sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berpikir, bersikap) untuk memberikan
respon terhadap situasi di luar subyek tersebut. Respon ini bersifat pasif atau tanpa tindakan dan
juga bersifat aktif atau dengan tindakan (Bustan, 2000). Masalah perilaku merupakan penyebab
timbulnya berbagai masalah kesehatan. Para ahli kesehatan responden sepakat bahwa untuk
mengatasinya diperlukan suatu upaya dalam proses pendidikan kesehatan responden. Melalui
proses tersebut diharapkan terjadinya perubahan perilaku menuju tercapainya perilaku sehat (Rosi,
2011).
Hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan pada model pencegahan primer dengan
kejadian hipertensi dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0.276 (p>0,05) hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pada model pencegahan
primer dengan penyakit hipertensi. Hubungan tingkat pengetahuan pada model pencegahan
sekunder dengan kejadian hipertensi dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar
0.815 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan pada
model pencegahan sekunder dengan penyakit hipertensi. Hubungan tingkat pengetahuan pada
model pencegahan tersier dengan penyakit hipertensi dengan uji statistik fishers exact diperoleh
nilai p sebesar 0.737 (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pengetahuan pada model pencegahan tersier dengan penyakit hipertensi. penelitian yang dilakukan
oleh (Rosi, 2011) terdapat hubungan pengetahuan pasien dengan kejadian hipertensi hal ini di
karenakan tingkat responden lebih banyak pada tidak tamat SD, hal yang sama pada penelitian
yang dilakukan oleh (Yuliana, 2007) bahwa tingkat pengetahuan memiliki korelasi dengan
kejadian hipertensi.
Tingkat pengetahuan dalam penelitian ini berupa tingkat pengetahuan dalam model
pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pengetahuan primer terdiri dari pengetahuan responden
tentang penyakit hipertensi secara umum, pengetahuan tentang maksud dari pencegahan primer
dan pengetahuan tentang apa saja yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
hipertensi. Pengetahuan sekunder meliputi pengetahuan responden mengenai pencegahan sekunder
secara umum, kemana mereka harus berobat jika sudah ada tanda atau gejala penyakit hipertensi
dan pengobatan apa yang harus dilakukan jika sudah menderita hipertensi. Pengetahuan tersier
meliputi pengetahuan responden tentang konsep pengetahuan tersier secara umum, penyakit apa
yang dapat muncul jika hipertensi semakin berat, obat yang digunakan untuk mencegah hipertensi
semakin berat dan ciri-ciri dari hipertensi yang semakin berat. Berdasarkan hasil penelitian ini,
didapatkan informasi bahwa tingkat pengetahuan responden, yaitu sebagian respoden memiliki
tingkat pengetahuan tinggi dan sebagian yang lain masih rendah. Namun, berdasarkan jawaban
responden atas pertanyaan pengetahuan, responden cenderung memiliki tingkat pengetahuan yang
tinggi. Pada umumnya responden sudah mengerti mengenai penyebab terjadinya penyakit
hipertensi, obat yang sebaiknya diminum jika menderita hipertensi, pemeriksaan yang harus
dilakukan jika telah menderita hipertensi. Namun, hal-hal mengenai penyakit hipertensi yang
semakin berat, ciri-ciri hipertensi komplikasi, pengobatan jika menderita hipertensi berat, belum
banyak di ketahui oleh responden.
Faktor sikap yang dikaji dalam penelitian ini meliputi sikap responden yang menderita
penyakit hipertensi, sikap terhadap pencegahan dan pengobatan, serta upaya yang dilakukan
responden jika telah menderita hipertensi agar tidak menderita hipertensi berat. Hasil analisis
hubungan sikap responden pada model pencegahan primer dengan kejadian hipertensi dengan uji
statistik fishers exact diperoleh nilai p sebesar 0.031 (p<0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara sikap responden pada model pencegahan primer dengan penyakit hipertensi.
Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai = 0.145 ini berarti hubungan

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

33

JURNAL

INDONESIA

lemah antara variabel tingkat pengetahuan pada model pencegahan primer dengan penyakit
hipertensi.
Hubungan sikap responden pada model pencegahan sekunder dengan penyakit hipertensi
dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0.040 (p<0,05) hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan antara sikap responden pada model pencegahan sekunder dengan penyakit
hipertensi. Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai = 0.129 ini berarti
hubungan lemah antara variabel tingkat pengetahuan pada model pencegahan sekunder dengan
penyakit hipertensi.
Hubungan sikap responden pada model pencegahan tersier dengan kejadian hipertensi
dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0.031 (p<0,05) hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan pada model pencegahan tersier dengan penyakit
hipertensi. Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai = 0.135 ini berarti
hubungan lemah antara variabel tingkat pengetahuan pada model pencegahan tersier dengan
penyakit hipertensi.
Menurut (Yoga, 2011) mengemukakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan
untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana suatu motif tertentu. Sikap bukan merupakan
suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku,
demikian pula sikap responden terhadap penyakit hipertensi masih merupakan reaksi tertutup.
Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari responden, baik pada tingkat pencegahan primer,
sekunder dan tersier selalu memberikan jawaban negatif, hal ini didukung karena pengetahuan
umum responden tentang penyakit hipertensi sudah ada, akan tetapi masih sulit direalisasikan
dengan tindakan. Walaupun pada kenyataannya sikap responden pada model pencegahan primer,
sekunder dan tersier pada umumnya positif, akan tetapi karena pada dasarnya responden
mengetahui faktor penyebab terjadinya hipertensi akan tetapi hal tersebut masih sering di
sepelehkan, misalnya pola makan yang tidak sehat, merokok, dan berolahraga tidak tetatur. Hal ini
dikarenakan karena kebanyakan pasien sudah berumur lanjut.
Tindakan merupakan suatu respon seseorang terhadap rangsangan atau stimulus dalam
bentuk nyata yang dapat diobservasi secara langsung melalui kegiatan wawancara dan kegiatan
responden, merupakan bentuk tindakan nyata atau tindakan seseorang. Terwujudnya sikap agar
menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau kondisi yang memungkinkan
misalnya faktor dukungan dari pihak keluarga, teman dekat, ataupun responden.
Hasil analisis hubungan tindakan responden pada model pencegahan primer dengan
kejadian hipertensi dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0.029 (p<0,05) hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan responden pada model pencegahan primer
dengan penyakit hipertensi. Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi diperoleh bahwa nilai =
0.137 ini berarti hubungan lemah antara variabel tindakan responden pada model pencegahan
primer dengan penyakit hipertensi. Hubungan tindakan responden pada model pencegahan
sekunder dengan penyakit hipertensi dengan uji statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar
0.008 (p<0,05) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan responden pada model
pencegahan sekunder dengan penyakit hipertensi. Hasil uji kekuatan hubungan dengan uji Phi
diperoleh bahwa nilai = 0,167 ini berarti hubungan lemah antara variabel tindakan responden
pada model pencegahan sekunder dengan penyakit hipertensi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Ismhun, 2001) tindakan kejadian hipertensi lebih banyak di pengaruhi oleh obesitas dan
kebiasaan merokok. Pencegahan yang efektif juga bias dilakukan dengan penggunaan garam pada
jenis makanan, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Vasdev dkk, 2010) bahwa
ada hubungan antara pengguanaan garam dengan kejadian hipertensi.
Hubungan tindakan responden pada model pencegahan tersier dengan kejadian hipertensi
dengan uji (p>0,05) hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tindakan responden
pada model pencegahan tersier dengan penyakit hipertensi.
Tindakan responden pada model pencegahan primer meliputi tindakan responden untuk
mencegah terjadinya penyakit hipertensi, yang meliputi apakah responden melakukan upaya-upaya
pencegahan seperti menghindari konsumsi garam yang berlebihan, berolahraga secara teratur,
menghindari konsumsi alkohol, tidak merokok, dan menghindari stress yang berlebihan. Tindakan
responden pada model pencegahan primer pada umumnya sudah baik, tetapi dari hasil wawancara
dengan responden masih banyak yang terkendala dengan gaya hidup. Hal ini tidak sejalan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh (Gunawan, 2005), ada hubungan antara tindakan berhubungan
dengan kejadian hipertensi dengan nilai statistik Chi-Square diperoleh nilai p sebesar 0.010,
dengan cara pemberian jus belimbing kepada penderita hipertensi.
Tindakan responden pada model pencegahan sekunder adalah bagaimana responden
melakukan upaya pengobatan ketika mulai menderita hipertensi. Jika menderita hipertensi,
sebagian responden lebih memilih berobat ke puskesmas walaupun masih ada sebagian responden
yang melakukan pengobatan tradisional seperti penggunaan mentimun dan labu siam. Penggunaan
obat tradisional oleh responden maupun pembelian obat di warung diakui oleh responden di
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

34

INDONESIA

JURNAL

konsumsi sebagai alternatif apabila belum memperoleh pemeriksaan kesehatan dari petugas
kesehatan dan pemberian obat dari petugas kesehatan.
Tindakan responden pada model pencegahan tersier meliputi tindakan apa yang dilakukan
oleh responden jika mereka sudah menderita agar penyakitnya tidak menjadi lebih parah.
(Michael, 2008) kejadian hipertensi harus secepatnya dilakukan tindakan pengobatan agar tidak
terjadi komplikasi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tindakan pada model pencegahan primer, sekunder, dan tersier berhubungan dengan
kejadian hipertensi. Tindakan pada model pencegahan primer dan sekunder berhubungan dengan
kejadian hipertensi sedangkan tindakan pada model pencegahan tersier tidak berhubungan dengan
kejadian hipertensi. Tindakan pada model pencegahan sekunder merupakan variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian hipertensi. Studi ini diharapkan sebagai jendela dalam mengamati
kehidupan sosial penderita hipertensi. Bahwa mereka butuh pertolongan, bantuan, dukungan dari
keluarga pasien, dan pemahaman pengetahuan yang memadai agar mereka dapat terhindar dari
komplikasi penyakit dan bisa hidup sehat serta produktif.
DAFTAR PUSTAKA
Bustan, MN, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan, 2010. Hipertensi Penyebab Utama Penyakit Jantung,
(Online), http://www.dinkes-sulawesiselatan.go.id), diakses 17 Desember 2011.
Ismahun, 2001. Hubungan Obesitas dan Kebiasaan Merokok Dengan Hipertensi Esensial
Penderita Hipertensi Usia 20-44 Tahun. PPS UNDIP.
Michael. J., Mulvany S. 2008. Artery Remodelling in Hypertension: Causes, Consequences and
Therapeutic Implications. International Federation for Medical and Biological
Engineering. Med Biol Eng Comput (2008) 46:461467.
Setiawan, 2006. Usia Merokok pertama kali merupakan faktor yang meningkatkan kejadian
hipertensi: Besar risiko kejadian hipertensi menurut pola merokok, Jurnal Kedokteran
Yarsi, Surabaya
Sigarlaki, J.O.H. 2000. Model Penanggulangan Penyakit Hipertensi di RSU FK-UKI Jakarta.
Jurnal Kedokteran YARSI, 9 (1) : 28-38
Sindang, N. 2006. Pengaruh Olahraga Terhadap Penurunan Tekanan darah Pada Penderita
Hipertensi di Club Jantung Sehat Bhumi Phala Temanggung, Tesis Ilmu Kesehatan
Masyarakat UGM.
Vasdev. S., Vicki D., Gill. Randell. Edward. 2010. Fructose and moderately high dietary
salt-induced hypertension: prevention by a combination of N-acetylcysteine and
L-arginine, Springer Science Business Media, Mol Cell Biochem (2010). 337:9
16
ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN RETENSIO PLASENTA DI RUMAH SAKIT
KHUSUS DAERAH (RSKD) IBU DAN ANAK SITI FATIMAH
KOTA MAKASSAR TAHUN 2012
Nuraeni
Dinas Kesehatan, Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Kabupaten Pohuwato
Provinsi Gorontalo
ABSTRACT
The aim of the research is to find out the risk factors related to the occurrance of retained
placenta in Special Mother-Child Hospital of Siti Fatimah, Makassar. The research was an
observational analytic study with a case control study. The sample was selected by using
purposive sampling method consisting of 140 people in which the comparison between case and
control is 1:1. The data were analyzed by using Odds Ratio and Logistic regression. The results of
the research reveal that the risk factors significantly influence the occurrance of retained placenta
are parity OR = 5.708 (CI 95% : 2.456 to 13.263), the history of caesarean OR = 4.768 (CI 95% :
2.334 to 9.739), childbirth induction OR = 4.543 (CI 95%: 2.220 to 9.294), and the history of
curettage and dilation OR = 13.409 (CI 95% : 5.867 to 30.646). On the other hand, the risk
factor that are not statistically significant on the occurrance of retained placenta are anemia OR
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

35

JURNAL

INDONESIA

= 0.630 (CI 95% : 0.308 to 1.290), and the implementation of active management of third stage
OR = 2.167 (CI 95% : 0.700 to 6.703). Meanwhile, the history of curettage and dilatation is the
variable having greater risk factor compared to other factors.
Keywords: Retained Placenta, Anemia, Parity, History of Caesarean Section, Active Management
of Third Stage, Childbirth Induction, History of Curettage And Dilatation
PENDAHULUAN
Retensio Plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah
kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan dan
infeksi karena jaringan ini dapat berdegenerasi ganas korio karsinoma (Manuaba, 2002).
Menurut statistik kesehatan World health Organizaton (WHO) Tahun 2009, setiap tahun
diperkirakan sebanyak 536.000 wanita meninggal dunia akibat komplikasi yang berhubungan
dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Tragisnya 99% kematian ini terjadi di Negara-negara
berkembang. Rasio kematian ibu secara global 400 per 100.000 kelahiran hidup. Data mengenai
angka kematian ibu di beberapa Negara ASEAN tercatat; Vietnam 95/100.000 kelahiran hidup,
Malaysia 30/100.000 kelahiran hidup, Singapura 9/100.000 kelahiran hidup (Rasyad, 2011).
Penyebab kematian ibu di Indonesia 90% didominasi oleh Trias Klasik yaitu perdarahan
(40%), infeksi (30%), dan eklampsia (20%). Kematian ini umumnya dapat dicegah bila
komplikasi kehamilan dan risiko tinggi lainnya dapat dideteksi sedini mungkin, kemudian
mendapat penanganan yang adekuat. Saat yang paling kritis adalah masa sekitar persalinan dengan
mengantisipasi risiko yang mungkin timbul yang merupakan upaya pencegahan kematian ibu dan
janin (Wiknjosastro, 2006). Penyebab utama kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan 67%
(atonia uteri) dan persalinan dengan retensio plasenta (40%). Perdarahan terjadi 10 kali lebih
sering pada saat persalinan (Wiknjosastro, 2006). Retensio plasenta diartikan sebagai belum
lahirnya plasenta lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Dimana secara umum faktor utama
penyebabnya adalah kondisi maternal seperti gravida berusia lanjut, adanya anemia, paritas,
riwayat operasi caesar, induksi persalinan, riwayat kuret dan dilatasi, usia ibu saat melahirkan dan
faktor lingkungan pada tingkat pendidikan, sosial ekonomi, pelayanan kesehatan antara lain
pemeriksaan kehamilan (ANC) (Hakimi, 1996).
Berdasarkan data dari RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar Pada Tahun 2010
terdapat 3140 persalinan dengan komplikasi persalinan sebanyak 204 (6,50%) dengan gambaran
kejadian preeklampsia sebanyak 61 (29,90%), perdarahan sebanyak 63 (30,88%), dan infeksi
sebanyak 80 (39,22%).
Dengan melihat banyak faktor penyebab terjadinya retensio plasenta, maka perlu untuk
dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berisiko
terhadap kejadian retensio plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota Makassar. Jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case control
study).
Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh ibu yang melahirkan di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Kota
Makassar. Sampel sebanyak 140 orang, dimana jumlah kasus adalah 70 sampel dan kontrol adalah
70 sampel yang dipilih secara random sampling melalui teknik purposive sampling, yang telah
memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu yang mengalami retensio plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti
Fatimah dan bersedia mengikuti penelitian ini. Kasus adalah ibu yang melahirkan mengalami
retensio plasenta dan kontrol adalah ibu yang melahirkan tidak mengalami retensio plasenta.
Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan SPSS. Dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui
besar risiko terhadap kejadian retensio plasenta digunakan analisis Odds Ratio (OR). Analisis
multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian retensio
plasenta digunakan uji Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding
digunakan analisis stratifikasi.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

36

INDONESIA

JURNAL
HASIL

Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik ibu yang menjadi sampel pada penelitian ini. Distribusi
umur yang paling banyak pada ibu dengan umur 31 40 tahun yaitu sebanyak 47,1% dan paling
sedikit pada ibu dengan umur lebih dari 40 tahun yaitu sebanyak 2,99%.
Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah


Variabel

Umur
< 20
21 30
31 40
> 40
Tingkat Pendidikan
SD
SLTP
SLTA
PT
Jenis Pekerjaan
IRT
PNS
WIRASWASTA
Data Primer

Kasus

Kontrol

Jumlah

4
31
33
2

5,7
44,3
47,1
2,9

4
31
33
2

5,7
44,3
47,1
2,9

8
62
66
4

5,7
44,3
47,1
2,9

17
9
36
8

24,3
12,9
51,4
11,4

17
20
30
3

24,3
28,6
42,9
4,2

34
29
66
11

24,3
20,7
47,1
7,9

49
8
13

70,0
11,4
18,6

48
3
19

68,6
4,3
27,1

97
11
32

69,3
7,9
22,9

Distribusi tingkat pendidikan ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada ibu
dengan tingkat pendidikan SLTA yaitu 51,4% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat
pendidikan perguruan tinggi yaitu 11,4%. Sedangkan pada ibu pada kelompok kontrol paling
banyak pada ibu dengan tingkat pendidikan SLTA yaitu 42,9% dan paling sedikit pada ibu dengan
tingkat pendidikan perguruan tinggi yaitu 4,2%.
Distribusi pada jenis pekerjaan ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada ibu
rumah tangga (IRT) yaitu 70,0% dan paling sedikit pada ibu yang PNS yaitu 11,4%. Sedangkan
pada ibu pada kelompok kontrol paling banyak pada ibu rumah tangga (IRT) yaitu 68,6% dan
paling sedikit pada ibu yang PNS yaitu 4,3%.
Analisis
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang menderita anemia memiliki risiko 0,630
kali terjadinya retensio plasenta dibandingkan responden yang tidak menderita anemia. Dengan
nilai 95% CI 0,308-1,290, anemia tidak bermakna secara statistik maka anemia bukan merupakan
faktor risiko kejadian retensio plasenta.
Tabel 2.

