You are on page 1of 24

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU BEDAH KHUSUS VETERINER


Operasi Laparotomi Pada Anjing Jantan melalui Pendekatan Teknik Caudal Midline Incision

Oleh:
Yohanes N. Koli
(1309011040)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Tubuh hewan dan ternak didalamnya terdapat organ-organ vital yang dapat dicapai
dan diekspos dengan suatu teknik operasi misalnya dengan teknik laparotomi. Laparotomi
berasal dari dua kata terpisah, yaitu laparo dan tomi. Laparo sendiri berarti perut atau
abdomen sedangkan tomi berarti penyayatan. Sehingga laparotomi dapat didefenisikan
sebagai penyayatan pada dinding abdomen atau peritoneal.( Fossum, 2002) Istilah lain untuk
laparotomi adalah celiotomi. Laparotomi terdiri dari tiga jenis yaitu laparotomi flank,
medianus dan paramedianus. Masing-masing jenis laparotomi ini dapat digunakan sesuai
dengan fungsi, organ target yang akan dicapai, dan jenis hewan yang akan
dioperasi.Umumnya pada hewan kecil laparotomi yang dilakukan adalah laparotomi
medianus dengan daerah orientasi pada bagian abdominal ventral tepatnya di linea alba
(Sofyan Muhammad et al 2010)
Keuntungan penggunaan teknik laparotomi medianus adalah tempat penyayatan
mudah ditemukan karena adanya garis putih (linea alba) sebagai penanda, sedikit terjadi
perdarahan dan di daerah tersebut sedikit mengandung syaraf. Adapun kerugian yang dapat
terjadi dalam penggunaan metode ini adalah mudah terjadi hernia jika proses penjahitan atau
penangan post operasi kurang baik dan persembuhan yang relatif lama.
Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini digunakan teknik operasi laparotomi
medianus, dengan ventral midline incisi pada anjing jantan dengan pertimbangan yang telah
dijelaskan di atas.

1.2.

Tujuan

Mahasiswa mengetahui teknik laparotomi pada anjing beserta peralatan, penjahitan, dan
penyimpulan serta perawatan pasca operasi.

Mahasiswa dapat menemukan dan mengetahui keadaan organ visceral yang ada di dalam
ruang abdominal yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Laparotomi
Laparatomi adalah salah satu jenis operasi yang di lakukan pada daerah abdomen.
Operasi laparatomi di lakukan apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area
abdomen, misalnya trauma abdomen. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan
perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi
pembedahan perut. Laparotomi merupakan tindakan bedah untuk membuka ruang
abdomen, penyayatan bisa dilakukan secara medianus tepat di linea alba atau
paramedianus dengan sayatan sejajar linea alba. Laparotomi biasa dilakukan untuk
mengeluarkan cairan dari rongga abdomen pada aschites, penyumbatan atau adanya
corpus alinea dalam usus, ataupun tindakan bedah terkait reproduksi (Smeltzer, 2001).
Keadaan umum pada kegawatan laparotomi seperti hipovolaemia, dehidrasi,
sepsis dan kejang septik (kardiovaskuler), hipoksia, takipneu dan atelektasis (respirasi),
anemia, jika sepsis potensial koagulopati (sirkulasi), oligoria selama gagal ginjal akut
(prarenal), penurunan kesadaran, bingung, cemas dan nyeri (persarafan), perasaan perut
penuh, distensi abdomen dan perforasi bowel atau obstruksi (pencernaan), pireksia,
asidosis, gangguan keseimbangan elektrolit dan hipoglikemia (pencernaan) (Anonim,
2011).

2.2.

Teknik Sayatan
Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2006), bedah laparatomi merupakan teknik
sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen. Teknik sayatan dapat dilakukan pada
bedah digestif dan kandungan (Bedah Unhas, 2013), dimana arah sayatan meliputi :
a. Midline Epigastric Insision (irisan median atas)
Insisi dilakukan persis pada garis tengah dimulai dari ujung Proc. Xiphoideus
hingga satu sentimeter diatas umbilikus. Membuka peritoneum dari bawah.

b. Midline Sub-umbilical Insision (irisan median bawah)


Irisan dari umbilikus sampai simfisis, membuka peritoneum dari sisi atas.
Irisan median atas dan bawah dapat disambung dengan melingkari umbilikus.
c. Paramedian Insision trapp door (konvensional)
Insisi ini dapat dibuat baik di sebelah kanan atau kiri dari garis tengah. Kirakira 2,5cm sampai 5cm dari garis tengah. Insisi dilakukan vertikal, diatas sampai
bawah umbilikus, M. Rectus Abdominis didorong ke lateral dan peritoneum dibuka
juga 2,5cm lateral dari garis tengah.
d. Lateral Paramedian Insision
Modifikasi dari paramedian insision yang dikenalkan oleh Guillou. Dimana
fascia diiris lebih lateral dari yang konvensional. Secara teoritis, teknik ini akan
memperkecil kemungkinan terjadinya wound dehiscence dan insisional hernia dan
lebih baik dari yang konvensional.
e. Vertical Muscle Splitting Insision (paramedian transrect)
Insisi ini sama dengan paramedian insision konvensional, hanya otot rectus
pada insisi ini dipisahkan secara tumpul (splitting longitudinally) pada tengahnya,
atau jika mungkin pada

tengahnya. Insisi ini berguna untuk membuka scar yang

berasal dari insisi paramedian sebelumnya.


