You are on page 1of 14

Asma Bronkial Persisten Ringan

Alvin Wijaya Rustam


102011239
alvinwijayaa@yahoo.com
FAKULTAS KEDOKTERAN KRISTEN KRIDA WACANA
Kampus II Ukrida Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

Pendahuluan
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang
meningkat dari trakhea dan bronki terhadap berbagai macam rangsangan yang manifestasinya
berupa kesukaran bernapas, karena penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas.
Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitannya dapat berubah-ubah, baik secara
spontan maupun karena pemberian obat-obatan. Kelainan dasarnya, tampaknya suatu perubahan
status imunologis si penderita.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian pembicaraan dengan pasien(autoanamnesis) atau pembicaraan dengan
orang yang bersama dengan pasien(aloanamnesis), bisa saja keluarga pasien, atau teman dekat
pasien. Tujuan daripada anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang
berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Anamnesis memiliki
prinsip, prinsip utama dalam anamnesis adalah membiarkan pasien mengutarakan riwayat
penyakitnya dalam kata-katanya sendiri. Struktur thoraks dapat diserang oleh berbagai macam
penyakit. Namun demikian, yang mengherankan adalah bahwa kelainan-kelainan thoraks hanya

menimbulkan sedikit gejala dan tanda. Tujuh gejala umum penyakit thoraks adalah batuk,
produksi sputum, hemoptisis, nyeri, dispnea, wheezing, dan stridor.1,2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang biasanya terdiri
dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Inspeksi adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan. Palpasi adalah pemeriksaan
yang dilakukan melalui perabaan terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami kelainan.
Auskultasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan melalui pendengaran. Perkusi adalah
pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mengetuk dengan tangan atau dengan alat bantu.
Inspeksi. Pada inspeksi terhadap thoraks pasien yang perlu diperhatikan pertama-tama
adalah diameter dari thorak pasien, diameter yang diukur adalah diameter anteroposterior dan
diameter lateral dan diperhatikan kesimetrisannya. Perhatikan sela-sela iga, bandingkan sisi satu
dengan sisi lainnya, ruang supraklavikula dan tulang-tulang yang membentuk rongga dada.
Ketika pasien pertama kali datang untuk konsultasipun dapat didengarkan suara pasien, apakah
pasien berbicara seakan-akan susah bernafas atau tidak, apakah terjadi paralisis pada pita suara
sehingga pasien mengeluarkan suara yang kecil seperti mendesah.
Palpasi. Pada palpasi dapat diraba bentuk pada thorak pasien, apakah terdapat adanya
bentuk yang asimetris dan rabalah apakah terdapat kontur. Pada pemeriksaan ini juga dapat
menentukan daerah-daerah yang dapat di auskultasi.
Perkusi. Tujuan perkusi pada pemeriksaan thoraks pasien adalah untuk memeriksa
apakah ada bagian-bagian yang seharusnya ketika dilakukan pemeriksaan perkusi berbunyi sonor
berubah menjadi bunyi pekak. Pada bagian posterior tiap paru mempunyai daerah resonansi di
bahu, yang menggambarkan apeks paru yang pada bahu lebarnya haruslah sama pada kedua
paru, penyempitan unilateral atau bilateral mungkin menunjukkan fibrosis atau konsolidasi di
daerah apeks seperti pada tuberkulosis dan tumor apeks.
Auskultasi. Pada dinding dada dapat terdengar suara yang berasal dari berbagai macam
sumber. Gerakan udara yang melalui bronkus dan alveolus menimbulkan getaran suara.
Terdapatnya keanehan pada paru mengubah suara-suara yang timbul secara alamiah atau
penghantaran suara-suara yang diucapkan. Terdapatnya suara paru ronki basah dapat menentukan
bahwa terdapatnya cairan pada alveolus, bisa terjadi karena terdapatnya payah jantung kiri
ringan, atelektasis, atau mungkn stadium dini pada pneumonia.1,2
Pemeriksaan Penunjang
2