Besar Risiko Kejadian Retensio Plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel

Anemia
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Paritas
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Riwayat operasi caesar
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Implementasi manajemen
aktif kala III
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Induksi persalinan
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Riwayat Kuret dan

Kejadian BBLR
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

95% CI

19
51

27,1
72,9

27
44

37,1
62,9

0,630

0,308-1,290

0,205

32
38

45,7
54,3

9
61

12,9
87,1

5,708

2,456-13,263

0,000

49
21

70,0
30,0

23
47

32,9
67,1

4,768

2,334-9,739

0,000

10
60

14,3
85,7

5
65

7,1
92,9

2,167

0,700-6,703

0,172

44
26

62,9
37,1

19
51

27,1
72,9

4,543

2,220-9,294

0,000

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

37

INDONESIA

JURNAL
Dilatasi
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Data Primer

50
20

71,4
28,6

11
59

15,7
84,3

13,409

5,867-30,646

0,0000

Responden yang memiliki paritas 4 memiliki risiko 5,708 kali terjadinya retensio plasenta
dibandingkan responden yang memiliki paritas < 4.
Responden yang mempunyai riwayat operasi caesar sebelumnya memiliki risiko 4,768 kali
terjadinya retensio plasenta dibandingkan responden yang tidak mempunyai riwayat operasi caesar
sebelumnya.
Responden dengan kesalahan implementasi manajemen aktif kala III memilik risiko 2,167
kali terjadinya retensio plasenta dibandingkan responden dengan implementasi manajemen aktif
kala III secara benar. Dengan nilai 95% CI 0,700-6,703, implementasi manajemen aktif kala III
tidak bermakna secara statistik maka implementasi manajemen aktif kala III bukan merupakan
faktor risiko kejadian retensio plasenta.
Responden dengan tanpa pemberian induksi persalinan memiliki risiko 4,543 kali terjadinya
retensio plasenta dibandingkan responden dengan pemberian induksi persalinan.
Responden dengan riwayat kuret dan dilatasi sebelumnya memiliki risiko 13,409 kali
terjadinya retensio plasenta dibandingkan responden yang tidak pernah mengalami riwayat kuret
dan dilatasi sebelumnya.
Analisis stratifikasi variabel induksi persalinan mempengaruhi hubungan riwayat kuret dan
dilatasi dengan kejadian Retensio Plasenta, dimana terjadi peningkatan nilai OR adjust
dibandingkan dengan nilai Mantel-Hanzsel combined yaitu 13,65% (> 10%) dan tidak ada
interaksi (test of homogeneity dengan p > 0,05) (tabel 3).
Tabel 3. Hasil Analisis Faktor Confounding Induksi Persalinan Terhadap Hubungan Riwayat
Kuret dan Dilatasi Dengan Kejadian Retensio Plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel yang Diduga
Confounding
Induksi Persalinan

Orc

M-H
combine
d

95% CI

Koef.
Confounding
(>10%)

Homogeneity
test
(p>0,05)

13,4
1

11,58

3,81-36,95

13,65%

0,95

Data Primer
Analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) kejadian
retensio plasenta adalah 94,6% (P = 0,946 dengan nilai y = 2,86) pada kondisi ibu yang
mempunyai riwayat kuret dan dilatasi, mempunyai riwayat operasi caesar dan ibu yang melahirkan
tanpa pemberian induksi persalinan dengan formula P = 1/(1+exp-y) (tabel 4).

Tabel 4. Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian Retensio
Plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel
Riwayat Kuret dan Dilatasi
Induksi Persalinan
Constant
y = 2,86
P = 0,946
Data Primer

Coef.

OR

Sig.

2,15
1,37
-10,551

8,55
3,92

0,000
0,000

Lower
3,28
1,54

95% CI
Upper
22,32
9,94

PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan mempengaruhi
kejadian retensio plasenta yaitu paritas, riwayat operasi caesar, induksi persalinan dan riwayat
kuret dan dilatasi.
Anemia dapat mengurangi daya tahan tubuh ibu dan meninggikan frekuensi komplikasi
kehamilan serta persalinan, yang dapat menyebabkan peningkatan terjadinya retensio plasenta.
Rasa cepat lelah pada penderita anemia disebabkan metabolisme energi oleh otot tidak berjalan
secara sempurna karena kekurangan oksigen. Selama hamil diperlukan lebih banyak zat besi untuk
menghasilkan sel darah merah karena ibu harus memenuhi kebutuhan janin dan dirinya sendiri dan

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

38

JURNAL

INDONESIA

saat bersalin ibu membutuhkan hemoglobin untuk memberikan energi agar otot-otot uterus dapat
berkontrasi dengan baik.
Pemeriksaan darah sebaiknya dilakukan minimal dua kali selama kehamilan, yaitu pada
trimester I dan trimester III untuk mengetahui kadar hemoglobin ibu selama hamil. Bila kadar
hemoglobin rendah dapat dicegah dengan pemberian makanan kaya zat besi. Kegiatan pencegahan
dan penanggulangan masalah anemia sangat penting untuk dilakukan yaitu berupa pemberian
tablet Fe sebanyak 90 tablet selama masa kehamilan untuk mencegah terjadinya retensio plasenta
dan perdarahan postpartum primer (Lubis, 2011).
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) anemia terhadap kejadian
retensio plasenta diperoleh nilai OR= 0,630 (95% CI : 0,308-1,290). Nilai 0,630 dianggap tidak
bermakna secara statistik antara anemia dengan kejadian retensio plasenta, atau anemia merupakan
faktor protektif terjadinya retensio plasenta.
Pada penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi ibu yang mengalami anemia pada
kelompok kontrol sebanyak 37,1% lebih tinggi dibanding pada kelompok kasus sebanyak 27,1%.
Meskipun pada kelompok kontrol lebih banyak mengalami anemia akan tetapi tidak terjadi
retensio plasenta karena hampir semua kasus persalinan telah dilakukan manajemen aktif kala III
secara tepat dan diyakini efektif untuk mengurangi terjadinya retensio plasenta.
Peneltian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, dkk (2003)
yang menemukan bahwa ibu hamil dengan anemia berisiko 3,8 kali mengalami perdarahan
postpartum dibanding ibu yang tidak anemia. Penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sukmawati (2009) yang menemukan ibu-ibu hamil yang menglami anemia
(kadar hemoglobin <10mg/dl pada trimester III mempunyai peluang 2.500 kali mengalami
komplikasi pada saat persalinan dibandingkan ibu hamil yang tidak mengalami anemia.
Paritas adalah keadaan pada wanita yang telah melahirkan janin yang beratnya 500 gram
atau lebih, mati atau hidup dan apabila berat badan tidak diketahui maka dipakai batas umur
gestasi 22 minggu terhitung dari hari pertama haid terakhir yang normal (UNPAD, 1998). Pada
keadaan paritas lebih dari 1 atau pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada
endometrium yang mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada
persalinan sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi dan janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan
menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta adhesiva sampai
perkreta. Ashar Kimen mendapatkan angka kejadian tertinggi retensio plasenta pada multipara,
sedangkan Puji Ichtiarti mendapatkan kejadian retensio plasenta tertinggi pada paritas 4-5
(Cahyono, 2000).
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) paritas terhadap kejadian
retensio plasenta diperoleh nilai OR = 5,708 (95% CI : 2,456-13,263). Oleh karena nilai LL dan
UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 5,708 dianggap
bermakna secara statistik.
Pada penelilitian ini diperoleh hasil paritas tinggi ( 4) mengalami retensio plasenta
sebanyak 45,7% dibanding paritas rendah (< 4) sebanyak 12,9%, karena paritas tinggi akan
membuat uterus menjadi renggang, sehingga dapat menyebabkan kelainan letak janin dan plasenta
yang akhirnya akan terjadi retensio plasenta.
Pada kasus bekas operasi sebelumnya dimana dapat ditemukan otot polos uterus gagal
berkontraksi untuk menjepit pembuluh darah spiral ditempat perlengketan plasenta sehingga
terjadi retensio plasenta dan perdarahan postpartum yang sangat cepat (Bangun, 2002)
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) riwayat operasi Caesar
terhadap kejadian retensio plasenta diperoleh nilai OR = 4,768 (95% CI : 2,334-9,739). Oleh
karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai
4,768 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Soltan, dkk (1997) dengan desain case
control yang menemukan bahwa ibu dengan riwayat operasi Caesar sebelumnya merupakan faktor
risiko kejadian retensio plasenta dengan hasil analisis logistik p value = 0,0001 dengan OR = 5,52
(95% CI : 2,09-15,07).
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh Owolabi, dkk (2008) dengan desain
case-control pada 120 ibu dengan retensio plasenta menemukan bahwa ibu dengan riwayat
operasi Caesar sebelumnya merupakan faktor risiko kejadian retensio plasenta dengan hasil
analisis logistik p value < 0,006, OR = 12,00 (95% CI : 2,05-70,19).
Sebagian besar pertolongan persalinan dengan menggunakan Manajemen Aktif Kala III
menunjukkan perdarahan < 250 cc, hal ini disebabkan oleh penyuntikan obat oksitoksin secara
tepat dosis dan tepat waktu. Menurut Saifuddin (2002), penyuntikan oksitoksin IU secara
intramuskuler akan merangsang fundus untuk berkontraksi dengan kuat dan efektif, sehingga
terjadi pengecilan luas implantasi plasenta, maka perdarahan dapat dihentikan. Manfaat tindakan

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

39

JURNAL

INDONESIA

peregangan tali pusat terkendali meyebabkan plasenta cepat lahir, karena tindakan yang dilakukan
secara aktif dapat mengurangi risiko retensio plasenta (Santosa, 2010).
Kejadian retensio plasenta di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah sebagian besar terjadi pada
pasien rujukan yang berasal dari puskesmas yang ada di wilayah Kota Makassar maupun rujukan
dari luar Kota Makassar. Hal ini disebabkan oleh persalinan ditolong oleh dukun beranak dan
bidan yang tidak menerapkan Implementasi Manajemen Aktif Kala III secara benar.
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) implementasi manajemen
aktif kala III terhadap kejadian retensio plasenta diperoleh nilai OR = 2,167 (95% CI: 0,700-6,703.
Oleh karena nilai LL dan UL mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai
2,167 dianggap tidak bermakna secara statistik, artinya implementasi manajemen aktif kala III
bukan merupakan faktor risiko terjadinya retensio plasenta.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Hadi (2008) dengan desain crosssectional menemukan bahwa rata-rata lamanya kala III pada yang melaksanakan sesuai APN yaitu
282 detik, yaitu lebih cepat dibanding yang tidak sesuai APN yaitu 365 deti (p < 0,001). Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh Hadi (2008) dengan desain cross-sectional
menemukan bahwa sebagian besar pertolongan dengan menggunakan metode manajemen kala III
dapat mencegah perdarahan yang melebihi 2500 cc (p<0,001).
Adanya perdarahan yang terjadi pada pertolongan persalinan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, semata-mata karena faktor lain seperti paritas ibu lebih dari 2 pada multipara, atau
besar bayi lebih 3500 gram, menurut Mochtar (1998) mengakibatkan peregangan uterus yang
dapat mengganggu kontraksi uterus ke keaadaan semula, sehingga berakibat timbulnya
perdarahan.
Induksi persalinan adalah menimbulkan kontraksi pada uterus, baik secara medika mentosa
maupun secara mekanik. Induksi persalinan secara medika mentosa bertujuan untuk mempercepat
terjadinya persalinan tetapi komplikasi yang dapat timbul adalah kelelahan pada otot rahim dan
kelelahan pada ibu. Kelelahan pada otot rahim ini bisa berakibat terjadinya gangguan kontraksi
pada persalinan kala III. Gangguan kontraksi ini dapat menyebabkan terjadinya retensio plasenta
dan perdarahan postpartum (Hakimi; 1990).
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) induksi persalinan terhadap
kejadian retensio plasenta diperoleh nilai OR = 4,543 (95% CI : 2,220 - 9,294. Oleh karena nilai
LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai 4,543 dianggap
bermakna secara statistik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Panpaprai dkk (2007) dengan desain case
control pada 234 ibu hamil menemukan bahwa induksi persalinan merupakan faktor risiko
retensio plasenta.
Pada pasien kuret yang berulang bisa menyebabkan terjadinya perlekatan plasenta yang
disebut dengan perlekatan akreta. Hal ini disebabkan pada proses kuretase terutama pada kuretase
berulang menyebabkan kerusakan pada lapisan endometrium, kerusakan ini menyebabkan plasenta
dapat bertumbuh atau melekat langsung pada lapisan meometrium.
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) riwayat kuret dan dilatasi
terhadap kejadian retensio plasenta diperoleh nilai OR = 13,409 (95% Ci: 5,867 - 30,646. Oleh
karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai
13,409 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Obajimi, dkk (2009) dengan studi
deskriptif pada 106 kasus retensio plasenta menemukan ada 28 pasien (31%) mempunyai riwayat
kuret dan dilatasi terjadi retensio plasenta. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian oleh
Khashoggi, dkk (1997) dengan desain case-control pada 146 kasus retensio plasenta menemukan
bahwa riwayat kuret dan dilatasi merupakan faktor risiko retensio plasenta.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah,
maka dapat disimpulkan bahwa ibu dengan paritas 4, memiliki riwayat operasi caesar, ibu
melahirkan tanpa pemberian induksi persalinan dan memiliki riwayat kuret dan dilatasi berisiko
terjadinya retensio plasenta.
Untuk mencegah ibu melahirkan dengan retensio plasenta, disarankan ibu dalam masa
kehamilan untuk menjaga kesehatan ibu dan janin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, dkk, 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Perdarahan Pospartum
di Kota Palu. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

40

INDONESIA

JURNAL

Bangun, N, 2002. Karakteristik Ibu yang Mengalami Persalinan Bedah Caesar di Rumah Sakit
Umum Sari Mutiara Medan Tahun 2000-2002.
Cunningham, F.G, 2005. Obstetri Wiliams, Edisi 2, EGC, Jakarta
Cahyono, I.E. 2000. Perbandingan Multipara dan Grandemultipara Terhadap Kejadian
Perdarahan Postpartum. Semarang : UNDIP
Hadi, 2008. Implementasi Manajemen Aktif Kala Tiga Oleh Bidan Bersertifikasi Asuhan
Persalinan Normal di Kodya Medan, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Hakimi, 1990. Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yayasan Essential Medica, Jakarta
Lubis, IK. 2011. Pengaruh Paritas Terhadap Perdarahan Post Partum Primer di RSUD Dr.
Piringadi Medan Tahun 2007 - 2010
Manuaba, 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk
Pendidikan Bidan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Mochtar, 1998. Sinopsis Obstetri, Jilid I Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Owolabi, dkk, 2008. Risk Factors for Retained Placenta in Southwestern Nigeria.
Panpaprai, 2007. Risk Factors of Retained Placenta in Siriraj Hospital.
http://www.medassocthai.org/journal.
Santosa, dkk, 2010. Hubungan antara Ketepatan Manajemen Aktif Kala Tiga dengan Perdarahan
Kala III di BPS Madiun Selatan.
Soltan, et al, 1997. Retained Placenta and Associated Risk Factors, Departemen of Obstetrics and
Gynaecology, King Khalid University Hospital, King Saud University, Riyadh, Saudi
Arabia
Surianti, Sri, 2005. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Persalinan Caesar di RSIA St.
Fatimah Makassar. Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat UNHAS, Makassar

DETERMINAN KEBERLANGSUNGAN KEBIASAAN MEROKOK DOKTER


DAN DOKTER GIGI DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2012
Nur Akbar Bahar
Staf Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan
ABSTRACT
Doctors are good models in application of healthy lifestyle which play a key role in
controlling tobacco use in their community but they were smoke themselves. The aim of the
research was to find out the risk determinant of smoking habit sustainability among doctors and
dentists in Makassar City 2012. The research type is observational study is case control study
design. Samples were taken with purposive methode in eight hospitals, 18 community health care
centers and seven health centers in the city of Makassar. The cases group were doctors and
dentists who smoked at least one cigarette per day. The controls group are doctors and dentists
who have quit smoking at least one month or those who never smoke at all. Numbers of sample
were 204 persons in comparatioan to the control-case 1:2. The data were analyzed odds ratio test
and logistic regression.The results of the research indicated that personality factors (p = 0.000 OR
10.983 95% CI: 5.144 to 23.449); attitude towards patients (p = 0.000 OR 4.108 95% CI: 2.057 to
8.204); work environment (p = 0.001 OR 2.735 95% CI 1.461 to 5.123), and readiness help others
to stop smoking (p = 0.000 OR 3.153 95% CI 1.718 to 3.246) have significant risks. Meanwhile
knowledge factor (p = 0.471 OR 1.247 95% CI 0.684 to 2.274) are not significant. Personality is
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