2.3. Komplikasi Post Laparatomi
a. Stitch Abscess
Biasanya muncul pada hari ke-10 pasca operasi atau bisa juga sebelumnya,
sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat superfisial atau lebih dalam. Jika
dalam ia dapat berupa massa yang teraba dibawah luka, dan terasa nyeri jika diraba.

b. Infeksi Luka Operasi


Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema dan proses
inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul pada 36 jam sampai 46 jam pasca
operasi.

Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus Aureus, E. Colli, Streptococcus

Faecalis, Bacteroides. Pasien biasanya akan mengalami demam, sakit kepala, anorexia
dan malaise.
c. Gas Gangrene
Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya 12 jam
sampai 72 jam pasca operasi, peningkatan temperature (39C sampai 41C), takikardia,
dan syok yang berat.
d. Hematoma
Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini biasanya hilang
dengan sendirinya.
e. Keloid Scar
Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya memang sebagian
orang mempunyai kecenderungan untuk mengalami hal ini lebih dari orang lain.
f. Abdominal Wound Disruption and Evisceration
Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi antara 0%
sampai 3% dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari 60 tahun. Jika dilihat
dari jenis kelamin, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 4: 1.
2.4. Luka dan Kesembuhan Luka
Fisiologi penyembuhan luka, akibat kerusakan jaringan yang terjadi baik sebagai
intervensi pembedahan maupun bukan, akan menyebabkan terjadinya perubahan
perubahan molekuler dan seluler yang merupakan usaha dari tubuh hewan penderita untuk
memulihkan kontinuitas dari fungsi organ jaringan tersebut untuk melakukan fibroplasias
dan regenerasi epitel (Schwartz and Seymour, 2000:133).

Kejadian luka sebagai gangguan pada jaringan tubuh yang dapat terjadi secara
tertutup disebut vulneratio occlusa, yaitu jaringan kulit yang terluka masih tetap utuh, dan
pada kejadian ini dapat disebabkan akibat contusion. Pada contusion, kulit mengalami
kerusakan sekalipun masih utuh, namun demikian jaringan yang mengalami kerusakan
tersebut dapat terjadi pada muskulus tendon saraf maupun tulang. Selain itu dapat berakibat
abrasio yang mana luka dibagian superfisial dari kulit terkelupas disebabkan akibat friksi
dan luka ini sangat sensitif sekalipun sedikit mengalami perdarahan namun mengalami
penyembuhan yang lama. Pada kejadian luka kulit yang terbuka disebut vulneratio operta
dikenal beberapa bentuk, yakni dalam bentuk insisi adalah luka yang disebabkan benda
tajam, tepi luka yang terjadi rata dengan kerusakan yang sedikit sekali, luka insisi ini dapat
terjadi pada muskulus, tendon, pembuluh darah, dan saraf yang disertai dengan pendarahan.
Pada luka sobek yang dikenal sebaga luka laserasi terjadi akibat benda tumpul yang
menyobek jaringan berakibat dengan kulit yang terlepas bahkan kadang bisa terjadi sebagian
kulit hilang. Bilamana terjadi kejadian luka yang disertai kehilangan jaringan disebut
dengan avulsion. Pada luka tusukan (punktur) adalah luka yang dalam dengan lubang yang
kecil yang bisa disebabkan oleh benda yang ujungnya tajam dan juga bisa tumpul. Luka
penetrasi adalah luka yang terjadi yang menembus rongga tubuh dan berakibat
menimbulkan kerusakan maupun infeksi pada tubuh seperti peritonitis (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).
Sabiston (1992) menyatakan bahwa penyembuhan luka adalah proses dinamis yang
meliputi unsur-unsur tubuh, pembuluh darah, fibroblas, dan sel epitel. Pada awalnya darah
di dalam luka membeku diikuti denganrespons peradangan, kemudian dalam waktu singkat
terjadi epitelisasi untuk melindungi luka dari kontaminasi luar. Sesaat setelah luka terjadi,
maka akan terjadi vasokontriksi pada pembuluh darah. Trombosit mengikat kolagen yang
terpapar dan bereaksi dengan trombin membentuk bekuan darah. Adanya fibrin dalam
bekuan darah akan melekatkan jaringan yang berdekatan sehingga terbentuk satu kesatuan
tepi luka (Archibald dan Barkely, 1974; Robbins et al., 1984).
2.5. Proses Penyembuhan Luka
Menurut Schwartz and Seymour (2000:134) bahwa ada empat fase penyembuhan
luka yakni: Koagulasi Terjadinya luka baik yang bersifat traumatik atau yang berbentuk