Pemeriksaan penunjang untuk asma adalah rontgen thoraks untuk melihat apakah
terdapat kolaps regional, pneumonia, atau pneumotoraks.dan tes fungsi paru FEV 1 dan respons
terhadap bronkodilatator. Pada penderita asma gambaran khas dari pemeriksaan FEV 1 adalah jika
terdapatnya penurunan FEV1 pada pagi hari. Tes hipersensitivitas kulit yang dilakukan dengan
menusukkan alergen spesifik ke dalam kulit bisa membantu pasien mengenali dan menghidarkan
pemicu di lingkungan. Reaktivitas bronkus mungkin lebih tepat namun hanya harus diperiksa
dalam keadaan terkendali. Adrenalin 1:1000 sebanyak 0,5ml harus tersedia kalau-kalau
terjadinya reaksi anafilaktik akut.3

Anatomi Makro
Paru terdiri dari paru kanan dan paru kiri. Ciri paru adalah berupa spons, mengapung
dalam air, sangat elastik dan berkrepitasi bila diraba, yang dikarenakan adanya udara didalam
alveoli. Paru pada janin dan bayi lahir mati yang belum bernapas berbeda dari paru bayi baru
lahir, yakni padat, tidak berkrepitasi dan tidak terapung dalam air. Pada orang dewasa paru akan
berwarna lebih abu dan berlanjut menjadi bercak hitam seiring dengan berjalannya waktu yang
dikarenakan oleh kandungan karbon yang dihirup tersimpan pada jaringan penyambung dekat
permukaan paru.
Bentuk paru menyerupai separuh kerucut, normal paru kanan sedikit lebih besar daripada
paru kiri, karena mediastinum medius yang berisi jantung, menonjol lebih ke arah kiri daripada
ke arah kanan. Paru memiliki puncak(apex), basis, tiga tepi dan dua permukaan. Bagian apex
berkontak dengan pleura cervicalis (cupula pleurae). Karena apertura thoracis superior memiliki
arah serong, apex berada 3-4cm di sebelah kranial ketinggian tulang rawan iga 1, tetapi di
sebelah dorsal berada setinggi collum costaenya.
Basis Paru berbentuk semilunar dan konkaf, terbaring pada permukaan superior
diaphragma, yang memisahkan paru kanan dari lobus dexter hepatis (bagian kanan hati) dan paru
kiri dari lobus sinister hepatis(bagian kiri hati), fundus ventriculi/lambung dan limpa. Karena
diaphragma membentang lebih tinggi di sisi kanan daripada di sisi kiri, kecekungan basis paru
kanan menjadi lebih dalam. Di sebelah posterolateral, basis memiliki tepi yang tajam, yang
diadaptasikan bagi recessus costodiaphragmaticus.

