You are on page 1of 57

Daftar Isi

Daftar Isi 1
Status Pasien.................. 2
I.

Identitas................. 2

II.

Anamnesis........................ 2

III.

Pemeriksaan Fisik .. 4

IV.

Pemeriksaan Penunjang.. 6

V.

Resume........... 9

VI.

Daftar Masalah........... 10

VII.

Pengkajian Masalah........ 10

VIII.

Prognosis........ 20

Analisa
Kasus.
23
Tinjauan Pustaka ... 26
Daftar Pustaka61

Bab I
Status Pasien
I.

II.

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. S

Tanggal lahir

: 29 Maret 1963

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Usia

: 29 tahun

Alamat

: Asr Kompi 141/AYJP Karang Asem Sum-Sel

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Pekerjaan

: TNI AD

Tanggal masuk

: 04 November 2012

No. CM

: 40-14-75

ANAMNESIS
(Alloanamnesis pada tanggal 08 November 2012)
2.1. Keluhan Utama
Demam sejak 8 hari SMRS.
Keluhan tambahan: sesak napas 4 hari SMRS.
2.2.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 8 hari SMRS. Demam timbul
perlahan dan bersifat naik turun disertai rasa menggigil pada seluruh tubuh terutama
pada malam hari. Setelah demam turun, pasien merasa berkeringat. Keadaan ini
dirasakan berulang setiap harinya. Panas dirasakan membaik hanya bila minum obat
penurun panas dan kemudian naik lagi. Menurut keluarga pasien, pasien mengeluh
sakit kepala berat dan sesak napas. Riwayat mimisan, perdarahan gusi, bercak
kemerahan pada kulit, nyeri belakang mata disangkal.
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya mual (+), muntah (+) beberapa kali
berisi makanan pada awalnya dan selanjutnya cairan, dan nyeri ulu hati (+). Pasien
tidak bisa makan sejak 7 hari SMRS karena setiap makan muntah. Batuk dan pilek
disangkal pasien. Pasien juga mengeluh kencing berwarna coklat seperti teh sejak 8
2

hari SMRS. Pasien juga BAK sedikit sekali sejak 7 hari SMRS. Pasien tidak bisa
buang air besar sejak di RSPAD.
Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit Jayapura dengan diagnosis malaria
berat, gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati. Sebelumnya pasien pergi dinas
mendapat tugas di Papua. Sewaktu menetap disana, pasien pernah belum pernah
terkena malaria. Pasien selama dirawat di RSPAD mengalami penurunan kesadaran
3 hari setelah dirawat di ICU. Saat ini pasien tidak sadarkan diri. Saat perawatan,
dari selang makanan (NGT) keluar darah secara spontan.
2.3.

2.4.

2.5.

2.6.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat hipertensi

: tidak ada

o Riwayat diabetes melitus

: tidak ada

o Riwayat penyakit jantung

: tidak ada

o Riwayat penyakit ginjal

: tidak ada

o Riwayat alergi

: tidak ada

o Riwayat asma

: tidak ada

o Riwayat malaria

: tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


o Riwayat hipertensi

: tidak ada

o Riwayat diabetes melitus

: tidak ada

o Riwayat penyakit jantung

: tidak ada

o Riwayat penyakit ginjal

: tidak ada

o Riwayat alergi

: tidak ada

o Riwayat asma

: tidak ada

Riwayat Kebiasaan
o Riwayat merokok

: 1-2 bungkus / hari

o Riwayat alkohol

: tidak ada

Riwayat Sosio Ekonomi


o Dinas TNI-AD

2.7 Riwayat Pernikahan


o Sudah menikah
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaran

: coma

Status gizi

BB

: 65 kg

TB

: 170 cm

IMT

: 22.49 kg/m2

Tanda-tanda Vital
Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 94 x/menit, reguler,

Pernapasan

: 22 x/menit, reguler

Suhu

: 39 oC

Aspek kejiwaan
Tingkah laku

: sulit dinilai

Alam perasaan

: sulit dinilai

Proses pikir

: sulit dinilai

Status Regional-sistemik
Kulit

: warna sawo matang, turgor cukup, ikterik (-).

Kepala

: normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah rontok.

Mata

: konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+, pupil bulat, isokor, diameter 3mm,
terletak di tengah, reflek cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung+/+

Telinga

: normotia, simetris, serumen (+/+), liang lapang, membran timpani intak.

Hidung

: septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-), konka hiperemi (-)

Mulut

: mukosa bibir kering, oral hygiene cukup, tidak sianosis (-), lidah tremor (-),
Lidah kotor (-), gusi tidak berdarah, uvula di tengah.

Tenggorok: sulit dinilai.


Pemeriksaan Leher

Leher

: Trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening leher
tidak membesar, JVP 5-2 cm H2O

Pemeriksaan Toraks
Pulmo
Inspeksi : simetris pada keadaan statis dan dinamis, retraksi intercostalis (-)
Palpasi

: fremitus taktil simetris pada kedua hemithorax.

Perkusi

: sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi: suara nafas vesikular +/+, ronkhi +/+ basah halus , wheezing -/Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi

: ictus cordis teraba pada ICS V linea mid clavicula sinistra

Perkusi

: batas kanan ICS IV linea sternalis dekstra;


batas kiri ICS V linea midclavicula sinistra;
pinggang jantung ICS III linea parasternalis sinistra

Auskultasi: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-).


Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : datar, tidak tampak massa, sikatriks (-), venektasi (-), spider nevi (-).
Auskultasi: bising usus (+) normal, bising usus 6x/menit.
Palpasi

: supel, nyeri tekan sulit dinilai, hepar teraba 35 cm dari bawah arkus costa, lien tidak teraba.

Perkusi

: timpani pada seluruh lapang abdomen secara sistematis.

Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat (-), udem (-), sianosis (-), CRT <2 detik.
*Urine yang ditampung : warna merah coklat dan <300 cc/24 jam

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (1/11/12 s/d 09/11/12)
Terlampir.
CT-Scan (6/11/12)

Kesan: Hepatomegali, efusi pleura kanan, suspek proses spesifik paru, dan tidak
tampak laserasi maupun hematoma pada organ intraabdomen

Rontgen Thorax AP (9/11/12)

Kesan: Edema Paru

V. RESUME
Pasien Tn. S berusia 29 tahun datang dengan keluhan demam sejak 8 hari
SMRS. Demam muncul perlahan, hilang timbul, menggigil, dan berkeringat. Sakit
kepala berat (+), sesak (+), mual (+), muntah (+)berisi makanan dan cairan, dan
nyeri ulu hati (+) sejak 7 hari SMRS. Pasien BAK berwarna coklat seperti teh sejak
8 hari SMRS. Pasien juga BAK sedikit sekali sejak 7 hari SMRS Pasien tidak bisa
buang air besar sejak di RSPAD. Pasien rujukan dari rumah sakit Jayapura dengan
diagnosis malaria berat, gagal ginjal akut, gangguan fungsi hati. Pasien pernah
belum pernah terkena malaria. Pasien mengalami penurunan kesadaran 3 hari setelah
dirawat di ICU.
Pada pemeriksaan fisik pasien coma, tampak sakit berat. Pada pemeriksaan
tanda-tanda vital didapatkan TD : 130/80 mmHg, RR : 22 x/menit, nadi : 94
x/menit, suhu : 39 oC. konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+. Auskultasi paru :
suara nafas vesikular +/+, ronkhi +/+ basah halus , wheezing -/-. Palpasi abdomen:
supel, nyeri tekan sulit dinilai, hepar teraba 3-5 cm dari bawah arkus costa, lien
tidak teraba. Urine yang ditampung : warna merah coklat dan <300 cc/24 jam
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia normositik normokrom,
leukositosis, trombositopenia, hypoxemia, hipoalbuminemia, ureum dan kreatinine
meningkat, proteinuria, hematuria, serologi malaria positif plasmodium falsiparum,
PT dan APTT yang memanjang, metabolic asidosis, fungsi hati yang meningkat.,
dan Oliguria.
Pada pemeriksaan Ct-Scan ditemukan kesan hepatomegali, efusi pleura kanan,
suspek proses spesifik paru, dan tidak tampak laserasi maupun hematoma pada
organ intraabdomen. Rontgen Thorax AP ditemukan kesan edema paru.
VI. DAFTAR MASALAH
Malaria Berat e.c Plasmodium falciparum dengan :
1. Malaria serebral
2. AKI
3. Sepsis
4. Suspek DIC
5. Edema Paru
6. Acute liver Injury
7. Anemia

8. Hipermagnesemia
9. Hipokalsemia
10. Hipoalbuminemia
11. Metabolic asidosis
12. Hipoglikemia

VII. PENGKAJIAN MASALAH


1. Malaria Berat suspek Cerebral Malaria e.c Plasmodium Falciparum
Anamnesis
keluhan demam sejak 8 hari SMRS. Demam sepanjang hari, menggigil, dan
berkeringat. Sakit kepala berat (+), mual (+), muntah (+)berisi makanan dan cairan,

dan nyeri ulu hati (+). Tidak sadarkan diri sejak 3 hari SMRS
Pemeriksaan fisik
Kesadaran
: Coma GCS 3/ Tampak Sakit Berat
TD
: 130/80 mmHg,
RR
: 22 x/menit,
Nadi
: 94 x/menit,
Suhu
: 39 oC.
konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik +/+. Auskultasi paru: suara nafas vesikular +/+,
ronkhi +/+ basah halus, wheezing -/-.
Palpasi abdomen: supel, nyeri tekan sulit dinilai, hepar teraba 3-5 cm dari bawah
arkus costa, lien tidak teraba.

Pemeriksaan Penunjang
:
Serologi malaria positif plasmodium falsiparum
Asessment
: Malaria Berat e.c Plasmodium Falciparum
Penatalaksanaan
:
Rencana diagnosis

Cek parasit malaria hari ke-3, 7, 11


Cek DPL/24 ajm
Cek GDS/12 jam

Rencana terapi

Elevasi kepala 20-30


Pasang NGT, diet lunak TKRP
Oksigen 8 Liter /menit
IVFD RL 500cc/ 4jam
Artesunat 2 flacon dalam pelarut dextrose 5% 5 cc untuk 1 ampul (10cc)

dalam 10 menit: diberikan jam 0, 12, 24, 48 sampai pasien sadar


Primakuin 15 gram 3 tablet sekaligus
Paracetamol 3 x 500mg iv
Ranitidine 3 x 50 mg iv

Ondansentron 3 x 4 mg iv

2. AKI
Anamnesis
:
Pasien BAK berwarna coklat seperti teh sejak 8 hari SMRS. Pasien juga BAK sedikit

sekali sejak 7 hari SMRS Pasien tidak bisa buang air besar sejak di RSPAD.
Pemeriksaan fisik
:
Urine yang ditampung warna merah coklat dan <300 cc/24 jam
Pemeriksaan Penunjang
:
ureum dan kreatinine meningkat, proteinuria, hematuria
Asessment
: AKI
Penatalaksanaan
:
Rencana diagnosis

Cek ureum kreatinin / 12 jam


Urine di tampung/24 jam
Cek Urinalisa/12 jam

Rencana terapi

IVFD RL 500cc/ 4jam


Infuse dextrose 5% 500cc/24 jam
Ganti urine output dengan dextrose 5% sesuai jumlah urine
Hemodialisa elektif
Diet rendah protein
Furosemide 10 mg/ jam
3. Sepsis
Anamnesis
:
Pasien mengalami penurunan kesadaran 3 hari setelah dirawat di ICU.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik pasien coma, tampak sakit berat.

RR

: 22 x/menit,

Nadi

: 94 x/menit,

Suhu

: 39 oC.

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis
Hipoxemia
Oliguria
Asessment
Penatalaksanaan

:
: >12000 /ul
: PaCO2< 32 mm Hg dan PaO2 < 72 mm Hg
: <300 cc/24 jam
: Sepsis
:

Rencana diagnostic

Cek DPL/24 jam


Cek GDS/12 jam

Rencana terapi

Cefeperazone 2 x 1 gram
Metronidazole 3 x 1

4. Suspek DIC
Anamnesis
: Pemeriksaan Fisik
:
Riwayat NGT keluar darah secara mendadak, Penurunan Kesadaran: Koma, Ikterik,
Hematuria, Oliguria
Pemeriksaan Penunjang
:
Trombositopenia, PT dan APTT yang memanjang, Ureum-Creatinine meningkat,
Fungsi Hati meningkat, Efusi Pleura (MODS)
Asessment
: Suspek DIC
Penatalaksanaan
:
Rencana diagnostic
:
Cek D-Dimer, INR
PT dan APTT ulang / 12 jam
Rencana terapi
:
Lovenox 0.6 cc
5. Edema Paru
Anamnesis
: riwayat sesak
Pemeriksaan Fisik
:
RR
: 22 x/menit,
Auskultasi paru
: suara nafas vesikular +/+, ronkhi +/+ basah halus
Pemeriksaan laboratorium :
Rontgen Thorax AP
: Edema Paru
Ct-Scan
: Proses spesifik paru dan efusi pleura kanan
Asessment
: Edema Paru
Penatalaksanaan
:
Rencana diagnosis
:
Cek AGD / 12 jam
Foto Rontgen thorax AP
Rencana terapi
:
Levofloxacine 1 x 500 gr / 48 jam
Ventolin 3 x 1
Ambroxol 3x1 syrup
6.

Acute Liver Injury


Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
Asessment
Penatalaksanaan

::: SGOT/SGPT : 87/116


: Acute Liver Injury
:

Rencana diagnostik:
Cek LFT /24 jam
Rencana terapi:
HP Pro 3 x 1
7.

Anemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium

Asessment
Penatalaksanaan

:: konjungtiva pucat +/+


: Hemoglobin , eritrosit , hematokrit
MCV, MCH, MCHC: Normal
: Anemia normositik normokrom
:

Rencana diagnostik:
Cek DPL /24 jam
Rencana terapi:

8.

Asam Folat

3x1

Neurobion 5000

1x1

Hipermagnesemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
Asessment
Penatalaksanaan

::: magnesium 3.89


: hipermagnesemia
:

Rencana diagnostik:
Cek magnesium /24 jam
Rencana terapi:
Calsium glukonas 3 x 2 ampul
9.

Hipokalsemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
Asessment
Penatalaksanaan
Rencana diagnostik:
Cek kalsium /24 jam
Rencana terapi:

::: kalsium 6.3


: hipokalsemia
:

CaCo3 3 x 1
10. Hipoalbuminemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
Asessment
Penatalaksanaan

::: albumin 2.5


: hipoalbuminemia
:

Rencana diagnostik:
Cek albumin /12 jam
Rencana terapi:
11. Metabolik Asidosis
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
AGD

5/11/
12
10:52
:36

5/11/
12
17:07
:57

6/11/
12
04:23
:53

6/11/
12
10:57
:53

7.33
5

7.288

7.399

7.369

26.1

23.9

26.8

28.7

56.4

92.8

114.7

14.2

12.9

Base
Excess

-9.3

Sat O2

87.9

Ph

4/11/1
2
14:29:
33

4/11/
12

7.341

5/11/
12
04:20
:06

:::
6/11/1
2
20:16:
06

7/11/
12
04:39
:41

7/11/
12
13:09
:44

7/11/
12
18:20
:07

7.451

7.456

7.441

7.445

28.8

35.1

31.9

28.5

29.0

94.7

83.9

68.2

63.8

56.7

149.9

13

17.9

16.8

24.7

22.7

19.6

20.1

-10.7

-11.7

-4.9

-6.9

1.6

0.2

-3.3

-2.9

96.9

98

97.5

96.1

94.2

93.4

90.6

99.2

Pco2
P02
Bikarbonat

AGD

7.377.45
3344mmH
g
71-104
mmHg
2229mmol
/L
(-2)3mmol/
L
94-98%

08/11/12
04:49:37
7.416

08/11/12
18:24:37
7.486

09/11/12
04:46:40
7.378

09/11/12
17:45:47
7.475

10/11/12
05:01:38
7.384

Pco2

36.8

32.5

44.0

37.6

46.4

P02

121

91.3

40.6

68.5

49.2

Bikarbonat

23.9

24.7

26.1

28.0

28.0

Ph

Base Excess

0.1

2.5

1.3

4.9

3.4

Sat O2

98.5

97.8

74.4

94.6

83.3

Asessment

: Metabolik Asidosis

Penatalaksanaan

Rencana diagnostik:
Cek AGD ulang / 24 jam
Rencana terapi:
Pemasangan Ventilator Mekanik dengan O2 6- 8 l/mnt
Pemberian bikarbonat ph<7.2
12. Hipoglikemia
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan laboratorium
Glukosa
Darah
(Sewaktu)

68

71

62

Asessment
Penatalaksanaan

: Penurunan Kesadaran
: GCS 3
:

62

42

78

: hipoglikemia
:

Rencana diagnostik:
Cek GDS per 6 jam
Rencana terapi:
Dekstrose 50 ml 40% IV
Glukosa 10% per infus selama 4-6 jam

<140
mg/dL

FOLLOW UP
Tanggal 8 November 2012
S : NGT keluar darah tiba-tiba.
O : Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum :
Tampak sakit berat
Kesadaran
:
Koma
Tanda vital:
TD : 130/80 mm Hg
RR : 20x/menit
Pemeriksaan Laboratorium
Jenis
Pemeriksaan
Hematologi
Rutin
Hemoglobin

A :
1. Malaria

2.
3.
4.
5.

falciparum
AKI
Sepsis
Edema
MODS

P : Rencana

lengkap / 24 jam

Nadi : 80 x/menit
Suhu : 380C
Nilai rujukan

Hasil
08/11/12
08/11/12
04:49:37
18:24:37
7.8

8.3

13-18g/dl

Hematokrit

22

24

40-52%

Eritrosit

2.6

2.7

4,3-6,0 juta/ul

Leukosit

13300

12600

4800-10800/ul

168000

146000

150rb400rb/ul

MCV

85

86

80-96 fl

MCH

31

30

27-32 pg

MCHC

36

35

32-36 g/dl

Albumin

2.5

3.0

3,5 5 g/dL

CPK

205

38-174 U/L

CK-MB

16

7-25 U/L

Ureum

180

44

20-50 mg/dL

Kreatinin

13.4

0.5

0,5-1,5 mg/dL

Trombosit

Kimia Klinik

Ureum Creatinine,

Glukosa Darah
(Sewaktu)
Natrium

98

176

<140 mg/dL

Faktor koagulasi
Rencana

138

140

135-145mg/l

Kalium

4.3

4.3

3,5-5,3mg/l

Klorida

96

97

97-107mg/l

Kalsium

8.6-10.3 mg/dl

AGD

5%

Ph

7.416

7.486

7.37-7.45

Pco2

36.8

32.5

33-44mmHg

P02

121

91.3

71-104 mmHg

Bikarbonat

23.9

24.7

22-29mmol/L

Base Excess

0.1

2.5

(-2)-3mmol/L

Sat O2

98.5

97.8

94-98%

Berat

e.c

Plasmodium

Paru
diagnostik:
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan AGD
Pemeriksaan
elektrolit, albumin
Pemeriksaan
Terapi :
IVFD RL 500cc/
4jam
Infuse dextrose
500cc/24 jam
Diet rendah
protein

Furosemide 10 mg/ jam


Cefeperazone 2 x 1 gram
Metronidazole 3 x 1
Levofloxacine 1 x 500 gr / 48 jam
Ventolin 3 x 1
Ambroxol 3x1 syrup

Tanggal 9 November 2012


S:O : Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum :
Tampak sakit berat
Kesadaran
:
Koma
Tanda vital:
TD : 100/70 mm Hg
RR : 29x/menit
Pemeriksaan Laboratorium

Nadi : 100 x/menit


Suhu : 390C

Jenis Pemeriksaan

Nilai rujukan
Hasil

Hematologi Rutin

A :

09/11/12 04:46:40

09/11/12 17:45:47

Hemoglobin

8.0

13-18g/dl

Hematokrit

23

40-52%

Eritrosit

2.7

4,3-6,0 juta/ul

Leukosit

13100

4800-10800/ul

Trombosit

144000

150rb-400rb/ul

MCV

86

80-96 fl

MCH

30

27-32 pg

MCHC

35

32-36 g/dl

Control

11.4

Detik

Pasien

23

9.8-12.6

Control

32

Detik

Pasien

35.1

27-39 detik

Albumin

2.5

3,5 5 g/dL

Ureum

163

20-50 mg/dL

Kreatinin

10.1

0,5-1,5 mg/dL

106

<140 mg/dL

138

135-145mg/l

Kalium

4.3

3,5-5,3mg/l

Klorida

96

97-107mg/l

Kalsium

8.6

8.6-10.3 mg/dl

Faal Hemostasis
Koagulasi
PT

APTT

Kimia Klinik

Glukosa
(Sewaktu)
Natrium

Darah

AGD
Ph

7.378

7.475

7.37-7.45

Pco2

44.0

37.6

33-44mmHg

P02

40.6

68.5

71-104 mmHg

Bikarbonat

26.1

28.0

22-29mmol/L

Base Excess

1.3

4.9

(-2)-3mmol/L

Sat O2

74.4

94.6

94-98%

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Malaria Berat e.c Plasmodium falciparum


AKI
Sepsis
DIC
Edema Paru
MODS

P : Rencana diagnostik:
Pemeriksaan darah lengkap / 24 jam
Pemeriksaan AGD/12 jam
Pemeriksaan Ureum Creatinine, elektrolit, albumin
Pemeriksaan Faktor koagulasi
Rencana Terapi :

Terapi Lanjutkan

Tanggal 10 November 2012 08:30


S:O : Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum :
Tampak sakit berat
Kesadaran
:
Koma
Tanda vital:
TD : tak dapat di ukur
RR : 16x/menit
Pemeriksaan Laboratorium :
Jenis Pemeriksaan

Hasil

AGD

10/11/12 05:01:38

Ph

7.384

7.37-7.45

Pco2

46.4

33-44mmHg

P02

49.2

71-104 mmHg

Plasmodium

Bikarbonat

28.0

22-29mmol/L

falciparum

Base Excess

3.4

(-2)-3mmol/L

Sat O2

83.3

94-98%

A:
1.

2.
3.
4.
5.
6.

Nadi : bradikardia
Suhu : 360C

AKI
DIC
Edema Paru
MODS

P : dilakukan resusitasi namun tidak responsive


Cek ulang tanda-tanda vital:
TD
: tak dapat di ukur
Nadi : tak teraba
RR
: apnoe
Pupil : Medriasis
Pasien dinyatakan Meninggal pukul 09.10 wib
Sebab kematian: Multi Organ Failure

Nilai rujukan

Malaria
Berat

Sepsis

e.c

VIII. PROGNOSIS :
Ad vitam

: ad Malam

Ad fungtionam

: ad Malam

Ad sanationam

: ad Malam

ANALISA KASUS
Pada pasien ini didiagnosis malaria berat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang yaitu, pada anamnesis ditemukan adanya riwayat demam
sejak 8 hari smrs dengan pola menggigil, kemudian berkeringat, lalu membaik dan terus
berulang. Hal ini merupakan salah satu pola demam yang cukup khas pada malaria.
Pasien juga mempunyai riwayat bertugas di Papua yang merupakan saerah endemis
malaria. Namun dalam penegakkan diagnosis mengalami kesulitan yaitu terdapatnya
hasil yang negative dalam pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan sebanyak dua kali
sehingga dilakukan pemeriksaan serologi antigen malaria dan ditemukan malaria
falciparum.
Pasien memiliki riwayat sakit kepala hebat dan terdapat penurunan kesadaran secara
tiba-tiba dalam perawatan. Kemungkinan dari penurunan kesadaran pada pasien tersebut
adalah malaria serebral, demam yang tinggi, hipoglikemia, syok, ensefalopati uremikum,
ensefalopati hepatikum, dan sepsis. Namun pada pasien dengan ditemukannya malaria
falciparum dengan penurunan kesadaran maka dapat dianggap sebagai malaria berat dan
harus diterapi sebagai malaria berat.
Pasien juga mengeluh mual, muntah disertai nyeri perut. Pada pemeriksaan ditemukan
sclera ikterik dan hepatomegali setinggi 3 jari bawah arkus kosta. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan bilirubin total meningkat yaitu 15.18 mg/dl dengan bilirubin direk
7.44 mg/dl, dan indirek 7.74 mg/dl. Alkali fosfatase 163, SGOT 69 mg/dl dan SGPT 116
mg/dl. Pada pasien ini diduga menderita kelainan hati atau disebut juga malaria biliosa.
Pasien juga mengeluhkan adanya kencing yang berwarna coklat seperti teh sejak 8
hari smrs dan jumlah yang dikeluarkan sangat sedikit. Selain itu pasien juga mengeluh
mual, muntah. pada pemeriksaan fisik ditemukannya konjungtiva anemis dan
hepatomegali disertai oliguria dan ikterik. Pada pemeriksaan penunjang ditemukannya
peningkatan kadar ureum dan kreatinine dalam darah, dan eritrosit yang sangat banyak
pada urine. Hal ini menunjukkan terjadi gangguan pada fungsi ginjal dan kemungkinan
hemoglobinuria. Berdasarkan temuan diatas maka pasien didiagnosis gagal ginjal akut.

Pasien ini juga didiagnosis sepsis karena ditemukannya suhu diatas 38C, laju
pernapasan >20 kali permenit, nadi >100 kali per menit PCO2 <32mmHg, leukositosis
>12000/ul. Pada pasien dengan malaria berat seringkali mengalami infeksi karena
penurunan daya tahan tubuh dan juga tindakan-tindakan medis yang memungkinkan
masuknya bakteri ke dalam tubuh misalnya akibat pemasangan kateterisasi.
Dalam perawatan, pasien mengalami perdarahan spontan yaitu ditemukannya NGT yang
berdarah secara tiba-tiba. Hal ini menunjukkan adanya perdarahan saluran pencernaan.
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh karena stress ulcer, berhubungan dengan
hiperbilirubinemia, gangguan fungsi ginjal, paru dan hiperparasitemia. Pasien juga
ditemukan adanya abnormalitas dari PT dan APTT yang memanjang sehingga pasien ini
didiagnosis Suspek DIC. Pada pasien ini ditemukan gejala perdarahan dan uremia
sehingga memiliki prognosis yang kurang baik.
Pada pasien ini didiagnosis edema paru. Penegakkan diagnosis ini berdasarkan keluhan
pasien pada awalnya terdapat sesak napas, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
rhonki basah halus. Selain itu pada pemeriksaan foto thoraks ditemukan gambaran kesan
edema paru. Pada pasien dengan malaria berat dapat terjadi edema paru yang merupakan
komplikasi terberat dari malaria tropika.
Pasien ini juga mengalami metabolic asidosis saat awal pasien dirawat di RSPAD. Hal ini
berkaitan dengan malaria tersebut, dimana ditemukan penurunan ph pada pemeriksaan
analisa gas darah. Penyebab pasti terjadinya metabolic asidosis belum diketahui, namun
hal ini dapat terjadi karena pada malaria biasanya disertai gagal ginjal, hipoglikemia, dan
hipovolemia.
Hipoglikemia ditemukan pada pasien ini meskipun, hipoglikemia pada malaria berat
seharusnya dibawah 40 mg/dl. Namun pada pasien ini ditemukan penurunan kesadaran
dan hipoglikemia sering kali tidak disadari. Hipoglikemia pada pasien ini terjadi akibat
kegagalan glukoneogenesis, parasitemia yang mengonsumsi glukosa. Pada pasien ini
tidak ada riwayat pemberian kina sebelumnya sehingga kemungkinan dari obat kina
dapat disingkirkan.