41

INDONESIA

JURNAL

the most determinant factor of doctors and dentists smoking habit (OR = 9.477). This study
suggests for increase the effectiveness of smoke-free area regulation in health services and should
be made the rule in profession assosiation (eg. IDI and PDGI) themselves about the smoking
habits of doctors and dentists.
Keywords: Smoking Habits, Doctors, Dentists
PENDAHULUAN
Rokok dengan segala masalah kompleks yang ditimbulkannya bukanlah menjadi sesuatu
yang baru diketahui oleh dokter dan dokter gigi yang mampu memainkan peran kunci dalam
pencegahan penggunaan tembakau di satu komunitas, juga sebagai leading role pengembangan
dan penentuan arah kebijakan kesehatan. Dokter mempunyai posisi yang unik dalam masyarakat,
karena mereka mempunyai kesempatan dan tanggung jawab untuk mendidik populasi pasien
mereka yang besar jumlahnya. Di tingkat nasional dan internasional pun kelompok profesi ini
sangat dapat mempengaruhi perubahan kebijakan memerangi tembakau, namun ironisnya kegiatan
merokok juga dilakukan di kalangan dokter dan dokter gigi.
Tentunya sangat disayangkan bahwa pihak tenaga kesehatan sendiri khususnya para
dokter belum melakukan upaya optimal dalam memerangi rokok. Hal yang sama diungkapkan
dalam hasil penelitian Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) bahwa para petugas
kesehatan dan mahasiswa kedokteran memang masih belum bisa menjadi suri tauladan yang baik
dalam hal tidak merokok. Idealnya setelah menjadi dokter dan tahu banyak tentang bahaya rokok,
seorang dokter perokok seharusnya dapat menghentikan kebiasaan tersebut. Dokter yang
seharusnya melakukan edukasi stop merokok, malah banyak yang merokok. Kebiasaan itu bukan
saja membahayakan dirinya, tetapi juga aktif merekrut korban perokok pasif dengan merokok di
ruang publik.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai besar risiko kepribadian, sikap terhadap pasien,
ligkungan kerja, pengetahuan, dan kesiapan menghentikan kebiasaan merokok sebagai determinan
keberlangsungan kebiasaan merokok yang dilakukan dokter dan dokter gigi di berbagai instansi
pelayanan kesehatan di Kota Makassar, Indonesia.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada beberapa pelayanan kesehatan di Kota Makassar yang
terdiri dari dua rumah sakit dan empat balai kesehatan milik Kementrian Kesehatan RI, tiga rumah
sakit dan tiga balai kesehatan milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, satu rumah sakit milik
pemerintah Kota Makassar, dua rumah sakit TNI/POLRI, dan 18 Puskesmas yang memiliki dokter
laki-laki di Kota Makassar.
Desain dan Variabel Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi analitik observasional dengan desain studi
case control untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel independen yaitu kepribadian,
sikap terhadap pasien, lingkungan kerja, pengetahuan, dan kesiapan menghentikan perilaku
merokok dengan variabel dependen yaitu kebiasaan merokok dengan melihat faktor risiko yang
dilakukan subjek pada waktu lalu (retrospektif) dengan cara membandingkan kelompok kasus dan
kelompok kontrol berdasarkan
Populasi dan Sampel
Sampel diambil secara purposive sampling dari populasi seluruh dokter dan dokter gigi
laki-laki yang tersebar di instansi berbagai instansi kesehatan milik pemerintah dan TNI/POLRI,
balai kesehatan milik pemerintah, dan puskesmas di kota Makassar yang berjumlah 204 orang
dengan perbadingan 1 kasus : 2 kontrol. Sampel kasus adalah dokter dan dokter gigi di dengan
Status sebagai perokok aktif, dimana dalam sehari sampel menghisap setidaknya 1 batang rokok.
Sampel kontrol adalah dokter dan dokter gigi dengan status telah berhenti merokok dan tidak
pernah merokok.
Pengumpulan Data
Data primer dilakukan dengan kunjungan ke lokasi penelitian, menjelaskan maksud
penelitian dan meminta kesediaan responden untuk mengisi kuesioner self administered yang
diadopsi dari Global Health Professional Survey (GHPS) oleh WHO dan dikembangkan oleh
Queens University dengan terlebih dahulu mengambil data sekunder tentang jumlah dokter dan
dokter gigi di lokasi penelitian.
Analisis Data

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

42

INDONESIA

JURNAL

Analisis data yang dilakukan secara univariat untuk mendapatkan gambaran tentang
distribusi frekuensi karakteristik umum responden serta variabel dependen. Analisis bivariat
dilakukan uji OR untuk menilai besar risiko variabel independen terhadap variabel dependen.
Analisis multivariat juga dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel perilaku merokok
dengan seluruh variabel yang diteliti sehingga diketahui variabel bebas yang paling dominan
pengaruhnya dengan keberlanjutan kebiasaan merokok dengan menggunakan regresi logistik
ganda kondisional
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Responden
Dari 204 responden yang ditargetkan, hanya 185 orang (53 kasus dan 132 kontrol) yang
bersedia mengisi kuesioner dan mengembalikannya.Respon rate 87,31%.Penambahan jumlah
kasus dan kontroldilakukan pada mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)
Universitas Hasanuddin untuk mencukupi sampel. Responden yang merokok tiap hari (24,0%),
kadang-kadang merokok (9,4%), mantan perokok (18,6%), tidak pernah merokok (48,0%). Baik
responden kasus maupun kontrol umumnya berusia 41-50 tahun (36,8% vs 50,0%) dan
kebanyakan berpendidikan terakhir S1 atau profesi kedokteran (Tabel 1).
Karakteristik

Kasus
n

Kontrol
%

Total

Kelompok Umur
< 31 Tahun
15
22,1
12
8,8
27
13,2
31-40 Tahun
22,1
29
21,3
44
21,6
41-50 Tahun
25
36,8
68
50,0
93
45,6
> 50 Tahun
13
19,1
27
19,9
40
19,6
Tingkat Pendidikan
Profesi Kedokteran
36
52,9
53
39,0
89
43,6
Spesialis
27
39,7
67
49,3
94
46,1
Sub Spesialis
1
1,5
1
0,7
2
1,0
Magister (S2)
4
5,9
14
10,3
18
8,8
Doktoral (S3)
0
0,0
1
0,7
1
0,5
Total
68
100,0
136
100,0
204
100,0
Tabel 1. Distribusi Kebiasaan Merokok Responden Menurut Kelompok Umur dan Tingkat
Pendidikan di Kota Makassar Tahun 2012
Data Primer
Lebih dari setengah responden (mantan perokok dan perokok aktif) adalah perokok
ringan (53,8%) yang memulai kebiasaannya ketika berumur lebih dari 15 tahun (70,8%).
Kebanyakan mereka memulai kebiasaan merokoknya sebelum mendapat gelar dokter (86,8%),
dengan alasan merokok terbanyak adalah coba-coba atau ikut teman (69,8%), dengan jenis rokok
filter yang paling digemari (71,7%) (Tabel 2).
Tabel 2. Distribusi Responden yang Pernah Merokok Menurut Karakteristik Khusus Dokter
dan Dokter Gigi di Kota Makassar Tahun 2012
Karakteristik Khusus Responden yang Pernah Merokok
Jenis Perokok
Perokok Ringan (<10 batang/hari)
Perokok Sedang (10-20 batang/hari)
Perokok Berat (>20 batang/hari)
Umur Pertama Kali Merokok
< 10 Tahun
10-15 Tahun
>15 Tahun
Saat Merokok
Sebelum Mendapat Gelar Dokter
Setelah Mendapat Gelar Dokter
Alasan Mulai Merokok
Coba-coba/Ikut teman
Mengikuti Trend/Mode
Lambang Kebanggan Diri/Kedewasaan
Pelarian Mengurangi Stress dan Cemas
Jenis Rokok yang Paling Sering Dihisap
Kretek

n=106

57
44
5

53,8
41,5
4,7

6
25
75

5,7
23,6
70,8

92
14

86,8
13,2

74
9
4
19

69,8
8,5
3,8
17,9

30

28,3

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

43

INDONESIA

JURNAL
Filter

76

71,7

Data Primer
Kebanyakan dari responden kasus masih berpikir selama enam bulan ke depan jika
diminta untuk meninggalkan kebiasaan merokoknya. Sebanyak 73,5% pernah mencoba untuk
meninggalkan kebiasaannya, namun 80,0% di antaranya memilih untuk kembali merokok, dengan
alasan utama adalah ketagihan (72,4%).
Sebanyak 51,5% responden memiliki kepribadian yang negatif tentang rokok. Begitu juga
dengan sikap responden terhadap pasien dan lingkungan kerjanya yang negatif atau cenderung
mendukung kebiasaan merokok (60,8% vs 56,4%). Umumnya responden memiliki pengetahuan
yang tinggi tentang bahaya rokok dan penanganannya (63,7%), namun hampir setengahnya merasa
tidak siap menghentikan perilaku merokok pasiennya (46,1%) (Grafik 1).
Grafik 1. Distribusi Responden Menurut Kepribadian, Sikap Terhadap Pasien, Lingkungan
Kerja, Pengetahuan, dan Kesiapan Menghentikan Perilaku Merokok pada Dokter dan
Dokter Gigi di Kota Makassar Tahun 2012

Analisis Risiko
Kepribadian terbukti signifikan sebagai determinan keberlangsungan kebiasaan merokok
dokter dan dokter gigi (OR=10,983) dan begitu juga dengan sikap terhadap pasien dengan
OR=4,108signifikan sebagai determinan keberlangusungan kebiasaan merokok. Lingkungan kerja
dan kesiapan menghentikan perilaku merokok juga memiliki signifikansi sebagai determinan
keberlangsungan kebiasaan merokok dokter (OR=2,735 vs 3,153), namun tidak demikian halnya
variabel pengetahuan yang tidak signifikan dengan keberlangsungan kebiasaan merokok dokter
dan dokter gigi (Tabel 3).
Tabel 3. Risiko Kepribadian, Sikap Terhadap Pasien, Lingkungan Kerja, Pengetahuan, dan
Kesiapan Menghentikan Perilaku Merokok terhadap Keberlangsungan Kebiasaan Dokter
dan Dokter Gigi di Kota Makassar Tahun 2012

Data Primer
Sikap dokter yang tidak merokok nampak lebih sering menanyakan status merokok
pasiennya, lebih sering menjelaskan bahaya rokok kepada pasien, lebih sering menyarankan pasien
untuk berhenti merokok, dan lebih sering menawarkan diri untuk membantu pasien berhenti
merokok, dibandingkan dengan dokter perokok (OR=3,351 vs OR=4,859 vs OR=4,060 vs
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

44

INDONESIA

JURNAL

OR=3,132) (Tabel 4). Terkait dengan kebiasaan dokter menanyakan status merokok pasien,
menjelaskan bahaya rokok, menyarankan berhenti merokok, dan menawarkan diri untuk
membantu berhenti, tidak signifikan dengan pernah tidaknya dokter/dokter gigi tersebut menerima
training formal membantu seseorang berhenti merokok (Tabel 5).
Tabel 4. Risiko Kebiasaan Merokok dan Pernah Tidaknya Menerima Training Membantu
Seseorang Berhenti Merokok dengan Sikap Terhadap Pasien oleh Dokter dan Dokter Gigi di
Kota Makassar Tahun 2012
Variabel Penelitian
Kepribadian
Negatif
Positif
Sikap terhadap Pasien
Negatif
Positif
Lingkungan Kerja
Negatif
Positif
Pengetahuan
Rendah
Tinggi
Total
Data Primer

Kasus

Kontrol

Total

OR
95% CI

58
10

85,3
14,7

47
89

34,6
65,4

105
99

51,5
48,5

55
13

80,9
19,1

69
67

50,7
49,3

124
80

60,8
39,2

4,108
(2,057-8,204)

49
19

71,1
27,9

66
70

48,5
51,5

115
89

56,4
43,6

2,735
(1,461-5,123)

27
41
68

39,7
60,3
100,0

47
89
136

34,6
65,4
100,0

74
130
204

36,3
63,7
100,0

10,983
(5,144-23,449)

1,247
(0,684-2,274)

Analisis Multivariat
Berdasarkan analisis multivariat yang dilakukan dengan menggunakan uji regresi
berganda logistik, variabel kepribadian adalah determinan yang paling berpengaruh terhadap
kebiasaan merokok dokter/dokter gigi dengan nilai OR sebesar 9,476 kali untuk tampil sebagai
perokok (Tabel 5). Apabila fungsi regresi dimasukkan kedalam persamaan pada variabel yang
berisiko yaitu kepribadian negatif, bersikap negatif kepada pasien, dan tidak siap menghentikan
perilaku merokok, maka probabilitasnya tetap menjadi perokok adalah 73,5%. Apabila fungsi
regresi dimasukkan kedalam persamaan pada hipotesis yang berisiko rendah yaitu kepribadian
positif, bersikap positif pada pasien dan siap menghentikan perilaku merokok maka probabilitas
dokter/dokter gigi tetap menjadi perokok adalah 3,50%.
Tabel 5. Analisis Regresi logistik berganda dengan Metode Backward Stepwise
(Conditional) Determinan Kebiasaaan Merokok Dokter/Dokter Gigi Kota Makassar
Tahun 2012
Variabel Penelitian
Kepribadian
Sikap Terhadap Pasien
Kesiapan Menghentikan
Perilaku Merokok
Constant
Data Primer

Coef

Wald

OR

2,249
0,954
1,143

30,600
5,695
10,053

9,476
2,596
3,136

-3,316

46,657

0,036

95% CI
LL
UL
4,272
21,026
1,186
5,688
1,547
6,357

PEMBAHASAN
Prevalensi merokok terbanyak terdapat pada kategori umur dewasa muda (31-45 tahun).
Namun kecenderungan prevalensi rendah justru terjadi pada kelompok umur yang tergolong lanjut
usia. Ini diakibatkan karena mulai munculnya penyakit-penyakit degeneratif pada kelompok umur
tersebut.Konflik batin yang kadang muncul dari diri seorang dokter karena kebiasaan merokoknya
tidak serta merta dapat membuatnya langsung dapat berhenti dari kebiasaan yang berdampak
adiksi tersebut. Hal ini dapat dijelaskan melalui Teori Prochaska (1980) yang penerapannya
dilakukan secara bertahap dan tidak langsung memaksa seseorang untuk berubah secara drastis.
Berkaitan dengan faktor kepribadian, perilaku merokok dokter selalu diasosiasikan
dengan kebiasaan masa lalu sebelum menjadi seorang dokter. Keputusan diambil untuk memulai
kebiasaan merokok dengan motif beragam yang berujung kepada adiksi rokok akan
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