Paru kiri dibagi menjadi lobus-lobus superior dan inferior oleh fissura oblique. Dimulai
pada bagian posterosuperior hilus, fissura ini naik serong ke belakang, melintasi tepi posterior
paru kira-kira 6cm di bawah apex. Kemudian turun ke muka, menyeberangi permukaan costal,
mencapai tepi bawah hampir pada ujung anteriornya. Akhirnya, naik pada permukaan medial
menuju bagian bawah hilus. Lobus superiornya berada di sebelah anterosuperior terhadap fissura
ini. Dekat ujung bawah tepi anterior lobus superior ini terdapat incisura cardiaca, karena dari
arah mediastinum medius jantung berproyeksi ke dalam cavum pleurae kiri. Pada bagian ujung
bawah incisura cardiaca lobus superior ini memiliki sebuah taju kecil, yakni lingula. Lobus
inferior yang lebih besar berada postero-inferior terhadap fissura oblique tersebut.
Paru kanan terbagi menjadi lobus superior, medius, dan inferior oleh dua fissura. Fissura
oblique memisahkan lobus inferior dari lobus medius dan lobus superior. Fissura oblique tersebut
menyerupai fissura oblique pada paru kiri, tetapi agak vertikal. Pada tepi posterior, fissura ini
mulai setinggi vertebra thoracalis 4 atau sedikit lebih rendah. Fissura horizontal yang pendek
memisahkan lobus superior dan lobus medius. Terkadang bagian medial lobus superior terbagi
sebagian oleh fissura yang bervariasi kedalamannya, yang berisi bagian terminal vena azygos
membentuk lobus vena azygos.
Setinggi discus intervertebrale T 4/5 trakhea bercabang menjadi bronchus primer
(principalis dexter dan sinister).
Bronchus principalis dexter lebih lebar, lebih pendek dan lebih vertikal daripada yang kiri,
panjangnya sekitar 2.5cm dengan diameter lebih besar dan arahnya yang lebih vertikal. Bronchus
lobus superior dexter (eparterialis) berpangkal dari aspek lateral bronchus principalis dan
melintas ke arah superolateral untuk memasuki hilus. Bronchus lobus medius dexter
dipercabangkan sekitar 2cm disebelah kaudal pangkal bronchus lobus superior, turun ke arah
anterolateral dan mempercabangkan dua bronchus segmentorum. Bronchus lobus inferior dexter
merupakan lanjutan bronchus prinsipalis disebelah caudal pangkal bronchus lobus medius.
Sedikit lebih caudal terhadap pangkalnya, bronchus lobus inferior mempercabangkan lima
bronchus segmentorum.
Bronchus prinsipalis sinister lebih sempit dan kurang vertikal dari yang kanan dan
panjangnya hampur 5cm. Bronchus ini melintasi ke arah inferior kiri menuju arcus aortae
4

menyilang oesophagus, ductus thoracicus dan aorta descendens di sebelah anterior. Bronchus
sekunder lobus superior kiri berasal dari aspek anterolateral bronchus prinsipalis sinister,
melengkung ke lateral dan bercabang menjadi empat bronchus segmentorium. Bronchus
sekunder lobus inferior sinister turun posterolateral sejauh 1cm dan selanjutnya memberikan
empat cabang bronchus segmentorium.
Paru kanan lobus superior bercabang menjadi segmen apicalis, posterior dan anterior.
Pada lobus medius bercabang menjadi segmen lateralis, medialis. Pada lobus inferior bercabang
menjadi segmen apicalis, mediobasalis, anterobasalis, laterobasalis, dan posterobasalis. Paru kiri
lobus superior bercabang menjadi apicoposterior, anterior, lingula superior, dan lingula inferior.
Paru kiri lobus inferior bercabang menjadi segmen apicalis, anteromediobasalis, laterobasalis,
dan posterobasalis. Masing-masing segmen dikelilingi oleh jaringan penyambung yang
berkesinambungan dengan pleura visceralis.4

Mekanisme Pernapasan
Bernafas (inspirasi/ekspirasi) menyebabkan paru mengembang dan mengempis, yang
terjadi dengan gerakan naik turunnya diafragma untuk memperbesar dan memperkecil rongga
dada, dan dengan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
anteroposterior rongga dada. Pernapasan tenang dapat dicapai dengan hampur sempurna melalui
gerakan diafragma, inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma yang menarik permukaan paru
kebawah, kemudian pada saat ekspirasi, diafragma relaksasi sehingga sifat elastisitas paru,
dinding dada, dan struktur abdomen akan menekan paru dan mengeluarkan udara.
Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat rangka iga.
Pengembangan paru ini terjadi ketika pada posisi istirahat, iga miring kebawah dengan demikian
sternum turun ke belakang (ke arah columna vertebrae). Tetapi bila rangka iga dielevasikan,
tulang iga langsung maju sehingga sternum bergerak ke depan menjauhi spinal, membentuk jarak
anteroposterior dada kira-kira 20% lebih besar selama inspirasi maksimum daripada selama
ekspirasi. Oleh karna itu otot yang berperan dalam mengelevasikan rangka dada disebut juga
sebagai otot inspirasi, sedangkan otot yang berperan dalam menurunkan rangka dada
diklasifikasikan sebagai otot ekspirasi. Otot yang berperan pada saat inspirasi adalah
sternocleidomastoideus (mengangkat sternum ke atas), serratus anterior (mengangkat sebagian
5

