You are on page 1of 28

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI

Analisa Secara Kualitatif Dan Kuantitatif Kadar Kafein Dalam Kopi Bubuk Lokal
Yang Beredar Di Kota Palembang Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

Oleh :
Ahmad Fatoni, M.Si

DIBIAYAI OLEH :
MANDIRI

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI BHAKTI PERTIWI
PALEMBANG
Desember 2015

HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN HASIL PENELITIAN MANDIRI
1.Judul penelitian

: Analisa Secara Kualitatif dan Kuantitatif Kadar Kafein


Dalam Kopi Bubuk Lokal Yang Beredar Di Kota Palembang
Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.
: Kimia Farmasi

2. Bidang Ilmu Penelitian


3. Ketua peneliti
a. Nama lengkap dan gelar
: Ahmad Fatoni, M.Si
b. Jenis kelamin
: Laki-laki
c. NIP
: 197008102000121001
d. Pangkat / Golongan
: Pembina / IV/a
e. Jabatan fugsional
: Lektor Kepala
f. Fakultas / Jurusan
: Farmasi
4. Jumlah tim peneliti
: 0 orang
5. Lokasi penelitian
: Laboratorium kimia STIFI Bhakti Pertiwi
6. Bila penelitian ini merupakan kerjasama kelembagaan :
a. Nama instansi
:b. Alamat
:7. Waktu penelitian
: 4 Bulan
8. Biaya
: MANDIRI
Mengetahui,
Pembantu Ketua I STIFI Bhakti Pertiwi

Palembang,

Erjon, M.Kes., Apt.

Desember 2015

Ketua peneliti,

Ahmad Fatoni, M.Si


NIP. 197008102000121001
Mengetahui,
Ketua LPPM
STIFI Bhakti Pertiwi

Mauizatul Hasanah, MT.


NIP. 198108082005012001

RINGKASAN DAN SUMMARY


Analisa Secara Kualitatif dan Kuantitatif Kadar Kafein Dalam Kopi Bubuk Lokal Yang
Beredar Di Kota Palembang Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
Ahmad Fatoni
STIFI Bhakti Pertiwi Palembang
Jln. Ariodillah 3 No. 22 A Palembang
Analisis kafein yang terkandung dalam kopi bubuk lokal secara kualitatitif dan
kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui kadar kafein dalam kopi bubuk lokal yang beredar di beberapa
swalayan di kota Palembang dengan metode spektrofotometri UV-Vis dan dihubungkan
dengan SNI 01-3542-2004 serta tinjauan secara teoritis dalam menkonsumsi kafein yang
terkandung dalam kopi bubuk lokal tersebut ditinjau dari Farmakope Indonesia. Metode
yang digunakan untuk analisa kafein secara kualitatif adalah kromatografi lapis tipis dan
untuk analisa secara kuantitatif dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
Hasil dari analisa secara kualitatif sampel 10 merek kopi bubuk lokal dengan
kode berturut-turut A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J mempunyai nilai Rf antara 0,11
sampai dengan 0,26. Kadar kafein (per 1 gr kopi bubuk) secara kuantitatif dari mulai
sampel merek A hingga J berturut-turut adalah 10,993 mg, 11,2505 mg, 12,9965 mg,
10,1220 mg, 12,2125 mg, 9,5123 mg, 18,9199 mg, 19,0070 mg, 21,4636 mg dan
16,3938 mg. Jika ditinjau secara teoritis menurut Farmakope Indonesia (1995), maka
sampel kopi merek A hingga J masih dalam batas wajar atau tidak melebihi dosis
lazimnya, yaitu 300-600 mg.

viii

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, karena atas rahmat
dan hidayahNya maka laporan penelitian Mandiri dengan judul Analisa Secara
Kualitatif dan Kuantitatif Kadar Kafein Dalam Kopi Bubuk Lokal Yang Beredar
Di Kota Palembang Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis dapat terselesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyakbanyaknya kepada :
1. Bapak Drs. Noprizon, M.Kes., Apt selaku Ketua Yayasan Notari Bhakti Pertiwi
2. Bapak Ketua STIFI Bhakti Pertiwi Palembang dan stafnya.
3. Ibu ketua LPPM STIFI Bhakti Pertiwi Palembang
4. Rekan-rekan dosen di pogram studi S1 dan D3 Farmasi STIFI Bhakti Pertiwi
Palembang
Atas bantuannya, baik secara material, moril dan saran dari awal penelitian
hingga terselesainya laporan ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi
kesempurnaan laporan penelitian ini. Semoga laporan penelitian ini bermanfaat bagi
kita semua, amin
Palembang, Desember 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kopi merupakan minuman yang banyak digemari masyarakat luas dari berbagai
kalangan. Saat ini pula, kopi merupakan minuman terbesar kedua yang dikonsumsi
orang di seluruh dunia, setelah air (Sofiana, 2011). Penikmat Kopi biasanya meminum
kopi 3-4 kali dalam satu hari (Maramis, dkk., 2013). Kopi memiliki banyak manfaat
bagi kesehatan jika digunakan dalam batas wajar, seperti mengurangi derita sakit
kepala, aroma kopi menghilangkan stress, kafein kopi mencegah gigi berlubang,
melegakan penderita asma, memperkaya antioksidan tubuh, melindungi kulit, mencegah
penyakit parkinson, merangsang kerja otak, dan lain-lain (Sofiana, 2011).
Sekalipun memiliki banyak manfaat, masalah utama dari menkonsumsi kopi
adalah kadar kafein yang terkandung di dalamnya (Mulato, 2001). Kafein memang
memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis, seperti menstimulasi
susunan syaraf pusat, dengan efek menghilangkan rasa letih, lapar dan mengantuk, juga
meningkatkan daya konsentrasi dan kecepatan reaksi, memperbaiki kerja otak dan
suasana jiwa, serta memperkuat kontraksi jantung. Namun pada penggunaan kafein
secara berlebihan dapat menimbulkan debar jantung, gangguan lambung, tangan
gemetar, gelisah, ingatan berkurang, dan sukar tidur (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kafein adalah senyawa alkaloid turunan xantine (basa Purin) yang secara alami
banyak terdapat pada kopi. Pada biji kopi kafein yang terkandung berkisar1-2,5%. Pada
satu cangkir kopi dalam 100 ml mengandung 80-100 mg kafein, tergantung dari
banyaknya kopi yang digunakan (Tjay dan Rahardja, 2007).
Kopi bubuk merupakan salah satu kopi yang banyak menjadi pilihan masyarakat,
baik yang lanjut usia maupun muda mudi lebih memilih kopi bubuk dibanding kopi
jenis lain karena rasanya yang khas. Oleh karena itulah banyak warung kopi yang
menjual kopi bubuk buatan lokal (Maramis dkk, 2013). Dan untuk menjamin mutu dan
keamanan kopi bubuk yang beredar di pasaran, Badan Standarisasi Nasional (BSN)
telah menetapkan standar untuk kadar kafein dalam kopi bubuk berkisar 0,45-2 % b/b
(SNI 01-3542-2004). Sehingga jika ada kopi yang mengandung kadar kafein yang