Pada pasien ini mengalami keterlambatan dalam menegakkan diagnosis malaria. Dalam
melakukan pemeriksaan mikroskopik malaria sebanyak dua kali tidak ditemukan
plasmodium falsiparum tersebut. Hal ini dapat terjadi karena pada pasien yang non-imun
akan lebih mudah muncul gejala meskipun kadar parasit di dalam darah rendah.
Pemeriksaan apusan darah tipis dan tebal masih merupakan pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis. Namun keduanya memiliki kelemahan yaitu harus dibaca dengan
segera, teknisi yang melakukan harus memiliki kualifikasi yang baik. Meskipun pada
pemeriksaan hasilnya negative, apusan harus diulang setiap 12-24 jam dengan jumlah
keseluruhan sebanyak 3 set. Pada pelaksanaannya pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan
sesuai prosedur yang ditetapkan sehingga memberikan gambran yang negatif.
Pemeriksaan serologic yang dilakukan pada pasien ini untuk menegakkan diagnosis
malaria tersebut. Penggunaan secara klinis kurang tepat karena serologic hanya dapat
mengetahui bahwa pernah menderita sebelumnya dan bukan mengetahui infeksi yang
sekarang sedang terjadi.
Penegakkan diagnosis yang lambat juga mempengaruhi waktu dan efek pemberian
terapi ACT pada pasien tersebut. Pasien yang diberikan pengobatan secara dini
mempunyai prognosis yang lebih baik dan juga waktu pemulihan yang lebih cepat. Pada
pemberian ACT ini sangat ditentukan dari diagnosis karena menurut pedoman WHO dan
CDC hanya diberikan pada pasien yang benar terdiagnosis malaria berat untuk mencegah
terjadinya resistensi. Oleh karena itu, apabila diagnosis belum ditegakkan maka tidak
dapat diberikan terapi ACT

Bab II
TINJAUAN PUSTAKA
MALARIA BERAT
DEFINISI MALARIA
Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium yang menyerang
eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam darah.Infeksi malaria
memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegali.Dapat berlangsung
akut ataupun kronik. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami
komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.

DEFINISI MALARIA BERAT


Definisi malaria berat berkembang dari tahun 1986 yang diorganisasi oleh WHO dan
diperbaiki pada tahun 1990 dan tahun 2000, dan terakhir definisi juga telah diperbaiki dalam
guidelines WHO 2006. Pada semua definisi masih dinyatakan bahwa malaria berat, yaitu
ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk aseksual sedangkan sekarang telah dilaporkan
bahwa malaria berat juga dapat disebabkan oleh P. vivax dan bahkan P. knowlesi. Definisi
yang baru (WHO, 2006) lebih berorientasi klinis dan mudah diterapkan dalam praktik, terdiri
dari 8 kriteria klinis, 1 kriteria radiologik dan 6 kriteria laboratorik. Acuan kriteria tersebut
masih mengikuti kriteria WHO 1990, khususnya untuk kriteria laboratorik. Dengan definisi
yang baru tindakan pengobatan harus menjadi perhatian agar pemberian pengobatan tidak
terlambat; beberapa kriteria laboratorik akan lebih memastikan diagnosis malaria berat.
Definisi malaria berat WHO, 1990, 2000, dan 2006.
WHO 1990
WHO 2000/catatan
Ditemukannya Plasmodium falciparum bentuk aseksual, ditambah dengan salah satu:
1
Malaria serebralkoma yang tidak
bangun bukan karena penyakit lain, lama
koma >30 menit, setelah konvulsi, dinilai
dengan GCS/Blantyre score
1. Anemia beratanemia
normositikdenganhematokrit<15%/Hb<5 grid',
denganparasitemia>10.000/uL. Jika anemia
mikrositikhipokromik, perludikesampingkan
anemia defisiensibesi,
thalasemia/hemoglobinopati

WHO 2006

Lama koma >1 jam

(banyakkasusdengantransmisi
tinggimempunyaikepadatanpa
rasit>10.000 denganHb 5 gr%
mungkinbukan malaria berat)

2. Anemia berat (lab)

3. Gagal ginjalproduksi urin < 400 ml/24 jam


pada dewasa atau 12 ml/kg BB/24 jam pada
anak-anak yang gagal setelah rehidrasi dengan
serum kreatinin >3 mg/dl

(dalam praktik pada


permulaan dipakai serum
kreatinin saja)

4. Edema paru atau adult respiratory distress


syndrome

3. Gangguan/gagal
ginjal (lab)

4 Edema paru
(gambaranradiolo
gik)
5. Hipoglikemia (lab)

4. Hipoglikemiaguladarah<40 mg/dl
6. Kolapssirkulasi/syokhipotensi
(sistolik<70 mmHg, padaanak<50 mmHg)
dengankulitbasah/clammy skin.

6. Kolapssirkulasi

7. Perdarahanspontandarigusi, hidung,
gastrointestinal, dan/atautandalaboratorium DIC

7. Perdarahan
abnormal

8. Kejangumumberulang, >2 x/24 jam di


sampingpendinginan
9. AsidemiapH arteri/ vena <7,35, atau
plasma bicarbonate <15 mrno1/1 ataubase
excess >10
10. Hemoglobinuriamakroskopik
bukanolehobat-obatan
11. Diagnosis post-mortem
histologidariotakditemukanparasitdanperubaha
nhistologi

(pertimbangkan ,
gambaranklinisdan parasitologik)
(respiratory distress/
napasasidosis;
peningkatantemperatur 1
derajat pH di + 0,0147

8. Kejangberkali-kali/
multiple

(tes G-6PD tidakbermanfaat)

10. Hemoglobinuria

9. Respiratory distress
(napasasidosis)

11. Hiperlaktemia (lab)


12
Gangguan/
penurunankesadaran
12. Prostration
12. Prostration
anaktidakdapatduduk/tidakdapat
makan
14. Hiperparasitemia
13. Hiperparasitemia (lab)
tergantungendemisitasdaerah
15. Ikterusklinisatau serum
bilirubin >3 mg/dl, disertai
gaga! organ lain.
16. Hiperpireksiatemperaturrektal>40 C
padadewasa,
tidakberlakuuntukanak.

14. Ikterus

Definisi malaria berat/komplikasi adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium


aseksual dengan satu atau beberapa manifestasi klinis dibawah ini (WH0,1997) :
1. Malaria serebral (malaria otak) adalah malaria dengan penurunan kesadaran. Penilaian
derajat penurunan kesadaran dilakukan berdasarkan GCS (Glasgow coma scale) pada
dewasa GCS yaitu 15 sedangkan pada anak berdasarkan Blantyre Coma Scale yaitu
3 (tabel 2) atau koma lebih dari 30 menit setelah serangan kejang yang tidak
disebabkan oleh penyakit lain.
2. Anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit
>10.000/uL, apabila anemianya hipokromik mikrositik harus dikesampingkan adanya
anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya.
3. Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau <1 ml/kgbb/jam pada
anak setelah dilakukan rehidrasi; dengan kreatinin darah >3 mg%).

4. Edema paru atau Acute Respiratory Distress Syndrome.


5. Hipoglikemi : gula darah < 40 mg%.
6. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <70 mm Hg ( pada anak : tekanan nadi 20
mmHg); disertai keringat dingin.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, alat pencernaan dan / atau disertai kelainan
laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang > 2 kali per 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia
9. Asidemia (pH.< 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma < 15 mmol/L).
10. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti
malaria pada seorang dengan defisiensi G-6-PD).
Beberapa keadaan lain yang juga digolongkan sebagai malaria berat :
1.
2.
3.
4.
5.

Gangguan kesadaran ringan (GCS < 15)


Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) tanpa kelainan neurologic
Hiperparasitemia > 5 %.
lkterus (kadar bilirubin darah > 3 mg%)
Hiperpireksia (temperatur rektal > 40oC pada orang dewasa, > 410 C pada anak)

PATOGENESIS MALARIA BERAT PADA BEBERAPA ORGAN


Patogenesis Malaria Serebral
Patogenesis malaria serebral walaupun paling banyak diteliti secara mendalam, justru sangat
membingungkan. Dikenal beberapa hipotesis seperti "The sludging hypothesis", malaria
serebral terjadi karena sumbatan mikrosirkulasi serebral oleh eritrosit terinfeksi parasit dan
toksin yang dihasilkan parasit. Hipotesis permeabilitas menunjukkan bahwa edema serebri
yang sering ditemukan pada otopsi disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler akibat
berbagai mediator, terutama kinin hingga plasma bocor keluar dari vaskular. Namun,
hipotesis tersebut kini diragukan karena jarang ditemukan edema papil dan pengukuran
tekanan cairan serebrospinal sering kali normal, juga adanya kebocoran plasma diragukan
karena rasio kadar albumin dalam darah dengan cairan serebrospinal ternyata sama. Adanya
edema serebri diduga karena peningkatan aliran darah serebral.
Hipotesis mekanis menyatakan malaria serebral terjadi akibat sumbatan mekanis pada
mikrosirkulasi akibat penurunan kemampuan deformitas eritrosit terinfeksi sewaktu melewati
kapiler karena sel menjadi kaku, namun pendapat tersebut sekarang sudah tidak dianut lagi
karena banyak kelemahannya. Sekarang diyakini obstruksi mikrosirkulasi terjadi akibat
sekuesterisasi parasit karena sitoadherens. Obstruksi ini menyebabkan hipoksia dan iskemia
yang akan mengganggu fungsi otak. Hipotesis imunologis menyatakan bahwa kelainan

neurologis terjadi karena reaksi sistem imun berlebihan di otak. Reaksi tersebut timbul karena
terpajan antigen parasit sehingga menyebabkan vaskulitis karena penimbunan kompleks imun
atau vaskulitas. Hipotesis sitokin menyatakan bahwa kadar sitokin yang tinggi terutama TNF
dapat merusak dinding vaskular dan sel endotel hingga menimbulkan nekrosis, dan
mengganggu fungsi saraf termasuk koma melalui induksi iNOS untuk menghasilkan NO
dalam jumlah banyak. Trombomodulin yang merupakan penanda kerusakan endotel vaskular
dilaporkan lebih meningkat pada pasien malaria berat dibanding malaria tanpa komplikasi.
Pendapat lain menyatakan keadaan koma sebenarnya merupakan upaya protektif neuronneuron untuk melindungi diri agar terhindar dari kerusakan dengan mengurangi kebutuhan
energi sekaligus fungsinya jika dihadapkan dengan pasokan nutrisi dan oksigen yang tidak
adekuat, dan keadaan metabolik lingkungan sekitarnya yang tidak menguntungkan.
Menurut Anstey, dkk melaporkan adanya gangguan metabolisme asam amino di otak pada
pasien malaria serebral dengan akibat terjadi penurunan kadar origin dan peningkatan kadar
fenilalanin oleh karena gangguan fungsi enzim fenilalanin hidroxylase.
Dilaporkan pula pada pasien malaria serebral terdapat peningkatan kadar asam quinolinik
yang merupakan eksitotoksin endogen (toksik yang bersifat eksitasi/merangsang) yang
dihasilkan oleh mikroglia akibat rangsangan sitokin. Toksin ini merupakan agonis reseptor
glutamat

NMDA,

perangsangan

reseptor

berlebihan

dapat

menyebabkan

kejang,

pembengkakan neuron reversibel karena influks natrium, dan disintegrasi neuron karena
influks kalsium yang berlebihan; mungkin hal ini dapat menerangkan mekanisme gejala
malaria serebral pada anak, yaitu konvulsi, edema serebri reversibel dan kerusakan atau
sekuele neurologik permanen. Selain itu, penelitian pada model P. Berghei ANKA, kadar
enzim indoeamine 2,3-deaminase (IDO) suatu enzim yang dihasilkan melalui jalur
kynurenine meningkat 40 kali lipat pada waktu timbulnya gejala serebral. Produksi enzim ini
diinduksi oleh IFN-3, pada mencit IFN- knockout tidak ada peningkatan IDO dan terhindar
dari gejala malaria serebral. Penelitian ini menyokong pentingnya peran enzim kynurenine
pathway pada patogenesis malaria serebral.
Penyebab koma pada malaria serebral anak-anak Afrika adalah heterogen, dapat merupakan
dampak pasca-kejang yang berkepanjangan, kelainan metabolik berat seperti acidosis
metabolik dan hiioglikemia, status epileptikus yang tidak kentara, dan berbagai kelainan
neurologis primer. Data lain menunjukkan pentingnya peranan inflamasi pada patogenesis
malaria serebral pada anak seperti yang diperlihatkan pada penelitian Armah dkk. Penelitian

Armah dkk menunjukkan peningkatan kadar serum interferon gamma-inducibel protein 10


(IP-10) dan peningkatan kadar IL-1 ra, IL-8, IP-10, PDGF, MIP- 1 beta, Fas-L, sTNF-R1,
sTNF-R2 pada cairan cerebrospinal anak-anak yang meninggal karena serebral malaria.
Saat ini diyakini bahwa mekanisme terjadinya malaria serebral bersifat multifaktorial,
meliputi berbagai proses. Proses pertama obstruksi mekanis mikrovaskular serebral akibat
sitoadherens, roseting, dan deformabilitas eritrosit. Proses kedua adalah pelepasan berbagai
mediator terlarut seperti sitokin terutama TNF-a dan IL-1, ROS, NO, neurotransmiter lain,
serta berbagai toksin malaria. Kedua proses tersebut bersama hipovolemia dan vasokonstriksi
serebral akibat asidosis akan menimbulkan gangguan perfusi serebral yang dapat
menyebabkan penurunan kesadaran dan kejang. Hipotesis terjadinya malaria serebral akibat
obstruksi, sitokin, ditunjukkan pada Gambar 3.6. Sebagai tambahan, mungkin ada proses
ketiga, yaitu kerusakan sawar darah otak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular dengan akibat menimbulkan edema serebri.
Patogenesis asidosis pada malaria
Banyakahli berpendapatbahwa asidosis berperan penting dalam menimbulkan kegagalan
fungsi organ pada malaria. Penyebab asidosis pada malaria bermacam-macam, meliputi
hipovolemia,

gagal

ginjal,

hiperlaktatemia,

dan

gangguan

fungsi

mitokondria.