besar iga), dan skalenus (mengangkat dua iga pertama). Sedangkan otot yang berperan pada saat
ekspirasi adalah rektus abdominis, dan interkostalis internus.
Udara dapat masuk ke paru dikarenakan perubahan tekanan udara luar dengan tekanan
udara dalam paru. Terdapat tiga tekanan yang berperan penting dalam ventilasi yaitu, tekanan
atmosfer, tekanan intra-alveolus, dan tekanan intrapleura.
Tekanan atmosfer adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer pada
benda dipermukaan bumi, yang pada ketinggian permukaan laut tekanan ini sama dengan 760
mmHg. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian diatas permukaan
laut dan bertambah dengan penurunan ketinggian dibawah permukaan laut.
Tekanan intra-alveolus atau yang disebut juga dengan tekanan intraparu adalah tekanan
didalam alveolus. Karena alveolus berhubungan juga dengan atmosfer melalui saluran napas
penghantar, udara cepat mengalir menuruni gradiem tekanannya setiap tekanan intra-alveolus
berbeda dari tekanan atmosfer, udara terus mengalir sampai kedua tekanan seimbang.
Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal
sebagai tekanan intrathoraks, yang adalah tekanan yang ditimbulkan diluar paru di dalam rongga
thoraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah daripada tekanan atmosfer, rata-rata sekitar
756 mmHg saat istirahat. Tekanan intrapleura tidak menyeimbangkan diri dengan tekanan
atmosfer atau intra-alveolus karena tidak ada komunikasi langsung antara rongga pleura dan
atmosfer atau paru. Karena kantung pleura adalah suatu kantung tertutup tanpa lubang, maka
udara tidak dapat masuk atau keluar meskipun mungkin terdapat gradien tekanan antara kantung
pleura dan daerah tersebut.5

Differential Diagnosis
Differential Diagnosis pada kasus ini adalah Bronkitis Kronik.
Bronkitis Kronik
Berdasarkan waktu berlangsungnya penyakit, Bronkitis akut berlangsung kurang dari 6
mingu dengan rata-rata 10-14 hari, sedangkan Bronkitis kronis berlangsung lebih dari 6 minggu.
Secara umum keluhan pada Bronkitis kronis dan Bronkitis akut hampir sama. Hanya saja
keluhan pada Bronkitis kronis cenderung lebih berat dan lebih lama. Hal ini dikarenakan pada
6

Bronkitis kronis terjadi penebalan (hipertrofi) otot-otot polos dan kelenjar serta berbagai
perubahan pada saluran pernapasan.
Secara klinis, Bronkitis kronis merupakan penyakit saluran pernapasan yang ditandai
dengan batuk berdahak sedikitnya 3 bulan dalam setahun selama 2 tahun berturut-turut.
Faktor-fakor penyebab tersering pada Bronkitis kronis adalah: asap rokok (tembakau),
debu dan asap industri, polusi udara. Disebutkan pula bahwa Bronkitis kronis dapat dipicu oleh
paparan berbagai macam polusi industri dan tambang, diantaranya: batubara, fiber, gas, asap las,
semen, dan lain-lain.
Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis kronis adalah sebagai berikut:
1. Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak makin
banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut (eksaserbasi). Kadang
dapat dijumpai batuk darah.
2. Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktifitas.
3. Terkadang terdengar suara mengi (ngik-ngik).
Pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-krok terutama saat
inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak di saluran napas.
Secara klinis, Bronkitis kronis terbagi menjadi 3 jenis, yakni:
1. Bronkitis kronis ringan (simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak dan
keluhan lain yang ringan.
2. Bronkitis kronis mukopurulen (chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan batuk
berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
3. Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas (chronic bronchitis with obstruction),
ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat dan suara mengi.
Untuk membedakan ketiganya didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis oleh
dokter disertai pemeriksaan penunjang (jika diperlukan), yakni radiologi (rontgen), faal paru,
EKG, analisa gas darah.6,7
Working Diagnosis
Working diagnosis pada kasus ini adalah asma bronkiale. Asma adalah gangguan
peradangan kronik dari saluran pernafasan. Tidak ada patognomonik dari histopatologi tetapi
biasanya ditemukan infiltrasi sel radang dengan eosinofil, neutrofil, dan limfosit, hiperplasia sel
7