tinggi perlu dilakukan dekafeinisasi, untuk menekan aktivitas kafein di dalam tubuh
(Sofiana, 2011).
Penetapan kadar kafein dalam beberapa produk minuman dan bukan minuman
telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya dengan berbagai metode, seperti
penetapan kadar kafein pada minuman bersoda jenis kola secara KCKT (Levita dkk,
2004), Wanyika, dkk., (2010) menetapkan kadar kafein pada teh dan kopi instan
bermerek dengan menggunakan HPLC dan spektrofotometer UV-Vis. Tautua, dkk.,
(2014) menetapkan kadar kafein pada minuman ringan dan penambah energi dengan
metode spektrofotometri ultra violet.
Ling, dkk., (2001) menetapkan kadar kafein pada campuran kopi dengan metode
HPLC. Gebeyehu dan Bikila, (2015) menetapkan kadar kafein dan anti oksidan pada
kopi dengan metode UV-Vis. Penetapan kadar kafein pada kopi hitam dengan metode
spektrofotometri UV-Vis (Aptika, dkk., 2013), Arwangga, dkk., (2016) menetapkan
kadar kafein pada kopi dengan metode spektrofotometri UV-Vis.

Salihovi, dkk.,

(2014) menetapkan kadar kafein dalam daun teh hijau dan hitam dengan metode UVVis.

Maramis, dkk., (2013) menetapkan kadar kafein pada kopi bubuk dengan

menggunakan spektrofotometer UV-Vis dan penetapan kadar kafein pada minuman


berenergi dengan metode densitometri (Putri, 2013). Dari beberapa metode tersebut,
metode spektrofotometri merupakan metode yang relatif cepat, murah, dan mudah
pengerjaannya dalam menentukan kadar kafein (Alpdogan,dkk., 2002). Berdasarkan
uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap penetapan kadar
kafein pada kopi bubuk lokal yang beredar di kota Palembang dengan metode
spektrofotometri UV-Vis.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Berapa kadar kafein dalam kopi bubuk lokal yang beredar di beberapa swalayan di
kota Palembang dengan metode spektrofotometri UV-Vis?
2. Apakah kadar kafein dalam kopi bubuk sesuai dengan SNI 01-3542-2004 yaitu
0,45-2 % b/b?
3. Bagaimana perhitungan secara teori dalam menkonsumsi kadar kafein dalam kopi
bubuk lokal tersebut ditinjau dari Farmakope Indonesia?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.

Kopi
Kopi adalah sejenis minuman yang berasal dari proses pengolahan dan ekstraksi

biji tanaman kopi. Saat ini kopi merupakan komoditas nomor dua paling banyak
diperdagangkan setelah minyak bumi, dengan tingkat produksi kopi dunia setidaknya
mencapai 7 juta ton per tahun. Saat ini pula, kopi merupakan minuman terbesar kedua
yang dikonsumsi orang di seluruh dunia, setelah air. Finlandia merupakan negara yang
konsumsi per kapitanya paling tinggi, dengan rata-rata konsumsi per orang sekitar
14000 cangkir setiap tahunnya.
Kata kopi berasal dari bahasa Arab qahwah, yang berarti kekuatan, karena pada
awalnya kopi digunakan sebagai makanan berenergi tinggi. Istilah ini kemudian
diadopsi oleh negara-negara lainnya melalui perubahan lafal menjadi cafe (Perancis),
caffe (Italia), kaffe (Jerman), koffie (Belanda), coffee (Inggris) dan coffea (Latin). Kata
ini kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kopi (Sofiana, 2011).
Dalam penggunaan dalam batas wajar, kopi memiliki beberapa manfaat positif
bagi kesehatan, seperti mengurangi derita sakit kepala, aroma kopi menghilangkan
stress, kafein kopi mencegah gigi berlubang, melegakan penderita asma, memperkaya
antioksidan tubuh, melindungi kulit, mencegah penyakit parkinson, mencegah diabetes,
merangsang kerja otak, dan lain-lain (Sofiana, 2011).
Kopi bubuk adalah biji kopi yang disangrai (roasted) kemudian digiling, dengan
atau tanpa penambahan bahan lain dalam kadar tertentu tanpa mengurangi rasa dan
aromanya serta tidak membahayakan kesehatan (SNI 01-3542-2004). Kopi mengandung
kurang lebih 24 zat, yang terpenting adalah kafein, hidrat arang , tannin, zat zat asam,
zat zat pahit, lemak, dan minyak terbang (Tjay dan Rahardja, 2007).
1.2.