Hiperlaktatemia merupakan suatu indikator prognosis malaria berat yang paling penting.
Laktat terbentuk dari proses giolisis anaerobik yang terjadi jika mitokondria kekurangan
oksigen. Hal tersebut terjadi karena gangguan penghantaran oksigen ke mitokondria akibat
gangguan aliran darah di mikrovaskular yang disebabkan oleh sekuesterisasi dan/atau
hipoksia akibat kekurangan asupan oksigen, atau karena adanya gangguan penggunaan
oksigen oleh mitokondria. Gangguan penggunaan oksigen tersebut disebabkan oleh proses
inflamasi akibat efek pro-inflamatori sitokin atau berbagai mediator imun lain seperti MIF
atau hypoxia-inducing factor-1 (HIF-1).
Gangguan fungsi mitokondria akibat inflamasi timbul melalui 2 mekanisme, pertama
mitokondria tidak dapat menggunakan oksigen yang cukup tersedia, karena sitokin
proinflamasi menghambat kemampuan mitokondria untuk menggunakan oksigen. Inflamasi
menyebabkan gangguan penggunaan oksigen di mitokondria melalui peningkatan produksi
peroksinitrit dari NO dan superoksi atau melalui aktivasi berlebihan PARP-1 yang
mengurangi enzim NAD+. Mekanisme kedua adalah mitokondria kekurangan oksigen,
karena sitokin proinflamasi secara tidak langsung mengurangi suplai oksigen ke sel yang

selanjutnya mengurangi kemampuan mitokondria untukmenghasilkan ATP. Gangguan suplai


oksigen ke sel terjadi karena sitokin secara tak langsung meningkatkan sekuesterisasi baik
eritrosit terinfeksi maupun leukosit dan trombosit, atau peningkatan produksi mikropartikel.
Patogenesis Anemia
Anemia berat sering ditemukan pada anak-anak, terutama usia sampai 3 tahun, tetapi dapat
juga ditemukan pada 10-30 % pasien dewasa. Penyebab bersifat multifaktoral dan kompleks,
meliputi 2 hal utama, yaitu penghancuran eritrosit baik yang terinfeksi maupun tidak
terinfeksi parasit (hemolisis), dan gangguan produksi eritrosit dalam sumsum tulang
(diseritropoesis).
Hemolisis terjadi akibat rusaknya eritrosit sewaktu pelepasan merozoit, penghancuran
eritrosit terinfeksi maupun tidakterinfeksi oleh sistem retikulo-endotelial di limpa karena
deformitas eritrosityang menjadi kaku sehingga tidak dapat melalui sinusoid limpa, atau
dapat juga disebabkan oleh mekanisme imun (hemolitik imun). Pada mekanisme imun
tersebut, baik eritrosit terinfeksi maupun tidak terinfeksi akan diselubungi oleh antibodi IgG
yang kemudian dihancurkan dalam limpa. Mekanisme hemolisis lain dapat juga disebabkan
oleh produksi ROS yang berlebihan yang dapat merusak membran sel eritrosit dan
menimbulkan anemia. Diduga berkurangnya kemampuan deformabilitas eritrosit berperan
penting menyebabkan anemia, karena eritrosit tidak berhasil lolos dari sinusoid di pulpa
merah limpa dan akan difgositosis oleh makrofag. Berkurangnya kemampuan deformabilitas
ini disebabkan oleh kegagalan pompa Na+/K+ dengan akibat akumulasi ion Na+ intraselular.
Kegagalan pompa Na-VIC diduga disebabkan oleh peningkatan kadar NO yang dipicu oleh
sitokin.
Diseritropoiesis

mungkin

diperantarai

sitokin,

terutama

TNF

dan

IFN--y

yang

dapatmengganggu produksi eritrosit. Data terakhir menunjukkan bahwa supresi sumsum


tulang berkaitan dengan ketidakseimbangan kadar sitokin IL-10 dan TNF. Rasio IL-10:TNF
kurang dari 1 dihubungkan dengan anemia berat. Diseritropoiesis dulu diyakini disebabkan
oleh tingginya kadar NO karena induksi enzim iNOS oleh sitokin terutama TNF, namun
sekarang ada bukti baru yang menyokong peranan migration inhibitory factor (MIF) yang
menghambat produksi eritrosit melalui penghambatan pembentukan eritroid (BFU-E, CFUGEMM, CFU-GM). Diduga sitokin lain selain TNF ikut berperan menimbulkan anemia,
yaitu IL-12, FasL. Selain itu, terdapat bukti bahwa sinusoid di sumsum tulang terisi oleh
parasit yang mungkin dapat menyebabkan gangguan pembentukan eritrosit. Hasil penelitian

Burgmann dkk menunjukkan bahwa produksi eritropoietin pada pasien malaria berat tidak
adekuat dan kemungkinan berperan menyebabkan anemia berkepanjangan, namun penelitian
lain melaporkan kadar eritropoietin normal bahkan meningkat. Mekanisme lain yang
mungkin terjadinya diseritropoiesis adalah akibat berkurangnya produksi prostaglandin E2.
Patogenesis Gangguan Ginjal Akut
Sebagian besar kelainan ginjal yang disebabkan oleh infeksi Plasmodium falciparum akibat
hipovolemia pada kelainan prerenal. Kelainan renal yang paling sering ditemukan adalah
gangguan ginjal akut (GGA) akibat nekrosis tubular akut (ATN). Kelainan glomerular seperti
sindrom nefrotik atau nefritik sangat jarang dijumpai, walaupun kadang ditemukan gambaran
patologis glomerulonefritis ringan dengan gejala proteinuria dengan sedimen urin aktif
ringan. Kelainan ginjal lain yang jarang ditemukan adalah GGA akibat hemoglobinuria,
methemoglobinuria, mioglobinuria. Hipotesis mekanisme terjadiATN ditunjukkan pada
Gambar 3.7. Selain itu, mungkin sitokin inflamasi akan mengaktifkan iNOS yang berakibat
menghambat eNOS (pada vaskular ginjal normal berfungsi mengatur tonus arteriola renal)
sehingga terjadi vasokonstriksi intrarenal yang dianggap merupakan mekanisme sentral
terjadinya GGA pada infeksi Plasmodium falciparum. Walaupun dahulu diyakini bahwa ATN
terutama disebabkan oleh penurunan aliran darah renal akibat sitoadeherens parasit di kapiler
ginjal, namun penelitian tidak menyokong hipotesis tersebut.
Patogenesis Kelainan Organ Lain
Hipoglikemia disebabkan oleh hiperinsulinemia karena kina atau kinidin, peningkatan
konsumsi glukosa oleh sel inang maupun parasit, dan gangguan glukoneogenesis dan
glikogenolisis akibat pengaruh sitokin dan aktivasi iNOS. Mekanisme terjadinya edema paru
non-kardiak masih belum jelas, sebagian besar karena pemberian cairan yang berlebihan,
tetapi dapat pula karena peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan kebocoran
plasma. Penyebab pasti ikterus pada malaria belum diketahui pasti, dapat disebabkan
hemolisis, disfungsi hepar, kolestatik intrahepatal, atau hemolitik mikroangiopatik akibat
koagulasi intravaskular diseminata (jarang). Diduga kuat disfungsi hepar terjadi karena
penurunan aliran darah hepar akibat sumbatan mekanis oleh sekuesterisasi parasit pada
sinusoid daerah portal atau hepatal; mungkin juga disebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
portal.

Gambaran utama malaria berat terutama pada orang dewasa adalah perbedaan pola
keterlibatan organ di antara pasien. Malaria serebral sering diikuti GGA dan edema paru,
sedangkan malaria dengan ikterik sering diikuti dengan GGA tapi tidak malaria serebral.
Perbedaan pola disfungsi organ ini mencerminkan lokasi anatomis sekuesterisasi. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan aktivitas enzim, seperti gamma-glutamyl-transpeptidase,
dan ekspresi molekul adhesi pada endotel di berbagai organ. Suatu penelitian histokimia
menemukan adanya perbedaan distribusi molekul ICAM-1, CD-36, dan lain-lain, di antara
bahkan di dalam jaringan vaskular otak, limpa, ginjal, paru.
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut :
1.Temperatur rektal 400C
2.Nadi cepat dan lemah/kecil
3.Tekanan darah sistolik <70 mmHg pada orang dewasa dan pada anak-anak <5
mmHg.
4.Frekuensi nafas > 35 x per menit pada orang dewasa atau > 40(x per menit pada
balita, anak di bawah 1 tahun > 50 x per menit.
5.Penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow coma scale (GCS) < 11
6.Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, hematom).
7.Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurana, bibir kerinc
produksi air seni berkurang)
8.Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucdan
lain-lain)
9.Terlihat mata kuning/ikterik.
10.Adanya ronki pada kedua paru
11.Pembesaran limpa dan atau hepar.
12.Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
13.Gejala neurologi (kaku kuduk, reflek patologik)
Catalan penderita tersangka malaria berat harus segera dirujuk untuk mendapat
kepastian diagnosis secara mikroskopik dan penanganan lebih lanjut
PRESENTASI KLINIS MALARIA BERAT
I. Malaria Serebral
Terjadi pada kira-kira 2% penderita non-imun dan penyebab kematian pada malaria berat.
Malaria serebral merupakan 10% dari seluruh kasus malaria berat dengan mortalitas sampai
80%. Malaria serebral sering dijumpai pula di daerah endemik seperti Jepara ( Jawa Tengah),
Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Secara sporadik juga ditemui di beberapa kota besar
di Indonesia. Pada umumnya sebagai kasus impor. Penelitian di Minahasa, Sulawesi Utara
mortalitas setinggi 30,5%.
Pada penelitian 235 penderita malaria serebral (1983-1998) dijumpai 41% dengan
hiperbilirubinemia, 26% dengan kreatinemia dan 10,7% dengan hipoglikemia. Mortalitas

penderita malaria serebral dengan 3 kegagalan organ 88,9%, dengan 2 gagal organ 47,6% dan
hanya satu organ (misalnya serebral atau ikterik saja) 10,5%.
Demam pada malaria serebral tidak berbeda dengan malaria biasa, setelah beberapa
hari demam, baru terjadi hilang kesadaran. Pada anak demam biasanya lebih singkat (<2
hari). Pada kasus tertentu, koma dapat timbul mendadak atau sangat cepat, pagi pada waktu
diperiksa kesadaran penderita normal, dan sore harinya dapat koma. Malaria serebral sering
didefinisikan sebagai keadaan koma yang tak dapat dibangunkan. Dalam praktik sehari-hari,
penderita malaria dengan parasit aseksual positif disertai perubahan atau penurunan
kesadaran harus ditangani sebagai malaria serebral. Penilaian penurunan kesadaran pada
orang dewasa diukur dengan GCS (Glasgow Coma Scale), yaitu kurang dari 11 atau setara
dengan keadaan klinis soporous. Pada anak-anak, penilaian gangguan kesadaran
menggunakan skor Blantyre. Sebagian penderita mengalami gangguan kesadaran yang lebih
ringan seperti apati, somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku (penderita tidak mau
bicara). Keadaan hipoglikemia, panas yang tinggi dapat menyebabkan hilangnya kesadaran
sehingga dapat menyerupai gejala malaria serebral.
Kelainan neurologik pada orang dewasa berupa kejang (di Thailand 20-50%), di
Indonesia lebih jarang. Retraksi leher dan hilangnya fleksibilitas leher dapat terjadi, tetapi
kaku kuduk dan fotofobia tidak pernah terjadi pada malaria serebral. Reaksi kornea, bulu
mata, dan reaksi pupil normal. Mata divergen, pupil ukuran normal dan reaktif. Refleks
oculocephalic dan oculovestibular normal. Mata deviasi ke satu arah dilaporkan pada kasus di
Afrika. Spasme mata yang konvergen, nistagmus, dan paralisis N. VI jarang terjadi pada
malaria serebral. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan kelainan pada retina telah
diteliti secara intensif. Sejak tahun 2004 telah dilaporkan adanya hubungan kelainan retina
pada malaria serebral anak dan mempunyai nilai diagnostik dan prognostik. Empat kelainan
pada retina ialah pemutihan retina, diskolorisasi pembuluh darah, perdarahan dan
papiledema. Cotton wool dapat terlihat dapat dibedakan dengan pemutihan retina. Dua per
tiga (2/3) pasien-pasien malaria serebral dapat dijumpai retinopati dan mempunyai mortalitas
2x lebih besar jika dibandingkan dengan malaria serebral anak tanpa retinopati. Setengah dari
pasien malaria dengan anemia berat juga dijumpai retinopati yang ringan. Penelitian pada
malaria berat orang dewasa di Bangladesh menunjukkan retinopati pada 63% sedangkan pada
malaria serebral 70%. Retinopati derajat sedang sampai berat lebih banyak dijumpai pada
malaria serebral. Beratnya pemutihan retina berkorelasi dengan kadar plasma laktat, hal ini
diduga berhubungan dengan adanya iskemia pada retina karena obstruksi mikrovaskuler.
Gambaran retinopati dapat dilihat seperti pada Gambar 11.2.