goblet, terkadang terdapat mukus tebal yang terdapat pada saluran nafas yang kecil, pengendapan
kolagen, dibawah membran basalis, hipertrofi dari otot halus bronkial, edema saluran nafas,
aktivasi sel mast, dan dedunasi epitel saluran nafas. Peradangan saluran nafas mendasari
kronisitas dari penyakit ini dan berkontribusi pada hiper-responsifitas dari saluran nafas, limitasi
jalan udara, dan gejala respirasi, termasuk dari episode berulang dari wheezing, sesak nafas, dada
terasa tertekan, dan batuk, yang biasanya terjadi pada malam hari atau dini hari. Gejala-gejala ini
biasanya terjadi karena bronkokonstriksi yang luas tetapi bervariasi dan pembatasan aliran udara
yang paling tidak sebagian bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Diduga bahwa peradangan menyebabkan peningkatan responsifitas saluran nafas terhadap
berbagai serangan.6
Etiologi
Etiologi pada asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Pada sebagian besar penderita
asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh pemajanan
alergen. Pada pasien ini ditemukan juga pada keluarganya terdapat juga riwayat alergi. Faktor
genetik yang diturunkan adalah kecenderungan memproduksi antibodi jenis IgE yang
berlebihan.8

Epidemiologi
Asma mengenai sekitar 5% populasi dunia. Angka kejadiannya lebih tinggi pada anak
laki-laki dibawah 14 tahun dan pada wanita dewasa. Faktor predisposisi berupa genetik. Di
amerika prevalensi penderita yang dirawat dan asma yang berat meningkat 20 tahun terakhir ini.
Kematian yang disebabkan asma paling bayak pada orang kulit hitam berkisar usia 15-24 tahun.9
Patogenesis
Faktor etiologi utama pada asma adalah predisposisi genetik yang membentuk
hipersensitivitas tipe I (atopi), peradangan saluran nafas akut dan kronik, dan hiper-responsivitas
bronkus. Peradangan melibatkan banyak tipe sel dan berbagai mediator peradangan, tetapi
hubungan pasti antara berbagai sel radang spesifik dan mediator dengan hiper-reaktifitas saluran
nafas belum sepenuhnya dipahami. Sel T helper tipe 2(salah satu jenis sel T helper CD4+),
merupakan komponen utama peradangan bronkus. Sel T helper 2 mensekresi interleukin yang
menyebabkan terjadinya proses inflamasi alergi dan menstimulasi sel B untuk menghasilkan IgE
dan antibodi lainnya. Sebaliknya, sel T helper tipe 1(salah satu jenis lain dari T helper CD4+)
8