pada pembedahan menyebabkan pendarahan dari pembuluh yang rusak. Vasokonstriksi


segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya ketekolamin ke dalam lingkungan cedera.
Bradikinin, serotonin, dan histamin merupakan senyawa vasoaktif lain yang dilepaskan oleh
sel mast ke jaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini mengawali pristiwa diapedesis, yaitu
keluarnya sel-sel intravaskular ke dalam ruang ekstravaskular daerah yang luka. Suatu
bekuan darah terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah. Faktorfaktor pembekuan yang dilepaskan dari trombosit menghasilkan fibrin yang bersifat
hemostatik dan membentuk suatu jaringan yang akan menampung migrasi lebih lanjut selsel inflamasi dan fibroblas. Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses pembekuan.
Tanpa kerja fibrin ini maka kekuatan akhir dari sesuatu luka akan berkurang. Trombosit juga
penting karena menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi peristiwa
penyembuhan luka (Schwartz and Seymour, 2000:134).
Inflamasi Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira kira hari
kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh
akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang
putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk
membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi.
Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan
permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai
vasodilatasi setempat yang menyebabkan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi
radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat
(kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Fibroplasia Fibroplasia adalah fase
penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis kolagen. Sintesis kolagen dimulai dalam 24
jam setelah cedera, namun tidak akan mencapai puncaknya hingga 5 hari kemudian. Setelah
7 hari, sintesis kolagen akan berkurang secara perlahan-lahan.
Remodelling luka mengacu pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan
degradasi kolagen. Pada saat serabut-serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase
jaringan, serabut-serabut baru dibentuk dengan kepadatan pengerutan yang makin
bertambah. Proses ini akan meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut (Schwartz

and Seymour, 2000:134). Pada tahap ini juga terjadi pembersihan jaringan yang mati oleh
leukosit polimorfonuklear dan makrofag (Uliyah dan Hidayat, 2008:234). Sitokin Sitokin
memungkinkan berjalannya seluruh komunikasi untuk interaksi antar sel. Mereka mungkin
juga berperan penting dalam jalur farmakologis klinis di berbagai tempat penatalaksanaan
penyembuhan luka. Misalnya, sitokin tampaknya ikut mengatur peranan dan pengaturan
fibrosis, penyembuhan luka kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan
tendon dan tulang setelah perbaikan, dan barangkali juga mengendalikan proses keganasan
(Schwartz and Seymour, 2000:134). Fase ini juga dikenal sebagai tahap maturasi, Pada
tahap ini terjadi reepitelisasi, kontraksi luka, dan organisasi jaringan ikat.
2.6. Mekanisme Penyembuhan luka
Tiga mekanisme biologis terlibat dalam proses penyembuhan luka. Epitelisasi adalah
proses dimana keratinosit bermigrasi dan membelah diri untuk melapisi kembali kulit atau
mukosa yang kehilangan ketebalan parsial. Contoh-contoh dari proses ini, misalnya pada
lokasi donor cangkok kulit ketebalan parsial, abrasi, lepuh, dan luka bakar tingkat satu dua.
Kontraksi adalah proses dimana terjadi penutupan spontan dari luka kulit dengan ketebalan
penuh atau konstriksi dari organ-organ tubular seperti saluran empedu atau esofagus setelah
cedera. Deposisi kolagen adalah proses dimana fibroblas direkrut pada tempat cedera dan
menghasilkan matriks jaringan ikat yang baru. Kolagen yang mengkerut dalam jaringan ikat
ini memberikan kekuatan dan integritas pada semua luka yang menyembuh dengan baik
(Schwartz and Seymour, 2000:133).
2.6. Faktor Faktor yang Mempengaruhi
Penyembuhan Luka Proses penyembuhan luka dipengaruhi oleh berbagai faktor
yaitu, Vaskularisasi (mempengaruhi luka karena luka membutuhkan keadaan peredaran
darah yang baik untuk pertumbuhan atau perbaikan sel), anemia (orang yang mengalami
kekurangan kadar hemoglobin dan protein dalam darah akan mengalami proses
penyembuhan lama), usia (proses penuaan dapat menurunkan sistem perbaikan sel sehingga
dapat memperlambat proses penyembuhan luka), penyakit lain (diabetes dan ginjal), stres,
obesitas, obat-obatan yang berlebih, nutrisi merupakan unsur utama dalam membantu
perbaikan sel (vitamin A diperlukan untuk membantu proses epitelisasi penutupan luka dan