45

JURNAL

INDONESIA

menjadikannya sebuah kebiasaan yang sangat sulit untuk ditinggalkan. Eriksen (2012)
mengungkapkan bahwa keputusan untuk mulai merokok karena adanya krisis aspek psikososial
yang dialami seseorang. Penelitian sebelumnya oleh Zhou (2010) mengemukakan bahwa sikap
dokter di China kurang mendukung kebiasaan merokok dan hanya 80% dokter yang meyakini
bahwa tenaga kesehatan adalah teladan bagi pasiennya, dan Surg (2010) mengungkap bahwa
31,4% ahli bedah di China menentang larangan merokok dalam ruangan di rumah sakit.
Aspek kontrol perilaku yang dihayati dalam teori planned of behaviour yang
dikemukakan Ajzen dalam Azwar (2011) mengemukakan bahwa diantara berbagai keyakinan yang
akhirnya akan menentukan intensi dan perilaku tertentu adalah keyakinan mengenai
tersediatidaknya kesempatan dan sumber yang diperlakukan. Keyakinan ini dapat berasal dari
pengalaman dengan perilaku itu misalkan dengan melihat pengalaman teman atau orang lain yang
pernah melakukannya. Profesi dokter memang tidak sama dengan profesi lain dimana ada stigma
positif tersendiribaik perilaku, etika dan moral yang melekat pada diri seorang dokter. Sayang
tidak semua dokter dapat memahaminya, bahwa perilaku dia, kebiasaan dia tidak hanya dinilai
oleh masyarakat pada saat dia melayani pasien di kamar periksa atau di rumah sakit, tetapi juga
ditengah-tengah pergaulan luas masyarakat
Seseorang akan cenderung memperlakukan orang lain sama dengan memperlakukan
dirinya sendiri ketika orang tersebut sadar mempunyai kesamaan karakteristik, sikap, sifat, dan
kebiasaan (Durand, 2006). Sama halnya dalam perilaku merokok,seorang perokok akan cenderung
membiarkan orang lain merokok meskipun orang tersebut tahu dampak negatif merokok, karena
sadar dirinya memiliki kesamaan kebiasaan dimana dirinya juga tidak mau mendapatkan
perlakuan yang dapat menghalangi kebiasaannya tersebut. Sebelumnya Surg (2009)
mengemukakan bahwa hanya 25% dokter di China selalu menanyakan status merokok pasiennya
dan dokter yang tidak merokok memang lebih sering menanyakan status merokok pasiennya
dibandingkan dokter perokok (Zhou, 2010).
Di samping berbagai faktor penting seperi hakikat stimulus itu sendiri, latar belakang
pengalaman individu, motivasi, status kepribadian, dan sebagainya, memang sikap individu ikut
memegang peranan dalam menentukan bagaimanakah perilaku seseorang di Lingkungannya. Pada
gilirannya, lingkungan secara timbal balik akan mempengaruhi sikap dan perilaku. Interaksi
antara situasi lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor di dalam maupun diluar individu
akan membentuk suatu proses kompleks yang akhirnya menentukan bentuk perlikau seseorang
(Azwar, 2011). Meskipun sebagian besar dokter atau dokter gigi setuju dengan adanya regulasi
KTR di rumah sakit, puskesmas, dan pelayanan kesehatan lainnya, namun kebijakan tersebut
tidak cukup kuat untuk diimplementasikan karena tidak dibarengi dengan sanksi yang tegas,
sehingga tidak dapat membantu mengurangi frekuensi merokok dokter ketika bertugas di
pelayanan kesehatan. Zhou (2010) mengungkapkan bahwa hanya 29,7% dokter rumah sakit di
China yang mengaku regulasi KTR di tempat kerjanya efektif diberlakukan.
Tidak menjamin apabila dokter/dokter gigi atau tenaga kesehatan lainnya yang
mempunyai pengetahuan yang baik dan memadai mengenai masalah rokok, akan mampu
menghindari perilaku berisiko ini. Segala informasi yang diketahui selama berkecimpung dalam
dunia kesehatan sayangnya tidak dapat menjadi alasan bagi tenaga kesehatan dengan status
perokok tetap untuk segera meninggalkan kebiasaan merokoknya. Cerasoet al (2009)
mengemukakan bahwa kebiasaan merokok dokter pria di China berhubungan dengan rendahnya
pengetahuan tentang risiko rokok terhadap kesehatan, terbukti hanya 67,9% perokok aktif di China
yang meyakini bahwa rokok mengakibatkan penyakit jantung (Jiang, 2007)
Seseorang yang memiliki kebiasaan yang dinilai buruk akan segan mengikuti segala
bentuk upaya yang berlawanan dengan kebiasaan buruknya tersebut. Sama halnya dengan perilaku
merokok. Penelitian oleh Zhou (2010) mengungkap bahwa hanya 58% dokter di China yang dapat
menjelaskan risiko rokok secara detail kepada pasiennya, dan hanya 24% di antara mereka yakin
bahwa pengetahuannya sekarang cukup membantu paisennya berhenti merokok. Ng (2007)
mengemukakan bahwa kurang dari 12% dokter di Yogyakarta pernah menerima training untuk
membantu seseorang berhenti merokok. Seorang perokok akan sangat jarang terlibat dalam
program anti tembakau. Semua profesional kesehatan memiliki tanggung jawab untuk menasihati
pasien tentang keputusan untuk mengubah hidup dan persoalan kesehatan, seperti pentingnya
berhenti merokok dan bagaimana untuk berhenti. Tapi profesional kesehatan harus dididik tentang
bagaimana melakukan sebuah intervensi. Pelatihan dan pendidikan membangun kepercayaan di
kalangan profesional kesehatan dan meningkatkan kemampuan mereka untuk mendiskusikan
dengan pasien untuk berhenti merokok, yang pada gilirannya mengarah ke upaya penghentian
yang lebih nyata.
KESIMPULAN DAN SARAN

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

46

INDONESIA

JURNAL

Kepribadian, sikap terhadap pasien, lingkungan kerja, dan kesiapan menghentikan


perilaku merokok pasien terbukti memiliki signifikansi dengan keberlangsungan kebiasaan
merokok dokter dan dokter gigi di Kota Makassar, masing-masing dengan OR=10,983; OR=4,108;
OR=2,735; OR=3,153. Sedangkan pengetahuan tidak memiliki signifikansi terhadap
keberlangsungan kebiasaan merokok dokter dan dokter gigi.
Dokter dan dokter gigi agar dapat terlibat dalam program anti tembakau, mendukung
implementasi regulasi KTR, senantiasa melakukan inisiasi intervensi berhenti merokok kepada
pasien, dan memperbaiki mental model dalam memerangi rokok dalam komunitas.Lembaga
profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) hendaknya
mulai mempertimbangkan untuk memberlakukan regulasi yang tepat terhadap dokter atau dokter
gigi. Sistem rewar and punishment atas regulasi KTR di tempat kerja dapat mengefektifkan aturan
tersebut, serta meningkatkan upaya sosialisasi larangan merokok di tempat umum terutama
instansi pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 2011. Sikap Manusia, Teori dan Pengkurannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ceraso M., et al. 2009. Smoking, Barriers to quitting, and Smoking-Related Knowledge, Attitudes
and Patient Practice Among Male Physicians in China.
Durand VM., Barlow DH. 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Eriksen, M., et al. 2012. The Tobacco Atlas Fourt Edition. The American Cancer Society, Inc:
Atlanta USA
Jiang Y., et al. Chinese Phyisicians and Their Smoking Knowledge, Attitudes, and Practice.
American Journal Pereventive of Medicine 2007.
Ng, Nawi., et al. 2007. Physician Assesment of Patient Smoking in Indonesia: a Public Health
Priority. Tobacco Control 2007.
Surg,, 2010. Smoking Knowledge, Attitudes, Behavior, and Associated factors among Chinese
Male Surgeon; author manuscript
Zhou, Jiatong., et al. 2010. Smoking Status and Cessation Counseling Practics Among Phsicians,
Guangxi, China.

FAKTOR PENENTU TERHADAP KEPADATAN PARASIT MALARIA BERDASARKAN


PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS DI KABUPATEN HALMAHERA TENGAH
TAHUN 2012
Nurdiana E Achmad
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
ABSTRACT
The aim of the research is to analyze the factors to parasite density based on microscopic
examination. The research was an observational study with cross sectional study design. The
populations were all community in the area of central Halmahera Regency. The samples were all
malaria patients who were positively suffering from parasitemia based on microscopic
examination consisting of 384 respondents. The were selected by using accidental sampling
method. The data were analyzed by using. Test results of the research reveal that the variables
related to parasite density are clinical symptom (p = 0.017 and = 0.163), parasite type (p =
0.000 and = 0.249), age (p = 0.000 and = 0.209) and blood type (p = 0.000 and = 0.375).
on the other hand, the history of anti malaria consumption is not related to malaria parasite
density is blood type.
Key words: microscopic examination, malaria parasite density
PENDAHULUAN
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

47

JURNAL

INDONESIA

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan
masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Setiap tahun lebih dari 500 juta penduduk dunia
terinfeksi malaria dan lebih 1.000.000 orang meninggal dunia. Kasus terbanyak terdapat di Afrika
dan beberapa Negara Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa bagian Negara Eropa
(Soedarto, 2011).
Kabupaten Halmahera Tengah merupakan daerah endemik malaria pada tahun 2009
tergolong high incidence kejadian penyakit malaria di propinsi Maluku Utara dengan kontribusi
kasus sebanyak 1.126 kasus malaria klinis dengan Annual Malaria Incidence (AMI) 25,38 per
1.000 penduduk dan terdapat 191 malaria positif melalui pemeriksaan laboratorium. Tahun 2010
dilaporkan 1.633 kasus malaria klinis dan 332 malaria positif sedangkan pada tahun 2011 terjadi
peningkatan kasus yang dilaporkan pada bulan Januari sampai Oktober terdapat 1.765 malaria
klinis dan 441 malaria positif (Dinkes Halmahera Tengah, 2010).
Derajat parasitemia dapat dinyatakan sebagai persentase dari eritrosit yang terinfeksi
parasit atau dinyatakan sebagai jumlah parasit yang ditemukan per mikroliter darah. Pada malaria
nonfalciparum parasitemia jarang melebihi 2%, sedangkan pada malaria falciparum angka tersebut
dapat mencapai lebih dari 50%. Jika seorang penderita malaria yang non imun mengalami
hiperparasitemia (lebih dari 50% per mikroliter darah), hal ini menunjukkan penyakit malaria yang
berat. Prognosis malaria berat juga dipengaruhi oleh tingginya angka kepadatan parasit..
Perhitungan jumlah parasit secara kuantitatif dapat dilakukan baik pada sediaan darah
tebal maupun sediaan darah tipis. Pada sediaan darah tebal parasit dihitung berdasarkan jumlah
leukosit per L darah, jika tidak diketahui biasanya diasumsikan leukosit penderita berjumlah
8000/L. Sedangkan perhitungan parasit dalam sediaan darah tipis perlu diketahui jumlah
eritroasit per L darah. Jika nilai ini tidak diketahui diasumsikan penderita mengandung eritrosit
5.000.000/L (laki-laki) atau 4.500.000/L (wanita). Jumlah parasit kemudian dihitung paling
sedikit dalam 25 lapangan pandang (LP) mikroskopik (Afiah Nur, 2009)
Gambaran khas dari penyakit malaria adalah adanya demam yang periodiK, pembesaran
limpa dan anemia. Biasanya sebelum timbul demam, penderita malaria akan mengeluh lesu, sakit
kepala, nyeri pada tulang dan otot, kurang nafsu makan, rasa tidak enak pada perut, diare ringan,
dan kadang-kadang merasa dingin di punggung (Prabowo, 2004)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan kepadatan parasit
pada pemriksaan mikroskopis di kabupaten Halmahera Tengah tahun 2012
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kabupaten Halmahera Tengah. Jenis penelitian yang
digunakan adalah observasional dengan desain cross sectional study
Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat dalam wilayah kerja Rumah Sakit
dan Puskesmas di Kabupaten Halmahera Tengah. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh
penderita malaria yang berkunjung di Rumah Sakit dan Puskesmas serta di diagnosa malaria
positif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium (mikroskopis) dan bersedia untuk menjadi
objek penelitian.
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner terhadap penderita malaria positif berdasarkan pemeriksaan mikroskopis. Variabel yang
diteliti adalah factor yang berhubungan dengan kepadatan parasit, meliputi gejala klinis, jenis
parasit, riwayat konsumsi obat anti malaria, umur dan golongan darah. Uji yang digunakan adalah
chi square dan regresi logistik.
HASIL
Tabel 1 menunjukkan bahwa gejala paling tinggi adalah demam yaitu 336 orang
(87,5%) sedangkan paling sedikit gejala muntah sebanyak 7 orang (1,8%). Responden yang
mempunyai kepadatan parasit tinggi lebih banyak gejala demam yaitu 178 orang (92,7%),
sedangkan responden yang mempunyai kepadatan parasit rendah juga lebih banyak gejala demam
yaitu 158 orang (82,3%). Hasil uji chi square diperoleh nilai p=0,017 (p<0,05) dan = 0,163
yang menunjukkan ada hubungan gejala klinis malaria dengan kepadatan parasit malaria.
Tabel 1 Hubungan Gejala Klinis Dengan Kepadatan Parasit Berdasarkan Pemeriksaan
Mikroskopis di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

48

INDONESIA

JURNAL

Gejala klinis
Demam
Menggigil
Sakit kepala
Muntah
Total
Data Primer

Kepadatan Parasit
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
178
52,9
158
47,0
3
30
7
70
8
25,8
23
74,2
3
42,8
4
57,1
192
50
192
50

Jumlah
n
336
10
31
7
384

%
100
100
100
100
100,0

0,017
0,163

Tabel 2 menjelaskan bahwa responden dengan kepadatan parasit tinggi lebih banyak
jenis plasmodium falciparum yaitu 171 orang (56,4%) dibandingkan plasmodium vivax yaitu 21
orang (25,9%). Sedangkan kepadatan parasit rendah lebih banyak jenis parasit plasmodium vivax
yaitu 60 orang (74,1%) dibandingkan plasmodium falciparum yaitu 132 orang (43,6%). Hasil uji
chi square diperoleh nilai p=0,000 (p>0,05) nilai = 0,249 yang berarti terdapat hubungan jenis
parasit dengan kepadatan parasit.
Tabel 2 Hubungan Jenis Parasit Dengan Kepadatan Parasit Berdasarkan Pemeriksaan
Mikroskopis di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012

Jenis Parasit
P. falciparum
P. vivax
Total
Data Primer

Kepadatan Parasit
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
171
56,4
132
43,6
21
25,9
60
74,1
192
50
192
50

Jumlah
n
303
81
384

%
100,0
100,0
100,0

0,000
0,249

Tabel 3 menunjukkan bahwa responden dengan kepadatan parasit tinggi lebih banyak
pada kelompok tidak rentan (remaja dan produktif) yaitu 163 orang (57,8%) dibandingkan
kelompok rentan (bayi,balita,anak dan lansia) yaitu 29 orang (28,4%). Sedangkan responden
dengan kepadatan parasit rendah lebih banyak pada kelompok rentan yaitu 73 orang (71,6%)
dibandingkan yang tidak rentan yaitu 119 orang (42,2%). Hasil uji chi square diperoleh nilai
p=0,000 (p<0,05) dan nilai = -0,209 yang menunjukkan ada hubungan. Nilai minus berarti yang
lebih berhubungan dengan kepadatan parasit adalah kelompok umur yang tidak rentan karena
persentasenya lebih tinggi dibandingkan kelompok umur rentan.
Tabel 3 Hubungan Kelompok Umur Dengan Kepadatan Parasit Berdasarkan Pemeriksaan
Mikroskopis di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012

Kelompok umur
Rentan
Tidak Rentan
Total
Data Primer

Kepadatan Parasit
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
29
28,4
73
71,6
163
57,8
119
42,2
192
50
192
50

Jumlah
n
102
282
384

%
100,0
100,0
100,0

0,000
-0,259

Tabel 4 menunjukkan responden dengan kepadatan parasit tinggi paling banyak pada
golongan darah O yaitu 138 orang (65,1%) dibandingkan pada golongan darah A yaitu 1 orang
(3,4%). Responden dengan kepadatan parasit rendah, lebih banyak pada golongan darah A yaitu
28 orang (96,6%) dan paling sedikit golongan darah O yaitu 74 orang (34,9%). Hasil uji chi
square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) nilai = 0,375 yang berarti hubungan sedang.
Tabel 4 Hubungan Golongan Darah Dengan Kepadatan Parasit Berdasarkan Pemeriksaan
Mikroskopis di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

49

INDONESIA

JURNAL

Golongan Darah
A
B
AB
O
Total
Data Primer

Kepadatan Parasit
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
1
3,4
28
96,6
48
36,9
82
63,1
5
38,5
8
61,5
138
65,1
74
34,9
192
50
192
50

Jumlah
n
29
130
13
212
384

%
100,0
100,0
100,0
100,0
100,0

0,000
0,375

Tabel 5 menjelaskan bahwa variabel yang memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam uji
multivariat yaitu gejala klinis (0,641), jenis parasit (1,852), kelompok umur (-1,789), dan
golongan darah(-0.907). Hasil uji logistik regresi didapatkan nilai propbabilitas sebesar 0,93, yang
menunjukkan bahwa adanya gejala klinis, jenis parasit, umur, dan golongan darah akan
memberikan kontribusi terhadap kepadatan parasit malaria sebesar 93%.
Tabel 5 Variabel Yang Paling Berhubungan dengan Kepadatan Parasit Malaria
Berdasarkan Pemeriksaan Mikroskopis di Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012
Variabel
Gejala klinis
Jenis Parasit
Umur
Golongan darah
Constant