Kafein

1.2.1. Struktur Kimia


Kafein mempunyai nama kimia 1,3,7- trimetil xantin atau 1,3,7- trimetil
2,6,dioksi purin. Rumus molekulnya C8H10N4O2 dengan berat molekul 194.19 dan
mempunyai struktur seperti dalam gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia kafein (Depkes, 1995)


1.2.2. Sifat Fisika Kafein
Kafein berupa hablur bentuk jarum halus, mengkilat, tidak berwarna, rasa pahit,
tidak berbau, jika dipanaskan akan menyumblin tanpa penguraian pada suhu 178-180oC
dan pada tekanan 1 atm. Kafein akan larut dalam 50 bagian air, 6 bagian air suhu 80 oC,
1.5 bagian air mendidih, 75 bagian alkohol, 25 bagian alkohol suhu 60oC, 6 bagian
kloroform dan 600 bagian eter. Berat molekul 194, 19 g/mol (Wilson dan Gisvold,
1982, dalam Fitri, 2008).
1.2.3. Sifat Kimia Kafein
Kafein merupakan basa lemah, tidak berbentuk garam yang stabil dan dengan
asam mineral segera terhidrolisa dalam air. Kelarutan kafein dalam air akan meningkat
dengan adanya asam organik seperti benzoat, salisilat, sinamat atau sitrat. Karena itu
bentuk campuran ini sering ditemui dalam sediaan farmasi (Clarke, 1971).
1.2.4. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja kafein pada sel saraf berkontribusi pada efek kafein tersebut.
Aktivitas sel saraf dipengaruhi oleh senyawa adenosin. Adenosin adalah senyawa
nukleotida yang berfungsi mengurangi aktivitas sel saraf saat menempel pada sel
tersebut. Senyawa kafein juga menempel pada reseptor yang sama tetapi tidak
memperlambat aktivitas sel saraf sebaliknya menghalangi adenosin untuk berfungsi.
Kafein mengikat senyawa adenosin di otak, sehingga dampaknya aktivitas otak
meningkat dan menyebabkan hormon efinefrin atau adrenalin disebar. Hormon tersebut
akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran
darah ke otot-otot, dan mengeluarkan glukosa dari hati (Kuschingsky dan Lullman,
1973).
1.2.5. Farmakodinamik
Kafein mempunyai efek relaksasi otot polos , terutama otot polos bronchus,
merangsang susunan saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Pada jantung,

kadar rendah kafein dalam plasma akan menurunkan denyut jantung, sebaliknya kadar
kafein yang lebih tinggi menyebabkan tachicardi, bahkan pada individu yang sensitif
mungkin menyebabkan aritmia yang berdampak kepada kontraksi ventrikel yang
premature. Pada pembuluh darah, kafein menyebabkan dilatasi pembuluh darah
termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal, karena efek langsung pada otot
pembuluh darah. Sirkulasi Otak, Resistensi pembuluh darah otak naik disertai
pengurangan aliran darah dan PO 2 di otak, ini diduga merupakan refleksi adanya
blokade adenosine oleh Xantin (Katzung,1995).
Pada sistem kardiovaskular, kafein memiliki efek kronotropik (frekuensi kontraksi
jantung) dan inotropik (kekuatan kontraksi jantung) positif pada jantung, pada
konsentrasi

rendah

terjadi

peningkatan

rilis

katekolamin

yang

disebabkan

penghambatan reseptor adenosin prasinap sehingga konsumsi minuman yang


mengandung kafein biasanya dapat meningkatkan ketahanan vaskular perifer dan
tekanan darah. Kafein dapat menstimulasi pusat vasomotor dan stimulasi langsung
miokard, sehingga akan menyebabkan kenaikan tekanan darah (Tan dan Kirana, 1984).
1.2.6. Farmakokinetik
Kafein cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal atau parenteral. Sediaan
bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara cepat dan lengkap. Kafein
didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume
distribusi kafein adalah antara 400 dan 600 ml/kg eliminasi kafein terutama melalui
metabolisme dalam hati. Sebagian dieksresikan bersama urin dalam bentuk utuh. Kafein
didalam plasma akan mencapai konsentrasi maksimum pada waktu 1 jam dan waktu
paruh plasma kofein antara 3-7 jam, nilai ini akan menjadi 2 kali lipat pada wanita
hamil tua dan wanita yang menggunakan pil kontrasepsi jangka panjang. Pada penderita
sirosis hati ( pembentukan jaringan ikat di jaringan hati ) atau udem paru akut,
kecepatan eliminasi berlangsung lambat sekitar 60 jam, dan untuk bayi premature waktu
paruhnya 50 jam (Katzung, 1995; Tan dan Kirana, 1984).
1.3. Proses Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat kimia
menjadi komponen-komponen yang terpisah. Ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu dengan pelarut air dan dengan pelarut organik. Untuk melakukan
proses ekstraksi secara sempurna, pemilihan pelarut harus selektif dan terbaik untuk

bahan yang akan diekstraksi, dan pelarut tersebut harus terpisah dengan cepat setelah
pengocokan.
Pemilihan pelarut untuk ekstraksi dilakukan berdasarkan kepolaran zat, untuk zatzat yang polar hanya larut dalam pelarut polar dan zat-zat non polar hanya larut dalam
pelarut non polar. Bahan- bahan organik tidak selalu larut dalam air, oleh karena itu
dapat dipisahkan menggunakan corong pemisah (Djamal, 2010).
1.4. Spektrofotometri UV-Vis
1.4.1. Teori Spektrofotometri UV
Spektrofotometri merupakan metode analisis yang didasarkan pada besarnya nilai
absorbsi suatu zat terhadap radiasi sinar elektromagnetik. Prinsip kerja spektrofotometri
adalah dengan menggunakan spektrofotometer yang pada umumnya terdiri dari unsurunsur seperti sumber cahaya, monokromator, sel untuk tempat zat yang diperiksa,
dektektor, penguat arus, dan alat pencatat.
Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet ( panjang gelombang
190 nm 350 nm) atau pada daerah cahaya tampak yaitu pada panjang gelombang
350 nm 780 nm. Penggunaan spektrofotometri ultraviolet dan sinar tampak pada
senyawa organik umumnya berdasarkan transisi n

atau

* dan memerlukan

adanya gugus kromofor di dalam molekul (Day dan Underwood, 1999).