kolagen; vitamin B kompleks sebagai kofaktor pada sistem enzim yang mengatur
metabolisme protein; karbohidrat, dan lemak; vitamin c dapat berfungsi sebagai fibroblast,
dan mencegah adanya infeksi, serta membentuk kapiler-kapiler darah; dan vitamin K yang
membantu sintesis protombin dan berfungsi sebagai zat pembekuan darah), dan Jahitan luka
yang kurang baik atau tidak dapat menempel pada proses epitelisasi penyembuhan luka
merupakan salah satu indikasi terhambatnya penyembuhan luka perineum dan luka lainnya
(Rejeki, Ernawati, 2010). Smeltzer (2002 : 493) menambahkan bahwa hal-hal yang
mempengaruhi penyembuhan luka dan perbaikan sel yaitu Penanganan jaringan
(Penanganan yang kasar menyebabkan cedera dan memperlambat penyembuhan), faktor
lokal edema, penurunan suplai oksigen, Personal hygiene (kebersihan diri dapat
memperlambat penyembuhan, hal ini dapat menyebabkan adanya benda asing seperti debu
dan kuman), hiperaktivitas menghambat perapatan tepi luka. Mengganggu penyembuhan
yang diinginkan.
2.7. Jenis kesembuhan Luka
Menurut Samsuhidayat dan Wimdejong (1997) penyembuhan luka diklasifikasi ke
dalam beberapa bagian (1) penyembuhan primer yaitu proses penyembuhan ini terjadi bila
luka segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan; (2) penyembuhan
sekunder yaitu proses penyembuhan luka terjadi tanpa pertolongan dari luar dan berjalan
secara alami. Luka akan terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup dengan jaringan
epitel; (3) penyembuhan primer tertunda, proses penyembuhan ini terjadi pada luka yang
tidak beraturan seperti luka tembak. Luka seperti ini sering meninggalkan jaringan yang
tidak dapat hidup. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung
dijahit, bila luka tidak dibersihkan dan dieksisi dahulu dan kemudian baru dijahit dan
dibiarkan sembuh secara primer.

BAB III
METODOLOGI
3.1.

Materi
Hari/tanggal

: Jumad 22 April 2016

Waktu

: 16.30 WITA selesai

Tempat: Lab A FKH Undana


a) Persiapan Ruangan, Alat Bedah, Bahan Praktikum

Ruangan didesinfeksi secara menyeluruh menggunakan desinfektan

Meja bedah didesinfeksi sebelum digunakan untuk operasi

Alat bedah dicuci dengan sabun bersih kemudian didesinfeksi dan diseterilkan

Alat :
o Satu set peralatan bedah minor

o Sarung tangan

o Duk

o Masker

o Syringe 3 mL

o Selang infus

o Tiang infus

o Surgical Cap

o Termometer

o Plester luka

o Stetoskop

o IV cateter

o Elisabeth Collar yang dimodifikasi


dari kardus

Bahan
o Ketamin HCL 10%

o Atropine Sulfat

o Xylazine 2%

o Benang Catgut kromik

o Benang Katun

o Povidone Iodine

o Alkohol

o Ringer laktat

o Tampon

3.2.

o Amoxicillin sirup

o Kapas alkohol

o Bioplacenton

o Antibiotik (amoxillin)

o Corovit Sirup

Langkah Kerja
1. Menyiapkan anjing untuk operasi, termasuk pencukuran, pemberian desinfektan
kulit daerah operasi, pemberian cairan infus dan anestesi.
2. Melakukan pemeriksaan fisik, meliputi temperatur tubuh, pulsus, frekuensi nafas,
CRT, limfonodus, extremitas, kulit-rambut, penimbangan berat badan.
3. Sebelum hewan dioperasi dilakukan pemeriksaan fisik telebih dahulu untuk
mengetahui keadaan normal hewan. Sepuluh menit sebelum dioperasi, hewan
diberikan premedikasi atropin dengan dosis mg/kgBB, diberikan dengan rute
subcutan.
Premedikasi

Atropin sulfat (0,25 mg)

Setelah itu hewan diberikan anastethikum atropin dan xylazine dengan


rute intra muscular.
Anastetikum

Xylazine HCl (2%)

Ketamin (10%)

Atropin :

Dosis Anjuran X BB
Dosis Sediaan
=
0,04mg
X 14 Kg
0,25mg
=
2,24ml
Ketamin:
Dosis Anjuran X BB
Dosis Sediaan
=
15 mg
X 14 Kg
100 mg
=
2,1ml
Pemberiaan pada menit ke 15 pengulangan dosis anestesi berjumlah 0,5 ml
Xylazine:
Dosis Anjuran X BB
Dosis Sediaan
=
2 mg
X 14 Kg
20 mg
=
1,4ml
Pemberiaan pada menit ke 15 pengulangan dosis anestesi berjumlah 0,3 ml