B
0,641
1,852
-1,789
-.907
2.880

Wald
13,534
31,714
34,487
54,980
15,221

Sig
0,000
0,000
0,000
0,000
0,000

Exp(B)
1,899
6,371
0,167
0,404
17,821

Data Primer
PEMBAHASAN
Variabel gejala klinis menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kepadatan parasit
dengan nilai p=0,017 dan =0,163 yang berarti hubungan lemah. Gejala klinis paling tinggi
adalah gejala demamGejala klasik malaria antara lain adalah demam yang berulang, menggigil,
nyeri sendi, sakit kepala dan muntah-muntah. Timbulnya demam karena terjadi proses skizogoni
yaitu skizon yang terdapat didalam darah yang pecah mengeluarkan allergen yang antigenic yang
menyebabkan timbulnya respon imun hospes, dan merangsang sel-sel limfosit, monosit dan
makrofag untuk membentuk sitokin yang bersama alairan darah mencapai hipotalamus yang
merupakan pusan pengatur panas badan (Depkes, 2008). Terkait dengan proses skizogoni, maka
pada pemeriksaan sampel darah terjadi peningkatan densitas parasit. Gejala klinis juga dipengaruhi
oleh endemisitas tempat infeksi dan pengaruh pemberian pengobatan profilaksis atau pengobatan
yang tidak adekuat. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Lukman Alwi (2009) yang
menyatakan tidak ada perbedaan antara demam dan menggigil dengan hasil pemeriksaan
mikroskopis. Latole, dkk (2006) menyatakan demam tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas
tinggi pada pemeriksaan mikroskopis
Sama halnya dengan variabel gejala klinis, variabel jenis parasit juga menunjukkan
hubungan yang bermakna dengan kepadatan parasit malaria dengan hasil uji chi square diperoleh
nilai p=0,000 dan = 0,249. Virulensi parasit ditentukan oleh daya multiplikasi parasit, sinkronitas
parasit, strain parasit, kemampuan melakukan sitoadherens dan rosseting, induksi sitokin, produksi
nitric oksida serta daya invasi parasit. Plasmodium vivax dapat menginvasi eritrosit hanya melalui
jalur glikoporin A sedangkan P. falciparum melalui jalur glikoporin A dan B. P. vivax menginvasi
retikulosit sedangkan P. falciparum menginvasi semua eritrosit, sehingga P. falciparum lebih tinggi
tingkat densitasnya dibandingkan degan jenis plasmodium lainnya (Harijanto, 2009). Hal tersebut
sesuai dengan hasil penelitian yaitu pada P. falciparum sangat banyak ditemukan pada 303
responden dengan kepadatan parasit tinggi yaitu sebanyak 171 responden (56,4%).
Untuk variabel kelompok umur, dikategorikan menjadi dua kolompok, yaitu kelompok
rentan (bayi, balita, anak-anak, dan lansia) serta kelompok umur tidak rentan (remaja dan
produktif). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok umur tidak rentan terdistribusi 282
responden dengan kepadatan parasit tinggi 163 responden (57,8%) dan hasil uji chi square
diperoleh nilai p=0,000 dan = 0,259 yang berarti ada hubungan kelompok umur dengan
kepadatan parasit malaria. Secara teoritis hal ini normal karena pada usia remaja dan produktif
umumnya lebih banyak beraktivitas diluar rumah sehingga kemungkinan terinfeksi malaria lebih
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

50

JURNAL

INDONESIA

tinggi. Menurut Harijanto (2010), tingkat densitas parasit dapat juga dipengaruhi oleh banyaknya
gigitan nyamuk infeksius atau nyamuk yang mengandung plasmodium. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian Nurlian (2006) yang menyatakan umur tertinggi penderita malaria pada
kelompok umur 20-45 tahun. Penelitian Lukman Alwi (2009) juga menyatakan umur tertinggi
pada kelompok umur 14-44 tahun berdasarkan pemeriksaan mikroskopis.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden dengan golongan darah O lebih
banyak dibandingkan dengan golongan darah non-O (A, B, dan AB). Hasil uji chi square
diperoleh nilai p=0,000 dan = 0,375, dan hasil uji statistik dengan regresi logistik ditemukan
bahwa golongan darah merupakan variabel yang paling kuat hubungannya dengan kepadatan
parasit. Persentase golongan darah O lebih banyak dibandingkan golongan darah yang lain, hal ini
dijelaskan dengan teori dari antropologi fisik. hasil penelitian menunjukkan responden dengan
golongan darah O dengan kepadatan parasit tinggi lebih besar (65,1%) dibandingkan dengan
golongan darah lain. Hal ini berkaitan dengan virulensi plasmodium dipengaruhi oleh proses
rosseting yang menimbulkan terjadinya malaria. Rosseting adalah suatu fenomena pelekatan
antara 1 sel Eritrosit Parasit (EP) yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih sel Eritrosit Non
Parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Pada golongan darah A dan B terdapat berbagai
glikoprotein dan glikolipid pada permukaan eritrosit (RBC) sehingga dapat menghambat proses
rosseting. Berbeda dengan golongan darah O yang tidak memiliki glikoprotein dan glikolipid pada
permukaan eritrosit sehingga mempermudah terjadinya proses rosseting (Aditya, 2011).
KESIMPULAN DAN SARAN
Adanya gejala klinis demam, jenis parasit falciparum, umur remaja dan produktif, serta
golongan darah O, akan memberikan kontribusi terhadap kepadatan parasit malaria sebesar 93 %.
Disarankan agar dalam prioritas program, untuk penentuan sasaran perlu diperhatikan golongan
darah yang rentan terhadap infeksi parasit malaria dan pengobatan malaria lebih didasarkan pada
jenis dan tingkat densitas parasit guna mencegah terjadinya resistensi obat anti malaria.
DAFTAR PUSTAKA
Aditya, K. P, et al. 2011. Association of ABO Blood With Severe Falciparum Malaria in Adults :
Case Control Study and Meta-Analysis, www.malariajournal.com.
Afiah Nur, et al. 2009. Comparison Immunochromatography Test and Peripheral Blood Smear
Microscopically for Malaria Diagnosis in Endemic Region, Center of Halmahera,
www.litbang.depkes.go.id.
Depkes RI. 2008. Pedoman Penatalaksanaan kasus Malaria, Dirjen PPM dan PL Depkes RI,
Jakarta
Dinas Kesehatan Kabupaten Halmahera Tengah, 2010. Profil Kesehatan Kabupaten Halmahera
Tengah Tahun 2010
Harijanto, P.N. 2009. Malaria dari Molekuler ke Klinis. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta
Nurlian (2006). Sekitar 40% Penduduk Dunia masih tinggal daerah yang memiliki risiko terkena
infeksi malaria. www.litbang.depkes.go.id.
Prabowo, A. (2004). Malaria Mencegah dan Mengatasinya. Penerbit Puspa Swara, Jakarta
Soedarto. (2011). Malaria. Penerbit Sagung seto, SurabayaTewodros, Z, et al, 2011 Association of
ABO Group and Plasmodium falciparum Malaria in Done Bafeno Area, Southern
Ethiopia. www.malariajournal.com

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

51

INDONESIA

JURNAL

FAKTOR MATERNAL DAN PSIKOSOSIAL KELAHIRAN PREMATUR DI RSKD IBU


DAN ANAK PERTIWI DAN RSKD IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
Nur Kamar
Staf Kantor Kesehatan Pelabuhan Makassa
ABSTRACT
The research aimed at elaborating the maternal and psychosocial risk factors of
premature births. This was analitytic observational research with the case control study design.
Samples were taken by the purposive sampling technique. The samples were as many 162 with
comparison of 1:2 between the case and controls. The data were analysed using univariate,
bivariate and multivariate tests.
The results of the reserch indicates that the significant risk factors on the premature birth
are : parity (OR = 5.5 95% CI: 2.50 to 12.10, p = 0.000), anemia (OR = 2.65 95% CI: 1.26 -5.71,
p = 0.005), abortion history(OR = 4.95 95% CI: 2.18 to 11.31, p = 0.000), infection (OR = 2.27
95% CI: 1.09 - 4.69, p = 0.015), and exposure to tobacco smoke (OR = 8.10 95% CI: 3.48 to
19.89, p = 0.000). Whereas the insignificant risk factors on the premature births are: pregnancy
interval (OR = 1.65 95% CI: 0.77 to 3.48, p = 0.151), sexual activity (OR = 1.98 95% CI: 0.94
-4.13, p = 0.046) and coffee consumption (OR = 2.01 95% CI: 0.02 to 159.92, p = 0.614).
Key words: Premature, Maternal and Psychosocial Factors
PENDAHULUAN

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

52

JURNAL

INDONESIA

Partus prematur atau persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan
kurang dari 37 minggu (antara 20 37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500 gram.
Masalah bayi prematur dalam pelayanan obstetrik merupakan salah satu faktor penyebab kematian
bayi di Indonesia. Kejadian partus prematur di Amerika terjadi lebih dari satu juta (10% dari
kelahiran normal) dengan perkiraan biaya lebih dari lima milyar dollar, dan kurang dari 5000 bayi
pertahun meninggal karena komplikasi prematuritas dan berat badan lahir rendah (Sastrawinata,
2004). Kematian perinatal yang tinggi disebabkan oleh bayi prematur yaitu sebesar 65-75%.
Tumbuh kembang organ vital bayi prematur terhambat, menyebabkan ia belum mampu untuk
hidup di luar kandungan sehingga sering mengalami kegagalan adaptasi yang dapat menimbulkan
morbiditas bahkan mortalitas yang tinggi (Jefferson, 2004).
Secara garis besar kejadian kelahiran bayi prematur 50 % terjadi spontan, 30 % akibat
ketuban pecah dini dan 20 % dilahirkan atas indikasi ibu dan janin. Secara umum faktor risiko
penyebab kejadian kelahiran prematur antara lain : faktor idiopatik, latrogenik (elektif), faktor
psiko sosial, faktor demografik, faktor maternal, faktor janin, infeksi dan genetik. Faktor maternal
diantaranya paritas, interval kehamilan, anemia, riwayat abortus sedangkan faktor psiko sosial
diantaranya keterpaparan asap rokok, aktivitas seksual dan perilaku minum kopi (Wijayanegara H
dkk, 2009).
Paritas meningkatkan kejadian persalinan prematur. Sekitar 35-50% wanita yang
melahirkan lebih dari tiga kali melahirkan bayi prematur, apalagi jika didukung dengan riwayat
persalinan prematur sebelumnya. Interval kehamilan yang terlalu dekat juga mengakibatkan rahim
ibu belum pulih sempurna sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin. Hasil penelitian
dengan menggunakan desain case control study mendapatkan bahwa jarak kehamilan kurang dari
2 tahun memiliki 3,4 kali lebih berisiko untuk melahirkan prematur (Anggraini, 2007).
Kelahiran prematur dapat dialami oleh ibu hamil yang anemia. Hal ini disebabkan
karena adanya gangguan pada pengangkutan oksigen keseluruh tubuh yang dapat mempengaruhi
kondisi tubuh ibu dan menghambat perkembangan janin yang dikandungnya sehingga
menyebabkan terjadinya persalinan prematur (Rochjati P, 2003).
Paparan asap rokok dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan, persalinan
prematur, bayi berat lahir rendah, lahir mati, dan sindrom kematian bayi mendadak, hal ini
disebabkan oleh nikotin yang terkandung dalam asap rokok. Nikotin menimbulkan kontraksi pada
pembuluh darah, akibatnya aliran darah ke janin melalui tali pusar janin akan berkurang sehingga
mengurangi kemampuan distribusi zat makanan yang diperlukan oleh janin (Amiruddin R, 2007).
Konsumsi kopi yang mengandung lebih dari 300 milligram kafein perhari dapat menyebabkan
cacat lahir, kelahiran prematur, mengurangi kesuburan dan menyebabkan bayi berat lahir
rendah (Maslova, dkk 2010).
Keterkaitan beberapa faktor yang diduga berkaitan baik secara langsung maupun tidak
langsung terhadap kejadian prematur diantaranya faktor idiopatik, Iatrogenik, psikososial,
maternal, janin, genetik dan infeksi. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan retardasi
pertumbuhan dalam rahim sehingga menyebabkan kelahiran prematur.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian dilakukan di RSKDIA Pertiwi dan RSKDIA Siti Fatimah Makassar. Jenis
penelitian menggunakan desain case control study.
Populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di RSKDIA Pertiwi dan
RSKDIA Fatimah Makassar pada bulan Pebruari - April 2012. Sampel sebanyak 162 dengan
perbandingan 1:2 antara kasus dan kontrol. Penarikan sampel dengan teknik purposive sampling
yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu minimal kehamilan kedua dan bersedia menjadi sampel
(Lameshow, 1997).
Metode pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung dengan menggunakan
kuesioner. Variabel yang diteliti adalah faktor maternal diantaranya paritas, interval kehamilan,
anemia, riwayat abortus sedangkan faktor psiko sosial diantaranya keterpaparan asap rokok,
aktivitas seksual dan perilaku minum kopi. Data diolah dengan menggunakan program STATA
(Amiruddin, R dan Alwi, A, 2012).
HASIL
Grafik 1 menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan paritas terbanyak pada paritas
3 yaitu sebanyak 112 orang (69,14%). Berdasarkan Kelahiran Prematur, jumlah responden pada

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

53

JURNAL

INDONESIA

kontrol dengan paritas 3 mempunyai proporsi yang tinggi sebanyak 88 orang (81,48%)
dibanding kelompok kasus dengan paritas 3 sebanyak 24 orang (44,44%).
Grafik 1.Distribusi Responden Berdasarkan Paritas Di RSKDIA Pertiwi dan RSKDIA Siti
Fatimah Makassar Tahun 2012

Nilai OR paritas = 5,5 (95% CI : 2,50-12,10) dan nilai p = 0,000

Jumlah responden berdasarkan interval kehamilan terbanyak pada interval kehamilan 2


tahun sebanyak 111 orang (68,52%). Berdasarkan Kelahiran Prematur, jumlah responden pada
kasus dengan interval kehamilan 2 tahun mempunyai proporsi lebih rendah sebanyak 33 orang
(61,11%) dibanding kelompok kontrol dengan interval kehamilan 2 tahun sebanyak 78 orang
(72,22%). Lebih jelasnya pada grafik 2.

Grafik 2. Distribusi Responden Berdasarkan Interval Kehamilan Di RSKDIA Pertiwi dan


RSKDIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2012

Nilai OR interval kehamilan = 1,65 (95% CI : 0,77-3,48) dan nilai p = 0,151


Grafik 3. Distribusi Responden Berdasarkan Anemia Di RSKDIA Pertiwi dan RSKDIA Siti
Fatimah Makassar Tahun 2012

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

54

INDONESIA

JURNAL

Nilai OR anemia = 2,65 (95% CI : 1,26-5,71) dan nilai p = 0,005


Grafik 3 menunjukkan bahwa jumlah responden berdasarkan anemia terbanyak pada
kadar Hb < 11 gr% sebanyak 89 orang (54,94%). Berdasarkan kejadian prematur, jumlah
responden pada kasus dengan kadar Hb < 11 gr % mempunyai proporsi tertinggi sebanyak 38
orang (70,37%) dibanding dengan kelompok kontrol yang kadar Hb < 11 gr % sebanyak 51 orang
(47,22%).
Grafik 4. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Abortus Di RSKDIA Pertiwi dan
RSKDIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2012

Nilai OR riwayat abortus = 4,95 (95% CI : 2,18-11,31) dan nilai p = 0,000


Grafik diatas menunjukkan jumlah responden berdasarkan riwayat abortus terbanyak
pada risiko rendah sebanyak 121 orang (74,69%). Berdasarkan kelahiran prematur, jumlah
responden pada kontrol yang tidak memiliki riwayat abortus mempunyai proporsi tertinggi
sebanyak 92 orang (85,19%) dibanding kelompok kasus yang tidak mempunyai riwayat abortus
sebanyak 29 orang (53,70%).
Berdasarkan variabel keterpaparan asap rokok responden terbanyak pada risiko tinggi
sebanyak 82 orang (50,62%). Berdasarkan kelahiran prematur, jumlah responden pada kasus yang
terpapar asap rokok mempunyai proporsi tertinggi sebanyak 44 orang (81,48%) dibanding
kelompok kontrol yang terpapar asap rokok sebanyak 38 orang (35,19%).
Berdasarkan variabel aktivitas seksual responden terbanyak pada risiko rendah yaitu
sebanyak 107 orang (66,05%). Berdasarkan kelahiran prematur, jumlah responden pada kontrol
yang tidak sering melakukan aktivitas seksual selama kehamilan 29-36 minggu (risiko rendah)
mempunyai proporsi tertinggi sebanyak 77 orang (71,30%) dibanding kelompok kasus sebanyak
30 orang (55,56%).
Jumlah responden berdasarkan konsumsi kopi terbanyak pada risiko rendah sebanyak 160
orang (98,77%). Berdasarkan kelahiran prematur, jumlah responden pada kontrol yang minum
kopi 3 gelas sehari (risiko rendah) mempunyai proporsi tertinggi sebanyak 107 orang (99,07%)
dibanding kelompok kasus yang minum kopi 3 gelas sehari sebanyak 53 orang (98,15%).
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa 3 variabel yang bermakna dalam uji regresi berganda
logistik yaitu paritas dengan nilai OR = 6,37, p = 0,000, riwayat abortus dengan nilai OR = 5,74, p
= 0,000 dan keterpaparan asap rokok dengan nilai OR = 6,28, p = 0,000.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

55

INDONESIA

JURNAL

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Berganda Logistik Kejadian Prematur Di RSKDIA Pertiwi
dan RSKDIA Siti Fatimah Makassar Tahun 2012
Variabel
Paritas
Riwayat
Abortus
Keterpaparan
Asap Rokok
Constant
DataPrimer, 2012