menghasilkan interferon gamma, dan interleukin-2 yang bertujuan untuk membasmi virus dan
organism intrasel lainnya dengan mengaktifkan makrofag dan sel T sitotoksik. Kedua
subkelompok sel T helper ini muncul sebagai respon terhadap rangsangan imunogenik dan
sitokin yang berbeda, dan keduanya membentuk suatu lengkung imunoregulatorik sitokin dari sel
T helper 1 menghambat sel T helper 2, dan dengan demikian sebaliknya. Ketidakseimbangan
dalam hubungan timbal balik ini mungkin merupakan kunci untuk terjadinya asma. Tampaknya
pada pasien asma alergik, diferensiasi sel T menyimpang kea rah T helper 2. Dasar dari
penyimpangan ini belum jelas, studi-studi terakhir mengisyaratkan diperlukannya faktor
transkripsi T-bet untuk berdiferensiasi menjadi T helper 1, dan studi imunohistokimiawi pada
jaringan paru pengidap asma memperlihatkan ketiadaan T-bet dalam limfosit paru.
Selain respon peradangan yang diperantarai oleh sel T helper tipe 2, asma ditandai oleh
perubahan struktural dinding bronkus yang disebut remodeling saluran nafas. Perubahan ini
mencakup hipertrofi otot polos bronkus dan pengendapan kolagen subepitel. Selama ini,
perubahan ini dianggap disebabkan oleh peradangan kronik yang timbul belakangan pada
penyakit. Akan tetapi, pandangan ini dipertanyakan karena pada beberapa penelitian ditemukan
bahwa remodeling saluran pernafasan ini dapat ditemukan bahkan beberapa tahun sebelum
awitan gejala. Oleh karena itu, menurut sebagian besar kalangan, dalam patogenesis asma
terdapat suatu kofaktor penting yaitu kelainan genetis lingkungan mikro di dinding bronkus.
Pandangan ini diperkuat dengan keterkaitan dari gen ADAM-33 dengan asma. ADAM-33
termasuk dalam subfamily metalloproteinase yang berkaitan dengan metalloproteinase matriks
(MMPs) seperti kolagenase. Fungsi dari ADAM-33 ini masih belum jelas, tetapi diketahui bahwa
enzim ini diekspresikan oleh fibroblast paru dan sel otot polos bronkus. Diduga bahwa
polimorfisme ADAM-33 mempercepat proliferasi sel otot polos bronkus dan fibroblas yang
berperan dalam hiper-reaktivitas bronkus dan fibrosis subepitel. Sel mast juga dicurigai berperan
dalam remodeling saluran nafas ini. Biopsi dari bronkus pasien asma memperlihatkan infiltrasi
dari sel otot polos oleh sel mast. Jika sel mast dirangsang oleh IgE atau rangsangan lain, sel ini
tidak hanya mengeluarkan mediator vasoaktif dan sitokin, tetapi juga faktor pertumbuhan seperti
PDGF dan protease yang memicu proliferasi otot polos. Secara timbal balik, sel otot polos yang
telah aktif akan mengeluarkan faktor sel tunas yang merupakan faktor chemoattractant dan
faktor pertumbuhan bagi sel mast.6
Gejala Klinis
9

Asma memiliki karakteristik yaitu episodik wheezing, sesak nafas, dada terasa tertekan,
dan batuk. Umumnya produksi sputum berlebih. Frekuensi gejala asma masing-masing penderita
berbeda. Ada yang jarang, serangan singkat. Sementara juga ada yang menderita gejala yang
berkepanjangan dan hampir tidak putus dari serangan. Gejala asma memburuk pada malam hari,
variasi sirkadian dari reaktivitas bronkomotor dan bronkial puncaknya antara jam 3 dan 4 dini
hari, meningkatkan terjadinya bronkokonstriksi.
Dari pemeriksaan fisik, dapat meningkat kemungkinan seorang menderita asma bila
ditemui tanda-tanda berupa pembengkakan mukosa nasalis, peningkatan sekresi nasal, dan nasal
polip sering ditemukan pada penderita asma alergik. Eksema, dermatitis atopik, atau manifestasi
lain dari kelainan kulit akibat alergi mungkin juga dapat terjadi. Bila ada obstruksi saluran nafas,
terdapat wheezing saat bernafas normal atau waktu ekspirasi keras yang lebih lama. Wheezing
tidak ditemukan saat ekspirasi keras. Pemeriksaan thoraks mungkin normal diantara eksaserbasi
pada pasien dengan asma ringan. Pada eksaserbasi asma berat, aliran udara mungkin sangat
terbatas untuk memproduksi wheezing, dan petunjuk diagnosis yang hanya didapat pada
aukultasi mungkin pengurangan suara napas secara global dengan fase ekspirasi yang
memanjang. Bahu bungkuk dan penggunaan otot aksesoris pernafasan menunjukkan peningkatan
usaha untuk bernafas.2
Klasifikasi Asma
Asma memiliki 2 penggolongan besar yaitu, asma bronkial yang berkaitan dengan
penderita yang mempunyai riwayat pribadi atau keluarga dengan kelainan atopik dan asma
bronkial pada penderita yang tidak ada kaitannya dengan diatesis atopik. Asma yang berkaitan
dengan atopi digolongkan sebagai asma ekstrinsik atau asma alergik, sedangkan yang tidak
berkaitan dengan atopi digolongkan sebagai asma intrinsik.8
Drug Induced Asthma
Catatan menunjukkan bahwa sebanyak 5-20% penderita asma mengalami eksaserbasi
bronkokonstriksi setelah mengkonsumsi aspirin atau NSAID. Eksaserbasi ini juga dapat terjadi
pada penderita asma yang tahan dengan penggunaan aspirin selama bertahun-tahun