Gambaran motorik yang sering ialah kelainan upper motor neuron yang simetris.
Tonus otot dan refleks tendo meningkat, klonus patela, dan kaki (ankle) positif, refleks
abdomen dan kremaster tidak ada, sedangkan refleks Babinsky abnormal pada 50%
penderita. Jika tonus otot dan refleks tendon menurun harus disingkirkan adanya
hipoglikemia. Terjadi gigitan rahang yang kuat dan gesekan pada gigi (bruxism). Refleks
dagu (jaw) meningkat, dan pout reflex positif. Kelainan refleks genggam jarang dijumpai,
refleks gag normal. Pada keadaan berat, penderita dapat mengalami dekortikasi (lengan fleksi
dan tungkai ekstensi), deserebrasi (lengan dan tungkai ekstensi), opistotonus, deviasi mata ke
atas dan lateral. Gejala dapat berubah dengan cepat, juga dilaporkan terjadi gangguan otot
sfingter, monoplegia, hemiplegia, gerakan athetoid, kedutan otot, otot dapat fleksid berganti
dengan spastik. Keadaan ini sering disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada orang
dewasa dapat 2-3 hari, sedang pada anak satu hari.
2. Gagal Ginjal Akut (GGA)
Ada 2 kategori pasien gagal ginjal akut pada malaria, yang pertama ialah pasien
malaria akut dengan gagal organ multipel (biasanya prognosis buruk). Prognosis infeksi
malaria akut yang berat baik jika ada fasilitas dialisis dan dilakukan dini. Kelompok kedua
adalah penderita dengan anemia dan kreatinin serum yang tinggi. Biasanya pasien menderita
sudah lama sebelum dirujuk. Data dari Minahasa, Sulawesi Utara menunjukkan di antara 132
kasus malaria berat, kelainan fungsi ginjal terjadi pada 30 kasus (22%) dengan kreatinin >3
mg% dan 21 kasus (16%) dengan kreatinin 2-3 mg%. Ureum berkisar 93-513 mg% dan
kreatinin bervariasi 3,13-19,4 mg%.
Kelainan fungsi ginjal dapat terjadi pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 510% yang disebabkan oleh nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan oleh
adanya anoksia karena penurunan aliran darah ke ginjal akibat sumbatan kapiler. Sebagai
akibatnya terjadi penurunan filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi fase
oliguriaatau poliuria. Penderita tersebut juga dapat mengalami gangguan fungsi hati,
hipoglikemia dan gangguan serebral.
Pada gagal ginjal akut pada malaria biasanya terjadi oliguria (urin kurang dari 400
ml/24 jam) atau anuria (urin<50 ml/hari). Kadang-kadang produksi urin dapat normal bahkan
meningkat. Berdasarkan laporan dari Vietnam dan pengalaman di Manado, banyak penderita
malaria dengan gangguan ginj al produksi urinnya normal, tetapi kreatinin makin meningkat
dan keadaan tersebut merupakan indikator untuk melakukan dialisis. Jadi, pada malaria
dengan gangguan ginjal perlu diperiksa kreatinin serum tiap hari.
Jika oliguria tidak segera ditangani, akan terjadi anuria. Jika oliguria bertahan sampai
lebih dari 4 minggu akan terjadi nekrosis kortikal difus, glomerulonefritis yang progresif,

oklusi arteria renalis atau vaskulitis ginjal. Dapat terjadi hiperkalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia dan hipermagnesemia. Pada gagal ginjal akut dapat terjadi asidosis metabolik,
hiperurisemia, peningkatan amilase serum, gagal jantung kongestif, aritmia dan perikarditis.
Pada malaria dengan gagal ginjal sering terjadi asidosis, hemoglobinuria, gangguan
keseimbangan cairan, elektrolit, dan edema paru.
3. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Ikterus yang sering dijumpai pada infeksi malaria sebanyak kira-kira 2,58% dan dapat
disebabkan oleh hemolisis atau disfungsi hati. Pada penelitian di Minahasa, dari 836
penderita malaria, hepatomegali 15,9%, hiperbilirubinemi 14,9% dan peningkatan serum
transaminase 5,7%. Pada malaria biliosa (malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik
17,2%, ikterus obstruktif intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa, hemolitik
dan obstruktif 78,6%. Peningkatan SGOT rata-rata 121 mU/ml dan SGPT 80,8 mU/m1
dengan rasio de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang dan
jarang melebihi 200 IU. Ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan
hati. Penelitian di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin tertinggi ialah
36,4 mg%. Bilirubin normal (<1,2 mg%) dijumpai pada 28 penderita (25%) dengan
mortalitas 11%, bilirubin 1,2-2 mg% dijumpai pada 17 penderita (16 %) dengan mortalitas
17%, bilirubin >2-3mg% pada 13 penderita (12%) dengan mortalitas 29%, serta bilirubin >3
mg% dijumpai pada 51 penderita (46%) dengan mortalitas 33%. SGOT serum bervariasi dari
6-243 u/L sedangkan SGPT bervariasi dari 4-154 u/L. Alkali fosfatase bervariasi dari 5-534
u/L dan gamma-GT bervariasi 4-603 u/L. White (1996) memakai batasbilirubin >2,5 mg%,
SGOT/SGPT > 3x normal menunjukkan prognosis yang jelek.
Terjadi penurunan aliran darah ke hepar, dan akan kembali normal pada fase
penyembuhan. Mungkin ini disebabkan oleh sekuestrasi dan sitoadheren yang menyebabkan
obstruksi mikro-vaskular. Keadaan ini sering disebut sebagai malaria hepatitis (biliosa).
Penurunan albumin serum digunakan sebagai indikator gangguan fungsi hati. Kadar serum
transaminase dan 5-nukleotidase meningkat ringan tidak seperti pada hepatitis. Waktu
protrombin memanjang, terjadi asidosis laktemia, hipoglikemia, perubahan peningkatan
trigliserida, fosfolipid, asam lemak bebas, dan kolesterol. Ikterik juga terjadi pada keadaan
billious remitten fever yang didahului gangguan gastro-intestinal berupa mual dan muntah.
Adanya ikterus secara klinis juga dipakai sebagai kriteria malaria berat.
4. Hipoglikemi
Hipoglikemi didefinisikan sebagi gula darah kurang dari 40 mg% (2,2 mmol/L) yang
sering ditemukan pada malaria berat, khususnya pada anak-anak. Hipoglikemia sering

ditemukan pada anak usia <3 tahun, mereka dengan kejang atau hiperparasitemia dan pasien
dengan koma. Hipoglikemia berhubungan dengan kejang, asidosis laktat dan TNF yang
meningkat. Pada pasien yang sadar hipoglikemia memberikan gejala klasik seperti takut atau
cemas, sesak napas, perasaan dingin, takikardia dan kepala ringan, disertai tanda fisik berupa
berkeringat, terjadi koma atau penurunan kesadaran, postur abnormal, yaitu decebrate atau
decorticate rigidity, kejang otot, poting, stertorous breathing, opisthotonos. Berkeringat sering
tak jelas, pupil sering tidak berdilatasi, pernapasan dapat siklik, stertorous dan dalam. Gejala
hipoglikemia sering tidak terdeteksi dan gula darah dapat sampai di bawah Smg% bahkan 0
mg%. Pada penderita dengan gangguan kesadaran jika kesadaran lebih menurun atau terjadi
kejang, postur tubuh ekstensi dan terjadi perubahan respirasi, segera diperiksa kadar gula
darah.
Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi
kina (dapat terjadi 3 jam setelah infus kina). Penyebab lain ialah kegagalan glukoneogenesis
pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia karena parasit mengonsumsi karbohidrat, dan
TNF alfa yang meningkat. Hipoglikemi dapat pula terjadi pada primigravida dengan malaria
tanpa komplikasi. Hipoglikemia kadang-kadang sulit diobati dengan cara konvensional.
Keadaan tersebut biasanya disebabkan oleh hipoglikemia persisten akibat hiperinsulinemia
setelah pemberian kina. Setelah kina dihentikan atau diganti obat lain, gula darah akan
meningkat kembali.
5. Hemoglobinuri Malaria (Blackwater Fever)
Adalah suatu sindrom dengan gejalakhas berupa serangan akut, menggigil, demam
ringan, hipotensi, hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, hemoglobinuria dan gagal ginjal.
Secara klasik dilaporkan, pekerja asing (expatriate) dari Eropa yang tinggal di daerah
endemik malaria mengalami infeksi malaria berulang karena pengobatan kina yang tidak
teratur, baik untuk profilaksis maupun pengobatan. Parasit tidak dijumpai atau hanya sedikit.
Penderita biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah, diare, poliuria, diikuti oliguria dengan
kencing warna hitam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai hepatosplenomegali, anemia, dan
ikterik. Dugaan adanya hemolisis karena kina ataupun timbulnya antibodi terhadap kina
belum pernah dibuktikan. Hemoglobinuria pada malaria diduga karena kekurangan enzim G6-PD (Glucose 6-Phosphate dehydrogenase) atau enzim lainnya. Studi di Thailand
menunjukkan 2 kelompok malaria dengan hemoglobinuria: satu dengan defisiensi enzim G-6PD yang memakai obat malaria (khususnya primakuin), biasanya parasit tidak ditemukan;
atau kelompok lain dengan enzim G-6-PD normal dijumpai parasit falsiparum positif dengan
manifestasi gagal ginjal.

Pada penelitian di Vietnam, 2% penderita yang diberikan arthemeter dan 1% penderita


malaria yang diberikan kina mengalami hemoglobinuria. Hemoglobinuria malaria terjadi
pada 3 keadaan yaitu: 1) penderita defisiensi G-6-PD yang menggunakan obat oksidan atau
bahan makanan lainnya, 2) penderita dengan defisiensi G-6-PD yang menderita malaria akut
dan mendapat pengobatan dengan kina atau artemisinin, dan 3) penderita dengan malaria
akut, termasuk malaria berat dengan kadar G-6-PD normal. Hanya sebagian kecil penderita
dengan hemoglobinuria akan berkembang menjadi gagal ginjal akut. Penyebab menjadi gagal
ginjal tidak diketahui.
6. Abnormalitas Kardiovaskular, Syok dan "Malaria Algid"
Disfungsi miokardium biasanya dijumpai pada malaria. Terjadi peningkatan indeks
jantung >5 L/menit/m2 yang disebabkan oleh vasodilatasi dimediasi pirogen disertai dengan
tahanan vaskular sistemik yang rendah dan tekanan "pulmonary arterial wedge" yang rendah
atau normal. Keadaan tersebut dijumpai pula pada sepsis, yang juga ditemukan hipotensi.
Hipovolemia pada malaria berat disebabkan oleh rendahnya masukan, muntah, berkeringat
banyak, demam dan jarang diare. Aritmia jantung juga dapat terjadi karena pemberian kina
500 mg melalui infus baik sebagai dosis beban maupun dosis standar yang mengenai usia
muda.
Terjadinya syokvaskuler, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik kurang dari 70
mmHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya perfusi jaringan. Gambaran klinis
berupa perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur rektal tinggi, kulit tidak elastik,
pucat. Napas dangkal, nadi cepat, tekanan darah turun, baik sistolik maupun diastolik dan
sering tekanan diastolik tak terukur. Dijumpai gejala nyeri epigastrium, muntah menetap,
diarea yang serupa kolera dan ikterik. Parasitemia biasanya padat dan sering dijumpai bentuk
skizon. Keadaan itu dahulu disebut sebagai "malaria algid"; sebagian ditemukan bersama
dengan bakteremia. Sekarang adanya hipotensi lebih sering dihubungkan dengan terjadinya
septisemia gram negatif, karenanya kultur darah merupakan hal yang penting dilakukan.
Selain itu, perlu dikes ampingkan pengaruh kekurangan cairan (muntah, perpirasi, panas),
edema paru, asidosis metabolik, perdarahan gastro-intestinal dan efek pemberian obat
malaria. Hipotensi biasanya berespons dengan pemberian NaC1 0,9% dan obat inotropik
selain pemberian obat malaria. Keadaan syok hipovolemia dijumpai pada 44% anak dengan
malaria berat dan ini dihubungkan dengan asidosis metabolik.
7. Edema Paru dan Sindrom Gawat Napas Dewasa
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru merupakan
komplikasi yang paling berat dari malaria tropika (dapat terjadi juga pada malaria vivaks) dan