Coef

OR

1,852

4,11

1,747

3,66

6,37
5,74

1,839

4,16

-2,715

6,28

95% CI
Lower
Upper
2,63
15,44
2,25

14,64

2,65

14,94

-6,58

Probabilitas terjadinya kelahiran prematur pada mereka yang memiliki paritas > 3,
memiliki riwayat abortus dan merokok atau terpapar asap rokok 10 batang perhari adalah 92,34
%, sedangkan probabilitas terjadinya kelahiran prematur pada mereka yang memiliki paritas 3,
tidak memiliki riwayat abortus dan tidak merokok atau terpapar asap rokok < 10 batang perhari
adalah 4,99%.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis bivariat ada lima (5) variabel yang bermakna secara signifikan
yaitu paritas, anemia, riwayat abortus, infeksi dan keterpaparan asap rokok. Hasil analisis paritas
terhadap kejadian prematur diperoleh nilai OR = 5,5 (95% CI: 2,50-12,10). Dengan demikian
responden yang memiliki kadar paritas > 3 kali memiliki risiko 5,5 kali lebih besar dibanding yang
memiliki paritas 11 gr%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Anggraini, R, (2007) dengan desain
case control yang menemukan bahwa ibu dengan multipara dan grandemultipara merupakan faktor
risiko kejadian prematur dengan nilai OR=4 untuk multipara, dan OR=5 untuk grande multipara.
Paritas yang tinggi memberikan gambaran tingkat kehamilan yang banyak yang dapat
menyebabkan risiko kehamilan, dan kelahiran prematur, semakin banyak jumlah kelahiran yang
dialami oleh ibu semakin tinggi risiko untuk mengalami komplikasi, hal ini dapat diterangkan
bahwa setiap kehamilan yang disusul dengan persalinan akan menyebabkan kelainan uterus dalam
hal ini kehamilan yang berulang-ulang menyebabkan sirkulasi nutrisi kejanin (Wiknjosastro,
2005).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat tertentu sebelum buah
kehamilan tersebut mampu untuk hidup diluar kandungan. Dampak abortus yakni perdarahan
sampai menimbulkan shock dan gangguan neurologis/syaraf dikemudian hari. Perdarahan juga
dapat mengakibatkan infeksi alat reproduksi dan penipisan dinding uterus karena kuretasi yang
dilakukan secara tidak steril (Depkes, 2005).
Abortus diduga mempunyai mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya, baik pada
timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri. Wanita dengan riwayat
abortus mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya persalinan premature, abortus
berulang, dan BBLR. Hasil analisis riwayat abortus terhadap kejadian prematur diperoleh nilai
OR= 4,95 (95% CI : 2,18-11,31). Dengan demikian responden yang memiliki riwayat abortus
memiliki risiko 4,95 kali lebih besar dibanding yang tidak memiliki riwayat abortus pada
kehamilan sebelumnya.
Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan uji Odds Ratio (OR) infeksi terhadap kejadian
Prematur diperoleh nilai OR= 2,27 (95% CI: 1,09-4,69). Oleh karena nilai LL dan UL tidak
mencakup nilai satu maka variabel infeksi signifikan terhadap kejadian prematur.
Berdasarkan hasil analisis Odds Ratio (OR) keterpaparan asap rokok terhadap kejadian
Prematur diperoleh nilai OR = 8,10 (95% CI : 3.48-19,89). Dengan demikian responden yang
terpapar asap rokok memiliki risiko 8,10 kali lebih besar dibanding yang tidak terpapar asap rokok
pada saat hamil. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu maka variabel
keterpaparan asap rokok bermakna secara signifikan terhadap kejadian prematur.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Ridwan, A (2006) yang menemukan bahwa
ibu yang terpapar asap rokok, baik ibu sendiri yang merokok maupun terpapar oleh orang
lain selama mengandung memiliki kemungkinan 2,313 kali lebih besar (OR= 2,313)
mengalami persalinan prematur bila dibandingkan dengan ibu yang pada saat mengandung
tidak terpapar asap rokok.
KESIMPULAN DAN SARAN

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

56

INDONESIA

JURNAL

Paritas merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kelahiran prematur dengan
nilai OR sebesar 6,34 kali. Disarankan kepada ibu yang memiliki paritas > 3 untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan secara teratur sehingga kelainan ibu dan janin bisa dideteksi secara dini.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, R. 2005. Analisis Risiko Pajanan Asap Rokok Terhadap Berat Badan Lahir di RS
Fatimah Makassar 2005, FKM UNHAS
Anggraini, R. 2007. Pengaruh Jarak Kehamilan Terhadap Kematian Perinatal di Kabupaten Agam.
http://www.webdev.ui.ac.id
Depkes., 2005. Buku Acuan Pelayanan Nasional: Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jefferson, R. 2004. Pengelolaan Persalinan Prematur. Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/Rumah Sakit Umum Pusat Manado.
Cermin Dunia Kedokteran No. 145, 2004
Lameshow, 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Maslova, E, dkk. 2010. Hubungan Konsumsi Kafein dengan Kelahiran Prematur. American
Journal of Clinical Nutrition.
Murti, B. 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Rochjati, P. 2003. Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil. Cetakan I. Airlangga University Press.
Surabaya
Sastrawinata, S. 2004. Obstetri Patologi. Edisi II. EGC. Jakarta
Wijayanegara, H. 2009. Obstetri Patologi. Jakarta : EGC
Winkjosastro, H. 2005. Ilmu Kandungan Edisi 2 Cetakan 4 YBP-PS, Jakarta

RISIKO PENGGUNAAN KONTRASEPSI HORMONAL TERHADAP KEJADIAN


KANKER SERVIKS DI RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR TAHUN 2012
Radeny Ramdany
Alumni Program S2 Epidemiologi PPS Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRACT
Cervix cancer is the second most common malignancy in women worldwide and become
the number one killer of all cancers in Indonesia. The aims of the research is to analyze the risk of
using hormonal contraceptives on the occurrence of cervix cancer in Dr. Wahidin Sudirohusodo
Public Hospital of Makassar in 2012. The research was conducted in Dr. Wahidin Sudirohusodo
Public Hospital of Makassar. The research design was case-control study. The sample consisted of
146 people in which the comparison between case and control was 1 : 1. The case was the patients
of cervix cancer, while the control was not the patients of cervix cancer. The method of obtaining
the data was interview using questionnaire. The methods of data analysis were bivariate statistical
test by using Odds Ratio with = 0.05, stratification by using Mantel Hanszel, and multivariate
by using logistic multiple regression analysis. The results of the research indicate that significant
risk factors on the occurrence of cervix cancer are the use of hormonal contraception (p = 0,006,
OR 2,777, CI 95% :1,241-6,361), the age of first time to get married (p = 0,000, OR 3,478, CI
95%: 1,668 -7,288), and parity (p = 0,017, OR 2,280, CI 95% :1,091-4,798). On the other hand,
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

57

INDONESIA

JURNAL

the insignificant risk factors are the number of marriages (p = 0,753, OR 1,217, CI 95% :0,2935,294), and smoking (p = 0,860, OR 1,063,CI 95%: 0,505 -2,239). The age of first time to get
married is the most dominant variable effecting the occurrence of cervix cancer (p=0,000,OR
3,825,CI 95%:1,875-7,802). Women who use hormonal contraceptives 5 years and was first
married at age 20 years had a chance of getting cervix cancer by 81,2%. It is recommended for
women to be more careful in the use of hormonal contraceptives, regular pap smear examination,
limiting the number of children, and stop smoking.
Key words: cervix cancer, risk factor, hormonal contraception
PENDAHULUAN
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari sel epitel skuamosa. Kanker
serviks merupakan kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya antara rahim (uterus) dan
liang senggama atau vagina. Kanker serviks merupakan keganasan paling umum kedua pada
wanita diseluruh dunia, dan merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada wanita di
negara-negara berkembang (Notodiharjo, 2002). Prevalensi kanker serviks di Indonesia mencapai
90-100 kasus per 100.000 penduduk, di mana ditemukan 200.000 kasus baru setiap tahunnya.
Kanker serviks di Indonesia telah menjadi pembunuh nomor satu dari keseluruhan kanker
(Wardoyo, 2009).
Banyak faktor yang diduga meningkatkan kejadian kanker serviks, salah satunya adalah
penggunaan kontrasepsi hormonal. Penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal
menyebabkan wanita sensitif terhadap HPV yang dapat menyebabkan adanya peradangan pada
genitalia sehingga berisiko untuk terjadi kanker serviks (Belinson S, et. al, 2002). Usia pertama
kali melakukan hubungan seksual berisiko terhadap kanker serviks. Makin muda seorang
perempuan melakukan hubungan seksual, makin besar risiko yang harus ditanggung untuk
mendapatkan kanker serviks dalam kehidupan selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada umur
muda epitel serviks uteri belum cukup kuat untuk menerima rangsangan spermatozoa (Rasjidi,
2007).
Jumlah pasangan seksual berhubungan dengan kejadian kanker serviks. Berdasarkan
penelitian risiko kanker serviks meningkat lebih dari 10 kali bila berhubungan dengan 6 atau lebih
mitra seks, atau bila berhubungan dengan laki-laki berisiko tinggi (laki-laki yang berhubungan
seks dengan banyak wanita). Jumlah pasangan seksual yang banyak memperbesar kemungkinan
terinfeksi HPV (Dalimartha, 2004). Kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering
melahirkan. Hal ini disebabkan karena semakin seringnya sel-sel epitel serviks mengalami
rangsangan hebat akibat persalinan sehingga dapat mempengaruhi proses metaplasia sel-sel
menjadi displasia (Rauf, 2006).
Wanita perokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks dibandingkan
wanita yang tidak merokok. Lendir serviks pada wanita perokok mengandung nikotin dan zat-zat
lainnya yang ada didalam rokok. Zat-zat tersebut akan menurunkan daya tahan serviks sehingga
dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Merokok juga dapat mempercepat pengembangan sel
yang disebut sel Squamous Intraepithelial Lesions (SIL) yaitu sel yang dapat menyebabkan kanker
serviks (Sukaca, 2009).
Melihat tingginya jumlah wanita yang menderita kanker serviks maka diperlukan
penelitian lebih jauh mengenai faktor risiko kejadian kanker serviks, terutama dalam menganalisis
adanya hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks
sehingga dapat diambil langkah pencegahan guna meminimalisir faktor risiko tersebut sehingga
angka morbiditas dan mortalitas kanker serviks dapat ditekan.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus kontrol (case control study)
(Sudigdo, 2002).
Populasi dan sampel
Populasi adalah seluruh pasien rawat inap maupun rawat jalan yang berobat dan terdata di
bagian rekam medik RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jumlah sampel sebanyak 146
dengan perbandingan antara kasus dan kontrol 1 : 1 (Lameshow, et al.,1997). Kasus adalah
penderita kanker serviks sedangkan kontrol bukan penderita kanker serviks. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner.
Analisis Data
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

58

INDONESIA

JURNAL

Data diolah dengan menggunakan program STATA. Dilakukan analisis bivariat untuk
mengetahui besar risiko terhadap kejadian kanker serviks digunakan Odds Ratio (OR). Analisis
multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian kanker
serviks digunakan uji Regresi Logistik. Sedangkan untuk mengetahui adanya confounding
digunakan analisis stratifikasi (Murti, 1995).
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini.
Distribusi kejadian kanker serviks berdasarkan umur, terbanyak ditemukan pada kelompok umur
43-50 tahun yaitu sebanyak 28,8%, sedangkan paling sedikit ditemukan pada kelompok umur 1926 tahun yaitu sebanyak 1,4%.
Tabel 1.

Distribusi Karakteristik Responden di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

Variabel
Kelompok Umur
19-26
27-34
35-42
43-50
51-58
59-66
67
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
Tidak Tamat SD
SD
SMP/sederajat
SMA/sederajat
Diploma/PT
Pekerjaan
IRT
Petani
PNS
Wiraswasta
Data Primer

Kasus

Kontrol

Jumlah
%

1
7
16
21
19
7
2

1,4
9,6
21,9
28,8
26,0
9,6
2,7

1
7
16
21
19
7
2

1,4
9,6
21,9
28,8
26,0
9,6
2,7

2
14
32
42
38
14
4

1,4
9,6
21,9
28,8
26,0
9,6
2,7

8
9
28
10
16
2

11,0
12,3
38,4
13,7
21,9
2,7

4
3
23
7
24
12

5,5
4,1
31,5
9,6
32,9
16,4

12
12
51
17
40
14

8,2
8,2
34,9
11,7
27,4
9,6

47
10
8
8

64,3
13,7
11,0
11,0

56
5
9
3

76,7
6,9
12,3
4,1

103
15
17
11

70,6
10,3
11,6
7,5

Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan terbanyak pada kelompok kasus yaitu
tamatan SD sebanyak 38,4% dan yang terendah adalah tingkat pendidikan Diploma/PT sebanyak
2,7%. Pada kelompok kontrol proporsi responden terbanyak pada tingkat pendidikan
SMA/sederajat sebanyak 32,9% dan yang terendah yaitu tidak tamat SD sebanyak 4,1%. Distribusi
responden berdasarkan pekerjaan, tertinggi pada kelompok kasus dan kontrol adalah ibu rumah
tangga yaitu sebanyak 64,3% pada kasus dan sebanyak 76,7% pada kelompok kontrol, sedangkan
yang terendah pada kelompok kasus adalah PNS dan wiraswasta yaitu masing-masing 11,0% dan
pada kelompok kontrol adalah wiraswasta yaitu sebanyak 4,1%.
Hasil Analisis
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa responden yang menggunakan kontrasepsi hormonal 5
tahun lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (39,7%) dibandingkan pada kelompok kontrol
(19,2%), nilai OR 2,777 (1,241-6,361) dengan p value 0,006 (p<0,05). Secara statistik, terdapat
hubungan yang bermakna antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker
serviks.
Tabel 2.

Besar Risiko Kejadian Kanker Serviks di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo

Variabel
Penggunaan Kontrasepsi
Hormonal
Risiko Tinggi (5 thn)

Kejadian BBLR
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

95% CI

29

2,777

1,24-6,36

0,006

39,7

14

19,2

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

59

INDONESIA

JURNAL
Risiko Rendah (<5 thn)
Usia Pertama
Kali Menikah
Risiko Tinggi (20 thn)
Risiko Rendah (>20 thn)
Jumlah Perkawinan
Risiko Tinggi (2)
Risiko Rendah (<2)
Paritas
Risiko Tinggi (3)
Risiko Rendah (<3)
Merokok
Risiko Tinggi (Merokok)
Risiko Rendah(Merokok)
Data Primer

44

60,3

59

80,8

49
24

67,1
32,9

27
46

37,0
63,0

3,478

1,66-7,28

0,000

6
67

8,2
91,8

5
68

6,9
93,1

1,217

0,29-5,29

0,753

52
21

71,2
28,8

38
35

52,1
47,9

2,280

0,09-4,79

0,017

49
24

67,1
32,9

48
25

65,7
34,3

1,063

0,50-2,23

0,860

Responden yang usia pertama kali menikah 20 tahun lebih banyak ditemukan pada
kelompok kasus (67,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol (37,0%), nilai OR 3,478 (1,6687,288) dengan p value 0,000 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara
usia pertama kali dengan kejadian kanker serviks. Responden yang memiliki jumlah perkawinan
2 lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus (8,2%) dibandingkan pada kelompok kontrol
(6,9%), nilai OR 1,217 (0,293-5,294) dengan p value 0,753 (p>0,05). Secara statistik, tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah perkawinan dengan kejadian kanker serviks.
Responden yang memiliki paritas 3 lebih banyak ditemukan pada kelompok kasus
(71,2%) dibandingkan pada kelompok kontrol (52,1%), nilai OR 2,280 (1,091-4,798) dengan p
value 0,017 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan
kejadian kanker serviks. Responden ataupun suaminya seorang perokok lebih banyak ditemukan
pada kelompok kasus (67,1%) dibandingkan pada kelompok kontrol (65,7%), nilai OR 1,063
(0,505-5,239) dengan p value 0,860 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara merokok dengan kejadian kanker serviks.
Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa nilai ramalan probabilitas (risiko) kejadian
kanker serviks adalah 81,2% (P = 0,812 dengan nilai y = 1,463) pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi hormonal 5 tahun dan menikah pertama kali pada usia 20 tahun dengan formula P
= 1/(1+exp-y) (Tabel 3).

Tabel 3.

Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap Kejadian


Kanker Serviks di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Variabel

Penggunaan Kontrasepsi
Hormonal
Usia Pertama Kali Menikah
Constant

Lower

95% CI
Upper

3,171

1,429

7,036

3,825

1,875

7,802

Coef.

OR

1,154

2,84

1,341
1,032

3,69

y = 1,463
P = 0,812
Data Primer
Hasil analisis stratifikasi menunjukkan variabel paritas tidak mempengaruhi hubungan
penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker serviks, dimana terjadi penurunan nilai
OR adjust dibandingkan dengan nilai OR crude. Sehingga variabel paritas bukan variabel
confounding (beda ORa dan M-H combined < 10%) (Tabel 4).
Tabel 4.