tanpa

menyebabkan seranga asma. Pada tahap ini, pretreatment dengan menggunakan kortikosteroid
tidak memberikan hasil kecuali jika diberikan beberapa hari berturut-turut sebelum penggunaan
aspirin. Kemungkinan terjadinya drug induced asthma harus dicurigai pada penderita yang
pengendalian asmanya sulit dan yang pengendalian asmanya bergantung pada kortikosteroid.8

10

Exercised Induced Asthma


Aktivitas gerak badan yang memprovokasi saluran pernafasan yang hiperreaktif sehingga
timbul bronkokonstriksi. Hal yang berperan sebagai provokator adalah proses pendinginan dan
pengeringan saluran nafas. Pada orang yang melakukan kegiatan olahraga, ventilasi/menitnya
akan meningkat. Sebelum masuk ke dalam paru, udara yang dingin dan kering harus dipanasi
dan dijenuhkan dengan uap air oleh epitel trakeobrankial. Epitel ini menjadi dingin dan kering
sehingga menyebabkan bronkokonstriksi saluran pernafasan. Pada percobaan, fenomena
bronkokonstriksi seperti excercised induced asthma dapat timbul jika seseorang menghirup udara
dingin dan kering sebanyak ventilasi per menit yang diperlukan untuk terjadinya excercised
induced asthma tanpa harus melakukan latihan (exercise). Hal ini tidak timbul bila orang tersebut
menghirup udara hangat dan jenuh yang ventilasi permenit sama dengan ventilasi permenit udara
dingin dan kering yang menimbulkan bronkokonstriksi.8
Occupational Asthma
Banyak zat yang terdapat di lapangan kerja yang berperan sebagai occupational
sensitizer. Tenaga kerja atopik lebih mudah dan lebih cepat mengalami serangan occupational
asthma. Orang yang bukan atopik juga dapat menderita occupational asthma tetapi setelah
terpajan oleh occupational sensitizer dalam jangka waktu yang lama.8
Penatalaksanaan
Target pengobatan asma meliputi beberapa hal, diantaranya adalah menjaga saturasi
oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi saluran pernafasan
dengan memberikan bronkodilatator inhalasi kerja cepat (beta-agonis dan anti-kolinergik) dan
mengurangi inflamasi saluran pernafasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian
kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
1. Oksigen
Terapi ini diberikan karena bisa terjadi keadaan hipoksemia dihasilkan oleh ketidak
seimbangan ventilasi, hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 13L/menit dengan masker. Meskipun demikian, penggunaan oksigen dengan aliran cepat
tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien asma akut. Target
pemberian obat ini adalah dapat mempertahankan saturasi darah terhadap oksigen pada
kisaran lebih dari 92%.
2. 2-agonis
Inhalasi SABA (short-acting beta 2 agonis) merupakan obat pilihan untuk pengobatan
asma akut. Onset aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol
11

merupakan obat yang banyak dipakai di instalasi gawat darurat. Onset obat ini sekitar 5
menit dengan lama aksi sekitar 6 jam. Obat lain yang juga sering digunakan adalah
metaprotereol, terbutallin, dan fenoterol.
LABA (long-acting 2-agonis) tidak