Menurut Dachriyanus (2004) dinyatakan bahwa spektrofotometri UV-Vis adalah
pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang
diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang
cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih
tinggi.
Spektrofotometri UV-Vis pada umumnya digunakan untuk:
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan ausokrom
dari senyawa organik.
2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang
maksimum suatu senyawa.
3. Mampu menganalisa senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan
hukum Lambert-Beer.
1.4.2. Penggunaan Spektrofotometri UV-Vis
Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis hanya dipakai untuk


data sekunder atau data pendukung. Pada analisa kualitatif dengan metode kualitatif
dengan metode spektrofotometri UV-Vis yang dapat ditentukan ada dua yaitu :
pemeriksaa kemurnian spektrum UV-Vis dan penentuan panjang gelombang
maksimum.
Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis dapat digolongkan
atas tiga macam pelaksanan pekerjaan yaitu : analisa kuantitatif zat tunggal, analisa
kuantitatif campuran dua macam zat (analisi dua komponen), dan analisa kuantitatif
campuran tiga macam zat atau lebih (analisis multi komponen).
Analisa kuantitatif zat tunggal dilakukan pengukuran harga A pada panjang
gelombang maksimum atau dilakukan pengukuran %T pada panjang gelombang
minimum, karena perubahan absorbanuntuk setiap satuan konsentrasi adalah paling
besar pada panjang gelombang maksimum, sehingga diperoleh kepekaan analisis yang
maksimal, selain itu pita serapan di sekitar panjang gelombang maksimum datar dan
pengukuran ulang dengan kesalahan yang kecil dengan demikian akan memenuhi
hukum Lambert-Beer.

BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kadar kafein dalam kopi bubuk lokal yang beredar di beberapa
swalayan di kota Palembang dengan metode spektrofotometri UV-Vis dan
dihubungkan dengan SNI 01-3542-2004.
2. Tinjauan secara teoritis dalam menkonsumsi kafein yang terkandung dalam kopi
bubuk lokal tersebut ditinjau dari Farmakope Indonesia.
3.2. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti mendapatkan pengalaman dan pembelajaran tentang cara
menganalisis kadar kafein dalam kopi bubuk lokal yang dijual di kota Palembang
secara spektrofotometri UV-Vis
2. Dapat menjadi salah satu rujukan bagi penelitian selanjutnya.

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di
Laboratorium Penelitian STIFI Bhakti Pertiwi Palembang.
4.2.Alat dan Bahan
4.2.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis
Mini Shimadzu 1240, alat destilasi, neraca analitik, chamber, lampu UV 254, beker
gelas, labu ukur, corong pisah, corong gelas, pipet volumetri,

lampu Bunsen dan

peralatan pendukung lainnya.


4.2.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kafein baku standar,
kloroform (CHCl3), aquadestilasi, natrium karbonat (Na2CO3), dan kopi bubuk A, B, C,
D, E, F, G, H, I, dan J.
4.3. Metodologi Penelitian
4.3.1. Pengambilan Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh kopi bubuk produksi lokal yang beredar di
beberapa swalayan di kota Palembang, yaitu di Diamond PTC, Lotte Mart, dan JM.
Sampel yang digunakan sebanyak sepuluh sampel. Pengambilan dan pengumpulan
sampel ini dilakukan dengan teknik total sampling. Menurut Sugiyono (2007) total
sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan
sebagai sampel. Jika sampel yang ditemukan memiliki merk yang sama, maka diambil
satu macam yang mewakili.
4.3.2. Penyiapan Larutan Baku Standar
Sejumlah 20 mg standar kafein ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam labu
ukur 100 ml, dilarutkan dengan aquades lalu dicukupkan sampai tanda batas dengan
aquades dan dikocok homogen, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 200
ppm, larutan ini disebut larutan induk baku standar.
4.3.3. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum

Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dilakukan dengan cara


memipet 10 ml larutan induk baku standar ke dalam labu ukur 100 ml, lalu dilarutkan
dengan aquades sampai tanda batas, sehingga diperoleh larutan baku 20 ppm. Kemudian
diukur serapannya pada panjang gelombang antara 270-300 nm.
4.3.4. Penentuan Kurva Kalibrasi
Kurva kalibrasi dilakukan dengan membuat serangkaian larutan baku standar
dengan konsentrasi 0, 10, 20, 30 dan 40 ppm. Dengan cara dipipet masing-masing
sejumlah 0, 5, 10, 15 dan 20 ml ke dalam labu ukur 100 ml, lalu dilarutkan dengan
aquades sampai tanda batas. Kemudian diukur serapannya pada panjang gelombang
serapan maksimum dan sebagai blangko digunakan aquades.
4.3.5. Preparasi Sampel (Alpdogan,dkk., 2002 dan Fitri, 2008)
Sejumlah 2 gram sampel kopi dimasukkan ke dalam beker gelas dan dilarutkan
dengan aquades mendidih sebanyak 100 ml, disaring, lalu filtrat ditambah 2 gram
Na2CO3, lalu dipanaskan sampai setengah campuran, didinginkan, dan dimasukkan ke
dalam corong pisah, dan diekstraksi dengan kloroform berturutturut sebanyak 25 ml
sebanyak empat kali, lalu filtrat ditampung dalam erlenmeyer. Kemudian pelarut
kloroform diuapkan dengan alat destilasi sehingga didapat ekstrak kafein. Ekstrak
kafein yang dihasilkan selanjutnya dimasukan ke dalam labu ukur 100 ml dan
dilarutkan dengan aquades sampai tanda batas. Kemudian dilakukan pengenceran
dengan cara dipipet 2 ml larutan tersebut ke dalam labu ukur 50 ml dan dilarutkan
dengan aquades sampai tanda batas.
4.3.6. Identifikasi Kafein Hasil Ekstraksi (Budiman, dkk., 2015)
Diambil cuplikan kafein sampel dan kafein baku standar dalam pelarut kloroform.
Ditotolkan pada plat GF254, dimasukan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan
fase gerak kloroform-etanol (99:1). Kemudian kromatogram dilihat di bawah lampu
ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm.
4.3.7. Penetapan Kadar Kafein (Fitri, 2008)
Larutan sampel akan diukur serapannya pada panjang gelombang serapan
maksimum, kemudian serapan dicatat. Konsentrasi kafein akan ditentukan berdasarkan
persamaan regresi dari kurva kalibrasi standar.
Kadar kafein dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Kadar kafein (mg/g) =