4. Operasi dilakukan setelah hewan teranasthesi, diposisikan rebah dorsal lalu


didesinfeksi menggunakan alkohol 70% dan povidone iodine. Penyayatan
dilakukan pada daerah medianus abdomen tepat di linea alba. Melakukan insisi
dimulai dari umbilicus ke daerah ventral sampai daerah pelvis. Membuatlah irisan
kulit dan subcutan dengan scalpel tepat di atas linea alba dan berbelok ke lateral
preputium. Setelah itu dilakukan penyayatan pada kulit menggunakan scalpel,
diikuti penyayatan linea alba, aponeurose m. obliquus abdominis internus et
externus. Operasi kali ini tidak menyayat bagian peritoneum. Sayatan kemudian
diperluas menggunakan gunting. Bagian organ abdomen yang terlihat kering
ditetesi mengunakan povidon iodine.
5. Luka sayatan pada otot abdomen dijahit menggunakan jarum penampang segitiga
dan benang catgut. Penjahitan pada kulit menggunakan jarum penampang bulat

dan benang katun. Bekas jahitan dioleskan povidone iodine. Antibiotik


amoxicillin diberikan IM.

Post operasi dan Persembuhan Luka


Selama post operasi dilakukan pemantauan kondisi hewan seperti
temperatur, frekuensi denyut jantung dan frekuensi nafas, nafsu makan, urinasi,
defekasi serta kondisi luka. Hasil pemeriksaan dicatat pada tabel yang terdapat
pada lampiran.

Antibiotik amoxicillin diberikan secara peroral sehari 2 kali

selama 3 hari dengan dosis 5,9 ml peroral (setelah dihitung dengan berat badan)
dan pemberian vitamin 2,5 ml peroral 1 kali sehari. Salep bioplacenton diberikan
pada hari ketiga sampai hari ke tujuh 2 kali sehari.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.

Hasil
Lembaran Ambulator Pasien pasca Operasi
Data Pemilik
Nama : Yohanes Koli
Alamat : Jl. Thamrin
No. Telepon : 082341023037
DOKTER HEWAN : Drh. Tri Utami,
M.Sc
Mahasiswa Koas :
Maria Y. Opat

Data Pasien
Jenis Hewan : Anjing
Breed : Domestic Short Hair
Nama Hewan : Coklat
Umur : 8 Bulan
Sex : Jantan
Signalement : Coklat Kehitaman
Berat Badan : 14 Kg
Tanggal : 22 April 2016

ANAMNESIS :
STATUS PRAESENS
1. Keadaan umum

: sehat, tidak stress, BCS = 3 (ideal)

2. Frekuensi Nafas

: 72/menit. Frek pulsus: 80/menit. T: 39 0C

3. Kulit dan rambut

: rambut halus, agak rontok, tidak ada lesi pada kulit

4. Selaput lendir

: CRT < 2 s, mukosa merah muda

5. Kelenjar-kelenjar limfe : Tidak ada pembengkakan, simetris dan kenyal


6. Pernafasan

: Berdesir (Brrs); pernapasan dada (thorax)

7. Peredaran darah

: jantung berbunyi = lub dub

8. Pencernaan

: gigi bersih, tidak muntah, belum defekasi, anus bersih

9. Kelamin dan perkencingan : belum mengalami urinasi

10. Anggota gerak

: normal (kaki berjalan tegak), mampu berdiri dengan ke

empat kaki

No
1.
2.
3.
4.

N
o

Monitoring pasien saat operasi


Yang
diamati
0

T ( C)
P (x/min)
Pulsus
(x/min)
Kondisi
mata

Waktu

5 menit
40,6

10 menit
40,5

15 menit
40,2

20 menit
40,1

25 menit
39,7

30 menit
39,5

35 menit
39,2

40 menit
38,6

40

32

124

164

100

104

108

120

90

80

104

110

92

108

112

80

ada
Reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Ada
reflek

Pagi
Hari/tanggal

T
(C)
38,7

P
(x/min)
116

Siang
R
(x/min)
32

1
Sabtu,
.
23-04-2016
2
Minggu,
38,7 104
28
.
24-04-2016
3
Senin,
38,1 96
32
.
25-04-2016
4
Selasa,
38,4 20
36
.
26-04-2016
5
Rabu
38,2 112
56
.
27-04-2016
6
Kamis
38,6 100
56
. 28-04-2016
7
Jumad
38,6 100
84
.
29-04-2016
8
Sabtu,
.
30-04-2016
Monitoring Pasien Post Operasi

Malam

Ket

T
(C)
38,5

P
(x/min)
116

R
(x/min)
24

T
(C)
38,2

P
(x/min)
120

R
(x/min)
28

38,1

100

88

38,7

128

88

38,8

92

48

39,2

128

68

38,5

108

96

38,9

108

84

38,8

104

48

38,6

120

100

Proses Laparotomi dan Pasca Laparotomi serta Kesembuhan Luka


No

Gambar

Keterangan

1.