sering menyebabkan kematian. Ada dua tipe edema paru yang dapat terjadi, pertama karena
kelebihan cairan. Keadaan tersebut jika diketahui secepatnya dapat diobati dengan pemberian
diuretika. Bentuk yang kedua ialah sindrom gawat napas dewasa. Pada keadaan ini tekanan
vena sentral normal dan pulmonary wedge pressure menurun. Empat puluh persen penderita
dengan edema paru merupakan penderita ARDS (adult respiratory distress syndrome) yang
didefinisikan sebagai acute lung injury dengan rasio tegangan oksigen arterial 200 mmHg
atau kurang. ARDS merupakan gagal respirasi berat yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab yang ditandai dengan Pa02 yang sangat rendah (<70 torr) selama pemberian
intermittent positive pressure breathing (IPPB) dengan Fi02 50%. Dahulu, keadaan ini diduga
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran kapiler, terjadinya embolimiluovaskular,koagulasiintravaskular atau disfungsimikrosirkulasi pulmonal. Akhir-akhir ini
diduga terjadinya ARDS disebabkan oleh peningkatan TNF-a (Tumor necrosis factor).
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema paru ialah kelebihan cairan,
kehamilan atau postpartum, malaria serebral, hiperparasitemia, hipoglikemia, hipotensi,
asidosis dan uremi . Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal, jika frekuensi
pernapasan >35x/menit prognosis jelek. Edema paru dapat terjadi tiba-tiba maupun setelah
pengobatan. Pada autopsi dijumpai adanya kombinasi edema yang difus, kongesti paru,
perdarahan, dan pembentukan membran hialin. Tanpa pemeriksaan radiologik yang baik sulit
dibedakan dengan bronkopneumonia akut atau edema paru akut. Pada malaria sering terjadi
takipnea akibat demam dengan pernapasan pendek atau dangkal, sedangkan pada edema paru
atau ARDS pernapasan dalam dan cepat. Pada pemeriksaan radiologi dapat dijumpai
gambaran klasik adanya infiltrasi interstisial dan alveolar yang tersebar bilateral. Pada fase
akhir dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan kegagalan miokardium karena hipoksia yang
ireversibel.
8. Kecenderungan perdarahan, Gangguan Hemostasis, dan Trombositopenia
Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahan retina, perdarahan
di bawah kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi karena malaria tropika.
Gangguan koagulasi intravaskular yang menyebabkan terjadinya perdarahan jarang terjadi
(<10%), dan jika terjadi biasanya pada penderita yang tidak imun. Perdarahan saluran
percernaan disebabkan oleh penggunaan steroid atau karena stress ulcer. Tes fungsi koagulasi
seperti waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, fibrinogen, biasanya normal. Adanya
perdarahan denganparasitemia berat dan uremia menunjukkan prognosis yang jelek.
Perdarahan berhubungan dengan komplikasi lain, seperti hiper-bilirubinemia, gangguan
fungsi ginjal, paru, dan hiperparasitemia. Disseminated Intravascular Coagulation (DIG)

terjadi pada malaria berat yang disertai hiperbilirubinemia berat dan edema paru. Perdarahan
juga berhubungan dengan uremia dan pengobatan (heparin dan deksametason). Koagulasi
konsumtif terjadi derajat rendah. Fibrin degradation product (FDP) meningkat, fibrinogen,
dan faktor VIII meningkat, kadar anti-trombin III rendah.
Anemia yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh terjadinya infeksi malaria karena
pecahnya eritrosit, baik yang berparasit maupun tidak. Trombositopenia sering terjadi pada
infeksi malaria dan sering dikelirukan dengan infeksi demam dengue. Trombositopenia
berat kurang dari 20.000/mm3 sering terjadi pada infeksi malaria falsiparum, walaupun
perdarahan spontan jarang dijumpai. Trombositopenia diduga disebabkan oleh penurunan
umur trombosit (karena lisis intravaskular, mekanisme imun atau antibodi Ig-G, peningkatan
konsumtif), peningkatan penyerapan oleh limpa dan sekuestrasi, dan penurunan produksi
trombosit.
9. Hiperparasitemia
Hubungan derajat atau padatnya parasitemia dengan beratnya penyakit malaria
bergantung populasi atau endemisitas dan usia. Pada anak-anak non-imun di daerah yang tak
stabil malarianya, derajat parasitemia 4% atau lebih dikategorikan sebagai malaria berat.
Pada daerah malaria yang stabil atau hiperendemik, parasitemia 20% atau lebih baru
dianggap sebagai malaria berat. Di Indonesia, kecuali Papua dan Kalimantan,
hiperparasitemia didefinisikan sebagai malaria berat jika hitung parasit >5% (> 250.000/uL).
Ada hubungan yang erat antara mortalitas atau risiko kematian, khususnya untuk penderita
yang tidak imun. Jika parasitemia <100.000/uL angkakematian sebesar 1%, dan jika
parasitemia >500.000/uL angka kematian >50% (kecuali di daerah hiperendemik atau
holoendemik). Hal itu disebabkan oleh gangguan mikrovaskular yang sering terjadi sehingga
menyebabkan kelainan metabolik seperti hipoglikemia dan asidosis metabolik. Parasitemia
>10% cukup banyak dijumpai, bahkan parasitemia 50-70% pernah terjadi pada kasus di
Minahasa. Umumnya penderita dengan parasitemia >20% hampir selalu menyebabkan
kematian. Penderita tersebut memburuk dengan cepatmemberikan gejala malaria serebral,
gagal ginjal akut, ikterik yang dalam, anemia, asidosis, hipoglikemia dan gagal napas akut
dalam beberapa jam. Adanya perdarahan retina memberikan petunjuk prognosis yang jelek.
Jika terjadi hiperparasitemia biasanya dijumpai bentuk skizon dalam darah tepi. Kebalikan
dari hiperparasitemia jika hitung parasit rendah, tidak selalu berarti penderita tidak
mengalami manifestasi berat atau prognosis baik. Hal itu disebabkan oleh sekuestrasi parasit.
Sekuestrasi menyebabkan pemeriksaan parasit dalam darah tepi tidak sesuai dengan parasit
yang sebenarnya di dalam jaringan.

10. Manifestasi Gastrointestinal


Manifestasi gastrointestinal yang dijumpai pada malaria, ialah mual, muntah, nyeri
perut yang kadang-kadang kolik, diare cair tanpa darah atau pus. Adanya gangguan absorpsi
karbohidrat terjadi pada malaria falsiparum berat. Kadang-kadang gejala menjadi berat
berupa sindrom "billious remittentfever", yaitu gejala gastrointestinal dengan hepatomegali,
ikterik (hiperbilirubinemia dan peningkatan SGOT/SGPT) dan gagal ginjal. Keadaan ini
dilaporkan pada kasus fatal yang disebabkan oleh P. knowlesi yang merupakan infeksi
plasmodium baru yang menginfeksi manusia sering didiagnosis sebagai infeksi P. malariae
yang tidak klasik dan cenderung berat. Keadaan lain, yaitu malaria disenteri menyerupai
disenteri basiler, perut tender, nausea dan muntah, demam tinggi, dan parasitemia berat.
Dapat pula terjadi malaria kolera yang jarang pada P. falciparum berupa diare cair yang
banyak, muntah, kramp otot, dan dehidrasi. Syok dan oliguria dapat terjadi, dan parasitemia
cukup padat.
11 Gangguan Cairan dan Elektrolit
Volume plasma biasanya rendah pada malaria dan kembali normal setelah dehidrasi.
Total cairan tubuh dan volume ekstraselular cenderung meningkat, sesuai dengan penemuan
bahwa aktivitas plasma renin, aldosteron, dan hormon anti-diuretik meningkat. Planche
meneliti pada malaria berat anak terjadi defisit total cairan tubuh 6,7% dan defisit intraselular
11,7%. Angka tersebut penting untuk mempertimbangkan rehidrasi.
Hiponatremia sering dijumpai pada penderita anak dengan malaria serebral falsiparum
di Afrika, hanya 53% penderita dengan hiponatremia (Na 117-119 mmol); studi lain di
Gambia menemukan 74% penderitadengan Na <135 mmol/L; penelitian lebih detail
menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi (31%) pada malaria serebral dengan Na <120
mmol/L. Di Minahasa, hiponatremia pada malaria berat dewasa terjadi pada 91,9% (65 di
antara 105 penderita memiliki Na<134 mmol/L); 11,4% merupakan hiponatremia berat (Na
<120 mmol/L). Mortalitas pada kasus-kasus hiponatremia berat sebesar 25%; hiponatremia
ringan 20,7% dan natrium normal 13,6%. Kalium normal 52,4% kasus, 26,6% kalium 3,1-3,5
mmol/L, 17,1% kadar kalium 2,1-3,0 mmol/L dan 3 kasus (2,8%) dengan hipokalemia berat
(1,1-1,2 mmol/L). Hanya satu kasus dengan hiperkalemia (9,4 mmol/L) dengan asidosis,
gagal ginjal akut, malaria serebral, dan hipoglikemia. Penyebab hiponatremia belum pasti.
Beberapa dugaan adalah kehilangan natrium melalui muntah, berkeringat, dan kekurangan
asupan. Beberapa studi menyatakan adanya peranan hormon anti-diuretik yang abnormal atau
inappropriate, seperti yang dilaporkan adanya sindrom abnormalitas hormon diuretik
(SAHAD/ SIADH).

12. Asidosis Metabolik dan Gangguan Metabolik Lain


Asidosis metabolik yang terjadi adalah asidosis laktat. Penyebab tidak diketahui,
dianggap karena terjadi peningkatan produksi laktat, gangguan metabolisme laktat, dan asam
keton. Beberapa faktor yang berperan adalah demam, anemia berat, hipovolemia, perubahan
rheologi eritrosit non-parasit, kejang, hasil akhir metabolisme parasit, penurunan eliminasi
laktat karena gangguan fungsi dan aliran darah hepatika dan Reye's syndrome. Asidosis laktat
merupakan prediktor independen untuk mortalitas. Hiperlaktemia disebabkan oleh
peningkatan metabolisme glukosa secara anaerobik sebagai hasil penurunan aliran darah
mikrovaskular akibat sekuestrasi parasit. (lihat Gambar 3.6 pada Bab 3).
Asidosis ditandai dengan hiperventilasi (pernapasan Kussmaul), auskultasi lapangan
paru normal, peningkatan asam laktat (n: 2 mmol/L), pH turun (<7,35 pada pemeriksaan
darah kapiler atau arteri, jika temperatur meningkat satu derajat, koreksi pH ditambah angka
0,0147) dan penurunan bikarbonat (<15 mmol/L). Asidosis biasanya disertai edema paru,
hiperparasitemia, syok, gagal ginjal, dan hipoglikemia.
Laktat dapat diukur dalam carian serebrospinalis atau dalam darah. Plasma laktat pada
malaria berat menunjukkan prognosis jelek jika >5 mmol/L; studi di Kenya base excess >-12
sangat berhubungan dengan risiko kematian (relative risk = 8).
Gangguan metabolik lain ialah hipokalsemia yang

berhubungan

dengan

hipoalbuminemia. Studi di Thailand menemukan 35,5% hipokalsemia asimtomatik pada


malaria falsiparum akut. Pada 6 kasus ditemukan kadar parathormon yang rendah (<5,0
pmol/L). Hipo-fosfatemia (<0,80 mmol/L) ditemukan pada 43%; sedangkan hiper-fosfatemia
(>1,34 mmol/L) pada 8,7%. Hipofosfatemia berat menyebabkan gangguan serebral dan
gangguan fungsi leukosit dan trombosit serta hemolisis. Hal tersebut diperberat dengan
pemberian glukosa dan stimulasi pemberian infus kina yang menyebabkan hiperinsulinemia.
Beberapa gangguan metabolisme lain adalah hiperfosfolipidemia, hiperfosfolipase-A2-emia,
hipertrigliseremia dan hipokolesterolemia, T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid
syndrome).
13.Hiperpireksia (Hipertermia)
Walaupun dapat terjadi pada semua bentuk malaria, hiperpireksia paling sering
dijumpai pada malaria falsiparum. Kulit panas, kering, dan sianosis pada ekstremitas.
Hiperpireksia sering menyebabkan delirium, dan jika berlanjut terjadi koma dan incontinen
alvi et urinae. Jika temperatur >38C sering menimbulkan kejang pada anak. Temperatur
antara 39,5C-42C menimbulkan delirium dan di atas 42C menimbulkan koma.
Hiperpireksia menyebabkan kegawatan janin pada kehamilan dan sering menyebabkan
terjadinya abortus. Di daerah endemik malaria jika terjadi hiperpireksia (heat stroke) selain

infeksi bakteri harus dipikirkan kemungkinan infeksi malaria falsiparum.