/ )

( )

( )

10

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.Hasil
5.1.1. Identifikasi Kafein Hasil Ekstraksi
Identifikasi kafein hasil ekstraksi dari kopi bubuk dilakukan dengan
membandingkan dengan kafein baku standar dengan cara kromatografi lapis tipis
(KLT). Pengembang yang digunakan adalah kloroform : etanol (v/v : 99:1), jarak
pengembangan 4,5 cm. Terlihat hasil noda kafein hasil ekstraksi pada kopi bubuk
sejajar dengan baku pembanding dengan nilai Rf seperti terlihat pada tabel 1 dan
gambar pada lampiran 1.
Tabel 1. Nilai Rf kafein pada berbagai sampel kopi bubuk
Sampel

Rf Sampel

0,26

0,25

0,25

0,17

0,19

0,17

0,13

0,13

0,11

0,13

Rf Kafein Baku Standar

0,25

0,17

0,11

0,11

5.1.2. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum


Penentuan panjang gelombang serapan maksimum dari kafein dilakukan dengan
menggunakan larutan standar kafein pada konsentrasi 20 ppm dan diukur absorbansinya
pada panjang gelombang antara 270-300 nm, dan hasil pengukuran ini

diperoleh

panjang gelombang maksimum pada 285 nm dengan nilai absorbansi 0,355 seperti
terlihat pada gambar 2 dan tabel 2.
11

Gambar 2. Kurva absorbansi larutan kafein baku standar


Tabel 2. Data absorbansi dari kurva serapan maksimum

5.1.3. Penentuan Kurva Kalibrasi dan Persamaan Garis Regresi


Penentuan linieritas kurva kalibrasi kafein baku standar dengan pelarut aquades
dilakukan pada konsentrasi 0, 10, 20, 30, dan 40 ppm dan diukur pada panjang
gelombang maksimum 285 nm. Aquades digunakan sebagai blangko dan didapat hasil
seperti terlihat pada tabel 3.
Setelah diperoleh hasil pengukuran absorbansi untuk larutan standar kafein
maka absorbansi dialurkan terhadap konsentrasi (ppm) larutan standar kafein untuk
mendapatkan kurva kalibrasi berupa garis linier dan didapat persamaan regresi seperti
gambar 3.

12

Tabel 3. Absorbansi larutan standar kafein berbagai konsentrasi pada panjang


gelombang 285 nm
Absorbansi

0,0

0,000

10,0

0,193

20,0

0,352

30,0

0,480

40,0

0,574

Absorban

Konsentrasi Kafein (ppm)

0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0

y = 0,01435x + 0,0328
R = 0,991

10

20

30

40

50

Konsentrasi

Gambar 3. Kurva kalibrasi larutan kafein baku standar


Dari hasil pembuatan kurva kalibrasi kafein baku standar seperti dalam gambar 3
diperoleh hubungan yang linier antara konsentrasi dan serapan dengan koefisien
korelasi (r) = 0,991 dan persamaan garis regresi Y = 0,01435X + 0,0328.
5.1.4. Penetapan Kadar Kafein pada Kopi Bubuk
Data hasil pengukuran absorbansi dan hasil perhitungan kadar kafein pada 10
sampel kopi bubuk dapat dilihat pada tabel 4.

13

Tabel 4. Absorbansi dan kadar kafein pada berbagai sampel kopi bubuk

No

Sampel

Absorbansi

Konsentrasi

(Y)

(X) (ppm)

Kadar Kafein pada


Kopi Bubuk dalam 1 g *
mg

% b/b

0,159

8,7944

10,9930

1,10

0,162

9,0004

11,2505

1,13

0,182

12,9965

12,9965

1,30

0,149

8,0976

10,1220

1,01

0,173

9,7700

12,2125

1,22

0,142

7,6098

9,5123

0,95

0,250

15,1359

18,9199

1,89

0,251

15,2056

19,0070

1,90

0,278

17,1709

21,4636

2,15

10

0,221

13,1150

16,3938

1,64

*perhitungan kadar ada di lampiran 3


5.2. Pembahasan
5.2.1. Ekstraksi Sampel
Pemisahan kafein dari kopi bubuk dilakukan dengan metode ekstraksi. Proses
ekstraksi, pertama dilakukan penyeduhan dengan air mendidih sebanyak 100 ml, karena
menurut Wilson & Gisvold (1982) dalam Fitri, 2008), kafein larut dalam 1,5 bagian air
mendidih. Diharapkan kafein yang terlarut dapat mencapai jumlah optimum. Hasilnya
kemudian dilakukan penyaringan, filtrat kemudian ditambahkan Na2CO3, penggunaan
Na2CO3 untuk mengikat tanin yang terlarut. Setelah itu dipekatkan dengan cara
dipanaskan sampai setengahnya dan didinginkan.
Langkah selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan menggunakan 25 ml pelarut
kloroform sebanyak empat kali dalam corong pisah, pemilihan pelarut kloroform karena
kafein mudah larut dalam kloroform (Depkes, 1995), dan menurut Wilson dan Gisvold
(1982) dalam Fitri, (2008), kafein larut dalam 6 bagian kloroform. Menurut Djajanegara
(2009) dinyatakan bahwa,kloroform dapat melarutkan senyawa alkaloid. Kafein
merupakan alkaloid, maka dengan penambahan kloroform akan memudahkan pelarutan
kafein. Untuk ekstraksi kafein dapat juga digunakan pelarut benzen dan etil asetat,