direkomendasikan

untuk

pengobatan

kegawatdaruratan. Levalbuterol mempunyai efikasi yang lebih baik dan efek toksik yang
minimal bila dibandingkan dengan albuterol racemik. Pemberian epinefrin subkutan
jarang dilakukan karena memicu efek samping pada jantung. Obat ini diberikan hanya
sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan dengan pemakaian obat
secara inhalasi.
Pemakaian secara inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dengan efek samping yang
lebih sedikit serta lebih efektif bila dibandingkan pemakaian secara sistemik. Penggunaan
2-agonis secara intravena pada pasien diberikan hanya jika respon terhadap obat perinhalasi sangat kurang atau jika pasien batuk berlebihan dan hampir meninggal.
Pemberian obat per-inhalasi secara terus menerus diperkirakan lebih menguntungkan bila
dibandingkan dengan pemberian secara berkala. Meskipun penelitian metaanalisis yang
dilakukan secara acak pada pasien asma akut, tidak memberikan perbedaan yang
bermakna dalam hal fungsi paru dan lamanya dirawat di rumah sakit tetapi pembelian
nebulizer secara berkesinambungan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Efek
samping dan ketergantungan dosis dapat terjadi pada semua cara pemberian, tetapi
umumnya ditemukan pada pemberian oral atau intravena.
Efek samping pemakaian obat ini diperantai melalui reseptor pada otot polos vaskular
(takikardi dan takiaritmia), otot rangka (tremor, hipokalemi oleh karena masuknya kalium
ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbohidrat
(peningkatan kadar asam lemak besar dalam darah, insulin, glukosa, dan piruvat).
Stimulasi 2-adenoreseptor juga berperan terhadap patogenesis asidosis laktat selama
serangan asma akut berat, terutama pada pasien yang mendapatkan 2-agonis secara
intravena.
3. Antikolinergik
Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal
saluran pernapasan pada pasien asma akut, tetapi efeknya tidak sebaik 2-agonis.
Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara inhalasi digunakan sebagai bronkho dilator
awal pada pasien asma akut Kombinasi pemberian IB dan 2-agonis diindikasikan
sebagai terapi pertama pada pasien dewasa dengan eksaserbasi asma berat. Dosis 4 X
12

semprot (80 mg) tiap 10 menit dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan
nebulizer akan lebih efektif.
4. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali
kalau derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi secara
ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian
hidrokortison 800 mg atau 160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi setiap harinya,
umumnya sudah memberikan efek yang adekuat pada kebanyakan pasien.2,9
Komplikasi
Komplikasi dari asma adalah kelelahan, dehidrasi, infeksi saluran napas, dan tussive
syncope. Pneumothoraks juga dapat terjadi namun jarang. Hiperkapnia akut dan hipoxic
respiratory failure terjadi pada asma yang berat.2
Prognosis
Asma adalah penyakit kronis yang membutuhkan terapi pemeliharaan. Faktor resiko
kematian akibat asma adalah kepatuhan terhadap terapi yang buruk, perawatan di unit terapi
intensif dan perawatan di rumah sakit walaupun diberi terapi steroid. Penanganan dan perwatan
yang tepat serta kedisiplinan pasien dalam menggunakan obat anti asma dapat membuat
prognosis menjadi baik.10

Penutup
`Hipotesis diterima, pasien menderita penyakit asma yang sifatnya persisten ringan.
Pengobatan yang tepat dan baik dapat membantu mengendalikan keadaan pasien.

13

Daftar Pustaka
1. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Cetakan ke-1. Jakarta: EGC; 1995.h.3-5,4951.
2. Burnside JW.Diagnosis Fisik. Edisi ke 17.Jakarta: EGC; 1995.
3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi ke 6.
Jakarta: Erlangga;2007.h.276.
4. Gunardi S. Anatomi Sistem Pernapasan. Cetakan ke-2. Jakarta: FK UI;2009:78-90.
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi ke-6. Jakarta:EGC;2011:502-531.
6. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & cotran pathologic basis of disease. Ed 7.
Jakarta : EGC; 2009.
7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed 5. Jakarta: FKUI; 2009.
8. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta:EGC;2009.h.105-13.
9. McPhee, Stephen J, Papadakis, Maxine A.Current medical diagnosis and treatment
2010. New York: McGraw-Hill Medical; 2010.
10. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta:Erlangga;2006.h.180.

14

You might also like