Hasil Analisis Stratifikasi Berdasarkan Variabel Paritas

Variabel

ORc

M-H
combine

95%
CI

Koef. Confounding
(>10%)

Homogeneity test
(p<0,05)

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

60

INDONESIA

JURNAL
d
Penggunaan
Kontrasepsi
Hormonal

2,777

2,519

1,1745,402

9,30%

0,366

Data Primer
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa variabel yang signifikan mempengaruhi
kejadian kanker serviks yaitu penggunaan kontrasepsi hormonal, usia pertama kali menikah dan
paritas. Hasil penelitian menemukan 63,7% responden menggunakan kontrasepsi hormonal
dimana presentase kasus lebih banyak daripada kontrol dan terdapat 51,6% responden yang pernah
ganti cara kontrasepsi hormonal, dimana presentase kasus lebih banyak daripada kontrol.
Berdasarkan jenisnya, sebagian besar responden (77,4%) menggunakan jenis kontrasepsi pil.
Kontrasepsi hormonal berupa pil memberikan efek negatif untuk kanker serviks disebabkan
tugasnya untuk mencegah kehamilan dengan cara menghentikan ovulasi dan menjaga kekentalan
lender servikal sehingga tidak dilalui sperma. Hal ini dapat menimbulkan peradangan pada
genitalia sehingga berisiko untuk terjadi kanker serviks.
Hasil analisis bivariat diperoleh nilai OR sebesar 2,777 pada tingkat kepercayaan (CI) =
95% dengan LL = 1,241 dan UL = 6,361. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu,
maka nilai 2,777 dianggap bermakna. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tira (2008) yang menemukan bahwa pengguna kontrasepsi hormonal mempunyai risiko 1,244 kali
lebih tinggi untuk terkena kanker serviks dibandingkan yang bukan pengguna kontrasepsi
hormonal. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamalding (2010)
yang menemukan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal berisiko 3,704 kali lebih tinggi untuk
terkena kanker serviks dibandingkan yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal.
Usia pertama kali melakukan hubungan seksual yang terlalu dini dapat meningkatkan
risiko terserang kanker serviks. Makin muda usia pertama kali melakukan hubungan seksual,
makin tinggi risiko mendapatkan kanker serviks. Hal ini dikarenakan pada usia muda, epitel
serviks uteri belum matang sehingga rentan terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh spermatozoa.
Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu
berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Ketika ada rangsangan, sel bisa tumbuh lebih
banyak dari sel yang mati, maka kelebihan sel ini bisa berubah sifat menjadi sel kanker. Lain
halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia diatas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi
terlalu rentan terhadap perubahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi penderita kanker serviks lebih banyak yang
usia pertama kali menikah 20 tahun yakni sebesar 67,1% dibandingkan yang usia pertama kali
menikah > 20 tahun sebesar 32,9%. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia pertama kali menikah
20 tahun berperan terhadap derajat keterpaparan dan besarnya risiko terkena kanker serviks. Hasil
analisis bivariat diperoleh nilai OR sebesar 3,478 pada tingkat kepercayaan (CI) = 95% dengan LL
= 1,668 dan UL = 7,288. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai satu, maka nilai 3,478
dianggap bermakna. Dengan demikian, responden yang usia pertama kali menikah 20 tahun
memiliki risiko 3,478 kali lebih besar untuk menderita kanker serviks bila dibandingkan dengan
responden yang usia pertama kali menikah > 20 tahun. Hasil analisis multivariat menunjukkan
bahwa usia pertama kali menikah adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian kanker
serviks dengan nilai OR = 3,825.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Joeharno (2005) bahwa usia
pertama kali menikah merupakan faktor risiko terhadap kejadian kanker serviks dengan besar
risiko 2,545 kali pada perempuan yang menikah pada usia 20 tahun dibandingkan dengan yang
menikah pada usia > 20 tahun. Penelitian ini juga didukung oleh sebuah penelitian yang dilakukan
Taherian,et.al (2002) di Kuwait, yang menemukan bahwa kejadian kanker serviks berhubungan
dengan usia pertama menikah (OR= 5, 95% CI:1,5-16,6; P=0,008). Kanker serviks sering kali
ditemukan pada wanita yang sering melahirkan. Hal ini dapat disebabkan karena perlukaan dan
trauma yang sering terjadi saat proses persalinan, perubahan hormonal akibat kehamilan, dan
adanya infeksi dan iritasi menahun.
Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi responden yang memiliki jumlah paritas 3
lebih banyak ditemukan pada pasien yang menderita kanker serviks yaitu sebesar 71,2%
dibandingkan yang tidak menderita kanker serviks (52,1%). Sedangkan responden yang memiliki
jumlah paritas < 3 lebih banyak ditemukan pada pasien yang tidak menderita kanker serviks yaitu
sebesar 47,9% dibandingkan pasien yang menderita kanker serviks (28,8%). Hal ini disebabkan
karena masih kurangnya kesadaran para ibu untuk membatasi jumlah anak tidak lebih dari 2
orang. Selain itu, juga karena masih adanya anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki. Padahal
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

61

JURNAL

INDONESIA

dari sudut pandang medis memiliki paritas 3 dapat memicu berbagai macam gangguan kesehatan
diantaranya adalah kanker serviks.
Hasil analisis bivariat diperoleh nilai OR=2,280 pada tingkat kepercayaan (CI) = 95%
diperoleh nilai LL = 1,091 dan UL = 4,798. Oleh karena nilai LL dan UL tidak mencakup nilai
satu, maka nilai 2,280 dianggap bermakna antara paritas dengan kejadian kanker serviks. Dengan
demikian responden yang memiliki paritas 3 berisiko 2,280 kali lebih besar untuk mengalami
kanker serviks daripada responden yang memiliki paritas < 3. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Hamalding (2010) yang menemukan bahwa paritas 3 berisiko 3,220
kali untuk menderita kanker serviks dibanding dengan paritas < 3. Penelitian ini juga sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khasbiah (2004) yang menemukan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara paritas dengan kejadian kanker serviks uteri (p= 0,000018, OR=8,11).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal,
usia pertama kali menikah, dan paritas berisiko terhadap kejadian kanker serviks. Usia pertama
kali menikah merupakan variabel paling berpengaruh terhadap kejadian kanker serviks. Wanita
yang menggunakan kontrasepsi hormonal 5 tahun dan menikah pertama kali pada usia 20
tahun memiliki peluang untuk mendapatkan kanker serviks sebesar 81,2%. Bagi wanita
disarankan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan kontrasepsi hormonal, secara teratur
melakukan pemeriksaan pap smear, membatasi jumlah anak, dan menghentikan kebiasaan
merokok.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada seluruh pihak RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar yang telah mengizinkan
melakukan penelitian dan para pasien yang bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Belinson S, et. al. 2002. Descriptive Evidence That Risk Profiles for Cervical Intraepithelial
Neoplasia 1,2 & 3 are Unique. Am.J,189: 295-304.
Dalimartha S. (2004). Deteksi Dini Kanker. Penebar Swadaya. Jakarta.
Joeharno, Moh. 2005. Analisis Faktor Risiko Kejadian Kanker Servik, (Online).
http://www.scribd.com/doc/50878845/Jurnal-M-Joeharno, diunduh 6 Februari 2012.
Khasbiyah. (2004). Beberapa Faktor Risiko Kanker Serviks Uteri (Studi Pada Penderita Kanker
Serviks Uteri di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang Pada Bulan AgustusSeptember 2004), (Online). http://www.fkm-undip.or.id, diunduh tanggal 6 Februari
2012).
Murti, Bhisma. 1995. Prinsip dan Metode Riset. Gadjah Mada University Press.
Rasjidi, Imam. 2007. Vaksin Human papilloma Virus dan Eradikasi Kanker Mulut Rahim. Sagung
Seto. Jakarta.
Rauf, Syarul. 2006. Penanggulangan Kanker Leher Rahim. WIDI Cabang Makassar. Edisi 4: 1417.
Sudigdo, 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis Edisi Ke-2. CV Sagung Seto. Jakarta.
Sukaca, Bertiani. 2009. Cara Cerdas Menghadapi Kanker Serviks (Leher Rahim). Genius
Publisher. Yogyakarta.
Taherian, A.A., et. al. (2002). Study of Risk Factors for Cervical Cancer, A Case-Controlled Study
in Isfahan-Iran. Kuwait Medical Journal Vol. 34, No.2:128-132.
Wardoyo H. (2009). Tiap Jam Satu Wanita Meninggal Akibat Kanker Serviks di Yogyakarta,
(Online).
http://www.berita2.com/nasional/kesehatan/1384-tiap-jam-satuwanitameninggal-akibat-kanker-serviks.pdf, diunduh 19 januari 2012.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

62

INDONESIA

JURNAL

FAKTOR RISIKO KEJADIAN PREEKLAMPSIA DI RSKD


IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR
TAHUN 2012
Wahyuny Langelo
Staf Pengajar Universitas Katolik De La Salle Manado
ABSTRACT
Preeclampsia is a hypertensive disorder in pregnancy is accompanied by hypertension,
proteinuria, and edema. The research aim at elaborating the risk factors on the preeclampsia
incident in Siti Fatimah Mothers and Childrens Regional Specific Hospital Makassar City. This
was a retrospective study with case control study design. The samples were 68 mothers who
suffered from preeclampsia and 78 mothers who did not suffered from preeclampsia. The samples
were taken by using a purposive sampling technique. The data were analyzed by using the test of
Odds ratio (OR) statistics and the logistic regression by using the computer program of SPSS. The
results of the research indicates that the mothers age (p= 0,000 OR 3,734 95% CI: 1,878-7,423),
parity (p= 0,000 OR 3,425 95% CI: 1,731-6,774), antenatal care (ANC) (p= 0,003 OR 2,729 95%
CI: 1,395-5,339) have the significant risk, whereas the factors of obesity (p= 0,417 OR 2,475 95%
CI: 0,421-13,392) and exercise (p = 0.705 OR 1,563 95% CI: 0.337 to 7,242) have the
insignificant risk. The age is the most influential determinant on the preeclampsia incident (OR =
2,492). This study suggests pregnant women on regular and routine pregnancy checks to minimize

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

63

JURNAL

INDONESIA

the risk incidence of preeclampsia and to health workers to implement the most appropriate
antenatal care standard.
Keywords : preeclampsia, risk factors.
PENDAHULUAN
Angka kematian ibu (AKI) berguna untuk menggambarkan status gizi dan kesehatan ibu,
kondisi kesehatan lingkungan serta tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil,
melahirkan dan masa nifas (Amiruddin, 2007). Badan Kesehatan dunia atau (WHO,2004)
merperkirakan bahwa di seluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa pertahun
diperkirakan karena perdarahan (25%), penyebab tidak langsung (20%), infeksi (15%), aborsi
yang tidak aman (13%), preeklampsia/eklampsia (12%), persalinan yang kurang baik (8%) dan
penyebab langsung lainnya (8%).
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah
umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20
minggu bila terjadi penyakit trofoblastik. (Sudhaberta, 2001).Teori yang dewasa ini banyak
dikemukakan sebagai penyebab preeklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi
dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang bertalian dengan penyakit itu.
Penyebab terjadinya preeklampsia tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia (multiple causation).
Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan
obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Trijatmo, 2007).
Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab kedua setelah perdarahan sebagai penyebab
langsung yang spesifik terhadap kematian maternal (Kelly, 2007). Pada sisi lain insiden dari
eklampsia pada negara berkembang sekitar 1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700
kehamilan. Pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dam Etiopia bervariasi sekitar
1.8% sampai dengan 7.1%. Di Nigeria prevalensinya sekitar 2% sampai dengan 16.7% (Osungbade,
2011).
Pada penelitian yang dilakukan di RSUD Dr Pirngadi, Medan pada tanggal 1 Maret
2001-31 Januari 2002 didapatkan lebih dari 100 kasus preeklampsia berat (Wati, 2009).
Berdasarkan data di RSUD Kota Semarang angka kejadian ibu hamil dengan Pre-Eklampsia
sebesar 14 orang (24,6%) dari total kehamilan sebanyak 569 orang selama periode Desember
2009- Februari 2010. Perkiraan jumlah kematian Ibu menurut penyebabnya di Indonesia
tahun 2010 adalah perdarahan sebanyak 3.114 (27%), pre-eklampsia dan eklampsia
sebanyak 2.653 (23%) dan infeksi sebanyak 1.268 (11%) (Hernawati, 2011).
Untuk memenuhi target MDGs mengenai penurunan Angka Kematian Ibu pada
tahun 2015 maka diperlukan kerja keras sehingga perlu adanya antisipasi terhadap faktor
risiko yang dapat menyebabkan kejadian preeklampsia pada ibu. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis faktor risiko umur, paritas, pemeriksaan kehamilan (ANC), obesitas
dan olahraga terhadap kejadian preeklampsia di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar
Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2011- 2012.
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Ibu dan Anak Siti Fatimah
Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian retrospektif dengan rancangan kasus
kontrol (case control study).
Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu yang melahirkan di RSKD Ibu dan Anak Siti
Fatimah Kota Makassar yang tercatat di rekam medik. Sampel sebanyak 146 orang, dimana
jumlah kasus adalah 68 sampel dan kontrol adalah 78 sampel yang dipilih secara random sampling
melalui teknik purposive sampling, yang telah memenuhi kriteria inklusi yaitu ibu melahirkan
dengan diagnosa preeklampsia yang tercatat di rekam medik di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah ,
ibu yang masih hidup, berdomisili di wilayah Makassar dan bersedia mengikuti penelitian ini.
Kasus adalah semua ibu melahirkan dengan diagnosa preeklampsia berdasarkan hasil
pemeriksaan dokter/bidan dan kontrol adalah ibu yang tidak terdiagnosa preeklampsia
berdasarkan hasil pemeriksaan dokter/bidan.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu primer dan sekunder. Data primer
diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dengan responden berpedoman pada
kuesioner yang telah tersedia berdasarkan daftar variabel penelitian yang telah disusun. Data
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

64

INDONESIA

JURNAL

sekunder diperoleh melalui instansi terkait yaitu RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah dimana data
yang dibutuhkan berasal dari buku partus dan buku status pada bagian rekam medik.
Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan SPSS for windows 16.0. Dilakukan analisis bivariat
untuk mengetahui besar risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan menggunakan analisis Odds
Ratio (OR). Analisis multivariat untuk mengetahui faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap
kejadian preeklampsia dengan menggunakan uji Regresi Logistik.
HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik ibu melahirkan yang menjadi sampel pada penelitian ini.
Berdasarkan distribusi umur yang paling banyak terdapat pada ibu dengan umur 2035 tahun yaitu
sebanyak 49,3% dan paling sedikit adalah ibu dengan umur lebih dari 35 tahun yaitu sebanyak
24,7%.
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel
Umur
< 20
21 35
> 40
Tingkat Pendidikan
SD
SMP
SMA
Diploma
Strata
Pekerjaan
PNS
Swasta
Tidak Bekerja
Data Primer

Kasus

Kontrol
%

Jumlah
n
%

21
22
25

30,90
32,40
36,80

17
50
11

21,80
64,10
14,10

38
72
36

26,0
49,30
24,70

27
14

39,70
20,60

30
6

38,50
7,70

57
20

39,0
13,70

23

33,80

31

39,70

54

1
3

01,50
04,40

5
6

6,40
7,70

6
9

37,0
4,10
6,20

2
3
63

2,90
4,40
92,60

4
11
63

5,10
14,10
80,8

6
14
126

4,10
9,60
86,30

Distribusi berdasarkan tingkat pendidikan ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat
pada ibu dengan tingkat pendidikan SD yaitu 39,7% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat
pendidikan Diploma yaitu 1,5%. Sedangkan pada ibu pada kelompok kontrol paling banyak pada
ibu dengan tingkat pendidikan SMA yaitu 39,7% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat
pendidikan Diploma yaitu 6,4%.
Distribusi berdasarkan pekerjaan ibu pada kelompok kasus paling banyak terdapat pada ibu
yang tidak bekerja yaitu 92,6% dan paling sedikit pada ibu yang memiliki pekerjaan sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu 2,9%. Sedangkan pada ibu pada kelompok kontrol paling
banyak pada ibu yang tidak bekerja yaitu 80,8% dan paling sedikit pada ibu yang memiliki
pekerjaan sebagai PNS yaitu 4,1%.
Analisis Bivariat
Pada tabel 2 menunjukkan bahwa ibu yang memiliki umur pada kategori risiko tinggi lebih
banyak terjadi pada kelompok kasus (67,6%) dibandingkan pada kelompok kontrol (35,9%), nilai
OR 3,73 (1,87-7,42) dengan p value 0,00 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan antara umur
dengan kejadian preeklampsia.
Tabel 2.

Besar Risiko Kejadian Preeklampsia di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah

Variabel
Umur
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Paritas
Risiko Tinggi

Kejadian Preeklampsia
Kasus
Kontrol
n
%
n
%

OR

95% CI

46
22

67,60
32,40

28
50

35,90
64,10

3,73

1,87-7,42

0,000

42

61,80

25

32,10

3,42

1,73-6,77

0,000

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

65

INDONESIA

JURNAL
Risiko Rendah
Pemeriksaan Kehamilan
(ANC)
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Obesitas
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Olahraga
Risiko Tinggi
Risiko Rendah
Data Primer

26

38,20

53

67,90

42
26

61,80
38,20

29
49

37,20
62,80

2,72

1,39-5,33

0,003

4
64

5,90
94,10

2
76

2,60
97,40

2,37

0,42-13,39

0,417

4
64

5,90
94,10

3
75

3,80
92,60

1,56

0,33-7,24

0,705

Responden yang mempunyai paritas dalam kategori risiko tinggi lebih banyak terjadi pada
kelompok kasus (61,8%) dibandingkan pada kelompok kontrol (32,1%), nilai OR 3,42 (1,73-6,77)
dengan p value 0,00 (p<0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan antara paritas dengan
kejadian preeklampsia.
Responden yang melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) pada kategori risiko tinggi
lebih banyak pada kelompok kasus (61,8%) dibandingkan pada kelompok kontrol (37,2%), dengan
nilai OR 2,72 (1,39-5,33) dengan nilai p value 0,03 (p<0,05). Secara statistik, terdapat hubungan
antara pemeriksaan kehamilan dengan kejadian preeklampsia.
Responden yang mengalami obesitas dalam kategori berisiko tinggi lebih banyak pada
kelompok kasus (5,9%) dibandingkan pada kelompok kontrol (2,6%), nilai OR 2,37 (0,42-13,39)
dengan nilai p value 0,417 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan antara obesitas
dengan kejadian preeklampsia.
Responden yang melakukan olahraga pada saat hamil dalam kategori risiko tinggi pada
kelompok kasus (5,9%) dibandingkan pada kelompok kontrol (3,8%), nilai OR 1,56 (0,33-7,24)
dengan nilai p value 0,705 (p>0,05). Secara statistik, tidak terdapat hubungan antara olahraga
dengan kejadian preeklampsia.
Analisis Multivariat
Pada tabel 3 menunjukkan variabel yang diikutkan dalam analisis multivariate yaitu umur,
paritas dan pemeriksaan kehamilan (ANC). Setelah dilakukan analisis hanya variabel umur yang
berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 2,49 dengan
tingkat kepercayaan (CI) 95% (1,12-5,53).