14

namun karena beberapa pertimbangan seperti harga, toksisitas, dan kelarutan, maka
kloroform lebih aman dan murah untuk digunakan, selain karena memiliki titik didih
yang rendah (Soraya, 2008).
Sebanyak 25 ml kloroform dimasukkan ke dalam corong pisah, dikocok, dan
terjadi dua lapisan, lapisan bawah yang merupakan lapisan kloroform yang mengandung
kafein dikeluarkan dan ditampung. Larutan kafein diuapkan pelarutnya dengan
menggunakan alat destilasi vakum langsung sehingga diperoleh 5 ml dan ditampung di
dalam vial, diuapkan kembali sampai didapat kristal kafein. Kristal kafein yang
diperoleh dilarutkan dengan aquades hingga 100 ml untuk digunakan pada penetapan
kadar dengan metode spektrofotometri UV-Vis. Larutan 100 ml tersebut, dilakukan
pengenceran karena terlalu pekat untuk diukur pada alat spektrofotometer UV-Vis,
pengenceran dilakukan dengan cara dipipet sebanyak 2 ml ke dalam labu ukur 50 ml,
lalu ditambahkan air sampai tanda batas, sehingga diperoleh faktor pengenceran 25.
5.2.2. Identifikasi Kafein Hasil Ekstraksi
Pada pemeriksaan kemurnian kafein hasil ekstraksi dilakukan dengan cara
kromatografi lapis tipis (KLT) pada plat silika gel GF254 dengan fase gerak kloroform :
etanol (v/v = 99 : 1), kemudian dilihat di bawah lampu UV 254 dan dibandingkan
dengan kafein baku standar. Hasil yang diperoleh menunjukan noda kafein hasil
ekstraksi sejajar dengan kafein baku standar seperti telihat pada lampiran 1. Namun
terjadi perbedaan Rf yang didapat dengan Rf pada literatur yaitu 0,65 (Harborne, 1987).
Menurut Mulja dan Suharman (1995) untuk pengujian kualitatif pada KLT
dilakukan dengan cara membandingkan dengan baku pembanding dan nilai Rf tidak
terlalu penting, hal ini disebabkan daya adsorbsi keaktifan fase diam tidak tentu karena
pembuatan fase diam dilakukan dengan berbagai macam cara. Selain itu, hal ini dapat
terjadi karena proses penjenuhan dan penggunaan eluen yang berbeda.
5.2.3. Penetapan Kadar Kafein dengan Spektrofotometri UV-Vis
Pada penelitian ini penetapan kadar kafein pada kopi bubuk dilakukan dengan
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis. Pemilihan metode spektofotometri
UV-Vis karena metode ini merupakan metode yang relatif cepat, murah, dan mudah
pengerjaannya (Alpdogan, dkk., 2002).
Penetapan kadar kafein dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis, terlebih
dahulu dilakukan penentuan panjang gelombang absorbansi maksimum dari kafein,

15

tujuannya untuk mendapatkan panjang gelombang yang memberikan serapan terbesar


yang selanjutnya digunakan untuk penentuan kurva kalibrasi dan penetapan kadar
kafein pada sampel. Dari pengukuran didapat panjang gelombang yang memberikan
serapan maksimum pada panjang gelombang 285 nm, hasil yang diperoleh berbeda
dengan literatur yaitu 273 nm, hal ini mungkin dapat terjadi karena pengaruh matrik dan
penggunaan alat yang berbeda (Nersyanti, 2006).
Pada penentuan kurva kalibrasi, pengukuran absorbansi dilakukan pada berbagai
konsentrasi kafein, yaitu 0, 10, 20, 30, dan 40 ppm, data absorbansi yang diperoleh
dialurkan terhadap konsentrasi dan didapat persamaan regresi Y = 0,01435X + 0,0328,
dengan nilai r = 0,991, kriteria penerimaan koefisien korelasi adalah r 0,95 (Shargel
dan Andrew, 1988). Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar kafein pada sepuluh
merk kopi bubuk lokal dalam 1 gram berturut-turut mempunyai kadar kafein 10,993
mg, 11,2505 mg, 12,9965 mg, 10,1220 mg, 12,2125 mg, 9,5123 mg, 18,9199 mg,
19,0070 mg, 21,4636 mg dan 16,3938 mg.
Jika dibuat dalam % (b/b) maka pada setiap 1 gram kopi bubuk 10 sampel tersebut
mengandung berturut-turut 1,10%, 1,13%, 1,30%, 1,01%, 1,22%, 0,95%, 1,89%,
1,90%, 2,15% dan 1,64% kadar kafein. Dari sepuluh sampel kopi bubuk lokal, sembilan
di antaranya memenuhi syarat SNI 01-3542-2004 yaitu antara 0,45-2 % (b/b),
sedangkan satu di antaranya tidak memenuhi karena melebihi dari 2 %, yaitu pada
sampel I sebesar 2,15%.
5.2.4. Perhitungan secara teori kadar kafein dalam satu cangkir kopi
Biasanya seseorang menkonsumsi kopi bubuk dalam satu kali penyajian berkisar
6 gram dalam satu cangkir, sehingga jika dilihat dari sampel kopi bubuk A, B, C, D, E,
F, G, H, I dan J yang telah diteliti, dalam satu cangkir terdapat kafein berturut-turut
65,9580 mg, 67,5030 mg, 77,9790 mg, 60,7320 mg, 73,2750 mg, 57,0738 mg,
113,5194, 114,0420 mg, 128,7816 mg, dan 98,3628 mg.
Jika ditinjau dari Farmakope Indonesia (1995) jika mengkonsumsi kopi 3-4 kali
sehari, maka kopi bubuk lokal yang telah diteliti mempunyai kadar kafein yang masih
dalam batas wajar atau tidak melebihi dosis lazimnya, yaitu 300-600 mg (perhitungan
pada lampiran 4).