Kondisi anjing sebelum dilaparotomi

2.

Penmasangan IV cateter pada vena cephalica

Daerah abdomen didesinfektan menggunakan alkohol


3.

dan povidone iodine secara sirkuler dari dalam ke


luar

4.

5.

6.

Kain drap (duk) dipasang didaerah yang telah


dibersihkan, kemudian difiksir dengan duk klem

Pemasangan selang infus dan cairan ringer

Pelaksanaan laparotomi mengincisi kulit dan


subcutan tanpa mencapai organ visceral

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Kondisi anjing pasca operasi

Hasil Jahitan kulit menggunakan benang silk dengan


pola sederhana tunggal

Pemasangan Ellisabeth collar yang imodifikasi untuk


mencegah anjing menjilati bekas operasi

Kondisi bekas Jahitan hari ke-1 pasca laparotomi (23


April 2016)

Kondisi bekas jahitan hari ke-3 pasca laparotomi (25


April 2016)

Kondisi jahitan hari ke-4 pasca laparotomi (26 April


2016). Tampak salah satu jahitan terbuka/terlepas.

Kondisi jahitan hari ke-9 pasca laparotomi (1 Mei


13.

2016). Jahitan yang sempat terbuka sudah mulai


menutup, dilakukan pembukaan jahitan (benang jahit)

Kondisi bekas jahitan hari ke-11 pasca laparotomi

14.

4.2.

atau hari ke-2 pasca pelepasan benang jahit

Pembahasan
Laparotomi merupakan teknik operasi atau pembedahan dengan jalan membuka
dinding abdomen. Pada praktikum ini dilakukan laparotomi pada pasien anjing jantan
dengan menggunakan teknik caudal midline incision. Sebelum dilakukan laparotomi
hewan terlebih dahulu harus melewati serangkaian penilaian, salah satunya adalah
pemeriksaan fisik untuk mengetahui status kesehatan secara keseluruhan. Penilaian
bertujuan untuk mengetahui risiko pembedahan maupuun anestesi.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah pemasangan cairan infus, di mana cairan
infus yang digunakan adalah ringer laktat dan dilakukan pada vena cephalica.
Pemasangan cairan infus bertujuan untuk mencegah dehidrasi selama operasi. Kemudian
langkah selanjutnya adalah menghilangkan kesadarannya agar hewan tidak merasa
kesakitan pada saat pembedahan dan juga meminimalkan gerakan hewan untuk
kemudahan operasi.
Atropin

sulfat

digunakan

sebagai

premedikasi

yang

berperan

sebagai

antikolinergik dengan fungsi utama mengurangi sekresi kelenjar saliva. Penggunaan


Ketamine dan Xylazine dalam operasi laparotomi bertujuan untuk menimbulkan efek
sedasi dan anestesi pada pasien yang akan dioperasi. Ketamine merupakan salah satu
agen farmakologik untuk menghilangkan rasa nyeri/ sakit secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat reversibel (dapat kembali ke keadaan normal kembali).
Ketamine merupakan anestetik umum yang kerjanya cepat, serta fungsi dari ketamine

yaitu memiliki efek hipnotik, analgesik yang kuat, dan relaksasi otot, mempertahankan
refleks faring dan laring. Indikasi penggunaan ketamine adalah untuk prosedur yang tidak
memerlukan relaksasi otot tunggal, induksi anestesia sebelum pemberian anestetik
lainnya,

supplement untuk senyawa yang potensinya rendah. Efek samping dari

penggunaan ketamine sebagai agen anestesi meningkatkan stimulasi kardiovaskular dan


respirasi, dan hipersalivasi.
Untuk mengurangi efek samping penggunaan ketamine yang meningkatkan
stimulasi kardiovaskular dan respirasi pada pasien, maka digunakan xylazine yang
merupakan agen sedatif. Xylazine merupakan agen farmakologik untuk menghasilkan
depresi tingkat kesadaran secara cukup sehingga menimbulkan rasa mengantuk dan
menghilangkan kecemasan tanpa kehilangan komunikasi verbal. Penggunaan xylazine
menyebabkan depresi kardiovaskular, depresi respirasi dan penurunan aktivitas otot
sehingga menyebabkan hipothermia sehingga mampu menurunkan dan menghilangkan
efek dari obat anestesi yang diberikan. Xylazine dengan kadar yang cukup merupakan
anestesi umum yang ringan. Derajat sedasi tergantung dari tingkat kesehatan dan
temperamen pasien.
Insisi dilakukan dengan caudal midline incision pada linea alba dari umbilicus
hingga tepi pelvis. Kelebihan insisi dengan cara ini adalah mudah dicapai, sedikit
perdarahan, dan sedikit mengandung syaraf, sedangkan kekurangannya adalah mudah
terjadi hernia dan persembuhannya lama karena kurang mendapat suplai darah. Setelah
dilakukan insisi hingga peritonium, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
penjahitan. Penjahitan dilakukan 2 kali. Penjahitan pertama dilakukan pada muskulus dan
subcutan dengan sederhana menerus simpul surgeon knot pada bagian insisi dan
menggunakan benang catgut chromik. Keunggulan dari benang catgut chromik adalah:
tensile strength cukup (cukup ulet) dan diserap, ditolerir dengan baik oleh jaringan, dapat
digunakan untuk menjahit jaringan yg terinfeksi, elastis, paling mudah digunakan
dibanding benang lain. Ketahanan benang ini pada jaringan yang terinfeksi mampu
mempertahankan pertautan luka selama proses keradangan, mencegah terlepasnya jahitan
luka dari kerusakan benang akibat akumulasi cairan radang dan kebengkakan jaringan.
Ketika proses operasi dilakukan dilakukan penambahan penyuntikan anestesi sebanyak 1