Tabel 3. Hasil Uji Regresi Logistik yang Paling Berpengaruh Terhadap


Preeklampsia di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah
Variabel

S.E

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Umur
Paritas
ANC

0,913
0,766
0,216

0,389
0,337
0,539

-2,715

0,389

1
1
1
1

0,025
0,062
0,614

Constant

5,033
3,472
0,254
14,88
3

2,492
2,151
1,241
0,066

0,000

Kejadian

95% CI
Lower
Upper
1,122
5,533
0,961
4,813
0,536
2,877

y = 1,802
P = 0,858
Data Primer
PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa variabel yang signifikan
mempengaruhi kejadian preeklampsia yaitu umur, paritas dan pemeriksaan kehamilan (ANC).
Pendidikan bagi kaum wanita sangatlah penting terlebih bagi ibu hamil. Dengan
pendidikan yang baik maka sangat membantu ibu hamil dalam mengetahui apa yang terjadi dalam
dirinya dan janinnya sehingga kehamilan akan lebih aman. Sikap dan tingkah laku dapat berubah
seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan dimana ini merupakan salah satu indikator sosial
dalam suatu masyarakat.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

66

JURNAL

INDONESIA

Umur ibu pada saat kehamilan merupakan salah satu faktor yang menentukan
tingkat risiko kehamilan dan persalinan Wanita yang berusia kurang dari 20 tahun dan lebih
dari 35 tahun memiliki risiko tinggi terhadap kejadian preeklampsia. Berdasarkan hasil uji
statistik dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR 3,73 dengan tingkat kepercayaan (95%) yaitu
1,87-7,42. Karena nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan didukung oleh nilai
p value sebesar 0,00 (0,00 <0,05), maka secara statistik dikatakan bermakna sehingga penelitian
ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan kejadian preeklampsia.
Hal ini dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ibu pada waktu
hamil sangat mempengaruhi kehamilannya dalam hal ini pengetahuannya mengenai tanda-tanda
dan gejala terjadinya preeklampsia tidak diketahui dengan cepat.
Penelitian yang dilakukan
oleh Rozanna (2009) menunjukkan bahwa ibu yang berusia 35 tahun merupakan faktor risiko
terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 2.75. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh
Utama (2008) menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara umur ibu melahirkan
dengan kejadian preeklampsia. Risiko kejadian preeklampsia ibu melahirkan dengan umur <20
tahun dan >35 tahun adalah 3,67 kali lebih besar.
Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup atau jumlah anak yang dimiliki oleh seorang
wanita. Faktor paritas memiliki pengaruh terhadap persalinan dikarenakan Ibu hamil memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan selama masa kehamilannya terlebih pada ibu yang
pertama kali mengalami masa kehamilan. Berdasarkan hasil uji statistik dengan uji odds ratio
diperoleh nilai OR 3,42 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu 1,73-6,77. Karena nilai lower
limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan didukung oleh nilai p value sebesar 0,00 (0,00<
0,05), maka secara statistik dikatakan bermakna sehingga penelitian ini menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian preeklampsia. Hal ini dimungkinkan
bahwa ibu yang memiliki jumlah anak yang banyak disebabkan oleh faktor kehamilan yang tidak
diinginkan dikarenakan ketidakpatuhan terhadap program KB seperti lupa meminum pil KB, lupa
melakukan suntik. Pengetahuan yang kurang akan jarak kehamilan membuat para ibu tidak
menyadari akan bahaya bagi kehamilan dan janinnya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Merviell (2008)
menunjukkan bahwa paritas merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai
OR 2.67. Penelitian yang sama yang dilakukan oleh Rozikhan (2007) menunjukkan bahwa paritas
merupakan faktor risko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 4,751 dengan nilai p
(0,031).
Pemeriksaan kehamilan adalah suatu proses pemeriksaan yang dilakukan mulai pertama
masa kehamilan sampai saat proses persalinan pemeriksaan ini dilakukan untuk mengawasi dan
memonitor kesehatan ibu dan bayi sehingga semuanya berjalan lancar seperti yang diharapkan.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai OR 2,72 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95% yaitu
1.39-5,33 Karena nilai lower limit dan upper limit tidak mencakup nilai 1 dan didukung oleh nilai
p value sebesar 0,03 (0,03 < 0,05), maka secara statistik dikatakan bermakna sehingga penelitian
ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara pemeriksaan kehamilan dengan kejadian
preeklampsia.
Hal ini dimungkinkan karena Ibu yang menderita preeklampsia juga sebagian besar tidak
memiliki pekerjaan dalam hal ini sebagai ibu rumah tangga. Peran ganda yang dimiliki oleh
seorang ibu rumah tangga membuat seorang ibu tidak memiliki waktu dan merasa capek untuk
melakukan pemeriksaan yang rutin terlebih bagi ibu yang memiliki jumlah anak yang >2.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rozanna (2009)
menunjukkan bahwa ibu yang tidak melakukan pemeriksaan kehamilan yang tidak teratur
merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR 2.66.
Obesitas memiliki banyak dampak buruk bagi kesehatan dan risikonya akan menjadi dua
kali lipat jika obesitas terjadi pada ibu hamil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan American
College of Obstetrics and Gynecology, obesitas selama kehamilan dapat membahayakan untuk
sang ibu dan bayi. Ibu hamil yang obesitas akan mudah terkena komplikasi, termasuk kejadian
preeklampsia.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai OR 2,37 dengan tingkat kepercayaan (CI) 95%
yaitu 0,42-13,39. Karena nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai 1 dengan tingkat
kepercayaan 95% dan didukung oleh nilai p value sebesar 0,417 (0,417 > 0,05), maka secara
statistik dikatakan tidak bermakna sehingga pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara olahraga dengan kejadian preeklampsia. Hal ini dikaitkan dengan
tingkat pendapatan yang rendah sehingga mereka tidak mampu untuk membeli makanan yang
memiliki konsumsi gizi yang berlebihan.
Hasil penelitian yang berbeda juga ditunjukkan oleh Merviel (2008), dalam penelitiannya
menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia dengan
nilai OR = 2,50. Penelitian yang berbeda juga dilakukan oleh Bodnar (2005) bahwa ibu hamil
yang memiliki IMT >30 memiliki risiko tiga kali lebih besar (OR =2.9 [CI 95%:1.6, 5.3])
Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

67

JURNAL

INDONESIA

dibandingkan mereka yang memiliki IMT normal. Wanita yang memiliki IMT 17 dan memiliki
57% penurunan terhadap risiko kejadian preeklampsia dan wanita yang memiliki IMT 19
dihubungkan dengan 33% penurunan terhadap risiko kejadian preeklampsia.
Olahraga merupakan cara yang baik untuk memelihara stamina tubuh dan menjaga agar
tubuh tetap sehat terlebih bagi ibu hamil karena sangat membantu dalam menguatkan jantung
sang ibu dan juga bayi yang dikandungnya. Penelitian terbaru menyatakan bahwa ibu yang
melakukan olahraga yang berlebihan pada awal kehamilannya akan berisiko terhadap kejadian
preeklampsia. Aktivitas fisik intens akan menginduksi stres oksidatif pada ibu dan ini pada
akhirnya akan memberikan kontribusi untuk pengembangan terjadinya preeklampsia.
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai OR 1,56 dengan tingkan kepercayaan (CI)
95% 0,33-7,24. Karena nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai 1 dengan tingkat
kepercayaan 95% dan didukung oleh nilai p value sebesar 0,705 (0,705 > 0,05), maka secara
statistik dikatakan tidak bermakna sehingga pada penelitian ini menunjukkan tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian preeklampsia.
Hasil penelitian yang sama yang dilakukan oleh Audrey (2004) menunjukkan bahwa ibu
hamil yang melakukan aktifitas fisik pada waktu luang secara teratur tanpa melihat banyaknya
kalori yang dikeluarakan, tidak bekerja dan memiliki pekerjaan yang tidak duduk secara terus
menerus menyebabkan terjadinya penurunan terhadap kejadian preeklampsia dengan nilai OR
0,71. Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas fisik bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian
preeklampsia.
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Penelitian yang dilakukan
oleh sterdal (2008) menunjukkan bahwa ibu hamil yang melakukan olahraga sebanyak
270 menit / minggu - 419 menit / minggu memiliki nilai OR 1.65 dan wanita dengan tingkat
aktifitas fisik sebanyak 420 menit per minggu atau lebih memiliki nilai OR sebesar 1.78 memilki
peningkatan risiko pre-eklampsia.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan mengacu pada rumusan masalah dan
hipotesis penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa umur, paritas dan peemriksaan kehamilan
(ANC) merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia sedangkan obesitas dan olahraga
bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia. Pentingnya melakukan
pemeriksaan kehamilan (ANC) secara rutin dan tidak terbatas pada 4 kali pemeriksaan kehamilan
sampai melahirkan. Pemeriksaan kehamilan yang teratur pada petugas kesehatan yang terlatih dan
pada fasilitas kesehatan yang baik dapat mendeteksi secara sedini tanda-tanda dan gejala serta
faktor risiko gangguan kehamilan dan persalinan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan
untuk mengurangi komplikasi sedini mungkin.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

68

JURNAL

INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA
Audrey F. S., Nyla L., Wenquan W., Robert W., and Michael B., 2004. Work, Leisure-Time Physical
Activity, and Risk of Preeclampsia and Gestational Hypertension. American Journal of
Epidemiology 55(6): 14-18
Amiruddin, R., Kandi, E.P., Ayani, W., Chaerunnisa,A., Ambas, W.A., Afifah, A., 2007. Current
Issue Pre Eklampsie Dan Eklamsi Di Indonesia; Bagian Epidemiologi FKM UNHAS
Makassar, (Online) diunduh 25 Januari 2012. Available from URL: HYPERLINK
http://www.scribd.com/doc/90168316/Current-Baru-Preeklamsi.
Bodnar L.,M., Ness R.,B., Markovic N, Roberts J.,M., 2005. The risk of preeclampsia rises with
increasing prepregnancy body mass index. Journal Annual of Epidemiology 15(7):47582.
Hernawati, I., 2011. Analisis Kematian Ibu Di Indonesia Tahun 2010 Berdasarkan Data SDKI,
Riskesdas Dan Laporan Rutin KIA, (Online) diunduh 28 Januari 2012. Available from
URL: HYPERLINK http://www.kesehatanibu.depkes.go.id.
Kelly O., Kim. T., Tell. K., Langer. A., 2007.. Balancing The Scales (Expanding Treatment for
Pregnant Women With Life-Threatening Hypertensive Conditions in Developing
Countries. Engerderhealth. (30): 5-8
Merviel, P., Touzart, L., Deslandes, V., Delmas, M., Coicaud, M., & Gondry, J. (2008). Risk
factors of preeclampsia in single pregnancy, Journal Gynecology Obstetric Biology
37(5):477-82.
Osterdal, M.L., Strm, M., Klemmensen, .K., et al., 2008. Does leisure time physical activity in
early pregnancy protect against pre-eclampsia? Prospective cohort in Danish women,
British Journal of Obstetrics and Gynaecology 10(6.)14-17
Osungbade K., O. & Ige O., K. (2011). Public Health Perspectives of Preeclampsia in Developing
Countries: Implication for Health System Strengthening. International Journal of
Pregnancy, 20(10):1-3
Rozanna. F., R., Dawson, A., Lohsoonthorn, V., & Williams, M.A., 2009. Risk Factors of Early
and Late Onset Preeclampsia among Thai Women, Journal Medical Assocciation, 3(5):
477486
Rozikhan.,
2007.
Faktorfaktor
risiko
terjadinya
preeklampsia
berat
di Rumah Sakit dr. H. Soewondo Kendal, Jurnal Ilmiah Universitas Diponegoro Semarang
10(3):4-5
Sudhaberta, K., 2001. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia. (Online) diunduh 28
Januari 2012. (Online) diunduh 28 Januari 2012. Available from URL: HYPERLINK
www.kalbe.co.id/files/cdk/.../cdk_133_obstetri_dan_ginekologi.
Trijatmo Rachimhadhi, 2007. Preeklamsia dan Eklamsia,Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.
Utama, Y.S., 2008. Faktor Risiko Yang Rerhubungan Dengan Kejadian Preeklampsia Berat
Pada Ibu Hamil Di RSD Raden Mataher Jambi, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi 8(2):2-4
World Health Organization, 2004. Beyond the numbers : reviewing maternal deaths and
complications to make pregnancy safer . Geneva: World Health Organization

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

69

INDONESIA

JURNAL

PETUNJUK BAGI PENULIS

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sedangkan abstrak disajikan
dalam kedua bahasa itu. Naskah diketik dalam MS. Word dengan jarak 2 spasi pada
kertas berukuran A4, font 12 pt, berjenis times new roman dan menggunakan satuan
system international (S1). Naskas dikirimkan ke penyunting dalam bentuk 2 rangkap
ketikan ketikan hard copy dan 1 CD berisi berkas naskah. Naskah yang akan diterbitkan
dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki menurut saran anonymous reviewer.
Jurnal promosi kesehatan Nusantara Indonesia diterbitkan 2 kali setahun.
Naskah yang akan diterbitkan pada jurnal masyarakat epidemiologi Indonesia harus mengikuti
sistematika penulisan sebagai berikut :
1.

JUDUL dituliskan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

2.

NAMA LENGKAP PENULIS dicantumkan lengkap dengan institusi asal penulis dan alamat
lengkap (termasuk e-mail) penulis untuk korespondensi.

3.

ABSTRAK dituliskan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang memuat secara
ringkas tujuan, metode penelitian, hasil yang diperoleh, dan kesimpulan. Abstrak dibuat dalam
satu alinea dan jumlah maksimum sebanyak 250 kata.

4.

KATA KUNCI ditempatkan setelah abstrak dan dituliskan dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dengan jumlah kata maksimum lima buah

5.

PENDAHULUAN memuat latar belakang permasalahan dan tujuan penelitian, serta ulasan
studi terdahulu.

6.

BAHAN DAN METODE mengandung sistematika penelitian yang mencakup metode,


prosedur dan instrument penelitian.

7.

HASIL DAN PEMBAHASAN memuat hasil penelitian yang dilengkapi dengan ilustrasi
berupa tabel, grafik, gambar dan foto. Pembahasan dibuat untuk menggambarkan korelasi,
tendensi, generalisasi, relevansi dan implikasi hasil penelitian.

8.

KESIMPULAN adalah berupa pernyataan singkat dan jelas mengenai hasil penelitian.

9.

UCAPAN TERIMA KASIH diisi dengan sumber pendanaan penelitian dan bantuan teknis
dari pihak yang terlibat.

10. DAFTAR PUSTAKA disusun berdasarkan abjad nama penulis. Daftar ini berisi : nama
penulis; tahun penulisan; judul tulisan; nama; nama, nomor, dan volume, halaman tulisan,
penerbit (format buku), institusi (format prosiding).

Beberapa contoh penulisan sumber acuan sebagai berikut :


Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

70

JURNAL

INDONESIA

Artikel jurnal
TA Smith, at. Al, Relationships between growth and acute respiratory infections in
children aged less than 5 years in a highland population of Papua New Guinea.
American Journal of Clinical Nutrition, Vol 53, 963 - 970
Buku
Graeff A.J., Elder, J. P., Booth, M.E.. Tampa tahun. Komunikasi untuk kesehatan dan
perubahan perilaku. Terjemahan oleh Hasan Basri M. 2001. Gadjah Mada University Press.
Bab dalam buku
Krisnawan, K, B., Supardi, S. 1996. Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kejadian
Diare Berdarah Pada Usia Balita Di Kabupaten Klaten. Berita Kedokteran Masyarakat XII
(2) : 30 40. Jakarta
Artikel dalam prosiding
Wass, Andrea. 2000. Promoting Health : The Primary Health Care Approach. 2 nd ed.
Elsevier. Australia
Tesis / Disertasi
Syafar, M. 2006. Perilaku Penderita Tuberkulosis Paru pada Penyembuhan Dengan
Pengobatan Program DOTS (Kajian Peran Sosial Budaya di Sulawesi Selatan). Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.
Laporan atau Report
Friedman, A., And G. Gracium, 2003 : A model of intracellular transport of particles in an
axon. Mathematical Biosciences Institute Oregon State Univ. Tech. Rep. No. 1,35 pp.
Sumber Internet
Setiabudi,
Ayi.
1998.
Definisi
Persepsi.
Diakses
http://id.shyoong.com/writers/ayisetiabudi/ Diakses pada tanggal 2 Januari 2009

dari

11. ILUSTRASI berupa tabel, gambar, grafik, foto dan ilustrasi lainnya diletakkan pada halaman
terpisah di bagian akhir naskah. Ilustrasi tersebut harus dapat diadopsi oleh MS. Word.

Volume 1, Nomor 1, Januari - Juni 2012

71

You might also like