16

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kadar kafein dalam 1 gram pada sampel
kopi bubuk lokal merek A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J berturut-turut sebesar
10,993 mg, 11,2505 mg, 12,9965 mg, 10,1220 mg, 12,2125 mg, 9,5123 mg,
18,9199 mg, 19,0070 mg, 21,4636 mg, dan 16,3938 mg atau jika dibuat dalam
persen (b/b) maka setiap 1 gram kopi bubuk lokal mengandung kadar kafein
berturut-turut 1,10%, 1,13%, 1,30%, 1,01%, 1,22%, 0,95%, 1,89%, 1,90%,
2,15%, dan 1,64%.
2. Dari sepuluh sampel kopi bubuk lokal, sembilan di antaranya memenuhi syarat
SNI 01-3542-2004 yaitu dengan kadar kafein antara 0,45-2 % b/b, sedangkan
satu di antaranya tidak memenuhi karena melebihi dari 2 %, yaitu sebesar
2,15%.
3. Secara teori, kadar kafein dalam satu cangkir kopi bubuk lokal (per 6 gram /
sekali sajian) A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J berturut-turut adalah 65,9580 mg,
67,5030 mg, 77,9790 mg, 60,7320 mg, 73,2750 mg, 57,0738 mg, 113,5194,
114,0420 mg, 128,7816 mg, dan 98,3628 mg. Jika menkonsumsi kopi bubuk
tersebut sebanyak 3-4 kali sajian dalam satu hari maka kadar kafein masih
masuk dosis lazim ditinjau dari Farmakope Indonesia, yaitu 300-600 mg.
5.2. Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penetapan kadar pada beberapa
sampel tersebut dengan metode yang lain, seperti metode HPLC, Densitometri,
dan lain-lain.
2. Untuk penelitian selanjutnya juga dapat ditentukan kadar kafein pada minuman
atau makanan yang mengandung kafein, seperti teh dan coklat.

17

DAFTAR PUSTAKA
Alpdogan, G., Karabina, K., Sungur, S. 2002. Derivative Spectrofotometric
Determination of Caffeine In Some Beverages. Turkish Journal of Chemistry,
Vol. 26 : 295-302.
Aptika, N.M.D., Tunas, I.K dan Sutema, I.A.M.P., 2015, Analisis Kadar Kafein pada
Kopi Hitam di Bukian Gianyar Menggunakan Spektrofotometer UV-Vis
Chemistry Laboratory, Vol. 2 No. 1 : 30-37.
Budiman, H., Rahmawati, F. Dan Sanjaya, F., 2015, Isolasi dan Identidikasi Alkaloid
Pada biji Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl. Ex De Will) dengan Cara
Kromatografi
Lapis
Tipis,
www.
ejournal.stikesmukla.ac.id/index.php/cerata/article/.../7 (diakses 15 Desember
2015)
Clarke, E. G. C. 1971. Isolation and Identification of Drugs. London : The
Pharmaceutical Press.
Dachriyanus. 2004. Analisa Senyawa Organik Secara Spektroskopi. Andalas University
Press, Padang.
Day, R.A and Underwood, A.L. 1999. Analisa Kimia Kuantitatif, Edisi VI. Erlangga.
Jakarta.
Djajanegara, I., 2009. Pemakaian Sel HeLa dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi Kloroform
dan Etanol Ekstrak Daun Annona squamosal. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia, 7(1), 7-11.
Departemen Kesehatan, Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia (Edisi IV). Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Djamal, R. 2010. Prinsip-prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi. Padang : Universitas
Baiturrahmah.
Fitri, N. S. 2008. Pengaruh Berat dan Waktu Penyeduhan terhadap Kadar Kafein dari
Bubuk Teh. Skripsi. Universitas Sumatera Utara (tidak dipublikasikan).
Gebeyehu, B.T., and, Bikila, S.L.B., 2015, Determination of Caffeine Content and
Antioxidant Activity of Coffee, American Journal of Applied Chemistry Vol.
3(2): 69-76.
Harborne, J. B. 1983. Metode Fitokimia (Terbitan kedua). Bandung : Penerbit ITB.
Katzung, B. G. 1995. Farmakologi Dasar dan Terapi (Edisi VI). Jakarta : EGC.
Kuschinsky, G., Lullman, H. 1973. Textbook of Pharmacology. London : Academic
Press.
18