kali sebab anjing mulai sadar dari keadaan teranestesi. Dosis yang diberikan adalah
setengah dari dosis awal.
Jahitan pada kulit anjing menggunakan tekhnik jahitan sederhana tunggal untuk
memperkuat jahitan luka dibawahnya. Penjahitan kulit menggunakan benang katun.
Kelebihan dari benang katun adalah iritasi yg ditimbulkan lebih ringan daripada benang
sutera, linen dan catgut, kekuatan benang bertambah apabila dalam keadaan basah,
mudah disterilisasi, stabil ketika disterilisasi, halus, lembut, mudah dihandel, dan
simpulnya tidak mudah lepas, serta harganya murah. Kestabilannya dalam keadaan basah
mempermudah proses pemberian antiseptik pada permukaan luka di kutan selain itu
untuk pemberian antibiotik lainnya secara topikal pada luka yang berada dikutan. Hal ini
sangat memudahkan tindakan penyembuhan luka dan pencegahan transmisi mikroba
kedalam luka yang mengakibatkan infeksi sekunder. Selama proses penjahitan juga
seskali ditetesi larutan NaCl pada jahitan yang berguna untuk mencegah adhesi.
Penjahitan dilakukan dengan menggunakan jarum bentuk melengkung dengan
penampakan melintang segitiga.
Setelah penjahitan selesai, maka luka operasi telah tertutup. Langkah selanjutnya
yang tidak kalah penting dalam proses operasi adalah perawatan pascaoperasi beserta
pengobatannya. Pengobatan perlu dilakukan demi kesembuhan total dari hewan yang
dipakai dalam operasi. Pengobatan yaitu dengan pemberian antibiotik secara injeksi
(penicillin atau streptomicin) dan peroral yaitu amoxicillin sirup. Antibiotik injeksi
diberikan segera setelah operasi yaitu pada saat hewan telah sadar dari pengaruh anestesi.
Sedangkan pemberian peroral diberikan setiap hari yaitu amoxicilin sirup (2x sehari).
Pada luka operasi diberikan antiseptik yaitu betadine (povidone iodine), dan kemudian
selanjutnya diberi salep bioplecenton untuk mempercepat proses kesembuhan.
Benang jahit diangkat sedini mungkin untuk mencegah atau mengurangi reaksi
terhadap benang, infeksi, dan tanda benang. Namun pengangkatan benang yang terlalu
dini menimbulkan komplikasi seperti terbukanya luka dan skar yang lebar. Biarkan
jahitan tetap pada tempatnya cukup lama untuk mencegah terbukanya luka dan skar yang
lebar. Jika suplai darah kurang, regangan yang rnelewati luka lebih besar, atau benang
berada pada tempatnya lebih lama akan menyebabkan epitelisasi pada daerah benang dan
menimbulkan bekas benang dan infeksi. Waktu untuk pengangkatan benang bergantung

pada tegangan yang dibutuhkan untuk mendekatkan pinggir luka. Benang diangkat pada
hari ke 9 pasca operasi dan teramati terjadi kesembuhan luka secara primer pada sebagian
besar daerah penyayatan operasi. Hanya terdapat sedikit kesembuhan luka sekunder yang
ditandai dengan terbentuknya scar. Hal ini terjadi diduga karena pemberian bioplacenton
yang mengandung ekstrak placenta sapi yang mempercepat penyembuhan jaringan kulit
dengan merangsang pertumbuhan jaringan dan melapisi luka dari kotoran yang bisa
menginfeksi luka. Bioplacenton juga mengandung antibiotik neomisin sulfat dari
golongan aminoglikosida berspektrum luas dapat membunuh bakteri gram positif dan
gram negative sehingga dapat mengatasi infeksi.
Pada persembuhan luka terjadi proses inflamasi. Inflamasi merupakan tahapan
respon Akut terhadap cidera. Tahap ini dimulai saat terjadinya luka. Pada tahap ini,
terjadi proses hemostatis yang ditandai dengan pelepasan histamin dan mediator lain
lebih dari sel-sel yang rusak, disertai proses peradangan dan migrasi sel darah putih ke
daerah yang rusak (Uliyah dan Hidayat, 2008:234). Teori mengenai tanda-tanda radang
yang dikemukakan oleh Celsus masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang
mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas), dolor (rasa sakit), dan tumor
(pembengkakan). Tanda-tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad terakhir yaitu
function laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; rukmono, 1973; Mitchell & Cotran,
2003). Gejala inflamasi diamati berdasarkan tanda-tanda inflamasi yang terdapat di
sekitar luka jahitan, dengan cara pengamatan yakni terdapat bengkak yang timbul dari
hari kedua dan bengkak tersebut mulai menurun pada hari ke sembilan.
BAB V
PENUTUP
5.1.