14.Anemia
Anemia sering terjadi pada malaria. Pada 30% diperlukan transfusi darah (Thailand),
usia rata-rata anak dengan anemia berat adalah 1,8 tahun dan dibandingkan malaria serebral 3
tahun. Pada anak penderita malaria di daerah holoendemik, hemoglobin dapat turun 2 gr%
setiap hari dan seperti di daerah Papua anemia berat dapat terjadi dengan Hb 0,9 gr%.
Laporan dari Afrika menunjukkan anemia dapat terjadi pada usia 2 bulan. Keadaan tersebut
disebabkan oleh parasitemia di plasenta. D efinisi WHO menyatakan malaria berat dan perlu
transfusi jika Hb<5gr% atau hematokrit kurang dari 15%, jika parasit >10.000/mm3. Derajat
anemia berkorelasi dengan parasitemia, skizontemia, serum bilirubin total, serum kreatinin.
Pada malaria akut, anemia berat sering memberikan gejalaserebral, seperti tampak bingung,
kesadaran menurun sampai koma, dan gejala kardio-pulmonal seperti ritme gallop,
hepatomegali, dan edema paru. Mortalitas malaria dengan anemia berat berhubungan dengan
kejadian sindrom gawat napas dan asidosis. Anemia sering dihubungkan dengan terjadinya
infeksi sekunder oleh bakteri, perdarahan retina dan kehamilan. Selain karenahemolisis,
anemia juga terjadi akibat peningkatan TNF-alfa yang menghambat hematopoiesis.
15.Ruptur Limpa
Sering dijumpai pada malaria kronik dengan limpa yang besar. Ruptur limpa dapat
terjadi secara spontan atau karena trauma. Biasanya mulai dengan hematom subkapsular yang
diikuti perobekan kapsular. Diagnosis dicurigai jika dijumpai syok sirkulasi dengan nyeri
abdomen dan perasaan penuh pada abdomen kiri atas, nadi kecil, dan tekanan darah turun.
Keluhan lain adalah nyeri bahu kin (refferred pain) dan kelainan basal paru kin pada
pemeriksaan foto toraks.
16.Infeksi bakterial, septikemia dan sepsis
Infeksi bakterial sering terjadi pada malaria berat karena supresi imunitas, infeksi
sekunder berupa septikemia, pneumonia bakterial, infeksi saluran kemih (pemasangan kateter
urin) dan meningitis. Sepsis karena Escherichia coli pernah dilaporkan pada beberapa kasus
kematian malaria. Kejadian sepsis ini dapat sebagai penyulit atau komplikasi malaria berat
atau merupakan keadaan yang menyerupai malaria berat. Mortalitas malaria berat saja tanpa
sepsis berkisar 10% dengan penanganan yang baik. Angka tersebut akan meningkat jika
komplikasi bertambah banyak, antara lain jika terjadi sepsis. Mortalitas malaria berat juga
bergantung pada jumlah kegagalan fungsi organ yang terjadi akibat infeksi malaria. Insiden
bakteremia pada anak dengan malaria berat di Afrika sebesar 7,8% dengan angka kematian
meningkat 3 kali lipat (33,3%). Sepsis ini mungkin terjadi karena penurunan daya tahan

tubuh dan karena tindakan medis yang memungkinkan masuknya bakteri seperti kateterisasi.
Juga terjadi karena bronkopneumonia akibat aspirasi atau konvulsi, dekubitus, atau
tromboflebitis pada pemasangan infus. Sepsis ditandai dengan adanya hipotensi. Kondisi
sepsis dapat terjadi kapan Baja dalam perjalanan malaria berat mulai dari saat masuk/tiba di
RS, dalam proses diagnosis, maupun dalam masa perawatan dan pengobatan. Adanya
leukositosis dan peningkatan neutrofil dapat digunakan sebagai petanda terjadi sepsis pada
malaria berat. Pada beberapa penelitian, kuman yang sering ditemukan ialah Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, Clostridium perfringens, streptococcal, Listeriosis, Legionella
pneumonia, salmonelosis, dan Pasteurella multocida.
Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat
1. Hemoglobin dan hematokrit
2. Hitung jumlah leukosit. Trombosit
3. Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT, alkali fosfatase,
4.
5.
6.
7.
8.

albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah)


EKG
Foto toraks
Analisis cairan serebrospinal
Biakan darah dan uji serologi
Urinalisis

Pengobatan malaria berat ditujukan pada pasien yang datang dengan manifestasi klinis berat
termasuk yang gagal.dengan pengobatan lini pertama.
Apabila fasilitas tidak atau kurang memungkinkan, maka penderita dipersiapkan untuk
dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
TATALAKSANA MALARIA BERAT
Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi :
I. Tindakan umum
II. Pengobatan simptomatik
III.Pemberian obat anti malaria
IV.Penanganan komplikasi
I. Tindakan umum
Tindakan umum meliputi :
1. Bebaskan jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu bed
oksigen (O2)
2. Perbaiki keadaan umum penderita (bed cairan dan perawatan umum)
3. Monitor tanda-tanda vital (keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah,
suhu, dan nadi setiap 30 menit).

4. Pantau tekanan darah, warna kulit dan suhu. Penderita hipotensi ditidurkan dalam
posisi Trendenlenburg.
5. Lakukan pemeriksaan darah tebal ulang untuk konfirmasi diagnosis.
6. Catat pada rekam-medik penderita: identitas, riwayat perjalanan penyakit, riwayat
penyakit dahulu, riwayat bepergian, riwayat transfusi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding. tindakan dan
pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan / pengobatan, dan lain-lain yang
dianggap perlu.
7. Bila pasien koma lakukan prinsip ABC (A = Airway, B = Breathing. C = Circulation)
+ D =Drug (Defibrilasi), antara lain :
Airway ( jalan nafas )
Jaga jalan nafas agar selalu bersih, tanpa hambatan, dengan cara :
- Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dan lain-lain.
- Tempat tidur datar tanpa bantal.
- Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan cara
mengatur posisi pasien ke lateral dan pemasangan Naso Gastric Tube (NGT)
untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pernafasan)
Bila takipnoe atau pernafasan asidosis : berikan oksigen dan rujuk ke ICU.
Circulation (Sirkulasi darah)
a. Periksa dan catat : nadi, tekanan darah, penilaian turgor kulit. Pasang Jugular Venous
Pressure (JVP) atau Central Venous Pressure (CVP) bila memungkinkan.
b. Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan melakukan monitoring balans cairan
dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
c. Pasang kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mendeteksi terjadinya
dehidrasi, overhidrasi dan fungsi ginjal dengan mengukur volume urin. Volume urin
normal : 1 ml/kgbb/jam. Bila volume urin < 30 ml/ jam, mungkin terjadi dehidrasi
(periksa juga tanda-tanda lain dehirasi). Bila terbukti ada dehidrasi, tambahkan intake
cairan melalui IV-line. Bila volume urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk
mencegah overload yang mengakibatkan udem paru. Monitoring paling tepat dengan
menggunakan
d. Pada pemeriksaan jantung, bila ada aritmia dan pembesaran jantung, maka hati-hati
pada pemberian kina dan cairan.
Drug / Defibrilasi
Disesuaikan dengan fasilitas dan.protokol rumah sakit.
II. Pengobatan simptomatik
1. Berikan antipiretik pada penderita demam untuk mencegah hipertermia.

Dewasa :Parasetamol 15 mg/kgbb/kali. Pemberian dapat diulang setiap 4 jam selain


itu penderita dapat dikompres.
Anak :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hiperpireksia: parasetamol 10 mg/ kgbb/kali,
diberikan setiap 4 - 6 jam, dan lakukan kompres hangat.
Bila terjadi hipertermia (suhu rektal > 40o C) ben parasetamol dosis inisial : 20 mg /
KgBB, diikuti 15 mg/ kgBB setiap 4 - 6 jam sampai panas turun < 40o C.
2. Berikan antikonvulsan pada penderita dengan kejang.
Dewasa :
Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg / menit), bila masih
kejang pemberian diazepam diulang setiap 15 menit, pemberian maksimum 100 mg /
24 jam. Sebagai alternatif dapat dipakai phenobarbital 100 mg im/kali diberikan 2 x
sehari.
Anak :
a. Diazepam intra-vena (perlahan-lahan 1. mg/menit) dosis : 0,3 0,5 mg/
kgbb/kali, atau diazepam per rektal dengan dosis: 5 mg untuk berat badan < 10 Kg
dan 10 mg untuk berat badan > 10 Kg.
b. Bila kejang belum teratasi setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan phenytoin
dengan dosis inisial 10 - 15 mg/kgbb dalam NaCI 0,9 %
(aa /seimbang) diberikan secara bolus intra vena perlahan.
c. Kemudian diikuti dosis rumat phenytoin 5 mg/kgbb (dibagi 2-3 dosis/hari)
d. Bila tidak ada pilihan lain sebagai alternatif dapat dipakai phenobarbital sebagai
berikut :
Tabel IV.11. Pemberian dosisiwal phenobarbital
Umur

Dosis awal

Umur 1 bin - 1 thn

30 mg im
50 mg im

Umur > 1 tahun

75 mg im

Umur < 1 bulan

Setelah 4 jam dari pemberian dosis awal, dilanjutkan dengan phenobarbital 8 mg/ kgbb/hari,
dibagi 2 dosis (diberikan selama 2 hari). Pemberian phenobarbital maksimum 200 mg/hari.
Selanjutnya diberikan dosis rumat : 4 mg/kgbb/hari, dibagi 2 dosis, sampai 3 hari bebas
panas.
III. Pemberian obat anti malaria
Pilihan utama : derivat artemisinin parenteral

Artesunat intravena atau intramuskular

Artemeter intramuskular

Artesunat parenteral direkomendasikan untuk digunakan di Rumah Sakit atau Puskesmas


perawatan, sedangkan artemeter intramuskular direkomendasikan untuk di lapangan atau
Puskesmas tanpa fasilitas perawatan. Obat ini tidak boteh diberikan pada ibu hamil trimester I
yang menderita malaria berat.
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan
pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan
artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc.
Artesunat diberikan dengan loading dose secara bolus : 2,4 mg/kgbb per-iv selama + 2 menit,
dan diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama. Selanjutnya artesunat diberikan 2,4
mg/kgbb per-ivsatu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat ini
juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang lama.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
artesunat + amodiakuin + primakuin (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria falciparum
tanpa komplikasi).
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan loading dose : 3,2mg/kgbb intramuskular. Selanjutnya
artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu
minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan
regimen artesunat + amodiakuin + primakuin (Lihat dosis pengobatan lini pertama malaria
falsiparum tanpa komplikasi).
Obat alternatif malaria berat
Kina dihidroklorida parenteral
Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak
tersedia derivat artemisinin parenteral, dan pada ibu hamil trimester pertama. Obat ini
dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil :
Loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCI 0,9%
diberikan selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan

dextrose 5% atau NaCI 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis maintenance 10
mg/kgbb dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCI selama 4 jam. Empat jam
selanjutnya, hanya diberikan lagi cairan dextrose 5% atau NaCI 0,9%. Setelah itu diberikan
lagi dosis maintenance seperti diatas sampai penderita dapat minum kina per-oral. Bila sudah
sadar / dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis
10 mg/kgbb/kali, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 had dihitung sejak pemberian
kina perinfus yang pertama).
Dosis anak-anak : Kina HCI 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan : 6-8
mg/kg bb) diencerkan dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 % sebanyak 5-10 cc/kgbb
diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.
Kina dihidroklorida pada kasus pra-rujukan :
Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per- infus, maka dapat diberikan kina
dihidroklorida 10 mg/kgbb intramuskular dengan masing-masing 1/2 dosis pada paha depan
kiri-kanan (jangandiberikan pada bokong). Untuk pemakaian intramuskular, kina diencerkan
dengan 5-8 cc NaCI 0,9% untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml.
Catatan :
-

Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat

menimbulkan kematian.
Pada penderita dengan gagal ginjal, loading dose tidak diberikan dan dosis maintenance

kina diturunkan 1/2 nya (Cek dibuku severe malaria, transaction of royal society).
Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan,dosis 0,75 mg/kgbb.
Dosis maksimum dewasa . 2.000 mg/hari.

IV. Penanganan Komplikasi


1. Malaria serebral
Gangguan kesadaran pada malaria serebral dapat disebabkan adanya berbagai mekanisme :
gangguan metabolisme di otak, peningkatan asam laktat, peningkatan sitokin dalam darah,
sekuestrasi dan resetting. Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral sama seperti pada malaria berat umumnya. Beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan :
a. Perawatan pasien dengan gangguan kesadaran.
b. Deteksi dini dan pengobatan komplikasi berat lainnya.
c. Waspadalah akan terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien dengan pemasangan
iv-line, intubasi endotrakeal atau kateter saluran kemih dan terhadap kemungkinan
terjadinya aspirasi pneumonia.

Perawatan pasien tidak sadar meliputi :


a. Buat grafik suhu. nadi dan pernafasan secara akurat.
b. Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering
terjadi melalui1V-Iine maka 1V-Iine sebaiknya diganti setiap 2-3 hari
c. Pasang kateter urethra dengan drainase/ kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan
memperhatikan kaidah a/antisepsis.
d. Pasang gastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegahaspirasi
pneumonia.
e. Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari dari ulkus korneayang
dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.
f. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan
rongga mulut yang rendah pada pasien yang tidak sadar.
g. Ubah/ balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan
hypostatic pneumonia.
h. Hal-hal yang perlu dimonitor :
- Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit.
- Pemeriksaan derajat kesadaran setiap 6 jam
- Hitung parasit tiap 6 jam.
- Ht dan atau Hb setiap hari, bilirubin dan kreatinin pada hari ke I & Ill.
- Gula darah setiap 6 jam.
- Pemeriksaan lain sesuai indikasi (misal : ureum, creatinin & kalium darah
pada komplikasi gagal ginjal).
Obat-obatan yang tidak boleh dipakai pada malaria berat, yaitu : - Kortikosteroid
-

Obat anti infiamasi lainnya


Anti edema serebral (urea, manitol, invert sugar)
Dextran berat molekul rendah
Epinephrine (adrenalin)
Heparin
Prostacyclin
Oxypentifylline (Trental )
Oksigen hiperbarik
Cyclosponn A
Serum hiperimun
Iron chelating agent (desferrioxamine B)
Dichloroacetate
Anti-tumor necrosis factor antibodies

2. Anemia Berat
Anemia berat adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin < 5 g/dL atau hematokrit < 15
% dengan parasit >100.000 /ul. Anemia berat sering menyebabkan distress pernafasan yang

dapat mengakibatkan kematian. Oleh karena itu pemberian transfusi darah harus segera
dilakukan.
Tindakan
Anak-anak
a. Rencanakan transfusi darah segera, lebih baik dengan PRC
b. Hitunglah jumlah kebutuhan PRC untuk menaikkan Hb yang dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
Kebutuhan total = Hb x BB x 4 cc
Keterangan :
A Hb = selisih antara Hb yang diinginkan setelah transfusi dengan Hb sebelum transfusi.
Misalnya
Hb anak 4 g% dengan b erat badan = 10 kg. Hb yang diinginkan setelah transfusi 12g%.
Total PRC transfusi adalah : 8 x 10 x 4 cc = 320 cc.
Bila PRC tidak tersedia dapat diberikan whole blood dengan perhitungan sbb :
Kebutuhan total = A Hb x BB x 4 cc
Untuk mencegah terjadinya kelebihan beban jantung dapat diberikan furosemid 1 mg/kgBB
sebelum transfusi. Bila pemberian furosemid tidak memungkinkan, pemberian transfusi
dilakukan secara bertahap.
Dewasa :
a. Berikan transfusi darah paling baik darah segar atau PRC 10-20 ml/kgbb' Setiap 4
ml/kgbb akan menaikkan Hb 1 g %.
b. Pasien dengan gagal ginjal hanya diberikan PRC
c. Untuk mencegah overload, dapat diberikan furosemide 20 mg iv. Volume transfusi
dimasukkan sebagai, input dalam catatan keseimbangan cairan.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah sewaktu <40 mg%. Sering
terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia < 3 tahun, ibu hamil. dan penderita
malaria berat lainnya dengan terapi kina. Kina dapat menyebabkan hiperinsulinemia sehingga
terjadi hipoglikemi. Penyebab lain hipoglikemia diduga karena terjadi peningkatan uptake
glukosa oleh parasit malaria
Tindakan
a. Berikan bolus glukosa 40% intra vena sebanyak 50 -100 ml (anak-anak : 2 - 4 ml/kg
bb dengan pengenceran 1:1 dengan akuadest, untuk neonatus maksimum konsentrasi
glukosa 12,5%)

b. Dilanjutkan infus glukosa 10% perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia


berulang.
c. Pemantauan teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Bila sarana perneriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya di berikan
berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia seperti perfusi buruk, keringat dingin.
hipotermi, dan letargi.
4. Kolaps sirkulasi, syok hipovolemia, hipotensi, 'Algid malaria' dan septikemia.
Keadaan ini terjadi pada penderita malaria yang disertai :
a.
b.
c.
d.
e.

Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)


Diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif saluran pencernaan
Ruptur limpa
Komplikasi septikemia gram negatif
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory
distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaring an.

Gejala dan tanda klinis :


a. Kulit dingin, suhu 38-40oC, mata cekung, sianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat,
nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/ muntah, diare berat.
b. Hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa (dan tekanan nadi
20 mm Hg pada anak-anak), konstriksi vena perifer. (Catatan : tekanan nadi pada
anak adalah selisih antara tekanan sistolik dengan tekanan diastolik).
Tindakan pada orang dewasa :
a. Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan yang tepat (NaC,L 0,9 %, cairan
Ringer, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau
bila tidak tersedia dengan dextran 70) 500 ml dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama. Bila
tidak ada perbaikan tekanan darah dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetesan
diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
b. Bila memungkinkan: tekanan vena dimonitor dengan CVP (tekanan dipelihara antara
0 s/d +5 cm)
c. Bila terjadi hipotensi menetap, diberikan dopamin dengan dosis inisial 2
ug/kgbb/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. dosis dinaikkan secara hati-hati
sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
d. Kadar gula darah diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia.

e. Biakan darah dan uji sensitifitas dilakukan dan segera diberikan antibiotik broad
spectrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi
dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan balk (periksa juga ureum
& kreatinin darah)
f. Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balans cairan
secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
5. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal dengan cepat dan mendadak yang
ditandai antara lain: adanya peningkatan ureum dan kreatinin darah, penurunan produksi
urin sampai anuria. Gagal ginjal akut terjadi apabila volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20
ml/jam pada dewasa atau < 1 ml/kgbb/jam pada anak-anak setelah diobservasi / diukur
selama 4-6 jam. GGA terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan berkurangnya allran darah ke ginjal sehingga terjadi iskemik dengan terganggunya mikrosirkulasi ginjal
yang menurunkan filtrasi glomerulus. Penyebab GGA pada malaria : gagal ginjal pre-renal
akibat dehidrasi adalah yang tersering (> 50%), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubular
nekrosis akut terjadi pada 5-10% penderita. GGAsering terdeteksi terlambat setelah pasien
sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan
(overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya
keseimbangan cairan (balans cairan) secara akurat.
Tindakan :
a. Pada semua penderita malaria berat, sebaiknya kadar ureum dan kreatinin diperiksa 2
- 3 kali per minggu.
b. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin tidak memungkinkan, produksi urin dapat
dipakai sebagai acuan.
c. Bila terjadi oliguria
- Dewasa produksi urin < 400 ml/24 jam
- Anak-anak <1 ml/kgbb/jam
- Neonatus <0.5 ml/kgbb/jam observasi 8 jam
d. yang disertai tanda klinik dehidrasi. maka diberikan cairan dengan penga wasan ketat
untuk mencegah overload.
e. Observasi tanda-tanda vital, balans cairan, pemeriksaan auskultasi part,. jugular
venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia.
f. Bila terjadi anuria (produksi urin <100 m1/24 jam pada dewasa), diberikan furosemid
inisial 40 mg IV, dan urin output diobservasi. Bila tidak ada respon. dosis furosemid
ditingkatkan secara progresif dengan interval 30 menit, sampai mencapai dosis
maksimum 200 mg. Bila terjadi anuria pada anak yaitu ditandai dengan tidak ada

produksi urine dalam 8 jam, makadiberikan furosemid 1 mg/kgbb/kali. Bila tidak ada
repons setelah 8 jam, pemberian dapat diulang dengan dosis 2 mg/kgbb sampai
maksimum 2 kali.
Periksa kadar Ureum dan Kreatinin untuk mengetahui kemungkinan terjadinya Gagal Ginjal
Akut (GGA).
f. GGA biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat, rujuk penderita ke
RS tingkat Provinsi atau RS lain dengan fasilitas dialisis.
g. GGA yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung) sangat berbahaya bila
tidak ditanggulangi secara cepat. Tanda-tanda overload mulai dan yang ringan sampai berat
adalah :
-

Batuk-batuk
Tekanan darah meningkat, Nadi cepat,
Pada auskultasi paru ada ronki basah di bagian basal kedua paru,
Pada auskultasi jantung dapat terdengar bunyi jantung tambahan (bunyike 3).
JVP meningkat,
Pasien terlihat sesak nafas ringan sampai berat.

h. Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberiao cairan.


i. Direncanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis, atau rujuk ke RS yang
mempunyai fasilitas dialisis.
j. Periksa kadar elektrolit darah dan EKG, untuk mengetahui terjadinya hiperkalemia, asidosis
metabolik serta gangguan keseimbangan asambasa.
Catatan
lndikasi dialisis :
1). Klinik
-

Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis

2) Laboratorium
-

Hiperkalemia (K>5,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga diketahui melalui pemeriksaan

EKG)
Peningkatan kadar ureum dengan uremic syndrome.

6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (koagulopati)


Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan pada kasus malaria di daerah endemis pada
negara tropis. Keadaan ini sering terjadi pada penderita non-imun. Biasanya disebabkan
trombositopenia berat dengan manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura,

hematom atau perdarahan hidung, gusi dan saluran pencernaan. Gangguan koagulasi intra
vaskular dapat terjadi.
Tindakan :
-

Bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang, diberikan suntikan

vitamin K dengan dosis 10 mg intravena.


Bila ditemukan tanda-tanda Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), ganti faktor
pembekuan yang berkurang, antara lain dengan penambahan faktor pembekuan,
plasma segar beku (FFP), transfusi suspensi trombosit dan pemberian Packed Red

Cell (PRC).
Bila Hb < 5 gr% berikan transfusi darah.

6.1. Ikterus
Manifestasi ikterus (kadar bilirubin darah >3 mg %) sering dijumpai pada dewasa, sedangkan
bila ditemukan pada anak prognosisnya buruk. Tidak ada tindakan khusus untuk ikterUs. Bila
disertai hemolisis berat dan Hb sangat rendah maka cliberikan transfusi darah. Biasanya
kadar bilirubin kembali normal dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan anti malaria.
6.2. Asidosis metabolik
Asidosis pada penderita malaria berat disebabkan berbagai faktor :
-

obstruksi mikrosirkulasi
disfungsi renal
peningkatan glikolisis
anemia
dan lain-lain.

Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain
seperti : anemia berat, GGA, hipovolemia, udema paru dan hiperparasitemia.
Asidosis metabolic ditandai dengan pernafasan cepat dan dalarn, penurunan pH dan
bikarbonat darah. Diagnosis dan manajemen yang terlarnbat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan
-

Berikan oksigen bila sesak nafas.


Periksa Analisa gas darah dan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat.
Koreksi pH arterial harus dilakukan secara perlahan-lahan. Natrium Bikarbonat
diberikan sebanyak: 0,3 X BB X BE (base excess) meq. Apabila tidak ada analisa gas

darah dapat diberikan dengan dosis 1 2 meq/kgbb/kali.


Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk ke RS
tingkat Provinsi.

7. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)


Hemoglobinuria disebabkan hemolisis masif intravaskuler pada infeksi be-rat, keadaan ini
tidak berhubungan dengan disfungsi renal. Blackwater feverDapat juga terjadi pada penderita
defisiensi G6PD yang diberikan primakuin atau obat oksidan lainnya. Blackwater fever
bersifat sementara, tetapi dapat menjadi gagal ginjal akut pada kasus-kasus berat.
Tindakan
-

Berikan cairan rehidrasi


Monitor CVP.
Bila Hb < 5 g% atau Ht < 15 %, Berikan transfusi darah
Periksa kadar G6PD
Bila ditemukan defisiensi G6PD, hentikan pemberian primakuin, Kina, SP.
Dianjurkan pemberian anti malaria golongan artemisinin.
Bila berkembang menjadi GGA, rujuk ke Rumah Sakit dengan fasilitashemodialisis.

8. Hiperparasitemia.
Umumnya ditemukan pada penderita non-imun, dengan densitas parasit > 5 % dan adanya
skizon. Risiko terjadinya multiple orOn failure meningkat pada penderita hiperparasitemia.
Di daerah endemik tinggi anak-anak yang imun (densitas 20-30%) dapat mentoleransi
keadaan tersebut sehingga tanpa gejala.
Tindakan :
a.
b.
c.
-

Segera berikan anti malaria.


Evaluasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang sediaan darah.
Indikasi transfusi tukar exchange blood transfusion (EBT) adalah :
Parasiternia > 30 % tanpa komplikasi berat
Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : malariaserebral, GGA,

ARDS, ikterus dan anemia berat.


Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jampemberian kemoterapi

anti malaria yang optimal.


Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk ( misai : lanjut usia,adanya skizon pada

darah perifer)
- Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk.
9. Edema paru
Edema paru pada malaria berat sering timbul pada fase lanjut dibandingkan
dengan komplikani !ainnya.
Edema paru terjadi akibat :
a. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
Tanda-tanda ARDS :

Timbul akut
Ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru
Rasio Pa02 : F102 < 200
Tidak dijumpai tanda gagal jantung kin.

Manifestasi klinis ARDS


-

Takipnoe (nafas cepat) pada lase awal


Pernafasan dalam
Sputum : ada darah dan berbusa.
Foto Thoraks : ada bayangan pada kedua sisi paru.
Hipoksaemia.

b.Over hidrasi akibat pemberian cairan.


Dijumpai tanda gagal jantung kiri, biasanya akibat adanya gagal ginjal akut yang disertai
pemberian cairan yang berlebihan.
ARDS dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler di paru. ARDS dan overload.
dapat terjadi bersamaan atau sendiri-sendiri, perbedaannya dapat dilihat pada tabel 1V.12.
"Perbedaan ARDS dengan fluid overload /kelebihan cairan
ARDS

FLUID OVERLOAD

Balans cairan

Normal

Input > Output .

CVP

Normal

Meninggi

Tekanan A Pulmonal

Normal

Meninggi

JVP

Normal

Meninggi

Tindakan :
Bila ada tanda edema paru akut, penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dapat dilakukan
tindakan sesuai penyebabnya :
a. ARDS
- Pemberian oksigen
- PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia
b. Over hidrasi :
-

Pembatasan pemberian cairan


Pemberian furosemid 40 mg i:v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis
ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-

tanda vital. Dosis anak : furosemid 1 mg/kgbb/kali, diulang 1 jam kemudian bila
-

belum respon.
Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
Untuk kondisi mendesak atau pasien dalam keadaan kritis dimana pernafasan sangat
sesak, dan tidak mungkin dirujuk.

Tindakan yang dapat dilakukan adalah :


-

Atur posisi pasien duduk


Lakukan venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi sebanyak

250-500 ml.
Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh
pasien.

10. Distress pernafasan


Komplikasi ini sering terjadi pada anak-anak. Penyebab terbanyak adalah asidosis metabolik.
Asidosis biasa berhubungan dengan malaria serebral. Bagan dibawah memperlihatkan
keterkaitan beberapa komplikasi yang mempunyai kontribusi pada terjadinya distress
pernafasan, bagan ini masih dapat ditambahkan dengan beberapa komplikasi lain serta
hubungan sebab akibatnya.
Tindakan
Penatalaksanaan distres pernafasan sebaiknya bertujuan mengoreksi penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA
1

Harijanto, Pn. MALARIA: dari molekuler ke Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC. 2008.h.1-8


Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Gebrak Malaria. Jakarta : , 2010.
Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI,

2006.h.1754-66
Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi ke-4. Jakarta : FKUI,

2006.h.1754-66
Centers
for

Disease

Control

and

Prevention.

Malaria.

Available

at http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/MR/Malaria/body_Malaria_page1.htm#
5

LifeCycle Accessed Nov 15, 2012


Centers
for
Disease
Control

and

Prevention.

Malaria.

Available

at http://www.cdc.gov/malaria/resources/pdf/clinicalguidance.pdf. Accessed Nov 15,


6

2012.
Emilio

P.

2012

'Malaria

[Online].

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/221134-clinical#showall Accessed: Nov 22, 2012

You might also like