Levita, J., Mutakin, Hasanah, U. 2004. Identifikasi Kadar Kafein dalam Beberapa
Produk Minuman Ringan Bersoda Jenis Kola Kemasan Kaleng yang Beredar di
Jatinangor dengan Metode Kromatografi Cair Kerja Tinggi (KCKT). Majalah
Ilmiah Farmasi Farmaka, Vol. 2 : 53-57.
Ling, L.S., Daud, N.I.N and Hassan, O., 2001, Determination Of Coffee Content In
Coffee Mixtures, Malaysian Journal of Analytical Sciences, Vol. 7, No.2 : 327332
Maramis, R. K., Citraningtyas, G., Wehantouw F. 2013. Analisis Kafein dalam Kopi
Bubuk di Kota Manado Menggunakan Spektrofotometri UV-Vis. Pharmacon
Jurnal Ilmiah Farmasi, Vol 2, No.4 : 122-128.
Mulato, S. 2001. Pelarutan Kafein Biji Robusta dengan Kolom Tetap menggunakan
Pelarut Air. Jakarta : Pelita Perkebunan.
Mulja, M. Dan Suharman. 1995. Analisis Intrumental. Surabaya : Airlangga University
Press
Nersyanti. F. 2006. Spektrofotometri Derivatif Ultraviolet untuk Penentuan Kadar
Kafein dalam Minuman Suplemen dan Ekstrak teh. (Skripsi). Bogor : IPB (tidak
dipublikasikan)
Putri, D. 2013. Analisis Kadar Kofein dalam Sediaan Minuman Berenergi dengan
Metode TLC-Scanner (Densitometri). Skripsi. Palembang : STIFI Bhakti Pertiwi
(tidak dipublikasikan).
Salihovi, M., apanin, A., Pazalja, M., Alispahi, A., Dedi, A and Rami, E., 2014,
Determination of Caffeine in Different Comercialy Available Green and Black
Teas, Bulletin of the Chemists and Technologists of Bosnia and Herzegovina Vo.
43 : 1-4
Shargel, L., dan Andrew, B. C. Y. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan
(Edisi II). Surabaya : Airlangga University Press
Sofiana, N. 2011. 1001 Fakta Tentang Kopi. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.
Soraya, N. 2008. Isolasi Kafein dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis Powdery secara
Ekstraksi. Skripsi. Bogor : IPB (tidak dipublikasikan)
Sugiyono. 2007. Metodologi Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.
Standar Nasional Indonesia. 2004. Biji Kopi. SNI 01-3542-2004
Tan, H.T.dan Kirana R. 1984. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaannya dan Efek
Sampingnya ( Edisi IV). Jakarta : Pangeran Jayakarta.

19

Tautua, A., Martin, W.B. and Diepreye, E.R.E., 2014, Ultra-violet Spectrophotometric
Determination of Caffeine in Soft and Energy Drinks Available in Yenagoa,
Nigeria, Advance Journal of Food Science and Technology 6(2): 155-158
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat penting, khasiat, penggunaan, dan efekefek sampingnya (edisi IV). Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Wanyika, H.N., Gatebe, E.G., Gitu, L.M.,, Ngumba, E.K. and Maritim, C.W., 2010,
Determination of caffeine content of tea and instant coffee brands found in the
Kenyan market, African Journal of Food Science Vol. 4(6) : 353 358.

20

Lampiran 1. Bercak noda kafein pada sampel kopi bubuk dan Kafein Baku
Standar

Gambar 1. Hasil Uji Kualitatif kadar kafein pada berbagai sampel kopi bubuk dan
kafein standar dengan KLT di bawah lampu UV-254

21

Lampiran 2. Data Absorbansi Larutan Kafein pada berbagai Sampel Kopi Bubuk
pada Panjang Gelombang 285 nm
Tabel 1. Data absorbansi larutan kafein pada berbagai sampel kopi bubuk pada panjang
gelombang 285 nm
No

Sampel

Absorbansi

Absorbansi Rata-rata (Y)

0,157
1

0,160

0,159

0,160
0,161
2

0,161

0,162

0,164
0,180
3

0,184

0,182

0,183
0,148
4

0,150

0.149

0,148
0,175
5

0,173

0,173

0,170
0,140
6

0,144

0,142

0,144
0,251
7

0,251

0,250

0,249
0,251
8

0,251

0,251

0,251
0,277
9

0,281

0,278

0,275
0,222
10

0,222

0,221

0,219

22

Lampiran 3. Perhitungan kadar kafein pada 10 sampel kopi bubuk


Persamaan regresi : Y = 0,01435X + 0,0328
Dimana : Y = nilai absorbansi rata-rata
X = konsentrasi
Sampel A
Diketahui Y = 0,159
Maka X =

Kadar (b/b) =
=

= 8,7944 ppm = 8,7944 mg/L

% kafein dalam 1 gram kopi =

( )

= 10,993 mg/ g

x 100% = 1,10% (b/b)

Dengan menggunakan perhitungan diatas maka untuk sampel B hingga J diperoleh


seperti dalam tabel 3.
Tabel 3. Nilai absorbansi dan kadar kafein pada berbagai sampel kopi bubuk
No

Sampel

Absorbansi

Konsentrasi

(Y)

(X) (ppm)

Kadar Kafein pada


Kopi Bubuk dalam 1 g
mg

% b/b

0,159

8,7944

10,9930

1,10

0,162

9,0004

11,2505

1,13

0,182

12,9965

12,9965

1,30

0,149

8,0976

10,1220

1,01

0,173

9,7700

12,2125

1,22

0,142

7,6098

9,5123

0,95

0,250

15,1359

18,9199

1,89

0,251

15,2056

19,0070

1,90

0,278

17,1709

21,4636

2,15

10

0,221

13,1150

16,3938

1,64

23

Lampiran 4. Perhitungan secara teori kadar kafein dalam satu cangkir kopi
Jika dalam satu cangkir terdapat kopi bubuk berkisar 6 gram dalam satu kali
sajian, maka jumlah konsumsi kopi dalam satu hari adalah 3-4 kali sajian dan
perhitungan dihitung sebanyak 4 kali sajian.
Sampel A
Kadar kafein dalam satu cangkir = Kadar kafein (mg/g) x 6 g
= 10,993 mg/g x 6 g = 65,9580 mg
Kadar kafein dalam satu hari = 65,9580 mg x 4 = 263,832 mg
Dengan menggunakan perhitungan diatas maka untuk sampel B hingga J
diperoleh seperti dalam tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan teoritis kadar kafein dalam 4 kali penyajian/hari.
No.

Kode sampel

Kadar kafein dalam 1 kali Kadar kafein dalam


penyajian @ 6 gram kopi penyajian (mg)/hari.
bubuk (mg)
65,9580
263,832

67,5030

270,012

77,9790

311,916

60,7320

242,928

73,2750

293,100

57,0738

228,295

113,5194

454,078

114,0420

456,168

128,7816

515,126

10

98,3628

393,451

kali

24

You might also like