Kesimpulan
Telah dilakukan tindakan operasi bedah laparotomy pada pasien anjing yang
dilakukan pada line alba, dengan teknik caudal midline incision yang dimulai dari
umbilicus hingga ke tepi pelvis. Penjahitan dilakukan 2 lapis, muskulus dan subkutan
dengan dijahit dengan jahitan continuous, dan kulit dijahit dengan jahitan sederhana
tunggal. Sedangkan benang yang digunakan untuk menjahit peritoneum, muskulus, dan
subkutan adalah tipe cutgut, sementara untuk kulit digunakan benang tipe katun.

Perawatan pasca operasi dilakukan setiap hati dengan pemberian obat peroral
yakni amoxicillin sirup 2 (dua) kali sehari dan vitamin corovit sekali 1 (satu) kali sehari,
serta obat topical povidone iodine dan dilanjutkan dengan salep biosalamin 2 kali sehari
setelah hari ke 3 pasca operasi hingga hari ke tujuh.
Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari, perawatan terus dilanjutkan dan kondisi
terus dipantau lewat monitoring, pasien diberi colar modifikasi dari kardus agar tidak
menjilat luka. Jahitan dibuka pada hari ke 9 (hari minggu) dan teramati sebagian besar
terjadi persembuhan luka primer dengan sedikit scar (persembuhan luka sekunder).
5.2.

Saran
Pada tindakan operasi penting untuk diperhatikan dalam pelaksanaannya, mulai
dari persiapan pasien, tindakan pemberian anestesi, tindakan operasi, hingga perawatan
post operasi. Segala aspek perlu dilakukan secara aseptis untuk mencegah infeksi
mikroba patogen yang dapat menjadi sumber infeksi pada luka. Pemberian obat secara
oral dan topikalpun harus teratur serta asupan gizi yang cukup untuk mendukung
kesembuhan luka dan pemulihan kondisi fisik tubuh hewan yang dioperasi.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, S. 1995. Dasar-Dasar Patologi. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.


Archibald, J. and C.L. Blackely. 1974. Healing and Repair. In Canine Surgery. Mayer, K. (Ed.).
4th ed. American Veterinary Pub., Easton, Illionois
Fossum, TW. 2002. Small Animal Surgery. 2 nd edition.
Rejeki Ernawati. 2010. Faktor-faktor yang berpengaruh pada penyembuhan luka perineum ibu
pasca persalinan di puskesmas brangsong dan kaliwungu kabupaten Kendal. Fakultas
Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang

Robbins, S.L., R.S. Cotran, and V. Kumar. 1984. Pathologic Basic Diseases. 3rd ed. W.B.
Saunders, Tokyo, Japan
Rukmono. 1982. Patologi. Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Sabiston.1992. Buku Ajar Bedah. Bagian 1. Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Sardjana IKW, D Kusumawati. 2011. Bedah Veteriner. Surabaya (ID): UNAIR Press.
Schwartz, And Seymour I. 2000. Intisari Prinsip Ilmu Bedah. Ditejemahkan Oleh Linda
Chandranata. Jakarta (ID): EGC. hlm 133-134.
Smeltzer S. C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta (ID). EGC. hlm 493.
Uliyah, Musrifatul. Dan A. Aziz Alimul Hidayat. 2008. Keterampilan Dasar Klinik untuk
Kebidanan, Edisi 2. Jakarta (ID). Salemba Medika.

LAMPIRAN
No
1.

Gambar

Keterangan
Pemberian pakan pada anjing

1.

Pemberian antibiotik Amoxicillin setiap


pagi dan malam dengan dosis 5,9 cc
Pemberian multivitamin Corovit sirup
setiap pagi dengan dosis 2,5 ml atau 1
sendok teh

3.

Pemberian salep Bioplacenton pada hari


ke-3 pasca operasi yang diberikan dua
kali sehari

4.

Penggunaan desinfektan berupa alkohol


dalam proses pembersihan luka dan
pembersihan termometer sebelum dan
sesudah digunakan

5.

Penggunaan

povidone

diberikan di sekitar luka.

iodine

yang

You might also like